Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Perlu pakai bahasa resmi negara nggak nih ? (bahasa Inggris, Itala, Jerman, Dll)

  • Ya ! (biar feel dramanya terasa) / dua-duanya nggak papa

    Votes: 38 17,8%
  • Nggak usah ! (Bahasa Indo aja, biar gampang)

    Votes: 176 82,2%

  • Total voters
    214
!! Next Update :

S1E03 'THE ALPHA FEMALE'

"1 lagi yang tersisa. 'Subject' ketiga, proyek misterius yang sedang dijalankan Barry (Benicio Del Toro). Janji pertemuan di Frankfurt ataupun Leipzig sudah ia terima...

Kini, kita akan beralih dari cerita menegangkan gejolak perang Kosovo, terbang menuju tanah Bavaria, Jerman.

Upaya pencarian, akan peninggalan masa lalu. Yang amat sangat dibutuhkan keberadaannya oleh Barry...”


- Sanji_Blackleg
** Oh ya, supaya paham jangan lupa baca Intro S1E03 dan keterangan baca pada halaman sebelumnya ! Wassalam...
 
Terakhir diubah:
EPISODE 3 :
THE ALPHA FEMALE

1999's



(Bandara Heathrow, kota London)
24 Maret 1999 | Pukul (GMT+1) 09.00 pagi

Dua hari setelah menyelesaikan semua urusan di london, beberapa jam pasca serangan udara aliansi NATO ke ibu kota Belgrade, Serbia.
Barry berjalan menenteng tas koper menuju jet pribadi. Suasana hatinya lebih mendingan ketimbang beberapa hari yang lalu. Balasan pertemuan dengan ‘Last-Subject’ dari Frankfurt, sudah diterima.
Berbincang santai dengan seseorang melalui panggilan telepon. Berbeda keadaan... di belakangnya, Angelo gantian yang terlihat sibuk mengatur ulang schedule pertemuan bisnis Barry.
Pekerjaan Angelo yang awalnya sebagai ajudan akhir-akhir ini malah lebih mirip kepada sekretaris perusahaan.

Keterangan alih bahasa :
🇬🇧 : Percakapan Native bahasa Inggris
🇩🇪 : Percakapan Native bahasa Jerman
🇷🇸 : Percakapan Native bahasa Serbia
( Percakapan telepon 🇬🇧 )
“Dresden, juga Frankfurt kalau memungkinkan. Aku sudah berbicara kepada Saša. Oh, come on, kenapa dia juga ikut ? Merepotkan saja !”

“Apa ada masalah ? Bukan kah menurut aturan, kami harus melapor kepada Sir Lander ? Zzzttt...”
“Nggak perlu, aku sudah mengurus cuti khusus untukmu. Kau dapat ijin ke Jerman sampai akhir pekan. Kapal pesiar juga Bar ayahmu sudah kutebus. Ada masalah lain ?”
‘Zzzttt…
Zzzttt…’

(suara panggilan gangguan bising sinyal)

“Okay. Thanks Barry... Kuharap Liburanmu juga menyenangkan. Aku cari tempat yang nyaman dulu untuk anak ini. Juga akses kesehatan secepatnya. Selain di pertemuan, jangan pernah perlihatkan dirimu kepada gadis ini. She's really scared.”
“Gaya bicaramu sama saja seperti para aktivis lingkungan ! Alright ‘Q’, sampai jumpa di sana~”
‘Cklek !’
‘Tutt.. Tutt... Tuttt—’


( 14 )


(Rumah Daphine, kota Dresden)

22 Maret 1999 | Pukul (UTC+1) 08.00 pagi
[ Flashback ]

Dua hari sebelumnya, berada di daerah kompleks perumahan dan apartemen Salzgazze di tengah kota Dresden, Jerman.

‘Tingg… Tingg... Tinggg’
‘Tingg… Tingg... Tinggg’

(Bunyi mesin Oven)
Suara indikator ‘matang’ oven itu benar-benar masalah normal setiap hari. Melengking sampai lantai atas, melebihi alarm kebakaran saja !
( 🇬🇧 )

“Kue nya sudah matang ! Bibi Daphine !”
Suara dari kamar lantai 2 Apartemen. Sementara volume keras TV, bercampur menggema di bawah. Ah sial, pikirnya. Orang itu pasti sibuk dengan pekerjaan, menonton TV diselingi memasak kue. Mau tak mau dia sendiri yang mesti repot-repot turun tangga mematikan oven.
“Ya tuhan, bisakah kau tidak memasak sembari bekerja ? Daph !”
Maximillian Stolze (19). Baru saja mengabiskan liburan semester pertama perguruan tinggi untuk bermain reguler bersama tim senior di ajang Divisi 3.Bundesliga Jerman.

Yap, bakatnya memang tak pernah jauh dari lapangan hijau. Sejak jenjang Sekundarstufe II (SMP) ia sudah menjadi andalan tim regionlig Nord Dresden.
Kerja keras dan semangat belajarnya sampai ke universitas, membuat dewan klub SG Dynamo Dresden mengapresiasi pemain jebolan akademi mereka ini dengan kontrak professional pertama di usia 16 tahun, juga hadiah beasiswa gratis sampai lulus kuliah.

“Yeah, terima kasih sudah mengingatkan tanpa inisiatif mematikannya, kau ada kelas hari ini ?” balasnya dari bawah.
Terdengar sarkas bagi Max, membatalkan langkah gontai yang sebetulnya punya niatan mematikan oven.
“Pak Manager sudah membuatkan surat ijin untuk waktu recovery yang cukup. Oh ya, kenapa kau tidak hadir menonton pertandinganku tadi malam, Bibi Daph ?”
“Oh well, I'm Sorry Max, Aku sudah janji bertemu dengan teman-teman tadi malam. Selanjutnya akan kuluangkan waktu.” jawabnya, melirik ke arah Max di tangga.
Nadanya terkesan acuh, di sisi lain ada penyesalan. Menyadari janjinya kemarin untuk datang mendukung Max di pertandingan debut pertamanya. Namun, terbentur agenda pesta perpisahan dengan rekan kantor, tidak etis untuk dilewatkan.
( 🇩🇪 )
“Unsinn ! (Omong kosong !)” gerutu Max.
Sosok kurus tinggi 180 cm itu kembali ke kamarnya, terjangkau mata Daph dari ujung tangga bawah. Rambut ‘gondrong’ Max masih kusut berantakan.

‘Tingg… Tingg.. Tutttt’
(Mematikan alarm Oven)

Perempuan berambut ginger (merah) awalnya sibuk merias diri, masih mengenakan Bra hitam ‘big-size-cup’ juga sebuah sarung tangan untuk mengambil adonan dari dalam oven. Baru saja senggang, seorang dari kantor lamanya tiba-tiba menelpon.
Pagi-pagi (lagi), dibuat repot oleh ulah mantan bos.


( Percakapan telepon 🇩🇪 )

Was zur Hölle ? Dia memintaku untuk menawarkan asuransi lagi, bukankah Roger sudah menerima surat resign dari ku ?” tanya si ‘ginger’ kepada si penelpon.
Sementara melapisi kue dengan cincangan buah segar. Tak lupa ia tata kembali rambutnya dengan headscarf terikat, rambutnya memang suka di cat merah beberapa bulan terakhir.
“Entahlah, dengar-dengar kau baru mulai bekerja 2 bulan lagi. Ayolah Daphine, kita juga kesusahan mencari penggantimu !”
Daphine Leonides (28). Terakhir kali bekerja sebagai agen perusahaan asuransi John Hancock & AOK. Posisinya sangat krusial bagi perusahaan merger asal Amerika - Jerman yang hampir saja berada di ujung tanduk.

Hampir 3,5 tahun bekerja di sana. Banyak nasabah dan dana yang berhasil digaet. Inilah yang membuat perusahaan belum memberikan izin resign untuk si ratu asuransi.
Apa hanya itu yang bisa membuatnya dicap ratu asuransi ?
Tidak juga...
“Posturku setinggi 173 cm. Jelas kalah dari deretan wanita-wanita cantik SPG asuransi lain. Namun, satu hal yang selalu ku syukuri adalah... lekukan curvy' bak 'jam pasir' (kata instruktur yoga-ku). Walapun bisa dikatakan 'Berisi'. Atas - bawah, bemper - depan belakang semuanay menonjol. Mungkin, ini yang membuat beberapa nasabah, khususnya lelaki-lelaki genit bodoh pada akhirnya 'takluk', luluh untuk mendaftar asuransi di tempatku bekerja. Yah, terkadang sih dengan siasat iming-iming makan malam berdua untuk membicarakan rincian asuransinya. Cerdas, Cantik, Seksi, dan Piawai memaksimalkan peluang ! Itulah yang harus digunakan seorang perempuan untuk bisa survive...” - Daphine Leonides
“Kalian sinting ? 2 bulan lagi katamu ? Woy, aku harus interview 3 hari lagi, Idiot. Kedutaan sudah memesan tiket ke Frankfurt untuk ikut konferensi.”

“Tolonglah Daphine, aku bisa dipecat jika kau tidak segera menemuinya...”
“Was ? (Apa ?) memang apa hubungannya denganmu ?”
Daphine tentu jengah, saat rekanan kantor dihubung-hubungkan dengan rencana pengunduran diri dari perusahaan.
“Mr. Boss, habe versucht, alle zu bedrohen, du verdammter Bastard ! (Pak Bos, dia coba mengancam semuanya dasar sialan !)” suara bentakan orang lain dari sambungan telepon, jelas itu ditujukan kepada Daphine sendiri.
Hallo ? That is Miller ?”
‘Cklek !’

“Max, hurry up ! sarapanmu sudah siap, setelah pulang aku mau kita bicara !”
( 15 )


(Belgrade City Hall, Serbia)
6 Januari 1999 | Pukul (UTC+1) 07.00 malam

[ Flashback ]
Awal tahun 1999. Dalam sebuah acara makan malam, yang diselenggarakan di Balaikota Belgrade.
Jajaran keamanan polisi dibantu 2000 personel paramiliter FR Yugoslavia bersenjata lengkap, terlihat santai bertugas mengamankan sebuah wilayah radius 10 km di jantung kota Belgrade.
Deretan mobil mewah milik pejabat pemerintah, para oligarki, juga tamu-tamu perwakilan dari PBB, sudah terparkir di halaman gedung pertemuan Belgrade city Hall.
Undangan tamu yang berdatangan satu-persatu memenuhi deretan meja makan aula.
Pertemuan pihak yang bersengketa dalam konflik bersenjata Yugoslavia. Dialog perdamaian ini, merupakan inisiasi dewan keamanan PBB yang awalnya mengira bakal berjalan sengit dan penuh ketegangan.
Nyatanya, para tamu delegasi dan pejabat dari wilayah Kosovo - Albania - Bosnia - Kroasia - Montenegro - Makedonia - Serbia (terlihat damai), saling berjabat tangan dan bertegur sapa. Perang tahun keempat, memasuki babak gencatan senjata, seruan keras oleh PBB.
Sekjen PBB, Kofi Annan (61) juga menandatangani resolusi nomor 1244 (tahun 1999) yang pada intinya menjamin hak menyatakan pendapat bagi masyarakat di wilayah Kosovo untuk membentuk otonomi dalam bingkai negara Yugoslavia (yang kini menjadi Serbia).
Pemerintah Yugoslavia hanya diwakili anggota istana pemerintah federasi. Sementara Sloboban Milosevic selaku presiden FR Yugoslavia, tidak hadir dalam acara tersebut.
....

Lindsey mengenakan dress mini warna merah, hadir di sana perwakilan dari pers Al-Jazeera English.

Duduk di meja melingkar, di antara para delegasi US-UK embassy. Tamu undangan khusus bagi para pers. Dari meja tempatnya duduk, sesekali menerawang jauh kepada sosok lelaki di depan pintu masuk aula pertemuan.

Seorang lelaki, mengenakan seragam militer FR Yugoslavia, banyak lencana pangkat disandang. 1 dari sekitar 30-an orang dengan seragam sama di pertemuan.
Sebelum meletakkan gelas wine, lelaki tadi sudah menghilang saja.
( 🇬🇧 )
“Lindsey, hey lindsey ! Ayo, pak Walikota mau memberikan konferensi pers !” teriak Michael, mengaburkan pencariannya pada sosok lelaki diambang pintu tadi.

“Yeah, I’ll be there.” balasnya, menunjukkan lipstick dari dalam tasnya kepada Michael.

Michael Edward (48), seorang WN Amerika Serikat yang sudah 7 tahun tinggal di Inggris, bekerja sebagai cameraman untuk BBC, CNN juga New York Times. Terlihat betapa ‘maniak’nya Michael untuk pekerjaannya satu ini.
Lindsey masih mencari-cari keberadaan orang sebelumnya. Ketemu ! Kini sudah berpindah ke lantai 2 bizantium. Mungkin tidak akan terjangkau dari posisi duduknya. Lelaki berseragam tadi, membaur, berbicara dengan seorang ‘asing’ bahkan dari semua tamu paling asing sekalipun di ujung balkon.
Merasa ada yang janggal, Lindsey beralih ke meja pelayan, segelas wine lagi. Membuka note miliknya, menuliskan sesuatu, coba mengingat.
“Lelaki tegap sekitar 188cm. Dengan rambut yang sudah beruban. Umurnya, mungkin 50 tahunan. Orang eropa timur. Juga di sekitar mereka berdua, seseorang lelaki dengan jambang, tingginya mungkin menyamai daun pintu di sana. Seolah memisahkan mereka dari dunia luar. Berjaga. Orang kaukasus. Mereka berbicara tak lebih dari 15 menit, namun sepenting apa obrolan mereka sampai harus bersembunyi dari keramaian seperti ini ?” tulis Lindsey.
Belum saja menyelesaikan, Michael sudah kembali untuk mengagetkan.
“Lindsey ! Sialan, kita sudah terlambat. Dasar pemalas !” gertaknya, sudah men-setting kamera di depan meja conference.
“God, Alright Michael, I’m comin…” jawab Lindsey, sekilas melirik kepada ketiga orang tadi.

Mereka sudah menghilang dari sana.




(Kamp militer Yugoslavia, kota Pristina)
21 Maret 1999 | Pukul (UTC+1) 09.55 malam

[ Flashback ]

Kembali menyimak ketegangan Lindsey saat bertugas meliput situasi perang Kosovo, beberapa hari yang lalu.

‘TRRKKKKKK…
Grnggg !

Grrrnggg !’
(Bunyi mesin kendaraan militer)

Lindsey berada di pos keamanan. Hanya berjarak beberapa meter dari lahan Bandara Pristina. Mungkin lebih mirip pangkalan militer darurat, beberapa kendaraan perang Rusia sudah tiba di sana.
Beberapa kali ia dengar deru truck-truck, kendaraan lapis baja BTR-60 buatan Soviet, juga mesin tank M-84 Yugoslavia, keluar masuk dan terparkir di sini.

“Jelas, Selain menyelamatkan para diplomat Rusia, lokasi ini juga garis depan pasukan 2nd dan 3rd mereka di wilayah Pristina !” - Lindsey

Ada sekitar 6-7 bangunan semi permanen, bau cat masih sempat tercium olehnya. Kondisi penerangan di sekitar juga stabil. Sementara pada bagian sisi timur adalah penjara khusus perempuan dan anak-anak.
Alina sendiri sudah aman bersama Martin Delev.

(Kamp tahanan Yugloslavia, kota Pristina)

Seorang lelaki berperawakan dengan seragam loreng rapi, juga bermacam lencana kepangkatan, masuk dari balik tirai, dikawal 3 orang kombatan.

Sebelumnya, karena mendapati adanya berita penangkapan seorang jurnalis internasional, sang pemegang komando harus masuk ke tenda pertemuan, untuk menemui, setidaknya memastikan keamanan Lindsey dan para jurnalis lainnya.
Kepada pers, penting bagi pihak agressor ‘negara penyerang’ memperlihatkan citra humanis di mata dunia internasional.

“Lelaki ini, aku pernah melihatnya saat meliput pertemuan penting dengan para delegasi Kroasia-Bosnia-Albania-Montenegro-Serbia di kota Belgrade beberapa waktu lalu. Tak begitu yakin dia akan mengenaliku. Itu memang dia. Memakai baretnya. Juga sebuah arloji emas, wrist berdiameter 7 inch. Nebojša Pavković (53).” - Lindsey

Matanya sudah sembab. Mungkin, karena operasi militer mereka tak sesuai yang direncanakan. Mulutnya beberapa kali menguap, lelah. Mungkin 2 hari lebih, beliau tidak beristirahat. NATO sudah siap melakukan serangan besar-besaran ke Belgrade 2 hari mendatang. Sementara ada kekhawatiran bandara akan diambil alih tentara KLA.
Itulah kenapa Yugoslavia meminta bantuan Rusia untuk mengamankan akses penerbangan bandara.
Nebojsa dan Lindsey hanya mengobrol bahasan ringan dengan bantuan seorang kombatan muda sebagai penerjemah.
Sekedar bertanya dari mana asal lindsey, sejak kapan meliput perang ini, sejak kapan bekerja untuk Al-Jazeera (media asal timur tengah yang baru 3 tahunan berdiri). Mereka tidak menyimpan kecurigaan sama sekali.
( 🇬🇧 )

“Lalu kenapa kalian masih menahan seorang jurnalis wanita ? bukankah itu pelanggaran ?” tanya Lindsey seraya memperlihatkan tangannya yang masih diikat dengan lakban rekat, seraya menujukkan ID-card penugasan miliknya.

“Hmm? Hakhakha...” kekeh Jenderal Nebojša Pavkovic, suaranya lumayan serak malam itu.
( 🇷🇸 )
“Da li je moguće da novinar nosi oružje na dužnosti ?” tanya orang itu, sedikit saja yang bisa dipahami Lindsey.

Pengawalnya menerjemahkan. “Apa mungkin bagi seorang-jurnalis perempuan, sepertimu bekerja dibekali dengan senjata pistol ?”

“Oh well, did you find that ? (Lalu, kau temukan itu?)” balik menantang, Lindsey menjawab seperlunya.

“Tidak Nona, hanya saja itu pengakuan dari temanmu, John. katanya kau baru saja menggunakan sebuah pistol, sekali saja.” bantahan pengawal itu.
“Sialan, bedebah banci itu benar-benar buka mulut !” - Lindsey
“Then, ask him again, is he drunk ? (Kalau begitu, bisa tanyakan kepadanya juga, apa dia dalam kondisi mabuk ?)”
Keempat orang termasuk Nebojša Pavkovic hanya terdiam. Mereka sama sekali hirau dengan keributan dan teriakan wanita dan anak-anak dari luar.
Meminta pertolongan, juga samar-samar rintihan pilu kesakitan karena dilecehkan para kombatan Yugoslavia. Mereka dijadikan sandra dan jaminan bila sewaktu-waktu memerlukan negosiasi dengan musuh.
“Maaf pak, apa kalian sadar melakukan ini semua ? meski cuman berkecimpung di dunia jurnalis, tapi ibuku juga seorang wanita, sama seperti mereka yang kalian bawa ?”

Lindsey berkata demikian, seraya menatap tajam Nebojša Pavkovic selaku Kolonel Jendral, pasukan 2nd.
Penanggung jawab, yang kelak akan menjalani trial pengadilan HAM internasional sebagai terdakwa pelaku kejahatan perang.
“Ne (Tidak), kami sangat sadar itu semua. Vi ste ti koji ste previše pametni, naučite nas šta je sloboda, a da ne znate pravu svrhu ove operacije. (Kalian lah yang terlalu sok pintar, mengajarkan kami apa itu kebebasan tanpa tahu maksud sebenarnya kami melakukan operasi ini)”
“Nebojsa dalam bahasa Serb (masih) menjawab pertanyaanku, beliau (mengakui) kejahatan perang yang serbia lakukan saat itu.” - Lindsey, (Al-Jazeera)
“Aku dengar dari laporan media, surat kabar yang sudah diekspos oleh Amerika. Beberapa minggu lalu, terjadi pembunuhan kepada kolega kami, Marko Nikolić, yang menurut hasil penyelidikan, pembunuhan itu didalangi oleh seorang mata-mata intelijen ? Šta mislite? (bagaimana menurutmu ?)”
“Aku belum pernah dengar beritanya di kedutaan, tapi apakah dia orang yang begitu 'penting'?”
“Po vašem mišljenju ljudi koji nemaju poziciju. (Menurutmu, orang yang tidak punya kedudukan). Apa mungkin dicari, diincar ?”
Lindsey menggeleng, namun setuju dengan pertanyataan Nebojsa. Balik bertanya untuk kali terakhir, sebelum Nebojsa meminta ajudan agar membawanya ke-‘ruang interogasi tingkat lanjut’.
“Why are you still alive ? (Jadi kenapa anda masih hidup ?) pernah berpikir, kalau anda juga bukan target ?”
Ingatannya kembali diputar ke belakang, 2 minggu sebelum operasi militer Yugoslavia berlangsung.
Malam, pasca perundingan antara pihak Serbia dan Kosovo yang diadakan di Perancis, mengalami kebuntuan.

( 16 )


(Kota Dresden, Jerman)
22 Maret 1999 | Pukul (UTC+1) 09.15 pagi

Kembali pada drama keseharian Daphine Leonides di kota Dresden, ibukota wilayah Saxony, berada di timur Jerman.
Kota Dresden banyak diminati turis karena ragam bangunan arsitektur baroque. Jalanan setapak yang masih mempertahankan paving block abad pertengahan.

Selain juga spot-spot destinasi yang menarik lainnya, seperti sungai Elbe yang terdengar mahsyur bagi para pecinta sejarah.

Kota ini beriklim hangat, tidak banyak curah hujan dan salju di musim dingin.

Bagi para turis yang terlihat antusias saat menaiki delman untuk berkeliling sepanjang jalan kota, tentu iklim ini menyenangkan. Selain delman yang masih beroperasi, ada potensi wisata laut yang selalu jadi daya tarik di sini.
Dari arah selatan sebuah mobil Volkswagen Golf IV biru tahun 1997, melesat kencang. Berjalan zig-zag, padahal jalanan lagi padat-padatnya. Menyalip ke kanan-kiri.
Pengemudinya, Daphine, menyetir dengan mencicip kue yang baru saja ia buat. Hmmm, Lumayan juga rasanya, menaikkan mood karena harus berurusan dengan (mantan) bos di tempat lamanya bekerja.
‘Grnggggggg
Tinn ! Tinn !’

(Menginjak rem, sampai di klakson mobil sisi jalan lain)
Ayolah ! Ich bin in Eile !
(Aku sedang buru-buru !)”

Daphine bersorak protes ke pengemudi di depan, malah dibalas dengan acungan jari tengah.



(Kantor Asuransi AOK, kota Dresden)
1 Jam kemudian. Lantai dasar Kantor John Hancock & AOK cabang kota Dresden.

Ruangan kerja Daphine ada di lantai 3. Lantai 1-2 digunakan untuk pelayanan, sementara lantai 4-5 adalah bagian marketing office.
( 🇩🇪 )

“Selamat pagi, Daphine~” sapa seorang petugas jaga di lobby dengan senyum sumringah.

“Selamat pagi juga, Tom !”

“Penampilanmu luar biasa hari ini, kebetulan sekali... ada seseorang mengirimkan buquet bunga untukmu.” puji si petugas jaga.

“Hah, benarkah ? dari siapa ?” tanya Daph heran, walaupun ada sedikit guratan malu.

Daphine sebenarnya sudah beberapa kali menerima pemberian seperti ini. Awalnya dia begitu senang saat menerima... tapi sama sekali dia tidak pernah diberikan identitas pengirimnya. Sampai akhirnya Daph jadi terkesan bosan dengan cara kurang manly ini.

Kalau lelaki, hmmm siapa ya ? Paling juga nasabah-nasabah, pikirnya.

“Sayangnya aku dan para petugas resepsionis tidak bisa menemukan lagi subjek pengirimnya.” jawab Tom.

“Ah ayolah Tom, tak apa. Akui saja, selama ini, bunga-bunga untukku darimu sendiri kan ?” goda Daphine ketika menerima bingkisan bunga misterius itu.

“Hahaha... kumohon, jangan membuat berharap ayah 3 anak ini, Nona Daphine~”

“Terima kasih~”

Daphine dengan riang berjalan menuju lift. Dia tidak henti-hentinya tersenyum sambil melirik pemberian buquet bunga itu.
‘Tingg !’

Pintu lift terbuka, Daphine akan naik menuju lantai 3 melalui lift.
Baru melangkah satu kaki, seorang menghambat. Kerepotan membawa beberapa unit komputer di atas keranjang troli menuju gudang basement di bawah. Unit komputer kantor mendapat peremajaan.

Dua orang lelaki, masing-masing mengenakan seragam teknisi ME dan sales, saling membantu memindahkan barang yang barusan disortir untuk perbaikan. Salah satu dari mereka cuma melongo saat beradu pandang dengan Daphine di dalam lift.
( 🇬🇧 )
“Ah ?” seorang dari mereka seraya menunjuk Daphine. Seperti kebanyakan orang yang pangling.

“Selamat pagi Rakash~ dan kalau nggak salah kamu itu—Deeven, Am I right ?”

Daphine yang duluan menyapa mereka. Padahal belum sempat si teknisi ingat saat coba menebak namanya.

Namun bagi Daphine, lihat lah, dia bahkan tidak salah menebak nama mereka. Paham, kenapa Daphine disukai banyak nasabah selain paras dan kerja keras ? Hal sekecil ini termasuk jawabannya.

Penghargaan, perhatian dan ucapan terima kasih. Ironi yang biasa terjadi di lingkungan kerja. Menyangkut para pekerja dan masyarakat kelas menengah ke bawah. Isu Rasis. Anti-empati. Anti-sosial.

Kebiasaan semacam ini yang coba disingkirkan Daphine dari norma keseharian. Mengemban komitmen seorang profesional, harus ramah kepada siapapun~
Terlebih tidak ada satu pun karyawan, staf, apalagi petinggi perusahaan mau memperdulikan keberadaan mereka. Mungkin berpapasan dengan mereka juga, tapi kenapa mesti repot-repot menghafal nama ?
( 🇬🇧 )
Ah, maaf ! Miss Daphine ? maaf, lift barangnya sudah sesak.kata salah satunya, sementara yang satunya kelihatan salting saat dilirik.
Daphine memakluminya.
Dua pekerja asing, berbicara bahasa Inggris dengan aksen India, masing-masing bernama Rakash Srepal (22) dan Deeven Kahsr (32).
Yap, mereka memang para pekerja * Imigran asal India & Bangladesh yang sudah bekerja hampir 1,5 tahun. Seharusnya sudah 2,5-an. Tahun pertama biasanya dihabiskan dengan pelatihan bahasa Jerman & Inggris guna syarat mengurus visa kerja, kontrak kerja, dll.

“Tidak keberatan naik ke lantai 3 dulu? I’m in a hurry (aku buru-buru).”
“Of course, no problem ! Miss Daphine, anda duluan saja.” jawab seorang.

“Thank you~”
* Imigran : Jerman, salah satu negara Uni Eropa yang sangat 'bermurah hati'. Destinasi kedua yang dipilih para Imigran untuk bekerja. Selain beasiswa internasional gratis, pemerintah juga membuka 200.000 lowongan pekerjaan sektor industri-ekonomi kepada imigran asing dalam setahun. Hal ini untuk menyelesaikan gejolak inflasi yang mereka dera karena kekurangan pekerja produktif. Terlebih sejak penyatuan kembali Jerman tahun 1990 yang membuat ekonomi mereka 'anjlok' 180 derajat. Khususnya bagian Jerman Timur dengan angka kemiskinan tertinggi. 2 Kota Jerman Timur seperti Leipzig & Dresden mendapatkan kuota paling banyak pendatang imigran asal Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika, dll. - DW Indonesia
‘Tingg !’

Pintu lift terbuka, Daphine turun lantai 3...

“Sampai jumpa Rakash dan kamu juga, Deveen~” salam dari Daphine sekali lagi.
Keduanya bergeming, lebih kepada maksud ‘erotisisme’, terpesona, menjangkau pandang tiap langkah Daphine di koridor. Detail. Dari belakang punggung turun ke ujung kaki naik lagi ke ujung kepala. Masih sama, bokong Daphine 'membulat' sempurna, agak menukik seperti ayam kate.

Ini yang dinamakan Dejavu ?

Ah, Rakash jadi mengingat sebuah nostalgia suatu sore. Bulan pertama dia berkenalan dengan Deeven yang bekerja di bagian sales oleh supervisor yang juga seorang WN India, Radhaj Shrav (36) kini sudah menunggu mereka di gudang.




( 🇩🇪 )
“Hey, das ist er ! (Itu dia !) syukurlah dia datang...” kasa-kusuk seorang lelaki kepada 2 rekannya di ruang merokok.

“Du teure bitchrte, mach es einfach hart ! (Dasar Lacur, bikin susah orang kantor saja !)” tambahnya lagi.

“Und danach wird, sie bestimmt mit Roger für die abfindung flirten (Bisa kutebak setelah ini, pasti dia bakal ngewe sama Roger demi uang pesangon).”
Sepatu heels yang dia kenakan, sengaja Daphine sentakan keras-keras kepada para haters, termasuk pada ketiga staf laki-laki barusan.

“Siapa lagi yang kali ini memberinya bunga ?” tanya salah satunya lagi.

“Entahlah, mungkin om-om ke-7 dari gedung depan...” jawab satu orang lagi.
Mereka bertiga melirik sinis ke arah Daphine. Dengan model rambut yang ditata sanggul ala pramugari.
Makeup yang Daph kenakan begitu kentara bagi sebagian agen asuransi. Di hari-hari biasanya, Daphine adalah sang karakter utama di kantor dengan old-school style 80-an, ciri khas gaya berpakaiannya.
Cantik dan seksi sepanjang mata memandang, merupakan definisi Daphine. Mau pakai busana warna kuning, hijau, orange, merah, terserah.
Outfit kantor yang terkesan mencolok, membungkus badan Daphine yang katanya mirip jam-pasir. Setelan dress ketat kantor berwarna violet dengan rok pendek di atas lutut, gradasi warna lebih cerah. Stocking warna cream yang biasa digunakan Daphine, sering jadi obrolan ‘fantasi’ para staf pria mesum di kantor.

Tapi tenang saja, urusan seperti ini memang diijinkan kantor, terlebih cara berpakaian mereka dituntut untuk membuat para nasabah jadi tertarik.
Sudah seperti ajang bersolek saja tempat ini bagi para staf perempuan. Pun begitu juga para staf laki-lakinya. Selain maskulin, gagah, proporsional, atletis, dan tentu saja ‘good-looking’. Satu hal lain, juga dituntut untuk mahir dalam hal berkata-kata.
Ada si ‘nenek sihir’ Hanna Dallman (31), kakak tingkat sekaligus sahabat baiknya semenjak kuliah di Berlin hingga bekerja di lingkungan Toxic ini. Dandanannya juga tidak kalah norak bila disandingkan dengan Daphine. Hanya saja, ‘si pemalu’ ini lebih menakutkan jika moodnya sedang jelek.
“Meja beserta komputer di atasnya, kalian tau ? Hanna pernah melemparkannya, sekali ayunan tangan saja ketika Benjamin dari bagian promosi lantai 4, mengganggunya, menaruh permen karet di bawah kursi. That's my girl !” - Daphine
( 🇩🇪 )
Obwohl ich 30 Minuten zu spät war (Padahal aku sudah terlambat 30 menit), apa pak bos masih menungguku ?” tanya Daphine.

“Tentu saja dasar ayam kate, das gleiche ! (cepatlah !) Bos tua panti Jompo mu itu bisa berteriak 1 jam tanpa henti !”

“Ada apa sih ? Ada apa dengan mereka ini ? seperti menyalahkanku, bukannya lumrah ijin resign ?”

“Hssttt… sudahlah jangan gelut dulu. Cepat masuk, biar aku urus mereka yang di luar !”
Daphine berpikir untuk melabrak saja mereka satu persatu. Tapi mau bagaimana lagi, Hanna sudah sangat takut dengan mood Roger pagi ini.

“Bunga lagi ?” tanya Hanna penasaran.
“Ya, mungkin dari nasabah yang sama...” jawab Daphine cuek, menyerahkannya kepada Hana. “Buang saja semua.” imbuh Daphine.

Di samping meja Hanna, rupanya banyak tumpukan bunga serupa... semuanya untuk Daphine.
Daph langsung menuju ke ruangan CEO dengan papan keterangan ‘Roger Kartheiser’ tergantung.

‘Ngikkk—’

Daphine membuka pintu dan menutupnya pelan.

( 🇬🇧 )
“Good Morning, Mr. Roger…” kata Daphine dari ujung pintu ruang.

“Ya ? apa seseorang menyuruh untuk bertemu denganku ?” jawabnya skeptis.

Si tua ini memang selalu arogan dan menyebalkan...
Roger Kartheiser (58), adalah mitra senior, juga menjabat selaku Founding Partners di John Hancock & AOK Insurance.
Lelaki berkeluarga asal Los Angeles, Amerika Serikat ini juga memiliki 1 perusahaan periklanan lain di Berlin. Tingginya tidak jauh dari Daph, 175 cm. Seluruh rambutnya sudah beruban. Reputasi sebagai seorang pengacara top turut mempengaruhi wibawanya. Ditunjang tampang wajahnya yang galak.
Guratan keriput wajah, juga suaranya yang berat menggelegar, layaknya burung bangkai yang selalu siap mengitari mayat. Begitupun dengannya tak segan-segan memecat seorang staf jika ketahuan bermalas-malasan.
“Biasa aja… senggang saja di rumah. Aku bawakan makanan untukmu.”
‘Klek—Krkkk !’

Roger membuka isi kotak bawaan Daph, melihatnya sekilas, dan mencuil kue buatan Daphine.

“Kau isi sianida di dalamnya ?” jawab si tua beruban ini. Toh nyatanya, roti itu juga langsung dilahap.

“Come on Roger, cuma setetes sianida…” canda Daphine balik, langsung bisa mengambil hati Pak Bos.
Sudah biasa dengan humor dark jokes aneh si bos. Di antara semua staf dan karyawan di kantornya, hanya Daphine lah yang mampu meredakan amarah pak Bos dengan treatment-treatment khusus. Mungkin karena sudah klop mengenal lama Roger. Juga Daphine amat bestie, sehaluan, vokal dalam setiap perdebatan Roger melawan para direksi lain.
Bisa dibilang, Daphine lah ‘si penyambung lidah’ Roger kepada para staf, juga sebaliknya. Dan itulah yang membuat Daphine memiliki banyak musuh di kantor.
“Kau tau ? surat pengunduran dirimu baru masuk pagi tadi ?” katanya sambil mengunyah.
“Oh ya ? Kau lupa ? aku sudah mengkirim seminggu lalu…” jawab Daphine.

‘Ctik ! Ctik !’

‘Fyuhhh~’


Daphine mematik 2 batang rokok untuk si bos juga.

Roger menerima sodoran rokok dari Daphine. “Kau tau, Aku belum pikun. Cuman kadang banyak masalah saja,” lanjutnya.
‘Drrkkk—’

Roger merebah, menyandar pada kursi kerjanya.

“Apa ada masalah dengan mereka (para rekan staf) ? gajimu ? mau kunaikkan jabatanmu ?” kata Pak Roger.

“Pak maaf sebelumnya. Itu semua bukan masalahnya. Aku cuma diminta membantu rekan keluarga di sana. Aku juga merasa sudah jenuh dan merasa sudah saatnya rehat dari pekerjaan ini.”
“Hah ? maaf, coba nyaringkan suaramu, rekan saudaramu ? bukankah kau sudah menyerah atas nasib saudara laki-lakimu yang minggat ke Las Vegas puluhan tahun yang lalu ?”

“No sir. Ini tidak ada kaitan dengan—”
Dipotong Roger. “—wow ! bravo. Aku juga orang Amerika, sama sepertimu. Kau bukan tipikal orang gampang meninggalkan keluarga. Wanita karir. Professional sejati. Tapi apa benar kalau itu tidak ada sangkut pautnya dengan si—siapa ?”
“Sudah kubilang jangan bahas—”
Dipotong Roger. “Lalu apa hah ?! Dasar Mata Duitan ! Bisa-bisanya kamu meninggalkan kami disaat seperti ini !” bentak Roger, lumayan keras tapi tak cukup mengagetkan bagi Daphine. “Kau tau ? beberapa nasabah sebentar lagi menandatangi kontrak besar. Dan Isu bodoh itu, sifat egoismu, Juga para bawahan bodoh di luar ruangan ini ... bikin semua orang (Calon Nasabah) menarik minatnya satu persatu !”
“Itu karena kau tidak mau memberi mereka kesempatan, sama sepertiku !” sanggah Daphine.
“Hah ? kesempatan ? Fuck ! Kau pikir siapa kau ini ? berani-beraninya coba berkhotbah disini, Kalau bukan karena aku, karirmu pasti—”

‘Nggikkk—’

Seseorang tiba-tiba membuka pintu lalu menutupnya pelan.

( 🇩🇪 )
“Tut mir leid, Sir, (Maaf pak) Tuan Greg Buchmann tiba-tiba hadir untuk menemui anda,” kata bagian resepsionis. Hanna, melinguk dari balik pintu.
“Ehm ! Ja, lass ihn rein ! (Ya, persilahkan dia masuk !)” jawabnya.

Berdehem untuk menata ulang mood karena dipotong oleh kehadiran seseorang.
Roger terpaksa mengakhiri perdebatannya karena seorang yang datang adalah sosok luar biasa. Menunda, kemarahan yang mungkin ada sekitar 30 menitan lagi untuk dilampiaskan ke Daphine.
( 🇬🇧 )
Seorang lelaki muncul dari luar. “Selamat pagi Pak Roger, Nona Daphine… apa aku mengganggu kalian ?” sapanya lembut.
“Oh tentu tidak. Silahkan masuk tuan Greg !” jawab Pak Roger, coba menyingkirkan Daphine dari wajahnya.
“Oh maaf Pak, bisa beri aku waktu 10 menit lagi dengan Nona Daphine. Aku punya urusan, beruntung menemukannya disini, cantik sekali pagi ini~”

“Thank you Mr. Greg~” balas Daphine ramah, mungkin lebih ke ganjen.
“Baiklah, kau perlu kopi atau semacamnya ? Daphine membawakanku kue. Nikmat juga. Saranku cobalah sedikit,” timpal Roger, sedikit berkedip kepada Daphine.
Mood dan karakter Roger bisa berubah sewaktu-waktu jika berhubungan dengan uang, atau hal-hal yang berbau aroma gratifikasi.
Hanya Daphine yang mengenalnya. Paham harus berbuat apa. Pamor sebagai seorang negotiator ulung, juga keahlian meredakan perdebatan di ruang kerja membuatnya dijuluki beberapa nasabah sebagai The Alpha Female.
Mr. Greg Buchmann (35). 183cm. Lelaki tampan dengan rambutnya yang wangi berkilau. Maskulin namun selicik musang. Adalah seorang pengusaha property keturunan Amerika – Jerman. Salah satu nasabah prioritas di perusahaan Roger. Juga seorang politisi kenamaan dari partai Republikan AS. Jangan lupa, Greg adalah nasabah pertama yang berhasil ku gaet.” – Daphine


“Kau sudah terima bunganya ? kalau yang tadi itu dariku khusus untukmu hari ini...” ucap Greg.

“Oh, ya ? Wow, terima kasih. Itu sangat berkesan untukku, Tn. Greg.” jawab Daph, sumringah.

“Aku dengar kau mau pindah ke Frankfurt atau Leipzig ?” tanyanya, seketika mereka berdiri berhadapan tak kurang beberapa inchi saja di ujung pintu.
Really ? Dari berita mana yang kau baca, Mr. Greg ?” kata Daphine.
“Hmm ? aku dengar surat pengajuan resign mu beberapa hari lalu dari seorang staf laki-laki.”
“Heh… biasa saja. Mereka senang mengaburkan isu-isu, mungkin bermaksud menyerangku dengan tuduhan—”
Greg mengelus pipi Daphine. “Mereka tidak menyukaimu ? kenapa demikian ? look…” kata Greg.

Tangannya beralih, tanpa permisi langsung menyentuh dada Daphine dari balik dress ungu ketatnya. Beberapa kali sempat meremas dari sisi dalam.
“Looks great right ? kenapa mereka membencimu ? Apa karena cuma iri dengan prestasimu di sini ?”

“Dia memang tampan. Kaya raya. Namun, lihatlah… bahkan menurut kabar si tampan ini memiliki beberapa simpanan di Jerman. si ‘snake’ pembohong, rekam jejak buruk yang sudah lama kuketahui dari para wanita-wanita ‘korban’ rayuan manisnya… Termasuk aku~” - Daphine

“Istriku sedang bepergian. Beruntung aku ingat nomor Roger, kumintanya mengontakmu. And here we are, kau bahkan lebih wangi dari biasanya !”
‘Cklek ! Srkkkk—’

Pintu dikunci dari luar, entah siapapun itu. Sementara gorden gulung jendela ruangan langsung ditutup oleh Greg.
"Si tua bangka itu, sempat-sempatnya mengumpankan ku kepada si 'snake' ini ?! Berani sekali dia !" - Daphine
“Demi Tuhan Mr. Greg ! Ini masih pagi ! Mereka akan mendengar kita !” sergah Daphine.

Tak tahan lantas mendorong mundur Greg yang terus meremasi sekujur punggung sampai pinggul besarnya. Pun memaksa Daphine bericuman.
Hanya ada kelicikan atau nafsu dalam belaiannya.

Sesekali berhasil mencium bibir Daphine sementara tangannya merayap ke tetek jumbo itu. Tangan Greg yang lain, merogoh kasar celah paha Daphine yang hangat, menyibak rok dengan stocking Daphine terasa bagai sutra saat disentuh.

Daphine jelas marah, tidak ada mood sedikitpun dan Greg memang lebih suka begitu saat ini. Ia benci gadis yang tiba-tiba bernafsu seakan tubuh mereka mesin yang tiba-tiba hidup hanya karena sentuhan sakelar berbulu di bawah.
“Greg melakukan apa yang selalu dilakukannya, dengan hati-hati dan seringan mungkin tapi masih bisa terasa, ia menyapukan ujung jari tengahnya jauh di dalam rok yang kupakai pagi itu…” - Daphine
Daphine jelas marah dan berusaha melepaskan diri, walau dengan tenaga tak sekuat lawannya. Greg bisa terpental juga.​
‘GBRAK !’

Pinggul Greg sampai membentur meja dengan banyak minuman wine di atasnya.

“Auw, Hey ! Itu bakal jauh lebih seru, dasar lacur !” bisiknya kasar, cekatan menangkap kedua pergelangan Daphine, memaksanya untuk merebah ke bawah. “Barusan aku berpapasan dengan 2 ‘Dothead’ gudang, mau kumasukkan mereka lagi ? kita main bertiga ?” ancam Greg.
“Kau gila ?! Pak Greg ! Hey, hentikan !”
Daphine dipaksa terlentang ke bawah. Sementara Greg langsung menindihnya dari atas. Sempat terjadi pergulatan antara keduanya dengan posisi saling menindih di bawah meja kerja Roger.

Kedua tangan Daphine sempat melawan untuk kesekian kalinya, tenaga Greg jelas lebih kuat dibandingkan Daphine.
‘Srkkk—Srkkk !’

Gemerisik rok bawahan Daphine tersingkap.

Daphine vs Greg, saling bertahan dan menyerang. Merasakan tangan Greg bertenaga memaksa menusuk hangat di sela kakinya, menyibakkan celana dalam berikut stocking hingga robek untuk membelainya.
Wajah Daphine sempat melinguk dan jadi kesempatan Greg untuk mengunci erat lehernya supaya menyerah, bergantung, Greg menanggalkan celana panjang beserta isinya.
“Tidak-tidak ! Jangan… tolong Mr. Greg, A-kh… Uh-Uh !”
Lidah Greg menjalar masuk dalam mulut Daphine, mengisapnya. Greg menghunjamnya dengan buas, dengan keadaan kepala Daphine menengadah ke samping. Merintih tertahan...

Daphine sama seperti wanita kebanyakan. Quick-sex dalam keadaan kurang mood pasti terasa membosankan baginya.
“Ah-ah-ah ! Oh shit ! I need your pussy everymorning like this… babe~ ah yeahhh~”
“A-Akhh... Arghhh !”

Suara teriakan Greg yang mengejang, terdengar jelas sampai ke meja Hanna di luar.
Dari luar, Hanna yang sepolos anak ayam, melirik kepada Roger yang menunggu duduk di sofa dekat meja.

Mendapati kebingungan Hanna dengan suara-suara aneh di dalam ruang, Pak Roger hanya memberikan isyarat jari telunjuk di mulutnya.
“Mr. Greg, selalu monoton seperti biasanya… atau mungkin lupa dengan viagranya di rumah? Entahlah. Ejakulasi baginya, 'biasa' saja bagiku.” - Daphine




(Restoran Altmarkt, kota
Dresden)
Pukul (UTC+1) 16.00 sore

Sore harinya di sebuah restoran mahal di Dresden. Daphine duduk berhadapan bersama Max.

Sebetulnya, mereka sudah berjanji makan di restoran ini semenjak beberapa minggu yang lalu, karena jadwal latihan Max yang padat, baru hari ini mereka kesampaian mencoba makanan di sana.

( 🇬🇧 )

Max kemudian menyerahkan paket juga sebuah surat di sana.

“Seseorang mengirim oleh-oleh kerumah, juga pesan suara salah alamat, entah untukmu atau untukku... kau mengenalnya ?”

“For me, really ? Dari siapa ?” tanya Daphine menyelidik.

“Entahlah, hanya sebuah pesan suara di sana...” jawab Max tak peduli lagi.

Sementara Daphine membuka amplop surat tadi.
“Hanya terdapat surat, bertuliskan beberapa paragraf saja. Serta sebuah Kartu ID-Card hitam seukuran ATM, dengan gambar barcode merah bertuliskan... mungkin semacam sandi, ‘4IRL9-EBN’...” - Daphine
Terlihat aneh karena kartu ID tadi sengaja disembunyikan pada bagian lipatan kertas…
“Oh shit…”

Daphine tidak terlihat senang ataupun antusias dengan kiriman oleh-oleh itu, entah apa isinya.

“What wrong, Daph ? You okay ?” tanya Max, melihat keterkejutan Bibinya.

“Oh, haha. Nggak kok. Cuman surat undangan reuni teman lama saja.” jawab Daphine, seperti ada yang disembunyikan.
“Kau… punya kerabat lama di sini? di jerman ? Apa aku pernah dikenalkan ?” tanya Max, merasa ada yang tidak beres dengan pengakuan bibinya.

“Hahaha… No way. Dia Teman lamaku semasa kami masih suka mendaki, kita sering liburan ke Yellowstone.”

“Kau suka mendaki ? Sering ke Yellowstone ? Umurku 20 tahun 3 bulan lagi, dan belum pernah sekalipun berlibur hiking ke sana ?” kesal Max kepada Daphine

“Hahaha… tentu, tentu saja kita akan ke sana. Setelah semester mu ini, bagaimana ? Deal ?” Daphine menjulurkan tangan.

“No-no… Don’t do that, karena kau pembual terbaik sepanjang masa, Daph ! Tidak ada deal, sebelum H-1 keberangkatan. Kau curang, aku nggak bakal ketipu lagi.”

“Wow, alismu terangkat, kamu masih marah soal pertandingan semalam ?”
“Hey Bibi Daphine, pertandingan malam tadi adalah pencapaian besarku di tim senior. Bahkan, Big. Herb datang bersama Alicia. siapa lagi yang kumiliki selain kau ? Am I like joking to you?” kata Max tiba-tiba serius.
( 🇩🇪 )
“Okay ! Tut mir leid (Maaf), kita barusan berbaikan. Lain kali akan ku setting agenda pertandingan mu di kalender.”

Max cuma tersenyum kecut. “Ich gehe zuerst auf die Toilette ! (Aku pergi ke toilet sebentar !)”
‘Tingg !’

Sepeninggal Max, Daphine menekan 'play' pesan suara dari nomor asing.

“Zzzttt… Zzzttt… Yes... hello, could you please send my message to his sister... Oh yea. Meeting in Frankfurt or Leipzig, next week ? It’s me. Hzzztt… Barry, your brother’s best... friend... Zzzttt” bunyi suara lelaki yang berbicara di sana.

“What ?! orang ini—”
Refleks langsung meraih ponsel miliknya sendiri dari dalam tas, menekan nomor kontak yang sudah di ‘dial-up’.

‘Tingg !’


Menekan play pesan suara yang segera dikirim ke nomor dial-up.
“Zzzttt… Eto ya, Is. Etot chelovek... vstretit menya vo Frankfurte. Ochenʹ veroyatno, chto vashikh lyudey obnyukhali v Belgrade. Ubeditesʹ yeshche raz, chto vy ne propustite...Zzzttt” logat dan penekanan russky yang sangat khas. Seperti kebanyakan orang Eropa timur pada umumnya.

Setelah mengirim pesan suara tadi, muncullah Max dengan tergesa-gesa, langsung meminum jus yang barusan datang ke meja...
“Daphine ! Maaf sudah mengacaukan makan malam kita. Tapi, bisakah kita pulang sekarang ?”

“Well, makananmu belum habis, aku tidak akan memasak apapun selagi kau tidak menghabiskannya…” menunjuk ke arah pesanan yang barusaja datang.

“Uhuk ! Uhuk !”

Max makan selayaknya orang berkumur, hingga tersendak.

“Okay. Akan kuhabiskan setengahnya dulu... Ayolah Daphine. Alicia akan berkunjung kerumah, Aku tak mau menyia-nyiakan waktu bersamanya. Aku tidak sepertimu kepadaku…”

“Wow, wait-wait. Apa ini bermuara pada permasalahan pribadi kita tadi ? Dan kenapa tiba-tiba pacarmu itu datang berkunjung. Ini belum akhir pekan ?!”

Menjelang petang, dalam perjalanan pulang menuju Apartemen.
“Dia datang sendirian ?” tanya Daphine dalam perjalanan pulang mereka.

“Yapp… dan jangan berpikiran macam-macam !” Max seperti bisa membaca pikiran Bibinya.

“Heh ?!”

‘NGGGGGGRRNGG...
Tinn ! Tinn’

(langsung menginjak rem, sampai diklason mobil sekitar jalanan berlubang)

“Kau pikir siapa Alicia ? gadis polos itu tak akan diberikan kemudi oleh Big. Herb tua jika bukan karena aku yang mengajarinya menyetir !” Max seolah berbangga diri. Kepada Daphine, anak ini selalu menceritakan betapa bahagianya bisa mendapatkan hati sang primadona angkatan.

“Dan kenapa kau ini seperti orang barusan belajar mengemudi, berjalanlah lebih cepat ! Mau kugantikan nyetir ? Alicia pasti sudah menunggu lama di rumah.”

Max nggak sabaran dengan cara Daphine mengemudi ini, di samping itu juga ingin secepatnya bertemu sang pujaan hati.

“No thanks~”
Pacar Max, cewek yang sudah bersamanya semenjak lulus dibangku SMA. Uniknya, gadis itu sama-sama berprofesi sebagai seorang atlet. Alicia bahkan jadi salah satu kandidat sprinter Jerman yang dipromosikan mengikuti training center untuk berlomba di ajang olimpiade Sydney 2000, tahun depan.
“Sialan… Kukira hari ini sudah cukup, ternyata masalah lain malah menungguku di rumah!” - Daphine

( 17 )


(Rumah Daphine, kota Dresden)
Pukul (UTC+1) 18.10 petang


Tuttt !
Tuttt !’

(Mobil terparkir, alarm pintu mobil terkunci)
Petang, mereka berdua baru saja sampai. Toh mobil Alicia belum tampak terparkir di sana.​

( 🇬🇧 )

“Kau sudah menelponnya ? Sekedar memastikan Alicia baik-baik tidak lupa,” tanya Daphine begitu mereka masuk.

Bersamaan menenteng cemilan yang mereka beli di supermarket. Sementara Max langsung naik ke lantai 2, Daphine bertugas menyiapkan cemilan dan menata ruang tamu untuk menyambut Alicia.
“Ya, 10 menitan lagi mungkin akan datang. Pacar cantikku... mampir ke supermarket dulu membeli cemilan~” balasnya agak berteriak karena berlalu masuk ke kamar.
“Eh ? Bukankah sudah kubilang, tidak perlu repot-repot membawakan oleh-oleh ?! Kita sudah ke supermarket, Max !” Daphine agak sebal.

“Yesss Aunty... But I Forgot~” jawab Max seenaknya. Tak berselang lama, suara langkah kakinya terdengar kencang berlarian ke bawah menemui Daphine.

“Bibi Daph, I need your help... menurutmu pakaian mana yang keren di depan Alicia?” Max mengayunkan 2 tangan dengan masing-masing flanel hitam juga sweatshirt warna cream.
“Kalian mau pergi keluar ?”

“Tidak hari ini, dia sendiri juga malas pergi keluar.” jawab Max
“Pakaian hangat warna cerah lebih baik. Sejujurnya tidak akan kubiarkan kaum eksibisionis seperti kalian berdua, melakukan mesum di halaman belakangku dengan pakaian hitam tak kasat mata.” jawab Daphine gantian seenaknya, seperti biasa.
Max malah tersenyum, langsung balik ke lantai atas.

“Ide bagus Daph, flanel hitam ini terlihat simpel. Alicia suka hal-hal simpel juga. Analisis yang tepat !” jawabnya girang sesaat, setelah mencium bibinya.

-____-


( 🇩🇪 )
“Gute Nacht ! (Selamat malam !) Oh bibi Daphine kau semakin cantik saja akhir-akhir ini ?”
Alicia Haggering (18) perempuan cantik berambut pirang blonde dengan badan proporsional menjulang 180 cm khas seorang atlet. Langsung memeluk Daphine. Mereka berdua sudah akrab sejak pertama kali bertemu di acara kelulusan dulu.
Kesibukan Alicia sebagai atlet sama seperti Max, membuat mereka jarang bertemu lagi, terlebih karir Alicia sedang menanjak karena ikut berbagai kejuaran internasional.


“Kalau begitu jangan panggil aku bibi, karena aku adalah adik perempuanmu~”
“Nein-nein (Nggak-nggak)... adikku di rumah tidak se-seksi, semontok badanmu ini, bibi Daph !”

Daphine muncul dengan sebuah lingerie hitam bermotif floral ketat dengan belahan dada yang sangat menonjol besar. Benar-benar ‘aset’ idaman bagi tiap pria atau bahkan wanita. Alicia yang seorang perempuan saja tidak pernah sanggup untuk tidak memuji badan Daphine setiap kali datang ke rumah.

Rambut ginger Daphine dikuncir kuda. Sementara bawahan, sebatas celana piyama terbungkus kain warna maroon.
Funfact, soal hubungan asmara Daphine. Beberapa kali Max pernah memintanya untuk menjalin hubungan serius dengan lelaki atau setidaknya sekedar punya rencana menikah, jawabannya hanya...
“Untuk apa badanku yang susah-susah 'kupoles' dengan senam yoga setiap pagi, se-seksi, se-panas ini jika hanya dilumat pria-pria miskin menyedihkan jaman sekarang~” - Daphine

“Wirklich ? (Benarkah ?) Aku dengar dia nggak kalah cantik darimu. Ingat jangan bawa max kerumahmu, atau adikmu akan jatuh terpesona !”
“Hahaha.” keduanya terkekeh, melinguk ke arah Max yang sempat mengacungkan jari tengah kepada Daphine.
“Wirklich ? Geh weg ! (Seriusan ? sana minggir !)”

Max memberi aba-aba ‘enyah’ karena bibinya sudah menganggu kemesraan mereka.
Belum sempat reda momen kebersamaan mereka bertiga...
‘Tok ! Tok ! Tok!
TingTong~’

(Bunyi ketukan pintu dan bunyi bel dari teras)

Nah disinilah momen konyol itu dimulai...

“Oh ya, Das muss mein Vater sein (Itu pasti ayahku)” sahut Alicia kepada Daphine hendak melangkah duluan membukakan pintu.

“W-Was ?! (Apa ?!)”
Baik Max ataupun Daph sama-sama melirik satu sama lain, bertanya-tanya, apa gadis ini berpikir mau ngedate sembari dibidik sniper ayahnya?
‘Nggikkk—

Daphine membukakan pintu bersama Max juga Alicia.

( 🇩🇪 )
“Hallo, wie geht es euch beiden ? (Apa kabar kalian berdua ?)” sapanya dari luar.

Lelaki gemuk, tinggi besar, dengan volume kepala & wajahnya yang tidak proporsional, mirip karakter monster ogre. Posturnya menjulang, melebihi tinggi dari Alicia maupun Max. Langsung memeluk Max, tak lupa bersalaman dengan Daphine.
Bokong bergumpal lemak juga perut buncitnya yang hampir sama, tidak bisa disembunyikan hanya dengan setelannya malam ini.
“Aku rasa putriku butuh seorang pengemudi handal karena tidak terbiasa menyetir saat pulang. Kalian belum berangkat ? bukankah filmnya mulai beberapa menit lagi ?”
Daphine melinguk ke arah Max. Mencari jawaban. Kenapa Herber ini bisa datang ?

Rupanya, si Alicia sudah membeli tiket malam ini. Padahal beberapa saat lalu ada yang bilang kalau hanya akan mengobrol sembari menyewa film untuk diputar di rumah.​

“Iya tentu saja. pastikan kau tidak mempermalukanku di depan Daphine... tschüss Dad ! (Sampai jumpa ayah !)”


15 menit berlalu, Daphine mengobrol basa-basi bersama Pak Herber, menonton acara komedi TV.
Ayah Alicia, Herber Benedict Haggering (48). Seorang anggota biro BPOL (FBI-nya Jerman) yang bertugas di Dresden. Sebagai seorang penyidik federal, Big Herb, panggilannya, biasa disapa orang-orang.
Mempunyai banyak rekanan orang-orang penting nan berpengaruh di wilayah ini. Mulai dari para staf walikota, hakim pengadilan, jaksa, hingga kalangan pengusaha perusahaan seantero wilayah Saxony.

Pengaruh Herb yang nyata bagi Daphine adalah kedekatannya dengan pemilik perusahaan bir terkenal di jerman, sekaligus sponsor utama SG Dynamo Dresden musim itu, Feldschlößchen.
Lebih lagi menurut desas-desus yang Roger umbar...

Herber ini salah satu polisi ter-korup dengan beragam lini bisnis gelap. Rumah judi, ekspor-impor illegal, bahkan bekerja sama dengan kartel penyelundupan barang ke Amerika Latin. Entahlah, karena tuduhan itu belum pasti terbukti dan bias.
Mereka duduk berhadapan di sofa. Lebih kepada, Daphine yang coba menjaga jarak, toh obrolan mengalir biasa saja.
Topik pembicaraan nggak jauh-jauh seputaran bisnis, pekerjaan, sampai perkembangan karir Max dan Alicia. Repot memang, alih-alih mau langsung istirahat karena lelah seharian mengurus surat resign di kantor, malah muncul masalah baru dengan drama muda-mudi tadi.

( 🇩🇪 )

Herber memuji penampilan Daph di tengah topik obrolan. “Entahlah, kau juga terlihat menawan, Nona Daphine.” puji Herber saat tengah membicarakan sosok pembawa acara komedi TV Show.
Terima kasih Mr. Herber... want a beer or something ?” tawar Daphine, setelah topik bahasan mereka sudah sama-sama nggak tau kemana.
“Ah ya, bir saja sudah cukup...” katanya.

Dari sofa, Herber seolah mengintainya. Matanya tak mau lepas sedikitpun dari wanita 28 tahun ini. Bukan masalah besar, jika harus menunggu putrinya pulang malam-malam kalau ditemani si Redhead hot satu ini.
Bagi Daphine, akan merasa aman jika malam ini dia berada di rumah sendirian... ketimbang bersama lelaki seperti Herber itu, gerak-geriknya seperti diawasi oleh seekor singa. Belum menerkam, sebatas menunggu, mengincar, menimang-nimang waktu yang tepat untuk menyerang titik buta saat lengah.
“Aku dengar, anda mengajukan surat resign dari perusahaan asuransi itu. Apa ada masalah Nona Daph ?” tanya Herber
Terasa aneh saat semua orang yang sudah kehabisan topik perbincangan, malah menanyakan ranah privasi seputar permasalahan karir, hubungan, dll.
“Masih kupikirkan. Kebetulan, rekanku menawarkan bagian kosong di Kedutaan AS. Mereka membuka lowongannya khusus untukku,”
“Ke Berlin ? Dan Max, kau sudah mengatakannya juga kepada Alicia ?”

Daphine kembali ke sofa dengan 2 botol bir. “Entahlah, Berlin terlalu cepat kehidupannya kata Max. Ia lebih senang di Leipzig, Frankfurt, atau Bavaria saja... Yah tapi, Max sudah setuju-setuju saja denganku pindah kemanapun. Alicia juga tak keberatan kalau mereka menjalani LDR untuk beberapa saat.”
‘Trkk... Trngg !’

Daph bersulang botol dengan Herber.
Herber Bersendawa. “Hekkk~ Hehehe... maaf karena kukira itu akan jadi masalah serius bagi keduanya,” balasnya. “Tapi apa kau pernah berpikiran untuk lari dariku, Nona Daph ?” tanya lelaki besar itu dengan wajah yang menyeringai, seolah membuka topeng aslinya!

“Kini kalian pasti bertanya-tanya, apa yang membuatku lebih muak dan kurang nyaman melihat Herber dibanding masalah dengan Mr. Greg tadi?” - Daphine

“Excuse me ?” tanya Daphine kurang mengetahui maksud Herber.
“Ingat. Anak itu masih terikat denganku. Takkan kujadikan itu alasan untuk tidak mengawasi pergerakanmu, pelacur !” jawab orang itu tiba-tiba sinis dan kasar, aneh.
Tak paham maksud si besar ini. Namun, Daphine dan Herber memiliki rahasia yang sepakat mereka sembunyikan dari Max & Alicia.
“Herberku~ masih belum kapok mengancam kami ?” tanya Daphine kini tidak lagi berpura-pura bingung.
“Sejujurnya, kau cuman takut kehilangan aku, bukan ? Tidak akan ada masalah antara Max ataupun Alicia, benar begitu ?”
“Dasar Pelacur tak tahu diri ! Kalau bukan karena jasaku, maka anak itu hanya bakal jadi gelandangan bersamamu! Bukannya jadi pesepakbola !” bentak Herber tiba-tiba.
Benar-benar belum waras orang ini pikir Daphine.

Daphine cuma tersenyum lepas, terkekeh. “Apa aku mengungkitnya barusan ?” balasnya, bertanya remeh kepada Herber. “Oh, Big Herb... Si polisi korup dari Dresden, dengan istrinya yang malang—”
“Hey lacur tutup mulutmu !! Merasa lebih baik, Hah ?! Tidur bersama para pria kaya di kantormu ?! akan kurobek memekmu, sampai itu nggak berguna lagi bagimu !” ancam Herber langsung bangkit berdiri, sudah sangat kesal, kupingnya panas, jengah, tapi juga napsu.
Daphine tak bermaksud mencibirnya berlebihan, namun lelaki itu benar-benar ‘pecah’. Sudah lama sekali mereka tak berjumpa. Hari ini, sekalinya bertemu, perempuan ini malah merendahkan Herber dengan Aib, seharusnya hanya istrinya saja yang boleh tahu.
“Baiklah, mari urutkan hubungan semua ini dengan Max : Alicia & Max - Herber si polisi korup - Hubungan Herber dengan orang-orang penting - Kontrak professional Max – Dynamo Dresden. (Ngerti sekarang ? Ngerti dong, masa nggak ngerti~)” - Daphine
‘Srkkk! Srkkk! Krieetttt—’

Gemeresik pakaian dan resleting celana Herber dipelorotkan.

Perut buncit Herber dengan lemak yang bergelambir, meloloskan seluruh pakaian meliputi celana panjangnya. Berdiri di depan Daphine yang jelas shock mendapatkan aksi tak senonoh itu.
“Hmmm, engghhh... ehmmm...”
Kocok... kocok...kocok
Herber sengaja melakukannya di depan Daphine. Bukan sekedar melecehkan sekedar menegaskan ada supremasi di antara keduanya.
“Huffffft~”

Si Redhead seksi satu ini cuek dengan muka remeh, melirik sesaat kemaluannya, sialan mungil sekali! Daphine melengos cuek, namun sejujurnya gemeteran. Shock. Memang Amoral pria satu ini.
“Aku melihatnya menghela nafas dalam. Dada 'melon' dari balik belahan longgar lingerie-nya, ikutan kembang kempis. Seperti balon anak-anak yang ditiup. Sialan akan kugarap juga lacur sialan ini !” - Herber

( 🇩🇪 )

“Versuchen Sie nicht, sich zurückzuhalten ! (Tidak usah coba menahan diri !) Hahaha.” ledek Herber seperti sudah tau profil seorang Daphine.
Tawa Herber menggelegar bagai dewa zeus, mungkin sampai ke loteng apartment.

“Kami sudah saling mengenal sejak lama. Semenjak aku pindah ke Dresden. Mrs. Herber, istrinya, sangat baik, bahkan menganggap kami seperti keluarga sendiri. Berbanding terbalik sama si Shrek ini. Itulah kenapa dia berani berbuat demikian.” - Daphine
“Oh mein lieber Herber~ schau, wie winzig sie ist (Oh Herber ku sayang~ lihat, betapa mungilnya dia) Tidak ada kemajuan sama sekali bukan, Bahkan tidak lebih besar dari ibu jarimu sendiri.”
“Bastard ! Fucking * Yankee ! Verdammt ! Schlampe !(Bajingan ! Dasar Yankee sialan ! Bajingan ! Lacur !)” Herber semakin kasar.
P.s, Yankee (dibaca Yeng-ki) memiliki beberapa arti yang saling berkaitan, terutama digunakan untuk panggilan 'ejekan' orang dari bagian timur Amerika Serikat. Di luar, istilah ini secara umum dipakai untuk menyebut orang sombong tapi bodoh dari Amerika Serikat.
“Aku penasaran dengan perasaan putrimu saat tahu kalian ternyata—”

Belum sempat melanjutkan kata-kata terakhir, Herber langsung menubruk Daphine bak pegulat Sumo, sofa yang diduduki sampai mental kebelakang, menghacurkan beberapa perabot dan botol minuman mereka di ruang tengah.
‘Gbrakk !
PYARRRRR !’
(Bunyi tubrukan saat menyerang Daph hingga mengancurkan perabotan)

Daphine ditubruk Herber, posisi benar-benar mirip pertarungan 2 pegulat Sumo. Pun demikian, Herber mengambil keuntungan ketika menelikung erat punggung Daphine, berusaha menggencet bagian pinggulnya ke sofa...
Daphine berteriak kesakitan. “No, No more ! A-Arghh ! Let me go !”

Badan Daphine dipaksa menungging sedikit menyamping dengan bagian pundak dijepit lutut Herber.​
Herber mengoyak kasar kain maroon, beserta celana piyama dan dalaman Daphine, dikunci menungging dari belakang punggungnya.

“Hhngghhh !! Kyakhh !!” teriaknya, berusaha menahan kain terkahir yang coba disibakkan Herber dari belakang.

Sebuah momen kecil akhirnya memaksa keadaan berbalik. Daphine, colok matanya. Cepat sekali gerakan tangannya, bak ninja. Dari sana, suara teriakan sakit langsung terdengar.
“Ficken !! ARGHH !” teriak histeris Herber.
Kini giliran Daphine melancarkan serangan balasan.

Satu tangan Herber yang masih memegangi pundaknya, gentian ia piting lengan Herber, berhasil!​
‘Kretkk!’

Bunyi entah tulang apapun itu yang bergeser, dengan teriakan Herber mengaduh untuk kedua kalinya.

“A—ARGHH !”
Dengan cekatan, Daphine yang dihimpit menungging, lantas balik badan. Melakukan sebuah gerakan bela diri langka. Tidak diduga-duga Herber.

“HOARKKH !”

Kedua kakinya melingkar erat bagian tulang rusuk hingga ke bawah ketiak Herber, membuatnya sulit meraih Daph. Apalagi mengangkat dan menjaga keseimbangan badan besarnya. Daphine cekatan meraih leher Herber.​

Kepalan tangan sudah dipersiapkan, terlihat dari sorot mata Herber dan...
“Hey ! FUCK OFF !” teriak Daphine yang langsung memberinya bogem mentah, telak sekali~
‘BUGH ! BUGH ! BUGH !’

2-3 pukulan tinju langsung mengenai Herber.
Tiga sampai empat kali bogem mentah mendarat telak diwajahnya. Herber kini yang kesakitan, apalagi pergerakannya dikunci Daph dari bawah. Wajahnya telak menerima pukulan-cakaran menyakitkan.
‘BUGH ! BUGH ! BUGH !’

Tinju keras Daphine kembali bergantian mengenai pelipis dan tembolok Herber.
“Ough ! Uhuk ! Hoekh !’

Herber tak sempat berteriak, terbatuk-batuk menerima pukulan uppercut Daphine.
‘BUGH ! BUGH ! BUGH !’

“Fuck it ! I Got you ! I Got You !”

Daphine berhasil meninju wajah Herber yang sudah berhenti bergerak, mengerang sekalipun tidak.

Berhubung tanpa perlawanan sama sekali, Daphine lepaskan kunciannya kepada Herber. Bekas ruam kemerahan melingkar dari ketiak ke pundak Herber akibat kuncian maut Daphine. Sementara Herber masih tergeletak lemas tengkurap di sofa, tepat di sebelah Daphine.

Nafasnya normal, hanya beberapa luka bengkak membekas di wajah juga dibagian pundak. Setidaknya dia masih hidup...​

“Hmmm lumayan juga efeknya, 'teknik Systema' yang pernah kupelajari dulu...” - Daphine
Tak beberapa lama. Daphine mendengar tangisan Herber yang seperti anak-anak. Seolah ia melakukan kesalahan, dihukum, dan kini meminta ampun tanpa mau membuka wajahnya. Mirip sekali dengan bocah balita.
“Hemmmmng... Hkss... Hikss”

Suara tangisan Herber, semakin keras, entah tipuan atau bukan.
“Dumm ! Du verdammtes Weichei !
(Bodoh ! Dasar banci sialan !)”

Baru sekarang Daphine mengalami momen se-absurd ini. Seorang lelaki amoral, menangis mengkikih seperti anak kecil. Yang membuat tambah tak biasa, tangisannya nyata. Bukan dibuat untuk menakuti atau menipu Daphine. Air mata Herber membasahi sofa.

“Mama vergib mir. Töte mich nicht !
(Mama ampuni aku. Jangan bunuh aku !)”

Suara Herber juga terdengar berubah, melengking lebih banci. Ini yang membuat Daphine berhenti mengancamnya. Takut. Apa dia sedang kerasukan arwah bocah penghuni rumah ini?

“Ada apa denganmu ?”

“Sialan, apa dia sedang main-main dengan ku ? Bisa saja itu semua trik liciknya bukan ?” - Daphine
“Hmmmmm... Hemmmmng... Hkss... Hikss”

Tangisan Herber perlahan mereda.

Pun tangisannya mulai reda. Tingkahnya tetap tak berubah. Menutup wajahnya, bergeser menjauhi Daphine.
“Verspreche, ein guter Junge zu sein, Mama. Bitte töte mich nicht, okay ? Versprechen ?” (Aku berjanji bakal jadi anak baik mama. Tolong jangan bunuh aku ya ? Janji ?)

Suara lengkingan laki-laki tua memanglah aneh, hanya sempat terdengar beberapa kata saja bagi Daphine.

‘Degh !’

Gerak-gerik, gejala, juga fakta yang ini memang tidak dibuat-buat, sebuah clue langsung memberi jawaban kepada Daphine.​
“Dugaanku, semoga saja bukan. Aku biasa menyimak TV show setiap akan berangkat ke kantor. Sebuah acara talkshow tentang kesehatan mental manusia. Seorang ahli pernah menjelaskan adanya suatu gangguan kepribadian langka didunia. Mereka menyebutnya, Kepribadian Ganda atau 'Dissociative Identity Disorder (DID)'. Adalah kondisi di mana terdapat dua atau lebih kepribadian di dalam diri seseorang. Kondisi ini umumnya disebabkan oleh trauma di masa kecil, baik dalam bentuk kekerasan fisik, emosional, atau seksual yang terjadi secara berulang.” - Daphine

Daphine, bangkit. Rambut 'Ginger'nya tergerai berantakan, acak-acakan karena 'duel' tadi. Headscarf (ikat kepala) kesayangan robek karena ulah si bajingan satu ini.
“Itulah sebabnya Mrs. Herber (istrinya) rutin bersama Big Herb dalam keadaan 'linglung', mondar-mandir ke dokter saat kami bertemu dijalan beberapa bulan lalu...” - Daphine
Daripada langsung menendangnya keluar, Daphine malah merasa iba.
“Mungkin, Ini juga bisa jadi benang merah dengan 'rahasia' keluarga Herber selama ini. Inikah yang membuat Herber mengamuk kepadaku barusan?” - Daphine




(Bioskop UFA Kristallpalast, kota Dresden)

Drama Max & Alicia selanjutnya. Sampailah mereka berdua ke lokasi theater UFA-Kristallpalast yang barusan saja dibuka, sekitar 11 bulan lalu.​

( 🇩🇪 )
“Hah ? Apa kau tidak berpikir meninggalkannya di rumah sebelum berangkat ?” tanya Max
“Tentu saja kubawa ! Bisakah kau diam sebentar, atau kita tidak akan masuk ke sana seorang pun !”

Kepanikan melanda mereka berdua. Sesaat sebelum masuk ke studio, tiket yang seharusnya untuk 2 orang, hanya tertinggal 1 saja di dalam tas Alicia. Si cewek langsung panik dan berupaya mencari-cari.

Sementara Alicia kerepotan, Max tetap santuy menyarankan membeli tiket lagi saja, Pun bakal terbentang kursi mereka.
“Kita ini sedang berkencan ! Bukan anak SD penggemar Marvel !” bentak Alicia, galak sekali. Baru kali ini Max merasakan repotnya punya pacar.
“Akan kucoba menghubungi Daph, Ini salah kita juga kenapa malah terburu-buru, coba saja ayahhmu—“
Langsung dipotong Alicia. “—Itu karena ayahku datang sendiri ! Bukan aku yang mengundangnya, hsshhh ! Dasar ! Cowok memang selalu menyalahkan saja!”

“Hmmm, Lebih menakutkan daripada Daphine atau pelatih ku dilapangan... hhuuffftt, ya sudalah~” - Max
‘Tuttt.. Tuutt... Tuttt—’

Max menelpon Daphine, Alicia menelpon Herber. Sesekali saling melirik. Kesal sekali Alicia, cowoknya bukannya panik, masih tetep santuy. Ini adalah kencan terakhir mereka sebelum LDR, 3 hari lagi.
“Diganti dinner romantis kek, main ke taman kek, jalan-jalan keluar kota kek, kemana kek... Come on Max, jadilah pria untukku kali ini~” - Alicia

( 🇩🇪 )
“Nimm mein Telefon, Daph ! Dumm ! (Angkat telepon ku Bibi Daph ! Sialan !)” mood Max mulai berantakan, begitu juga Alicia...

‘Tuttt... Tuutt... Tuttt’

Sambungan telepon dari Max, belum juga dijawab.

Karena terlalu muak, Max langsung beralih kepada Alicia yang juga sama muaknya.
“Pernah jalan-jalan malam di kanal sebelumnya ?”
“Kalau belum memang kenapa ?” Alicia terlihat antusias, tapi jelas bohong.
Yah mana mungkin belum pernah, hanya itu satu-satunya kanal di sungai yang mengalir di Dresden.
“Baiklah, kita ke sana sekarang !” katanya singkat. Langsung meraih tangan Alicia menggandengnya erat. Pun merasa senang karena akhirnya punya waktu bersama, namun Max merasa ada yang tidak beres di rumah.
“Ada apa ini? Aneh, kenapa aku merasa se-khawatir ini dengan orang rumah?” - Max



(Rumah Daphine, kota Dresden)

Kembali menilik kejadian tak menyenangkan yang dialami oleh Daphine di rumah.

Beruntung, Daph masih bisa berbuat sesuatu. Tapi memang benar apa yang dikhawatirkan Max.

Daphine coba menyadarkan dengan enepak-nepuk pipi Herber. “I'm sorry for that, You okay ? Oh, I’m sorry dear~”
Memastikan tidak sedang berakting pingsan. Dalam posisi kolaps tengkurap di sofa depan TV, wajah Herber mulai memar dan membiru, bengkak.
“Situasinya rumit, apa yang harus kujelaskan kepada anak-anak begitu sampai di sini ? Terlebih kepada Mrs. Herber ? Alasan macam... Herb tertimpa genting ? Terpeleset, kebetulan kepalanya membentur palu ? Atau disengat serangga ? Apa masuk akal ?” - Daphine
Tidak-tidak itu bukan masalah utama. Yang mendesak sekarang adalah, bagaimana cara membangunkan Herber yang pingsan, dari Kolaps.
Daphine menghela nafas panjang. “Hufttttt ! God... Aku harap ini nggak sia-sia, kumohon bekerja lah, apa lagi yang bisa kulakukan.” gumamnya, merenggangkan telapak tangan bergantian. Mirip atlet renang saja, otak nakal Daphine berpikiran untuk mengerjainya, membalas tuntas percobaan pembunuhan tadi...
Dengan sekuat tenaga yang ia bisa, Herber diposisikan duduk menghadap TV. “Ennggghhh...”
Daphine mengenggam kelamin Herber yang tidak seberapa besar. Sudah lama sejak terakhir kali. Timbul rasa was-was atau sungkan, berharap dengan ini, bisa menyadarkan Herber dari pingsannya, lantas bebaslah mau ia usir, tendang, atau mutilasi. Yang penting enyah saja dari sini.
Daphine merengut jijik, mengecap basah bibirnya dulu.

Ehmmmm, Goshhh~” ekspresinya benar-benar menjelaskan rasa sungkan.

‘Ehmmm... sllpp...’

Dengan ekspresi enek mutlak, Daphine menggerakkan tangan bawahnya ke bola yang berbulu tipis, untuk mengerjakannya. Menjilat dengan sangat lembut sekitaran ‘ujung jamur’, awalnya sesekali meludah mual, lama kelamaan ia coba biasakan sendiri.
Melakukannya seolah memainkan peran paling dramatis dalam film : Dimana, sang pelayan mengarahkan segenap pesonanya pada pangeran kodok yang malang. Ia membuat matanya berbinar mengundang, langkahnya paling seksi, mulutnya sedikit terbuka seakan siap menggigit benda terdekat yang membangkitkan nafsu.

Daphine sangat mirip hewan betina yang sedang birahi, sikapnya tidak pernah dibuat-buat.
Rambut ginger Daphine dibiarkan tergerai, kadang sampai ikutan masuk mulut. Tak se-inchi pun, benda pejantan Herber lolos tersapu oleh lidahnya yang begitu pengalaman. Dikemut-kemut, keluar-masuk, licinkan dari pangkal sampai bagian kantong pelir.
Menimbulkan bunyi-bunyi aneh.

“Ngghhhh Emhh ! Enghhh !”

Daphine coba improvisasi, tidak sungkan coba menjilat lubang duburnya. Lupa, betapa aneh bau selangkangan Shrek ini.

Slrpppp...’

“Ooougggghh…” erang Herb.
Dasar Amoral, bisa ngilu ternyata !”
Semakin ganas Daphine nge-blowjob benda keriput, keluar-masuk mulutnya, ke kanan-kiri, sisi manapun. Beberapa kali menggesek susunan giginya. Si empunya titit, kadang mendengkur ngilu. Hingga akhirnya pangkal unjung jamurnya memerah, berkedutan, terasa ingin meledak.
( 🇩🇪 )
“Mamma. Ich will raus (Mama. Aku mau keluar), Oughhhh ! O-Ouuhhh ! Ough ! Hmmmm ! H-ekhh !”
Tau sudah akan sampai batasnya, Daphine langsung melepehkan, mengakhiri Blowjob. Bisa gawat kalau sampai Herber tau ia tengah *diperkosa.
P.s, Pasal pelecehan & pemerkosaan, dengan hukuman berat juga berlaku untuk perempuan, menurut UU yang berlaku di negara Jerman.
Daphine terpekik kaget, melirik ke atas. “E-ekh ?! Hmm ?!”
Rambut ginger Daphine, terasa terangkat ke atas, dijambak kasar serta merta oleh Herber yang menahannya untuk tetap di ujung kelamin, dipaksa nge-blowjob menelan habis benda itu. Menggeleng-geleng, coba melepaskan diri.
“Mmmhh.. Emmkhhhh... Erggnhhhhhh...”

Suara Daphine yang disumpal paksa Herber di bawah. Herber memaksa Daphine mengaduk-aduknya tak sampai 5 menitan. Hingga akhirnya baru sadar sesuatu akan muntah dari lubangnya.
‘Crtttt… crottt…’

Suara ledeng air menetes. Mengisinya dengan 3 kedutan air mani pekat yang mengerikan.
Daphine menggeleng, coba melepaskan diri. Sekuat tenaga berusaha.

“Mmmmh ! O-ouhkkkkkh ! Emgh! Hoekh ! Uhuk! Uhuk!”
“Gosh… Baru kali ini aku mual karena Deepthroat, aroma ‘adonan’ benar-benar menusuk... menjijikkan ! Idiot tak tau diri !” - Daphine

“Ooughh ! A—arghh ! It’s Good right ?!” tanya Herber pasca mengejang.
Muka seram ke arah Daphine yang terduduk, dongkol dengan ekspresi mual, coba menyeka mulutnya. Sampai menetes sebagian, cairan bening kental...
Jetzt bin ich dran !
(Sekarang giliranku !)”

Herber, sudah kembali dengan wajah piciknya sebelum tertidur barusan.
Herber menarik paksa lengan Daphine, naik ke pangkuan Herber. Ia arahkan pangkal Paha Daphine kepada kelaminnya yang sudah ngacung lagi bagaikan ‘tiang eiffel’ itu.

“A—arghh...”​

“O-oughh No way… Nahhh ! A-akhhh !”
Lenguhan mereka berdua, antara yang siap dan yang belum siap.
Mimik muka, merem melek menikmati tiap sodokan si gendut tanpa penetrasi sebelumnya, sela paha Daph terasa panas teriris-iris benda lunak. Beruntung sudah ia ‘lumasi’ di awal sehingga tak begitu kesat.

“A-akh ! O-ouh ! Shit ! Slowly... A-akh !”
Suara tabrakan, tepukan kelamin mereka mulai menggema di antara volume besar suara TV yang masih menyala. Daphine yang ada di atas dibuat terlonjak-lonjak, atau mungkin ini inisiatifnya?
Malah tersenyum binal, kadang menggigit bibir, seolah menikmati tiap sogokan benda berurat panas.
“Pun tidak sebesar milik ‘Triple Dothead' yang bekerja di bagian gudang kantor tempatku bekerja. Membayangkan mereka bertiga, malah bikin gemetaran bagaikan disetrum hahaha. Mungkin lain kali akan kuceritakan kisahku yang satu ini~” - Daphine

“Just say it ! (Katakan !)” pinta Daphine, entah apa maksudnya.

“Was ? (Apa ?)”

“A-akh… Emmh… Arghh… Idiot ! Sagen ! Schön oder ?! (Tolol ! Katakan ! Nikmat bukan ?) A-argh !”

“Ach so... Oh ja ! (Ah soal itu… Ah yah !) Dasar pelacur ! Akan kuentot sepanjang hari ! sampai kau berpikir mau mati saja !”

“Ough ! Aw ! Mmmh ! Yes Daddy… Ouh yea, Say it again ! Shake my Ass honey… Mmmh… Say it Louder !! Keep Fuck me faster !”
Daphine selalu berhasil mensugesti setiap lawan mainnya. Itulah keistimewaan sang ‘Alpha’.
Entah apa kaitan atau bahasa ilmiahnya. Yang pasti kebiasan bercinta non-konvensional disertai umpatan kotor, gaya main woman on top, penetrasi kelamin bertempo cepat tak beraturan menjurus ke kasar, adalah hal yang selalu Daphine peragakan saat berhubungan seks.
“Bagiku, seks terbaik bukan melulu soal tampang, tenaga, atau besar kecil ukuran milik lawan main mu. Itu lebih dilihat dari cara lawan mainmu merespon, memastikan itu semua membuatku lebih ‘mendominasi’...” - Daphine
“Juckende Schlampe (Dasar perempuan gatal), pelacur sampah ! Kuentot saja kau tiap hari !”
Goyangan Daphine makin menggila, bergerak jadi tak beraturan di atas pangkuan Herber. Sesekali, merembes precium hangat Daphine yang melicinkan lubangnya.

Si Shrek malah kelabakan, lemak dan perut super buncitnya yang menyangga badan Daphine di atas, bergetar bagai gempa tektonik 9 SR !
“Yeahh… Yeahh, Fuck me faster ! Say it ! Say it Daddy ! Louderr ! Mmmh~”

Daphine kala-kala sampai mendongakkan kepala, matanya merem melek. Kadang pupil matanya sampai membesar, sebesar kenikmatannya.
Pinggul dengan pinggang Herber yang bergelambir menjijikan itu, kadang menjungkal naik – turun, perlahan-lahan hingga sedikit tenaga… karena kemudian ada respon gerakan-goyangan buas Daphine dari atas, terutama saat bertabrakan, seolah benda berurat itu dilumat bagian dalam Daphine.
‘Plok ! Plok ! cpak... cpok !’

Keluar masuk sentak tarik tusuk...

‘Dug.. dug... dug...’

“Schändliche Hündin ! (Lacur hina !) Kampret cuma barang sekecil ibu jari saja keenakan ! Dasar lacur munafik !”

Menelusup disela belahan longgar lingerie, mengembung sesak dari dalam bersamaan gerak geliat tangan Herber.
Menerka-nerka seberapa hebat ini bisa dimainkan?
Herber gemas, seolah mengaduk, mencabik-cabik, meremasi Dada Daphine sekeras-kerasnya. Bagai seorang koki menguleni adonan kue spesial. Penuh dalam genggaman. Sesekali mencucup areola kecoklatan dari balik lingerie yang sudah disingkap.
“Ough ! Ahh ! O-ough ! Amerikanische Hündin ! (Dasar pelacur Amerika !)” umpatan Herber mengiringi tiap menghujamkan benda berurat panas dengan hinaan kasar kepada Daphine...
“A-A-Akhh Yes Daddy ! Yes Daddy! Fuck me harder, Daddy~ Yeah ! Mmmh... Mmmhhh... A-Akh !”

Refleks teriakan panjang dan paling keras dari sebelum-sebelumnya bagi Daphine.

Herber curi-curi memaksanya kedalam ciuman untuk sedikit meredakannya, pun tetap menyepak dan menggenggam pinggul merembet ke bokong Daphine untuk mendapatkan dukungan.​

“Bagiku, itu Ibarat bumbu masakan terbaik. Dopamin atau Katalis atau apapun itu...” - Daphine

Goyangan Daphine makin ganas, liar, seperti lacur kebanyakan, berguncang, menyeret mereka ke sana kemari.

“Mmmh...Yea-yea-YEAHHH YAAAAKHH I’m coming Daddy !! I’m coming !! Oughhh... EMMMHHH~”
Herber sudah kelewat ‘kekencengan’ di bawah sana. Tumbukan dengan efek vibrasi getaran bokong Daphine juga berpengaruh terhadap aerodinamika keseimbangan mereka berdua.
‘Ngikkkk ! Ngikk !
Ngikk ! Ngikkk !’
(guncangan sofa, makin berderit)

‘Plak ! Plak ! Plok !’
“U-Ukh ! O-Ough ! Hmm ?!”

Herber jadi yang pertama kali menyadarinya, terdengar sayup-sayup. Sesekali melinguk ke arah pintu. Normal saja. Apa mungkin cuma perasaan buruk karena naluri?
Was ? (Apa ?) Hey-hey, kau tidak dengar ?”
Herber sempat mengingatkan... disituasi panik, berdenyut panas juga yang ada di bawah, tanggung. Herber tusukkan dalam-dalam ke sela paha Daphine. Ujung gundulnya menyundul titik kejut Daphine...

“Rasanya kian nyata, Makin dekat ! Makin dekat !!” - Daphine

Begitu pula handle pintu yang diraih seseorang dari luar.
“Make it great… ah… make it great please… A-akhhh !”

Herber mendongak ke atas, inikah saat-saat terakhirnya?

“Oooohhh ! A-aagh ! O-OHH… Hemmph ! Hemmph !”

Menyusul...

“A-Akhh... Emmh! Mmmmhh... Aaakhh~ Mmhhh.. Eegkkhh~”

Daphine kala-kala mendongak juga kejang ke atas.
Daphine, dari pergelangan kaki sampai ubun-ubun, bagai tersengat kenikmatan listrik tegangan tinggi, mengejang bergetar hebat, mulutnya menganga erotis. Wajahnya merona merah. Telapak tangannya ‘mencekam’ beberapa saat. Meremasi pinggiran sofa.
Nggikkkk—’

Handle
pintu sudah terputar ke bawah, pintu dibuka dari luar, sesaat keduanya terbelalak.
“Hey, was ? Scheisse !
(Apa-apaan ini ? Bangsat !)”
Selain teriakan histeris seru, ada juga hati yang luluh lantak di sana.

( 18 )
 
Terakhir diubah:
Wah... Sepertinya cerita ini  Nganu sekali..
Dan di cermati dari peminyak nya aja.. para subes,para dewa, para Kakek dan juga para aki-aki..pasti nanti tambah rame lagi sama yang jualan cireng pentol dan lain-lain
Mantab lah..!! mantab suhu @Sanji_blackleg..
Ijin ikut nonton di mari ya hu.. sambil Nganu lah pokok nya.
Semangat menulis. Semangat apdet dan semangat berkarya.
Sehat selalu, sukses real life nya juga.
#maap kalo jadi silent reader ya hu..
Biasa komen di awal dan akhir doank saya nya.
 
Bimabet
“Arigatou !!” :ampun:

Terima kasih atensi nya suhu-suhu. Mohon maap jika mengalami ketidaknyamanan tata bahasa penulisan.
Sedikit curhat juga karena dalam prosesnya sempet ngalamin ilang mood gara2 gagal update (blokir kominpo + lupa dibackup). Tapi karena kekuatan kopi + Samsu, itu semua bukan masalah bagiku.​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd