Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Perlu pakai bahasa resmi negara nggak nih ? (bahasa Inggris, Itala, Jerman, Dll)

  • Ya ! (biar feel dramanya terasa) / dua-duanya nggak papa

    Votes: 38 17,8%
  • Nggak usah ! (Bahasa Indo aja, biar gampang)

    Votes: 176 82,2%

  • Total voters
    214
Sebelumnya...
Barry duduk di deretan meja paling pojok sebuah bar daerah Upton Park, London Timur. Selang beberapa jam setelah pendaratannya dari Salerno.
Matanya menyorot kepada seorang lelaki di ujung meja lain. Gempal, berambut cepak, mengenakan jaket parka warna olive-green.
Bersama teman-temannya, sosok laki-laki itu yang terlihat paling antusias menyaksikan pertandingan kandang West Ham United. Sementara selingan taruhan lotere dan berbotol-botol bir ada di meja mereka.

Di layar TV lainnya, tersiar warta berita tentang peristiwa konflik kemanusiaa yang sudah hampir 4 tahun lamanya terjadi di negara bagian eropa timur. Perang Yugoslavia.
Barry terus menatap laki-laki dari kejauhan, kadang juga menggerutu kesal.

Ayah macam apa kau ini ? Putrimu, rela mati bekerja untuk negaranya di medan perang. Sedangkan kau... Ayah yang menyedihkan. Hanya duduk-minum-taruhan disini ?” - Barry



** HEADLINE NEWS **

BBC Journalist : John Paul Petterson
Al-Jazeera Reporter : Lindsey J. Carter

Cameraman : Michael Edward
Date : March 20, 1999


(Pristina, Kosovo)
11-20 Maret 1999

Kota Pristina, sebuah daerah di Province of Kosovo and Metohija, Yugoslovia.

‘DUARR!’
‘DUARRRR!’

‘DOMM ! DOMM!’

(Ledakan Bom dan artileri)

‘Drtttttt! Drtttttt!
Dorr! Dorrr! Dorr!’

(Bunyi desingan senapan api)

Hari demi hari, semenjak awal tahun 1998, adalah periode gelap yang akan selalu diingat khususnya bagi seluruh masyarakat Kosovo.
Sebuah provinsi di barat daya, yang dulunya adalah bagian dari Serbia (Yugoslovia).

Malam itu, kepanikan dan teriakan histeris anak-anak adalah hal paling menyedihkan yang memenuhi tiap blok di jalanan kota Pristina.​

‘DUARR!’
‘DUARRRR!’

‘DOMM ! DOMM!’

(Ledakan Bom dan artileri)

‘Drtttttt! Drtttttt!
Dorr ! Dorrr ! Dorr !’

(Bunyi desingan senapan api)

Kampanye Polisi dan paramiliter Yugoslavia, sudah mengepung hampir 60% wilayah Kosovo yang dengan kekuatan (terbatas) Paramiliter Albania-Kosovo, bahu-membahu berusaha memisahkan Kosovo dari Yugoslavia.
“Ti nezahvalnici !” teriak seorang kombatan Yugoslavia dengan baju loreng, yang artinya ‘Kalian manusia tak tahu terima kasih !’ Bersiap menarik kokang senapan api, kepada barisan lelaki dan anak muda diujung tanah lapang, yang dicurigai sebagai para pejuang KAL.

‘Drtttttt ! Drtttttt !
Dorr ! Dorrr ! Dorr !’

(Bunyi desingan senapan api)
Sedetik kemudian, barisan lelaki dan anak muda tadi, jatuh menjadi mayat dengan sekujur tubuh berlubang akibat berondongan peluru-peluru keji.

‘Drtttttt ! Drtttttt !
Dorr ! Dorrr ! Dorr !’

(Bunyi desingan senapan api)

“ARGH ! PAPA!”

Terdengar teriakan istri dan anak mereka dari kejauhan.

( 🇷🇸 )

“Rekao sam ti da ne sarađuješ sa izdajnicima KAL ! (Sudah kubilang jangan mau bekerja sama dengan pengkhianat, KAL!)”

“Suara tawa-tawa penuh kenikmatan kejam itu tidak akan pernah hilang dari ingatan orang-orang Kosovo saat itu…” - Paul Petterson, (BBC)

‘KLA’ / UÇK (Kosovo Liberation Army), yang dibentuk pada awal 1990-an adalah barisan untuk memerangi penganiayaan Serbia atas etnis Kosovo-Albania. Mereka memulai kampanye pertamanya pada 1995 ketika meluncurkan serangan terhadap penegakan hukum Yugoslavia di Kosovo. Pada awal 1998, serangan serentak KLA yang menargetkan otoritas Yugoslavia di Kosovo mengakibatkan peningkatan kehadiran paramiliter Serbia dan pasukan reguler yang kemudian mulai mengejar kampanye retribusi. Targetnya, simpatisan dan lawan politik KLA.

Di seluruh wilayah Pristina, para kombatan Yugoslavia mendapat perintah untuk menangkapi pihak-pihak yang dicurigai bersekutu dengan KLA. Malam itu situasinya menegangkan.
Banyak wanita, kaum remaja, bahkan anak kecil ikut diciduk dari dalam rumah. Dengan keji beberapa bahkan mendapat kekerasan, dipukuli dan disiksa. Semua menderita.

“Konvoi paramiliter Yugoslavia di malam itu, menewaskan 1.500 hingga 2.000 warga sipil dan kombatan KLA…” – Lindsey J Carter, (Al-Jazeera)
Trauma akan terus membayangi kehidupan mereka di masa depan. Popor senjata api dan ancaman kematian, adalah hal biasa diantara luka di kepala yang berdarah-darah karena coba melawan.

‘Drtttttt ! Drtttttt !
Dorr ! Dorrr ! Dorr !’

(Bunyi desingan senapan api)
6 pejuang KLA yang tersisa, terjebak di lantai 4 bangunan rumah sakit Vitale, Pristina. Kombatan ini baru saja selamat melewati konvoi 1 batalion Yugoslavia, disekitar Jalan Kastriot.
‘DUARR !’
‘DUARRRR !’

‘DOMM ! DOMM !’

(Bunyi tembakan artileri)

Mereka tidak menduga sebelumnya, kombatan yang tadinya berjumlah 40 orang dikepung dengan artileri ganas Yugoslavia.​

“Vdis djall ! (Mati kau setan!)”

‘Drtttttt ! Drtttttt !
Dorr ! Dorrr ! Dorr !’

(Bunyi desingan senapan api)

Pun kalah jumlah, mereka sili berganti menembaki pasukan Yugoslavia diluar. Terbatas peralatan. Tidak sempat membawa senjata apalagi bekal makanan.

‘Drtttttt ! Drtttttt !
Dorr ! Dorrr ! Dorr !’

(Bunyi desingan senapan api)
‘UGH! UGH! AGH!’

Balasan berondongan peluru tajam tentara Yugoslavia, tak sempat mereka hindari. Sebagian menembus tengkorak mereka, sisanya berakhir pilu.
Peluru kaliber AK-47 bersarang di dada. Mereka semua gugur sebagai pejuang, bukan seorang pecundang...

“A-ARGHHHHH ! MAMA!” teriakan histeris anak-anak semakin marak terdengar.

Beberapa perempuan dari berbagai etnis (Albanian, Bosnian, dll) ditangkap dan dikumpulkan ke beberapa tempat oleh kombatan-kombatan Yugoslavia. Sebagian ditahan secara terpisah.

Mereka digelandang dari blok rumah-rumah, tanpa diperbolehkan membawa makanan-bekal juga keperluan sehari-hari lainnya.

“Banyak anak gadis, janda khususnya etnis Albania - Bosnia, diperkosa dan diperlakukan seperti binatang tak bertuan…” – Paul Petterson (BBC)

Di lobby Marigona-Hotel Pristina, misalnya…

Seorang perempuan, yang sebelum kejadian bersama dengan kedua anaknya di jalanan sempat ditangkap, digiring ke hotel yang jaraknya sekitar meter dari lokasi.
Dia yang awalnya hanya mau menyembunyikan anak-anaknya keluar dari jalanan Pristina melalui kanal air bawah tanah, berakhir tragis saat dicegat oleh 4 kombatan yang sedang berpatroli jam malam.

“Hahahaha !”

‘A-aarghhh ! Emphhh… O-okh! Ouh! Ough!’

Suara rintihan si ibu malang ini ketika dilecehkan, bahkan diperkosa oleh keempat kombatan biadab.

Tidak hanya dia, karena sudah sekitar 20 menitan sejak awal kedatangan bersama 4 prajurit ini ada puluhan wanita yang terus berdatangan. Mereka dipaksa masuk ke dalam kamar-kamar hotel oleh kombatan Yugoslavia yang mabuk, beringas, kesetanan karena pengaruh heroin.

“Protresti dupe, a tvoj sin će biti upucan ?!”

Desah dan teriakan perempuan-perempuan malang ini menggema dari kamar ke kamar, lorong menuju lorong, dari lantai dasar sampai rooftop.

‘DUARR !’
‘DUARRRR !’

‘DOMM ! DOMM !’

(Bunyi tembakan artileri)
“Malam itu, diantara desingan peluru, ledakan artileri, juga hantaman roket Yugoslavia... Disela tangis, ketakutan, dan teriakan sedih wanita dan anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Para iblis, berwujud tentara ini, menjadikan hotel dan tempat-tempat pengasingan sebagai ‘rumah bordil lapangan’. Lembah kematian, bagi mereka (Perempuan - gadis - janda) yang menjadi korban…” – Paul Petterson (BBC)

** p.s, Kami mengutuk segala bentuk kekerasan (fisik-mental), pelecehan, juga para pelaku penjahat perang untuk dihukum seadil-adilnya. Juga, Doa kami selalu mengenang para korban dan keluarga penyintas perang dimanapun berada. Terutama bagi perempuan dan anak-anak. ~


*** HEADLINE NEWS ***
 
Terakhir diubah:
Keterangan Baca
Elemen Skenario :

1. Keterangan ‘DUAR !’, ‘Drkkk !’, ‘Degh !’ : bunyi Onomatope, misalnya benda, suara keras (ledakan, derit kursi, dll) atau ungkapan ekspresi kaget seseorang.

2. Keterangan penulisan teks:
“Saya adalah Sanji, dan bercita-cita ingin menemukan legenda All Blue!” - Sanji
Monolog pemikiran, POV (batin, pikiran, suara hati) atau kutipan sumber maupun penulis.

3. * (sumber terkait) / ** (pendapat penulis).

4. (Percakapan telepon dalam Bahasa) : Alih bahasa atau dialog percakapan telepon antar tokoh dalam bahasa Native.

5. (🇮🇹/🇩🇪/🇬🇧/🇷🇺) : Alih bahasa atau dialog antar tokoh dalam bahasa Native, digambarkan dengan keterangan bendera resmi negara.
 
Terakhir diubah:
Mohon maaf buat pembaca semua...
Sementara episode 02 akan diperbaiki (remake) untuk lebih menambah keseruan, bumbu drama action & adegan SS nya lebih terasa. Untuk weekend ini akan update (Episode 02 remake)
"... Anggap saja cerita sebelumnya adalah multiverse yang berbeda" :Peace:

Wassalam...
 
Terakhir diubah:
EPISODE 2 :
PRISTINA, TONIGHT.

1999's



(Piccadilly Circus London, Inggris)
3 Desember 1998 | Pukul (GMT) 07.00 pagi
[ Flashback ]

Tengah pekan, hari ketiga di bulan Desember 1998.

‘Krngggggg…Krnggggg!’
‘Krngggggg…Krnggggg!’

(Bunyi Alarm)

Saat suara kasar setelan alarm jam weker pukul 07.00 pagi, makin lama terasa memekakkan telinga pemiliknya. Meskipun mendengus kesal, pun begitu dia mesti bergegas untuk bangun lebih pagi dari biasanya. Sialnya, sarapan roti dengan sisa susu basi terasa menyiksa lidahnya pagi itu. Ah, tapi panggilan pagi ini harus segera ia turuti.
Jadwal tengah pekan di antara keramaian Piccadilly Circus. Para turis makin ramai saja sepanjang tahun. Sembari menerima kopi pesanannya di kedai kopi Carpo, langganan. Menerawang ke sekitar. Langit London tetap mendung, seperti biasa. Ada pepatah yang mengatakan kalau :

“Hujan tahu kapan harus membasahi kota ini. Hujan juga tahu kapan harus berhenti.”

15 menit lagi, seseorang menjadwalkan untuk sebuah pertemuan di kantor barunya, yah cuman berkisar 8 menitan via jalur kereta tunnel. Menuju Thames House, pusat perkantoran pemerintah, di tepi sungai Thames.
Tak kurang dari 10 menitan, perempuan itu segera melakukan scanning kartu ID, baru diperbolehkan masuk. Dari lobby, menuju ke koridor di lantai 3. Di sana, dia menjumpai Allen Lawrence (36). Pegawai tata urusan sekaligus asisten kepala di detasemen MI6.

Heels tingginya menggema di sepanjang lorong menuju ruangan, kadang sampai memalingkan fokus orang sekitar juga karena suara langkahnya itu.




(Thames House (Markas MI5), kota London)
Pukul (GMT+1) 07.15 pagi

Di dalam ruangan...
Ornamen gothic, buku-buku setebal muka berjejer di rak. Ada banyak lukisan-lukisan tokoh-tokoh monarki abad 14-19. Warna catnya juga berwarna cerah.

Well, masih mengingat betapa senangnya saat mendapat tawaran pekerjaan ini. Dengan bayaran dan fasilitas yang mereka janjikan. Termasuk saat pertama memasuki ruangan ini. Selalu takjub untuk kesekian kalinya.
Perempuan tadi berdiri berdampingan dengan seorang lelaki 50 tahunan, di sisi kanan. Pertemuan biasa saja. Tak lebih dari satu jam.

Pagi itu masih segar, sembari menghirup kopi yang barusan ia beli, mendengarkan penjelasan si lelaki.

Beberapa foto yang tergeletak di atas meja.

Keterangan alih bahasa :
🇬🇧 : Percakapan Native bahasa Inggris
🇷🇸 : Percakapan Native bahasa Serbia
🇦🇱 : Percakapan Native bahasa Albania

( 🇬🇧 )

“Alexy Krstičić (45). Seorang pengacara juga penghubung istana. Pejabat rezim 1998, Slobodan Milošević, 111. Yang kedua, Marko Nikolić (64). Salah satu oligarki penting, penyambung lidah dari segala kebijakan ekonomi yang diambil Sloboban. Pengusaha sukses, memiliki jaringan surat kabar propaganda, juga penghubung dengan pemerintah Rusia, sang 112. Yang ketiga, kalian semua akan sering berjumpa melalui siaran TV mereka.” jelasnya detail.

Perempuan tadi cuma menangguk paham, terus menyimak tiap keterangan.

Nebojša Pavković (53). Kolonel Jenderal pasukan ketiga di Kosovo. Karirnya melesat tajam. Sloboban tak mungkin menyia-nyiakan isi kepalanya. 611, jadikan dia sebagai ‘tameng’. Atur kasus dan kejahatannya. Mungkin tidak akan sulit karena serangan ke Kosovo juga menargetkan masyarakat sipil.”
Kata seorang lelaki, pemikir, memberikan catatan memo dengan pena mahalnya dengan lis emas, juga pemegang jabatan tertinggi dinas intelijen MI5 pada saat itu.
“Juga terkait kabar dari informan kami di rusia yang menyatakan adanya keterlibatan pihak yang tak terlihat di balik para petinggi rezim sloboban. Pemasok bantuan dana dan senjata, penyedia sukarelawan asing untuk membantu para kombatan. Orang ini juga mampu mengerahkan banyak informan, perekrut ilmuan-ilmuan penting Yugoslavia. Kemungkinan bersembunyi di balik para diplomat Rusia di kedutaan. Oh, iya kau juga diberi akses ke US-UK Embassy.” tambah lelaki itu.

Seolah memberi clue yang kelak harus dipecahkan perempuan ini dalam tugasnya nanti.

“Yes sir !” jawab perempuan tadi.

“Setelah perundingan Rambouillet di Paris - Perancis selesai. Berhasil atau tidak. Tetap harus sesuai rencana awal. Ingat nama-nama itu...”

“Sir Lander, apa anda sudah mendapat pesan dari Tuan Barry ?”

“Mr. Barry Alejandro ? Dia mengirim sesuatu kepadaku ?”

“Oh, tentu. Mungkin belum sempat dikirim. Thanks sir, Good morning~”

“Yeah, Good Luck~”

‘Ngikkk—’


perempuan itu berjalan keluar dari ruangan. Seperti tidak mau menunda-nunda pekerjaannya.

“Nona Qristal ?” panggil Allen, Qristal nama panggilannya pagi itu.
“Yes, Mr. Allen ?”
“Well, I just said... Good luck untuk dinas pertamamu. Karirmu sangat cemerlang, tidak cukup untuk MI5 saja. You deserve it. Dan juga Sir Lander meminta untuk menyerahkan ini kepadamu. Sepertinya dia lupa.” kata Allen.

Terdengar lebih antusias saat menyerahkan paket sebesar kotak makanan bekal.


Oz Perkins from 'The Blackcoat's Daughter' (2015)
“Oh, Thankyou. Sampai jumpa sebulan lagi, Mr. Allen~” Qristal menerima barang yang diserahkan padanya, sempat mengintip sedikit sebelum pamit meninggalkannya.

Agent Qristal keluar koridor ruangan tadi, menuju ke sisi lain gedung untuk menyiapkan segala keperluan yang ditulis dari catatan memo dari seseorang bernama Sir Lander barusan.
‘Kontra intelijen dinas MI6’ tulisan yang tertera di sana, bagian pengadaan ‘Operasi Poppy-potts’.
( 8 )



(The Five Towers Hotel, kota Belgrade)
20 Februari 1999 | Pukul (UTC+1) 18.30 petang


‘PSYUUUUU !
DORRRR !’

(Tembakan peluru kaliber dari senapan runduk)

Sebuah peluru kaliber, melesat kencang menuju arah ruangan di lantai 11. Padahal Gedung hotel pertemuan itu berjarak 100 meter dari posisi sang penembak.
Butir peluru, melalui teropong senjatanya, melesat bagai supersonic memecah jendela kaca hingga menembus kepala bagian belakang seseorang di balik ruangan.

“A-akh... ekh !”

Pekik targetnya mulutnya menganga, langsung ambruk. Dari teropong senapan, terlihat beberapa ajudan dan para staf yang berjaga untuk si target langsung panik dan linglung. Kecolongan !

Bibir si penembak tertarik ke atas, juga matanya berkedip memastikan targetnya dikenai. Tumbang, di antara wine dan pengawalnya. Alexy Krstičić (45). Pengacara juga salah satu juru bicara istana rezim sloboban 1998-1999.

Penembak itu hafal betul perintah komando.
( 🇬🇧 )
“111, clear !” katanya di antara earpiece yang terpasang. “Sudah ramai massa ? di basement ?”
“Not yet ! (Belum !)” suara seorang dari ujung earpiece, membalas pertanyaannya. Tentu saja si penembak tidak beraksi sendirian.
OK, aku pergi sekarang juga. Awasi tiap pergerakan kepolisian di sepanjang blok !”

‘Srrttttt—’

Si penembak sniper barusan terlihat melonggarkan resleting baju spandex anti pelurunya.

“Wanker ! (Idiot !) Orang macam apa yang mendesain baju ini ? Nggak masuk akal !” keluhnya.
Yang ia bayangkan sejak awal, adalah pakaian dinas glamour ala James Bond-nya Pierce Brosnan misal coat/blazer merk LV atau Gucci yang mahal, atau setidaknya yang masih bisa menunjang pergerakan lincah.

Tapi kenyataannya, hanya pakaian anti peluru murahan berbahan spandex dengan beberapa jahitan, lekukan ketat disana-sini. Jelas gerah dan tentu tidak muat menopang dada besarnya.
“No-No ! That's Amazing ! (Enggak-enggak, Itu luar biasa !) Bisa ku rekam kau dengan seragam sexy itu setiap malam ? Bibi Grena akan histeris melihat dadamu tambah menonjol, Q !” canda suara dari earphone tadi.

“Oh come on Michael, kita sedang bekerja saat ini.”

“Hahaha...”

Cepat-cepat ia turun lewat tangga darurat bangunan tower setinggi lebih dari 500 kaki. Dari keremangan lampu gedung, figurnya sedikit terungkap.

Pekerjaannya belum beres, kendati begitu masih harus menunggu lama menarget dua lainnya. Senapan runduk yang tadi dikenakan, sudah berganti dengan pistol Walther-PPK.


( 9 )


(Kawasan distrik tua, kota Pristina)
21 April 1999 | Pukul (UTC+1) 19.00 malam

Kota Pristina...

Malam panjang yang penuh ketegangan dan teror. Suara tembakan senjata api, ledakan artileri, teriakan kejam, menggema hampir di setiap wilayah kota Pristina. Baku tembak dan serangan paramiliter FR Yugoslavia menyasar sisa kantong perlawanan anggota KLA.
‘KLA’ / UÇK (Kosovo Liberation Army), belakangan memiliki motif ingin mendirikan wilayah 'The Greater Albania' (Albania Raya) untuk mengalahkan dominasi Pemerintah FR Yugoslavia di Kosovo (yang mayoritas ber-etnis Albania). Langkah pemberontakan mereka mendapat intervensi dari Amerika Serikat dengan memberikan bantuan berupa dana, persenjataan, juga para missionaris asing dari negara-negara muslim untuk menghadapi pasukan Yugoslavia yang menang jumlah.
KLA memerintahkan masyarakat Pristina untuk mematuhi aturan jam malam yang mereka buat. Keadaan kian mencekam, menyusul rumor patroli senyap oleh militer tanpa seragam FR Yugoslavia yang memburu anggota keluarga etnis Albania dengan cara menciduk dari rumah ke rumah, fasilitas publik, bahkan menculik anak-anak dari sekolah.
Pun, Pristina adalah basis terkuat bagi militer FR Yugoslavia di sisi utara kosovo. Sementara KLA mulai bergerak dari di sisi selatan Kosovo, kota Prizren.

Hal ini membuat militer batalion-134 FR Yugoslavia setidaknya mampu memukul mundur sisa-sisa anggota KLA ke pinggiran (desa-desa sekitar) dan hutan-perbukitan sekitar.
“40% Wilayah Kosovo adalah hutan. Termasuk di Pristina. Ini jadi taktik para pejuang KLA untuk melakukan serangan secara gerilya. Kedudukan 50 - 50. Pejuang KLA mendapat dukungan warga sekitar yang mayoritas beretnis Kosovo-Albania-Bosnia. Sementara Milisi FR Yugoslavia, sebagai pemilik resmi wilayah Kosovo, tentu lebih paham medan pertempuran setempat.” - Paul Petterson (BBC)

‘SWOSSSH !
BWOSSSHHH !
SSRRSSSSSSH!’

(Kobaran api membakar rumah)
“Seluruh kota dipenuhi blockade dan jaringan listrik di kampung-kampung etnis Albania dipadamkan. Saat arus evakuasi berlangsung, fasilitas transportasi publik khususnya Shuttle Bus, Stasiun, Bandara 'hanya diperbolehkan' mengangkut penduduk etnis Serbia saja. Jelas, ini adalah kejahatan perang terstruktur.” - Lara Logan (CNN)

NATO sudah memberikan ultimatum keras kepala Pemerintah FR Yugoslavia, Sloboban Milosevic, untuk menarik pasukan dan segala kekerasan dari Kosovo. Mereka menyangggupi gencatan senjata.

Namun, karena perintah penarikan militer tidak ditujukan kepada 100% pasukan yang bertugas di Pristina, membuat kombatan-kombatan KLA berulah dengan menyerang pos-pos penjagaan militer FR Yugoslavia yang tersisa. Hal itu berbuah malapetaka, saat beberapa kombatan Yugoslavia tanpa seragam balik membalas provokasi dengan cara membakar beberapa masjid, gedung pemerintahan, juga beberapa situs bersejarah di Kota tua.

Pristina hancur total, puing-puing dan asap kebakaran, mengepul layaknya situasi perang dunia. Bahkan, Tank dan Artileri saja tidak (belum) mendapat perintah bergerak.

‘Dorrr ! Dorrr ! Drtttttt !
DORRR ! DORR !’

(Baku tembak senjata api kaliber)
‘UGH ! UGH !’

‘UGH ! AGH !’


Pengusiran paksa, persekusi dan pembunuhan masal (genosida) terjadi, dan meluas ke beberapa titik wilayah penyangga Pristina, keluar ke desa-desa sekitar.

Militer FR Yugoslavia menyasar etnis Albania-Bosnia. Sebagian warga desa, takut membuka pintu sedetik pun kepada seseorang dari luar, saat peristiwa malam berdarah itu terjadi.

Di tengah ketegangan yang terjadi di luar. Sebuah suar radio mengabarkan, NATO akan memulai operasi pemberantasan ‘K-FOR’ juga ‘Bloody Sunday’.
Entah apa maksudnya, namun warga Kosovo, khususnya Pristina sangat percaya dan menaruh harap. Mereka kompak menjaga semua informasi yang keluar, agar tidak sampai ke telinga patroli intel Yugoslavia yang kesetanan ingin menambah korban.

Sementara itu...

10 menitan dari sana, tepatnya salah satu blok jalan kawasan wilayah distrik tua, pusat kota Pristina.

Langit malam menjadi merah. Asap kebakaran gedung memenuhi jalanan Pristina. Suara tembakan provokasi, pertempuran baku tembak tentara Serbia - KLA terdengar disana-sini.

Malam itu, jurnalis Al-Jazeera dan BBC, Lindsey J. Carter (25) & Johnny, beserta Alina bersusah payah melewati patroli militer FR Yugoslavia yang menyisir alun-alun kota Pristina.

“H… Hh ! Hhh ! Hhh !”

Belum sempat berkemas-kemas, masih menggunakan setelan dress hitam, juga heels karena barusan meliput berita. Berlarian sambil mengendap.

Lindsey dan Paul sadar, mereka berada disituasi antara hidup dan mati. Jagal-jagal bengis yang malam itu tengah berpatroli mengendus pergerakan simpatisan mata-mata KLA di kota tua, itu artinya mereka siap membunuh siapapun yang dianggap mencurigakan.

‘PSYU !
PSYUU !
PSYUUU !

(Tembakan pistol silencer)

Di sudut barat alun-alun kota tua, Lindsey terpaksa menembak mati seorang kombatan yang lengah. Sialnya hal itu malah membuat Johnny kaget histeris, berteriak.
( 🇬🇧 )
“What the fuc* ! Hey, dari mana kamu dapat benda semacam itu ?” tanya John.

Seperti anak-anak taman bermain yang melihat Lindsey mencucuk senjata apinya.
“My Christmas gift (Hadiah natalku…)” jawab Lindsey.

Tangannya sudah menelusup kembali ke dalam sling-bagnya bersama pistol peredam tadi.
Seperti sudah biasa mengokang Walther-PPK kepala kombatan tadi berlubang di antara jidat. Roboh ke tanah. Mereka bertiga terus berjalan mengendap-ngendap sampai ke sebuah gang yang terhalang truk persenjataan yang sudah kosong.
Lindsey memberikan aba-aba ke Paul. “Go… Go !!”

Billy Zane from 'Enemies Among Us' (2009)
Dasar amatiran memang !

Nama lengkapnya, John Paul Petterson (39) seorang jurnalis senior BBC yang bermukim di Manhattan, New York. Dia begitu jumawa kepada semua orang-orang di US-UK embassy bahwa reputasinya sebagai jurnalis peperangan adalah yang terdepan saat ini.

6 jam yang lalu, Lindsey seakan sudah melihat wujud asli si pecundang botak ini kala meninggalkan satu rekan tugas mereka, Michael Edward (40) Kameramen BBC, sendirian saat dicegat patroli kombatan Yugoslavia di jalan tol.

Michael yang ditangkap, sempat diinterogasi beberapa menit, belum sempat bernegoisasi langsung diberondong 19 tembakan oleh salah seorang kombatan Yugoslavia.

Dan itu karena ulah si senior bangsat satu ini !

Lindsey mau tak mau harus beraksi. Si ceroboh botak ini yang membuatnya 'terpaksa' menarik senjata. Sekedar menyelamatkan diri.

Tujuan mereka adalah kabur menuju tempat teraman di sisi timur ke pengungsian perbatasan Makedonia, itupun masih sejauh 27 km menyusuri arus kanal sungai Drini.

Opsi kedua, menuju ke titik evakuasi selanjutnya, yakni bandara Pristina. Itu sekitar 20 km. 31 menit dari tempat mereka berhenti sekarang, harus melalui jalan-jalan arteri yang sudah padat dengan sweeping dan patroli paramiliter Yugoslavia. Sialan !
( 🇬🇧 )
“All right, ‘Mrs. Senior' (Baiklah, Nona Senior), kuperingatkan, takkan kubiarkan kau merepotkanku seperti apa yang menimpa pada Michael !”
“Apa ada masalah ? Apa yang bisa kubantu ?” jawab Johnny. Seperti tidak merasa bersalah sedikitpun, padahal sedari tadi hanya bisa mengeluh.

“Just wait and see (Liat dan diam saja) Oh, satu hal lagi. Jangan berteriak seperti jalang, juga tutup mulutmu saat mereka menangkapmu !”

“A-apa kau akan menyerahkanku pada mereka ?!” tuduh banci botak ini tambah panik. Dia sampai berpikir demikian kepada Lindsey, menuduh yang tidak-tidak.

“Hah, apa maksudmu ? hey, bisakah kau diam dasar Tosser ! (idiot !)”

Lindsey malah terpancing saat coba menenangkannya.

Mereka berdebat di bawah kolong jembatan kanal air sungai Drini. Cukup mengikuti aliran kanal ini, menembus rawa-rawa, dan melipir ke stasiun & terminal pusat untuk menghindari patroli jalanan.

Kota Pristina dalam keadaan tegang. Arus evakuasi masih diperbolehkan. Kendaraan pengungsi masih padat di beberapa ruas jalanan.

Hanya saja, resiko sweeping dan penangkapan bagi orang-orang etnis non-serbia, juga mencekamnya aksi baku tembak di beberapa titik, membuat sebagian besar warga Pristina mengurungkan niatnya bepergian mengungsi.

Namun karena si botak ini terus membuat kesalahan dan mengeluh, sepertinya Lindsey perlu memberinya pelajaran…

‘Plak !’

Lindsey menampar pipi Johnny.

“Itu terserah, Nutter ! (dasar pembawa sial !) Mau terus mengeluh, menyerah di sini, dan ditemukan para penjagal barusan. Atau terus maju menyelamatkan reputasi tolol mu sebagai jurnalis senior di New York ? Oh, Nona Johnny... lihat, siapa yang pakai heels saat ini ?” Ejek Lindsey.

Jengkel. Amarahnya yang sempat ditahan-tahan, meledak. Laki-laki ini seperti orang tua konyolnya dirumah. Bisanya cuman besar mulut dan hanya menyalahkan.

(Lindsey J. Carter, Al-Jazeera headline news)

Andai kalau bukan ulahnya hari ini, yang membuat Michael dan Lindsey harus ketinggalan pesawat evakuasi di Pristina, hingga berujung ke drama kucing-kucingan dengan patroli FR Yugoslavia seperti ini.

“Hey bitch, watch out your mouth—”

( 🇦🇱 )

“Zonja, Psssstttt !”
Seorang bocah perempuan memecah pertengakaran mereka. Muncul dari balik rawa-rawa. Memberikan semacam kode ‘aman’ kepada lindsey.
Oh Alina, Shumë të ! (kau pintar sekali !) bagus-bagus !” jawab Lindsey yang mulai fasih berbahasa Albania. Walau terbatas hanya beberapa greetings.
Lindsey segera menghampiri Alina Hamidi (11). gadis kecil Albania malang yang barusan Lindsey selamatkan bersama Michael dari cengkraman prajurit Yugoslavia.
Naas bagi Michael, harus meregang nyawa terlebih dahulu sebelum mengantar Alina selamat sampai ke lokasi pengungsian.
Orang tua Alina hilang sehari yang lalu. Ayah dan saudara laki-lakinya diambil paksa dari rumah. Sementara ibunya diculik sehari sebelumnya. Dalih mendapat bantuan obat-instan, nyatanya malah dibawa entah kemana, tanpa kabar dan berita.


(1999, during Yugoslav-kosovo war, 4 serbian patrol combatant)

Hampir 1.5 jam, mereka bertiga terpaksa menjelajahi daerah rawa bantaran kanal sebagai pintasan menghindari patroli jalanan. Kini mereka sedang beristirahat sejenak. Kaki Lindsey sampai membiru karena berlarian dengan heels.
‘Krekk ! Klakk !’

Lindsey mematahkan bagian hak tinggi sepatu heels miliknya.

Jengkel, ia patahkan saja bagian hak heels. Supaya mobilitas pergerakannya lebih ringan.
‘Ctik ! Ctik !’

Sembari menyulut sebatang rokok, Lindsey menyempatkan istrirahat sejenak. Mengamati pergerakan arus sungai Drini yang semakin deras, malam yang menegangkan.

Lindsey coba mengamankan dulu isi kepalanya di tengah situasi rumit ini untuk sejenak.

Membakar cigarette, yang selalu Lindsey gunakan untuk mengubur rasa takut. Rokok Winston miliknya, akhir-akhir ini terasa makin pahit saja.
“Fyuhhh~” mengepulkan asap rokok.
Sembari mengokang pistol, Lindsey coba meminta pertolongan. Merasa orang ini adalah satu-satunya harapan yang bisa diandalkan, pada situasi sulit seperti ini.

Lindsey berpikir untuk meminta bantuan kenalannya, via panggilan ponsel. Ajaibnya, jaringan sinyal provider ponselnya saat itu aktif penuh.

( 🇬🇧 )
“Zzztttt… What ? Fuckoff ! Why at this critical… Zzzttt time you even robber-me with shit-silly-questions ?” seseorang bersuara keras dari ujung telpon…

“Hey Barry, How ? Does she trust you ? I guess I won't. Lindsey balik bertanya.

“You fool, otherwise I still have one more. She's no big deal !”

‘Zttttt… Zztttt…’
(suara panggilan gangguan bising sinyal)

“Huh… Damn it I thought you were like that 'Drunker'. I should have replaced you, you poor old-boomer-man ! Oh yeah Barry, who knows, this is the last callI want A 30 meter Fincantieri yacht placed in the caribbean, for on vacation, And then of course the payment, oh yeah I also want my dad's bar back. how ? Take it or leave it ?”
“Fyuhhh~”

Lindsey kembali mengepulkan asap. Sembari merokok di ujung kolong jembatan kanal, mengatakan hal konyol yang tak sengaja didengar oleh Johnny, salah sangka, hanya menggeleng-geleng.

Johnny melirik Lindsey, jengkel.

“Dasar pelacur... Sudah tahu kematian akan menimpanya, malah meminta yacht kepada lelaki selingkuhannya ?” - Johnny

Yes sir !”
‘Cklek !’
‘Tutt.. Tutt...Tuttt—’


“Really ?”
tanya John tiba-tiba.

“What ?” Lindsey heran.

“Sempat-sempatnya, meminta kapal, dalam keadaan kita mau mati atau hidup seperti ini ? kau malah memikirkan hal konyol ini ? Kenapa tidak meminjamkan ponselmu, dan meminta bantuan kantorku saja ? Oh ya, ngomong-ngomong berapa hargamu semalam ?” ejek John yang malah membuat Lindsey naik pitam.

Botak satu ini, kalau tidak menyusahkan ya menuduh yang tidak-tidak. Bahkan dia tidak tahu apa-apa soal komunikasi telfon barusan.

“Woah, apa katamu Nona Johnny ? bisa katakan lebih keras ?”

Sebelum sempat menamparnya untuk kali kedua, Alina dikagetkan dengan pergerakan sorot lampu senter dari hulu kanal. Sial, sepertinya seorang kombatan mendengar pertengkaran keduanya.
“Go ! Go ! Go away !”

Lindsey segera menggaet tangan mungil Alina dan menyeretnya bersembunyi dari sana. Sementara John yang panik, malah masuk ke dalam air kanal. Konyol, kakinya terpeleset dan ia hanyut beberapa saat, hingga terpaksa berteriak.
Si botak yang malang, bahkan keahlian berenang saja tidak dikuasainya.

‘JBYURRRR !’
(John terjatuh dan hanyut oleh arus deras kanal)
“FUCK ! HELP !”

John langsung ditangkap oleh 4 orang kombatan berseragam loreng Yugoslavia.

“No… no way !”
Lindsey rebah membekap mulut Alina supaya tidak berteriak, mengutuk John. “Mug ! stupid bollock !”
Sebelum menghilang, Lindsey sempat melinguk kepada Johnny. Johnny langsung diinterogasi oleh patroli militer saat itu juga. Setidaknya, mungkin dia aman karena hanya akan melewati proses interogasi mengingat statusnya sebagai seorang jurnalis senior.

Lindsey tidak bisa mendengar jelas apa yang botak itu katakan kepada mereka. Namun samar-samar, seorang patroli kombatan mengatakan kalau sebelumnya sempat mengenali Johnny bersama seorang wanita, anak kecil perempuan, juga si kameramen, Michael.

Beruntung Lindsey cekatan membawa Alina menjauh dari lokasi. Mereka berdua bergegas keluar dari kanal, terlalu lelah bagi Lindsey untuk berlarian lagi di jalanan. Dress yang dikenakan sudah terlalu bau keringat, lusuh, juga terkena bercak darah seorang kombatan Serbia.
Insting seorang jurnalis perang miliknya sudah teruji. Terbukti saat berhasil ‘menghilang’ dari patroli tadi. Tidak sadar, mereka sudah berada di pemberhentian shuttle-bus, tak sampai 1 km dari lokasi kanal.

Apapun yang akan terjadi, tak peduli, akan coba ia hadapi. Gagang pistol peredamnya dari dalam sling-bag sudah jaga-jaga untuk di hunus. Mereka berdua harus selamat.
Malam ini, adalah salah satu pengalaman paling membahayakan baginya selama bertugas.
‘NGGGGGKKK…
JGGRGGSHHHHH…’

(Suara rem pegas shuttle bus tiba-tiba berhenti di depan mereka)

“Come in... Hurry up !”
( 10 )


(Hutan Pishat Sllatines, kota Pristina)
21 Maret 1999 | Pukul (UTC+1) 20.10 malam

15 km dari lokasi kanal pristina. Di dalam Shuttle Bus, yang diam-diam membawa mereka menuju bandara.​

‘Kreekk ! Kreekk !’

Lindsey merobek bawahan dress miliknya.

Lindsey, bersusah payah mengoyak bawahan gaun hitam menggunakan pisau lipat simpanan di sling-bag. Dari samping bangku penumpang, Alina kebingungan. Bertanya-tanya, kenapa dress secantik ini malah dirusak Lindsey.​

( 🇦🇱 )
Bukankah harganya mahal, kenapa kamu merusaknya ?”

“Ah nggak juga, akan kuberikan satu kepadamu jika sudah sampai dirumah nanti.” balas Lindsey, lamun masih ragu dengan pelafalan bahasa Albania yang baru sebulan dipelajari...

“Shtëpia ? (Rumah ?) Apa di sana baik-baik saja?” tanya Alina antusias.
Lindsey hanya tersenyum getir, prihatin juga bingung. Sialan, merasa salah menjawab pertanyaan polosnya.
“Dari wajah bocah cantik ini, tersimpan trauma dan kesedihan. Saat Michael temukan, Alina sudah 2 hari menangis. Pertama ketika ayah dan suadaranya ditangkap, lalu disusul hilangnya sang ibu. Matanya bahkan membengkak. Malam ini, dunia seolah memaksanya menelan semua kenyataan pahit. Manusia dewasa saling membunuh, darah, juga derap langkah prajurit kejam.” - Lindsey (Al-Jazeera)

Masih sibuk, melonggarkan bawahan dress. Pergerakannya jadi lambat saat berkejaran dengan patroli militer. Sesaat setelah meninggalkan kanal. Beruntung sebuah shuttle-bus melewati mereka dan si juru kemudi berbaik hati, menyembunyikan dari kejaran patroli paramiliter yang barusaja menangkap Johnny.

Lindsey langsung memintanya mengantar ke tujuan terdekat, bandara Pristina.
“Sopir tua serbia yang berhati mulia. Aku belum sempat bertanya nama. Lelaki pengemudi shuttle-bus ini tau jika militer melakukan sweeping untuk mencegah orang non-serbia keluar dari kota. Dia bergerak hati untuk 'lembur', demi mengangkut-menyelundupkan orang-orang Albania-Bosnia menuju tempat / wilayah aman supaya berhasil dievakuasi pasukan perdamaian yang mulai masuk ke Kosovo. Ini adalah pemberhentiannya untuk kali ketiga (mengantar pengungsi) malam ini.” - Lindsey (Al-Jazeera)
‘NGGGGGKKK…
JGGRGGSHHHHH !’

(Suara rem pegas shuttle bus)

Bus yang mereka tumpangi berhenti ke sisi bahu jalan. Tepat dipinggiran hutan kota Pristina, Pishat Sllatines (Hutan pinus).

Sang sopir lelaki, 60 tahunan, adalah seorang Serbia, menyadari bahwa nyawa mereka terancam. Paling tak tega dengan Alina, bocah etnis Albania yang malam ini jadi sasaran utama pembersihan-pengusiran etnis di Kosovo.
( 🇷🇸 )
“Mogu samo da te odvedem čak do ovde (Aku hanya bisa mengantar kalian sampai di sini) Di depan sana sudah berjejer blockade tentara...” pesan pak sopir kepada Lindsey & Alina yang duduk di kursi paling belakang.
“Yeah, But it’s okay, thanks sir…” kata Lindsey setelah Alina menerjemahkan ucapan si sopir kepadanya. Seraya bersiap turun, menggandeng erat Alina.
“Masuklah ke dalam hutan. Jangan sampai terlihat oleh mereka (patroli kombatan Serbia) di jalanan. Hutan ini masih tembus ke bandara. Aku berdoa, kalian akan selamat sampai bandara...” tambah si sopir.
“Aku juga berdoa untuk kebaikan Anda, Pak. Akan kupastikan kau menjadi pahlawan orang kosovo di kemudian hari. Terima kasih sekali lagi !”

Lindsey lumayan berkaca-kaca saat mengatakan terima kasih dalam bahasa Serb dengan bantuan Alina.
“Nema potrebe ! (Tidak usah !) Aku orang serbia, juga manusia sama seperti mereka.”

Keduanya benar-benar beruntung. Juga sangat bersyukur, setidaknya masih ada setitik kebaikan dimalam penuh kebencian seperti saat ini.

‘JGGRGGSHHHHH
GRRRNGGGG !’

(Suara mesin shuttle bus berjalan)

Bus itu meninggalkan mereka. Sementara keduanya buru-buru masuk ke dalam areal hutan yang akan membawa mereka langsung menuju landasan pacu bandara. Teman Lindsey, sudah menghubungi untuk menunjukkan titik penjemputan paling aman.

‘WIIYYUUU...
WIIYUUUU...
TOTT ! TOTT !’

(Bunyi Sirine - Strobo mobil pengawalan)
Dari dalam hutan, Lindsey sempat mengamati serombongan mobil berbendera Rusia. Para diplomat delegasi pemerintah Rusia, sedang menuju arah bandara. Mereka dikawal ketat oleh belasan mobil anti peluru FR Yugoslavia. Sembari menjangkau setiap pergerakan dijalan melalui alat semacam keker (binocular), yang ada pada senter-torch miliknya.
“Ada urusan apa mereka ke sini? Apa lelaki itu juga terlibat di sini ?” - Lindsey.
Lindsey juga Alina rencananya akan mencapai titik pertemuan melalui jalan pintas dari hutan kota. Sementara bandara hanya terletak beberapa km saja dari lokasi. Hutan ini selain sebagai kawasan konservasi pinus, juga satu-satunya taman bagi warga sekitar sebagai destinasi favorit tiap akhir pekan.

Keadaan malam itu benar-benar gelap. Juga tentu saja, terlalu menyeramkan bagi seorang bocah seperti Alina. Si bocah beberapa kali merengek minta keluar dari hutan karena merasa takut kalau dikejar hantu. Lindsey membujuknya, meyakinkan dengan kebohongan. Berdalih, bahwa semua hantu di taman juga tengah sibuk berperang melawan pasukan FR Yugoslavia ke kota. Ini sedikit membuat Alina lebih tenang. Lelucon murahan.
Hanya sorot cahaya lampu senter-torch Lindsey yang jadi satu-satunya penerangan mereka berdua di jalan setapak areal hutan pinus. Kondisi jalan juga lumayan licin, akan riskan jika mereka harus berlarian dalam kondisi gelap seperti ini.
Lindsey tetap menggandeng erat Alina, sementara tangan kanan membidikkan ke depan pistol peredam, dengan bantuan sorot lampu senter.

‘Tkkk.. Tkk... Srkkk—’

Kasak-kusuk langkah kaki mereka, diseret, supaya tidak terpeleset. Masih sekitar 3 km lagi menuju lokasi yang dijanjikan.
Di tengah perjalanan, insting 'pengintai' Lindsey merasa ada yang akan melintas di depan mereka. Cekatan, Lindsey bawa Alina bersembunyi ke arah semak-semak dan kegelapan, dari balik rerimbunan pohon pinus yang menjulang tinggi.

Entah kenapa, merasa beberapa orang akan datang.

‘Klik !’

Lindsey berinisiatif mematikan senter-torch, menggantinya ke mode keker-inframerah menuju sumber bunyi.

Samar-samar, bunyi pijakan demi pijakan langkah seseorang berjalan. Derap langkah mereka, meyakinkan Lindsey kalau itu adalah dua petugas patroli FR Yugoslavia. Sialan, untuk apa mereka menyisir tempat seperti ini. Benar saja, tak beberapa lama, sorot cahaya lampu senter terlihat bergerak dari ujung jalan setapak hutan. Inilah bagian paling menegangkan.
( 🇷🇸 )
“Hey-hey !” sahut salah satu prajurit.

“čekaj... vidi Lutka ?
(Liat tuh... kok ada boneka ?)”

Dua orang prajurit tadi, berhenti di area yang baru saja Lindsey lewati. Menyenter objek benda yang tidak asing baginya.​

“Fuckedup. Shit !”

Boneka Teddybear milik Alina, tak sadar terjatuh saat Lindsey menariknya keras untuk bersembunyi. ‘Hal aneh’ semacam ini membuat kecurigaan bagi kedua prajurit yang entah bagaimana bisa muncul, mereka berempat sama-sama waspada.

‘Ckrak !’

Lindsey mengokang senjata.

Dua orang kombatan langsung membidik dengan senapan masing-masing, yang lebih unggul. Alina ketakutan, antara bersalah atau takut dimarahi Lindsey. Matanya mendelik, tak percaya.

Boneka kesayangan, bahkan sudah diikatkan kepada pinggangnya. Nafasnya memburu, keringat dingin, gemetaran seperti kena hipotermia. Ibarat, baru aja berlari maraton 100 meter tanpa berhenti.

“Hssstt… easy~”

Lindsey menarik nafas panjang, coba menenangkan Alina. Fokus membidik pergerakan salah satu prajurit yang mulai menemukan lokasi bersembunyi mereka…

1… 2… 3 !!
‘PSYU !
PSYUU !’

(2 tembakan pistol redam menyasar sasaran)
‘UGH... UH...’

‘AGHHH !’

Kombatan terdekat dengan posisi mereka, berteriak keras sebelum berakhir tergelatak kaku. Peluru pertama menjebol pinggangnya, sontak yang kesakitan membalik badan. Peluru kedua menembus titik buta belakang kepala. Salah satu rekanannya, mengetahui posisi Lindsey segera membalas dengan tembakan AK-47.
‘Dorrr ! Dorrr !
DORRR ! DORR !’

(Tembakan peluru kaliber AK-47)
“Hej momci! Tamo !” teriak kombatan itu dalam bahasa serbia kepada Lindsey.

“AHHHH ! MAMAAA !!”

Teriakan Alina juga sama-sama histeris setelah peluru menyerempet di pergelangan tangan mungilnya. Beruntung baginya.

Namun darah keluar deras dari sana.
Keduanya sama-sama panik. Lindsey & Alina sudah tertangkap basah. Jelas, Lindsey sendiri terlalu gegabah, tergesa-gesa menarik senjata.

Belakangan, inilah yang Lindsey sesalkan.
Sorot lampu senter juga mengarah pada posisi persembunyian Lindsey dan Alina.
“Go ! Go ! Alina Run !”

Lindsey membentak, seraya menyuruh Alina melarikan diri. Sementara Lindsey, berdiri menghadang tepat di depannya.
Alina yang ketakutan tambah menangis, keras. Meski merasa ragu ia menurut saja, berlari lurus ke belakang, ‘tameng hidup’ Lindsey membuat celah untuk kabur dari sana. Lari, lari sekuat yang Alina bisa.
‘PSYUUU ! PSYUU !
DORRRR ! DORRR !’

(Tembakan pistol walther-PPK)


‘Dorrr ! Dorrr !
Drtttttt ! DRRTTT !’

(Tembakan peluru kaliber AK-47)

Baku tembak tak terhindarkan. Lindsey hanya bisa mengulur waktu, sesekali merunduk, perempuan ini terlihat lebih tenang dan cekatan saat harus membalas, menghindar atau menunggu lawannya menembak. Sementara si kombatan tidak mau menyerah karena sebetulnya unggul dalam hal persenjataan. Mereka berdua bergulingan dengan bersembunyi di balik pepohonan pinus sebagai tameng.
“Tahan tembakan ! atau kami akan menembakmu mati !”

‘PSYUUU ! PSYUU !
DORRRR ! DORRR !’

(Tembakan pistol walther-PPK)


‘Dorrr ! Dorrr !
Drtttttt ! DRRTTT !’

(Tembakan peluru kaliber AK-47)

“Nestalo vam je metaka (Kau akan sudah kehabisan peluru), kita bisa bicara baik-baik !” teriak kombatan itu.

Kombatan FR Yugoslavia ini, terlalu muda untuk memegang senjata. Raut wajahnya juga sangat ketakutan. Tangannya gemetaran, terlihat dari posisi Lindsey yang tidak begitu jauh. Mengintipnya, melalui keker inframerah.
Jelas, ini bukan yang diharapkan si prajurit muda ini. Ngeri atau apes, bertemu perempuan seperti Lindsey yang entah bagaimana lebih terlatih memegang senjata... walaupun keadaan juga sama-sama kuat. Itu juga 10 peluru terakhir bagi Lindsey. Sialan ! sayang beribu sayang.
“Jo! Vëlla më ndihmo ! Mama !” teriak Alina, mengagetkan Lindsey dari belakang.

Entah dari mana dia bisa muncul dan tiba-tiba bersama dengan Alina. Penerangan malam itu jadi masalah bagi Lindsey.

Seorang lelaki patroli kombatan FR Yugoslavia lain, sudah mencengkram kasar Alina yang sebelumnya menempuh pelariannya sejauh 2 km dari lokasi Lindsey, padahal masih tertangkap mata keker milik Lindsey saat berurusan dengan lawan tembak-menembaknya.
Tenaga kecil Alina, dengan mudah dimentahkan oleh seorang kombatan yang kebetulan penasaran dengan bunyi tembakan dari dalam hutan pinus.
“No Way ! Alina ! Fuck You, Just Let Her Go !” bentak Lindsey kepada si kombatan tadi penguasa Alina.
“Pria itu berbadan gempal, dengan perut seperti Anjing laut. Sekitar 180cm, tdak jauh dariku. Memanggul senjata machine-gun laras panjang. Peluru kaliber dikalungi. kumisnya lumayan tampil kentara. Mengenakan baret. Paling seram, mata merahnya menyala, jalannya juga agak kerepotan, mungkin karena efek heroin atau sedang mabuk, bak setan-setan zombie di kegelapan malam.” - Lindsey, (Al-Jazeera)

Sial, ceroboh untuk kedua kalinya saat itu. Tidak sempat mengawasi pergerakan Alina dari si jelek ini. Padahal toh dia juga dalam keadaan teler.

“Shit !”

Lindsey hampir saja menarik pelatuk, sialan, paham situasi ini sama sekali tak menguntungkan. Secepat setan, ia ambil bagian kecil dari sana dan segera membuang pistolnya, tidak seorang pun dari dua kombatan tadi sempat melihat semua ini.​

“Ruke iza gospođice ! Leći !” bentak si kombatan muda Yugoslavia tadi.

Lindsey terpaksa menangkat tangannya. Tapi tetap bersiaga. Dia kemudian dipaksa duduk bersimpuh dengan posisi kedua tangannya di atas kepala. Di bawah todongan senjata laras panjang si kombatan muda. Lindsey dibentak beberapa kali menggunakan bahasa serbia yang sedikit saja dipahami. Alina, semakin menangis keras saat darah di tangannya merembes mewarnai jaket.
“Let her go ! Fuckoff !” balas Lindsey saat mendengar teriakan menyakitkan Alina.

Si kombatan berkumis itu akhirnya melepaskan Alina dan segera memeluk Lindsey, saat menerima todongan senjata kedua prajurit FR Yugoslavia itu.

“Siapa kalian, kenapa membawa senjata ?!” si kombatan muda berteriak kepada Lindsey, mengintimidasi.

Namun Lindsey tak sempat memperdulikannya, panik membebat pergelangan Alina yang bersimbah darah, menggunakan kain bawahan dress miliknya yang sudah dikoyak barusan.​

‘Krrkkk… Kreekk ! Kreekk !’

Lindsey kembali merobek bawahan dress, untuk membebat luka Alina.
Kain sobekan dress tadi, digunakan untuk membebat luka Alina agar tidak mengeluarkan darah lebih banyak. Alina sendiri dalam keadaan pucat dan sudah lebih tenang karena si prajurit muda bersimpati juga, dan berhenti meneriaki mereka.

Perlahan, darahnya berhenti mengalir dan keadaan sudah lebih terkendali. Namun tetap saja kedua prajurit itu menodong AK-47 kepada mereka berdua, mungkin inilah saatnya harus mati, pikir Lindsey.

Kedua prajurit itu nampak berdiskusi. Sepertinya, keputusan tetap berada di tangan si tua gempal yang terlihat selalu memarahi si kombatan muda. Keduanya, sempat berdebat dengan bahasa Serb di depan Lindsey dan Alina. Entah apa maksudnya, namun si kecil Alina sangat ketakutan, langsung memeluk Lindsey lebih erat.

Seolah mendengar percakapan mengerikan antara keduanya, vonis yang akan mereka berdua terima. Mati seperti apa yang akan mereka terima di bawah todongan senjata.
‘Suiitt ! Suittt~’,

Siulan mesum si kombatan berkumis atas tindakan Lindsey ke Alina.
Si kombatan tua, gendut, berkumis kembali bersiul kepada Lindsey yang tengah duduk bersimpuh dengan todongan senjata api. Seragam lorengnya hanya dikaitkan ke celana.

Menggunakan dalaman kaus putih kusut, dengan bercak darah. Sorot mata 'binatang' kombatan ini seperti, sudah mengekor ‘mengincar’ Lindsey, semenjak pertama bertemu tadi...
( 🇷🇸 )
“Gospodine ! (Pak !) kita harus mengantar dia menuju camp untuk melapor,” cegahnya. “Kita akan mengantarnya. Pemeriksaan lebih lanjut, jelas dia ancaman karena menyerang petugas !”
“Hsstttt !”

Respon lelaki tua berkumis ini, seolah menyuruh si prajurit muda untuk tutup mulut. Sementara tangannya mulai serampangan, mengelus rambut dan pipi Lindsey.

“Tapi aku mau berkenalan dulu, berdua saja dengannya. Dia yang membunuh Darko bukan? aku mau sedikit memberi dia pelajaran... eh tidak-tidak, memberi dia kesenangan~” kata si tentara tua berkumis ini.

Entah apa maksudnya itu membuat si kecil Alina makin erat memeluk Lindsey.
“Gospodine (Pak), dengan segala rasa hormat!” interupsi lagi dari si kombatan muda, suaranya makin keras kepada lelaki gempal ini. Entah kenapa mereka sendiri juga berselisih paham. Si kombatan sepertinya tidak tega dengan rencana si tua ini.

‘Srrrkkkk—’

Gemerisik kain celana seragam tentara hendak dipelorotkan.

Bulu kuduk Lindsey merinding, sudah paham maksud lelaki ini. Sekedar mau memperkosanya, namun si kombatan muda berusaha mencegahnya. Ada Alina di sana, bahkan mulai menangis keras karena Lindsey akan diambil oleh si tua berkumis.
“MAMA !”

“Gospodine ! (Pak !)”, bentak si kombatan muda sekali lagi, tak tega dengan perlakuannya di depan anak sekecil itu.

“Ućuti! Izviđači ! (Diam ! dasar anak pramuka!) Mau ku tembak kepala anak kecil ini, sebelum kepalamu juga ?!” balas lelaki itu disela tangisan keras Alina yang erat memeluk Lindsey.

“Bawa saja anak ini menjauh. Aku perlu waktu sebentar saja untuk bersenang-senang. Jalang ini, akan baik-baik saja kalau dia menurut. Begitu juga dengan kau,” tambahnya.

“Znaš li da pričaš engleski ? (Kau bisa berbahasa inggris bukan ?) katakan padanya maksudku ini. Biar kita sama-sama enak !”

Pilihan yang terburuk dari yang terburuk.
Menghampiri Lindsey untuk mengajak Alina pergi sebentar.

( 🇬🇧 )

Nona, maaf aku harus... menolong anak ini dulu dari pada kau sendiri. Dia akan baik-baik saja bersamaku. Kalian akan berkumpul kembali setelah urusan bapak ini denganmu selesai.”
“Belakangan baru kuketahui. Pemuda ini, ternyata bukan asli orang Serbia. Penampilannya layaknya pemuda diawal 20-an. Rambut cepak. Kaca mata tebal. Wajahnya sangat 'nerdy' memerah, tiap bertatap muka denganku. Tak berani melawan pimpinannya ini, namun coba menolongku. Namanya, Martin Delev (20). Tinggi 185cm, Sukarelawan asal Bulgaria.” - Lindsey


“Kemana kalian akan membawa kami ?”
“Ada pangkalan di sekitar sini. Sekedar menanyai anda dan melaporkan kejadian saja. Jurnalis sepertimu akan aman.”
“Siapa namanya ?” Lindsey beralih menanyakan identitas lelaki gempal ini kepada sang kombatan muda. Yang lumayan 'bersahabat'.
Si prajurit muda melirik. “Dorde Mašović (48) cuma kolonel biasa. Pemabuk juga terkadang beban di pihak kami !” terang Martin Delev singkat dan lirih menjelaskan profil si tua bangka ini.

Jujur, sebetulnya dia sudah menaruh benci kepada orang serbia itu.
P.s, Dorde dibaca menjadi 'Derdy' dalam pelafalan huruf Serb

Untung, obrolan mereka berdua dalam bahasa inggris tidak dipahami oleh lelaki dengan sapaan ‘Derdy’ ini. Mungkin juga, karena keterbatasan soal pengetahuan bahasa asing, yang umum terjadi dijajaran angkatan darat Yugoslavia kala itu.
Derdy terlihat tengah berkomunikasi dengan seseorang melalui sinyal walkie-talkie. Lindsey sempat menanyakan sesuatu yang membuat obrolan mereka lumayan panjang.
* Bahasa asing, salah satu kelemahan (fatal) para prajurit FR Yugoslavia saat konflik Balkan pecah adalah keterbatasan mereka dalam penguasaan bahasa asing ‘Non-slavik’ (English, France, Deutsch, Dutch, dll) sehingga keterlibatan mata-mata, arus tukar informasi intelijen yang menyebar, sukar mereka dapatkan / pecahkan.
“Martin, tolong jaga gadisku. Jika tidak, setelah selesai dengan babi ini, kau lah yang akan jadi mayat selanjutnya !”
Lelaki bernama Martin Delev itu langsung terlihat gugup setelah mendengar ancaman Lindsey. Siapa perempuan ini ? pikirnya. Bahkan jika tidak diganggu Derdy, pasti sudah ditembak mati. Walau bermodal pistol dengan sisa 10 peluru.
“Hehe, cuma bercanda kok! Kita bisa ngewe sepuasnya selama yang kau mau, kalau kau membantuku menyembuhkan luka gadis kecilku itu.”
Entah apa rencana Lindsey yang iseng-iseng flirting, sekedar menggoda saja atau punya rencana 'rahasia' kepada kombatan muda ini.
“Hah ?!” Martin kaget, takut salah dengar Lindsey katakan barusan.

“Well you said, deal !
(
Baiklah, kau sudah menjawab, setuju !)”


Lindsey sempat melirik ke arah Alina yang menangis tersedu-sedu. Benar-benar ketakutan sesuatu buruk bakal menimpa Lindsey.

Apalagi harus berpisah di sini. Lindsey juga sempat melirik ke arah lelaki gempal tadi. sialan, liurnya bahkan sudah menetes seperti singa yang sudah tak sabar melumat mangsa. Beringas dan menjijikkan.
( 🇦🇱 )

“Tidak apa-apa, kita akan bertemu lagi setelah itu. Aku berurusan dengan bapak ini. Martin berjanji kita akan bertemu lagi, sebentar saja,” kata Lindsley, coba menenangkan Alina bahwa semua akan baik-baik saja.
“Prokleti albanski navijač !
(Dasar pendukung Albania Sialan!)”

‘Krrkkkk— Srkkkkk !’

Pergelangan tangan Lindsey, diikat - borgol dengan ikat pinggang.
Easy sir ! What are you doin ?”

‘Brettttt !’


Orang itu kembali mengikat pergelangan Lindsey dengan tambahan lakban rekat.
Lindsey agak terkejut saat kedua pergelangannya juga diborgol dengan ikat pinggang, ke depan. Sekedar berjaga-jaga supaya tidak mencelakai si gempal. Lumayan kasar sekali sampai meninggalkan bekas lecet merah. Sebuah Lakban, juga dibelitkan kepadanya, lebih rekat dan bikin tambah sakit saja, dasar kaum masochism sialan. Entah kenapa Lindsey bersikap pasif diam, menurut, tapi masih tenang saja.
“Come on Babe~”

Derdy kemudian menyeretnya, menarik kedua pergelangan tangan Lindsey, untuk berdiri dan segera berjalan di depannya.

Digelandang dengan posisi Derdy mengekor di belakangnya, bersama dengan senjata AK-47 yang ditodongkan ke punggung Lindsey.
( 🇷🇸 )
“Martine ! Tolong bawa mayat Darko juga bersama yang lainnya !” perintah Derdy, sebelum menghilang ke areal lain hutan pinus.
Bersama si kumis tadi, Lindsey digiring menuju ke sebuah lokasi, seperti area bunker kuno, tersembunyi jauh lebih ke dalam wilayah hutan pinus. Hampir masuk ke areal perbukitan dan landasan pacu bandara.
“Salah satu Kombatan FR Yugoslavia, tua - berkumis, gempal dengan badan penuh daki yang pelafazan nama ': Derdy, menuntunku menuju sisi lain Hutan pinus ini. Sekitar 15 menitan dari posisi Martin dan Alina. Aku sempat mengucap syukur karena mungkin saja dia hanya berniat melecehkanku. Setidaknya aku bisa menjauhkannya terlebih dahulu dari Alina.” – Lindsey
‘Klik !’

Lindsey langsung mengaktifkan sinyal radio, micro-cam di ujung pergelangan.

“It's me, Q. Now, I’m at the 2 km from yugoslav military base, Pishat e sllatines. Information Bank, subject Operation Poppy-Potts.”

Kombatan tua berkumis yang menggiringnya, masih tidak sadar kalau Lindsey sedang memberikan rekaman berisi ‘Bank Information’ menggunakan bahasa inggris, dengan aksen british yang terdengar aneh (Bahasa yang tidak dipahaminya) via alat semacam, *micro-cam celah pada pergelangan tangannya yang sedang terborgol ikat pinggang dan lakban.
P.s, Micro-cam (kamera intai) sekecil kancing ‘benik’ bahkan tersedia sampai seukuran mur baut. Memang sudah lazim digunakan untuk alat bantu spionase para agen intelijen CIA - KGB - Mossad, terutama semenjak konflik perang dingin (1947-1991). Bentuk dan kegunaannya beragam. Tersedia fitur video recorder - microphone - jaringan koneksi SOS.

Tiba-tiba Lindsey dihentikan Derdy saat tiba lokasi depan pintu situs sejarah seperti bunker bawah tanah. Kondisinya kotor, terbengkalai, semak dan ilalang menjuntai setinggi lututnya.​

“Aku belum sempat menyisir untuk masuk lebih ke dalam. Dari luar saja, sepertinya bunker ini memiliki semacam ruang bawah tanah lagi untuk turun, lembab juga gelap.” - Lindsey

Sepanjang perjalanan mereka berdua ke sini, ia terus berbicara bahasa Serbia. Mencoba mengakrabkan diri, namun dengan bahasa yang sedikit saja Lindsey pahami.

“Itu terlihat seperti... ‘Secret Yugoslav-Russia Military base’. Lokasinya tak kurang 20 menitan dari Bandara Pristina. Masih di regional Bandara, cari saja tanah lapang di antara hutan kota pinus, berkontur sedang. Base camp militer, 6-7 bangunan semi-permanen. Parkir tank dan truck lumayan luas. Memungkinkan untuk aksi - penarikan pasukan kapanpun mereka siap. Oh ya, menurut kombatan muda Martin Delev tadi, ada semacam camp tahanan wanita & anak-anak khusus. Para delegasi juga subjek mata-mata Rusia, terlihat meninggalkan Pristina menuju lokasi bandara dengan iringan pengawalan.” - Lindsey, (Al-Jazeera)

Baik lupakan dulu soal tempat menyeramkan atau masalah di dalam bunker bodoh itu.

Karena saat ini, Derdy seolah memberinya salam bak seorang bangsawan, mencium punggung tangan Lindsey. Nafasnya tajam bau minuman. Mulutnya, bahkan tidak bisa mengeluarkan suara dengan jelas.

“Kembali kuperjelas soal profil kombatan ini. Namanya adalah, Dorde Mašović (48), si gempal 180 cm dengan kumis tebal. Sementara satu rekanannya yang baru saja kutembak mati adalah Darko Galić (52). Mereka adalah prajurit yang baru saja berangkat ke Pristina. 2nd Army (Niš) – yang bertugas diwilayah utara Yugoslavia (Provinsi Kosovo dan Metohia) untuk berpatroli di malam, 3 hari kedepan.” – Lindsey


“Hehehe...” kekehannya benar-benar menakuti Alina, sambil berdiri berhadapan kepada Lindsey. Tangan Derdy seraya mencolek dan meraba-raba bokong mengelus keatas belahan dada Lindsey, yang tertentang, terangkat naik, merekah padat dari balik belahan rendah dress.

Serampangan ! remasan tua bangka itu 2 kali hinggap ke dada Lindsey.

“Ssshhh… Bloody damn !umpat Lindsey.

Coba memukul, memperingatkannya untuk tidak macam-macam dengan kedua tangannya yang masih diborgol.

“Priđi bliže gospođo, skini Se !”

Derdy, kombatan berkumis ini dengan suaranya yang berat, berbicara Bahasa Serbia dengan aksen yang terlalu sulit untuk diingat, seraya menuntun Lindsey untuk duduk ke papan reot di atas semak-semak, juga pepohonan pinus tinggi, tepat di sekitar mulut bunker. Entah Derdy kenapa tidak membawanya saja masuk ke dalam bunker.
‘Kriek ! Kriek !’

Bunyi papan reyot yang mirip seperti tandu medis itu.
“Skini se ! Open ! Take off You Clothes !”

Menggunakan bahasa inggris sebisanya, mungkin maksud omongannya sedari tadi, Lindsey disuruh cepat-cepat membuka dress miliknya karena tidak punya banyak waktu.

“What ?! Alright ! Alright ! Jezzz… Easy-easy ! Oh Gosh…”

Meskipun meresa jijik dengan wajah pria berumur itu, tapi apa yang bisa Lindsey perbuat ?

Tentu dia menurut saja karena dipopor senjata laras panjang oleh si gendut berkumis.

Lindsey sempat berbalik dulu, memunggungi Derdy dengan cahaya senternya yang menyorot prosesi ini.

‘Srrrrtt—’

Lindsey dipaksa meloloskan satu lingkar lengan dress hitamnya. Jelas malu dan jijik, terhina.​

‘Krekkkk— Krekkk !’

Derdy mempreteli kasar dress Lindsey dari belakang.

“Hey ! Piss Off ! (Pergi saja sana !)”

Lindsey meronta saat si Derdy yang tak sabaran, menyambar untuk membuka paksa gaun dari punggung lindsey.

Meskipun susah payah, akhirnya Derdy bisa menanggalkan seluruh gaun hitam milik Lindsey. Berulang memaksa kasar. Beberapa bagian jahitan, sampai rusak-terkoyak karena usaha kasarnya. Si tua ini sudah puas, juga agak ciut nyalinya untuk berbuat lebih. Lindsey berdiri di depannya, aksi pelecehan semacam ini, tak gentar dirasakannya sedikitpun.
BH hitam transparan yang senada dengan warna g-string, belum berhasil dikoyak Derdy.
Senyuman kecil Lindsey kepada Derdy. “Now what, Daddy ? Take it or leave it ?” tantangnya, mengukur nyali Derdy.

Antara menjadi lelaki, menubruknya. Atau malah menangis bagai pecundang. Seolah mempersilahkannya, mengakhiri urusan kelamin yang sedari tadi coba ditahan-tahan

Derdy cuma diam, menekuk lutut, bersimpuh ke paha jenjang Lindsey. Seperti orang bersujud syukur atau apalah maksudnya. Hihh, mengerikan sekali melihat ekspresi kelewat mupeng itu. Bibirnya manyun, mencucu, entah apa maksudnya, kenapa?
Lindsey yang awalnya menantang malah meringis ngeri, langkahnya sempat mundur namun ditahan si gempal yang langsung mencekal tumit si cantik. Erat.

Posisinya kini coba direbahkan si Derdy, menggeletak, di atas papan reot tadi. Seperti sudah disiapkan sebelumnya.​

‘Srrrkkkk ! Srrkkk !’

Gemerisik kain celana seragam tentara melorot.
“Oh Well, laki-laki ini mau sedikit main-main rupanya,” – Lindsey

Bulu leher Lindsey, seketika bergidik ngeri, lelaki itu sudah meraih pinggul, menindihnya.


Kembali kepada Alina yang sedang menunggu. Duduk di kursi di bagian lain taman hutan pinus.

Bersama Martin Delev yang tengah mengobati luka goresan peluru di pergelangan tangannya. Alina, sesekali melirik kepada Martin Delev.

Sekedar memastikan, pria ini tidak benar-benar menipu untuk kemudian langsung menembaknya, mati.​

( 🇷🇸 )

“Kenapa kamu nggak membunuhku ?” tanya Alina setelah mereka saling berdiam sedari tadi. Sangat menyedihkan bagi kita semua.

“Ja nisam kao oni. (Aku tidak seperti mereka) Aku juga tidak suka membunuh.” jawab Martin. Surprise juga dengan satu pertanyaan bocah seusianya...

“Ne voliš da ubijaš ? (Kau, tidak suka membunuh ?) terus, kenapa tadi menembak kami berdua ?” Alina sekali lagi, polos.
“Aku kira kalian orang jahat, tentara Albania. Tadi juga aku panik karena temanku mati di sana.”

“Tentara Albania ? Tapi aku juga orang Albania, apa aku berbuat jahat kepada kalian ?” tanya Alina lagi.

“Ouw !”

Alina terpekik saat prajurit itu membebat pergelangan tangannya dengan kain perban. Martin balas tersenyum kepadanya.

“Ne... (Tidak), kau tentu gadis baik yang pernah kutemui. Orang jahat saja yang mengatakan orang-orang Albania jahat. Maaf soal tembakan tadi.” jawab Martin.

“To je u redu. (Tak apa-apa) Kau juga salah satu orang-orang baik yang kutemui malam ini.”

Hampir menetes air mata Martin, mulai berkaca-kaca. Sebuah pukulan telak saat melihat wajah Alina. Tugas bersama beberapa rekannya sebagai sukarelawan ini benar-benar hal terbodoh yang pernah dilaksanakan.

Tapi bisa apa ? Di negaranya, seorang tentara muda angkatan darat, harus menurut semua perintah atasan. Jika tidak ? Tentu akan dibebastugaskan dengan cap pengkhianat negara.
“Maaf soal semuanya, maaf atas apa yang mereka lakukan kepada keluargamu juga.”

Martin Delev (20), seorang prajurit yang berprestasi mentereng di negara asalnya, hingga membawanya menuju front terdepan di operasi senjata saat ini.
Alina adalah korban kebiadaban dari semua kebijakan rasial rezim politik. Yang mengatasnamakan perpecahan etnis, keamanan negara, juga mimpi kejayaan masa lalu. Di balik itu semua tentu ada penyakit dari sisi tergelap manusia bernama kebencian.
“Obećaj mi ! (Berjanjilah kepadaku !) Tolong selamatkan temanku, Lindsey” kata gadis kecil ini, seraya memeluk erat Martin.

Martin memeluk Alina erat. “Da ! Da ! Obećavam (Ya ! Ya ! Aku berjanji), Kalian akan selamat meninggalkan Pristina malam ini !”
( 11 )


(Thames House, kota London)
22 Maret 1999 | Pukul (GMT+1) 11.15 siang

Dengan segala urusan yang dikerjakan Barry, melangkahkan kaki melewati 3 pintu besar, seperti sebuah pilar di gedung mirip bangunan pemerintahan, mungkin sudah dibangun semenjak 1800-an. Ramai sekali pagi menjelang siang saat itu.

Datang dengan setelan jas juga koper yang lumayan berat untuk ditenteng hanya dengan 1 tangan.​

“Ah, Mr. Barry, long time no see~” sapa seorang petugas setempat.

Seperti sudah menunggunya, menyambut begitu dia masuk di antara 3 pilar pintu setinggi 8 meteran tadi. Bersalaman dan saling merangkul. Akrab sekali seperti teman lama.

“Nice to meet you, Mr. Allen. Sir Lander... he's still busy ?”

“Not yet. Let me take you to his room...”
kata lelaki bernama Allen, tidak terlihat seperti penjaga pintu masuk pada umumnya.

Rapi, wangi, dengan sepatu loafers berkilap.
Mungkin memang inilah protokol keamanan yang mereka buat. Barang bawaan dan juga para tamu harus dikawal, kemanapun mereka masuk. Pamit pergi ke toilet sekalipun, harus ada penjagaan.

Barry diantar menuju ruangan paling sibuk sepanjang pagi itu. Beberapa tamu terlihat keluar masuk sebelumnya. Dari pejabat sipil, orang-orang kementerian (parlemen), sampai para delegasi negara tetangga.

Kali itu giliran Barry untuk masuk, Allen membuka pintu untuk barry.

( 🇬🇧 )

“Tuan Barry ? lama sekali kita tidak berjumpa. Ayo masuk, saya dengar kalau anda barusan dari pelelangan bukan ?” sapa seorang dari dalam.

Duduk dikursi kayu di antara meja kerjanya, dengan pena alumunium di telunjuk.

Pekerjaannya terlihat begitu berat, ada tumpukan berkas yang harus segera beres ditanda-tangani hari itu juga…
Orang itu, dengan nama Sir Stephen James Lander (52), Director-General, pejabat tinggi MI5. Meskipun sudah berumur 50-an, rambut dan wajahnya terlihat lebih ‘sentosa’ dari pada Barry. Senyuman wibawa juga mempengaruhi reputasinya. Meminta Allen menuangkan champagne kepada Barry.
“Bagaimana kabarmu ? Woow, lihatlah kau membawakan sesuatu untukku ?”

Barry mengangguk dengan posisi membuka kopernya, mengeluarkan oleh-oleh.

“Sorry, Hanya beberapa barang murahan dari Santorini... juga untuk Allen di sana,” katanya tidak lupa pada si pengawal sopan tadi.

“Terima kasih banyak, apa yang akan kita bicarakan hari ini, Barry ?”

Sesuatu, yang tak kalah penting dengan urusan kalian di Belgrade...” jawab Barry, to the point.

Sir Lander, memicing. “What is that ?”

Barry sempat melirik kepada Allen. Allen yang paham cuma mengangguk dan langsung keluar dari ruangan. Barry ingin berbicara empat-mata saja dengan Sir Lander. “Apa kalian sudah melihat daftar, evakuasi di sana?” Barry menyelidik, ini serius sekali.​

“Apa soal penyerangan? Tentu saja. Belgrade, Sarajevo, Sofia, Timbara. Semua diplomat dan delegasi setempat sudah kami perintahkan evakuasi semenjak 2 hari yang lalu. Juga, daerah regional kami siapkan pesawat untuk semua—” jawab Sir Lander menjelaskan.

Barry memotong penjelasan Sir Lander.Untuk semua diplomat bagimu ? Tapi tidak untuk agen MI5 yang anda perintahkan membantu pekerjaan kecil ?”

Suasana dalam ruangan mulai tegang, Allen dari luar agak terkejut dengan perubahan nada bicara Barry di dalam.

“Apa ada masalah, Tuan Barry ?” tanya Sir Lander mencoba menenangkan sebetulnya.
“Dengan seluruh rasa hormat, Anda melupakan petugas-petugas muda anda ! tidak, lebih tepatnya 'mengorbankan', Sir…” nada Barry lumayan keras ketimbang sebelumnya.

“Oh man... jadi apa ini yang membuatmu datang kesini, Tuan Barry ?” Sir Lander bertanya demikian, terkekeh, dari wajahnya masih belum bisa menangkap maksud si Barry.
“Perintah anda juga melibatkan orang-orangku untuk membantu pekerjaan orang-orang tepat milikmu, tapi kau melupakan mereka juga ? anda pikir ini lucu ?!”

Barry mulai naik pitam, karena sikap remeh orang ini. Ini jelas pertemuan yang tidak Barry inginkan.
Sir Lander, meminum sampanye. “Tuan Barry, biarkan aku menggaris bawahi ini semua—”
Barry kembali memotong penjelasan Sir Lander. “Kau menempatkan salah ‘orang-orang ku’, berada di wilayah Kragujevac untuk menggali informasi kemungkinan pabrik senjata Yugoslovia dan Soviet. Dan bahkan menempatkannya di kedubes serbia. Sial, Dia bekerja terlalu keras, sampai komando ceroboh dari orang-orangmu, membuatnya kehilangan jadwal penerbangan evakuasi !”

Jelas Barry, tidak tahan menamparnya tapi harus mencoba 'lebih pelan' kepada Sir Lander di depan.
“Beberapa saat yang lalu, dia lari dari sana menuju Pristina. Menghindari patroli para kombatan bengis. dan setengah jam yang lalu, aku dapati 'sinyal' subjeknya berkahir. Kau pikir ini semua lucu, Sir Lander ?!” Sambung Barry lagi, menjelaskan titik masalahnya.“Dan anda tidak berpikir untuk merusak reputasi bukan ? Kau, juga orang-orang bodohmu di ruangan ini, sudah mengakhiri kesepakatan kita bersama. Ini semua. kau yang putuskan !” Imbuh Barry.

Menyerang bertubi-tubi padanya. Orang itu, cuma diam dengan segala tatapan tidak bersalahnya.
Sir Lander angkat bicara. “Tuan Barry, kita semua tahu. Negara ini akan melakukan segala cara untuk melindungi ‘semua orang’ juga komunitas di dalamnya. Juga, anda hanya mencemaskan masalah waktu, yang sedang kami kerjakan saat ini—”
Potong Barry mulai emosi. “Demi tuhan! Bukankah anda yang mengemis memintanya untuk bertugas di sana ?! tanpa ijin dariku, benar begitu ? Anda mengatakan kalau ‘semua orang tengah sibuk di eropa timur.’ Jadi, dialah orang terakhir yang bisa dihubungi untuk bertugas. Dan kini, seolah anda menghilangkannya dari-daftar-tugas ? Apa anda sudah gila, Sir ? Wow, bagus sekali !”
“Tuan Barry, anda sudah meragukan salah satu calon mata-mata terbaik MI6. Anda juga sudah memfitnah saya dengan tuduhan tak berdasar... kami akan pastikan Nona Sky pulang ke London malam ini...” kata Sir Lander langsung membuat sebuah memo, menulis terlalu lambat sampai harus dipotong Barry dengan sebuah gebrakan ke meja kerjanya.
‘BRAGKK !’

Barry menggeprak meja, tangannya mengepal keras. Lumayan keras untuk membuat Allen yang di luar sampai harus mengawasi keadaan keduanya dari balik celah pintu.
“It’s fucking too late ! (Ini sudah sangat terlambat !)” Barry membalasnya keras, urat di sekitar leher sampai terlihat.
Sir Lander tak peduli, tetap menulis memo. “What you mean Mr. barry ?” dengan nada datarnya.
Orang ini, bagi Barry adalah salah satu yang tidak mudah untuk di provokasi. Satu dari sekian orang yang Barry benci saat berurusan. Sir Stephen Lander namanya.

‘Drkkkk !’

Barry berdiri beranjak pergi, sempat merapikan jas.

“Anda sudah mengotori bisnis kita berdua. Setelah pertemuan ini, saya tidak akan pernah menerima atau mau mendengar telepon anda. Akan kusampaikan ini kepada orang di parlemen,” ancam Barry. “Aku sudah mengirim orang-orangku untuk mencarinya. Kemungkinan besar mayatnya. Sudah 12 jam sebelumnya. Anda, benar-benar terlambat !” imbuh Barry sengal, berjalan keluar menuju pintu. “Dan Jikalau dia tidak selamat. Akan saya pastikan, ini tugas terakhir anda, Sir !” ancaman terakhir Barry, sebelum meninggalkan ruangan.

‘Jglek !’

Barry keluar, kemudian berganti Allen yang masuk.
“Tuan Allen, tolong siapkan sumbangan dengan medali penghargaan,” kata Sir Stephen Lander, memberikan secarik kertas memo yang ditulis tadi kepada Allen.

“...juga upacara pemakaman.”
“Bloody hell !”
( 12 )


(Hutan Pishat sllatines, kota Pristina)
21 Maret 1999 | Pukul (UTC+1) 21.55 malam
Derdy, dalam posisi missionary menindih Lindsey, melirik ke bawah sebentar.
Kemudian terdengar bunyi...

‘Klek !’

Tentara berbadan gempal itu membuka kancing celana seragam loreng miliknya. Lindsey di bawahnya, ditindih masih mengenakan bra dan g-string yang sudah dijangkau si kombatan cabul.

‘Srrrrrrr…’

Tengkuk Lindsey terasa merinding, sebuah benda, berurat, bergelayut menggelitik sela paha Lindsey. Itukah ‘kau’ gumam Lindsey agak tercengang.

Sekilas, kemaluannya bergesekkan ke sela paha dalam Lindsey, panjangnya biasa saja, bentuknya besar dengan warna hitam kemerahan. Lalu benda berurat itu juga sempat menggelitik sela paha Lucia.

“Mmmhh… mmmhhh ! Ngghhkk… Nngghhh”

Nafasnya buru-buru, mirip seperti anjing laut yang terdampar, menyedihkan. Derdy ini mulai menciumi, melumat leher Lindsey, lumayan kasar juga~

Ciumannya kini menuju ke bawah. Dari leher, ke belakang telinga, terus ke bawah, di antara buah dada. Tiba-tiba ciumannya dilepaskan. Terang mengamati ‘aset besar’ Lindsey.
Tangan Derdy secepat rambat, merayap naik di balik celah g-string, coba disingkap dari sana. Lindsey, merasakan tangan Derdy yang besar mencari celah hangat di sela kakinya, coba membelai, mengelus sebelum mengorek sela paha bagian dalam Lindsey.

Sambil mendesakkan bibirnya kepada Lindsey, badannya makin berat menggencet Lindsey dari atas. Melon berkulit wangi yang disembunyikan dari balik gaun Lindsey sedari tadi, diserobot dari kanan-kiri.

Derdy kesetanan mengucel daging padat berurat halus itu dari depan ke belakang. Tangan Dorde menelikung bagian ketiak Lindsey untuk meremasi daging padat dengan ujung ‘kacang’ yang makin sensitif bagi Lindsey.

Melepas kait bra miliknya.

Sekitaran bagian niple areola, yang coklat kehitaman terlihat semburat urat darah kebiruan muda yang seolah terukir di atas porselin yang putih.

Doktrin itu berbunyi, ‘Selalu siap dengan berbagai ancaman, resiko, bahaya demi antisipasi ancaman negara.’ berhasil menjadikannya wanita tangguh tak kecil nyali.

“Ehmmm~ stop it. I can’t...” sergah Lindsey, dengan tangannya yang masih terikat sabuk-lakban menahan dada Derdy.

Entah apa maksudnya, tapi si kombatan malah makin terangsang. Mungkin karena sikap ‘pasif’ lawan mainnya...

“Ućuti ! Hoćeš da se boriš sa mnom ?! Bitch !” bentaknya, dalam bahasa Serb.

“Hssst !”

Tangan Lindsey langsung dimentahkan oleh si kumis yang makin gemas meremasi teteknya dari belakang.

“Oo-oww… heyyy~ Wait ! Hey ! What are you doin-”

Lindsey tidak setenang itu, saat Derdy mengeluarkan pisau belati. Derdy rentangkan kedua tangan Lindsey yang terborgol ke atas.

Seperti posisi Lindsey digantung di atas tali, tapi dalam keadaan tidur terlentang, ditindih.

‘JLEB !’

Borgol tangannya, dikuncikan kepada belati yang menancap tepat beberapa inchi saja dari ujung rambutnya. Seperti pasak yang mengunci, ‘tiang pancang’ kain tenda.

Tangannya jadi tidak bisa meronta kemana-mana lagi. Wew, bondage-sex ala orang Serbia pikirnya geli.

“Semua orang MI6, harus melakukan apapun demi meluluhkan sang target, musuh, bahkan tameng hidup misi operasi…” - Lindsley

“Mmh… E-Emmmh !”

“Mmmh… emh !”

Bibir monyong si tua cabul ini kembali dengan upaya mendominasi, seperti tembakau mentah yang dibakar, pahit dan bau mulutnya jadi siksaan lain. Lindsey ikutan membuka bibir.

Lalu Derdy, langsung mengelus, meraba saat pertama meletakkan kedua tangannya di bawah bokong besar Lindsey...

‘Srkkkk…’

Bersamaan g-string yang sudah dipelorotkan.​

‘Plak !’

Gemas, sempat ia tampar sekali-dua kali bokong Lindsey.

Sementara tangannya, berusaha menopang badan, meraih bagian pinggang kadang menuju pinggul Lindsey.

‘Mmphh… mmmhh…’

Lidah Dorde melesak paksa, dalam mulut Lindsey, memaksa untuk mengisapnya. Bersamaan...

“U-Ukh ! O-Ough !”

Derdy terpekik sesaat setelah menyentakkan badan.

“E-EGHHH !! E-EKHHH...”

“U-Ukh ! O-Ough !”

“A-akh ! Ehh… O-ouh ! Shit ! Slowly... A-akh!”
Kali pertama. Lindsey terpekik nyeri, merasakan benda itu terasa panas membakar, menerobos sela pahanya.

Bahkan belum licin benar di bawah sana, langsung saja dijojoh si kumis kampungan ini. Wajahnya mendelik tersentak, mendongak. Ogah melirik wajah si penindihnya.

Well, kampungan sekali caranya ini. Sampai-sampai kepala Lindsey terseret keatas, matanya agak mencelos saat kali pertama kepala benda itu menempel selubung sela pahanya.
Menutup mata. Tapi berangsur-angsur coba berimprovisasi.
Lindsey menurunkan lehernya agak menggeleng, coba mengontrol badan menerima sentakan si gempal itu. Bisa robek kalau begitu cara mainnya.

Tangan Lindsey, tak leluasa di atas sana. Tapi dari bawah, sesuatu yang luar biasa besar seperti siap untuk menjojoh untuk penetrasi kedua.
Benda itu terasa hidup, berdenyut-denyut saat bergesekan, bagai binatang laut, menjuntai beberapa inchi, bergerak, mungkin bisa saja nyaris menangis karena penuh rasa syukur.
“U-Ukh ! O-Ough ! Hmm… Hmmm. Ukh ! Ough... Ukh !”

Derdy menyentakkan badan lagi. Langsung ke gigi persneling 3. Menyunduk dengan gerakan yang masih berantakan. Tidak maju-mundur, dalam-dalam. Malah menjojoh keatas-bawah, miring kanan-kiri. Lumayan, pun belum mentok seluruhnya.
“A-akh ! Emmh…. Ousshhh… Fuck Me harder ! Yesss… Daddy… Fuck me ! Ough, slowly please~” erangan Lindsey.

Agaknya sekedar berimprovisasi. Mencoba ‘treatment’ kata-kata kotor dipadu desahan menggoda seperti para aktris di film-film porno italia 90-an.

Wajahnya memelas kepada Derdy, seolah begitu menginginkannya. Dan yah, selama itu berpengaruh, layak dicoba.

‘dug-dug-dug-dug’

Sentak masuk – keluar


Hujaman saat benda itu masuk, kenikmatan juga rasa ngilu luar biasa yang dirasakannya.
Lindsey beberapa kali tersentak, mengatur, mengongkang naik kedua kaki Lindsey keatas, mengapit pinggul Derdy, pun badan gemuknya juga ikut gemetaran.

Tabrakan, tepukan pinggul, bokong, selangkangan mereka meninggalkan bercak-ruam merah bagi keduanya. Lindsey menerima gerakan-gerakan buas Dorde saat mengawini si betina, tak terhitung jumlahnya.
Seganas kuda (nil) atau seperti seekor anjing laut, sama-sama mirip ! pun terasa menyiksa, walau kadang coba dibiasakan, keenakan menjurus kepada nikmat.
Lindsey adalah wanita yang masih memegang teguh pemikiran konservatif. Tipikal pecinta foreplay, jelas jengah dengan metode quick-sex kasar kombinasi bondage ala serbia seperti ini.

Dia mencoba membalas dengan mengalungkan kaki kepada pinggul Derdy, memeluk erat Derdy menggantikan kedua tangannya yang bergantian mengepal, seraya meremas rerumputan semak. Berpengaruh.

Semakin lama sogokan-hujaman erotis Derdy semakin tinggi dan terasa mentok... sekedar membuat si serbia ini lebih bekerja keras menyogok.

Mengetes apakah tenaga tuanya memang kuat, atau hanya besar berahi kawin saja ?

“A-akh ! A-akh ! Ough! Yesss.. Mmh… Fuck Me harder ! Yesss… Daddy… Fuck me ! Ough !”

Rambut Lindsey tergerai, kusut, berantakan tak karuan. Terlempar kesana-sini, terlonjak keras mengikuti penetrasi, genjotan pinggul si Kumis yang luar biasa, sanggup bertahan merangsak ke sela paha dalamnya.

( 🇷🇸 )
“O-ohhh ! Ough ! Ehm ! Ah-Ah ! Lep ! Zar nije ukusno ?! (Nikmat bukan ?!) O-ohh~”

Mengerang, meracau kesetanan, mengatainya dengan bahasa Serb yang cukup dimengerti Lindsey.

“Yessss... emmhh... of course daddy, fuck me harder ! harder Daddy !”
Derdy merem melek di bawah dagu Lindsey, mulutnya kadang menganga, mendesis, meracau dengan bahasa serbia.
Badannya sempoyongan, agak kewelahan jelas. Harus membagi tiap penetrasi sentakan juga menahan badannya sendiri dengan posisi missionary.

Derdy menghunjamkan kelaminnya, penetrasi pertama-tama pelan-pelan, mulai diiringi erangan lumayan buas, menuju ke persneling berikutnya, sentakan -hentakan pinggulnya makin terasa menjojoh sela paha dalam Lindsey, tanpa foreplay terlebih dulu.
“A-akh ! A-akh ! Ough! Yesss.. Ough ! It's fuckin deeper ! Awwwh ! Thankss... It's so deep daddy~”

“U-Ukh ! O-Ough ! Ukh ! Ough! Ukh !”
Pantatnya ikut-ikutan mendongak, naik turun, perlahan-lahan hingga sedikit bertenaga… terutama pada saat bertabrakan, seolah benda berurat itu mau dijebolkan sekali sentak ke sela paha dalam Lindsey. Juga merasakan dalaman Lindsey, seakan mengurut - memijat - menyedot kelaminnya untuk semakin keras menyodok mentok.

‘Dug.. dug... dug...’

Setiap menghentakkan kemaluannya, tangannya meremas tetek Lindsey sekeras-kerasnya. Sesekali mencucup ujung areola kecoklatan milik Lindsey yang terlempar kesana-kemari.
Derdy bisa saja sampai menangis keenakan, badannya berguncang kesana kemari berbenturan dengan Lindsey yang ditindih di bawah perut buncitnya.

‘Srrtt… srkkk..’

‘Plak ! Plak !’


Seperti itulah bunyi tepukan pinggul, kelamin, sisi kontras antara mereka… jika diilustrasikan menjadi sebuah teks Onomatopoeia tertulis.
“Emph ! Emph ! Hmm… Hmmm ! Ukh ! Ough ! Ukh !”

Gojlokan benda berurat itu terlalu mantap ke Sela paha dalam Lindsley, makin keras dan cepat. Ibarat air yang dimasak, suhunya mencapai 80 derajat.

‘Plak ! Plok ! Plok !’

Terlihat dari nafas si kuda nil ini yang mulai terengah-engah. Dan keringat bau yang takkan pernah sudi Lindsey cium aromanya, menetes deras dari sekujur badannya. Melicinkan kaki jenjang Lindsey yang mengalungi pinggulnya.

Lindsey sempat bertemu mata dengan kuda nil ini, yang mulai terpejam-pejam kewalahan menikmati setiap gempuran, tepukan panas di antara paha dan pinggul Lindsey.

Derdy mulai kasar menggigit, kenikmatan lain seraya mengucel-ucel tetek Lindsey, putih, montok, terlalu padat kalau hanya dijangkau 1 telapak.

Tidak-tidak, bukan sejenis melon ataupun semangka. Hanya di ukuran normal dengan kelebihan lainnya.
Pun aromanya wangi walau seharian Lindsey belum sempat membasuh diri.
‘Slrppp… srppp !’

Mulut Derdy lebih masuk lagi, sepertinya Tetek Lindsey mau ditelan saja.

‘Plak ! Plok ! Plok ! Pok !’

‘dug-dug-dug-dug’

‘Sentak, masuk, keluar’


Pergerakan Derdy mulai kendur, seiring performa geber-kencang yang dimainkan.
“A-Akh ! Yesss Daddy… Reci ! Argghh… Emmph ! Reci ! (Katakan !)"

Disela desahan Lindsey, meminta Derdy mengatakan sesuatu untuknya dalam bahasa Serb.

“Oghh…E-Ergh ! Šta ?! (Apa ?!)” tanya Derdy di antara lenguhan dan sentakan pinggulnya.

“Shhh… reci mi koliko me želiš. Siluj me… za svoju zemlju. Za… vašeg vođu ! Sloboban Un Nebojša !”

“Intinya, kalimat dalam bahasa Serb yang sempat kuhafal sebelum pergi ke Pristina adalah: ‘Katakan betapa kau begitu menginginkanku… Memperkosaku untuk negaramu. Perintah pemimpinmu ! Sloboban & Jendral Nebojsa !” - Lindsey
Lindsey, entah kenapa dan apa maksudnya. Detail sekali.

“Arggh…. Jika kau bersedia... Akan kubuat pesta pernikahan paling gila di kampungku. Kukawini kau 3 hari 3 malam untuk Yugoslavia raya ! Sebuah kehormatan, terima kasih Jendral Nebosja ! Argh ! Argh ! Argh !” racaunya, sudah kehilangan akal.
“Argh… Arghh… Arghhh ! Yes Daddy Louder ! Say it Louder… teže !”

Desah Lindsey, sembari menggodanya dengan erangan sensual jalang kepada tuannya.
Metode cuci otak, dari raja-raja eropa abad pertengahan, saat memberikan gratifikasi sex kepada lawan dan sekutu politiknya lewat para gundik, dayang, rumah bordil yang mereka sediakan.

Sampai akhirnya praktik ini dikembangkan para dinas agen intelijen di masa perang dunia II untuk menjebak dan mengorek informasi para target saat berkencan dengan lawan mainnya.

Derdy terus meracau, mengatakannya berkali-kali. Di sisi lain malah menaikkan birahinya sendiri.

“1…”
“Hmmm. Ukh ! Ough ! Ukh ! Ustao sam... Špricam !” racaunya keras, dalam bahasa serb di ujung.

Yang berarti sebuah ungkapan... ‘Aku mau keluar !’

“Akh ! Argh ! Kyakhhhhh !”

“2…”

Sentakan - sogokan terakhirnya memaksa kepala Lindsey mendongak, atau jika dibayangkan mungkin sekeras saat anda (terpelintir) dibagian tengkuk karena saking kasarnya menusuk.

Tangan Lindsey di atas kepalanya, berjuang mencapai sesuatu yang tinggal beberapa inchi lagi.

Atau tidak sama sekali…
“Ough! Ukh ! Ustao sam, Špricam !”
‘dug-dug-dug-dug’

‘Sentak, masuk, keluar’

Tubrukan kelaminnya mulai disogokkan sedalam mungkin. Coba disentakkan mentok ke jeroan memek Q. Terlalu licin dan berkecipuk di bawah sana, pikir Lindsey.

“A-AAGH ! O-OHH… Hmmhh ! Hmmmh ! Hemmph...”

“—3 !”

‘JLEB !’
Lindsey menusukkan belati tadi, tak lama lelaki gempal ini bukannya mengerang nikmat di ujung hentakan demi hentakan maut terakhirnya.

Terpekik kaget, mendelik. Sedetik saja, setelah cairan kental terasa membanjir deras mengaliri sela paha Lindsey.

Mata Derdy terbelalak pasca mengeram, perlahan terpejam kemudian. Namun, mulutnya masih menganga seperti patung kutukan.

Tak beberapa lama saat lelehan hangat itu mengalir, perlahan-lahan Lindsey mengendurkan lilitan kaki dari pinggul si tentara gemuk ini, menurunkannya hingga menyentuh papan reot itu.

Badan si gemuk kaku, rebah dan jatuh lemas, masih menindih Lindsey. Darah segar, mengalir deras dari nadi lehernya.

Apa mati keenakan ? Bukankah seperti ini, secara harfiah ?

Belati yang sempat mengunci pergelangan tangan Lindsey dari atas kepalanya tadi, kini sudah berpindah, horizontal, mengoyak leher Derdy.

( 13 )
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd