Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Makasih Suhu update nya...
Teman rindiani mana suhu yang ingin air mancur..... Pram sama juga teman rindiani dong biar Lebih seru apalagi 1vs2 Hihihi. Sekarang tunggu beberapa jam lagi. Terima kasih
Kayaknya sih di seri-seri selanjutnya ada bagian yang membahas hal ini. Cuman membahas aja lhoo..

Kalo gak salah sih gitu, hehehehe.. lupa soalnya.

Makasih ya :rose:
 
Okelah... Okelah..
Mainkan perasaan pram atas sandi dong sist...
Emosi dan ego bercampur cemburu jadi satu... Pasti bakalan lebih binal lagi tuh ngentot nya si pram....
Sepertinya ada konspirasi ne antara TS dan Sandi untuk menjatuhkan image Pram di depan Bu Rindi.
Huufft..... semoga saja
Kedua hal ini akan terpecahkan, terjawab di seri 5 ini. Sabar ya..
 
Semoga ending di cerita ini memang benar2 rindi itu jodoh nya pram,walau harus menghadapi bumbu2 dapur yg kumplit.
 
part 4




“Usianya masih terlalu muda, mungkin Pram masih ingin menikmati masa-masa mudanya dengan bersenang-senang, mencari pacar, gonta ganti pacar, atau mungkin mempermainkan hati perempuan. Hal yang biasa untuk anak muda jaman sekarang.”

“Berbeda dengan kita. Kita sudah melewati masa-masa itu. Kehidupan seperti itu bukanlah dunia kita lagi. Sekarang, yang kita pikirkan adalah masa depan kita, tanggung jawab sebagai orang dewasa, dan menyusun rencana kehidupan kita nantinya.” Sambungnya lagi.

“Iya mas, saya juga mikirnya gitu. Sekarang saatnya memikirkan masa depan.”

“Saya juga begitu mbak. Masa-masa itu sudah lewat. Sekarang saya memfokuskan diri untuk masa depan, menjalani kehidupan dengan serius. Waktu bermain dan bersenang-senang sudah lewat.”

Sebuah pemikiran yang dewasa dan matang, sesuai dengan apa yang sedang kujalani sekarang ini, menyiapkan kehidupan untuk Nova dan untukku sendiri di kemudian hari.

Untuk sesaat, perbincangan kami terhenti karena ada beberapa mahasiswa yang berkumpul di dekat kami. Sepertinya mereka hendak meninggalkan kampus ini walaupun hujan belum berhenti.

Dari arah Pintu gerbang kampus, kulihat Pram datang dengan mengendarai mobilku, dan langsung memarkirkan tak jauh dari pendopo tempat aku dan Sandi berada.

“Ibu udah lama pulangnya?” tanya Pram sambil meletakkan payung disebelah kakinya.

“Sore Pak Sandi..” sapanya kemudian.

“Sore Pram.”

“Ya udah, saya permisi dulu ya mas, mau langsung pulang.” Kataku pada Sandi.

“Iya mbak, silahkan.”

Sambil melangkah pergi, aku memegang lengan Pram dan merapatkan tubuhku agar tidak terkena hujan.

“Nanti dilihat pak Sandi lhoo bu.. bisa rusak pasaran ibu disini.”

Aku tertawa mendengar perkataan Pram.

“Kita kan udah pacaran.. lupa??”

“Oh iya.. kita kan pacaran ya..” jawabnya, lalu tertawa.

Gerimis yang turun merata di sepanjang jalur perjalanan kami menyebabkan genangan air banyak terlihat di jalanan sehingga aku pun mengemudikan mobil dengan kecepatan yang lambat.

“Ibu udah lama pulangnya? Ini belum jam lima lho bu.”

“Tadi pulang jam tiga, soalnya menu diwarung udah pada habis.”

“Kok ibu gak telpon saya? Biar saya jemput.”

“Sayang, ibu gak mau ngerepotin kamu terus. Tadi ibu mau naik ojek, eh pas di kampus ketemu Nina, jadi ya ngobrol dulu sama dia.”

“Tadi udah lama di temenin pak Sandi?”

“Ya lumayan lama sih Pram. Tapi ngebosenin.. orangnya serius banget. Gak kayak kalian.”

Pram tertawa mendengar keluhanku.

“Ya namanya juga dosen bu.”

“Tadi kamu sempat belajar kan?” tanyaku.

“Iya, sempat kok bu. Lumayan lama belajarnya.”

“Baguussss.. ibu senang kalo selalu ingat belajar seperti itu.”

Pram melayangkan pandangannya ke luar jendela, memandangi hiruk pikuk kota pelajar yang tetap berjalan meski diguyur gerimis.

“Dingin.” gumanku sambil mengusap lenganku.

Pram menoleh,

“Iya, saya gak bawain ibu jaket.”

“Gak perlu jaket sayang.. kan ada kamu.” balasku, lalu tersenyum.

“Lho ini saya ada disini, tapi ibu masih kedinginan.”

“Kamu ini… “ kataku gemes.

“Gak peka.”

Pram tertawa, lalu bergeser mendekat ke arahku, lalu mengusap lenganku, seperti yang telah kulakukan. Aku tersenyum geli melihat apa yang ia lakukan.

“Kalo cuman di gituin aja ya tetap dingin dingin saaayangggg” kataku sambil menahan gemes.

Lagi-lagi Pram tertawa, dan sepertinya ia mengerti dengan apa yang aku inginkan.

“Tapi kan ibu lagi nyetir.” katanya.

Satu tanganku tetap mengendalikan stir mobil, sementara tangan yang lain mulai membuka kancing kemeja yang kukenakan, aku membuka dua kancing sekaligus, lalu menuntun tangannya masuk kedalam bajuku, kedalam bra yang menutupi payudaraku.

“Enak.. geli tapi enak..” gumanku saat kurasakan jemari Pram bulan bergerak pelan, menyentuh putingku.

Pram hendak menarik tangannya keluar dari dadaku, namun aku segera mencegahnya.

“Tapi ibu kan lagi nyetir.” gumannya.

“Gapapa kok sayang, ibu kan tetep bisa nyetir.” Kataku sambil meremas punggung telapak tangannya, yang secara otomatis tangannya pun ikit meremas payudaraku.

“Nakal..” gumannya singkat, lalu kembali meremas payudaraku.

Sebisa mungkin aku menahan gejolak birahi yang mulai muncul perlahan. Kaca film mobilku cukup aman untuk menjaga privasi kami, sehingga aku tak khawatir dengan apa yang sedang terjadi. Semuanya aman, tak mungkin terlihat dari luar, apalagi mobilku sedang melaju, walau dengan kecepatan lambat.

Ternyata, sangatlah sulit untuk berkonsentrasi mengendarai mobil sambil menikmati sentuhan di bagian sensitif tubuh. Apalagi Pram bukan hanya mengerjai satu payudaraku saja, melainkan kedua-duanya.

Hanya dalam waktu singkat, payudaraku telah menyembul keluar dari balik pakaian yang masih menepel di tubuhku.

“Masih dingin?” tanya Pram sambil memilin kedua putingku.

“Udah enggak.. cuman horni aja sayang..” balasku.

Pram tertawa sambil membenahi pakaianku karena kami hampir tiba dirumah.

“Lhooo.. kamu beli beras untuk apa?” tanyaku heran saat melihatnya mengambil satu karung beras ukuran 20kg dari bagasi.

“Tadi saya lihat didapur, berasnya tinggal dikit bu, jadi saya beliin. Sekalian aja beli sama ini.” katanya sambil menunjukkan satu kantong plastik besar berisi berbagai kebutuhan dapur.

“Iya, makasih ya Pram, nanti ibu ganti uangnya.”

“Eh, kok diganti?? Ya enggak dong bu. Saya gak mau. Tiap hari saya makan dirumah ibu, sarapan dirumah ibu kok.”

“Ya tetap aja ibu harus ganti, itu kan emang tanggung jawab ibu.”

“Enggak bu. Pokoknya saya gak mau diganti uangnya.” Pram membantah sambil mengikuti langkahku menuju ke dapur.

Ia meletakkan hasil belanjaannya diatas meja dan membuka kantong tersebut.

Teh, kopi, gula, minyak goreng, pasta gigi, sabun mandi, shampo yang biasa kugunakan, detergen pencuci pakaian dan beragam kebutuhan rumahan lainnya.

“Ini banyak banget Pram..!” seruku sambil memandangi semua barang tersebut.

“Uang kamu pasti habis?? Iya kan???” tanyaku.

“Enggak kok bu.. masih ada.” Jawabnya dengan tenang.

“Ibu lupa??” katanya seraya memegang pinggangku, lalu merapakan tubuhnya denganku.

“Ibu menganggap saya sebagai suami ibu, jadi paling enggak saya belajar bertanggung jawab terhadap hidup ibu.”

“Tapi, gak harus seperti ini juga. Ibu menganggap kamu suami ibu, karena selama ini kamu sudah memperlakukan ibu dengan sangat baik.”

Pram menggelengkan kepala, lalu mengusap kepalaku yang masih tertutupi jilbab.

“Ibu sadar? Dari 24 jam waktu, kita terpisah hanya saat ibu bekerja dan saya kuliah. Selebihnya, kita selalu sama-sama. Kita saling berbagi, saling melengkapi, kita saling membantu. Nah, setidaknya, biarkan saya belajar untuk menjadi pendamping hidup ibu, walaupun sebenarnya saya bukan suami ibu.”

Aku terharu mendengar apa yang Pram katakan, lantas memeluknya dengan sangat erat.

Jika Sandi meragukan kebaikan Pram padaku, mungkin sebaiknya ia menarik lagi semua kalimatnya tadi sore, saat ia menemaniku menunggu kedatangan Pram, jika mendengar apa yang telah dikatakn oleh Pram.

“Kenapa kamu baik banget sama ibu? Padahal ibu bukan siapa-siapanya kamu Pram.”

Pram menatap mataku dalam-dalam untuk beberapa saat sambil meletakakkan kedua tangannya di pipiku. Lalu, ia mendekatkan wajahnya secara perlahan dan menciumku.

Lumatan bibirnya terasa begitu lembut, sangat tenang dan penuh perasaan. Aku tahu jawaban dari pertanyaanku tadi, aku mengerti, dan sangat bahagia dengan jawaban darinya.

Tak perlu banyak kata, tak perlu bahasa puitis, cukup dengan sebuah ciuman, dan aku mengetahui apa yang coba ia katakan.

Untuk beberapa saat, kami kembali berpelukan lagi, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hati kami sedang berbincang mesra, sedang tertawa bahagia. Aku tahu, dan yakin akan hal itu.

Beberpa menit berlalu dan akhirnya pelukan kami berakhir. Sekali lagi pram melumat bibirku dengan penuh kelembutan.

“Malam ini ibu mau coba tidur sendiri lagi?” tanyanya.

Aku menggelengkan kepala.

“Gak mau, ibu mau tidur dipeluk kamu.”

“Nanti malam saya peluk lagi, sampai pagi.” katanya.

“Sekarang ibu mandi, habis itu istirahat.”

“Iya sayang.. tapi mandinya bareng kamu lagi ya..”

Pram tertawa.

“Saya udah mandi bu.”

“Tadi habis beresin rumah, saya keringetan. Jadi ya, saya mandi dulu sebelum jemput ibu.”

“Ya udah.. kalo gitu kamu istirahat ya, sambil nungguin ibu mandi.”

Pram membantuku membereskan belanjaannya, menyimpannya di ditempatnya masing-masing agar mudah kutemukan saat aku membutuhkannya.

“Pram, kamu jangan lupa belajar ya, buat ujian besok.”

“Iya bu. Kalo gitu saya ambil buku dulu.”

“Pram, sekalian bawa pakaian buat kamu ke kampus besok, biar gak bolak balik terus.” kataku saat Pram hendak melangkah.

Pram tertawa, lalu pergi meninggalkanku.

Menikmati masa muda, seperti yang dikatakan Sandi mungkin benar adanya. Hal yang banyak terjadi di kalangan muda-mudi seusia Pram. Namun hal itu tak berlaku bagi Pram. Mungkin inilah caranya menikmati masa muda, cara unik, dan bisa dikatakan aneh. Bagaimana tidak, bukannya menjalin hubungan asmara dengan wanita muda, atau paling tidak dengan gadis sebayanya, ia malah lebih dekat dan nyaman bersamaku.

Caranya memandang kehidupan dan menjalaninya sangat tak lazim, tidak seperti lelaki lain seusianya.

Apakah karena seks, sehingga ia betah dan senang dekat denganku? Mungkin saja. Namun aku sangat yakin, seks bukanlah pilar utama baginya dalam hubungan kedekatan ini.

Sedikit banyak aku telah mengenali dan memahaminya.

Sisa hari itu kami lewati dengan melakukan kegiatan rumah secara bersama-sama. Kami memasak, dan makan bersama. Aku menungguinya belajar hingga dua jam lamanya, lalu mengakhiri hari dengan tidur dalam pelukannya, hingga pagi menjelang.

♡♡♡

Tak seperti kemarin, langit kota pelajar pagi terlihat cerah walaupun masih menyisakan sedikit awan menggantung disana. Aku dan Pram memutuskan untuk berangkat menggunakan sepeda motor.

Setiap waktu yang terlewati bersama Pram, selalu membawa keceriaan, membawa semangat yang entah darimana datangnya. Bahagia itu sederhana, ketika kita bisa melihat hal-hal kecil dan mensyukurinya. Seperti semalaman terlelap dalam pelukannya yang hangat, menikmati sarapan bersama, dan kini, berangkat ke kampusnya bersama-sama.

Sesampainya di kampus, aku dan Pram disuguhi oleh pemandangan yang sedikit janggal. Kami melihat Sandi tengah berbincang-bincang dengan Rita, Galang, Topan, deva dan Nina.

“Tumben Pak Sandi ikutan ngumpul bareng mereka.” kata Pram sambil memarkirkan motornya sedikit jauh dari pendopo kampus.

“Iya, baru kali ini ibu lihat dia ikutan ngumpul.”

Sandi menyadari kedatangan kami, dan sesekali melirik ke arahku sambil terus bercakap-cakap dengan teman-teman Pram.

Sikap dan tingkah laku Sandi semakin meyakinkanku bahwa ia memang menaruh hati padaku. Dan pemandanhan pagi ini adalah bukti yang kedua, setelah salam yang ia sampaikan padaku melalui ibu pemilik warung.

“Pram, gandeng ibu. Pegang tangan ibu.” Kataku saat kami akan berjalan ke arah mereka.

Pram menuruti permintaanku, ia bahkan menggengam erat tanganku.

“Ckckckckckckck… Mbak Rin bikin iri aja.. pagi-pagi udah pegangan tangan gitu.” celetuk Rita.

“Ya kamu juga gandengan dong, sama Galang atau Deva.” balasku.

“Enggak, aku takut kena rabies mbak.” balas Galang.

“Ehh, kobokan keruh, sapa juga yang mau gandengan sama situ.” balas Rita ketus.

“Njjiiirrrrrrr… kobokan keruh” timpal Topan lalu tertawa terbahak-bahak.

“Prammmmm… kapan-kapan aku juga di gandeng dong. Masa tiap hari mbak Rindi terus yang digandeng.” lagi-lagi Rita merengek manja sambil memegang lengan Pram.

“Eh gak bisa. Gak boleh. Tuh gandengan sama pak Sandi aja. Pram udah punya mbak, gak bisa di ganggu gugat.” kataku.

“Eh iyaa.. sama pak Sandi juga boleh.” Jawab Rita malu-malu.

“Muke lu jauuhhhh” sahut Topan.

Dan kami tertawa bersama-sama mendengar celoteh Topan. Selama percakapan itu, beberapa kali aku menagkap basah Sandi tengah menatapku, walau hanya tatapan sekilas.

Tidak ada diantara mereka yang menyadari hal itu, termasuk Pram, yang masih tetap memegang tanganku.

“Pram, anterin ke warung ya..” kataku.

Pram mengangguk.

Teman-teman Pram pun memilih untuk membubarkan diri, mengikuti kami memasuki gedung kampus. Nina berjalan disisiku, dibelakang Rita dan Galang.

“Tumben Pak Sandi ikut ngumpul bareng kalian.” gumanku pada Nina.

“Iya, baru kali ini lho mbak. Tadi sih cuman nanya kabar kita-kita aja, eh terus ikutan ngobrol.”

“Tapi gak asik ah.. gak seru. Ngobrolnya serius banget, tentang kuliah. Bosen.” keluh Nina.

“Ya dia kan dosen Nin, jadi ya wajar aja. Kalo kita-kita aja yang ngumpul, udah pasti yang dibahas tentang hal gak jelas.” jawab Pram.

“Iya sih, bener. Tapi kan kamu tau, tiap hari kita kuliah.. capek tauuu. Eh, giliran ngumpul-ngumpul, yang dibahas kuliah lagi.” bantah Nina.

“Ya sudah, besok lagi kalo pak Sandi ikutan ngumpul, kamu usir aja Nin.” jawabku.

Pram dan Nina tertawa mendengar kata-kataku.

“Iya, besoknya langsung di depak dari kampus.” balas Nina sebelum kami berpisah.

Sesampainya di depan warung, kami mendapati pintu masih tertutup rapat.

“Makasih ya Pram, moga sukses ujiannya.” kataku, sambil membelai pipinya.

Dari kejauhan, aku melihat Sandi sedang berjalan ke arah kami dan melihat adegan mesra yang sedang terjadi. Pram tak menyadari kehadiran Sandi karena posisi berdirinya sedikit menyamping, membelakangi arah datangnya Sandi.

Setiap langkah, semakin membawanya dekat dengan posisi kami berdiri. Pram, tidak menyadari kehadirannya, karena matanya selalu tertuju padaku.

“Cium kening ibu.” kataku pelan.

Dan Pram melakukannya, sesuai permintaanku. Aku sangat yakin, Sandi juga melihat adegan itu.

“Selamat bekerja ya bu, semangat..!” katanya pelan sambil meremas tanganku.

“Iya.. makasih sayang..”

Sandi tiba, dan berdiri di samping kami.

“Wah, kalian romantis sekali.” gumannya.

Pram nampak terkejut dengan kehadirannya, dan tersenyum malu sambil menundukkan wajahnya.

“Pagi Pak,” sapa Pram.

“Iya, Pagi Pram.”

“Bapak mau sarapan?”

“Iya, pagi-pagi begini lauk pauknya pasti masih hangat, bapak mau makan dulu sebelum kerja.”

“Ya sudah, Pram, kamu belajar dulu. Ibu mau kerja.” kataku, memotong percakapan mereka.

“Iya bu. Ya udah, kalo gitu saya ke perpus dulu. Permisi pak.” kata Pram pada kami, lalu beranjak pergi.

Disaat bersamaan, pintu warung pun akhirnya terbuka, dan si ibu pemilik warung berada dibaliknya.

“Pagi Mas sandi.” Sapa ibu dengan takzim.

“Pagi bu.”

“Mas mau sarapan?”

“Iya bu.”

“Mari mas, silahkan masuk.”

Aku langsung menuju ke dapur, bersiap untuk bekerja.

“Mbak, mas Sandi pesan minuman seperti biasa.” Kata si ibu dari arah depan.

“Iya bu.”

Saat aku melintas di samping si ibu, ia tersenyum padaku. Sebuah senyuman yang sulit untuk kumengerti.

“Ini mas minumannya. Silahkan.”

“Iya, makasih mbak Rindi.”

“Mbak enggak sarapan dulu?”

“Saya udah sarapan di rumah Mas, makasih.” kataku.

“Oo gitu, kalo belum sarapan, kita sarapan sama-sama disini, mumpung lauk pauknya masih hangat.”

“Iya mbak Rindi, sarapan dulu, sekalian temenin mas Sandi.” timpal si ibu.

“Enggak bu, makasih, tadi sudah sarapan dirumah kok bu.”

“Ya sudah, kalo gitu duduk aja dulu disini sebentar, mumpung warungnya masih sepi.”

“Boleh kan bu?” tanya Sandi pada si ibu.

“Iya boleh kok. Warungnya juga masih sepi kok mbak.”

Aku terjebak oleh situasi yang tidak mengenakkan, dan mau tak mau, akhirnya menemani Sandi menikmati makannya.

Si ibu tersenyum penuh arti, lalu meninggalkan kami dan beranjak ke dapur.

“Maaf ya mbak, tadi saya lihat, mbak dan Pram romantis sekali.”

Aku hanya tersenyum, sambil sedikit menundukkan wajahku.

“Ternyata Pram pintar merayu wanita.” Sambungnya lagi.

“Maksudnya gimana mas? Merayu gimana?” tanyaku.

“Kata ibu, Mbak sama Pram ibu enggak pacaran. Dan saya percaya hal itu.”

“Tapi yang saya lihat, kalian selalu bersikap romantis satu sama lain, layaknya sepasang kekasih.” sambungnya lagi.

“Maaf ya mbak, hal itu enggak wajar kalo menurut saya, apalagi usia mbak jauh diatas Pram, dan mbak wanita berjilbab. Sangat gak baik, gak etis.”

Sekali lagi, aku dibuatnya tidak nyaman karena membahas urusan pribadiku. Apa yang ia katakn sangat baik, dan benar adanya, namun melihat fakta bahwa Sandi adalah orang asing yang baru kukenal, dan telah begitu berani menyinggung urusan pribadiku, sangat membuatku kesal.

“Mbak gak pacaran dengan Pram kan?” tanyanya lagi.

“Maaf ya mas, itu urusan privasi saya. Saya gak bisa menjawabnya.”

“Oh iya, maaf kalo saya lancang dan kelewatan mbak.”

Kami terdiam untuk beberpa saat lamanya.

“Mungkin sebaiknya mbak berpikir lagi, sebelum menjalin hubungan serius dengan Pram. Bukan apa-apa.. tapi usianya masih terlalu muda lhoo mbak.”

“Iya mas.” jawabku singkat.

“Maaf kalo saya kelewatan, terlalu jauh dan lancang ya mbak. Tapi sebaiknya mbak mencari pasangan yang sudah matang, yang sudah dewasa dan punya masa depan yang jelas.” Sambungnya.

“Iya mas.”

“Maaf ya mbak, saya yakin mbak orang baik-baik. Saya hanya ingin mbak lebih hati-hati. Saya gak bermaksud apa-apa, cuman sekedar mengingatkan, jangan sampai mbak dipermainkan, dikecewakan, itu saja.”

“Iya mas, makasih.”

Percakapannya terhenti ketika ada serombongan pengunjung warung yang datang. Sekelompok mahasiswi dari kampus Pram, yang ingin menikmati makanan diwarung.

“Pagi pak Sandi.” sapa seorang diantara mereka.

“Iya, pagi. Kalian mau sarapan?” tanya Sandi.

“Iya pak, sarapan sebelum ujian, biar kuat jawab soal yang rumit.” jawab mahasiswi tersebut.”

“Permisi pak, saya tinggal kerja dulu.” Kataku seraya bangkit dari tempat duduk.

“Silahkan mbak.”

Mereka memesan minuman padaku, dan aku pun beranjak ke dapur untuk membuat minuman-minuman tersebut.

“Ibu senang kalo lihat mbak Rindi sama mas Sandi duduk bareng gitu. Kayak lihat pasangan serasi.” guman si ibu sambil membantuku membuat minuman.

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Saat mengantarkan pesanan minuman, kulihat mereka duduk bergerombol bersama Sandi sambil bercakap-cakap.

“permisi.” kataku sambil meletakkan minuman itu di meja.

“Makasih mbak.” Sahut salah satu diantara mereka.

"Iya.. sama-sama”

Sesekali Sandi melirikku, saat meletakkan minuman tersebut, sebuah sikap yang semakin menunjukkan ketertaikannya padaku.

Sebuah hal membuatku tak habis pikir, apa yang sebenarnya Sandi lihat dariku sehingga ia tertarik padaku. Jika dibandingkan dengan para mahasiswi di kampusnya, aku bukannlah pilihan menarik. Belum lagi melihat fakta, bahwa aku telah memiliki seorang putri, sebuah hal yang sungguh tak masuk di akalku.

Mungkin apa yang pernah dikatakan Pram benar adanya, sama persis seperti yang terjadi saat ini, bahwa diluar sana, pasti ada laki-laki lain yang menyukaiku, selain suamiku. Aku selalu menyangsikan hal itu, namun kini aku percaya, bahwa apa ia katakan, benar adanya. Bukan hanya sekedar tentang fisik, tetapi tentang diriku seutuhnya, tentang semua yang ada padaku sebagai seorang perempuan.

Sambil bersantai di dapur, aku merenungkan apa yang telah Sandi ucapkan, dan semua itu memang sangat benar, walaupun melanggar batas privasiku. Sangat wajar jika ia meragukan kedekatanku dengan Pram, karena dia belum mengenal pram seperti aku. Aku memakluminya, walaupun sedikit tersinggung dan kesal karena ucapannya yang terkesan ‘sok tau’ tentang Pram.

Memang benar, usia Pram masih sangat muda, sebuah fakta yang memang jarang terjadi dan tak lazim dikalangan masyarakat, jika menjalin hubungan mesra dengan wanita yang usianya jauh lebih tua darinya.

Sedikit banyak masalah perbedaan usia ini menjadi buah bibir dikalangan umum, menjadi bahan gosip bagi ibu-ibu maupun wanita lainnya.

Tak sedikit hubungan seperti ini yang memang berakhir dengan perpisahan karena adanya pertentangan dari pihak lain, seperti keluarga, maupun orang-orang terdekat.

Sungguh sebuah ironi yang janggal, dimana rasa cinta dibatasi oleh syarat duniawi seperti ini. Bukankan setiap manusia berhak bahagia? Berhak mencintai dan dicintai oleh siapapun tanpa syarat?

Apakah Sandi sedang berupaya untuk menggoyahkan hubunganku dengan Pram? Mungkin saja seperti itu. Namun sekali lagi, aku masih meragukannya, karena Sandi baru saja mengenalku beberapa hari ini.

Tak ada sedikit pun keraguan dalam hatiku tentang sosok Pram. Lelaki muda yang telah menemaniku selama hampir setahun ini telah membuktikan ketulusannya padaku. Tak pernah sedikit pun ia menunjukkan gelagat untuk berlaku seperti yang disangkakan Sandi.

Pram hadir saat aku terpuruk, jatuh ke titik terendah dalam perjalanan hidupku. Ia menemaniku, memberi waktu, memberikan tubuhnya untuk memelukku, melangkah bersamaku untuk kembali bangkit dan menjadi seperti keadaanku yang sekarang.

Semua orang bisa berubah, yang baik bisa menjadi jahat, yang jahat bisa menjadi baik, itulah yang terjadi dalam kehidupan. Itulah fakta yang banyak kujumpai di sekelilingku. Lalu bagaimana dengan Pram? Aku pun tak bisa memastikannya, biarlah waktu yang akan menjawabnya. Namun hingga detik ini, Pram masihlah sosok Pribadi hangat dan penuh kasih sayang terhadapku, dan aku yakin ia melakukan semuanya dengan tulus, bersumber dari hatinya yang penuh cinta. Aku meyakini hal hal ini.

♡♡♡

Entah mengapa, setelah upaya Sandi menggoyahkan hubunganku dengan Pram, hal terbalik justru terjadi padaku.

Aku semakin yakin, bahkan perasaan sayangku pada Pram semakin kuat dan besar. Aku bahkan seperti merasa sedang kasmaran, merindukannya, padahal baru beberapa jam kami terpisah.

Seperti biasa, Pram menjemputku di depan warung saat aku menyelesaikan pekerjaanku. Ketika melihatnya datang dari kejauhan, aku tersenyum sambil melangkah ke arahnya.

Ketika akhirnya kami bertemu, aku langsung memeluknya dengan sangat erat hingga beberapa saat lamanya. Pram pun membalas dengan memeluk erat tubuhku. Kami melakukannya di gang kecil yang sepi itu, tanpa disaksikan oleh siapapun. Pram mengecup keningku sebelum akhirnya melepaskan pelukannya.

“Kok ibu kayak ceria gitu? Baru dateng langsung dipeluk..” tanyanya sambil berjalan disisiku.

“Gapapa, ibu kangen aja sama kamu.” jawabku sambil menyelipkan tangan di lengannya.

Pram tersenyum, sambil menepuk tanganku yang menggandenganya.

“Disini kalo sore emang selalu sepi gini ya Pram?” tanyaku, saat kami memasuki bagian belakang kampus.

“Iya bu, mungkin pada takut lewat sini, soalnya sepi gini.”

Beberapa meter setelah memasuki area belakang kampus, aku melihat gedung yang berfungsi sebagai gudang. Pram pernah membawaku kesana untuk menenagkan diri, setelah insiden pelecehan yang menimpaku beberapa waktu lalu.

“Iya, sepi banget. Serem. Pantesan pada takut lewat sini.”

“Pram, kamu bawa tissue?” tanyaku.

“Enggak bu, kenapa?”

“Ibu mau pipis, tapi tadi lupa bawa tissue.”

“Di kamar mansi lantai 2 aja bu, disana ada kok.”

Pram membawaku menyusuri lorong gedung kampusnya, lalu menaiki sebuah tangga untuk mencapai lantai yang kami tuju. Kamar mandi yang dimaksud Pram berada di ujung, area lantai satu, tempatnya tersembunyi dan sedikit gelap. Sama seperti di lantai dasar, keadaan lantai satu pun telah sepi karena jam perkuliahan telah selesai.

Kamar mandi itu terbagi menjadi dua bagian. Satu bagian untuk wanita, dan yang lainnya untuk Pria.

Layaknya kamar mandi umum, ada beberapa bilik di bagian dalam ruangan kamar mandi tersebut, yang dilengkapi oleh kloset duduk.

“Ya udah, ibu masuk kesana, saya tunggu disini.” kata Pram, sambil berdiri didepan pintu utama kamar mandi untuk wanita.

“Iya.. jangan kemana-mana ya Pram. Ibu takut.”

“Iya.. saya tunggu disini”

“Tolong pegangin tas ibu ya Pram.” kataku sebelum beranjak pergi.

Saat hendak mengeringkan kemaluanku, kulihat gulungan tissue di dinding dwkat closet telah habis. Aku tak memperhatikannya ketika memasuki kamar mandi karena terburu-buru.

Dengan terpaksa, aku melucuti celana dalamku karena merasa tidak nyaman akibat basah, terkena air yang menempel disekitar kemaluanku.

“Tissuenya habis.” kataku sambil menenteng celana dalamku, dan memasukkannya kedalam tas yang dibawa Pram. Pram menatapku terheran-heran .

“Gak ada tissue didalam , jadi abis cebok gak dikeringin. Pas pake celana, rasanya gak enak, risih. Ya udah ibu copot aja” kataku menjelaskan padanya.

Pram tertawa sambil mencubit pipiku.

“BHnya gak sekalian di lepas aja bu?” tanyanya.

“Sayang nakal..” kataku sambil mencubit pinggangya.

Tiba-tiba terbesit pikiran nakalku, apalagi suasana disekitar kami sangat sepi.

Aku kembali masuk kedalam kamar mandi itu dan mengangkat baju terusan yang membungkus tubuhku untuk memamerkan kemaluan dan payudaraku yang masih tertutupi oleh bra. Ia bisa melihatku dengan bebas karena melakukannya diluar bilik kamar kecil, Pram terkejut dengan tindakan nekatku.

Aku memanggilnya dengan gerakan jemariku, namun Pram tampak ragu. Ia tahu, aku ingin bersetubuh dengannya di kamar mandi ini. Sebuah tindakan nekat yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Kami beresiko tertangkap oleh siapapun yang mungkin bisa saja muncul setiap saat di temapt umum seperti ini.

Pram menoleh ke sekitarnya, melihat keadaan disekelilingnya lalu memasuki kamar mandi itu.



♡♡♡ SERI 5 TAMAT ♡♡♡

Kita berjumpa di seri selanjutnya.

terima kasih :rose:
 
Kalo ngeliat dari caranya Sandi, sepertinya dy cuma sekedar sumpatik aja. Dan kayaknya dy juga ga bakalan bisa menerima Rindi seutuhnya. Kyk orang trauma, gampang nge judge orang lain. Tapi trik ini biasanya berhasil bwt ssi. Tapi kalo targetnya Rindi, sepertinya bakalan gagal.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd