Bagian 20
Thalib hanya bisa mendengar jeritan-jeritan di dalam ruangan gelap tersebut. Dia kebingungan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang terjadi dengan anak buahnya? Lalu apa yang terjadi dengan Wina?
“Hei, apa yang terjadi? Apa yang terjadi?” tanya Thalib.
Setelah suara jeritan-jeritan mereda, Thalib kebingungan. Dia mengambil parang yang tadi dia gunakan untuk menebas payudara Azizah. Darah segar Azizah masih ada di parang itu, tetapi yang terjadi berikutnya sungguh di luar dugaan. Arief tiba-tiba muncul dari kegelapan, menyergapnya, lalu menancapkan tongkat bilyard ke lengannya yang membawa parang.
“Aaaaaaarrgghhh!! ANJING!” jerit Thalib.
Parang jatuh dari genggamannya. Arief tersenyum melihatnya. Dalam kegelapan malam wajah Arief yang terkena biasan cahaya dari lampu yang ada dari kejauhan terlihat mengerikan. Wajah tanpa perasaan, tanpa dosa, menyeringai kepadanya.
Ustadz kondang itu pun gemetar menyaksikan perubahan raut wajah pada diri Arief. Ini bukan wajah manusia, tetapi wajah iblis. Bagaimana seorang Arief yang dia kira bisa diperdaya dan lugu sekarang seperti sekarang ini. Apa dia salah perhitungan? Apa yang diucapkan Jannah dulu benar kalau mantan suaminya sedikit gila? Apakah gilanya seperti ini?
“Thalib, aku ingin bercerita kepadamu tentang sesuatu. Dengarkan baik-baik!” ucap Arief sambil perlahan-lahan mengambil parang yang terjatuh tadi.
Thalib hanya bisa menahan sakit sambil bersiaga. Lari pun juga percuma, karena jaraknya dengan Arief sangat dekat dan posisi dia sekarang sedang berlutut karena menahan sakit dari kayu tongkat bilyard yang saat ini menembus lengannya.
“Dulu ada seorang anak kecil. Hidup di dalam keluarga yang sangat bahagia. Ayahnya seorang bangsawan, tetapi terusir karena lebih memilih menjadi rakyat jelata dan hidup di antara para preman. Sejak muda menjadi tukang pukul dan hidup dengan hal itu. Hingga suatu ketika hidupnya berubah setelah mengenal seorang perempuan yang bisa meluluhkan hatinya. Membuat dia hidup sederhana dan bahagia bersama. Sampai akhirnya mereka memiliki anak, yaitu aku.
“Bapak dan ibuku hidup bahagia hingga akhirnya secara mengejutkan ibuku bunuh diri. Awalnya bapakku menceritakan kalau ibuku meninggal karena penyakit, tetapi fakta tak bisa ditutupi, bahwa ibuku bunuh diri. Sayangnya, bapak yang sudah berjanji untuk tidak lagi membunuh tidak mungkin untuk membalaskan dendam, tetapi dia merasa mendapatkan angin segar saat aku punya karunia yang tidak dimiliki oleh anak-anak lain pada umumnya. Aku bisa menaklukkan orang lain dengan cara menyentuh mereka. Dengan bakat itulah aku membantu bapakku untuk menjadi tukang pukul dan aku menghilangkan nyawa sejak aku masih usia 10 tahun.
“Tujuan bapakku mengajakku untuk menjadi seorang pembunuh adalah agar aku tidak punya belas kasihan saat harus membalaskan dendamnya kepada orang yang telah menyakiti ibuku. Aku membaca surat bunuh diri yang ditulis oleh ibuku. Di sana jelas tertulis siapa nama-nama orang-orang yang bertanggung jawab atas kematian ibuku, salah satunya adalah orang tua Wina. Sebenarnya, Jannah adalah perempuan yang mampu menghentikanku dari misi ini. Dialah cahaya penerangku yang mampu menerangiku dari kegelapan. Sayangnya, kau telah merebut cahaya itu. Kau telah membangunkan iblis dari dalam diriku yang ingin aku kubur sejak lama.”
Thalib terbelalak. Matanya melotot tak percaya dengan penjelasan Arief. Namun, apa yang dilakukan Arief masuk akal jika semua penjelasan yang dikatakan Arief adalah benar, maka Thalib sudah salah memilih musuh.
“Kau bermain di belakang bersama istriku. Kau kira aku tidak tahu? Kau menghancurkan diriku, menghabiskan seluruh hartaku. Kau kira aku tidak tahu? Saat pengadilan mengetuk palu perceraian, maka saat itulah aku bertekad untuk membuatmu menderita seumur hidup. Kalau toh aku mati sekarang, setidaknya kau akan menderita dengan virus HIV yang telah tertular kepadamu,” ujar Arief, “ah… Thalib…. Thalib. Kenapa kau tidak menyelidiki siapa aku terlebih dulu? Bukankah kau punya Wina? Bahkan, Wina sekarang telah terkapar tak berdaya. Oh iya, kau kira aku takut dengan Bambang? Justru aku akan menghabisi Bambang sebentar lagi. Aku akan beri saran kepadamu, pergi temui Jannah. Larilah yang jauh, aku akan mengejarmu.”
Mendengar kata-kata Arief, Thalib makin merinding. Apalagi Arief memutar-mutar parang yang ada di tangannya. Arief seperti sudah siap untuk menebas apapun yang ada di hadapannya. Perlahan-lahan Thalib berdiri.
“K-kau sinting!” umpat Thalib.
“Sinting? Kita itu sebelas dua belas. Kau ustadz cabul yang sudah menodai banyak wanita, sedangkan aku hanya seorang psikopat yang gagal tobat,” kata Arief.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Thalib berlari meninggalkan Arief. Tujuannya jelas, menyelamatkan Jannah dari ancaman Arief. Sebab, ancaman pria ini tidak main-main.
***
Rupanya langit ikut marah malam itu. Beberapa puluh menit setelah Thalib menyetir mobil sambil menahan sakit di lengannya, dia harus melawan hujan badai yang nyaris membuat dia tak bisa melihat jalanan.
“Brengsek! Brengsek! Kenapa? Kenapa semuanya kacau? Wina mati. Jannah. Jannah, semoga kamu selamat,” gumam Thalib selama perjalanan.
Petir menyambar-nyambar di langit. Suara guntur menggelegar memecah keheningan. Angin pun bertiup kencang membuat pepohonan bergoyang-goyang karenanya. Suara rintik hujan yang mengantam mobil Thalib serasa seperti lemparan jumroh jama’ah haji. “Seharusnya tidak begini, seharusnya tidak begini,” berkali-kali Thalib bergumam hingga mobilnya sampai di pekarangan rumah Jannah.
Dengan susah payah, Thalib segera keluar dari mobilnya menuju ke rumah Jannah. “Jannah! Jannah!” panggil Thalib.
Jannah yang ada di dalam rumah tentu saja terkejut. Dia segera keluar rumah dan mendapati luka berdarah-darah di tangan selingkuhannya itu.
“Ya ampun, Mas? Apa yang terjadi?” tanya Jannah.
“Kita harus pergi,” ucap Thalib.
“Pergi? Pergi kemana? Apa yang sebenarnya terjadi? Tangan mas harus diobati dulu!” kata Jannah.
“Tak ada waktu! Kita harus pergi!”
“Tapi kenapa? Aku perlu alasannya.”
“Arief! Arief mau membunuhmu! Arief mau membunuh kita!”
Mendengar perkataan Thalib, bulu kuduk Jannah meremang. Dia tak pernah menyangka hari ini pun datang. Melihat keadaan Thalib berdarah-darah seperti sekarang, membuatnya yakin, kalau mantan suaminya memang sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja.
“Tapi kita harus ke rumah sakit dulu. Luka ini harus disembuhkan!” ucap Jannah, “biarkan aku yang nyetir!”
Jannah merebut kunci mobil dari tangan Thalib, lalu keduanya masuk ke dalam mobil, tetapi kali ini dengan Jannah yang mengemudikannya.
Cuaca benar-benar tak bersahabat, tapi perjalanan mereka ke rumah sakit tidaklah benar-benar ada hambatan selain angin yang kencang. Beruntung mobil yang mereka naiki bertenaga besar, sehingga ketika angin kencang berhembus tidak mudah goyah.
“Ceritakan apa yang terjadi, Mas!” desak Jannah.
Thalib hendak menceritakan semua kejadian yang barusan dia alami, tetapi dia tak bisa. Jannah malah akan semakin marah kepadanya. Apalagi menceritakan kalau saat ini dia tertular virus HIV dari Azizah. Jannah akan lebih marah lagi. Saat ini yang terpenting adalah mereka harus selamat dari kejaran Arief.
“Panjang ceritanya. Yang penting, mantan suamimu itu jadi gila. Sampai-sampai dia mendatangiku dan aku nyaris kehilangan nyawa kalau tidak bertindak cepat. Aku menangkis serangan dia dengan tanganku sehingga terjadi seperti ini,” ujar Thalib.
Jannah mengernyit. Ada yang aneh dari cerita Thalib. “Bagaimana bisa dia menyerangmu tanpa alasan?”
“Dia masih tidak terima aku mendapatkanmu, sayang. Makanya dia ingin menghabisiku dan juga kamu,” kata Thalib.
“Itu tidak mungkin. Dia sendiri yang memberikan bukti perselingkuhan kita, bahkan sampai hak asuh anakku jatuh kepadanya,” kata Jannah.
“M-mungkin saja karena itu. D-dia masih menyimpan dendam kepadaku,” kata Thalib.
Di dalam otak Jannah berputar pertanyaan-pertanyaan tentang kenapa Arief harus membunuhnya? Dulu Arief pernah mengatakan kalau karena dirinyalah Arief berubah, jadinya mustahil kalau Arief sampai ada keinginan untuk membunuhnya. Namun, pikirannya teralihkan dengan keadaan Thalib, sehingga dia lebih fokus untuk bisa segera sampai ke rumah sakit.
Tak berapa lama kemudian sampailah mereka di rumah sakit. Thalib segera masuk ke ruang ICU sementara Jannah berada di ruang tunggu harap-harap cemas. Dia bingung harus menghubungi siapa sekarang. Orang tuanya, mungkin orang tuanya sekarang bisa membantunya. Pasti bisa.
Jannah meraba saku gamisnya. Dia menepok jidat, ponselnya ketinggalan di rumah. Bodohnya aku, pikir dia. Apa dia tinggal sebentar Thalib di rumah sakit? Sepertinya Thalib akan baik-baik saja, tetapi kalau nanti ada apa-apa bagaimana?
Akhirnya, perempuan itu hanya bisa duduk lemas di ruang tunggu. Menanti keadaan Thalib.
Menit berlalu dengan sangat lambat. Hingga kemudian satu jam pun lewat dan lampu ruang operasi sudah dimatikan. Pertanda operasi selesai. Dokter bedah yang mengurus operasi Thalib pun keluar dari kamar operasi.
“Pak Thalib baik-baik saja,” kata dokter bedah tersebut.
“Oh, syukurlah…,” belum sempat Jannah berucap tiba-tiba lampu di rumah sakit padam.
“Wah, kok aneh padam. Tidak biasanya. Apa karena petir?” gumam dokter tersebut. Suasana jadi gelap dan lampu-lampu darurat mulai menyala.
Perasaan Jannah mulai tidak enak. Ini sepertinya bukan sekedar mati lampu biasa. Lorong rumah sakit yang tadinya terang, sekarang benar-benar gelap. Orang-orang pun mulai menyalakan ponsel mereka untuk penerangan. Para pasien panik dan para perawat mulai bertugas untuk menenangkan mereka.
“Semua akan baik-baik saja. Mati listrik ini Cuma kebetulan,” pikir Jannah.
Beruntunglah saat masuk ke rumah sakit tadi Thalib membawa kartu asuransi sehingga seluruh pengobatannya telah di-cover. Jannah pun kemudian membantu mengurus administrasi, setelah itu mendampingi Thalib ke kamarnya. Kamarnya tentu saja VIP.
Tak berapa lama kemudian listrik kembali menyala. Jannah bersyukur sekali. Setidaknya pikiran buruknya tadi sudah hilang.
“Mas, aku akan tunggui mas di sini sampai siuman,” ucap Jannah, lalu mengecup kening Thalib.
Tubuh Thalib terbaring lemah dan sekarang kondisinya sedang tidur. Jannah memperhatikan lengan kanan lelaki itu. Diperban penuh. Sepertinya lukanya cukup dalam. Jannah mendesah. Kalau memang itu perbuatan Arief, maka dia tidak akan memaafkan mantan suaminya itu. Namun, apa yang bisa dia perbuat? Justru selama ini dia bersama Thalib agar ada orang yang mampu melindunginya dan Thalib selama ini telah menjaganya. Sayangnya, Thalib tidak pernah mengira kalau Arief bukanlah lelaki biasa.
Kelelahan, Jannah pun terlelap.
* * *
Bambang Haryo Sasongko, seorang tokoh kader partai yang terkuat di negeri ini. Dia termasuk seorang pengusaha yang disegani, konglomerat yang sangat dikagumi, tetapi juga seorang biadab yang ditakuti. Sudah menjadi rahasia umum kalau bisnis yang dijalankan oleh Bambang bukan saja bisnis legal, tetapi juga ilegal. Tak sedikit dia melakukan tipu-tipu kepada gadis-gadis desa untuk dia iming-imingi kerja dengan gaji puluhan juta, yang ternyata dia jadikan budak prostitusi.
Selama bertahun-tahun dia memanfaatkan Wina dan Thalib sebagai usaha prostitusi mereka. Berkedok agama dengan Thalib mencari bibit-bibit unggul pengumpul rupiah. Bambang orang yang sombong. Dia sama sekali tidak peduli dengan tanggapan orang terhadap dirinya. Hanya suatu waktu saja dia minta dipublikasikan saat berdonasi ataupun saat melakukan kegiatan amal lainnya.
Setiap malam dia minum bersama teman-temannya, sedangkan di siang hari dia seperti seorang pengusaha yang sangat tekun memperhatikan segala jenis usaha yang dia kelola. Aset dan tabungannya ada di mana-mana, bahkan Wina sendiri sangat dimanjakan oleh ayahnya itu.
Malam itu Bambang sedikit berbeda dari biasanya. Dia pulang lebih awal dari bar. Seorang anak buahnya memberitahunya tentang sesuatu.
“Bos, mungkin bos mau mendengarkan kabar dari saya,” ucap anak buahnya.
“Ada apa memangnya?” tanya Bambang.
“Bos tahu orang yang diminta Non Wina untuk ditangkap?”
“Iya, kemarin anak itu minta bantuan buat nangkap orang itu. Sudah berhasil?”
“Sudah, Bos. Cuma masalahnya… orang ini nggak asing,” kata anak buahnya.
Bambang mengernyit, membuat kerutan dahinya makin terlihat jelas. “Apa maksudmu?”
“Bos dulu pernah bilang kan, kalau kita tidak boleh dekat-dekat dengan keluarga Suroso?”
Untuk sesaat raut wajah Bambang berubah. “Jangan bilang kalau orang itu….”
“Iya, Bos. Dia bermarga Suroso,” lanjut anak buahnya.
“Darimana kau tahu?”
“Kami sudah selidiki dan kami sudah pastikan.”
Tangan Bambang menempeleng anak buahnya. “******! Kau tahu siapa Suroso? Kenapa kau tak selidiki dulu? Kau tahu siapa Suroso itu?”
“T-tahu, Bos. Masalahnya Non Wina yang minta, Bos tahu sendiri kan kalau Non Wina sudah minta maka kita harus turuti?”
“Tapi setidaknya kalian lapor dulu ke aku!”
“Kami baru tahu tadi sore, Bos. Setelah target disekap.”
Gusar dengan laporan anak buahnya, Bambang segera pergi dari diskotik tersebut. Jelas tujuannya adalah untuk menemui Wina dan menjelaskan segalanya. Arief adalah orang yang berbahaya. Bambang langsung ke tempar parkirnya dengan dikawal dua anak buahnya, setelah itu masuk ke dalam mobil.
“Langsung ke tempat Wina!” perintah Bambang.
Sang sopir pun segera melajukan kendaraannya. Dalam waktu singkat mereka sudah berada di jalan raya. Bambang duduk di belakang bersama seorang anak buahnya, sedangkan di depan ada sopir dan seorang anak buahnya lagi.
Agaknya, Bambang cukup khawatir kepada putri semata wayangnya, sehingga dia mencoba menelpon putrinya. Sayangnya ponsel Wina tak diangkat. Saat itu Wina lupa membawa ponselnya dan tertinggal di rumahnya.
“Ini tidak boleh terjadi. Apa kalian tahu Suroso itu siapa?” tanya Bambang kepada anak buahnya.
“Iya, Bos,” jawab anak buahnya.
“Suroso itu orang yang berbahaya. Dia itu tukang pukul. Semua pekerjaannya tidak pernah meleset. Dia orang berbahaya, keluarganya juga orang yang berbahaya. Semua bisnisku lancar, hanya karena aku tidak pernah berurusan dengan dia ataupun keluarganya. Dia sangat terkenal dulu di dunia bawah,” jelas Bambang, “pokoknya jangan sentuh dia ataupun keluarganya.”
“Kenapa Bos tidak rekrut dia?” tanya anak buahnya.
“Dia tak butuh uang. Kau tahu kenapa dia tidak butuh uang? Itu karena dia orang yang sinting! Dia hanya menargetkan target-target yang susah. Orang-orang penting, politikus-politikus, orang-orang yang bermasalah, mereka dihabisi hanya dengan harga cepek! Gila bukan? CEPEK! Nyawa manusia yang dia habisi dihargai semurah itu. Pernah dia dibayar dengan uang jutaan tetapi dia bakar semua uangnya...”
“Memangnya ada Bos orang segila itu?” tanya anak buahnya.
“Ada. Makanya aku tak pernah mau berurusan dengan orang seperti itu. Susah diatur. Aku sudah susah payah mengumpulkan kekayaan untuk keluargaku. Aku tidak mau dipusingkan dengan orang seperti dia,” jawab Bambang, “tapi jangan khawatir, aku memang tak suka kerja dengan orang seperti itu, bukan berarti aku takut dengan orangnya. Cuma bikin pusing aja.”
Mobil Bambang terus melaju hingga mereka masuk ke kawasan yang sepi. Bambang merasa aneh dengan rute yang diambil si Sopir. Awalnya dia tidak begitu ngeh hingga tiba-tiba mobil oleng. Mobil menabrak pembatas jalan, setelah itu menghantam pohon. Bambang tak sadarkan diri, hal terakhir yang dia ingat adalah seseorang datang lalu menyeret dia keluar dari mobil.
* * *
Air dingin tiba-tiba mengguyur wajah Bambang. Dia benar-benar kaget dengan apa yang terjadi. Ternyata tubuhnya sedang berbaring di atas tanah dengan tangan dan kaki terikat ke belakang. Dia tidak sendiri. Ada dua anak buahnya yang tadi ikut di dalam mobil. Di depan mereka ada orang-orang yang tidak di kenal dan beberapa mobil dengan lampu depan menyorot ke arah mereka.
Tubuh Bambang ditarik, kemudian dipaksa berlutut. Sebagai orang yang baru saja mengalami kecelakaan tentu saja dia bingung. Kenapa dia bisa sampai di tempat ini?
“Sudah sadar?” tanya suara seseorang.
“Siapa? Dimana aku?” tanya Bambang, “kalian tahu siapa aku? Lepaskan aku! Kalian mau apa? Uang? Aku bisa beri kalian uang berapapun yang kalian mau!”
Orang-orang di tempat itu tertawa. Ucapan Bambang terlihat lucu bagi mereka. Orang yang bertanya di awal tadi kemudian duduk di kursi yang sudah disiapkan oleh anak buahnya. Bambang terus mengoceh dengan ocehan-ocehan seputar imbalan kalau dia bisa dibebaskan. Sayangnya orang yang duduk di kursi tidak menggubrisnya bahkan bersenandung.
“Hei, brengsek! Lepaskan aku! Kalian tidak dengar apa?” kata Bambang.
“Sepertinya mereka tidak menggubris, Bos,” ucap anak buahnya.
“Nggak usah bilang, aku juga tahu,” kata Bambang, “siapa bos kalian, aku ingin bicara!”
Orang yang duduk di kursi berhenti bersenandung, setelah itu dia bicara, “Aku bosnya, tapi urusanku bukan denganmu. Ada orang lain yang ingin berurusan denganmu.”
Seseorang lelaki datang dari belakang mobil. Di tangannya tampak sebilah parang sedang berkilat-kilat terkena pancaran cahaya lampu mobil. Bambang menelan ludah. Siapapun yang melihat senjata itu tentu saja takut.
“T-tunggu dulu! Kita bisa bicara baik-baik! Hei, kita bisa bicara baik-baik! Anjing! Setan kalian! Lepaskan! Lepaskan!” jerit Bambang ketakutan.
Lelaki itu menghampiri Bambang dan anak buahnya. Kemudian tanpa basa-basi menebas leher salah satu anak buahnya. Darah segar seperti air mancur muncrat ke udara, lalu tubuhnya tumbang ke tanah dengan kepala menggelinding.
Bambang menjerit melihat peritiwa itu, apalagi wajah anak buahnya melihatnya dengan mata melotot. Sementara itu anak buahnya yang satu lagi memejamkan mata. Dari raut wajahnya tentu saja dia sangat ketakutan.
“Bos, aku tak mau mati! Bos, aku tak mau mati!” gumamnnya berulang kali.
Laki-laki tadi sudah mengambil ancang-ancang. Dia sentuhkan mata parangnya ke tengkuk anak buahnya Bambang. Sekali lagi dalam satu sabetan kepalanya langsung putus, lalu menggelinding sampai di kaki bos yang sedang duduk. Setelah mengeksekusi dua orang anak buah Bambang, lelaki tadi kemudian berdiri di depan Bambang. Dia menurunkan tubuhnya, membungkuk melihat wajah Bambang dari dekat. Kedua mata mereka saling melotot.
“Kau ini siapa?” tanya Bambang, rupanya tidak ada rasa gentar di wajah pria paruh baya itu.
Lelaki itu pun mulai bersuara, “Kau baca berita akhir-akhir ini?”
Bambang mengernyit. “Apa maksudmu?”
“Berita tentang satu keluarga dihabisi. Tidak hanya satu keluarga, ada empat keluarga, dari istri, anak, bahkan anjingnya pun dihabisi. Mungkin saja kau tak tahu, tetapi aku hanya ingin bilang, kemarin aku baru saja menghabisi Poltak. Kukira kau pasti tahu siapa dia,” ujar lelaki tersebut. Wajahnya pun mulai jelas terlihat oleh Bambang, tetapi dia sama sekali tidak mengenali siapa lelaki itu.
“Poltak? Sebentar? Maksudmu… kau yang membunuhnya?”
“Kau masih ingat Laras?”
“Laras? Laras siapa?”
“Aku ingin tahu, apa yang kau lakukan saat mahasiswa dulu? Pemerkosaan secara bergiliran? Padahal Laras waktu itu sudah meronta untuk minta ampun dan minta dilepaskan. Apa kau masih ingat?”
Bambang menelan ludah. Orang yang ada di hadapannya ini bukan orang biasa. Dia membunuh tanpa segan dan mengaku telah menghabisi satu keluarga. Bahkan, mengaku sebagai orang yang membunuh Poltak sekeluarga.
“Ingat, jangan bohong. Kalau kau bohong, aku akan melakukan hal yang lebih buruk,” ancam lelaki itu, “jujur, sejak aku berada di kursi kemudi tadi, aku sangat ingin sekali menghabisimu.”
Mata Bambang melotot hingga nyaris saja keluar. Dia baru sadari ternyata lelaki yang ada di hadapannya ini adalah sopirnya tadi. Sengaja orang ini menabrakkan mobilnya, sehingga membuat semua orang tidak sadarkan diri.
“Kau, sopir?”
“Mudah sekali menjadi sopir kendaraan pribadimu. Aku cukup pergi ke tempar parkir melihat mobilmu, menyeret pengemudinya keluar lalu menghabisinya. Setelah itu memakai bajunya. Selesai,” ucap lelaki itu, “sekarang, bagaimana? Sudah ingat?”
“Anjing! Kau bukan sopirku. Siapa kau?”
“Dari tadi kau bukannya membicarakan aku?” tanya lelaki itu. Wajah lelaki itu pun makin jelas dan jelas. Dia adalah Arief.
Bambang menelan ludah dengan cukup susah. Orang yang dia bicarakan sejak tadi di dalam mobil ternyat ada di dekatnya. Arief sengaja melakukan kecelakaan dengan menabrakkan mobil. Sebelum tabrakan Arief sudah keluar dari mobil, sehingga mobil melaju kencang menabrak pohon dengan cukup keras. Sementara itu Raden Panji dan anak buahnya mengurus semuanya, membawa dan mengikat Bambang, setelah itu dibawa ke tempat sepi jauh dari keramaian.
Lidah Bambang kelu. Dari tadi dia berbicara ngalor-ngidul, sekarang membisu seperti patung. Parang sudah diletakkan di pundak Bambang. Arief sudah mengambil ancang-ancang.
“Kumohon, jangan bunuh putriku!” pinta Bambang.
“Jadi, sekarang kau ingat?” tanya Arief.
“Iya, aku ingat.”
“Lalu, kenapa kau melakukannya kepada ibuku?”
Terdengar desahan napas Bambang. “Dia.. dia … dia …”
Belum sempat Bambang meneruskannya, Arief sudah menebas leher pria paruh baya itu. Kepalanya pun menggelinding, setelah itu tubuh tanpa kepala tersebut ambruk ke tanah. Wajah Bambang tampak melotot, bibirnya masih bergerak beberapa saat sebelum dia pun pergi ke alam lain.
“Dasar, tanpa ampun,” ucap lelaki yang duduk di kursi, yang tak lain adalah Raden Panji.
Perlahan-lahan, Arief menghampiri kepala Bambang kemudian membawanya. “Terima kasih, Pak de Panji. Matur nuwun, sekarang saya harap kita bisa jadi keluarga lagi.”
Raden Panji terkekeh. “Itu pun kalau kau masih ingin hidup setelah malam ini.”
Arief kemudian pergi meninggalkan tempat itu sambil menenteng kepala Bambang.
* * *
Malam itu Jannah merasa nyaman, seperti ada yang membelainya. Dia sangat merindukan belaian itu. Entah kenapa belaian itu begitu damai, tentram dan nyaman. Bahkan, Jannah pun terbangun dengan badan yang sangat segar. Dia masih menggenggam tangan Thalib, Thalib masih bernapas. Bisa terdengar dengkuran napas orang yang dia cintai itu. Kepalanya menoleh ke arah lain. Di ujung kaki Thalib terlihat bercak darah. Bukan itu saja ada benda lain di sana. Jannah langsung menjerit begitu mengetahui kalau benda itu adalah potongan kepala manusia. Mata kepala itu tampak melotot seperti terkejut saat kepalanya terpisah dari tubuhnya.
Di ujung ruangan lebih tepatnya tepat di pintu ada seseorang yang sedang duduk di sebuah kursi dengan santai. Tentunya maksud dari orang itu duduk di depan pintu agar Jannah tidak bisa lari keluar kamar. Jeritan Jannah tadi membangunkan Thalib. Rupanya bius yang ada di tubuhnya mulai menghilang, sehingga ia sedikit sadar.
Arief duduk dengan tenang, melipat tangannya sambil memperhatikan dua orang yang ada di hadapannya. Thalib terkejut saat melihat potongan kepala ada di ujung kakinya. Buru-buru dia menendang kepala itu hingga jatuh ke lantai.
“B-Bambang!” seru Thalib sambil menunjuk kepala tersebut.
“Iya, Bambang. Orang yang harus bertanggung jawab atas kematian ibuku,” kata Arief, “terima kasih parangnya, cukup berguna untuk menebas tubuh mereka.”
Jannah merinding parah. Kakinya tak bisa digerakkan, bahkan bibirnya pun kelu. Semuanya serasa mengerikan dengan adanya Arief di ruangan ini. Bahkan, saat Arief masuk pun tidak terasa.
“Nyenyak ya tidurnya?” tanya Arief sambil tersenyum.
“Pergi kau, apa yang kau inginkan?” jerit Jannah.
Thalib berusaha memencet tombol agar suster bisa masuk ke ruangannya. Arief menggerak-gerakkan telunjuknya.
“No, no, no, tidak bisa. Alasan listrik mati tadi malam adalah agar aku bisa menghilangkan fungsi tombol itu sehingga tidak ada siapapun yang akan datang masuk ke kamar ini,” ucap Arief.
Thalib menelan ludah, begitu juga Jannah. Kini keduanya dalam ketakutan yang amat sangat. Film-film horror tidak ada yang lebih mengerikan selain apa yang mereka saksikan saat ini.
“Tujuanku ke sini jelas,” ucap Arief sambil mengambil parang yang sedari tadi dia senderkan di pintu. Lalu dia menunjuk ke arah Thalib.
Mengetahui nyawa Thalib terancam, Jannah langsung memasang badan untuk menghalangi Arief. Namun, pria itu tak peduli dia berdiri dan berjalan dengan tenang menuju Thalib.
“Jangan harap kau bisa mendekati dia,” ujar Jannah.
“Minggir! Bagianmu ada sendiri nanti,” kata Arief. Dia langsung mencengkeram lengan Jannah lalu melemparnya. Seumur-umur baru kali ini Jannah diperlakukan sekasar itu oleh Arief.
Pria itu sudah tak bisa lagi dibendung. Keinginannya untuk menghabisi Thalib pun sudah ada di depan mata. Thalib yang masih terpengaruh obat bius, tentu saja serasa lemah untuk bisa menggerakkan badannya, apalagi untuk bergerak. Alhasil sabetan parang mendarat ke tubuhnya. Arief sengaja tidak terlalu kuat menyabetkan parang tersebut, sehingga tidak terlalu dalam lukanya.
Dengan tubuh yang masih lemah, Thalib pun turun dari ranjang. Kini ada luka sabetan parang membujur di pundak dan dadanya. Selang dan Jarum infus yang tadinya terpasang di lengannya pun terlepas. Jannah berusaha menarik lengan Thalib agar bisa berdiri untuk kabur.
“Toloong! Tolooong!” teriak Jannah berharap ada orang yang mendengarnya.
Tubuh Thalib gontai saat diseret oleh jannah. Keduanya bersusah payah untuk menggapai pintu. Akhirnya pintu kamar pun terbuka, lalu keduanya berusaha untuk lari bersama. Arief dengan tenang mengikuti mereka sambil tetap dengan parang terhunus. Orang-orang yang menyaksikan Arief membawa parang tentu saja berteriak histeris. Mereka panik bahkan sebagian mulai menghubungi pihak yang berwajib.
Line telepon oleh Arief diputus, sehingga para karyawan tak mampu menghubungi pihak sekuriti. Arief terus berjalan dengan tenang melewati orang-orang yang berlarian menghindari dirinya. Tatapannya tetap fokus kepada Thalib dan Jannah yang ada di depannya. Mereka melewati lorong-lorong yang mulai ramai dengan orang-orang. Jannah terus berteriak minta tolong, hingga akhirnya beberapa sekuriti datang.
Nahas bagi dua sekuriti yang datang. Saat mereka berusaha untuk menangkap Arief, dengan cekatan Arief mengayunkan parangnya. Lengan sekuriti itu putus, sedangkan yang satunya kepalanya sudah terpisah dari tubuhnya. Orang-orang kian histeris melihat pemandangan tersebut. Sang sekuriti yang lengannya putus, kemudian diberi sabetan lagi hingga tenggorokannya terbelah, lehernya nyaris putus akibat sabetan tersebut.
Untuk sesaat Thalib dan Jannah menyaksikan aksi yang dilakukan oleh Arief tersebut. Mereka makin ngeri dan terus berlari. Arief mulai mempercepat langkahnya. Hingga akhirnya mereka terjatuh, karena bertabrakan dengan orang-orang yang lari ketakutan melihat aksi yang dilakukan oleh Arief.
Arief pun makin mendekati keduanya. Jannah tak bisa lari lagi. Dia pun mengumpulkan kedua tangannya sambil memohon, “Kumohon, jangan! Jangan sakiti kami! Aku tahu hati kamu sakit, tapi bukan begini caranya.”
Mata Arief menatap mata Jannah yang berair. Jannah menangis. Sudah tidak ada cara lagi bagi Jannah sekarang, kecuali memohon belas kasihan mantan suaminya. Nyawanya sedang berada di ujung tanduk.
Tiba-tiba Arief tertawa melihat ketakutan Jannah. Rasanya dia puas melihat mantan istrinya ketakutan sampai menangis seperti itu, mengiba agar tidak disakiti. Rasa yang dulu pernah dia rasakan saat mendapatkan tugas untuk menghabisi orang-orang tertentu. Rasa yang dulu ingin dia lupakan setelah mengenal Jannah.
Tangan Arief diulurkan kepada Jannah. Thalib hanya menyaksikan saja apa yang dilakukan oleh Arief. Arief mengangguk kepada Jannah. Perempuan itu agak ragu menerima uluran tangan mantan suaminya tersebut.
“Kau tahu aku tak akan menyakitimu,” ucap Arief, “kau juga tahu bagaimana aku bertahan untuk bisa lepas dari rasa haus darahku. Apa kau tak menyadarinya? Kaulah yang mengubahku, dari manusia yang haus darah menjadi manusia yang penyayang. Kau juga yang memberikanku kebahagiaan dengan lahirnya Khalil, tetapi kenapa kau malah mengkhianatiku?”
Benak Jannah pun tiba-tiba dipenuhi segala hal yang membuatnya sadar. Dia sekarang merasa segalanya terhubung. Itulah sebabnya dulu Arief bertanya tentang makna kehidupan. Arief ingin lepas dari sifatnya ini. Saat itu juga timbul perasaan bersalah dalam diri Jannah, bahkan saat tangannya menggamit mantan suaminya. Arief mendekap dan mencium bibir mantan istrinya dengan ciuman yang hangat.
Jannah menangis dalam ciuman hangat mantan suaminya. Waktu seakan-akan terhenti saat itu. Hanya beberapa detik saja ciuman itu, tetapi waktu serasa terhenti lama. Saat bibir mereka berpisah, Jannah masih berkaca-kaca. Dia menyesal.
“Maaf… maaf…. Maaf,” ucapnya, “aku tidak tahu… aku mencintaimu… aku mencintaimu…”
“Berhenti! Jangan bergerak!” seru seorang polisi sambil menembakkan pistolnya ke udara, lalu dengan cekatan menodongkan pistol tersebut ke arah Arief.
Jannah yang menyaksikan petugas yang berwajib tersebut kebingungan. Antara melindungi Arief atau melindungi Thalib atau membiarkan saja semua terjadi.
“Duduklah! Aku tak ingin kau terluka,” ucap Arief sambil mendorong Jannah untuk menghindar darinya. Jannah pun tersungkur ke lantai. Bersamaan dengan itu Arief melompat sambil parangnya mengarah ke tubuh Thalib yang masih berada di lantai, karena jatuh tadi. Beberapa polisi yang ada di tempat tersebut menembakkan timah panasnya. Tubuh Arief tertembus beberapa peluru, tapi bersamaan dengan itu parang yang dibawa oleh Arief berhasil membagi kepala Thalib menjadi dua.
Jannah pun histeris menyaksikan hal itu. Tubuh Arief ambruk ke lantai, tetapi dia masih bergerak. Kepalanya menoleh ke arah Jannah.
“Mas Arief…,” Jannah menangis, “Maafin aku… kenapa mas tidak cerita? Kenapa mas tidak pernah cerita yang sebenarnya? Kenapa?”
“Kesalahanmu, bukan …. aku …y-yang …a-akan membalasnya….,” kata-kata terakhir Arief, sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya.
Jannah histeris. Dia kehilangan Arief. Dia merasa kehilangan dan sangat menyesal. Bahkan, sekarang pun dia tidak lagi mempedulikan Thalib yang sudah menjadi mayat dengan kepala terbelah menjadi dua.
* * *
======== sambungan di bawah ====