Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

RINDIANI - Seri 5
Sebuah Ujian Hati

Part 1




Kebiasaan baru yang unik, ditularkan Pram padaku. Tidur telanjang berdua dengannya, tanpa bersetubuh. Terdengan aneh, namun itulah yang terjadi. Dan itulah yang kini sedang terjadi, aku sedang menikmati hangat pelukannya ditengah malam dingin kota pelajar.

“Ibu gak kedinginan?” tanyanya, ketika aku menyibak selimut yang menutupi tuhuh kami hingga ke bagian lutut.

“Enggak kok.. soalnya badan kamu anget. Enak.” Jawabku sambil meraih lengannya, lalu meletakkannya dibelakang leherku. Satu kakiku menumpang diatas pahanya.

“Kalo kamu lihat ibu telanjang gini, kamu kamu gak pengen?” tanyaku sambil memainkan jemariku didadanya. Sekedar bergerak tak tentu arah, tanpa bermaksud menggodanya.

“Kadang ya pengen bu, tapi harus bisa ditahan.” Jawabnya sambil mulai mengelus rambutku.

“kenapa harus ditahan sih sayang? Kalo kamu mau, ibu pasti ngasih kok.” Sambungku, sambil meletakkan kepalaku dipinggiran dadanya, tepat dibawah bahu.

“Kadang, walaupun kita telanjang, gak harus selalu bercinta. Ya belajar menahan hawa nafsu aja sih bu. Lagian, dengan begini, kita kan bisa menciptakan momen intim.”

“Iya juga sih Pram. Kamu bener.”

“Tapi kamu kan masih muda, biasanya kan nafsunya masih menggebu-gebu. Apa bisa kuat nahannya?” kini tanganku beralih, jemariku bermain di perutnya.

“Ya emang sulit sih bu, apalagi saya udah sering main sama ibu, dan tau, ibu gak mungkin nolak kalo saya pengen.”jawabnya sambil memainkan kemarinya di rambutku."

“Tapi, saya harus bisa menahannya. Saya cuman pingin ibu merasa nyaman dengan saya, bukan hanya dalam urusan seks. Tapi dalam segala hal.”

Aku tersenyum dan merasa terharu didalam dadaku. Ketulusannya dalam mendampingiku benar-benar layak mendapatkan tempat istimewa dalam hatiku, dalam hidupku.

“Iya.. ibu nyaman banget sayang. Rasanya itu gak tau gimana, gak bisa diungkapkan dengan kata-kata deh.”

“Itu maksud saya bu, itu tujuan saya.” Sambil memegang pipinya dengan lembut, aku menciumnya, melumat bibirnya hingga beberapa saat lamanya.

“Kalo pengen sih pasti bu. Saya laki-laki normal lhoo. Jangankan lihat ibu telanjang, lihat paha ibu atau dada ibu aja kadang pengen kok.”

Aku sedikit terkejut mendengar pengakuannya.

“Beneran begitu? Kok bisa??” tanyaku heran.

“sepanjang saya mengenal ibu, yang saya tahu ibu selalu tampil tertutup didepan saya, pakai pakaian yang selalu menutupi tubuh ibu dengan sempurna.”

“Nah, ibu inget kejadian di rumah ibu tempo hari? Waktu pertama kali ibu gak pakai jilbab didepan saya?”

“Iya, inget. Malam first kiss kamu.”

“Itu moment pertama saya lihat tubuh ibu. Rasanya, hhmmmm campur aduk. Antara horni, senang, bangga bisa lihat tubuh ibu, pengen ngerasain.. ya pokoknya gitu itu.”

Kejujuran Pram semakin membuatku mengenalnya, atau paling tidak, lebih mengenal dunia laki-laki dan caranya memandang perempuan.

“Oo gitu ya.. ibu udah ngerasa nyaman sama kamu. Kamu baik, kamu memperlakukan ibu dengan ketulusan, jadi ya ibu yakin, dan gak ragu untuk ngelakuin semua ini sama kamu.”

Pram memelukku erat, lalu mengecup keningku.

“Trus, kalo kamu ngelihat Cewek lain. Nina misalnya. Dia kan juga berjilbab kayak ibu, pernah kepikiran ngelihat tubuhnya? Atau bercinta sama dia?”

Pram tertawa mendengar pertanyaanku.

“Pernah, sesekali pernah bu. Saya gak munafik. Sesekali pernah kepikiran kayak gitu. Tapi saya harus lebih mengutamakan logika saya. Pertemanan kami lebih berharga, jauh lebih penting daripada harus mengikuti keinginan pribadi saya.”

Mendengar jawabannya, aku menjadi gemes, lalu mencium pipinya.

“Kamu pernah berpikir gak, kalo ternyata ibu ini nakal, genit, suka ngeseks?”

“Enggak.. soalnya sebelum dekat sama ibu, ibu itu kelihatan kalem, alim, dan lembut banget. Gak kepikiran sama sekali bu.”

“Berarti ibu munafik dong.. luarnya alim dalamnya liar.” Timpalku.

Pram menatapku dalam-dalam.

“Bukan munafik bu.” Katanya sambil mengusap pipiku.

“Tapi ibu menempatkan sifat dan sikap ibu sesuai tempatnya. Saya yakin dan percaya, ibu gak akan berlaku seperti ini terhadap sembarang orang. Ibu bukan perempuan seperti itu. Ibu hanya melakukannya terhadap orang yang ibu sayangi. Jadi bukan munafik namanya, tapi cerdas karena bisa menempatkan diri sesuai waktu dan keadaannya.”

Jawabannya sangat memuaskanku, menumbuhkan lebih banyak rasa kepercayaanku terhadapnya. Aku semakin yakin, Pram adalah laki-laki istimewa yang kelak akan membawa kebahagiaan sempurna untuk istrinya.

“Tapi sayang kamu gak punya pacar.. kalo kamu punya, pasti dia bahagia banget, pasti gak mau ngelepasin kamu.”

Pram tertawa mendengar celotehku. “Ya belum tentu juga sih bu. Tiap orang kan beda-beda. Mungkin ada yang pengen punya pasangan kayak Topan, atau Galang, atau Deva. Mungkin juga ada yang pengen punya pasangan kayak Pak Sandi.”

“Iya juga sih.. tapi kalo ibu ya pasti milih yang seperti kamu.”

Pram tertawa, sambil terus mengusap rambutku.

“Kok bisa? Ibu yakin??”

“Yakin banget.” Jawabku dengan mantap.

“Kamu itu paket komplit jadi pacar dan suami ideal. Sejauh ini, ibu nyaman sama kamu, kamu bisa membahagiakan ibu.”

Mendengar jawabanku, Pram tersenyum, lalu dengan lembut melumat bibirku.

“Kamu bisa momong Nova, bisa menyayangi Nova seperti anakmu. Dan kamu tau? Orang tua ibu pun senang dengan kamu.”

“Karena kalian memang orang-orang yang baik dan saya kenal bu.. saya ingin membantu, paling enggak ya memberi perhatian, menyayangi kalian, terutama Nova.”

Aku tersentuh mendengar ucapannya. Dan sekali lagi, aku melumat bibirnya, dan ciumanku pun berbalas dengan lumatan di bibirku dengan penuh kehangatan.

“Oh..iya, ada yang ketinggalan, paketnya jadi kurang komplit.” Gumanku.

Pram memandangku dengan tatapan keheranan.

“Paket komplit suami itu lho sayang.. ada yang belum ibu sebutin”

“Apa itu bu?” tanyanya.

Aku tertawa, lalu mengecup pipinya.

“Ini lho sayang, yang bikin komplit. Ini penting banget.” Kataku seraya meraih penisnya dan menggengam dengan sangat erat.

Pram tersenyum, lalu melumat bibirku dengan sedikit keras. Tangannya pun menjamah payudaraku dan meremasnya.

“Ini juga penting lho sayang.. selain baik, pengertian, penuh kasih sayang, ini Juga bikin ibu bahagia lhoo, bikin ibu puas. Ibu kan wanita normal juga.” Kataku sambil memainkan ujung jari telunjukku, disepanjang batang penisnya, lalu kembali menggengamnya dan mengocokya pelan.

“Nakal..” bisiknya, lalu kembali melumat bibirku.

“Ukuran itu cuman bonus bu.. yang penting pinter aja, biar bisa muasian pasangan.” Jawabnya.

“Dan kamu pinter banget..” balasku dengan berbisik pula, sementara tanganku terus mengocok pelan penisnya.

“Sini..” katanya, sambil membimbing tubuhku untuk naik keatas tubuhnya.

Aku menggunakan kedua siku tanganku untuk menopang badan bagian atas, agar bisa saling berhadapan dengannya. Kedua lututku kutekuk, dan berada disisi pinggangnya. Kemaluan kami pun menempel erat karena pinggulku menepel erat di tubuhnya.

“Apapun saya lakukan untuk menyenangkan ibu, membahagiakan ibu.” Katanya sambil menempelkan kedua telapak tangannya dipipiku.

Aku tertegun, hatiku terenyuh mendengar ucapannya. Cukup lama aku memandanginya, menatap wajah laki-laki yang kini menjadi pelangi dalam perjalanan hidupku.

Hingga beberapa menit kemudian, aku mendekatkan wajahku, lalu perlahan menutup mata, dan melumat bibirnya dengan penuh kasih. Sebuah ciuman yang bersumber dari ketulusan hati, berdasarkan rasa kasih sayang, yang terbebas dari rasa nafsu birahi.

“Terima kasih..” gumanku, lalu mengecup keningnya.”

Pram mendekapku begitu erat, mengusap punggungku, dengan penuh kehangatan.

“Kalo nanti kamu lulus, kamu pergi, pasti ibu bakal kehilangan kamu.” Gumanku lirih, sambil merebahkan kepalaku didadanya.

Pram hanya diam, tak sepatah kata pun ia ucapkan setelah mendengar apa yang kukatakan. Itulah krnyataan yang mungkin akan aku jalani, sesuai dengan rencana masa depan Pram, yang pernah ia ungkapkan dalam perbincangan dengan keluargaku beberapa waktu silam. Aku hanya berharap, aku akan memiliki kemampuan untuk menghadapi masa-masa itu.

“Saya juga pasti akan kehilangan ibu, kehilangan Nova..”

“Kita sama-sama akan merasa kehilangan.” gumanku.

“Tapi saya gak akan melupakan ibu, melupakan Nova. Kalian adalah bagian dari hidup saya.”

Aku kembali menatap wajahnya. Menatapnya dalam-dalam.

“Ibu yakin, kamu akan selalu mengingat kami.”

Lama kami terdiam, mendengarkan suara rintik hujan yang samar-samar terdengar diluar. Selama itu pula, Pram setia mendekap dan mengusapku dengan penuh kehangatan.

“Pram.. badan ibu berat gak?” tanyaku, karena telah bermenit-menit lamanya aku menindih tubuhnya.

“Enggak kok bu.. malah enak.. anget..”

“kalo berat, bilang lho Pram.”

“Iyaaaa.. gak apa-apa kok bu.. beneran.”

Setelah beberapa saat, akhirnya aku kembali berbaring di sisinya, lalu ia menutupi tubuh kami dengan selimut. Kuposisikan tubuhku agar bisa memeluknya, dan memanjakannya di dadaku.

“Enak. Empuk..” gumannya sambil membenamkan wajahnya di payudaraku.

“Kemarin kamu manjain ibu, sekarang gantian, ibu yang manjain kamu, sampe pagi.”

Cukup lama Pram memandang payudaraku, entah apa yang ia pikirkan.

“Kok ngeliatnya gitu sih sayang?” tanyaku.

Pram tersenyum malu setelah menyadari aku melihatnya memandangi payudaraku.

“Lucu.. nggemesin..” gumannya lalu mengecup putingku.

Aku tertawa melihat tingkahnya, seolah belum pernah melihat payudara.

“Sayang kan udah sering lihat, udah sering pegang.. kok kayak masih heran gitu sih?”

“Iya ya.. gak tau juga sih bu.. biar uda sering lihat, uda pegang, tapi kok gak bosan ya.”

Aku tertawa mendengar jawabannya. Pram benar-benar pribadi yang unik. Ia melontarkan pertanyaan, yang aku yakin, tidak akan mampu terjawab oleh kebanyakan orang.

“Emang rasanya sama ya bu, kalo saya isep sama waktu Nova menyusui.”

Lagi-lagi ia membuatku tertawa, sekaligus bingung dengan jawaban yang harus aku berikan.

“Hadduuhhhhh.. kamu ini.. nanyanya yang sulit-sulit gitu sih?” protesku.

“Kok sulit?” tanyanya singkat.

“…..”

Aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya, sementara Pram masih menunggu jawaban dariku. Sejenak aku menarik nafas, lalu menghembuskannya perlahan.

“Kalo menyusui Nova, rasanya itu beda lho sayang. Udah pasti ya gak horni, tapi malah bahagia dan senang karena itulah kewajiban ibu. Ibu menyusui Nova, berarti memberinya makan. Iya kan?” jawabku.

Aku berusaha menggunakan bahasa yang sesederhana mungkin agar ia paham dengan maksudku.

“Gak geli juga bu?” “Kalo pas pertama kali ya geli, apalagi Nova kan anak pertama. Tapi lama-lama ya jadi biasa aja kok.”

“Ooo…gitu..”

“Berarti kalo saya sering isepin nenen ibu, lama-lama jadi kayak biasa aja gitu ya bu??”

Aku masih tak habis pikir dengan jawaban konyol Pram. Aku benar-benar kehabisan akal, dan semakin gemes dengan ulahnya.

“Sayaaannggggg.. kalo kamu terus isepin nenen ibu, yang ada ibu jadi horni, minta di entotin terus sama kamu.” jawabku sambil mencubit pipinya.

“Emang kamu kuat?” tanyaku, seolah menantangnya.

“Oo gitu.. berarti beda ya bu.”

“Iya.. beda dong sayang..”

Sesaat kemudian, Pram menatapku sambil tersenyum.

“Kok senyum-senyum gitu?? Hayoooo… sayang lagi mikirin apa???”

“Enggak bu.. gak mikir apa-apa kok.” Jawabnya sambil kembali merebahkan kepala disampingku, tepat didepan payudaraku.

“Ya udah, kita bobo ya sayang.. udah jam satu lewat lhoo..” kataku.

Pram membenahi selimut yang menutupi tubuh kami lalu merebahkan tubuh dalam dekapanku. Hanya beberapa saat kemudian, terdengar dengkuran lembut, Pram telah terlelap dengan nyaman dalam pelukanku.

Terasa lucu, dan aneh. Niatku untuk mencoba tidur sendirian, gagal total. Dan pada akhirnya, aku kembali membutuhkan Pram untuk menemaniku. Hanya sekedar menemaniku, berbincang sesaat sebelum memejamkan mata. Begitu pun dengan Pram, lelaki yang kini terlelap dalam pelukanku pun merasakan hal yang sama, hingga akhirnya menerima permintaanku untuk tidur bersamaku.

Bukan hanya sekedar seks, yang mendasari semua ini, tetapi bagaimana caranya memperlakukanku. Caranya menjalani hubungan dekat denganku sangat murni, Pram menjadi dirinya sendiri.

Dia pribadi yang sedikit lebih pendiam dan sederhana, dan itulah yang kubutuhkan, terutama di awal-awal kedekatan kami. Saat itu aku benar-benar terpuruk, dan aku membutuhkan seseorang untuk mendengar keluh kesahku. Cukup mendengarkan saja, tanpa harus mengucapkan sepatah kata. Dan Pram hadir, menjadi seseorang yang aku butuhkan tersebut.

Butuh waktu berbulan-bulan baginya untuk mulai terbuka padaku, mulai memperkenalkan lebih dalam tentang siapa dan bagaimana dirinya. Hal berbeda justru terjadi padaku, dimana aku lebih bebas dan terbuka padanya, tentang siapa dan bagaimana diriku.

Mungkin saja, ada hal lain yang belum kuketahui, belum kupahami tentang Pram, namun aku yakin, seiring waktu berjalan, aku akan mengenalnya lebih jauh lagi.

Kegelisahan dan kerisauanku lenyap bersama kehadiran Pram dikamarku, malam ini.

Sepanjang malam aku terlelap, dan ketika terbangun, aku mendapati Pram memelukku dari arah belakang. Entah kapan kami bertukar posisi, aku tak menyadarinya. Tidurku begitu nyenyak.

Kukecup punggung tangannya yang menempel tepat dipayudaraku.


“Pagi bu..” bisiknya.

“Pagi sayang..”

“Udah bangun dari tadi ya?”

“Iya bu.. tapi belum lama kok.”

“Eh.. kamu udah sikat gigi?” tanyaku karena mencium aroma segar pasta gigi dari hembusan nafasnya.

“Udah mandi juga?” tanyaku lagi.

“Tadi cuman sikatan aja bu, mau mandi tapi dingin.”

“Kok gak bangunin ibu sih sayangkuuu??” kataku seraya mendesakkan tubuhku kebelakang, agar semakin rapat dengan tubuhnya.

“Ibu tidurnya enak banget, gak enak mau ngebangunin.” Jawabnya sambil mengecup pipiku seraya meremas lembut payudaraku.

“Ya udah, ibu mau pipis dulu sebentar.” Kataku seraya bangkit dari tempat tidur.

“Lhoo.. sayang juga udah buat sarapan? Berarti bangunnya udah dari tadi dong..” kataku setelah melihat segelas teh dan kopi serta beberpa roti tawar yang telah di olesi selai diatas meja riasku.

Pram hanya tersenyum.

“Berarti tadi sayang buat sarapannya sambil telanjang di dapur ya?” Pram mengangguk.

“Yaaahhhh… gak sempet liat.. sayang curang.” Protesku sambil melangkah lalu berdiri disamping ranjang.

“Liat apa sih buuu?” tanyanya sambil bergeser mendekat ke arahku.

“Ya liat kamu telanjang sambil buat sarapan..”

Pram tersenyum.

“Ini kan saya udah telanjang bu, ibu juga udah sering lihat kan?”

“Iyaaaa.. tapi kan bedaaa.”

Pram menatapku heran.

“Udah ah, ibu kebelet pipis.” Kataku.

“Mau ditemenin?” tanyanya sambil menjulurkan tangannya dan mengusap permukaan kemaluanku.

“Enggak sayanggg.. cuman pipis aja kokkk” jawabku sambil menunduk lalu mengusap pipinya.

Ia masih berbaring, dan menutupi setengah tubuhnya dengan selimut.

“Jadi..? Ini…?” kataku seraya menunjuk tangannya yang masih mengusap kemaluanku.

Pram hanya tersenyum, seraya menarik tangannya dari selangkanganku.

Beberapa saat kemudian aku kembali, dan menyempatkan diri menyeruput teh yang hampir dingin. Pram memandangiku, lantas menyusulku ke meja rias dan menyeruput kopinya. Sepotong roti telah kumakan dan sisanya masih di tanganku. Pram pun ikut melahap roti itu, potongan yang tersisa ditanganku.

“Kamu gak jijik? Itu kan bekas ibu."

Pram tersenyum sambil mengunyah roti dimulutnya, lalu meneguk kopinya lagi.

“Enggak..” jawabnya singkat.

“Ya udah.. nih.. habisin..” kataku lalu menggigit sedikit bagian lagi roti itu, lalu menyuapinya. Ia bahkan menghisap ujung jariku yang terkena sedikit selai.

“Iiihhhh.. sayang jorok..” gumanku.

“kok jorok?” “Ini kan tadi abis dari kamar mandi, pipis. Ibu kan cebok pakai tangan kiri.” jawabku.

Roti itu memang kupegang dengan tangan kiriku, namun Pram malah tersenyum.

“Tapi kan ibu udah cuci tangan.. lagian, biarpun gak cuci tangan, tetep aja gak jorok kok.. ininya ibu aja udah sering saya jilatin” jawabnya sambil mengusap kemaluanku.

“Iyaa.. tapi kan kotor sayang..”

Pram tak menghiraukan perkataanku, ia lantas melumat bibirku.

Pagi yang sempurna untukku, dan mungkin juga untuk Pram. Setidaknya itulah yang aku rasakan. Setelah semalaman tidur bersamanya dalam kehangatan, sekarang kami menikmati sarapan bersama, dan masih dalam keadaan telanjang.

“Pengen minum air putih.” kataku seraya melangkah meninggalkannya.

Pram segera mencegahku, dan menarik lenganku.

“Biar saya yang ambilin bu. Ibu tunggu disini aja.”

“Iihhhh… baikk banget siihhhh sayang.” Kataku seraya menempelkan telapak tangan dikedua belah pipinya.

Baru satu langkah ia menjauh, aku menepuk pantatnya yang masih dalam jangkauan tanganku sambil tersenyum.

“Eehhh…! Nakal.. “ gumannya terkejut sambil menoleh ke arahku dan tersenyum.

Aku tertawa, lalu menjulurkan lidahku.

“Wweekkk.. biarin..”

Setelah beberapa langkah ia meninggalkanku, aku mengendap-endap menyusulnya hingga ke pintu dapur, pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan area itu. Aku bersandar disisinya, memandanginya mengambil gelas, lalu membuka pintu kulkas dan menuangkan air kedalam gelas itu.

Saat Pram berbalik, ia terkejut melihatku berdiri disana.

“Kok ibu ikut kesini sih? Kan udah saya bilang, saya yang ambilin airnya.” Katanya seraya melangkah mendekat.

“Gapapa sih.. pengen liat aja..”

“Liat apa sih bu?”

“Ya liat kamu telanjang tapi sambil ngerjain apa gitu didapur.”

“Ibu kan udah sering liat saya telanjang. Emang apanya yang mau dilihat lagi?” tanyanya heran.

“Gak tau.. ya pokoknya seneng aja.. kayaknya jadi gimana gituuu.” kataku seraya menggengam erat penisnya.

Pram tersenyum lalu melumat bibirku dengan sedikit keras.

“Yuk..” katanya kemudian sambil menggandeng tanganku kembali ke kamar tidur.

Pram kembali menikmati roti sambil meneguk kopinya. Begitu juga denganku, ia bahkan menyuapiku dengan roti bekas gigitannya. Benar-benar pagi yang indah untuk kami.

Aku sempat melirik jam dinding, pukul empat lewat beberapa menit, dan kami telah terbangun, bahkan sarapan bersama.

“Kayaknya kita sarapannya kepagian deh Pram.”

Pram memandang jam di dinding.

“Berarti ya bagus dong bu. Habis ini kita bisa santai, terus mandi, terus langsung berangkat.”

Pram lantas mengajakku kembali ke tempat tidur, dan membimbing tubuhku untuk berbaring diatas tubuhnya. Lalu, ia menutupi tubuh kami dengan selimut, lagi.

“Sayang, ujannya udah berhenti..” sesalku sambil berguman.

“Ya bagus dong bu, jadi kita gak kehujanan nanti berangkatnya.”

“Emang ibu juga suka dengan hujan ya?”

“Iya.. “

“Enak buat ngentot” bisikku sambil menggerakan pinggulku yang tepat berada diatas penisnya.

Kedua telapak tangannya membimbing wajahku untuk berhadapan dengan wajahnya, lalu dengan lembut melumat bibirku.

Sambil berciuman, kedua tangannya menyelinap kedalam selimut dan meremas kedua belah pantatku dengan sedikir keras. Aku tahu dan yakin, kami akan bercinta!


Bersambung

♡♡♡

Part 2 akan rilis dalam beberapa jam kedepan. Terima kasih :rose:
 
Terakhir diubah:
RINDIANI - Seri 5
Sebuah Ujian Hati

Part 1




Kebiasaan baru yang unik, ditularkan Pram padaku. Tidur telanjang berdua dengannya, tanpa bersetubuh. Terdengan aneh, namun itulah yang terjadi. Dan itulah yang kini sedang terjadi, aku sedang menikmati hangat pelukannya ditengah malam dingin kota pelajar.

“Ibu gak kedinginan?” tanyanya, ketika aku menyibak selimut yang menutupi tuhuh kami hingga ke bagian lutut.

“Enggak kok.. soalnya badan kamu anget. Enak.” Jawabku sambil meraih lengannya, lalu meletakkannya dibelakang leherku. Satu kakiku menumpang diatas pahanya.

“Kalo kamu lihat ibu telanjang gini, kamu kamu gak pengen?” tanyaku sambil memainkan jemariku didadanya. Sekedar bergerak tak tentu arah, tanpa bermaksud menggodanya.

“Kadang ya pengen bu, tapi harus bisa ditahan.” Jawabnya sambil mulai mengelus rambutku.

“kenapa harus ditahan sih sayang? Kalo kamu mau, ibu pasti ngasih kok.” Sambungku, sambil meletakkan kepalaku dipinggiran dadanya, tepat dibawah bahu.

“Kadang, walaupun kita telanjang, gak harus selalu bercinta. Ya belajar menahan hawa nafsu aja sih bu. Lagian, dengan begini, kita kan bisa menciptakan momen intim.”

“Iya juga sih Pram. Kamu bener.”

“Tapi kamu kan masih muda, biasanya kan nafsunya masih menggebu-gebu. Apa bisa kuat nahannya?” kini tanganku beralih, jemariku bermain di perutnya.

“Ya emang sulit sih bu, apalagi saya udah sering main sama ibu, dan tau, ibu gak mungkin nolak kalo saya pengen.”jawabnya sambil memainkan kemarinya di rambutku."

“Tapi, saya harus bisa menahannya. Saya cuman pingin ibu merasa nyaman dengan saya, bukan hanya dalam urusan seks. Tapi dalam segala hal.”

Aku tersenyum dan merasa terharu didalam dadaku. Ketulusannya dalam mendampingiku benar-benar layak mendapatkan tempat istimewa dalam hatiku, dalam hidupku.

“Iya.. ibu nyaman banget sayang. Rasanya itu gak tau gimana, gak bisa diungkapkan dengan kata-kata deh.”

“Itu maksud saya bu, itu tujuan saya.” Sambil memegang pipinya dengan lembut, aku menciumnya, melumat bibirnya hingga beberapa saat lamanya.

“Kalo pengen sih pasti bu. Saya laki-laki normal lhoo. Jangankan lihat ibu telanjang, lihat paha ibu atau dada ibu aja kadang pengen kok.”

Aku sedikit terkejut mendengar pengakuannya.

“Beneran begitu? Kok bisa??” tanyaku heran.

“sepanjang saya mengenal ibu, yang saya tahu ibu selalu tampil tertutup didepan saya, pakai pakaian yang selalu menutupi tubuh ibu dengan sempurna.”

“Nah, ibu inget kejadian di rumah ibu tempo hari? Waktu pertama kali ibu gak pakai jilbab didepan saya?”

“Iya, inget. Malam first kiss kamu.”

“Itu moment pertama saya lihat tubuh ibu. Rasanya, hhmmmm campur aduk. Antara horni, senang, bangga bisa lihat tubuh ibu, pengen ngerasain.. ya pokoknya gitu itu.”

Kejujuran Pram semakin membuatku mengenalnya, atau paling tidak, lebih mengenal dunia laki-laki dan caranya memandang perempuan.

“Oo gitu ya.. ibu udah ngerasa nyaman sama kamu. Kamu baik, kamu memperlakukan ibu dengan ketulusan, jadi ya ibu yakin, dan gak ragu untuk ngelakuin semua ini sama kamu.”

Pram memelukku erat, lalu mengecup keningku.

“Trus, kalo kamu ngelihat Cewek lain. Nina misalnya. Dia kan juga berjilbab kayak ibu, pernah kepikiran ngelihat tubuhnya? Atau bercinta sama dia?”

Pram tertawa mendengar pertanyaanku.

“Pernah, sesekali pernah bu. Saya gak munafik. Sesekali pernah kepikiran kayak gitu. Tapi saya harus lebih mengutamakan logika saya. Pertemanan kami lebih berharga, jauh lebih penting daripada harus mengikuti keinginan pribadi saya.”

Mendengar jawabannya, aku menjadi gemes, lalu mencium pipinya.

“Kamu pernah berpikir gak, kalo ternyata ibu ini nakal, genit, suka ngeseks?”

“Enggak.. soalnya sebelum dekat sama ibu, ibu itu kelihatan kalem, alim, dan lembut banget. Gak kepikiran sama sekali bu.”

“Berarti ibu munafik dong.. luarnya alim dalamnya liar.” Timpalku.

Pram menatapku dalam-dalam.

“Bukan munafik bu.” Katanya sambil mengusap pipiku.

“Tapi ibu menempatkan sifat dan sikap ibu sesuai tempatnya. Saya yakin dan percaya, ibu gak akan berlaku seperti ini terhadap sembarang orang. Ibu bukan perempuan seperti itu. Ibu hanya melakukannya terhadap orang yang ibu sayangi. Jadi bukan munafik namanya, tapi cerdas karena bisa menempatkan diri sesuai waktu dan keadaannya.”

Jawabannya sangat memuaskanku, menumbuhkan lebih banyak rasa kepercayaanku terhadapnya. Aku semakin yakin, Pram adalah laki-laki istimewa yang kelak akan membawa kebahagiaan sempurna untuk istrinya.

“Tapi sayang kamu gak punya pacar.. kalo kamu punya, pasti dia bahagia banget, pasti gak mau ngelepasin kamu.”

Pram tertawa mendengar celotehku. “Ya belum tentu juga sih bu. Tiap orang kan beda-beda. Mungkin ada yang pengen punya pasangan kayak Topan, atau Galang, atau Deva. Mungkin juga ada yang pengen punya pasangan kayak Pak Sandi.”

“Iya juga sih.. tapi kalo ibu ya pasti milih yang seperti kamu.”

Pram tertawa, sambil terus mengusap rambutku.

“Kok bisa? Ibu yakin??”

“Yakin banget.” Jawabku dengan mantap.

“Kamu itu paket komplit jadi pacar dan suami ideal. Sejauh ini, ibu nyaman sama kamu, kamu bisa membahagiakan ibu.”

Mendengar jawabanku, Pram tersenyum, lalu dengan lembut melumat bibirku.

“Kamu bisa momong Nova, bisa menyayangi Nova seperti anakmu. Dan kamu tau? Orang tua ibu pun senang dengan kamu.”

“Karena kalian memang orang-orang yang baik dan saya kenal bu.. saya ingin membantu, paling enggak ya memberi perhatian, menyayangi kalian, terutama Nova.”

Aku tersentuh mendengar ucapannya. Dan sekali lagi, aku melumat bibirnya, dan ciumanku pun berbalas dengan lumatan di bibirku dengan penuh kehangatan.

“Oh..iya, ada yang ketinggalan, paketnya jadi kurang komplit.” Gumanku.

Pram memandangku dengan tatapan keheranan.

“Paket komplit suami itu lho sayang.. ada yang belum ibu sebutin”

“Apa itu bu?” tanyanya.

Aku tertawa, lalu mengecup pipinya.

“Ini lho sayang, yang bikin komplit. Ini penting banget.” Kataku seraya meraih penisnya dan menggengam dengan sangat erat.

Pram tersenyum, lalu melumat bibirku dengan sedikit keras. Tangannya pun menjamah payudaraku dan meremasnya.

“Ini juga penting lho sayang.. selain baik, pengertian, penuh kasih sayang, ini Juga bikin ibu bahagia lhoo, bikin ibu puas. Ibu kan wanita normal juga.” Kataku sambil memainkan ujung jari telunjukku, disepanjang batang penisnya, lalu kembali menggengamnya dan mengocokya pelan.

“Nakal..” bisiknya, lalu kembali melumat bibirku.

“Ukuran itu cuman bonus bu.. yang penting pinter aja, biar bisa muasian pasangan.” Jawabnya.

“Dan kamu pinter banget..” balasku dengan berbisik pula, sementara tanganku terus mengocok pelan penisnya.

“Sini..” katanya, sambil membimbing tubuhku untuk naik keatas tubuhnya.

Aku menggunakan kedua siku tanganku untuk menopang badan bagian atas, agar bisa saling berhadapan dengannya. Kedua lututku kutekuk, dan berada disisi pinggangnya. Kemaluan kami pun menempel erat karena pinggulku menepel erat di tubuhnya.

“Apapun saya lakukan untuk menyenangkan ibu, membahagiakan ibu.” Katanya sambil menempelkan kedua telapak tangannya dipipiku.

Aku tertegun, hatiku terenyuh mendengar ucapannya. Cukup lama aku memandanginya, menatap wajah laki-laki yang kini menjadi pelangi dalam perjalanan hidupku.

Hingga beberapa menit kemudian, aku mendekatkan wajahku, lalu perlahan menutup mata, dan melumat bibirnya dengan penuh kasih. Sebuah ciuman yang bersumber dari ketulusan hati, berdasarkan rasa kasih sayang, yang terbebas dari rasa nafsu birahi.

“Terima kasih..” gumanku, lalu mengecup keningnya.”

Pram mendekapku begitu erat, mengusap punggungku, dengan penuh kehangatan.

“Kalo nanti kamu lulus, kamu pergi, pasti ibu bakal kehilangan kamu.” Gumanku lirih, sambil merebahkan kepalaku didadanya.

Pram hanya diam, tak sepatah kata pun ia ucapkan setelah mendengar apa yang kukatakan. Itulah krnyataan yang mungkin akan aku jalani, sesuai dengan rencana masa depan Pram, yang pernah ia ungkapkan dalam perbincangan dengan keluargaku beberapa waktu silam. Aku hanya berharap, aku akan memiliki kemampuan untuk menghadapi masa-masa itu.

“Saya juga pasti akan kehilangan ibu, kehilangan Nova..”

“Kita sama-sama akan merasa kehilangan.” gumanku.

“Tapi saya gak akan melupakan ibu, melupakan Nova. Kalian adalah bagian dari hidup saya.”

Aku kembali menatap wajahnya. Menatapnya dalam-dalam.

“Ibu yakin, kamu akan selalu mengingat kami.”

Lama kami terdiam, mendengarkan suara rintik hujan yang samar-samar terdengar diluar. Selama itu pula, Pram setia mendekap dan mengusapku dengan penuh kehangatan.

“Pram.. badan ibu berat gak?” tanyaku, karena telah bermenit-menit lamanya aku menindih tubuhnya.

“Enggak kok bu.. malah enak.. anget..”

“kalo berat, bilang lho Pram.”

“Iyaaaa.. gak apa-apa kok bu.. beneran.”

Setelah beberapa saat, akhirnya aku kembali berbaring di sisinya, lalu ia menutupi tubuh kami dengan selimut. Kuposisikan tubuhku agar bisa memeluknya, dan memanjakannya di dadaku.

“Enak. Empuk..” gumannya sambil membenamkan wajahnya di payudaraku.

“Kemarin kamu manjain ibu, sekarang gantian, ibu yang manjain kamu, sampe pagi.”

Cukup lama Pram memandang payudaraku, entah apa yang ia pikirkan.

“Kok ngeliatnya gitu sih sayang?” tanyaku.

Pram tersenyum malu setelah menyadari aku melihatnya memandangi payudaraku.

“Lucu.. nggemesin..” gumannya lalu mengecup putingku.

Aku tertawa melihat tingkahnya, seolah belum pernah melihat payudara.

“Sayang kan udah sering lihat, udah sering pegang.. kok kayak masih heran gitu sih?”

“Iya ya.. gak tau juga sih bu.. biar uda sering lihat, uda pegang, tapi kok gak bosan ya.”

Aku tertawa mendengar jawabannya. Pram benar-benar pribadi yang unik. Ia melontarkan pertanyaan, yang aku yakin, tidak akan mampu terjawab oleh kebanyakan orang.

“Emang rasanya sama ya bu, kalo saya isep sama waktu Nova menyusui.”

Lagi-lagi ia membuatku tertawa, sekaligus bingung dengan jawaban yang harus aku berikan.

“Hadduuhhhhh.. kamu ini.. nanyanya yang sulit-sulit gitu sih?” protesku.

“Kok sulit?” tanyanya singkat.

“…..”

Aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya, sementara Pram masih menunggu jawaban dariku. Sejenak aku menarik nafas, lalu menghembuskannya perlahan.

“Kalo menyusui Nova, rasanya itu beda lho sayang. Udah pasti ya gak horni, tapi malah bahagia dan senang karena itulah kewajiban ibu. Ibu menyusui Nova, berarti memberinya makan. Iya kan?” jawabku.

Aku berusaha menggunakan bahasa yang sesederhana mungkin agar ia paham dengan maksudku.

“Gak geli juga bu?” “Kalo pas pertama kali ya geli, apalagi Nova kan anak pertama. Tapi lama-lama ya jadi biasa aja kok.”

“Ooo…gitu..”

“Berarti kalo saya sering isepin nenen ibu, lama-lama jadi kayak biasa aja gitu ya bu??”

Aku masih tak habis pikir dengan jawaban konyol Pram. Aku benar-benar kehabisan akal, dan semakin gemes dengan ulahnya.

“Sayaaannggggg.. kalo kamu terus isepin nenen ibu, yang ada ibu jadi horni, minta di entotin terus sama kamu.” jawabku sambil mencubit pipinya.

“Emang kamu kuat?” tanyaku, seolah menantangnya.

“Oo gitu.. berarti beda ya bu.”

“Iya.. beda dong sayang..”

Sesaat kemudian, Pram menatapku sambil tersenyum.

“Kok senyum-senyum gitu?? Hayoooo… sayang lagi mikirin apa???”

“Enggak bu.. gak mikir apa-apa kok.” Jawabnya sambil kembali merebahkan kepala disampingku, tepat didepan payudaraku.

“Ya udah, kita bobo ya sayang.. udah jam satu lewat lhoo..” kataku.

Pram membenahi selimut yang menutupi tubuh kami lalu merebahkan tubuh dalam dekapanku. Hanya beberapa saat kemudian, terdengar dengkuran lembut, Pram telah terlelap dengan nyaman dalam pelukanku.

Terasa lucu, dan aneh. Niatku untuk mencoba tidur sendirian, gagal total. Dan pada akhirnya, aku kembali membutuhkan Pram untuk menemaniku. Hanya sekedar menemaniku, berbincang sesaat sebelum memejamkan mata. Begitu pun dengan Pram, lelaki yang kini terlelap dalam pelukanku pun merasakan hal yang sama, hingga akhirnya menerima permintaanku untuk tidur bersamaku.

Bukan hanya sekedar seks, yang mendasari semua ini, tetapi bagaimana caranya memperlakukanku. Caranya menjalani hubungan dekat denganku sangat murni, Pram menjadi dirinya sendiri.

Dia pribadi yang sedikit lebih pendiam dan sederhana, dan itulah yang kubutuhkan, terutama di awal-awal kedekatan kami. Saat itu aku benar-benar terpuruk, dan aku membutuhkan seseorang untuk mendengar keluh kesahku. Cukup mendengarkan saja, tanpa harus mengucapkan sepatah kata. Dan Pram hadir, menjadi seseorang yang aku butuhkan tersebut.

Butuh waktu berbulan-bulan baginya untuk mulai terbuka padaku, mulai memperkenalkan lebih dalam tentang siapa dan bagaimana dirinya. Hal berbeda justru terjadi padaku, dimana aku lebih bebas dan terbuka padanya, tentang siapa dan bagaimana diriku.

Mungkin saja, ada hal lain yang belum kuketahui, belum kupahami tentang Pram, namun aku yakin, seiring waktu berjalan, aku akan mengenalnya lebih jauh lagi.

Kegelisahan dan kerisauanku lenyap bersama kehadiran Pram dikamarku, malam ini.

Sepanjang malam aku terlelap, dan ketika terbangun, aku mendapati Pram memelukku dari arah belakang. Entah kapan kami bertukar posisi, aku tak menyadarinya. Tidurku begitu nyenyak.

Kukecup punggung tangannya yang menempel tepat dipayudaraku.


“Pagi bu..” bisiknya.

“Pagi sayang..”

“Udah bangun dari tadi ya?”

“Iya bu.. tapi belum lama kok.”

“Eh.. kamu udah sikat gigi?” tanyaku karena mencium aroma segar pasta gigi dari hembusan nafasnya.

“Udah mandi juga?” tanyaku lagi.

“Tadi cuman sikatan aja bu, mau mandi tapi dingin.”

“Kok gak bangunin ibu sih sayangkuuu??” kataku seraya mendesakkan tubuhku kebelakang, agar semakin rapat dengan tubuhnya.

“Ibu tidurnya enak banget, gak enak mau ngebangunin.” Jawabnya sambil mengecup pipiku seraya meremas lembut payudaraku.

“Ya udah, ibu mau pipis dulu sebentar.” Kataku seraya bangkit dari tempat tidur.

“Lhoo.. sayang juga udah buat sarapan? Berarti bangunnya udah dari tadi dong..” kataku setelah melihat segelas teh dan kopi serta beberpa roti tawar yang telah di olesi selai diatas meja riasku.

Pram hanya tersenyum.

“Berarti tadi sayang buat sarapannya sambil telanjang di dapur ya?” Pram mengangguk.

“Yaaahhhh… gak sempet liat.. sayang curang.” Protesku sambil melangkah lalu berdiri disamping ranjang.

“Liat apa sih buuu?” tanyanya sambil bergeser mendekat ke arahku.

“Ya liat kamu telanjang sambil buat sarapan..”

Pram tersenyum.

“Ini kan saya udah telanjang bu, ibu juga udah sering lihat kan?”

“Iyaaaa.. tapi kan bedaaa.”

Pram menatapku heran.

“Udah ah, ibu kebelet pipis.” Kataku.

“Mau ditemenin?” tanyanya sambil menjulurkan tangannya dan mengusap permukaan kemaluanku.

“Enggak sayanggg.. cuman pipis aja kokkk” jawabku sambil menunduk lalu mengusap pipinya.

Ia masih berbaring, dan menutupi setengah tubuhnya dengan selimut.

“Jadi..? Ini…?” kataku seraya menunjuk tangannya yang masih mengusap kemaluanku.

Pram hanya tersenyum, seraya menarik tangannya dari selangkanganku.

Beberapa saat kemudian aku kembali, dan menyempatkan diri menyeruput teh yang hampir dingin. Pram memandangiku, lantas menyusulku ke meja rias dan menyeruput kopinya. Sepotong roti telah kumakan dan sisanya masih di tanganku. Pram pun ikut melahap roti itu, potongan yang tersisa ditanganku.

“Kamu gak jijik? Itu kan bekas ibu."

Pram tersenyum sambil mengunyah roti dimulutnya, lalu meneguk kopinya lagi.

“Enggak..” jawabnya singkat.

“Ya udah.. nih.. habisin..” kataku lalu menggigit sedikit bagian lagi roti itu, lalu menyuapinya. Ia bahkan menghisap ujung jariku yang terkena sedikit selai.

“Iiihhhh.. sayang jorok..” gumanku.

“kok jorok?” “Ini kan tadi abis dari kamar mandi, pipis. Ibu kan cebok pakai tangan kiri.” jawabku.

Roti itu memang kupegang dengan tangan kiriku, namun Pram malah tersenyum.

“Tapi kan ibu udah cuci tangan.. lagian, biarpun gak cuci tangan, tetep aja gak jorok kok.. ininya ibu aja udah sering saya jilatin” jawabnya sambil mengusap kemaluanku.

“Iyaa.. tapi kan kotor sayang..”

Pram tak menghiraukan perkataanku, ia lantas melumat bibirku.

Pagi yang sempurna untukku, dan mungkin juga untuk Pram. Setidaknya itulah yang aku rasakan. Setelah semalaman tidur bersamanya dalam kehangatan, sekarang kami menikmati sarapan bersama, dan masih dalam keadaan telanjang.

“Pengen minum air putih.” kataku seraya melangkah meninggalkannya.

Pram segera mencegahku, dan menarik lenganku.

“Biar saya yang ambilin bu. Ibu tunggu disini aja.”

“Iihhhh… baikk banget siihhhh sayang.” Kataku seraya menempelkan telapak tangan dikedua belah pipinya.

Baru satu langkah ia menjauh, aku menepuk pantatnya yang masih dalam jangkauan tanganku sambil tersenyum.

“Eehhh…! Nakal.. “ gumannya terkejut sambil menoleh ke arahku dan tersenyum.

Aku tertawa, lalu menjulurkan lidahku.

“Wweekkk.. biarin..”

Setelah beberapa langkah ia meninggalkanku, aku mengendap-endap menyusulnya hingga ke pintu dapur, pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan area itu. Aku bersandar disisinya, memandanginya mengambil gelas, lalu membuka pintu kulkas dan menuangkan air kedalam gelas itu.

Saat Pram berbalik, ia terkejut melihatku berdiri disana.

“Kok ibu ikut kesini sih? Kan udah saya bilang, saya yang ambilin airnya.” Katanya seraya melangkah mendekat.

“Gapapa sih.. pengen liat aja..”

“Liat apa sih bu?”

“Ya liat kamu telanjang tapi sambil ngerjain apa gitu didapur.”

“Ibu kan udah sering liat saya telanjang. Emang apanya yang mau dilihat lagi?” tanyanya heran.

“Gak tau.. ya pokoknya seneng aja.. kayaknya jadi gimana gituuu.” kataku seraya menggengam erat penisnya.

Pram tersenyum lalu melumat bibirku dengan sedikit keras.

“Yuk..” katanya kemudian sambil menggandeng tanganku kembali ke kamar tidur.

Pram kembali menikmati roti sambil meneguk kopinya. Begitu juga denganku, ia bahkan menyuapiku dengan roti bekas gigitannya. Benar-benar pagi yang indah untuk kami.

Aku sempat melirik jam dinding, pukul empat lewat beberapa menit, dan kami telah terbangun, bahkan sarapan bersama.

“Kayaknya kita sarapannya kepagian deh Pram.”

Pram memandang jam di dinding.

“Berarti ya bagus dong bu. Habis ini kita bisa santai, terus mandi, terus langsung berangkat.”

Pram lantas mengajakku kembali ke tempat tidur, dan membimbing tubuhku untuk berbaring diatas tubuhnya. Lalu, ia menutupi tubuh kami dengan selimut, lagi.

“Sayang, ujannya udah berhenti..” sesalku sambil berguman.

“Ya bagus dong bu, jadi kita gak kehujanan nanti berangkatnya.”

“Emang ibu juga suka dengan hujan ya?”

“Iya.. “

“Enak buat ngentot” bisikku sambil menggerakan pinggulku yang tepat berada diatas penisnya.

Kedua telapak tangannya membimbing wajahku untuk berhadapan dengan wajahnya, lalu dengan lembut melumat bibirku.

Sambil berciuman, kedua tangannya menyelinap kedalam selimut dan meremas kedua belah pantatku dengan sedikir keras. Aku tahu dan yakin, kami akan bercinta!


Bersambung

♡♡♡

Part 2 akan rilis dalam beberapa jam kedepan. Terima kasih :rose:
Ceritanya bikin baper
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd