Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Rapuh -TAMAT

Mantab betul alur ceritanya gak terburu buru

lanjutkan gan
 
Bagian 19



Masa sekarang…


Rasanya sakit dan perih. Arief sama sekali tidak ingat bagaimana dirinya sekarang sudah terikat duduk di sebuah kursi. Mulutnya disekap, kaki dan tangannya terikat ke kursi. Perlahan-lahan matanya terbuka. Tidak asing bau yang dia cium, bau darah. Dia melirik ke bajunya. Darah. Bau darahnya, lalu terasa perasaan nyeri di pelipisnya. Bisa disimpulkan dia dipukul benda keras hingga tak sadarkan diri, kemudian terikat di kursi sekarang ini. Luka bocor di kepalnya pun masih mengeluarkan darah, tetapi sepertinya mulai berhenti keluar.

Berapa lama dia pingsan? Arief tak menghitungnya. Ruangan tempat dia terbangun gelap tanpa cahaya. Satu-satunya cahaya datang dari lubang ventilasi dan rasanya hari sudah gelap, sebab terlihat dari sana ada cahaya remang-remang.

Tenang. Kata-kata itu yang dia bisikkan ke dirinya sendiri. Dia mengatur napas, mencoba untuk berpikir jernih mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi.

Arief pun mulai teringat apa yang dia lakukan hari ini.

Pagi hari sebelum berangkat bekerja, dia sarapan dulu bersama istrinya. Sebenarnya kemarin dia sempat debat bersama istrinya, kenapa Khalil tidak ikut bersama kok malah masih bersama kakeknya. Arief mengatakan belum saatnya, karena dia belum siap.

“Belum siap kenapa, Mas?” tanya Lista.

“Yah, Khalil masih belum bisa menerima keadaan. Dulu kan aku sama ibunya ada satu rumahh, sekarang saat aku sendirian dia sering bertanya-tanya. Ditambah sekarang ada dirimu,” jawab Arief, “sabar ya sayang.”

Lista tak bertanya lagi. Dia agaknya sedikit memahami kondisinya. Padahal dia ingin bisa dekat dengan bocah itu. Arief pun selesai menghabiskan makannya, sampai telepon masuk. Dia minta izin untuk mengangkat.

“Ya, assalaamu’alaikum?” sapa Arief di telepon.

Sebagai istri yang baik, Lista membereskan meja makan. Mencuci piring dan bersih-bersih dapur. Saat suaminya pergi, maka rumah ini akan terasa sepi. Namun, dia bahagia. Rasa-rasanya tidak akan buruk. Terlebih lagi dia merasa haidhnya telat. Apa dia hamil? Tapi kok tidak seperti orang kebanyakan yang mual gitu, ini biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa. Makanya Lista ragu. Sudah seminggu telat.

Di rumah, Lista memakai daster pendek sepaha dengan atasan yang cukup longgar. Hari itu dia tidak memakai BH, dengan alasan bikin gerah kalau harus bekerja di rumah memakai BH. Mana ukurannya sekarang mulai membengkak. Mungkin karena Arief yang gemas sekali meremas-remas payudaranya setiap berhubungan. Bahkan di saat santai nonton tv pun tangan suaminya selalu meremas dan meremas. Rasa-rasanya tak ada puas-puasnya.

“Sayang,” bisik Arief mengejutkannya.

“Ih, mas bikin kaget aja,” gerutu Lista.

“Kok melamun?”

Lista menggelinjang saat dasternya dinaikkan dan tangan Arief sudah meremas buah dadanya. “Mas, nanti telat lho.”

“Sekali aja ya?”

“Mass… nanti telat. Udah berangkat sana.”

Tangan Arief terus meremas dan memilin putting kecil istrinya. Makin lama makin mengeras dan Lista pun mendesah saat Arief memberikan kecupan di lehernya. Istrinya pun pasrah dengan kelakuan suaminya. Pantat Lista sudah merasakan batang keras menonjol di belakang sana. Mereka pun saling berciuman, hingga akhirnya mau tak mau Lista pun pasrah saat dasternya diangkat dan dibuang Arief sekenanya.

Dengan cekatan Lista membantu Arief untuk melepas bajunya. Padahal dia sudah rapi ingin berangkat ke kantor. Dalam hitungan menit mereka hanya memakai celana dalam saja. Arief pun mulai mencaplok susu segar yang menggoda itu.

“Rasanya kamu perlu beli bra baru ya, Sayang?” tanya Arief.

“Gara-gara Mas sih. Tiap hari diremas,” jawab Lista manja.

“Suka disedot atau diremas?”

“Dua-duanya.”

Arief kembali mempermainkan susu itu dengan mulutnya. Lista hanya mendesah kegelian. Arief sangat piawai. Tentu saja, duda beranak satu ini sudah ahli dalam mempermainkan wanita. Tangan Lista pun aktif bergerak merangsang kontol suaminya, hingga membantu melepaskan celana dalam suaminya sampai ke bawah.

Batang perkasa itu sekarang sudah ada di genggaman. Tangan Lista tak mampu menggenggam semua kalau sudah berdiri seperti itu. Keras, perkasa, kuat, dan berurat. Arief juga pun melorotkan celana dalam istrinya, mereka sudah sama-sama telanjang.

“Nggak pernah puas ya, Mas?” tanya Lista.

“Tidak akan.”

“Cepetan, yuk. Ntar mas telat,” kata Lista sambil mengocok batang kontol suaminya.

Arief menggesek-gesekkan jarinya ke belahan memek istrinya. Ah, ternyata Lista sudah terangsang. Memeknya sudah basah. Arief pun membalikkan badan istrinya menungging sambil berpegangan kepada tempat cuci piring. Kontolnya pun bergerak masuk menerobos memek istrinya.

“Mas, ahhhh…!” desah Lista.

“Memekmu enak. Aku selalu ketagihan,” kata Arief.

“Kontol mas juga. Aku jadi ketagihan kontolnya mas.”

“Tiap hari kentu ama kamu enak, Sayang. Bikin aku betah di rumah,” kata Arief.

Lista diam. Sebenarnya, dia sudah izin tidak masuk kantor untuk beberapa hari, tetapi izinnya nambah. Tidak masalah karena Arief yang punya kantor. Bosnya sendiri. Alhasil Lista lebih banyak di rumah melayani suaminya. Apalagi kalau sudah di rumah sendirian rasanya tak ada habisnya Arief menggarap istrinya. Seperti dulu setelah datang dari rumahnya, Lista tak henti-hentinya digarap pagi, siang, ataupun malam.

Kehidupan mereka sangat bahagia. Seks sudah menjadi hal yang membuat Lista ketagihan dan ingin terus-menerus melakukannya bersama suaminya. Segala fantasi Arief dia penuhi. Dia ingin memberikan servis sepenuhnya kepada suaminya, maka dari itu ketika Arief menginginkan dia memakai baju SMA, dia pun menuruti. Bercinta sambil pakai kerudung, dia turuti. Tengah malam bercinta di teras, dia juga turuti. Berbagai fantasi itu membuat Lista merasa tak ingin pisah lama-lama dengan suaminya. Dia sudah mendapatkan segalanya, kekayaan, suami yang baik dan tentu juga seks yang hebat. Tinggal satu yang belum, seorang anak.

“Kita pindah ke depan yuk?” ajak Arief.

Lista mengangguk saja, tetapi Arief tidak melepaskan penisnya. Dia terus mendorong-dorong pantatnya menusuk-nusuk liang senggama istrinya sambil berjalan. Memang aneh keinginan Arief, tetapi Lista menurut saja. Mereka agak kesulitan berjalan dengan cara seperti itu. Kedua tangan Lista dipegang Arief, sambil Lista berjalan dengan pantatnya menempel di selakangan suaminya. Setelah itu Arif mendorongnya ke sofa lalu menindih istrinya dari belakang. Kembali lagi pantat Lista ditumbuk.

Posisi ini memberika Lista kenikmatan yang lain. Posisi ini membuat Lista punya energi daripada saat dia harus main di atas. Arief merasa nikmat karena posisinya sekarang Lista tengkurap dengan pantat sedikit terangkat untuk memudahkan kontolnya menggesek memek istrinya. Meskipun begitu kontol itu bisa masuk dalam sekali dan sensasinya adalah jepitan memeknya makin kuat. Arief menciumi punggung istrinya yang mulus tanpa cacat. Ah, dia makin terangsang karena itu.

“Mass…. Aku mau keluar!” lenguh Lista.

“Bareng sayangku,” kata Arief.

Genjotan Arief makin kuat. Seiring dengan itu Lista pun makin merintih dan menjerit. Lalu puncaknya keduanya pun keluar bersamaan. Arief menghabiskan semua pejunya, baru setelah itu mencabut kontolnya. Arief lalu duduk di pinggir sofa. Tangan Arief mengelus-elus punggung Lista yang mulus.

“Udah, sana berangkat. Mandi dulu tapi,” kata Lista yang kemudian membalikkan badan.

Arief melihat ceceran spermanya mengalir keluar dari memek istrinya. Sungguh tubuh yang sangat indah. Tak akan puas Arief untuk menikmatinya.

Tak perlu berlama-lama, Arief segera mandi lagi untuk kedua kali, setelah itu mencium istrinya sebelum berangkat. Hari itu dia berangkat dengan naik sepeda motor, karena menurutnya hal itu lebih cepat daripada naik mobil seperti biasanya.

Perjalanannya tak ada hambatan, hingga tiba-tiba dari arah yang tidak terduga sebuah mobil menghantam motornya dari samping. Arief langsung terpental hingga berputar beberapa kali di udara sebelum ambruk ke aspal. Untungnya dia memakai helm, sehingga benturan aspal di kepalanya tak membuat cedera. Dari dalam mobil muncul beberapa orang yang segera membawa Arief masuk ke dalam, lalu pergi begitu saja. Orang-orang di jalan yang menyaksikan hal itu pun syok. Bahkan, mereka tak sempat mengetahui plat nomornya karena ditutup.

Sebenarnya di dalam mobil Arief masih setengah sadar, sampai kemudian seseorang menyuntikkan obat bius ke lehernya. Dia pun tak sadarkan diri sampai sekarang berada di atas kursi terikat.

Napas pria ini mulai terakhir, tenang, tidak panik. Dia sudah terlatih dalam kondisi seperti ini. Sejak umur 9 tahun dia sudah disekap di dalam ruang kosong dan sempit. Sejak kecil ayahnya pernah menyiksa dia dengan siksaan yang tidak pernah bisa dibayangkan oleh anak kecil pada umumnya. Semua itu untuk melatih dia dalam kondisi saat ini.

Tak butuh waktu lama hingga terdengar suara langkah kaki dan pintu pun terbuka. Ada beberapa orang yang masuk, tetapi ada dua orang yang sangat dikenal oleh Arief. Thalib dan Wina. Dua orang ini masuk untuk mengamati Arief yang sedang duduk terikat. Arief pura-pura masih pingsan, dia ingin agar orang-orang ini tidak tahu kalau dia sudah sadar.

“Bangunin!” perintah Thalib.

Beberapa orang pun menepuk-nepuk pipi Arief. Sumpalan di mulutnya di lepas. Lampu ruangan pun dinyalakan. Arief pura-pura pusing sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Mereka ternyata berada di ruangan seperti gudang.

“Bangun! Hei, bangun!” ucap anak buah Thalib sambil menampar-nampar pipinya.

Arief mengerang, lalu pura-pura syok. “Apa ini? Siapa kalian? Dimana aku? Kenapa aku terikat?”

“Hei, Arief! Entah siapa nama panjangmu. Tentu kau ingat aku,” kata Thalib.

“Kamu…,” Arief mengerutkan dahi.

“Halah, nggak usah pura-pura. Kau pasti tahu siapa aku,” kata Thalib.

“Oh, ustadz cabul,” kata Arief.

Mendengar kata-kata itu, Thalib langsung memberikan bogem mentah ke wajah Arief. Wina memiringkan kepalanya. Dia seperti pernah melihat Arief, tetapi dia lupa. Arief tidak asing baginya.

“ANJING!” umpat Thalib, “bawa perek itu masuk!”

Beberapa orang kemudian menyeret masuk seorang perempuan yang sangat dikenali oleh Arief. Dia adalah Azizah. Entah bagaimana Azizah bisa tertangkap dalam kondisi cukup mengenaskan. Wajahnya lebam seperti baru saja dihajar. Baju yang dikenakannya pun compang-camping.

“Kau kenal kan ama perek ini? Kau sengaja nyuruh dia untuk mendekatiku? Nggak usah bohong karena dia sudah bicara,” kata Thalib.

Arief mengernyitkan dahi. “Siapa yang kau maksud? Aku tak mengerti.”

Sebuah pukulan kembali melayang, kini menghantam perutnya. Arief menahan sakit.

“Anjing, masih nggak mau ngaku,” kata Thalib dengan sekali lagi memukul Arief di wajah beberapa kali.

Setelah pukulan reda, Arief meludah. Bibirnya robek gara-gara pukulan tadi. “Aku tidak tahu siapa dia. Aku memang benci kepadamu, karena kau selingkuh dengan istriku, tetapi apa hubungannya dengan dia?”

Thalib menghampiri Azizah, setelah itu rambut perempuan itu dijambak, sehingga wajahnya kini diarahkan kepada Arief. “Heh, pelacur! Kamu kenal lelaki ini? Jawab!”

Mata Azizah sediki demi sedikit terbuka. Tentu saja dia terkejut melihat Arief sedang diikat. Namun, demi kesetiaan dan balas budi kepada Arief yang telah menolongnya. Dia pun diam.

“Katakan kalau dia yang nyuruh kamu!” perintah Thalib, “aku sudah menyelidiki latar belakangmu. Suamimu meninggal, lalu kamu diperkosa oleh tetanggamu yang terkena HIV. Setelah itu kau ditolong oleh Arief bukan? Aku sudah tahu, tak perlu kau sembunyikan lagi.”

Azizah menggeleng. Seketika itu Thalib membentur-benturkan wajah Azizah ke lantai berkali-kali, hingga Azizah pingsan lagi. Thalib menatap ke Arief.

“Hentikan! Kau sudah gila? Dia perempuan! Kenapa kau sakiti?” teriak Arief.

“Aku ingin kau berkata jujur. Kalau tidak kau akan aku buat hidup tidak mau, mati pun segan,” ancam Thalib.

Wina mencari tempat duduk, kemudian dia mulai menyalakan rokok. Perempuan itu sekarang memakai kerudung warna abu-abu dengan baju gamis panjang warna senada. Kakinya disilangkan sambil menikmati sebatang rokok yang tadi dia nyalakan. Dia masih mencoba mengingat-ingat Arief, tetapi masih buntu.

“Sudah aku bilang, aku tidak kenal,” kata Arief.

“Oke, mungkin ini akan membuatmu bicara,” kata Thalib, “ambil parang!”

“Ampun baang! Ampun! Emangnya apa salahku? Jangan bunuh aku! Jangan bunuh aku!” kata Arief mengiba.

Thalib sekarang menggenggam parang. Dia memberi aba-aba agar Azizah dipegang sehingga posisinya seperti orang berlutut. Perempuan itu sudah tidak berdaya dan tak tahu apa yang akan menimpanya.

“Kau mau apa? Jangan lakukan itu! Jangan sakiti dia! Kau itu seorang ustadz, ahli agama! Harusnya tahu perbuatanmu bejat!” teriak Arief.

“Ini gara-gara kau tidak bicara. Sebentar lagi aku akan potong susu perempuan ini. Itu juga karena kau tidak mau bicara. Bilang kalau kau menyuruh perempuan ini untuk ngentot denganku. Katakan! Katakan!” perintah Thalib.

Masih dengan wajah panik. Arief terus berkata, “Jangaan! Jangan lakukan itu. Kumohon! Kasihani dia! Kumohon jangan!”

“Satu!”

“Hentikan, bangsat! Hentikan!”

“Dua!” parang yang digenggam Thalib mulai ancang-ancang. “Sekali atau tidak sama sekali.”

“Jangan kau lakukan itu! Atau aku akan memotong tanganmu!” bentak Arief.

“Tiga!” ucap Thalib, sekali dia mengayun payu dara sebelah kanan Aziza pun terpotong begitu saja. Darah mengucur deras dari tubuh Azizah. Azizah pun menggelepar-gelepar. Dia sudah tidak mampu menjerit atau pun berteriak. Rasa sakit yang dirasakan tubuhnya tak pernah terbayangkan.

Arief pun menjerit. Ada perasaan sedih pada jeritannya.

“Dasar keras kepala. Kau sudah menghancurkan hidupku dengan menularkan HIV lewat perempuan ini. Aku akan buat hidupmu lebih menderita,” ucap Thalib.

Untuk beberapa saat Arief menundukkan wajahnya. Thalib tidak sedikit pun berkedip saat memotong payudara Azizah. Artinya lelaki ini pernah melakukan ini sebelumnya. Entah karena sekarang dia sedang emosi—tentu saja—atau sedang ingin bermain-main bersama Arief.

“Baiklah…baiklah, aku mengaku,” ucap Arief, “akulah yang menyuruhnya untuk mendekatimu.”

“Nah, gitu dong! Dari tadi, kek. Sayang sekali dia sampai kehilangan susunya sebelah gara-gara kamu. ******!” umpat Thalib.

“Kau boleh menyiksa aku, tapi tolong selamatkan dia!” pinta Arief.

“Buat apa? Toh, nanti juga dia mati,” ucap Thalib.

“Karena kau sudah menulariku HIV, maka aku ingin melakukan hal yang serupa kepadamu. Wina, mana perempuan itu?” tanya Thalib.

“Mau di sini?” tanya Wina kepada Thalib sambil menyebulkan asap rokoknya.

“Ya iyalah,” jawab Thalib.

“******! Ada orang berdarah-darah gini kok. Dibersihkan dulu apa?” bentak Wina.

Thalib menyuruh anak buahnya untuk membawa Azizah dan potongan payudaranya pergi. Di saat mereka sedang sibuk membersihkan ruangan, Azizah menghampiri Arief. Suara Arief seperti tak asing baginya.

“Suaramu tak asing, pernah ketemu dimana ya?” gumam Wina.

“Pasti di pengajianku, dia kan pernah datang ke pengajianku bersama Jannah,” ucap Thalib di ujung ruangan.

“Diam, Bego! Aku tidak ngajak kamu ngomong!” kata Wina.

Thalib memutar matanya, lalu kembali memperhatikan anak buahnya yang sedang mengepel lantai yang penuh darah. Sementara itu Wina mendekat dan memperhatikan wajah Arief. Hingga kemudian, dia teringat kepada sesuatu.

“Tidak mungkin!” gumam Wina.

Arief tersenyum lebar. Tidak ada raut penyesalan di wajahnya. Tidak ada raut ketakutan, melainkan perasaan senang.

“Apa kabar, Wina? Aku Mister Black,” bisik Arief.

Wina terkejut bukan main. Semuanya jelas sekarang, memorinya kembali kepada bagaimana hebatnya Mister Black memperkosa dirinya sampai dia ketagihan. Dia juga mengingat bagaimana kontol pria itu mengobok-obok vaginanya sampai dia orgasme berkali-kali. Tidak mungkin. Arief adalah lelaki itu. Dia sangat merindukannya.

“Kalian keluar!” perintah Wina.

“Apa?” tanya Thalib.

“Keluar! Keluar kataku! Cepat!” perintah Wina sekali lagi.

“Mau apa kau?”

“Mau ngentot!” kata Wina.

“Anjing, dasar perek! Dia bagianku!”

“Heh! Siapa yang bantu dia sampai kita bawa ke sini? Siapa yang bantu nangkap Azizah? Setidaknya aku boleh dong ngentotin dia,” kata Wina.

“Brengsek,” Thalib mendesah. Dia tidak senang, tetapi dia sudah tahu tabiat Wina. Keinginannya tak bisa ditolak. “Asal jangan kau lepaskan dia. Jangan pula buat dia loyo. Dia harus ngentot ama perempuan yang kena HIV yang sudah kita siapkan.”

“Sudah pergi sana. Jaga di luar. Aku mau kentu!” bentak Wina.

Thalib dan anak buahnya saling berpandangan. Mereka tentu saja tidak berani kepada Wina. Mengingat ayah Wina sangat berkuasa, bahkan gaji tukang pukul itu digaji oleh ayahnya Wina. Terkadang aja sebagian tukang pukul itu beruntung bisa kentu ama Wina, tetapi itu pun mereka lebih kepada tersiksa, karena Wina benar-benar tidak puas dengan orang yang permainan ranjangnya tidak bagus.

Setelah pintu ditutup, tanpa ragu lagi Wina menciumi Arief. Mereka berpagutan panas dan bergairah. Wina tak peduli dengan darah yang ada di bibir Arief, dia hisap semuanya campuran ludah dan darah itu. Dia telan. Kedua tangan Wina merangkul leher Arief dan dia naik ke pangkuan lelaki itu.

“Kau ternyata pria itu. Ah… brengsek, tahu gini aku nggak mau nangkep kamu. Mhhffm…. Slurrp… anjiing, tahu nggak aku kangen kamu. Enak aja… mfhhmm….setelah kentu aku dibiarin nunggu sebulan…hhmmm…,” racau Wina sambil memagut Arief.

Dari gamisnya sudah terasa kalau Wina ini tak memakai pakaian dalam. Puting susunya sudah mengeras dan nyeplak di pakaiannya. Saking rindunya kepada Arief, Wina pun memeluk pria ini erat-erat seolah-olah tak ingin dilepaskannya lagi.

Perempuan itu menatap Arief dengan tatapan sayu dan tentu saja sange. Dia menggigit bibir bawahnya, sambil mengamati wajah Arief. Kalau saja dia tahu Arief adalah lelaki itu, tentunya dia tidak akan mau, tapi sudah terlanjur.

“Kau mau aku puaskan?” tanya Arief.

Wina mengangguk.

“Lepaskan aku!” pinta Arief.

Tanpa disuruh kedua kali, Wina beranjak dari pangkuan Arief, lalu melepaskan ikatan Arief. Badan Arief sedikit sakit akibat kecelakaan kini serasa plong setelah ikatannya terlepas. Sebenarnya, bisa saja Arief saat itu lari dan meninggalkan Wina, tetapi itu bukan rencananya. Setelah ikatannya terlepas, Arief menggeret Wina untuk berhadapan dengannya. Keduanya saling berhadapan tanpa berkedip, hanya deru napas mereka yang saling memburu. Terutama Wina, saat tangan Arief mulai dengan lembut menyentuh lengannya, menaikkan gamis yang dia pakai.

Wina memejamkan mata, meresapi sentuhan pria itu. Dia yakin lelaki yang ada di hadapannya ini adalah Mister Black. Tubuh Wina bagian atas pun terekspos, kerudungnya pun ikut terlepas saat gamisnya ditarik ke atas. Wajah perempuan ini cantik sebenarnya, kulitnya juga mulus, tapi kelakuannya brengsek. Tangan Arief mulai meremas payudara Wina dengan kasar. Wina pun mendesah. Wina juga tak ingin ketinggalan, dia melepaskan kancing baju Arief satu per satu, melemparkan kemejanya yang penuh darah, menarik ikat pingganngnya, menurunkan celana Arief dengan kakinya. Dia didorong Arief hingga menempel di salah satu meja yang terletak di ruangan itu. Ternyata ada meja bilyard yang tidak terpakai dan Wina diangkat untuk duduk di atas meja tersebut.

Dengan rakusnya Arief mencaplok pentil susu Wina. Wina pun menggelinjang. Lidah Arief bermain di sana memberikan rangsangan-rangsangan hebat. Wina menopang tubuhnya dengan satu tangan sedangkan tangan yang satunya melingkar di leher Arief.

“Aahh…. Ehhmm…. Ehhmm… enaak…. Ahhh… geli.. terus….!! Teruss…!!” lenguh Wina.

Langkah selanjutnya, Arief menarik celana dalam Wina hingga terlepas. Lalu dia juga menurunkan celana dalamnya hingga telanjang. Mata Wina menatap nanar batang kontol yang dulu membuatnya tak berdaya. Tubuh Wina lemas lalu berlutut di hadapan pria ini, bibirnya langsung menciumi kepala kontol Arief yang sudah berkedut-kedut karena tahu mangsanya. Wina mengecup lubang kencingnya.

“Hai, kita ketemu lagi. Ah,... kamu kangen aku nggak?” tanya Wina kepada kontolnya Arief. Kontol Arief menangguk-angguk. Wina pun terkekeh. “Ih.. nakal, aku makan nih. Hap!”

Mulut Wina pun menyedot dan mengocok kepala kontol itu. Lidahnya menari-nari memberikan kenikmatan kepada Arief. Arief makin belingsatan, dia tak mempedulikan kalau Thalib dan anak buahnya berjaga di luar. Sebab, Arief tahu kalau bos besar yang membuat Thalib tunduk adalah Wina dan dia berhasil menundukkannya. Arief mulai mengasari Wina dengan mendorong-dorong pinggulnya cepat sekali sampai mentok, lalu ditahan. Mata Wina berkaca-kaca, lalu Arief cabut kontolnya.

“Pwaaahh….!” Wina lega sekali, karena dia bisa bernapas. Lendir panjang tampak membentuk jembatan kecil di bibir dan ujung kontol Arief.

“Enak ya?” tanya Arief.

Arief kemudian memasukkannya lagi, kali ini menyamping, membuat pipi Wina seperti tersumpal sesuatu. Arief terus mendorong-dorong, hingga seluruh bagian mulut Wina tak ada yang tak terkena daging keras itu.

Tangan Arief menjambak rambut Wina, kali ini diseretnya perempuan itu untuk berbaring di atas meja bilyard. Dibukalah paha mulus perempuan cabul ini. Setelah itu pembalasan dilakukan oleh Arief. Wina pun mengerang tatkala mulut Arief mengoral memeknya.

“Anjjiiiingg…. Enak… bangsaaaaattt!!” jerit Wina.

Thalib yang mendengar dari luar pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Tololnya, dia dan anak buahnya pun duduk di luar sambil merokok tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam ruangan tersebut. Arief mengelamuti bibir vaagina Wina hingga tak ada yang luput, dari klitorisnya, bibr vaginanya, hingga ke rongga dalam vaginanya pun tak luput dari serangan lidah Arief. Dan terjadilah Wina squirt. Beberapa kali dia squirt hingga menyemprot ke wajah Arief.

“Dasar perek, wajahku sampai basah,” kata Arief.

“Aahh… haha….enak…. lagi dong… belum puas aku,” kata Wina.

“Tenang, aku bikin kamu pingsan hari ini,” kata Arief.

“Iya, bikin aku pingsan… ayo!” tantang Wina.

Jempol Arief menggelitik klitorisnya, membuat Wina menaikkan pantatnya. Besamaan dengan itu Arief menarik pinggul perempuan itu, lalu menempatkan kontolnya masuk ke dalam memek Wina.

“Aaahhhh!” keduanya melenguh bersamaan.

“Anjiiingg… enak banget!” seru Wina.

Dengan penuh tenaga Arief pun menghantam-hantam selakangan Wina. Suara becek dan benturan selakangan memberikan alunan nada erotis yang membuat Wina menggeliat seperti cacing kepanasan. Dia pasrah dan hanya menjerit-jerit saja saat kontol Arief mengoyak memeknya.

“Sini! Jangan tiduran saja. Enak banget tiduran doang!” ucap Arief. Dia menarik kedua tangan Wina, lalu menggendongnya. Wina bergelantungan seperti monyet dengan memeknya terus dibor oleh Arief dengan kecepatan tinggi. Entah bagaimana pemuda ini mampu melakukan gerakan seperti itu. Pantat Wina juga sampai diremas-remas dengan gemas, membuat perempuan itu tak bisa menahan diri dari gejolak gelombang orgasme untuk yang kedua kali.

“Asssuuu… enak ….jyancuk…metu aku… aahhhhh!” erang Wina. Arief menghentikan goyangannya, Wina berkejat-kejat dengan mata memutih sambil kepala mendongak. Perempuan itu begitu erat memeluk Arief, seakan tak ingin lepas.

Sayangnya, Arief menurunkannya. Kaki Wina masih lemas, dia nyaris ambruk, tetapi Arief segera menangkapnya, lalu menelungkupkannya di atas meja bilyard dengan kaki menjuntai ke bawah. Tubuh Wina yang masih lemas tak diberi kesempatan untuk menarik napas, Arief segera memasukkan kontolnya ke memek Wina.

“Aaahh!” Kepala Wina terangkat, demikian juga bokongnya. “Ampuuunn! Sebentar….ngilu… ngiluu!!”

Arief tak mempedulikannya dan terus mengebor. Bahkan beberapa kali Arief memukul pantat bahenol Wina hingga memberikan bekas kemerahan pada bagian tubuhnya itu. Walaupun Arief sangat kasar, Wina begitu menyukainya. Sudah lama dia tidak merasakan seks seperti ini.

Tubuh Arief kemudian mencoba menindih Wina. Dia masukkan kedua tangannya ke toket Wina yang montok itu. Wina memberi jalan kedua tangan Arief agar bisa menggerayangi toketnya, setelah itu Arief meremas toket itu kuat-kuat membuat Wina belingsatan tak karuan. Kepalanya menoleh kiri dan kanan. Seluruh titik-titik rangsangannya seperti bereaksi semua. Ini gila!! Katanya dalam hati.

Belum cukup dengan itu, Arief menjambaknya, lalu mencekiknya dari belakang. Tenggorokan Wina serasa tercekik dan ia susah bernapas. Namun, rasanya dia malah menyukainya. Bahkan pantatnya ikut memutar seperti mengulek kontol Arief.

Tak kuasa Wina pun mencapai puncaknya lagi untuk ketiga kalinya. “Bangssaatt…. Akkuu keluar… lagiii….aaahhh!!!” jeritnya.

Arief menghentikan goyangannya dan membiarkan Wina menikmati orgasmenya. Tubuh Wina pun dilepaskan, lunglai di atas meja bilyard. Pria itu lantas membalikkan tubuh Wina, menangkat kedua paha perempuan itu. Kedua tangan Wina terangkat ke atas memperlihatkan ketiaknya yang mulus tanpa bulu. Sungguh kalau Wina adalah perempuan baik-baik, akan banyak yang suka kepadanya. Arief saja sampai ngaceng dibuatnya, benar-benar gambaran tubuh ideal yang sempurna dengan bodi gitar spanyol.

“Aakkhhh!” lenguh Arief dan Wina saat kedua kelamin mereka bertemu lagi.

Kali ini Arief ikut naik ke atas meja bilyard. Dia menindih Wina. Tak seperti tadi yang brutal, kali ini dia melakukannya pelan sambil melihat wajah Wina. Melihat wajah Arief yang menatapnya, Wina jadi salting. Dia bingung. Jantungnya berdegup kencang.

“Enak aku entot?” tanya Arief.

Wina tak mampu bicara lagi, hanya mengangguk. Dia sudah ngentot dengan banyak lelaki, tapi baru kali ini dia merasa ada yang aneh. Arief mengelus dahi perempuan ini, menyingkirkan rambut yang menutupinya.

“Kau sudah tak punya tenaga lagi?” tanya Arief.

Wina hanya mengangguk.

“Setelah ini tidurlah. Aku akan mengurus Thalib,” ucap Arief.

“Mister… kayaknya aku jatuh cinta ama Mister,” kata Wina lirih.

Arief terus menaik turunkan pinggulnya dengan pelan dan penuh penghayatan. Dada Wina jadi berdesir, ia ingin terus di posisi ini. Tak mau melepaskan Arief, walaupun sebentar lagi keduanya akan sampai ke puncak. Kontol Arief sudah makin mengeras dan terus berkedut-kedut, memeknya juga sudah ngilu.

Kedua bibir mereka bertemu. Wina sudah tak kuasa lagi membalas ciuman itu, dia membiarkan lidah Arief mengobok-obok mulutnya, mengisap lidahnya dan membiarkan wajahnya dikecupi. Bibir Arief berpindah ke leher, memberikan cupangan di sana, ke payudara juga memberikan cupangan di sana, terakhir ke ketiak memberikan sensasi geli kepada Wina, yang membuat memeknya berkedut-kedut lagi.

Perlahan tapi pasti tempo genjotan Arief mulai dipercepat. Wina seperti punya tenaga lagi, kali ini mengunci kakinya di pinggang pria tersebut. Keduanya tahu ini saatnya untuk mengakhiri perkentuan ini, walaupun Wina tak ingin. Namun, dia juga punya energi yang sudah dia habiskan selama bermenit-menit digarap oleh Arief dengan gaya kasarnya.

“Aku keluar, terima pejuku,” bisik Arief di telinga Wina, “besarkan anakku.”

“Iya, Mister. Aku terima,…ahh…ahh….aku juga….eehhhmmmppp!!!” lenguh Wina.

Keduanya mencapai puncak bersama. Arief pastikan spermanya memasuki rahim perempuan ini. Entah bisa menjadi anak atau tidak. Toh selama ini juga dia jarang pakai pengaman. Wina baru ingat kapan hari dia baru saja bersih dari haidh.

Wina dan Arief berpelukan erat dengan kedua pantat mereka saling menekan satu sama lain. Seolah-olah kedua kelamin mereka tak ingin dipisahkan. Wina pun lemas dan terlelap, karena kehabisan tenaga. Arief mencabut kontolnya yang mulai lemas. Sperma yang keluar dari celah memek perempuan itu cukup banyak hingga mengalir di atas meja bilyard.

Arief tersenyum memperhatikan Wina.

“Wina, seharusnya kau mati hari ini. Tetapi aku memaafkanmu karena telah mengandung benih anakku. Sayangnya, papamu tidak selamat hari ini,” ujar Arief.

Wina sudah tak tahu apa-apa lagi. Bahkan, kata-kata Arief tadi sudah tak bisa dia dengar. Pulas dalam kenikmatan, itulah yang dirasakan oleh Wina saat ini. Arief mengambil pakaian Wina, kemudian menutupi tubuh perempuan itu. Sedangkan, dia mengenakan lagi pakainnya.

Sekarang, apa yang harus dia lakukan? Keluar dari ruangan ini. Tentunya sangat mudah. Dia hanya perlu melumpuhkan orang-orang yang ada di luar sana.

Arief mengambil tongkat bilyard yang ada di sudut ruangan gudang. Dia patahkan tongkat tersebut hingga keduanya ada sisi yang runcing. Matanya mengamati keadaan sekitar dan otaknya berpikir dengan sangat cepat berbagai probabilitas yang akan dia lakukan untuk bisa keluar dari tempat ini. Tujuannya jelas untuk menghabisi mereka, termasuk Thalib. Namun, bukan Arief namanya kalau tidak menyiksa Thalib terlebih dahulu.

Dalam pikirannya sekarang dia berencana akan memadamkan lampu. Hal ini akan membuat orang-orang yang ada di luar masuk, lalu Arief akan melumpuhkan mereka satu per satu menyerang titik-titik vital mereka dengan patahan tongkat bilyard. Berapapun jumlahnya tidak masalah, gudang ini punya banyak sekali peralatan yang bisa digunakan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Bagaimana dengan parang? Parangnya hanya satu, Arief bisa melumpuhkan si pemegang parang kalau hanya satu orang yang membawa senjata itu.

Setelah dirasa perhitungannya tepat, dia pun menghancurkan lampu ruangan itu dengan tongkat bilyard. Suara ledakan lampu membuat orang-orang yang berada di luar terkejut. Mereka pun masuk tanpa bisa melihat apapun. Tahu-tahu, nyawa mereka melayang begitu saja.

* * *

===== sambungan di bawah =====
 
Bagian 20



Thalib hanya bisa mendengar jeritan-jeritan di dalam ruangan gelap tersebut. Dia kebingungan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang terjadi dengan anak buahnya? Lalu apa yang terjadi dengan Wina?

“Hei, apa yang terjadi? Apa yang terjadi?” tanya Thalib.

Setelah suara jeritan-jeritan mereda, Thalib kebingungan. Dia mengambil parang yang tadi dia gunakan untuk menebas payudara Azizah. Darah segar Azizah masih ada di parang itu, tetapi yang terjadi berikutnya sungguh di luar dugaan. Arief tiba-tiba muncul dari kegelapan, menyergapnya, lalu menancapkan tongkat bilyard ke lengannya yang membawa parang.

“Aaaaaaarrgghhh!! ANJING!” jerit Thalib.

Parang jatuh dari genggamannya. Arief tersenyum melihatnya. Dalam kegelapan malam wajah Arief yang terkena biasan cahaya dari lampu yang ada dari kejauhan terlihat mengerikan. Wajah tanpa perasaan, tanpa dosa, menyeringai kepadanya.

Ustadz kondang itu pun gemetar menyaksikan perubahan raut wajah pada diri Arief. Ini bukan wajah manusia, tetapi wajah iblis. Bagaimana seorang Arief yang dia kira bisa diperdaya dan lugu sekarang seperti sekarang ini. Apa dia salah perhitungan? Apa yang diucapkan Jannah dulu benar kalau mantan suaminya sedikit gila? Apakah gilanya seperti ini?

“Thalib, aku ingin bercerita kepadamu tentang sesuatu. Dengarkan baik-baik!” ucap Arief sambil perlahan-lahan mengambil parang yang terjatuh tadi.

Thalib hanya bisa menahan sakit sambil bersiaga. Lari pun juga percuma, karena jaraknya dengan Arief sangat dekat dan posisi dia sekarang sedang berlutut karena menahan sakit dari kayu tongkat bilyard yang saat ini menembus lengannya.

“Dulu ada seorang anak kecil. Hidup di dalam keluarga yang sangat bahagia. Ayahnya seorang bangsawan, tetapi terusir karena lebih memilih menjadi rakyat jelata dan hidup di antara para preman. Sejak muda menjadi tukang pukul dan hidup dengan hal itu. Hingga suatu ketika hidupnya berubah setelah mengenal seorang perempuan yang bisa meluluhkan hatinya. Membuat dia hidup sederhana dan bahagia bersama. Sampai akhirnya mereka memiliki anak, yaitu aku.

“Bapak dan ibuku hidup bahagia hingga akhirnya secara mengejutkan ibuku bunuh diri. Awalnya bapakku menceritakan kalau ibuku meninggal karena penyakit, tetapi fakta tak bisa ditutupi, bahwa ibuku bunuh diri. Sayangnya, bapak yang sudah berjanji untuk tidak lagi membunuh tidak mungkin untuk membalaskan dendam, tetapi dia merasa mendapatkan angin segar saat aku punya karunia yang tidak dimiliki oleh anak-anak lain pada umumnya. Aku bisa menaklukkan orang lain dengan cara menyentuh mereka. Dengan bakat itulah aku membantu bapakku untuk menjadi tukang pukul dan aku menghilangkan nyawa sejak aku masih usia 10 tahun.

“Tujuan bapakku mengajakku untuk menjadi seorang pembunuh adalah agar aku tidak punya belas kasihan saat harus membalaskan dendamnya kepada orang yang telah menyakiti ibuku. Aku membaca surat bunuh diri yang ditulis oleh ibuku. Di sana jelas tertulis siapa nama-nama orang-orang yang bertanggung jawab atas kematian ibuku, salah satunya adalah orang tua Wina. Sebenarnya, Jannah adalah perempuan yang mampu menghentikanku dari misi ini. Dialah cahaya penerangku yang mampu menerangiku dari kegelapan. Sayangnya, kau telah merebut cahaya itu. Kau telah membangunkan iblis dari dalam diriku yang ingin aku kubur sejak lama.”

Thalib terbelalak. Matanya melotot tak percaya dengan penjelasan Arief. Namun, apa yang dilakukan Arief masuk akal jika semua penjelasan yang dikatakan Arief adalah benar, maka Thalib sudah salah memilih musuh.

“Kau bermain di belakang bersama istriku. Kau kira aku tidak tahu? Kau menghancurkan diriku, menghabiskan seluruh hartaku. Kau kira aku tidak tahu? Saat pengadilan mengetuk palu perceraian, maka saat itulah aku bertekad untuk membuatmu menderita seumur hidup. Kalau toh aku mati sekarang, setidaknya kau akan menderita dengan virus HIV yang telah tertular kepadamu,” ujar Arief, “ah… Thalib…. Thalib. Kenapa kau tidak menyelidiki siapa aku terlebih dulu? Bukankah kau punya Wina? Bahkan, Wina sekarang telah terkapar tak berdaya. Oh iya, kau kira aku takut dengan Bambang? Justru aku akan menghabisi Bambang sebentar lagi. Aku akan beri saran kepadamu, pergi temui Jannah. Larilah yang jauh, aku akan mengejarmu.”

Mendengar kata-kata Arief, Thalib makin merinding. Apalagi Arief memutar-mutar parang yang ada di tangannya. Arief seperti sudah siap untuk menebas apapun yang ada di hadapannya. Perlahan-lahan Thalib berdiri.

“K-kau sinting!” umpat Thalib.

“Sinting? Kita itu sebelas dua belas. Kau ustadz cabul yang sudah menodai banyak wanita, sedangkan aku hanya seorang psikopat yang gagal tobat,” kata Arief.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Thalib berlari meninggalkan Arief. Tujuannya jelas, menyelamatkan Jannah dari ancaman Arief. Sebab, ancaman pria ini tidak main-main.

***​

Rupanya langit ikut marah malam itu. Beberapa puluh menit setelah Thalib menyetir mobil sambil menahan sakit di lengannya, dia harus melawan hujan badai yang nyaris membuat dia tak bisa melihat jalanan.

“Brengsek! Brengsek! Kenapa? Kenapa semuanya kacau? Wina mati. Jannah. Jannah, semoga kamu selamat,” gumam Thalib selama perjalanan.

Petir menyambar-nyambar di langit. Suara guntur menggelegar memecah keheningan. Angin pun bertiup kencang membuat pepohonan bergoyang-goyang karenanya. Suara rintik hujan yang mengantam mobil Thalib serasa seperti lemparan jumroh jama’ah haji. “Seharusnya tidak begini, seharusnya tidak begini,” berkali-kali Thalib bergumam hingga mobilnya sampai di pekarangan rumah Jannah.

Dengan susah payah, Thalib segera keluar dari mobilnya menuju ke rumah Jannah. “Jannah! Jannah!” panggil Thalib.

Jannah yang ada di dalam rumah tentu saja terkejut. Dia segera keluar rumah dan mendapati luka berdarah-darah di tangan selingkuhannya itu.

“Ya ampun, Mas? Apa yang terjadi?” tanya Jannah.

“Kita harus pergi,” ucap Thalib.

“Pergi? Pergi kemana? Apa yang sebenarnya terjadi? Tangan mas harus diobati dulu!” kata Jannah.

“Tak ada waktu! Kita harus pergi!”

“Tapi kenapa? Aku perlu alasannya.”

“Arief! Arief mau membunuhmu! Arief mau membunuh kita!”

Mendengar perkataan Thalib, bulu kuduk Jannah meremang. Dia tak pernah menyangka hari ini pun datang. Melihat keadaan Thalib berdarah-darah seperti sekarang, membuatnya yakin, kalau mantan suaminya memang sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja.

“Tapi kita harus ke rumah sakit dulu. Luka ini harus disembuhkan!” ucap Jannah, “biarkan aku yang nyetir!”

Jannah merebut kunci mobil dari tangan Thalib, lalu keduanya masuk ke dalam mobil, tetapi kali ini dengan Jannah yang mengemudikannya.

Cuaca benar-benar tak bersahabat, tapi perjalanan mereka ke rumah sakit tidaklah benar-benar ada hambatan selain angin yang kencang. Beruntung mobil yang mereka naiki bertenaga besar, sehingga ketika angin kencang berhembus tidak mudah goyah.

“Ceritakan apa yang terjadi, Mas!” desak Jannah.

Thalib hendak menceritakan semua kejadian yang barusan dia alami, tetapi dia tak bisa. Jannah malah akan semakin marah kepadanya. Apalagi menceritakan kalau saat ini dia tertular virus HIV dari Azizah. Jannah akan lebih marah lagi. Saat ini yang terpenting adalah mereka harus selamat dari kejaran Arief.

“Panjang ceritanya. Yang penting, mantan suamimu itu jadi gila. Sampai-sampai dia mendatangiku dan aku nyaris kehilangan nyawa kalau tidak bertindak cepat. Aku menangkis serangan dia dengan tanganku sehingga terjadi seperti ini,” ujar Thalib.

Jannah mengernyit. Ada yang aneh dari cerita Thalib. “Bagaimana bisa dia menyerangmu tanpa alasan?”

“Dia masih tidak terima aku mendapatkanmu, sayang. Makanya dia ingin menghabisiku dan juga kamu,” kata Thalib.

“Itu tidak mungkin. Dia sendiri yang memberikan bukti perselingkuhan kita, bahkan sampai hak asuh anakku jatuh kepadanya,” kata Jannah.

“M-mungkin saja karena itu. D-dia masih menyimpan dendam kepadaku,” kata Thalib.

Di dalam otak Jannah berputar pertanyaan-pertanyaan tentang kenapa Arief harus membunuhnya? Dulu Arief pernah mengatakan kalau karena dirinyalah Arief berubah, jadinya mustahil kalau Arief sampai ada keinginan untuk membunuhnya. Namun, pikirannya teralihkan dengan keadaan Thalib, sehingga dia lebih fokus untuk bisa segera sampai ke rumah sakit.

Tak berapa lama kemudian sampailah mereka di rumah sakit. Thalib segera masuk ke ruang ICU sementara Jannah berada di ruang tunggu harap-harap cemas. Dia bingung harus menghubungi siapa sekarang. Orang tuanya, mungkin orang tuanya sekarang bisa membantunya. Pasti bisa.

Jannah meraba saku gamisnya. Dia menepok jidat, ponselnya ketinggalan di rumah. Bodohnya aku, pikir dia. Apa dia tinggal sebentar Thalib di rumah sakit? Sepertinya Thalib akan baik-baik saja, tetapi kalau nanti ada apa-apa bagaimana?

Akhirnya, perempuan itu hanya bisa duduk lemas di ruang tunggu. Menanti keadaan Thalib.

Menit berlalu dengan sangat lambat. Hingga kemudian satu jam pun lewat dan lampu ruang operasi sudah dimatikan. Pertanda operasi selesai. Dokter bedah yang mengurus operasi Thalib pun keluar dari kamar operasi.

“Pak Thalib baik-baik saja,” kata dokter bedah tersebut.

“Oh, syukurlah…,” belum sempat Jannah berucap tiba-tiba lampu di rumah sakit padam.

“Wah, kok aneh padam. Tidak biasanya. Apa karena petir?” gumam dokter tersebut. Suasana jadi gelap dan lampu-lampu darurat mulai menyala.

Perasaan Jannah mulai tidak enak. Ini sepertinya bukan sekedar mati lampu biasa. Lorong rumah sakit yang tadinya terang, sekarang benar-benar gelap. Orang-orang pun mulai menyalakan ponsel mereka untuk penerangan. Para pasien panik dan para perawat mulai bertugas untuk menenangkan mereka.

“Semua akan baik-baik saja. Mati listrik ini Cuma kebetulan,” pikir Jannah.

Beruntunglah saat masuk ke rumah sakit tadi Thalib membawa kartu asuransi sehingga seluruh pengobatannya telah di-cover. Jannah pun kemudian membantu mengurus administrasi, setelah itu mendampingi Thalib ke kamarnya. Kamarnya tentu saja VIP.

Tak berapa lama kemudian listrik kembali menyala. Jannah bersyukur sekali. Setidaknya pikiran buruknya tadi sudah hilang.

“Mas, aku akan tunggui mas di sini sampai siuman,” ucap Jannah, lalu mengecup kening Thalib.

Tubuh Thalib terbaring lemah dan sekarang kondisinya sedang tidur. Jannah memperhatikan lengan kanan lelaki itu. Diperban penuh. Sepertinya lukanya cukup dalam. Jannah mendesah. Kalau memang itu perbuatan Arief, maka dia tidak akan memaafkan mantan suaminya itu. Namun, apa yang bisa dia perbuat? Justru selama ini dia bersama Thalib agar ada orang yang mampu melindunginya dan Thalib selama ini telah menjaganya. Sayangnya, Thalib tidak pernah mengira kalau Arief bukanlah lelaki biasa.

Kelelahan, Jannah pun terlelap.

* * *​

Bambang Haryo Sasongko, seorang tokoh kader partai yang terkuat di negeri ini. Dia termasuk seorang pengusaha yang disegani, konglomerat yang sangat dikagumi, tetapi juga seorang biadab yang ditakuti. Sudah menjadi rahasia umum kalau bisnis yang dijalankan oleh Bambang bukan saja bisnis legal, tetapi juga ilegal. Tak sedikit dia melakukan tipu-tipu kepada gadis-gadis desa untuk dia iming-imingi kerja dengan gaji puluhan juta, yang ternyata dia jadikan budak prostitusi.

Selama bertahun-tahun dia memanfaatkan Wina dan Thalib sebagai usaha prostitusi mereka. Berkedok agama dengan Thalib mencari bibit-bibit unggul pengumpul rupiah. Bambang orang yang sombong. Dia sama sekali tidak peduli dengan tanggapan orang terhadap dirinya. Hanya suatu waktu saja dia minta dipublikasikan saat berdonasi ataupun saat melakukan kegiatan amal lainnya.

Setiap malam dia minum bersama teman-temannya, sedangkan di siang hari dia seperti seorang pengusaha yang sangat tekun memperhatikan segala jenis usaha yang dia kelola. Aset dan tabungannya ada di mana-mana, bahkan Wina sendiri sangat dimanjakan oleh ayahnya itu.

Malam itu Bambang sedikit berbeda dari biasanya. Dia pulang lebih awal dari bar. Seorang anak buahnya memberitahunya tentang sesuatu.

“Bos, mungkin bos mau mendengarkan kabar dari saya,” ucap anak buahnya.

“Ada apa memangnya?” tanya Bambang.

“Bos tahu orang yang diminta Non Wina untuk ditangkap?”

“Iya, kemarin anak itu minta bantuan buat nangkap orang itu. Sudah berhasil?”

“Sudah, Bos. Cuma masalahnya… orang ini nggak asing,” kata anak buahnya.

Bambang mengernyit, membuat kerutan dahinya makin terlihat jelas. “Apa maksudmu?”

“Bos dulu pernah bilang kan, kalau kita tidak boleh dekat-dekat dengan keluarga Suroso?”

Untuk sesaat raut wajah Bambang berubah. “Jangan bilang kalau orang itu….”

“Iya, Bos. Dia bermarga Suroso,” lanjut anak buahnya.

“Darimana kau tahu?”

“Kami sudah selidiki dan kami sudah pastikan.”

Tangan Bambang menempeleng anak buahnya. “******! Kau tahu siapa Suroso? Kenapa kau tak selidiki dulu? Kau tahu siapa Suroso itu?”

“T-tahu, Bos. Masalahnya Non Wina yang minta, Bos tahu sendiri kan kalau Non Wina sudah minta maka kita harus turuti?”

“Tapi setidaknya kalian lapor dulu ke aku!”

“Kami baru tahu tadi sore, Bos. Setelah target disekap.”

Gusar dengan laporan anak buahnya, Bambang segera pergi dari diskotik tersebut. Jelas tujuannya adalah untuk menemui Wina dan menjelaskan segalanya. Arief adalah orang yang berbahaya. Bambang langsung ke tempar parkirnya dengan dikawal dua anak buahnya, setelah itu masuk ke dalam mobil.

“Langsung ke tempat Wina!” perintah Bambang.

Sang sopir pun segera melajukan kendaraannya. Dalam waktu singkat mereka sudah berada di jalan raya. Bambang duduk di belakang bersama seorang anak buahnya, sedangkan di depan ada sopir dan seorang anak buahnya lagi.

Agaknya, Bambang cukup khawatir kepada putri semata wayangnya, sehingga dia mencoba menelpon putrinya. Sayangnya ponsel Wina tak diangkat. Saat itu Wina lupa membawa ponselnya dan tertinggal di rumahnya.

“Ini tidak boleh terjadi. Apa kalian tahu Suroso itu siapa?” tanya Bambang kepada anak buahnya.

“Iya, Bos,” jawab anak buahnya.

“Suroso itu orang yang berbahaya. Dia itu tukang pukul. Semua pekerjaannya tidak pernah meleset. Dia orang berbahaya, keluarganya juga orang yang berbahaya. Semua bisnisku lancar, hanya karena aku tidak pernah berurusan dengan dia ataupun keluarganya. Dia sangat terkenal dulu di dunia bawah,” jelas Bambang, “pokoknya jangan sentuh dia ataupun keluarganya.”

“Kenapa Bos tidak rekrut dia?” tanya anak buahnya.

“Dia tak butuh uang. Kau tahu kenapa dia tidak butuh uang? Itu karena dia orang yang sinting! Dia hanya menargetkan target-target yang susah. Orang-orang penting, politikus-politikus, orang-orang yang bermasalah, mereka dihabisi hanya dengan harga cepek! Gila bukan? CEPEK! Nyawa manusia yang dia habisi dihargai semurah itu. Pernah dia dibayar dengan uang jutaan tetapi dia bakar semua uangnya...”

“Memangnya ada Bos orang segila itu?” tanya anak buahnya.

“Ada. Makanya aku tak pernah mau berurusan dengan orang seperti itu. Susah diatur. Aku sudah susah payah mengumpulkan kekayaan untuk keluargaku. Aku tidak mau dipusingkan dengan orang seperti dia,” jawab Bambang, “tapi jangan khawatir, aku memang tak suka kerja dengan orang seperti itu, bukan berarti aku takut dengan orangnya. Cuma bikin pusing aja.”

Mobil Bambang terus melaju hingga mereka masuk ke kawasan yang sepi. Bambang merasa aneh dengan rute yang diambil si Sopir. Awalnya dia tidak begitu ngeh hingga tiba-tiba mobil oleng. Mobil menabrak pembatas jalan, setelah itu menghantam pohon. Bambang tak sadarkan diri, hal terakhir yang dia ingat adalah seseorang datang lalu menyeret dia keluar dari mobil.

* * *​

Air dingin tiba-tiba mengguyur wajah Bambang. Dia benar-benar kaget dengan apa yang terjadi. Ternyata tubuhnya sedang berbaring di atas tanah dengan tangan dan kaki terikat ke belakang. Dia tidak sendiri. Ada dua anak buahnya yang tadi ikut di dalam mobil. Di depan mereka ada orang-orang yang tidak di kenal dan beberapa mobil dengan lampu depan menyorot ke arah mereka.

Tubuh Bambang ditarik, kemudian dipaksa berlutut. Sebagai orang yang baru saja mengalami kecelakaan tentu saja dia bingung. Kenapa dia bisa sampai di tempat ini?

“Sudah sadar?” tanya suara seseorang.

“Siapa? Dimana aku?” tanya Bambang, “kalian tahu siapa aku? Lepaskan aku! Kalian mau apa? Uang? Aku bisa beri kalian uang berapapun yang kalian mau!”

Orang-orang di tempat itu tertawa. Ucapan Bambang terlihat lucu bagi mereka. Orang yang bertanya di awal tadi kemudian duduk di kursi yang sudah disiapkan oleh anak buahnya. Bambang terus mengoceh dengan ocehan-ocehan seputar imbalan kalau dia bisa dibebaskan. Sayangnya orang yang duduk di kursi tidak menggubrisnya bahkan bersenandung.

“Hei, brengsek! Lepaskan aku! Kalian tidak dengar apa?” kata Bambang.

“Sepertinya mereka tidak menggubris, Bos,” ucap anak buahnya.

“Nggak usah bilang, aku juga tahu,” kata Bambang, “siapa bos kalian, aku ingin bicara!”

Orang yang duduk di kursi berhenti bersenandung, setelah itu dia bicara, “Aku bosnya, tapi urusanku bukan denganmu. Ada orang lain yang ingin berurusan denganmu.”

Seseorang lelaki datang dari belakang mobil. Di tangannya tampak sebilah parang sedang berkilat-kilat terkena pancaran cahaya lampu mobil. Bambang menelan ludah. Siapapun yang melihat senjata itu tentu saja takut.

“T-tunggu dulu! Kita bisa bicara baik-baik! Hei, kita bisa bicara baik-baik! Anjing! Setan kalian! Lepaskan! Lepaskan!” jerit Bambang ketakutan.

Lelaki itu menghampiri Bambang dan anak buahnya. Kemudian tanpa basa-basi menebas leher salah satu anak buahnya. Darah segar seperti air mancur muncrat ke udara, lalu tubuhnya tumbang ke tanah dengan kepala menggelinding.

Bambang menjerit melihat peritiwa itu, apalagi wajah anak buahnya melihatnya dengan mata melotot. Sementara itu anak buahnya yang satu lagi memejamkan mata. Dari raut wajahnya tentu saja dia sangat ketakutan.

“Bos, aku tak mau mati! Bos, aku tak mau mati!” gumamnnya berulang kali.

Laki-laki tadi sudah mengambil ancang-ancang. Dia sentuhkan mata parangnya ke tengkuk anak buahnya Bambang. Sekali lagi dalam satu sabetan kepalanya langsung putus, lalu menggelinding sampai di kaki bos yang sedang duduk. Setelah mengeksekusi dua orang anak buah Bambang, lelaki tadi kemudian berdiri di depan Bambang. Dia menurunkan tubuhnya, membungkuk melihat wajah Bambang dari dekat. Kedua mata mereka saling melotot.

“Kau ini siapa?” tanya Bambang, rupanya tidak ada rasa gentar di wajah pria paruh baya itu.

Lelaki itu pun mulai bersuara, “Kau baca berita akhir-akhir ini?”

Bambang mengernyit. “Apa maksudmu?”

“Berita tentang satu keluarga dihabisi. Tidak hanya satu keluarga, ada empat keluarga, dari istri, anak, bahkan anjingnya pun dihabisi. Mungkin saja kau tak tahu, tetapi aku hanya ingin bilang, kemarin aku baru saja menghabisi Poltak. Kukira kau pasti tahu siapa dia,” ujar lelaki tersebut. Wajahnya pun mulai jelas terlihat oleh Bambang, tetapi dia sama sekali tidak mengenali siapa lelaki itu.

“Poltak? Sebentar? Maksudmu… kau yang membunuhnya?”

“Kau masih ingat Laras?”

“Laras? Laras siapa?”

“Aku ingin tahu, apa yang kau lakukan saat mahasiswa dulu? Pemerkosaan secara bergiliran? Padahal Laras waktu itu sudah meronta untuk minta ampun dan minta dilepaskan. Apa kau masih ingat?”

Bambang menelan ludah. Orang yang ada di hadapannya ini bukan orang biasa. Dia membunuh tanpa segan dan mengaku telah menghabisi satu keluarga. Bahkan, mengaku sebagai orang yang membunuh Poltak sekeluarga.

“Ingat, jangan bohong. Kalau kau bohong, aku akan melakukan hal yang lebih buruk,” ancam lelaki itu, “jujur, sejak aku berada di kursi kemudi tadi, aku sangat ingin sekali menghabisimu.”

Mata Bambang melotot hingga nyaris saja keluar. Dia baru sadari ternyata lelaki yang ada di hadapannya ini adalah sopirnya tadi. Sengaja orang ini menabrakkan mobilnya, sehingga membuat semua orang tidak sadarkan diri.

“Kau, sopir?”

“Mudah sekali menjadi sopir kendaraan pribadimu. Aku cukup pergi ke tempar parkir melihat mobilmu, menyeret pengemudinya keluar lalu menghabisinya. Setelah itu memakai bajunya. Selesai,” ucap lelaki itu, “sekarang, bagaimana? Sudah ingat?”

“Anjing! Kau bukan sopirku. Siapa kau?”

“Dari tadi kau bukannya membicarakan aku?” tanya lelaki itu. Wajah lelaki itu pun makin jelas dan jelas. Dia adalah Arief.

Bambang menelan ludah dengan cukup susah. Orang yang dia bicarakan sejak tadi di dalam mobil ternyat ada di dekatnya. Arief sengaja melakukan kecelakaan dengan menabrakkan mobil. Sebelum tabrakan Arief sudah keluar dari mobil, sehingga mobil melaju kencang menabrak pohon dengan cukup keras. Sementara itu Raden Panji dan anak buahnya mengurus semuanya, membawa dan mengikat Bambang, setelah itu dibawa ke tempat sepi jauh dari keramaian.

Lidah Bambang kelu. Dari tadi dia berbicara ngalor-ngidul, sekarang membisu seperti patung. Parang sudah diletakkan di pundak Bambang. Arief sudah mengambil ancang-ancang.

“Kumohon, jangan bunuh putriku!” pinta Bambang.

“Jadi, sekarang kau ingat?” tanya Arief.

“Iya, aku ingat.”

“Lalu, kenapa kau melakukannya kepada ibuku?”

Terdengar desahan napas Bambang. “Dia.. dia … dia …”

Belum sempat Bambang meneruskannya, Arief sudah menebas leher pria paruh baya itu. Kepalanya pun menggelinding, setelah itu tubuh tanpa kepala tersebut ambruk ke tanah. Wajah Bambang tampak melotot, bibirnya masih bergerak beberapa saat sebelum dia pun pergi ke alam lain.

“Dasar, tanpa ampun,” ucap lelaki yang duduk di kursi, yang tak lain adalah Raden Panji.

Perlahan-lahan, Arief menghampiri kepala Bambang kemudian membawanya. “Terima kasih, Pak de Panji. Matur nuwun, sekarang saya harap kita bisa jadi keluarga lagi.”

Raden Panji terkekeh. “Itu pun kalau kau masih ingin hidup setelah malam ini.”

Arief kemudian pergi meninggalkan tempat itu sambil menenteng kepala Bambang.

* * *​

Malam itu Jannah merasa nyaman, seperti ada yang membelainya. Dia sangat merindukan belaian itu. Entah kenapa belaian itu begitu damai, tentram dan nyaman. Bahkan, Jannah pun terbangun dengan badan yang sangat segar. Dia masih menggenggam tangan Thalib, Thalib masih bernapas. Bisa terdengar dengkuran napas orang yang dia cintai itu. Kepalanya menoleh ke arah lain. Di ujung kaki Thalib terlihat bercak darah. Bukan itu saja ada benda lain di sana. Jannah langsung menjerit begitu mengetahui kalau benda itu adalah potongan kepala manusia. Mata kepala itu tampak melotot seperti terkejut saat kepalanya terpisah dari tubuhnya.

Di ujung ruangan lebih tepatnya tepat di pintu ada seseorang yang sedang duduk di sebuah kursi dengan santai. Tentunya maksud dari orang itu duduk di depan pintu agar Jannah tidak bisa lari keluar kamar. Jeritan Jannah tadi membangunkan Thalib. Rupanya bius yang ada di tubuhnya mulai menghilang, sehingga ia sedikit sadar.

Arief duduk dengan tenang, melipat tangannya sambil memperhatikan dua orang yang ada di hadapannya. Thalib terkejut saat melihat potongan kepala ada di ujung kakinya. Buru-buru dia menendang kepala itu hingga jatuh ke lantai.

“B-Bambang!” seru Thalib sambil menunjuk kepala tersebut.

“Iya, Bambang. Orang yang harus bertanggung jawab atas kematian ibuku,” kata Arief, “terima kasih parangnya, cukup berguna untuk menebas tubuh mereka.”

Jannah merinding parah. Kakinya tak bisa digerakkan, bahkan bibirnya pun kelu. Semuanya serasa mengerikan dengan adanya Arief di ruangan ini. Bahkan, saat Arief masuk pun tidak terasa.

“Nyenyak ya tidurnya?” tanya Arief sambil tersenyum.

“Pergi kau, apa yang kau inginkan?” jerit Jannah.

Thalib berusaha memencet tombol agar suster bisa masuk ke ruangannya. Arief menggerak-gerakkan telunjuknya.

“No, no, no, tidak bisa. Alasan listrik mati tadi malam adalah agar aku bisa menghilangkan fungsi tombol itu sehingga tidak ada siapapun yang akan datang masuk ke kamar ini,” ucap Arief.

Thalib menelan ludah, begitu juga Jannah. Kini keduanya dalam ketakutan yang amat sangat. Film-film horror tidak ada yang lebih mengerikan selain apa yang mereka saksikan saat ini.

“Tujuanku ke sini jelas,” ucap Arief sambil mengambil parang yang sedari tadi dia senderkan di pintu. Lalu dia menunjuk ke arah Thalib.

Mengetahui nyawa Thalib terancam, Jannah langsung memasang badan untuk menghalangi Arief. Namun, pria itu tak peduli dia berdiri dan berjalan dengan tenang menuju Thalib.

“Jangan harap kau bisa mendekati dia,” ujar Jannah.

“Minggir! Bagianmu ada sendiri nanti,” kata Arief. Dia langsung mencengkeram lengan Jannah lalu melemparnya. Seumur-umur baru kali ini Jannah diperlakukan sekasar itu oleh Arief.

Pria itu sudah tak bisa lagi dibendung. Keinginannya untuk menghabisi Thalib pun sudah ada di depan mata. Thalib yang masih terpengaruh obat bius, tentu saja serasa lemah untuk bisa menggerakkan badannya, apalagi untuk bergerak. Alhasil sabetan parang mendarat ke tubuhnya. Arief sengaja tidak terlalu kuat menyabetkan parang tersebut, sehingga tidak terlalu dalam lukanya.

Dengan tubuh yang masih lemah, Thalib pun turun dari ranjang. Kini ada luka sabetan parang membujur di pundak dan dadanya. Selang dan Jarum infus yang tadinya terpasang di lengannya pun terlepas. Jannah berusaha menarik lengan Thalib agar bisa berdiri untuk kabur.

“Toloong! Tolooong!” teriak Jannah berharap ada orang yang mendengarnya.

Tubuh Thalib gontai saat diseret oleh jannah. Keduanya bersusah payah untuk menggapai pintu. Akhirnya pintu kamar pun terbuka, lalu keduanya berusaha untuk lari bersama. Arief dengan tenang mengikuti mereka sambil tetap dengan parang terhunus. Orang-orang yang menyaksikan Arief membawa parang tentu saja berteriak histeris. Mereka panik bahkan sebagian mulai menghubungi pihak yang berwajib.

Line telepon oleh Arief diputus, sehingga para karyawan tak mampu menghubungi pihak sekuriti. Arief terus berjalan dengan tenang melewati orang-orang yang berlarian menghindari dirinya. Tatapannya tetap fokus kepada Thalib dan Jannah yang ada di depannya. Mereka melewati lorong-lorong yang mulai ramai dengan orang-orang. Jannah terus berteriak minta tolong, hingga akhirnya beberapa sekuriti datang.

Nahas bagi dua sekuriti yang datang. Saat mereka berusaha untuk menangkap Arief, dengan cekatan Arief mengayunkan parangnya. Lengan sekuriti itu putus, sedangkan yang satunya kepalanya sudah terpisah dari tubuhnya. Orang-orang kian histeris melihat pemandangan tersebut. Sang sekuriti yang lengannya putus, kemudian diberi sabetan lagi hingga tenggorokannya terbelah, lehernya nyaris putus akibat sabetan tersebut.

Untuk sesaat Thalib dan Jannah menyaksikan aksi yang dilakukan oleh Arief tersebut. Mereka makin ngeri dan terus berlari. Arief mulai mempercepat langkahnya. Hingga akhirnya mereka terjatuh, karena bertabrakan dengan orang-orang yang lari ketakutan melihat aksi yang dilakukan oleh Arief.

Arief pun makin mendekati keduanya. Jannah tak bisa lari lagi. Dia pun mengumpulkan kedua tangannya sambil memohon, “Kumohon, jangan! Jangan sakiti kami! Aku tahu hati kamu sakit, tapi bukan begini caranya.”

Mata Arief menatap mata Jannah yang berair. Jannah menangis. Sudah tidak ada cara lagi bagi Jannah sekarang, kecuali memohon belas kasihan mantan suaminya. Nyawanya sedang berada di ujung tanduk.

Tiba-tiba Arief tertawa melihat ketakutan Jannah. Rasanya dia puas melihat mantan istrinya ketakutan sampai menangis seperti itu, mengiba agar tidak disakiti. Rasa yang dulu pernah dia rasakan saat mendapatkan tugas untuk menghabisi orang-orang tertentu. Rasa yang dulu ingin dia lupakan setelah mengenal Jannah.

Tangan Arief diulurkan kepada Jannah. Thalib hanya menyaksikan saja apa yang dilakukan oleh Arief. Arief mengangguk kepada Jannah. Perempuan itu agak ragu menerima uluran tangan mantan suaminya tersebut.

“Kau tahu aku tak akan menyakitimu,” ucap Arief, “kau juga tahu bagaimana aku bertahan untuk bisa lepas dari rasa haus darahku. Apa kau tak menyadarinya? Kaulah yang mengubahku, dari manusia yang haus darah menjadi manusia yang penyayang. Kau juga yang memberikanku kebahagiaan dengan lahirnya Khalil, tetapi kenapa kau malah mengkhianatiku?”

Benak Jannah pun tiba-tiba dipenuhi segala hal yang membuatnya sadar. Dia sekarang merasa segalanya terhubung. Itulah sebabnya dulu Arief bertanya tentang makna kehidupan. Arief ingin lepas dari sifatnya ini. Saat itu juga timbul perasaan bersalah dalam diri Jannah, bahkan saat tangannya menggamit mantan suaminya. Arief mendekap dan mencium bibir mantan istrinya dengan ciuman yang hangat.

Jannah menangis dalam ciuman hangat mantan suaminya. Waktu seakan-akan terhenti saat itu. Hanya beberapa detik saja ciuman itu, tetapi waktu serasa terhenti lama. Saat bibir mereka berpisah, Jannah masih berkaca-kaca. Dia menyesal.

“Maaf… maaf…. Maaf,” ucapnya, “aku tidak tahu… aku mencintaimu… aku mencintaimu…”

“Berhenti! Jangan bergerak!” seru seorang polisi sambil menembakkan pistolnya ke udara, lalu dengan cekatan menodongkan pistol tersebut ke arah Arief.

Jannah yang menyaksikan petugas yang berwajib tersebut kebingungan. Antara melindungi Arief atau melindungi Thalib atau membiarkan saja semua terjadi.

“Duduklah! Aku tak ingin kau terluka,” ucap Arief sambil mendorong Jannah untuk menghindar darinya. Jannah pun tersungkur ke lantai. Bersamaan dengan itu Arief melompat sambil parangnya mengarah ke tubuh Thalib yang masih berada di lantai, karena jatuh tadi. Beberapa polisi yang ada di tempat tersebut menembakkan timah panasnya. Tubuh Arief tertembus beberapa peluru, tapi bersamaan dengan itu parang yang dibawa oleh Arief berhasil membagi kepala Thalib menjadi dua.

Jannah pun histeris menyaksikan hal itu. Tubuh Arief ambruk ke lantai, tetapi dia masih bergerak. Kepalanya menoleh ke arah Jannah.

“Mas Arief…,” Jannah menangis, “Maafin aku… kenapa mas tidak cerita? Kenapa mas tidak pernah cerita yang sebenarnya? Kenapa?”

“Kesalahanmu, bukan …. aku …y-yang …a-akan membalasnya….,” kata-kata terakhir Arief, sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya.

Jannah histeris. Dia kehilangan Arief. Dia merasa kehilangan dan sangat menyesal. Bahkan, sekarang pun dia tidak lagi mempedulikan Thalib yang sudah menjadi mayat dengan kepala terbelah menjadi dua.

* * *

======== sambungan di bawah ====
 
Bagian 21



Kasus heboh tentang Arief yang membunuh selingkuhan mantan istrinya di rumah sakit menjadi headline berita selama berhari-hari. Dari penyelidikan pihak kepolisian Arief dianggap orang yang kalap telah membunuh Thalib dan orang politikus terkenal bernama Bambang. Polisi masih menyelidiki hubungan Arief, Thalib dan Bambang, sekaligus Jannah. Namun, kasus itu pun selesai begitu saja tanpa kejelasan.

Sebagai orang yang merasa bersalah, Jannah memutuskan untuk pergi menjauh dari masyarakat. Dia tak mau dicemooh sebagai orang yang tak tahu diuntung, berselingkuh dengan ustadz dan segala hal berita miring yang tidak dia inginkan.

Wina yang mendengar kabar orang tuanya tewas terlihat biasa saja. Dia tidak menghiraukan, toh harta warisan orang tuanya sangat banyak sehingga bisa dia gunakan untuk hidup selama tujuh turunan sekalipun. Apalagi Wina bukan perempuan biasa yang Cuma makan harta. Dia juga pebisnis. Dia malah bersyukur papanya mati, sehingga dapat warisan. Namun, yang paling dia syukuri adalah dia hamil anak Arief.

Tak berbeda dengan Wina, Leli juga bersedih atas tewasnya Arief. Dia menangis berhari-hari, terlebih dia tahu kalau telah mengandung anak dari hasil hubungan badan mereka. Leli bertekad akan merawat anak yang telah dia kandung ini akan dia besarkan dan akan dia didik sampai menjadi anak yang salih.

Orang yang paling sedih adalah Lista. Dia sangat bersedih mendengar kabar suaminya yang sudah tiada. Ditambah lagi dia sedang mengandung anaknya Arief. Lista juga akhirnya harus menerima keadaan dan akan merawat anak Arief dengan baik.

Akhirnya satu dekade berlalu begitu cepat. Kejadian di rumah sakit itu pun telah dilupakan. Nama Arief sebagai pembunuh sadis telah dilupakan. Dunia kembali damai dengan berbagai persoalan politik, dinamika ekonomi dan kabar viral dari para abege yang membuat resah.

Jannah hidup sendiri di sebuah tempat yang jauh dari keramaian. Dia menjadi buruh tani, hidup sederhana, dan lebih memilih hidup untuk mensyukuri apa yang ada. Dia ingin melupakan masa lalunya, sambil terus bertaubat atas segala kesalahan yang telah dia lakukan. Orang-orang pun mengenal Jannah sebagai seorang janda yang baik, itu saja. Tidak pernah ingin berkenalan atau dikenal oleh kaum lelaki dan hidupnya selalu jauh dari keramaian.

Siang itu Jannah pulang dari ladang. Dia terkejut saat mendapati seorang anak remaja berdiri di depan rumahnya sambil menengok kiri dan kanan. Jannah penasaran.

“Cari siapa ya, dek?” sapa Jannah.

Pemuda itu menatap Jannah. Ternyata dia cukup tinggi hingga membuat Jannah mendongak. Pemudia itu tiba-tiba saja menggamit tangan jannah lalu menciumnya. “Umiii! Akhirnya Khalil menemukan Umi.”

“K-khalil?”

Remaja itu tersenyum, setelah itu memeluk Jannah. “Khalil sudah lama mencari umi.”

Bingung. Itulah yang ada di kepala Jannah. Dulu dia takut anaknya akan tertular sifat psikopat ayahnya. Namun, sepertinya tidak demikian jika dilihat dari apa yang terlihat.

Khalil mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah jarum suntik yang kemudian dia tancapkan begitu saja ke leher Jannah, membuat orang tuanya itu tidak sadarkan diri. Remaja itu kemudian membopong ibunya masuk ke dalam rumah, setelah itu digeletakkan di atas dipan. Jannah sudah tidak ingat apa-apa lagi, tertidur pasrah dalam pengaruh obat bius dosis tinggi.

Rumah Jannah cukup jauh dari keramaian dan jauh dari penduduk kampung. Dia memang hidup mengasingkan diri. Tidak ada yang tahu apa yang ada di benak Khalil saat ini. Dia mengikat tubuh Jannah, kemudian melucuti pakaiannya. Tubuh Jannah masih sintal meskipun usianya sudah tidak lagi muda. Dan apa yang dilakukan Khalil kemudian sangatlah tidak masuk akal.

Tubuh Jannah yang telanjang dia potret, setelah itu dia ciumi dari ujung kepala hingga ujung kaki. Beberapa kali dia cupangi buah dada yang dulu dia hisap air susunya. Setelah itu dia biarkan Jannah sambil menunggu ibunya siuman. Waktu berlalu dengan cukup lambat, hingga sore hari tiba, lalu berganti malam. Jannah pun sadar.

“A-apa ini? Khalil? Khalil? Apa yang kamu lakukan, Nak? Lepasin! Lepasin umi!” ucap Jannah memelas. Kini dia panik, ikatan Khalil ternyata cukup kuat, bahkan sekarang dia baru sadari tubuhnya telanjang.

Wajah Khalil mirip seperti ayahnya, hal itu membuat memori Jannah tentang Arief kembali lagi hadir. Yang bikin Jannah terkejut adalah Khalil sudah tidak memakai baju lagi alias telanjang bulat.

“Khalil? Khalil mau apa kamu? Jangan! Aku ibumu!” jerit Jannah.

“Kenapa sih, setiap orang yang ingin mengasingkan diri selalu jauh dari keramaian? Umi menjerit pun tidak akan terdengar oleh siapapun,” ucap Khalil sambil mulai beranjak ke atas tubuh ibunya, “Malam ini Khalil ini masuk ke sini lagi.” Khalil membelai vagina Jannah yang ditumbuhi sedikit bulu itu dengan jari telunjuknya.

“Nggak, Khalil! Sadar! Aku umimu. Orang yang melahirkanmu. Jangan kau lakukan itu, Nak!” pinta Jannah.

“Kenapa? Bukankah Umi mengkhianati Abi? Umi juga membuang Khalil, bukankah itu artinya Umi tidak menginginkan Khalil? Artinya biarkan Khalil masuk lagi ke tempat dimana Khalil keluar dulu,” ujar Khalil.

“Jangan! Hentikan!” tangis Jannah. Semua sudah terlambat. Jannah tak bisa bergerak, sekuat apapun meronta ikatan Khalil sangat kuat, bahkan jeritannya pun tidak akan terdengar karena jauh dari tetangga, mana dia tinggal di atas lereng bukit.

Khalil tidak lagi bicara, dia langsung kembali menyusu kepada Jannah, seperti dia menyusu dulu waktu kecil, tapi kali ini dia menggelitiki pentil ibunya. Jannah tidak paham, kenapa sentuhan anaknya kali ini berbeda. Seperti sentuhan mantan suaminya dulu, nyaman. Saat Khalil meremas-remas buah dadanya, saat Khalil menghisap pentilnya, enak sekali. Apakah karena Jannah sudah lama ingin dibelai sehingga sentuhan sedikit saja dari anaknya berakibat dia terangsang?

Jannah menggeliat. Terlebih ketika penis anaknya yang ternyata tak kalah perkasanya seperti penis mantan suaminya sudah bersentuhan dengan selakangannya. Ngeri, geli, menggairahkan, bingung, dan menolak. Kepalanya sekarang dipenuhi pikiran campur aduk. Alhasil Jannah pasrah. Matanya terpejam dan membiarkan Khalil mempermainkan susunya.

“Umi suka?” tanya Khalil.

Jannah tak menjawab. Hanya terdengar tangisan. Jannah tak bisa mengelak lagi kalau sebentar lagi dia akan diperkosa oleh darah dagingnya sendiri. Apakah ini pesan dari kata-kata terakhir Arief? Kalau bukan mantan suaminya yang akan membalas dosa-dosanya?

“Khalil, Umi tahu Umi salah. Maafin Umi ya?” kata Jannah memelas.

“Khalil tidak bisa memaafkan Umi. Khalil salah apa sampai Umi membuang Khalil?” tanya Khalil.

“Umi takut ama kamu, Nak,” jawab Jannah.

“Umi nggak perlu takut. Khalill tidak akan menyakiti Umi. Apakah Abi pernah menyakiti Umi?”

Pertanyaan itu makin membuat Jannah menangis. Dia baru sadar, bahwa selama ini Arief tidak pernah sekalipun memukulnya ataupun menyakitinya. Segala hal yang dilakukan oleh Arief adalah untuk melindunginya, mencintainya, mengasihinya. Jannah lagi-lagi merasa bersalah. Jiwa Jannah pun mulai rapuh dengan segala rasa bersalah yang dia rasakan.

“Apakah dengan cara ini dosa-dosa Umi bisa ditebus?” tanya Jannah.

Remaja yang sudah menindihnya itu menatap mata Uminya yang sembab. “Tidak ada yang bisa menebus dosa Umi. Khalil hanya ingin memberikan yang Umi inginkan. Bukankah Umi tidak menginginkan Khalil?”

“Jangan buat Umi merasa bersalah, Nak. Kalau memang Khalil ingin ngentotin Umi, lakukan saja. Puaskan, Umi akan tanggung semuanya. Ini memang salah Umi…,” Jannah mulai sesenggukan, “kumohon, jangan sakiti Umi. Umi akan sayangi Khalil, kamu bisa tinggal bersama Umi.”

“Benarkah?” tanya Khalil, “Khalil belum pernah ngentot sebelumnya. Umi jadi yang pertama.”

Jannah mengangguk. Mata Jannah kini dalam kesedihan. Dia hanya ingin semuanya berakhir. Dia tak bisa menyakiti remaja ini. Khalil, satu-satunya darah dagingnya.

Remaja itu perlahan-lahan membuka ikatan tangan dan kaki ibunya. Setelah terbebas keduanya saling pandang. Jannah merasa orang yang di hadapannya ini adalah Arief. Wajah mereka sangat mirip, bahkan bentuk tubuh mereka sama-sama kekar. Jannah lalu mendekatkan bibirnya ke bibir anaknya, lalu mereka berpagutan. Silaturahim kembali terjalin antara lidah dan bibir keduanya.

Suasana malam syahdu mengantarkan angin dingin naik ke bukit. Kabut pun mulai menyelimuti malam itu, membuat bulu kuduk perempuan itu meremang saat sentuhan tangan Khalil kembali meremas susunya. Dia tahu anaknya suka sekali susunya sejak pertama kali tadi disentuh dan dikenyot. Namun, Jannah juga tahu batang penis Khalil yang sudah tegak seperti tugu monas itu butuh belaian.

Tanpa diperintah seolah dimainkan oleh instingnya, Jannah menundukkan kepalanya, menciumi penis anaknya, padahal dulu penis ini kecil dan sering dia ceboki. Kini bentuknya besar, panjang, keras dan sudah disunat. Setiap saat Jannah mengurutnya, kepala penisnya memerah.

“Ahh… Umi…,” desah Khalil.

“Mmuaach…,” Jannah menciumi kepala kontol tersebut, lalu melahapnya. Mengisapnya, mengocoknya dengan kocokan yang syahdu. Khalil pun berbaring, menyaksikan aksi Jannah mengoralnya. Pemandangan yang baru pertama kali dia lihat, perasaan aneh yang pertama kali dia rasakan.

“Umi, suka kontol Khalil?” tanya Khalil.

Memang aneh perkataan itu datang dari mulut anaknya. Namun, Jannah tahu itu semata-mata untuk memberikannya rangsangan. Terlebih lagi, Jannah sekarang telah menyerahkan dirinya.

“Suka,” kata Jannah.

“Ahh…,” desah Khalil. Tangan Khalil tak tinggal diam. Dia gelitiki juga memek Jannah yang perlahan-lahan mulai mengeluarkan lendir bening.

Dalam kuluman kontol, mulut Jannah mendesah. Apalagi sekarang pantat Jannah ditarik oleh anaknya, lalu lidah anaknya menjilati tempat dulu dia keluar. Kenyataan bahwa sekarang ini Jannah sudah lama tidak dibelai membuat libidonya naik dan sedikit rangsangan saja membuatnya sangat becek. Apalagi Khalil begitu lihainya mengocok memeknya sambil menjilat.

“Ahhhkkk!” tubuh Jannah mengejang hebat memaju-majukan pantatnya sehingga kepala Khalil makin terbenam di selakangannya.

“Umi, sudah! Aku ingin masuk ke tempatku dilahirkan,” kata Khalil.

Jannah menurut. Dia hentikan aktvitas oralnya, lalu berbaring. Kembali Khalil berada di atas tubuhnya. Kedua mata mereka bertemu. Khalil merasa ibunya adalah wanita tercantik di dunia saat itu. Kontolnya sudah mengangguk-angguk ingin masuk ke sarangnya. Perlahan-lahan benda keras dan tegak itu pun diarahkan ke lubang peranakan Jannah. Tinggal menghitung detik dan keduanya pun bersatu lagi.

“Aaahhhhh!!” lenguh keduanya.

Jannah tak pernah menyangka dia akan ngentot dengan darah dagingnya sendiri. Ini salah. Kalau pun sekarang dia akan dihukum pun dia rela. Dia pasrah. Terlebih saat anaknya mulai mengajaknya bersilaturahim lidah. Mereka berpelukan dan Khalil pun menggenjot dengan mantap. Keduanya terbuai dalam persenggamaan tabu, para setan bersorak-sorai melihat bagaimana mereka telah melanggar batas-batas ini.

Dalam lautan kenikmatan itu Khalil benar-benar mengagumi ibunya. Dia sudah kangen. Napasnya memburu, maklum dia baru pertama kali ngentot. Pelajaran ngentotnya saja dia dapatkan dari nonton bokep. Nggak butuh waktu lama, kurang lebih sepuluh menit kemudian Khalil menembakkan pejunya, masuk begitu saja ke rahim ibunya. Jannah pun pasrah mendapatkan perlakuan itu, tanpa dia pedulikan akan jadi anak ataukah tidak.

Memek Jannah berkedut-kedut menerima tembakan demi tembakan sperma anaknya. Keduanya mengatur napas sejenak. Anehnya, Jannah bisa orgasme dalam waktu secepat itu. Apakah karena dia sudah rindu belaian seorang laki-laki?

“Aku sayang Umi,” ucap Khalil, “jangan pergi lagi ya?”

Air mata Jannah menetes lagi. “Umi juga sayang Khalil.”

Masih menindih ibunya, Khalil meletakkan kepalanya bersebelahan dengan kepala ibunya. Keduanya masih mengatur napas, sebab tahu kedua insan ini pasti akan mengulangi lagi.

“Kamu mirip Abimu. Gagah, tampan,” puji Jannah.

“Umi nggak menyesal. Umi malah senang Khalil bisa ada di sini. Biarlah ini akan jadi jalan Umi untuk menebus dosa,” ucap Jannah.

Jannah mengusap-usap punggung Khalil dengan penuh kasih sayang. Anak yang dulu dia gedong dan sering tidur di pelukannya, sekarang menindihnya, mengisap madunya. Anak durhaka, tapi mau bagaimana pun Khalil adalah warisan mantan suaminya. Dia masih cinta dan cinta itu harus dia berikan kepada Khalil. Lama mereka dalam posisi seperti itu hingga napas mereka kembali tenang. Sementara itu kontol Khalil yang perkasa kembali mengeras.

Menyadari hal itu Khalil bangkit. Dia menarik tubuh ibunya agar juga bangun. Dalam sekali gerakan Jannah diputar hingga menungging. Jannah pasrah, tubuhnya telah diberikan begitu saja kepada Khalil, hingga sekali lagi batang keras itu masuk ke dalam liang senggamanya. Khalil kali ini menusuk sangat dalam.

“Aahhh….!” Keduanya kembali terlena dalam lautan birahi.

Khalil memegangi pinggang ibunya, menusuk-nusukkan kontolnya dengan penuh tenaga. Jannah merintih-rintih dan mulai menikmati persenggamaan ini. Dia sudah tidak malu lagi, tidak risih, bahkan rela.

“Setubuhi Umi, Nak. Entotin Umi sampai kamu puas,” ucap Jannah.

“Iya, Umi akan aku setubuhi sampai hamil. Aku sayang Umi, aku cinta Umi,” kata Khalil.

Kata-kata itu membuat Jannah terlena. Dia mencoba menggapai tangan anaknya, dan kini kedua tangan Jannah dipegang oleh anaknya. Tumbukan-tumbukan perut dan selakangan membuat suara erotis. Buah dada Jannah bergerak naik turun membuat Khalil ingin menggapainya. Dia melepaskan tangan ibunya lalu menggapai buah dada itu.

“Aahh… susu Umi hampir jatuh,” ucap Khalil.

Jannah tersenyum mendengarnya. Pantatnya terangkat, tubuhnya melengkung tangannya menggapai kepala anaknya. Keduanya berciuman sambil kedua tangan Khalil meremas-remas buah dada ibunya. Sungguh sangat erotis. Kontol Khalil terus menyodok-nyodok rahim ibunya. Jannah serasa melayang, dia baru kali ini merasakan ngentot yang luar biasa. Tak pernah dia rasakan dengan mantan suaminya atau bahkan dengan Thalib sekali pun.

Kali ini Khalil bermain lebih lama. Tubuh Jannah dibalik lagi, kini ditidurkan miring dan Khalil duduk. Kaki Jannah ditekuk sehingga sodokan Khalil makin dalam. Jannah hanya mengerang dan mendesis. Jeritan dan lenguhan malam itu hanya bisa didengar oleh angin malam dan binatang di sekitar rumah Jannah yang gelap.

“Umi, Khalil mau keluar lagi. Terima pejuku…aaaahhh!” jerit Khalil sambil mempercepat genjotannya.

“Iya…keluarkan saja!” desah Jannah. Jannah sudah tak ingat berapa kali dia sudah orgasme.

Pancutan demi pancutan peju Khalil masuk lagi ke rahimnya. Sel-sel sperma pun mulai berebutan untuk mencari ovum. Bahkan, setelah Khalil mencabut kontolnya, benda itu baru setengah tidur.

Jannah tak pernah menyangka Khalil sekuat ini. Padahal tadi baru dibilang dia perjaka. Mungkin karena masih muda Khalil kuat sekali. Remaja itu mendekatkan selakangannya ke wajah ibunya. Jannah membuat mulut untuk mengelamuti kepala kontol anaknya. Rasanya asam, pahit, tetapi rasa birahi tak membuat dia tahu ini termasuk rasa apa, walaupun dia sadar itu lendir campuran dari miliknya dan juga anaknya. Setelah kontolnya bersih, Khalil berbaring di sebelah ibunya.

“Puas?” tanya Jannah.

“Belum. Istirahat sebentar. Rasanya aku ingin terus-terusan ngentotin Umi,” jawab Khalil.

“Masih ada banyak waktu. Umi nggak akan kemana-mana.”

Khalil lalu memeluk ibunya, kedua badan mereka menempel. Kemudian Khalil menciumi bibir Jannah. Keduanya hanyut dalam kerinduan. Bertahun-tahun tidak bertemu dan berakhir kentu. Jannah yang sudah berkubang dosa, harus menerima dirinya terjebur ke dalam dosa yang lebih gelap. Inilah pembalasan Arief untuknya.

Setelah mereka hanya berciuman saja selama beberapa menit, kembali lagi gairah Khalil naik. Kali ini dia bercinta lebih santai. Jannah duduk di atas pangkuannya, bergerak naik turun agar kontol Khalil menusuk jauh ke rahimnya. Memeknya bener-bener becek, tapi dia tak peduli, Khalil saja tak peduli. Sangat licin dan mantab. Kontol Khalil cukup besar untuk remaja seusianya, membuat rongga liang senggama Jannah serasa penuh.

Perempuan yang terhormat ini pun sudah tak peduli lagi dengan keadaan dirinya yang hina. Dia dulu sudah hina, karena berselingkuh dari suaminya. Menjual kehormatannya hanya, karena ketakutan yang tidak ada artinya. Cemoohan orang-orang pun didapatnya, bahkan orang tuanya sendiri mengusirnya. Sekarang rasanya tak masalah baginya untuk kehilangan kehormatannya lagi, biar saja. Asalkan dia tak berpisah dari Khalil. Anak semata wayangnya. Cintanya.

“Ahhkkk… Khalil, anakku… cintaku… memek ibu ngilu… nggak kuat lagi nak. Umi keluaarrrr!” jerit Jannah. Berada di atas memang kelemahan Jannah. Dia memeluk anaknya erat-erat sambil memeknya berkedut-kedut menjepit kontol anaknya.

“Memek Umi enak sekali. Sedikit lagi aku juga keluar,” kata Khalil.

Remaja ini merebahkan dirinya, sementara Jannah masih di atas menikmati sisa-sisa orgasme yang baru saja datang. Pinggul Khalil dihentak-hentakkan ke atas dengan cara begitu kontolnya keluar masuk memek ibunya.

“Aaahh…. Ahh… ahh… ahh… enak… anakku…. Ohhh… Umi mau keluar lagi!” jerit Jannah.

“Aku juga Umi. Terimalah pejuhku lagi!” ucap Khalil. Jannah menekan pantatnya ke bawah dan Khalil menekan pantanya ke atas sambil kedua tangannya meremas pantat ibunya kuat-kuat. Pancutan pejuh keluar lagi, hangat dan kental.

Keduanya sudah kehabisan tenaga, lalu terlelap. Kontol Khalil pun mengecil, keluar dari memek ibunya, diikuti lelehan cairan orgasme mereka membasahi sprei tempat tidur. Tubuh mereka tetap seperti itu hingga pagi datang.

Jannah bermimpi indah malam itu. Dia hidup bersama Khalil dengan bahagia. Dia serahkan apapun yang ada pada dirinya. Tubuhnya, jiwanya dan cintanya. Arief sangat mencintai ibunya dan bertekad akan menjaga ibunya sampai akhir. Setelah hari ini, mereka akan larut dalam gairah-gairah tabu. Asmara-asmara dosa yang bahkan mereka sendiri tak mempedulikan dari risiko yang akan mereka hadapi. Bagi Jannah mendapatkan kebahagiaan lebih penting meskipun dengan cara seperti ini. Sedangkan, bagi Khalil dia hanya ingin meneruskan wasiat ayahnya.

* * *
 
Epilog



Khalil terbangun lebih dulu pagi itu. Jannah masih berada di atas tubuhnya, lelap dalam dengkuran halus. Tubuh Jannah digulingkan ke samping, kemudian dia pun bangun. Remaja ini memperlihatkan sprei tempat mereka bertempur tadi malam. Penuh dengan cairan hasil pertempuran mereka. Khalil membelai rambut ibunya. Sungguh walaupun sudah tidak muda lagi, tapi tubuh ibunya sangat sempurna bagi seorang perempuan. Masih menarik.

Matanya melihat kamar ibunya. Ternyata di nakas ada sebuah pigura kecil yang telungkup. Diberdirikannya pigura tersebut. Khalil terkejut ketika melihat foto ayahnya dan dirinya yang masih kecil ada di sana. Diusap-usapnya foto ayahnya. Ternyata ibunya masih belum bisa melupakan ayahnya dan benar-benar menyesali tentang apa yang telah dilakukannya dulu.

Khalil beranjak dari kasur menuju ke pintu. Kepalanya ditempelkan ke daun pintu.

“Pergilah! Semua baik-baik saja,” ucap Khalil.

Di luar teras ternyata ada tiga orang remaja yang sedang berdiri seperti menunggu Khalil. Mereka adalah anak-anak dari Arief dari berbagai ibu. Mereka berempat bertemu setelah Khalil menyatukan semuanya. Tujuan mereka satu yaitu untuk membalaskan dendam kepada Jannah. Namun, melihat Jannah telah menyesal dan tidak melawan, akhirnya Khalil sadar rasa bersalah Jannah lebih besar dan ingin berubah.

Khalil masih ingat wasiat ayahnya sebelum meninggal.

“Kembalilah ke rahim Umimu. Jika umimu menolak dan masih angkuh, maka kuburkan Umi di samping Abi. Jika Umimu menerimamu, temanilah dia seumur hidupmu. Cintailah Umi sebagaimana Abimu mencintainya.”

Ketiga remaja yang ada di teras pun saling berpandangan, kemudian mereka meninggalkan rumah tersebut. “Hati-hati, Mas Khalil. Jaga Umi!” ucap salah seorang di antara mereka.

Setelah itu dari dalam kamar, Jannah memanggil-manggilnya. “Khalil? Khalil? Kamu di mana, Nak?”

Khalil kemudian berbalik menuju ke kamar ibunya. “Khalil di sini, Umi.”

Melihat putranya masuk ke kamar dalam keadaan tanpa busana, Jannah merasa lega. Air mata tampak jatuh di pipinya. Khalil lalu memeluk ibunya yang merasa khawatir.

“Khalil di sini, Umi. Nggak akan kemana-mana. Mulai sekarang kita akan hidup bersama,” ucap Khalil, “mulai sekarang aku akan tinggal bersama Umi, menjaga Umi seumur hidupku.”

Jannah merasa lega. Puluhan tahun jiwanya yang rapuh kehilangan Arief, kini hadir anaknya yang akan mengisi hatinya dan juga rahimnya. Hubungan ibu dan anak ini akan terus berlanjut dalam desahan birahi berikutnya. Sebagaimana Jannah yang sudah rela menyerahkan tubuh dan jiwanya kepada Khalil, Khalil juga akan menyayangi Jannah sebagai ibunya dan juga sebagai perempuan yang mau diisi rahimnya oleh calon anak-anaknya. Barata Yudha yang terjadi di dalam diri Jannah telah berakhir. Dia hancur sehancur-hancurnya, tak ada yang bisa dikatakan dia memenangkan pertempuran ini.

Biarlah masyarakat menghakimi mereka. Setidaknya Jannah telah menemukan konklusi dari kehidupannya. Bahwa berkhianat akan membawa malapetaka. Dia menyesal seumur hidup, tetapi setidaknya sekarang ada Khalil yang akan terus menemaninya.

Lalu, bagaimana dengan ketiga saudaranya? Ketiganya menjadi pembunuh berantai bersaudara, yang paling dicari oleh pihak yang berwenang. Sayangnya, itu untuk cerita yang lain. Gunungsari muncul, pertanda cerita telah berakhir.

TAMAT

=========================================== ending =====================

NB: Demikian kisahnya. Terima kasih kepada sederek-sederek ingkang sampun ngikuti ceritanipun ngantos tamat.
Cerita ini tidak bersambung ke cerita lain. Dan Ki Dalang juga belum punya ide untuk bikin cerita baru berdasarkan ini.
Pangapunten untuk request-request sederek-sederek tidak saya eksekusi, karena saya ingin bebas berekspresi.
Kalau ditanya apakah ini ada di kejadian nyata? Tentu saja tidak. Ini fiksi.
Sampai jumpa di lapak Ki Dalang yang lain. Bubar, wayange kukut.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd