Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG REBIRTH OF SHADOW: CIRCLE OF MILF

Part 2

Breast and Promise





Cahaya tersebut menghilang seiring dengan kepergian prof. Gio yang berjalan menjauh meninggalkanku. Sementara aku masih kebingungan mencerna maksud dari prof. Gio barusan hingga kegelapan Kembali menyelimuti.



“Gio… Gio… Nak…” suara dari bu Dewi yang mengiringi bangunku namun masih dengan kepala yang sedikit pusing.

“syukurlah kamu sudah sadar nak. Kenapa kamu bisa pingsan?” tanyanya.

“nggak tau, Bu. Kepalaku tiba-tiba pusing.”

“sudah-sudah, tidur lagi saja.”

Aku memandangi bu Dewi yang Nampak khawatir dengan kondisiku, “bu, bagaimana jika tiba-tiba aku berubah menjadi dewasa dalam waktu yang singkat?” tanyaku dengan tatapan serius.

Bu Dewi Nampak tersenyum dan mungkin berpikiran bahwa ini merupakan imajinasi dari anak-anak saja, “Ah, itu hanyalah imajinasi, sayang. Kita semua tumbuh dengan waktu. Tetapi semua orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda.”

“lalu apakah aku akan tetap menjadi anak ibu?” tanyaku.

“tentu saja, Nak. Sampai kapan pun kamu adalah anak ibu.” Jawabnya yang disertai dengan usapan lembut di kepalaku.



Bu Dewi beranjak dari ranjang tersebut dan pergi meninggalkanku sendirian di kamar. Nampaknya ia sedang akan memasak atau merapikan barang belanjaannya yang tadi sempat ia beli di pasar. Sementara aku, masih berdiam diri di atas ranjang dengan pikiran menerawang.

Aku masih terpikirkan tentang momenku sebelum disadarkan oleh bu Dewi barusan. Apakah yang dikatakan oleh prof. Gio tersebut akan benar-benar terjadi kepadaku. Atau itu hanya menjadi imajinasi bawah sadarku setelah terlalu berat memikirkan tentang bagaimana caranya aku balas dendam hingga aku terbawa pada momen itu.

Anehnya, peristiwa tadi berjalan begitu nyata dan seperti bukan mimpi belaka. Lantas, bagaimana caranya prof. Gio dapat masuk ke dalam alam bawah sadarku? Bukankah dia …? Ah sudahlah, ilmuwan itu memang terlalu jenius dan terkadang penemuannya sulit untuk dicerna oleh akal sehat manusia normal.

Kehidupanku Kembali berjalan normal layaknya anak-anak berusia tujuh tahun. Namun, aku masih sangat menunggu seminggu ke depan apa yang akan terjadi pada diriku ini dan membuktikan perkataan dari prof. Gio. Meskipun terdengar konyol karena aku yang ingin membuktikan omongan orang yang hanya muncul di alam bawah sadarku, tapi itu merupakan satu-satunya cara yang mungkin akan membawaku menjadi cepat dewasa dan tentunya memiliki kekuatan lebih untuk melawan angkara murka.

*tok… tok… tok…* suara pintu diketuk.

“Gio… tolong bukain pintunya, Nak. Sepertinya bu Elin itu.” Ucap bu Dewi yang masih sibuk dengan mesin jahitnya dan sepertinya memiliki janji temu dengan seseorang.

Aku pun beranjak dari depan tv dan menuju pintu utama dan membukakan pintu, “iya… bu Elin ya?”

Bu Elin Nampak terkejut melihatku, “eh, iya. Kamu siapa?”

“Aku Gio. Silahkan masuk, bu.”

Bu Elin langsung menuju ke ruangan dimana bu Dewi berada. “itu siapa bu?” tanya bu Elin kepada bu Dewi yang sayup-sayup ku dengar.

“itu Gio. Anak angkatku.”

“semoga ya, bu.” Bu elin pun menyerahkan bahan pakaian yang ia bawa, “Eh iya, ini aku mau ngejahit kebaya bu, buat nikahan adek saya minggu depan. Semenjak saya lahiran yang kedua beberapa waktu lalu kok kebaya saya banyak yang kekecilan.”

Bu Dewi pun terkekeh, “ya wajar to, Bu. Oh iya bu. Si Rony suruh ke sini lah, itung-itung buat teman Gio maen itu, kasihan dia belum punya temen di sini.”

“beres itu mah, atau kalau enggak Gio suruh maen ke rumah saya aja, bu. Soalnya Rony lagi seneng-senengnya maen sama adeknya.”

“boleh juga itu, Bu. Aku ukur dulu ya, bu. ” Ucap bu Dewi sembari mempersiapkan alat ukurnya. “Gio, tolong ambilkan pulpen di dekat tv, Nak.” Lanjutnya.



Aku yang sedang berada di depan tv pun bergegas mengambilkan pulpen untuk bu Dewi dan memberikannya. Bukannya Kembali ke depan tv, aku malah tertarik untuk melihat proses pengukuran baju tersebut.

Bu Dewi dan bu Elin pun tampak paham tentang keingin tahuan seorang anak kecil, sehingga membiarkanku melihat proses tersebut. Aku memandangi tiap proses tersebut dengan serius dan aku dibuat menelan ludah ketika melihat pemandangan dimana pengukuran sedang dilakukan pada area dada dari bu Elin.

Samar terlihat kedua bukit kembar super milik bu Elin yang masih terbungkus oleh kaos yang cukup gombrongnya, namun karena pengukuran yang dilakukan tersebut, membuatnya sedikit tercetak dari balik kaos yang ia kenakan.





####




Hari-hariku di rumah bu Dewi berjalan monoton dan membosankan. Bu Dewi akhir-akhir ini sangat sibuk dengan pekerjaannya, sedangkan aku yang tidak memiliki pekerjaan hanya menghabiskan waktuku dengan menonton tv. Untungnya, beberapa hari lagi adalah hari pertama sekolahku. Sehingga aku bisa sejenak melihat dunia luar.



“Gio… tolong anterin baju bu Elin ke rumahnya, nak. Rumahnya ada di ujung jalan ini, rumah warna ijo.” Ucap bu Dewi, “nanti kamu main-main dulu di sana nggak apa-apa, di sana ada anaknya bu Elin yang seumuran kamu, ibu lihat-lihat kamu sudah mulai bosan nggak ada temen.”

Aku tersenyum dan mengangguk, lalu bersalaman untuk berpamitan, “Gio pergi dulu ya, Bu.” Ucapku sembari membawa kantong kresek yang berisi baju kebaya bu Elin.



Aku berjalan kaki menuju rumah bu Elin. Rumahnya tak jauh dari rumahku dan hanya berbeda beberapa rumah saja. Sesampainya di rumah dengan cat tembok berwarna hijau tersebut aku pun mengetuk pintu rumah tersebut. Dan muncul lah seorang anak yang seumuran denganku, yang ku taksir merupakan anak dari bu Elin, seperti apa kata bu Dewi tadi.



“kamu siapa? Cari siapa di sini?” tanya anak itu.

“aku Gio, aku mau nganterin bajunya bu Elin.”

Anak itu berbalik badan dan berteriak, “MAAAA… ADA GIO YANG NGANTERIN BAJU MAMA.”



Bu Elin pun Nampak keluar dari kamar dengan kancing daster yang belum terkancing sempurna, sehingga belahan dadanya pun malu-malu menyembul dari balik dasternya, “ish, Rony. Kenapa harus pake teriak sih, adekmu kan baru aja bisa tidur.” Gerutu bu Elin. “eh, Gio, ayo masuk nak. Sembari ibu ambilkan uangnya ya.” Lanjut bu Elin.

Sepertinya bu Elin baru saja selesai menyusui adeknya Rony dan buru-buru keluar kamar ketika mendengar Rony berteriak, karena tak ingin Rony membangunkan adeknya, sehingga ia pun buru-buru mengancingkan daster bagian atasnya, namun sayangnya kancingnya tidak mengait dengan sempurna dan menampakkan belahan dadanya yang menyembul malu dari balik dasternya.

Aku dan Rony pun saling mengobrol layaknya anak-anak pada umumnya. Rony pun memarkan koleksi mainannya kepadaku dan aku sambut dengan antusias. Sepertinya Rony ini tipe anak yang mudah bergaul dengan orang baru, sehingga ia tak canggung meskipun baru pertama ketemu denganku.

Beberapa saat kemudian, bu Elin Kembali keluar dari kamarnya dan membawa uang untuk membayar jasa dari hasil jahitan bu Dewi, “ini uangnya ya, Gio. Sesuai sama bon yang ada di dalam kresek, nanti tolong kamu kasih ke bu Dewi sama tolong sampaiin terima kasih karena kebayanya pas dan bagus.” Ucapnya sembari tersenyum ramah.



“aku boleh main dulu disini nggak, Bu?” tanyaku polos.

Bu Elin tersenyum, “ya boleh atuh, main sama Rony gih.” Lalu berbicara agak keras, “Ron, temannya diajak main, jangan dinakalin ya. Ibu mau nungguin adekmu.”



Bu Elin Kembali masuk ke dalam kamar, sementara aku dan Rony Kembali bermain di ruang tengah ini. Aku hanya mengimbangi dari cara bermain Rony, karena sebagai orang dewasa yang berada pada tubuh anak-anak, rasanya cukup kaku bagiku untuk bermain lepas layaknya anak-anak.

Sementara itu, aku masih tetap mau di sini juga karena bu Elin. Siapa tau aku dapat rejeki lebih di sini meskipun hanya sebatas ‘pemandangan’ saja. Apalagi ketika menyambutku tadi, bu Elin menggunakan daster yang cukup membuat siapa saja terangsang.

Waktu berlalu hingga matahari telah sampai di titik puncak atau tepat berada di atas kepala. Aku berniat untuk berpamitan dengan bu Elin setelah merasa bosan bermain dengan Rony. Segera aku minta Rony untuk mengantarkanku pada ibunya.

Aku melihat bu Elin merebahkan diri di Kasur dengan posisi miring sembari salah satu toketnya keluar dan dihisap oleh anaknya yang masih kecil. Aku yang tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk melihat toket bu Elin pun nekat mendekatinya untuk bersalaman dan berpamitan pulang, “bu, Gio pulang dulu ya.”



“iya, nak Gio. Maaf ibu sedang netein dek Khanza.” Ucapnya.

“netein itu apa bu?” tanyaku yang pura-pura polos.

Bu Elin memandangku dan tersenyum, “netein itu ngasih susu ke anak.”

“emang itu keluar susunya, Bu?”

“ya keluar dong, kan ini istimewanya seorang ibu.”

“emang rasanya gimana bu?” tanyaku mencoba “menggoda” bu Elin dengan pertanyaan bodohku.

“ya sama kayak susu-susu biasa, emang kamu kenapa penasaran?”

“ya penasaran aja bu, kok bisa keluar susunya gitu. Nanti Gio tanya ke ibu deh, siapa tau punya ibu juga keluar susunya.” Jawabku polos.

Bu Elin pun tertawa, “punya ibumu nggak keluar, Gio. Kapan-kapan ibu kasih deh biar kamu nggak penasaran. Dah sana pulang, nanti ibumu nyariin lagi.”

Setelah itu, aku pun Kembali pulang dengan perasaan riang gembira mendengar kata-kata dari bu Elin, sepertinya ia masuk ke dalam perangkapku. Aku pun tak sabar ingin mencicipi toket montoknya itu.

Aku juga tidak habis pikir dengan bu Elin. Entah apa yang membuatnya berkata demikian, apakah karena aku anak kecil? Atau ia hanya tak mau aku terlalu lama menanggapi serius, sehingga ia berkata demikian agar aku bisa cepat pergi dari hadapannya?

Sesampainya di rumah, aku melaksanakan perintah dari bu Elin, yaitu memberikan uang untuk jahitan bu Dewi dan menyampaikan kata terimakasih. Setelah itu, kegiatanku seperti biasa, hanya menonton tv dan rebahan.



####



Lanjut ke Part 3: Professor and The Mystery
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd