Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Teaser for nex series



seorang wanita cantik melambaikan tangan ke arah kami. Celana jeans yang terpotong nyaris sampai dibagian pangkal paha, dengan kacamata hitam dan eraphone yang terpasang ditelinganya, sambil menyeret sebuah travel bag, wanita itu sungguh mempersona, dan mampu menarik lirikan mata orang-orang yang ada disitu, walaupun pakaiannya cukup sederhana dan hanya menggunakan sandal jepit.




Saya usahakan rilis dalam beberapa hari kedepan. Sabar yaaaa :ampun:

mohon maaf sebesar-besarnya karena jarang Online. Pekerjaan di RL bener2 padat merayap :ampun:
 
Teaser for nex series



seorang wanita cantik melambaikan tangan ke arah kami. Celana jeans yang terpotong nyaris sampai dibagian pangkal paha, dengan kacamata hitam dan eraphone yang terpasang ditelinganya, sambil menyeret sebuah travel bag, wanita itu sungguh mempersona, dan mampu menarik lirikan mata orang-orang yang ada disitu, walaupun pakaiannya cukup sederhana dan hanya menggunakan sandal jepit.




Saya usahakan rilis dalam beberapa hari kedepan. Sabar yaaaa

mohon maaf sebesar-besarnya karena jarang Online. Pekerjaan di RL bener2 padat merayap
Dibawa santai aja sist, reallife lebih penting.
 
RINDIANI - SERI 6
Perempuan Lain Yang Mengasihi Lelakiku



Part 1




Pram memasuki kamar mandi itu, tentu saja atas undanganku. Sambil melangkah, ia melayangkan senyum padaku.

“Ibu yakin?” tanyanya sambil memegang pinggangku.

“Diluar ada orang?” tanyaku.

Pram menggelengkan kepala.

Aku merangkul lehernya, lalu melumat bibirnya dengan rakus. Baju terusan yang kukenakan akhirnya kembali terjatuh ke posisinya semula, menutupi tubuhku.

“Nanti di rumah aja ya bu. Jangan disini.” Katanya setelah ciuman kami berakhir.

“Iya deh.. ibu manut kamu aja.” Kataku sambil mengusap kemaluannya.

“Ya udah, pulang yuk, keburu gelap bu.”

Lagi-Lagi kami melihat Sandi dibagian depan gedung kampus. Entah mengapa aku menjadi tak nyaman saat melihatnya, seolah ia sedang menungguku, mengawasiku.

“Pram, langsung pulang aja ya, g usah ngobrol lagi.” bisikku.

Pram mengangguk, lalu merangkul pinggangku dengan mesra.

“Mari Pak, pulang dulu.” sapa Pram sejenak sambil melangkah pelan saat kami melewati Sandi

“Iya, silahkan.” balasnya singkat.

Aku hanya melihatnya sekilas, lalu mengalihkan pandanganku kedepan. Aku ingin ia mengerti, bahwa Pram adalah sosok yang akan selalu menjadi lelaki istimewa di hatiku. Semua ucapannya dalam beberapa hari belakangan hanya menambah perasaan sayangku pada Pram. Dari kejauhan, aku melihat Sandi masih terus memandangiku saat hendak naik keatas motor. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Kuharap Sandi bisa mengerti, dan mulai menjauhiku, atau setidaknya berhenti mengusik kehidupan pribadiku.

Dengan kepribadiannya yang sedikit tertutup, tentu saja akan sangat susah untuk mengenal dan memahami kepribadian Pram. Mungkin hanya beberapa orang saja yang mengenalinya di lingkungan kampus, selain aku.

Aku ingin menceritakan Pada Pram semua tentang Sandi, namun sedikit ragu terhadap responya. Akhirnya kuputuskan untuk menyimpannya sendiri. Aku tak ingin menggangu fokusnya pada kuliah, pada ujiannya.

“Pram, besok ujian terakhir kan?”

“Iya bu.”

“Kita jadi jalan-jalan ke Malioboro?”

“Iya, jadi bu. Pengen refreshing juga.” Katanya sambil melangkah, mengikutiku memasuki rumah.

“Berarti besok, pulang dari kampus, kita mandi, trus langsung jalan-jalan.” Kataku sambil membuka pintu depan rumah dan menutupnya kembali setelah Pram masuk kedalam.

“Iya, terserah ibu, saya ngikut aja.” jawabnya sambil meemeluk tubuhku dari arah belakang.

“Lhoo.. ini kok..??” seruku saat ia menyingkap baju terusan yang kukenakan, hingga ke bagian pinggang dan langsung mengusap kemaluanku.

Aku sedang mengunci pintu, dan tidak memperhatikannya. Ia berhasil mengejutkanku.

“Sayang udah kebelet ya?? Gak sabaran..” gumaku sambil menikmati usapannya disekitar selangkanganku.

Aku masih berdiri menghadap ke pintu yang telah tertutup rapat. Pram tak menjawab pertanyannku, namun satu tangannya mulai bergetak keatas, meremas payudaraku yang masih tertutupi bra.

Hanya sesaat, Pram menuntun tubuhku berhadapan dengannya dan langsung melumat bibirku. Satu tangannya mengarah ke punggungku, lalu melepaskan pengait bra disana, lalu kembali mulai menjamah payudaraku dengan leluasa.

Kupegang kedua pipinya saat ia melepaskan kecupan kami dan memandangi matanya. Hanya sesaat, lalu kembali saling berciuman dengan penuh nafsu.

Kedua tangannya aktif menjamah, namun tampak sedikit terganggu dengan pakaian yang masih menempel ditubuhku.

Kuturnkan ritsleting yang berada dipunggungku, dan hanya dalam sekejap, baju yang menutupi tubuhku meluncur jatuh ke lantai, begitu juga dengan bra yang masih tergantung di dadaku, kulepaskan dan jatuh terserak disekitar kami.

Kini, hanya jilbab yang menutupi kepalaku, namun tubuhku telah telanjang sepenuhnya, tanpa tertutupi oleh sehelai benang pun.

Pram terus mencumbuiku, mengecup leherku bertubi-tubi hingga aku merinding. Kedua tangannya yang aktif meremas payudaraku, membuatku mengerang menahan nikmat. Ia seakan tak memberiku kesempatan untuk bernafas, atau bergerak karena menghimpit tubuhku dengan pintu dibelakangku.

Tiba-tiba terdengar suara motor dari arah depan rumahku. Kedua penghuni kostku yang lain telah pulang dari aktivitasnya.

“Sayang.. ke kamar yuk..” bisikku ditelinganya sambil mengusap kepalanya.

Pram mengabaikanku, bahkan Semakin liar mencumbuiku. Ujung payudaraku lenyap, tenggelam didalam mulutnya, sementara dibawah sana, jemarinya mulai mempermainkan kemaluanku.

Tidak ada yang bisa kulakukan selain berusaha sekuat tenaga menopang berat tubuhku karena kedua kakiku terasa lemas. Lututku goyah karena menahan kenikmatan yang datang bertubi-tubi.

Sambil menahan desahan, aku melepaskan ikat pinggang, berikut kancing celanannya.

Pram benar-benar tak memerdulikanku, ia memfokuskan perhatiannya pada payudaraku, pada kemaluanku.

Lama-kelamaan, lidahnya meluncur turun, terus kebawah, selaras dengan tubuhnya yang menunduk, hingga akhirnya bersimpuh dihadapanku. Untuk beberapa detik lamanya, Pram memandangi kemaluanku, mengusapnya, dan menyibak bibir kemaluanku untuk melihat bagian dalamnya.

Hanya sesaat, beberapa detik, namun cukup terasa lama bagiku. Membuatku tak sabar menanti ia mengerjai kemaluanku dengan lidahnya.

Akhirnya, aku menjambak rambutnya, dan memajukan pinggulku ke arah wajahnya.

“Jilatin.. isepin memek ibu..” pintaku.

Rambutnya kujambak kuat, lalu memajukan kepalanya ke arah kemaluanku. Kedua tangannya mencengkram erat pantatku, sementara lidahnya mulai menjalar, membelai belahan vaginaku.

Beberapa kali bercinta denganku, Pram semakin pintar dan semakin hebat dalam melayaniku, ia seakan paham dengan bahasa tubuhku yang selalu meminta untuk dijamah dan dimanjakannya.

Pinggulku bergerak liar, mengesekkan permukaan kemaluanku dengan mulutnya. Sensasi yang ditimbulkannya begitu hebat, sampai-sampai aku harus menggigit bibirku sendiri demi menahan suara rintihan.

Pram benar-benar membuatku kepayahan. Setelah memberiku tiga kali orgasme pagi tadi, kini ia kembali mengerjaiku. Tubuhku benar-benar kehilangan tenaga karena harus menahan nikmat sambil berdiri.

Pram tidak memperdulikannya, ia sama sekali tak menghiraukanku yang tengah berjuang, walau hanya untuk sekedar berdiri.

Sebagian punggungku menempel erat di pintu, sedangkan pinggang, pinggul, hingga kakiku sedikit condong kedepan, mengejar lidahnya yang selalu mampu memberiku sensasi geli bercampur nikmat di selangkanganku.


Hampir sepuluh menit berlalu, dan Pram akhirnya berhenti mengoralku. Tubuhku bermandikan keringat, begitu juga dengannya. Nafasku memburu hebat, sementara badanku lunglai.

Dari bawah sana, Pram menatapku sambil tersenyum, dan aku membalasnya dengan pandangan mata yang sayu. Aku benar-benar kehilangan tenaga. Bahkan untuk menjambak rambutnya pun aku sudah tak mampu, sehingga tanganku hanya kuletakkan begitu saja diatas kepalanya.

Dengan satu gerakan cepat yang tak mampu kuantisipasi, Pram melahap clitorisku, lalu mengisapnya dengan sedikit keras hingga beberapa saat lamanya. Tubuhku terkejut, bergetar hebat bak dialiri listrik. Aku belum sempat mengubah posisiku, bahkan belum memulihkan tenagaku.

Tak sampai disitu saja, ia bahkan mengirim kedua jarinya memasuki liang kenikmatanku yang telah basah dan licin. Pram sedang mencoba memberiku orgasme pertama di sore ini.

Tujuannya terkabul beberapa detik setelah jemarinya menghujam liang vaginaku. Lututku gemetar sementara pinggulku bergerak liar. Tubuhku mengelinjang hebat seiring ledakan orgasme yang terjadi. Sekuat tenaga aku harus kembali menahan desahanku, menutup rapat kedua bibirku sebisa mungkin.

Dibawah, Pram pun berusaha sekuat tenaga menahan gerakan tubuhku yang liar, aku bisa melihatnya kewalahan menahan, memeluk pinggulku saat wajanya menempel erat di selangkanganku.

Sesaat kemudian, Pram menjauhkan wajahnya dari pangkal pahaku, dan memandangi keluarnya cairan orgasmeku.

Cairan berwarna keruh itu akhirnya menetes, membasahi lantai yang kupijak. Sebagian mengalir, menuruni paha bagian dalam, dan terus meluncur kebawah.


Dengan susah payah aku melangkah ke sofa yang ada di ruang tamu tersebut, dan langsung menjatuhkan tubuhku disana. Rasa-rasanya aku tak sangggup lagi untuk melanjutkan permainan ini.

Pram mendekatiku, bersimpuh di depan sofa dimana aku berbaring, lalu membelai wajahku.

“Lagi..?” tanyanya.

Aku menggeleng pelan sambil mengusap pipinya.

“Lemes banget.” Kataku.

“Tadi di kampus ibu yang minta lhoo..” jawab Pram, lalu tersenyum.

“Iya.. tadi kan pengen banget sayang.. eh taunya gak kuat.”

“Ya udah, ibu istirahat dulu.” katanya sambil membelai kepalaku yang masih tertutupi jilbab.

Aku mengangguk, lalu memejamkan mataku untuk beristirahat.

♡♡♡

Entah berapa lama aku tertidur, ketika kubuka mata, aku mendapati Pram tengah membaca buku di ujung sofa, di kakiku. Tubuhku pun tertutupi oleh selimut.

“Pram, sekarang jam berapa?”

“kayaknya hampir jam delapan bu.” jawabnya sambil menutup bukunya, lalu bersimpuh didepan sofa, tepat dibagian kepalaku.

“Kok kamu gak bangunin ibu sih?”

“Ya gapap, biar ibu istirahat.”

Aku mengintip kedalam selimut yang menutupi tubuhku, dan mendapati tubuhku masih dalam keadaan telanjang. Aku benar-benar nakal, pikirku.

“Kamu udah mandi?” tanyaku.

“Udah bu.”

Perlahan aku bangun, lalu duduk disitu sejenak.

“Ibu mandi dulu ya, kamu terusin belajarnya. Abis mandi, ibu masak. Nanti kita makan sama-sama.”

“Saya udah masak kok bu.”

“Lhoooo..!”

“Sekarang ibu mandi, setelah itu kita makan.” katanya seraya bangkit berdiri dan menarik lenganku.

Aku tak menghiraukannya. Kupeluk erat pahanya dan menyandarkan wajahku disana untuk beberapa saat. Bisa kurasakan tangannya membelai lembut jilbab dikepalaku.

“Mandi dulu bu, keburu dingin lhoo.” Katanya lagi.

Aku berdiri, dan sekali lagi memeluk tubuhnya.

“Makasih sayang.” bisikku di telinganya.

Pram membalas pelukanku dengan sangat erat, sambil menepuk pelan punggungku.

“Iya, sama-sama bu.” balasnya sambil mengecup pipiku.

Aku berjalan mendahuluinya, sambil berusaha melepaskan jilbab yang kukenakan. Tiba-tiba Pram menepuk pantatku,

“Nggemesin..” gumannya sambil menatap pantatku.

Aku tertawa, sambil berhenti melangkah sejenak.

“Sekarang, ini kan udah jadi punya sayang.” Kataku seraya menunjuk pantatku.

Pram tersenyum, lantas meremasnya dengan sedikit keras.

Sambil menungguku mandi, Pram melanjutkan belajarnya di ruang tengah. Sejuknya air yang membasahi tubuhku menghikangkan rasa kantuk dan lelah sepanjang hari ini, namun rasa lapar mulai menghinggapi perutku.

“Pram, kita makan yuk.. ibu laper banget.” kataku seraya mengikat tali kimono handuk yang melingkar didepan perutku.

“Ibu gak pakai baju dulu??” tanyanya setelah melihat aku hanya menutupi tubuhku dengan kimono handuk tersebut, tanpa pakaian dalam.

“Nanti aja, ibu laper banget.”

“ya udah, kita makan sekarang.” jawabnya sambil berdiri lalu melangkah mengikutiku ke meja makan.

Hanya dalam waktu beberapa menit, hampir semua masakan yang disajikan oleh Pram ludes.

“Ibu makannya seperti orang kesurupan.” guman Pram.

“Ga tau, rasanya ibu laper banget. Apalagi masakannya enak.”

Memang kuakui, masakan sederhana yang dibuat oleh Pram sangat enak, sama dengan masakan rumahan lain hasil olahan tangan wanita. Semua bumbu terasa pas di lidahku.

“Kamu jago masak juga yah, bener-bener enak lho sayurnya.” kataku memuji hasil tumisan kacang panjang dan tahu buatannya.”

“Tadi siang ibu gak makan?”

“Makan kok, tapi gak tau kok bangun tidur rasanya laper banget.”

“Ya udah, ibu duduk dulu, istirahat sambil nonton tv. Saya bereskan dapur."

“Enggak.. kamu udah masak. Sekarang ibu yang bereskan dapur. Kamu belajar lagi.” kataku seraya bangkit dari tempat duduk.

Sambil memandangiku membereskan meja makan, Pram tersenyum.

“Kok senyum-senyum gitu sih? Lagi mikirin apa hayoooo?” tanyaku.

“Gak mikir apa-apa kok bu.”

“trus, kok senyum-senyum gitu?”

Pram bangit berdiri, lalu melangkah ke belakang dan memelukku.

“Gapapa kok bu, seneng aja lihat ibu.” gumannya sambil mengecup pipiku, lalu menyandarkan dagu di bahuku.

Kuhentikan sejenak pekerjaanku, lalu menumpangkan kedua tanganku diatas tanganya yang melingkar di pinggangku.

“Makasih udah masakin makanan yang enak untuk ibu.” kataku, lalu mengecup pipinya yang berada tepat disamping wajahku.

“Kalo ibu mau, mulai besok biar saya yang masak setiap malam.”

Sekali lagi aku mengecup pipinya.

“Enggak, kita masak sama-sama, atau ibu aja yang masak buat kamu.”

Kurasakan Pram memperarat pelukannya, lalu mengecup pipiku.

“Ya udah, ibu beresin dapur dulu ya, kamu istirahat.” kataku seraya mengusap kedua tangannya yang melingkar di perutku.

Pram melepaskan pelukannya dan kembali duduk di meja makan, namun pandangannya tak pernah lepas dariku. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya yang sedikit janggal itu, dan mengecup kepalanya sebelum meninggalkannya untuk mencuci piring.

“Besok kita jadi jalan-jala kan?” tanyaku sambil membilas cucian piring di washtafel.

“Iya.., jadi kok bu.. sekalian refreshing..” jawabnya sambil beranjak dari tempat duduk dan kembali memelukku dari belakang.

“Tumben sore ini kok ibu dipeluk terus..??” tanyaku, sambil terus mengerjakan pekerjaanku.

“Gak tau, rasanya pengen aja. Pengen peluk ibu terus..”

Sekali lagi aku mengecup pipinya, lalu melanjutkan pekerjaanku. Setelah itu, Pram membalas dengan mengecup pipiku berulang kali, bahkan hingga aku merasa kegelian.

“Sayang kenapa sih?” tanyaku sambil mengeringkan tangan setelah selesai memcuci piring.

“Gapapa kok bu.. beneran.. ga tau aja sih, rasanya pengen peluk ibu terus.”

Aku berbalik dan menghadap tubuhnya, lalu melingkarkan tanganku di lehernya.

“Mungkin sayang lagi kasmaran sama ibu.” kataku.

Pram hanya tersenyum lalu kembali mengecup pipiku, tubuhku dipeluknya dengan sangat erat.

“kita nonton tv yuk.” kataku.

“Ibu kecapekan?” tanyanya ketika melihatku berbaring dengan kepala beralaskan sandaran tangan di bagian pinggir sofa.

“Enggak kok sayang.. cuman pengen rebahan aja.”

Pram duduk di bagian ujung dan memangku kakiku, lantas mulai memijet bagian telapaknya.

“Pram, ibu gak capek kok. Kamu lanjutin belajarnya ya sayang.” kataku sambil menghidupkan televisi.

“Udah kok bu, udah cukup belajarnya. Kebetulan besok mata kuliahnya gak sulit kok.”

“Ya sudah, makasih ya..”

“Hari ini ibu bener-bener dimanjain banget sama kamu.”

Pram hanya tersenyum, sambil terus memijet.

“Kata Nina, kamu itu pinter, IPnya selalu bagus.”

“Rita juga begitu.” sambungku.

“Itu cuman kebetulan aja kok bu. Saya gak sepintar itu kok.”

“kebetulan itu kalo cuman sekali atau dua kali, tapi kalo tiap semester ya bukan kebetulan. Itu namanya cerdas.” jawabku.

“Dari SD, emang udah pinter ya Pram?” tanyaku.

“Enggak juga sih bu, tapi selalu masuk 10 besar aja dikelas. Kalo pinter ya gak pinter-pinter amat.”

“Nah, kalo Rita itu emang pinternya level dewa bu, dari SD sampe SMA langgnan juara kelas.” lanjutnya.

“Ibu gak nyangka aja, kalian itu pada pinter-pinter. Apalagi Rita. Usil, bawel, tapi ternyata otaknya jempolan.”

“Dia kan beda angkatan sama kalian, tapi kok betah ngumpul sama kalian ya?”

“Rita itu emang satu tahun dibawah kami bu. Dulu awal akrabnya sama Topan. Nah setelah itu ya mulai kenal sama yang lain.”

“Berarti kalian udah saling kenal sejak masuk kuliah ya?” tanyaku.

“Enggak juga sih bu. Semester satu saya belum akrab sama mereka kok. Semester dua, kenalan sama Galang karena sering ketemu di perpus. Nah, dari situ baru kenal sama Topan, Rita, Nina, Deva.

“Berarti dulu waktu semester satu, Pram ga ada temen di kampus?”

“Ya ada sih bu, kenalan waktu ospek fakultas. Tapi ya cuman gitu aja, kenalan doang.”

“Kalo ibu gimana? Dulu punya temen akrab?” tanyanya.

“Waktu SMA sih ada, tapi pas lulus, kita pisah karena dia kuliah di luar kota. Kalo pas kuliah ya gak ada, soalnya ibu jarang ngumpul kayak kalian. Ke kampus cuman buat kuliah, atau ngerjain tugas, udah gitu aja.”

“Ibu gak bosen?” tanyanya.

“Ya kadang bosen juga sih. Tapi ya dijalani aja, namanya juga tanggung jawab.”

“Kalo kamu gimana? Gak kepengen kayak temenmu yang lain? Misalnya main, atau jalan-jalan, atau punya pacar mungkin?”

Pram tertawa, sambil terus memijetku. Kini giliran betisku yang mendapatkan pelayanan tangannya.

“kalo pacar sih enggak bu, masih belum kepikiran aja. Lagian saya juga ngerasa belum siap.”

“Siap apanya sih Pram?”

“Ya masih gini ini. Masih kuliah, belum kerja, padahal kalo pacaran kan bakal butuh biaya. Jalan-jalan, makan-makan, belanja..”

“Iya, kamu bener Pram. Ibu salut sama kamu. Pikiranmu dewasa banget.”

“Gak juga sih, belum dewasa-dewasa amat kok.” bantahnya.

“Tapi, caramu berpikir, caramu memperlakukan ibu, dewasa banget lhoo, padahal kamu lebih muda dari ibu. Ibu senang dan nyaman kok. Malah ibu lebih bahagia lho sekarang.”

“Masa sih?”

“Emang dulu ibu gak bahagia?” tanyanya heran.

“Ya bahagia juga sih Pram, cuman gak sebahagia sekarang. Selama hidup berumah tangga, ibu gak pernah dimanjain suami ibu seperti kamu manjain ibu. Beneran lhooo."

Pram menatapku dengan penuh keheranan.

“Nih, contohnya ya. Hari ini kamu bangun lebih awal, buatin sarapan. Sorenya kamu masakin buat makan malam. Nah, sekarang, kamu malah mijetin ibu.”

“Mungkin menurut kamu, yang kamu lakuin ini hal yang biasa. Tapi bagi ibu, hal ini luar biasa.”

“Gitu ya?” tanyanya lagi.

“Iya. Hal-hal seperti yang kamu lakukan itu menunjukkan kalo kamu bisa mengerti dan mau berbagi tugas dengan pasanganmu. Itu bagus lho Pram, bagus banget buat kehidupan berumahtangga."

Pram nampak memikirkan apa yang baru saja kukatakan.

“Trus dulu, waktu masih sama suami ibu, ibu gak pernah santai-santai kayak kita gini? Ngobrol kek, atau becanda.”

“Cuman pas awal-awal nikah aja sih Pram, kadang ngobrol kayak kita gini. Tapi setelah itu ya enggak lagi, mungkin karena dia capek seharian kerja, jadi ya kita jarang santai begini.”

Pram menggelengkan kepalanya.

“Aneh ya..”gumannya.

“Aneh gimana Pram?” tanyaku.

“Ya aneh aja sih bu. Kerja seharian, capek, pulang ke rumah gak menikmati suasana rumah. Pasti ya makin jenuh, bosen. Coba kalo pulang kerja, santai dulu, paling gak minum teh, atau kopi, sambil ngobrol sama istri, pasti kan asik, enak, bisa meringankan pikiran.”

“Ya mungkin dia capek, dan bingung mau ngobrol apa sama ibu.. jadi ya kalo pulang kerja, cuman mandi, makan, trus tidur. Kadang ya masih ngerjain kerjaan kantor juga.”

Lagi-lagi Pram menggelengkan kepala.

“Dulu sih ibu menganggapnya hal yang biasa aja. Ibu pikir mungkin seperti itulah kehidupan berkeluarga, jadi ya ibu jalani aja.”

“Tapi akhirnya ibu sadar, setelah dekat dengan kamu.”

“Sadar gimana bu? Maksudnya gimana?” tanyanya.

“Ibu sadar, kehidupan berumahtangga yang ibu jalani dulu banyak kekurangannya, dan akibatnya fatal.”

“Ya memang setiap rumah tangga pasti punya masalahnya sendiri, punya kekurangannya sendiri. Tapi rumah tangga ibu dulu emang sangat parah kekurangannya.

“Misalnya apa bu? Contohnya gimana?”

“Contohnya, kayak kita sekarang. Santai, ngobrol. Kamu manjain ibu, dan kadang ibu manjain kamu. Kamu bantuin ngerjain kerjaan dapur.”

“Intinya saling pengertian, saling membantu, saling memahami satu sama lain.”

“Dan hal ini ibu sadari sejak dekat dengan kamu.”

“Emang dulu suami ibu gak pernah minta dimanjain, atau manja-manja gitu ke ibu?”

“Gak pernah.” jawabaku singkat.

“Rugi banget..” gumannya.

Aku tersenyum mendengar ucapannya.

“Padahal udah kerja seharian, capek. Coba kalo di peluk istri, sambil dibelai gitu, pasti nyaman banget, paling gak ya bisa melupakan sejenak beban kerjaan.”

“Mungkin tiap orang beda kali Pram. Dulu suami ibu sama sekali gak pernah gitu. Ya kalo seandainya dia pengen dimanja-manja, pasti ibu manjain, kayak sama kamu. Tapi dia gak pernah.”

“Saya belum menikah sih bu, jadi gak tau gimana kehidupan berkeluarga.”

Aku tersenyum, lalu merentangkan kedua tanganku.

“Sini..” kataku kemudian. Pram merebahkan tubuhnya diatas tubuhku, menyandarkan dagu tepat dibagian dadaku.

“Kamu tau? Kamu itu udah siap, udah pantas untuk jadi seorang suami.” Kataku sambil membelai rambutnya.

“Kalo kamu udah lulus, udah kerja.. kamu pasti makin siap dan matang.”

“Selama ini ibu udah ngerasain semuanya. Kamu bahkan bisa melebihi suami ibu dulu.” sambungku lagi.

Setelah mendengar ucapanku, Pram merebahkan kepalanya disana.

“Rugi banget suami ibu, gak pernah dimanjain kayak gini.” gumannya sambil menikmati usapan tanganku.

“Mungkin dia lebih senang dimanjain Anita.”

Pram terdengar mendengus kesal mendengar jawabanku.

Hampir satu jam lamanya, Pram merebahkan tubuhnya diatas tubuhku. Aku tak keberatan dengan hal itu, sebaliknya, aku merasa senang, merasa bahagia bisa membuatnya nyaman denganku.

“Bu, saya ambil pakaian dulu, buat ke kampus besok.” katanya sambil kembali duduk di ujung kakiku.

“Iya.. ibu tunggu disini..”

Tak seperti biasanya, cukup Lama aku menunggu Pram kembali. Akhirnya kuputuskan untuk melihat keadaannya memalui pintu samping rumah. Pintu kamar Pram sedikit terbuka, kulihat ia sedang mengepel lantai kamarnya.

“Maaf bu, kelamaan. Tadi bersih-bersih kamar dulu, soalnya berdebu.”

“Iya, gapapa kok Pram.”

“Lagian selama ini kamu kan selalu nemenin ibu disini, jadi kamarmu gak keurus.”

“Biarin aja bu, gapapa kok, lagian enakan tidur disini, ranjangnya luas.”

“Cuman itu aja enaknya? Cuman karena ranjangnya luas?” tanyaku lalu tersenyum.

“Sama enak bisa pelukan sama ibu.” Jawabnya malu-malu.

Eantah mengapa, Pram masih saja memiliki rasa malu terhadapku, bahkan setelah hubungan kami sampai sedekat dan seintim ini. Sikapnya ini bukan sebuah kobohongan, karena memang seperti itulah adanya Pram. Aku tersenyum, lalu membuka ikatan kimono di pinggangku dan membukanya. Pram menatap tubuhku yang tak terutupi pakaian dalam.

“Sini.” Kataku sambil merentangkan tanganku padanya.

bersambung

part 2 akan rilis dalam beberapa jam kedepan. Terima kasih :rose:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd