Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Part 4




Jam tujuh pagi lewat beberapa menit, kami telah tiba di kampus Pram. Tidak seperti kemarin, suasana kampus pagi ini sangat sepi, hanya ada satu atau dua mahasiswa yang lalu lalang disana.

Seluruh ujian akhir semester telah berakhir kemarin, dan pastinya, banyak mahasiswa mahasiswi telah meninggalkan kota pelajar, termasuk beberapa teman Pram.

“Aneh ya, biasanya rame banget disini, sekarang sepi.” kataku saat kami melewati lorong didalam gedung kampusnya.

“Udah libur bu, pada pulang kampung masing-masing. Yang gak pulang ya paling liburan ditempat lain.”

“Kamu malah kembali kesini.” kataku lalu tertawa.

“Gapapa kok bu, saya senang lihat kampus ini kalo lagi sepi gini. Suasananya tenang. Asik.”

Di bagian belakang kampus, suasana semakin sepi, tak seorang pun melintas disana, begitu juga dengan gang kecil yang mengarah ke warung tempatku bekerja.

“Nanti sore saya jemput ibu seperti biasa.” kata Pram saat kami tiba di depan warung.

“Iya, ibu tunggu kamu. Kalo gak sempat ya gapapa, nanti kabarin ibu ya..”

“Iya bu.”

Seperti biasa, Pram mengecup keningku, lalu pamit meninggalkanku.

Di meja tempat meletakkan beragam menu makanan, kulihat si ibu sedang menata piring berisi lauk pauk.

“Di kampus sepi banget bu.” kataku.

“Iya mbak, kalo lagi musim libur ya sepi gitu. Ini ibu masaknya juga cuman sedikit, secukupnya saja.”

“Berarti kalo menunya habis, kita tutup ya bu?” tanyaku.

“Iya mbak, biasanya gak sampai jam lima sore. Jam 2 atau jam 3 aja udah habis.”

Selama setengah hari, aku lebih banyak menghabiskan waktuku dengan bersantai di dapur. Suasan sepi sangat terasa, bahkan saat jam makan siang tiba, tidak seramai seperti biasanya.

Beberapa karyawan kampus, dan mahasiswa mahasiswi tetap berkunjung dan menikmati makan siang disana.

Diatara para pengunjung itu, terdapat sepasang pria dan wanita berusia muda, mungkin merupakan mahasiswa mahasiswi yang sedang menuntut ilmu di kota ini.

Mereka tampak mesra dan romantis, hal yang wajar mengingat usia mereka masih muda dan sedang dimabuk cinta. Aku senang melihat keromantisan mereka, seakan melupakan keadaan sekitarnya. Namun tidak ada yang memperdulikan mereka, karena hal seperti ini merupakan sesuatu yang lumrah sebagai Sepasang kekasih.

“Mereka jarang makan disini.” bisik si ibu.

“kalo kesini mesti berdua. Kayaknya mereka udah lama pacaran.” sambung si ibu lagi.

Aku hampir tak pernah melihat mereka berdua makan diwarung ini, sehingga inilah pertama kalinya aku melihat mereka.

“Romantis.” gumanku.

“Biasalah mbak.. anak muda. Lagi mabuk cinta.”

“mereka kuliah dimana bu?”

“Kayaknya dikampus mas Sandi mbak, tapi gak tau juga ya, soalnya ibu jarang lihat mereka makan disini.”

Mereka bercakap-cakap dengan serius sambil menyantap makanannya, namun terlihat si pria lebih banyak diam dan mendengarkan. Entah apa yang mereka perbincangkan, tidak ada yang tahu dan mendengarkan, karena mereka berbicara dengan suara yang sangat pelan.

Jika diperhatikan, usia mereka masih sangat muda, mungkin lebih muda daripada Pram mapun Rita.

Pasca jam makan siang yang tak seramai biasanya, warung kembali sepi, bahkan jauh lebih sepi daripada keadaan pagi hingga siang hari. Hingga jam dua siang, warung nyaris tanpa pengunjung. Beruntung bagi kami, menu makanan yang tetsedia hanya tersisa sedikit. Si ibu pemilik warung telah memperkirakan jumlah masakannya, sehingga tak banyak yang tersisa.

“Mbak, kita tutup aja, makanannya cuman tinggal sedikit.”

“Iya bu.”

Tentu saja aku menyambut gembira hal tersebut, karena bisa bersantai dirumah, atau paling tidak mengerjakan pekerjaan rumah sambil menghabiskan waktu sore ini.

“Saya pamit ya bu.” kataku setelah membantu si ibu membereskan warung.

Sambil melangkah, aku mengecek ponselku, sekedar melihat notifikasi jika ada kabar dari Pram. Anak muda yang telah melekat dan dan menyatu dengan kehidupanku beberapa waktu belakangan ini, berhasil membuatku meriunduinya, padahal baru tadi pagi kami berpisah. Sepertinya aku telah terikat padanya.

Mungkin Pram sedang menghabiskan waktunya dengan si cantik Calya, kakak perempuannya.

Saat melintas di lorong kampus, lagi-lagi aku disuguhi pemandangan yang nyaris sama seperti pagi hari, suasana sepi, dan jauh dari keramaian yang biasanya terjadi di sepanjang lorong.

Hanya ada satu atau dua orang yang terlihat melintas, atau sekedar membaca pengumuman yang tertempel di papan pengumuman mahasiswa.

Sepanjang hari, selama bekerja aku terlalu banyak mengkonsumsi berbagai minuman, sehingga saat melintas di lorong itu, kandung kemihku yang penuh terasa mulai meminta untuk dikosongkan.

Segera kuayunkan langkahku menaiki tangga untuk menuju kamar mandi lantai satu, tempat yang kudatangi kemarin sore bersama Pram.

Suasananya sangat sepi, tidak seorang pun terlihat disana. Aku melangkah pelan, sambil menikmati pemandangan taman kampus yang terletak di bagian tengah, asri dan sejuk suasana dibawah sana.

Baru tiga langkah aku melewati pintu kamar mandi khusus wanita, aku mendengar suara dari arah bilik paling pojok ruangan tersebut.

Jangan dibuka semua yang.” Suara seorang laki-laki.

Antara percaya dan tidak percaya, aku melangkah perlahan, mendekati bilik yang tertutup rapat itu dan mendekatkan telinga ke pintunya. Terdengar suara-suara dari arah dalam, pertanda sedang ada aktifitas didalamnya.

Pikiran kotor segera menyambangiku, apalagi suara pria yang kudengar berasal dari dalam bilik kamar mandi wanita. Suatu keanehan yang hampir tak pernah terjadi.

Perlahan, aku memasuki bilik yang berada persis disebelahnya, menguncinya dengan sanagt pelan, agar tidak menimbulkan suara yang bisa menganggu pengguna bilik sampingku.

Niat untuk buang air kecil perlahan meluap, berganti dengan rasa penasaran.

Harum, wangi banget.” lagi-lagi terdengar suara laki-laki dari arah bilik sebelah.

Rasa penasaran akhirnya menuntunku untuk memantau apa yang terjadi.

Perlahan aku berdiri, memanjat, naik dan berdiri di tepian kloset duduk, lalu memandang kebawah, ke arah bilik itu.

Aku terkejut dengan pemandangan yang kusaksikan. Sseorang wanita sedang duduk diatas kloset dengan paha terbuka lebar, sementara seorang pria sedanga bersimpuh di depannya. Ia sedang mengoral si wanita, menjilat vagina pasangannya.

Tak lain, mereka adalah sepasang remaja yang tadi siang makan di warung tempatku bekerja. Aku mengenali dari pakaian yang mereka kenakan. Mereka tampak asik berduaan, sehingga tak menyadari kehadiranku.

Dan aku benar-benar gila, melakukan kenekatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, seumur hidupku. Namun rasa penasaran mampu mengalahkan rasa gugup dan takut, apalagi aku belum pernah melihat secara langsung orang lain bersetubuh.

Tentu saja hal ini sangat berbeda dengan film porno yang pernah aku lihat di internet, maupun saat melihat kegiatan seks yang kulakukan bersama Pram.

Sejenak aku menarik kepala dan berdiri tegak di atas kloset.

Mereka benar-benar nekat, gila.’ pikirku.

Hanya beberapa saat, aku kembali mengintip. Tampak si wanita sedang memegang kepala pria yang tengah menjilati vaginanya. Ia selalu menunduk, melihat si pria yang tengah mengerjainya sehingga tak mengetahui kehadiranku.

Melihat permainan mereka, aku menjadi terangsang, membayangkan betapa nikmatnya merasakan permainan lidah lelaki di vaginaku. Pram sering melakukannya padaku.

Tanpa sadar, kuraba kemaluanku, yang masih tertutupi celana jeans dan dan celana dalam.

Hampir sepuluh menit si wanita menikmati pelayanan pasangannya, menjilati kemaluannya dengan sangat rakus.

Sesaat kemudian, si pria memasukan jari kedalam liang vagina pasangannya, sambil terus menjilati bagian atas, klitoris.

Lututku gemetar menahan beban tubuhku sendiri, dan kemaluanku pun akhirnya terasa lembab, basah akibat usapanku sendiri. Aku benar-benar menikmati permainan mereka sehingga aku sendiri pun semakin terbakar birahi.

Beberapa menit kemudian, si pria menghentikan permainan oralnya. Aku segera menarik kepalaku dari sana agar tidak ketahuan oleh sepasang kekasih itu.

Terdengar mereka bercakap-cakap, entah apa yang mereka perbincangkan, aku tak mendengarnya begitu jelas karena mereka berbicara dengan suara rendah. Sangat pelan.

Hampir 2 menit kemudian, suasana kembali hening, lalu terdengar suara rintihan yang sangat pelan.

Dengan sangat perlahan, aku kembali mencondongkan kepalaku ke arah ruangan kecil itu lagi dan mendapati si wanita telah duduk diatas panguan pasangannya.

Celana jeans si pria telah melorot hingga kebagian lututnya. Si pria duduk diatas toilet, sambil meremas payudara pasangannya yang duduk berhadapan dengan pintu didepannya. Mereka sedang bercinta!


Nafasku tertahan melihat adegan demi adegan panas itu. Pingul si wanita bergerak naik dan turun dengan irama lambat, agar tak menimbulkan suara yang bisa membuat mereka ketahuan sedang bersetubuh.

Terkadang pinggulnya bergerak maju dan mundur, layaknya sedang menggoyang penis si pria yang tertanam sempurna dalam vaginanya.

Mereka benar-benar gila, larut dalam nafsu birahi yang menggelora. Mereka lupa bahwa mereka sedang melakukannya di tempat umum!

Pakaian si wanita nampak kusut dan terangkat hingga ke bagian dadanya. Celana dalam dan branya tergantung di dinding sebelah kanannya.

Hampir limabelas menit berlalu dan tampaknya si wanita akan mencapai orgasmenya, karena kulihat pinggulnya semakin cepat bergerak dan sangat liar, ia bahkan mengusap kemaluannya sendiri sambil menggoyangkan pinggulnya.

Aku segera menarik kepalaku dari sana dan turun dari atas toilet itu agar mereka tak memergokiku.

Hanya beberapa saat kemudian, kudengar desahan panjang disertai hembusan nafas yang terdengar berat. Nampaknya si pria telah mencapai orgasmenya. Dan mungkin juga bagi si wanita, pasangannya.

Suasana dibilik sebelah kembali tenang, mungkin mereka sedang menikmati orgasmenya.

Beberapa saat kemudian, terdengar kembali percakapan diantara mereka, namun masih sama seperti sebelumnya, tidak jelas terdengar karena suaranya yang pelan.

Aku segera membenahi celana dalamku, dan meninggalkan tempat itu dengan segera. Aku tak ingin terjebak didalam bilik tersebut lebih lama lagi, karena suasana sudah semakin sore.

Aku terburu-buru meninggalkan kamar mandi itu dengan perasaan bercampur aduk. Gugup, senang, takut, dan dilanda birahi, menyelimuti tubuhku.

Aku dilanda gelisah, merindukan persetubuhan dengan lelakiku, Pram.

Aku masih duduk di beranda depan kampus, menenangkan diriku ketika dari kejauhan kulihat Nina berlari kecil kearahku.


“Lho kamu ngapain dkesini?” tanyaku.

“Mau nyari mbak Rindi sama Pram.”

“Emang ada Nin? Mbak kira kamu udah pulang kampung lho.”

“Besok pagi mbak, penerbangan pagi.”

“Nah, trus ada apa nyari mbak sama Pram?” tanyaku lagi.

“Mau minta tolong anterin ke bandara besok subuh mbak. Paling enggak jam setengah lima. Soalnya harus check in sebelum jam 5 pagi.”

“Bisa kok Nin. Nanti mbak yang anterin kamu kalo Pram gak bisa.”

Saat sedang berbincang, sepasang kekasih yang tadi bercinta di toilet lantai satu melintas, melewati kami. Aku sempat melirik kearah mereka.

“Mereka anak kampus sini?” tanyaku.

“Yang cowok kampus sini, gak tau ceweknya kuliah dimana.” jawab Nina.

“Mbak kenal mereka?”

“Enggak, tadi mereka makan diwarung mbak.” jawabku.

Kedua muda mudi itu berjalan kaki meninggalkan kampus, lalu menghilang dari pandangan kami.

“Atau.., biar gampang berangkat besok ini, kamu nginep aja di rumah mbak, sekalian bawa barang-barangmu, biar nanti langsung berangkat ke bandara dari rumah mbak. Gimana?”

“Boleh juga sih mbak, tapi gak ngerepotin mbak kan?”

“Ya enggak lah Nina. Mbak malah senang ada temennya.”

“Benerannnnn?? Bukannya malah ganggu waktunya mbak sama Pram?” goda Nina.

“Kamu ini yah..?!! Bener-bener kayak Rita.” protesku sambil mencubit pelan lengannya.

“Ua udah, kita ke kostku yuk mbak, sekalian beresin barang-barang yang mau aku bawa.”

“Iya, boleh. Sekalian mbak mau pipis, udah kebelet dari tadi.” kataku.

Sambil melangkah meninggalkan kampus, aku mengabari Pram melalui pesan singkat bahwa aku menunggunya di kost Nina.

Hanya beberapa saat kemudian, Pram membalas pesanku dan menyanggupi untuk menjemputku di kost Nina.

Beberapa menit kemudian, kami tiba dikost Nina, sebuah bangunan megah dua lantai yang merupakan kost ekslusive dan terkenal dengan harga yang mahal.

“Mau mbak bantuin packing?” tanyaku ketika kami sampai di kamarnya yang terletak di lantai dua.

“Makasih mbak, biar mbak istirahat aja, pakaian yang mau dibawa cuman dikit kok. Mbak tiduran aja, sambil nonton tv.

“Oh iya, kamar mandinya dimana Nin? Mbak mau pipis.”

“Itu mbak. Buka aja pintunya.” jawab Nina sambil menunjuk sebuah pintu yang masih tertutup, disudut kamarnya.

Harga sewa yang mahal terbayar dengan fasilitas yang memadai, tak heran jika Nina betah tinggal disini. Kloset duduk, shower, kamar dengan AC, springbed, dan ukuran kamar yang lebih luas daripada kost pada umumnya.

Saat kubuka celana dalamku, aku mendapati kemaluanku telah sangat basah, bahkan cairan yang keluar dari vaginaku membuat celana dalamku kotor.


Aku terangsang akibat melihat sepasang kekasih bercinta di kamar mandi kampus.

Kubersihkan kemaluanku dengan air, lalu mengeringkannya sebelum akhirnya dengan terpaksa mengenakan kembali celana dalamku yang kotor itu.

Saat keluar dari kamar mandi, aku mendapati Nina tengah melipat beberapa helai pakaian diatas ranjang, tepat didepan lemarinya yang terletak disisi kiri ranjang.

“Ini baju yang mau dibawa pulang?” tanyaku sambil duduk di tepian ranjang, dekat dengannya.

“Iya mbak.” jawabnya sambil terus melipat beberapa celana pendek yang menurutku terlalu seksi jika Nina kenakan.

“Itu celananya pendek banget, seksi banget.” gumanku.

Nina tersenyum padaku.

“Ini kan buat dikamar aja mbak, gak mungkin aku pakai keluar kamar.” jawabnya sambil memamerkan celana itu padaku.

“Nina pakai jilbab dari kecil ya?”

“Iya mbak, soalnya disana kan wajib pakai jilbab. Tapi kalo disini ya kadang-kadang gak aku pakai, tapi kalo pergi-pergi jauh gitu ya tetap pakai.”

“Iya.. sama kayak Mbak. Mbak juga gitu.”

Nina si manis itu memasukkan pakaian yang telah ia lipat kedalam sebuah tas ransel kecil, berikut handuk dan beragam kebutuhannya yang lain.

“Oh iya, lupa.” gumannya saat hendak menutup tas itu.

Nina membuka laci paling bawah lemari pakaiannya, dan isinya membuatku terperangah, takjub.

“Itu kan..??” kataku sambil melihat beberapa benda yang tergeletak didalam laci itu.

Secepat kilat Nina menutup laci itu. Wajahnya merah padam karena malu.

“Mbakkkkk.. plis jangan bilangin ke yang lain ya..plissss mbak.” katanya sambil merangkul pahaku karena posisinya sedang duduk dilantai.

Aku kasihan melihatnya, tentu saja aku akan merahasiakan apa yang aku lihat, apalagi itu merupakan bagian privasi kehidupannya.

“Iyaa Nina.. udah.. tenang aja, mbak akan jaga rahasia kok.” kataku sambil mengusap kepalanya.

“Janji ya mbak.. Pram juga jangan sampe tau ya mbak.” Pintanya lagi dengan wajah yang masih memerah karena malu.

“Iyaaa Nina. Mbak janji. Mbak gak akan cerita ke siapapun, termasuk Pram.” jawabku dengan serius.

Nina menatapku dengan wajah memelas. Aku benar-benar iba dan kasihan melihatnya.

“Iya.. mbak janji.” kataku sambil megusap kepalanya yang tertutupi jilbab.

Nina masih nampak ragu, matanya terus terus saja memandangku dengan wajah memelas.

“Kita udah sama-sama dewasa lho dek, "kataku sambil mengusap kepalanya.

“Dan hal itu normal kok, wajar.. mbak ngerti kok. Jadi, kamu tenang aja.” lanjutku lagi.

“Ngomong-ngomong, mbak juga sering kok. Tapi pakai ini.” sambungku sambil berbisik dan menunjukkan jemariku padanya.

Aku berupaya meredam kegalauan Nina, berusaha meyakinkannya bahwa seks merupakan hal wajar dan normal untuk semua orang dewasa, termasuk wanita seperti kami. Terlepas apakah wanita berjilbab atau tidak, seks merupakan sesuatu yang alami, suatu kebutuhan yang muncul pada diri orang dewasa.

Sesaat berlalu, dan wajah Nina nampak mulai kembali normal. Upayaku untuk menghibur dan meyakinkannya berhasil.

“Ya udah, itu tadi yang kelupaan buruan diambil, ntar malah lupa beneran lho.” kataku lagi.

Nina tersenyum, lalu memeluk pinggangku dan menyandarkan kepalanya diperutku.

“Makasih ya mbak.” katanya sambil memeluk erat pinggangku.

Nina beringsut, kedepan laci lemari, lalu kembali membukanya.

Ia meraih beberapa bra dan celana dalam lalu meletakkannya diatas ranjang, tepat disampingku. Aku kembali memandangi benda-benda yang sempat membuat Nina malu dan galau. Aku tahu barang-barang itu adalah sexs toy, karena sering melihatnya di berbagai iklan di media massa maupun di internet. Dan Nina memiliki beberapa jenis diantaranya.

“Itu.. boleh mbak lihat?” tanyaku.

“Boleh kok mbak.” jawabnya sambil meraih seluruh koleksi sex toys miliknya dan meletakkannya diatas ranjang, disampingku.

Untuk pertama kalinya, aku melihat benda-benda itu secara langsung, dan memegangnya.

Kuraih sebuah dildo, berwarna merah muda yang menurutku, ukurannya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan penis lelakiku, Pram.

“Ini kamu beli dimana Nin?” tanyaku.

“Pesan online dari luar negeri mbak.”

“Pasti mahal.” gumanku.

“Ya lumayan sih mbak, tapi kalo udah langganan, dapet diskon kok.”

Nina bangkit berdiri dan menutup rapat pintu kamarnya. Sekedar untuk menjaga privasi kami dan benda-benda yang bisa dikatakan sangat privasi ini, agar tidak terlihat oleh orang lain.

“EEHHHH…” seruku saat secara tak sengaja menekan tombol untuk menghidupkan dildo sekaligus vibrator itu. Aku benar-benar terkejut karena getarannya terasa lumayan kuat.

Nina tertawa terbahak-bahak melihat kebodohanku, begitu juga denganku, ikut tertawa geli karena tingkah konyolku sendiri.

Suasana kembali cair karena hal tersebut dan Nina kembali bersikap seperti biasa padaku. Ia tak lagi malu maupun sungkan.

“Lebih gede mana sama punya Pram?” tanyanya saat aku menggengam dildo itu.

“Iihhhh… nakal yah kamuuuuu..!" kataku seraya turun dari ranjang dan duduk disisinya, lalu mencubit pinggangnya.

“Huuuuuu.. biasa aja kaliii mbak.. lagian tadi mbak bilang kita udah sama-sama dewasa.” balasnya.

“Ya udah dewasa sih.. tapi kan..”

“Pasti lebih gede ini.” jawab Nina sambil ikut memegang dildo itu.

“Enggak,..” jawabku spontan.

“Tuuuuuuu kkaaaannnnn….” eeru Nina pelan lalu tertawa terbahak-banahk. Ia berhasil menjebakku dengan permainan kata-katanya.

“NAAAKAAALLLLLLL…!!" seruku singkat sambil kembali mencubit pinggangnya hingga ia meringis kesakitan.

“Ya gapapa sih mbak, biasa aja kok. Namanya juga perempuan normal, seks kan kebutuhan juga.” katanya lagi.

“Iya sih..” jawabku singkat.

“Ngomong-ngomong, cowokmu kuliah juga?” tanyaku.

“Hhmmm.. sebenernya aku jomblo mbak, tapi kalo ditanya temen-temen, aku bilang aja cowokku udah kerja, di kampung halaman sana. Mbak kan tau gimana biadabnya mulut temen-temen kita kalo ngerjain orang.”

Aku tertawa mendengar apa yang ia katakan. Dan hal itu benar adanya. Status jomblo pasti akan menjadi sasaran olok-olok, menjadi bulan-bulanan teman-temannya di kampus, terutama Rita, si ratu usil.

“Pantesan kamu gak pernah ikutan ngerjain Pram kalo lagi bercanda.”

“Iyaa.. soalnya aku sendiri juga jomblo.”

“Emang kamu belum pernah pacaran?” tanyaku.

“Ya pernah lah mbak, dulu pas awal kuliah. Cowokku kuliah di kampus lain. Tapi cuman 8 bulan aja, trus aku diputusin.”

“Kok diputusin?” tanyaku heran.

“Biasalah mbak.. udah dapet perawanku, trus ya pergi gitu aja.” katanya santai.

Aku menggelengkan kepala.

“Ya udah.. gapapa.. yang penting sekarang fokus kuliah, bentar lagi kan juga lulus. Tinggal dikit lagi Nin..harus semangat! Urusan cowok nanri dulu, pikir belakangan.”

“Bener mbak.. lagian gak ada cowok gak masalah.. kan ada ini.” katanya lagi sambil meraih sebuah dildo lain berwarna keabu-abuan. Aku tertawa mendengarnya.

“Iya.. cowok kamu banyak banget.” kataku.

Tiba-tiba Nina berdiri, lalu membuka pintu lemarinya. Di sisi kanan tempat menggantung pakaian, ia menarik keluar sebuah kotak besar, lalu meletakkannya dihadapan kami.

“Ini juga masih ada kok.” katanya sambil membuka kotak itu.

“Gilaaaa…”seruku takjub.

Kotak itu berisi beragam sex toy lainnya. Ternyata Nina memiliki lebih banyak lagi koleksi alat bantu seks daripada yang aku kira.

“Cowokmu banyak banget.” gumanku sambil terkagum-kagum melihat beragam benda-benda tersebut.

“Ini ntar kalo kamu lulus trus dibawa pulang?” tanyaku.

“Ya iyalah mbak.. tapi harus lewat darat. Kalau pakai pesawat pasti ketahuan sama petugas bandara. Kan malu.” jawabnya.

“Ini sih bisa buka toko kalo sebanyak ini.”

“Iihhh.. masa dijual lagi? Mana udah bekas dipakai juga.” jawab Nina.

“Kamu udah pernah nyobain semua?”

“Udah.. kalo abis beli, trus biasanya langsung nyoba, soalnya penasaran.”

Aku menggelengkan kepala. Nina si manis dari privonsi paling barat ini ternyata seorang kolektor sex toys. Aku benar-benar tak menduga hal ini.

“Trus yang paling kamu suka yang mana?” tanyaku lagi.

“Semuanya..! Yang penting bisa bikin puasssss!” jawabnya mantap.

Aku tertawa geli, seolah tak percaya dengan kenyataan yang kudapati tentang sosok Nina.

“Mbak mau nyoba?” tanyanya.

“Eehhhh… enggakkkkk..” jawabku singkat.

“Benerannnnn?? Gak mau nyoba? Enak lhooo mbak..” godanya sambil meraih dildo berwarna merah muda dan memainkan ditangannya.

“Enggakkkk… takut nanti ketagihan.. bisa repot.” jawabku sekenanya.

“Kalo ketagihan kan ada Pram.”

“Haduuuhhhhhhh… Ninaaaaaaa… udah-udah.. beresin semua sebelum Pram dateng.”

Nina tertawa, lalu membereskan beragam koleksi miliknya dan mengembalikannya ketempat semula.

“Mbak, aku mandi dulu ya.”

“Ya udah, mandi sana, keburu Pram dateng lho Nin.”

Sambil menunggunya mandi, aku merebahkan tubuh diatas kasurnya. Terlintas kembali adegan panas dikamar mandi kampus yang dilakukan oleh sepasang kekasih.

Jika saja kemarin Pram tak menolak permintaanku untuk bersetubuh dengannya di toilet itu, mungkin hal yang sama pun akan terjadi pada kami.

Aku beruntung, karena Pram bisa mengendalikan kegilaanku.

Dan Nina, si mahasiswi manis yang ternyata menyembunyikan sisi lainnya dengan sangat baik, sehingga tak seorang pun mengetahuinya. Kecintaannya pada kepuasan seksual membuatbya rela mengeluarkan uang yang banyak, demi mengoleksi berbagai sex toys yang ia inginkan.

Sebuah fenonema yang sangat tak lazim buat seorang hijaber, termasuk diriku, sangat menyukai seks, bahkan tergila-gila dengannya demi memuaskan hasrat yang selalu muncul.

Namun, itulah realita yang terjadi, karena kami juga manusia biasa, memiliki hasrat seksyal yang harus dipuaskan.

Memikirkan semua hal tersebut membuatku kembali bergairah. Aku merindukan Pram, merindukan kemaluannya menghujam vaginaku.

“Pram dateng jam berapa mbak?” tanya Nina selepas keluar dari kamar mandi.”

“Janjinya sih jam 5 Nin.”

“Berati bentar lagi..” katanya sambil melirik jam di dinding.

“Udah gak ada yang kelupaan untuk dibawa pulang?” tanyaku.

“Udah semua kok mbak.”

Ia menutup gorden jendela kamarnya, lalu melepaskan handuk yang melilit di tubuhnya.

“Astagaaaa.. Ninaaaaa. Kamu gak malu apa?? Ada mbak disni lhoo.” Kataku.

“Malu?? Mbak kan perempuan juga.”

Aku mendengus kesal, lalu mengalihkan pandanganku dari tubuh telanjangnya.

Kulitnya putih bersih dan tubuhnya ideal untuk wanita seusianya. Payudara yang nampak masih kencang pun semakin membuatnya terlihat sempurna. Kemaluannya bersih, sama sepertiku, tanpa sehelai pun bulu menutupinya. Ia terlihat begitu sempurna.

Hanya beberapa saat kemudian, ponselku berdering, Nama Pram tertera dilayarnya. Pram telah tiba, menunggu kami di depan kost Nina.

“Jangan ada yang ketinggalan lho Nin.” kataku mengingatkannya.

Nina hanya mengacungkan jempolnya, lalu mengenakan pakaian.

“Pram udah nunggu didepan Nin.”

“Oke mbak.”

Sambil menenteng sebuah tas cangklong, kami meninggalkan kamarnya. Pram sedang berdiri disamping mobil, sambil memandangi kami dari kejauhan.

“Iya.. kayaknya punya Pram lebih gede dari dildo punyaku.” bisik Nina sambil melangkah disampingku.

Aku tak membantahnya, namun sebuah cubitan kembali kulayangkan ke pinggangnya. Nina meringis sambil tertawa keras.

“Kalian kenapa?” tanya Pram heran setelah melihat tingkah kami.

“Enggak kok Pram. Ini lho Nina lagi mabuk.” jawabku sekenanya.

Pram hanya menggelengkan kepalanya, lalu memasukkan tas ransel Nina kedalam bagasi.

Celana jeans yang dikenakan Pram memang sedikit sempit, namun pas di pinggulnya, Nina hanya mengira-ngira, karena kemaluan Pram tidak terlalu nampak dari balik celana jeans itu.

Nina sama seperti Rita, kenakalannya dalam bercanda pun tak kalah jorok dan vulgar. Namun aku hampir tak pernah mendengar ia bercanda seperti ini jika kami sedang berkumpul dengan teman-teman lainnya di kampus. Ia bisa mengendalikan diri, dan menempatkan diri dalam situasi, seperti saat ini.

Aku senang, setidaknya bisa mengenal Nina lebih dekat dan dalam, karena selama ini Nina terlihat sangat pendiam dan sepertinya terutup terhadap orang lain.

“Gak ada yang ketinggalan?” tanya Pram saat kami telah berada didalam mobil dan bersiap berangkat.”

“Oh iyaaa… lupaaa.” seru Nina sambil menepuk keningnya.

“Tuuuhhhh kkaaaannnn..! Ya sudah, buruan ambil sana.” kataku.

Nina bergegas keluar dari mobil dan berlari ke kamarnya.

Hanya beberapa detik kemudian, aku langsung mendekatkan tubuhku pada Pram dan melumat bibirnya dengan sangat lembut.

Pram nampak kaget, namun dengan segera membalas ciumanku. Hampir dua menit lamanya kami berciuman.

“Ibu kangen.” kataku setelah melepaskan lumatan pada bibirnya.

Pram mengecup keningku, sambil mengusap pipiku.

Dari kejauhan kulihat Nina telah kembali, dan dengan gerakan cepat, aku mengecup pipi Pram, lalu membenahi posisi dudukku agar tidak menimbulkan kecurigaan pada Nina.

“Udah… ayo kita berangkat.”

“Emang apa yang ketinggalan?” tanya Pram.

“Biasalah.. perlengakapan cewek.”

“Udah semua? Gak ada yang ketinggalan lagi?” tanyaku sekali lagi.

“Udah semua. Udah beres.” jawabnya mantap.

Kami meninggalkan kost Nina, menuju ke rumahku.

♡♡♡ Seri 6 Tamat ♡♡♡

Sampai jumpa di seri selanjutnya. Terima kasih :rose:
 
Terakhir diubah:
Kasihan juga ya klo mpe jadian Rindi ama Sandi. Kerjaannya memang udah mapan , tapi blm move on.
Benar.. bisa jadi hanya sekedar tempat pelarian aja kan?
Atau mungkin memang Sandi butuh sosok penganti sang mantan agar bisa Move on.

Mungkin aja sih hehehehehe

Makasih ya :rose:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd