Chapter 4
Coach
Di lorong kapal yang sempit dan penuh sesak, Slamet berjalan pelan memperhatikan langkahnya supaya tidak menginjak tubuh anak-anak didiknya yang tertidur berhimpitan di sepanjang lorong kapal. Sesampainya di geladak luar, dinyalakannya sepuntung rokok, kesempatan untuk melupakan rasa stress yang menumpuk selama 2 bulan ini.
Mimpi buruk ini bermula dari malam kelam serangan nuklir itu, saat itu Slamet sebagai guru olahraga sekaligus coach tim basket sebuah sekolah di Banyuwangi bertanggung jawab membawa tim dan chearleader mengikuti sebuah kompetisi di Surabaya. Namun baru saja sampai di Surabaya serangan itu terjadi. Beruntung mereka berhasil menemukan perlindungan dan berdiam di bunker selama beberapa minggu. Setelah keluar bergegas mereka pulang ke Banyuwangi dengan harapan bisa berkumpul kembali dengan keluarga masing-masing. Namun apa yang mereka temui disana hanyalah reruntuhan. Sekolah, rumah, keluarga, dan seluruh penghuni kota tercinta sudah lenyap. Yang menguasai kota kini para prajurit Allied Forces yang mulai mempersiapkan banyuwangi sebagai “gerbang” untuk melaksanakan pengunduran secara bertahap ke Bali.
Tanggung jawab besar kini dipikul Slamet. Meski masih sangat berduka atas kehilangan istrinya dia tetap harus bertanggung jawab atas keselamatan anak-anak didiknya yang kini bingung harus berbuata apa. Pasukan Red Forces yang terkenal bengis semakin mendekat, cepat atau lambat Banyuwangi akan jatuh juga. Dilema menyerang para pengungsi, ingin menyeberang ke Bali, tapi penjagaan kelewat ketat jumlah pengungsi dibatasi. Selain itu tidak ada jaminan Bali tidak akan jatuh ke tangan Red forces nantinya. Ditengah kebingungan dan chaos itu ada seorang abk kapal bernama gomblo yang membisikan pada Slamet untuk menawarinya tempat di sebuah kapal yang diam-diam berusaha melarikan diri ke Australia dan mencoba peruntungan disana sebagai imigran gelap, mereka akan berangkat malam ini berhubung penjagaan di banyuwangi blum begitu ketat. Gomblo bisa memasukan Slamet dan murid-muridnya ke KM Mahkota III, namun karena tempat terbatas tentu saja ada harganya. Penawaran Gomblo segera diterima Slamet walaupun dia harus merelakan cincin kawin kenangan dari istrinya.
Begitulah ceritanya bagaimana mereka bisa berada di kapal Ro-ro yang penuh sesak ini. Kapten dan para ABK kapal sudah berencana ketika terpergok patroli AL australia nanti mereka akan merusak mesin kapal sehingga mau tidak mau AL harus menarik mereka untuk merapat di australia.
Tidak terasa rokok terakhir dari kotaknya sudah habis, ingin rasanya membuka kotak baru tapi Slamet urungkan untuk berhemat, mungkin bakal susah dapat rokok kedepannya. Hawa diluar semakin dingin, sepertinya sudah saatnya masuk dan mencoba tidur. Saat itu keadaan remang-remang, agar tidak mudah ketahuan oleh militer, kapten memutuskan mematikan hampir seluruh lampu di kapal juga memerintahkan pada semua orang untuk tidak membuat kegaduhan karena katanya bisa terlacak kapal selam, beberapa orang tidak percaya dan menganggap si kapten terlalu paranoid.
Saat berjalan dengan meraba-raba di geladak kapal, slamet melihat sesuatu yang aneh. Di kegelapan slamet melihat ada cahaya putih terlihat dibalik terpal yang menutupi salah satu sekoci yang terpasang di geladak. Dari bayangan terlihat jelas ada seseorang didalam sekoci itu. Slamet segera menghampiri berniat menegur orang tersebut untuk mematikan lampu. Tiba-tiba…
“mmmhhh….duh..” suara pelan terdengar dari sana. Jelas-jelas suara seorang wanita, dan sepertinya tidak asing
Slamet mengendap-endap mendekati sekoci, dan mengintip dari sela-sela terpal, betapa terkejutnya dia mendapati ada sepasang ABG sedang bergumul di dalam sana, dan yang lebih mencengangkan Slamet mengenal keduanya. Ya, mereka adalah anak-anak didiknya sendiri Andre dan Ira. Mereka bergumul diterangi sebuah lampu emergency perlengkapan sekoci. Andre anak kelas 2 sekaligus pemain andalan di tim basket sekolah sedangkan Ira masih kelas 1 dan baru beberpa bulan di tim chearleader, Slamet sudah curiga mereka diam-diam pacaran tapi tidak menyangka mereka sudah sejauh ini. Ingin rasanya Slamet segera melabrak mereka, tetapi ketika melihat muda-mudi itu bercumbu sesuatu terbangun didalam dirinya.
“Dre… udah ya, nanti ketauan.. mmmhhhhhhh……” Ira berusaha meredam desahan dengan tangannya.
Andre terus melanjutkan cumbuaannya pada leher jenjang Ira hingga penuh cupangan. Kedua tangannya mulai merabai tocil Ira dari balik baju.
“kamu cakep banget Ra. kita ngentot yuk…” rayu Andre yang dari suaranya terdengar sudah sange berat.
Ira mengeleng-geleng tampak panik, entah kenapa. Melihat Ira masih belum menyerah juga, Andre segera menaikan baju Ira sekalian dengan BHnya. Toket Ira yang mulai mengkal langsung menyembul. Slamet menelan ludah melihat dua gundukan Ira. Ira memang belum sematang para seniornya tapi bukan berarti Ira tidak menarik. Slamet seorang lelaki biasa, dia tidak memungkiri bahwa dia takjub setiap kali para anggota chears sedang tampil, sesekali mencuri pandang ke arah toket para siswinya yang bergoyang-goyang seirama dengan tarian, mana mungkin tidak ada yang tergoda, tapi selama ini akal sehat Slamet masih bisa meredamnya.
“mmmmmmm…….” Desah Ira merasakan kedua putingnya dipelintir bersamaan, apalagi cumbuan Andre di lehernya makin menjadi. Andre benar-benar sudang mengerti kelemahan kekasihnya itu.
Tidak lama andre menurunkan celana jeansnya, kontolnya yg sudah tegang menyembul keluar. Rok Ira dinaikan sepinggang, benggolan memeknya yang sudah basah tercetak di CD. Andre segera mengusapkan kontolnya ke memek Ira yg masih dilapisi CD.
“Ra… boleh ya?..”
“mmhh…. mmhh…. mmhh…. mmhh….” Ira semakin belingsatan diperlakukan seperti itu.
Slamet ikut-ikutan sange dipertontonkan pemandangan seperti itu, kontolnya mulai tegang. Namun untungnya akal sehatnya masih bisa bangkit. Sebelum dua sejoli itu kebablasan sampai “level” selanjutnya Slamet segera membuka terpal sekoci. Andre & Ira kaget bukan kepalang melihat raut wajah murka gurunya itu.
“ngapain kalian heh?? Mau coba2 main kurang ajar disini, huh? Tau kalian bapak harus berkorban apa demi dapat tempat di kapal ini ?” Slamet marah tapi berusaha membuat suaranya serendah mungkin.
“ampum pak, maaf…” Ira Andre minta maaf sambil memperbaiki baju mereka yang berantakan.
Slamet sadar tidak baik membuat keributan sekarang karena masih ingat perintah kapten kapal.
“Sudah, kita bicarain nanti saja, besok pagi kalian menghadap saya. Ira kamu balik tidur sama teman perempuan yang lain, sedangkan kamu Dre, kamu sama bapak biar ga macam-macam lagi.”
Setelah itu mereka bubar. Malam itu Slamet merasa lelah sekali, kian hari makin bertambah saja beban pikirannya. berusaha dia redam rasa geramnya dan mulai berbaring mencoba tidur di lantai dek yang dingin.
------------
Tanpa disadari para penumpang KM Mahkota III, sebenarnya ada sesuatu yang sedang berenang-renang di kedalaman sana. Mereka tidak tahu bahwa mereka sebenarnya tidak berlayar sendirian malam itu.
Sebuah kapal selam bertenaga nuklir milik Red Forces mengendap-endap dibawah sana.
Heze merupakan salah satu kapal selam yang diserahi tugas memblokade Samudera Hindia dan mengganggu jaringan logistik pasukan sekutu dalam mendukung RIS. Kapal
Type 093 Shang-Class itu menaikan periskop serangnya. Dari balik periskop Kapten kapal Heze, Jiang dapat melihat sebuah kapal tua berlayar santai ke selatan seakan tidak dalam kondisi konflik.
“Kapal ini bodoh atau kelewat nekat? Kenapa mengambil rute yang melenceng cukup jauh dari rute biasanya, atau paling tidak dikawal kapal lain bukannya
selonong boy sendirian begini..”
Jiang tidak sadar kapal itu cuma berisi imigran gelap dan tidak bernilai apa-apa, dimatanya kapal itu tidak ada bedanya dengan kapal suply lain. Kapten muda itu sudah tidak sabar lagi mencetak
kill pertamanya. Sudah berkali-kali mereka kehilangan kesempatan menyerang selama patroli kali ini gara-gara harus bersembunyi, kucing-kucingan dengan pesawat patroli maritim P-8 Poseidon US Navy.
Kapten segera berdiskusi dengan komisaris partai, tidak ada keberatan. Tidak menunggu lama diperintahkan awaknya untuk mempersiapkan heavy torpedo Yu-6 di tabung peluncur. Perintah tembak diberikan, torpedo Yu-6 segera meluncur dari tabung nomor 1 menuju KM Mahkota yang malang. Tidak lupa sang kapten tetap memperhatikan stopwatchnya guna memperhitungkan waktu perkenaan torpedo.
“DUM” suara dentuman kecil terdengar di ruang tempur kapal
Dari periskop Jiang dapat melihat gelapnya malam berubah terang oleh kilatan cahaya, diikuti dengan pilar air yang membumbung tinggi ke udara di kejauhan sana. Tanpa menunggu konfirmasi dari Jiang para awak tahu bahwa torpedo mereka berhasil meluluh lantakan kapal malang itu. Seketika ruang tempur yang sunyi penuh ketegangan pecah oleh gemuruh tepuk tangan dan sorakan para awak.
“DIAM SEMUANYA” bentak Jiang mengingatkan mereka masih di daerah musuh.
Rungan tempur pun sunyi kembali.
---------------
Sori ya chapter barunya ga ada hubungannya sama yg sebelumnya, gw mau fresh start aja. Nanti yang cerita lalu juga dilanjut kok.