Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Part 2


Pram meresponnya dan langsung merebahkan tubuhnya diatasku.

“Ibu juga senang bobo sama kamu sayang.” kataku sambil mengusap pipinya. Wajahnya sangat dekat dengan ujung daguku.

“Ibu gak bosen kan?” tanyanya.

Aku menggelengkan kepala, lalu memajukan wajahku dan langsung melumat bibirnya dengan lembut. Kedua kakiku mengunci pinggangnya dengan erat.

“Malah ibu pengen tiap malam bobonya sama kamu..” bisikku kemudian sambil mengusap kepalanya.

Kini, giliran Pram yang memulai, ia melumat bibirku dengan lembut, seperti yang tadi kulakukan. Setelah beberapa saat, ia melepaskan ciumannya, lalu mengecup payudaraku dan kembali merebahkan kepalanya disana. Cukup lama ia berbaring disana, sambil melihat acara ditelevisi, dan aku setia mengusap kepalanya selama itu.

“Bu, badan saya berat gak?” tanyanya sambil mengangkat kepalanya dan memandang wajahku.

“Enggak kok sayang.. biasa aja.”

Pram kembali merebahkan kepalanya di dadaku, dan kedua tangannya mulai meremas lembut payudaraku. Gerakan jemarinya sangat lembut, namun cukup untuk memntik birahiku. Aku berusaha tenang, sambil terus membelai kepalanya dan menahan rasa geli dan nikmat yang mulai menjalar ditubuhku.

Mungkin saja Pram melakukannya tanpa bermaksud menggodaku, ia hanya melakukannya untuk menyenangkan hatinya, atau saja ia melakukannya tanpa memiliki tujuan apapun.

Lama-kelamaan, satu jarinya mulai menyentuh putingku yang telah mengeras, hingga membuat tubuhku tersentak.

“Sakit ya bu?” tanyanya.

“Enggak sayang.. gapapa kok..”

Pram kembali merebahkan kepalanya, dan melakuannya lagi, meremas lembut payudaraku.

Setelah beberapa saat berlalu, aku tak mampu menahan gejolak dalam diriku. Nafasku mulai memburu, seiring detak jantungku yang mulai berdegup kencang. Sambil menutup mata dan terus membelai kepalanya, aku menikmati permainan halus tangan Pram di dadaku. Aku sangat menyukainya, meresapi setiap tekanan lembut jemarinya di bagian dadaku yang kenyal itu.

Setelah beberapa saat, kurasakan Pram mengangkat wajahnya. Segera kubuka mataku dan mendapati Ia sedang menatapku. Aku yakin, Pram mengetahui bahwa aku telah terangsang. Tubuhnya beringsut naik, mendekatkan wajahnya padaku, lalu dengan lembut mengulum bibirku.

Aku membalas dengan melumat bibirnya, mengulumnya dengan lembut, seperti yang ia lakukan. Kulingkarkan tanganku di lehernya, mendekapnya dengan erat diatas tubuhku.

Hampir beberapa menit lamanya kami menikmati ciuman hangat nan lembut itu, hingga akhirnya Pram menuntunku untuk bangkit dari tidurku. Ia duduk sejajar dengan sandaran sofa dibelakangnya, lalu membimbingku untuk naik dan duduk diatas pangkuannya.

Dengan perlahan, kami kembali saling melumat bibir. Kedua tangannya dengan sigap menlepaskan kimono hamduk yang melekat di tubuhku. Hanya dalam beberapa detik, tubuhku pun kembali telanjang, diatas pangkuan lelaki yang sangat kusayangi.

Sambil terus saling melumat bibir, satu tangannya mulai kembali mengerjai payudaraku, sementara satu tangannya yang lain mulai menjamah kemaluanku.

Posisi dudukku membuat bibir kemaluanku terbuka, dan satu jarinya mulai mengusap belahan vaginaku yang terasa mulai basah.

Berbeda seperti sebelum-sebelumnya, kali ini permainan Pram cenderung lembut, dan sangat lambat. Ia seakan menikmati setiap detiknya, menikmati setiap sentuhannya di tubuhku. Aku masih berusaha sekuat tenaga untuk mengimbangi permainannya, karena kurasakan birahiku meningkat cepat.

Aku terbiasa dengan permainannya yang kasar dan cepat karena seirama dengan nafsuku yang selalu menggebu.

Lumatannya pada bibirku berakhir ketika ia mulai mengalihkan permainannya ke bagian leherku. Kecupan-kecupannya di sekitar leher dan pundakku benar-benar membuaiku. Aku bahkan menengadahkan kepala demi memberinya keleluasaan dalam menjelajahi leherku.

Kecupan itu segera menjadi jilatan-jilatan hangat yang menjalar disekitar pundak, leher, bahkan nyaris sampai ke bagian tengkuk.

Badanku merinding merasakan kenikmatan permainannya yang lembut. Ia bena-benar sedang menikmati tubuhku, dan aku sangat menyukainya. Lidahnya terus menari, merayap di detiap jengkal leherku, terus berputar dan perlahan mulai bergetak kebawah. Ia menyusuri pundakku, lalu mengecup bagian samping dadaku.

Ingin rasanya aku mendesah dan merintih sekeras-kerasnya, karena permainannya benar-benar menguji kesabaranku. Liang vaginaku telah basah dan terbuka lebar karena posisi dudukku yang mengangkang diatas pahanya.

Payudaraku telah tersaji dihadapannya, namun lidah dan bibirnya enggan menyentuh putingku. Dibawah sana, jarinya masih setia menjamah dan mempermainkan vaginaku, namun tusukan jari yang kunantikan tak juga dilakukannya. Pram benar-benar hebat mempermainkanku. Ia membuat tubuhku mengelinjang, merinding, walaupun hanya dengan permainannya yang sederhana, tanpa menyentuh titik-titik ranngsangan yang kusukai.

Hanya beberapa saat, tak sampai limabelas menit, Pram berhasil membuat kemaluanku kembali basah.

Tubuhku melengkung, kepalaku menengadah kebelakang, dengan kedua tangan bertopang pada meja dibelakangku hingga dadaku membusung tepat dihadapan wajahnya.

Pinggulku mulai bergerak perlahan, mengikuti irama permainan jemari Pram diselangkanganku. Ia membuatku penasaran, membuatku menahan amukan gejolak birahiku karena tak kunjung melakukan hal yang kuinginkan, yaitu memasukaan jarinya kedalan liang vaginaku. Aku benar-benar kepayahan dan penasaran dengan hal ini.

Sambil menahan tubuhku, satu tangaku yang lain kugunakan untuk membimbing jemari Pram agar segera memasuki liang kemaluanku, namun justru hal lain yang terjadi. Pram malah membimbing jariku untuk memasuki liang vaginaku sendiri. Ia ingin aku yang mengocok vaginaku.

Tentu saja aku tak menolaknya, aku senang melakukannya, bahkan bukan hanya satu atau dua jari, melainkan tiga jariku sekaligus yang mengunjungi liang vaginaku.

Akhirnya, rasa penasaranku terobati, liang kemaluanku pun semakin basah dan becek akbibat kocokanku sendiri. Hisapan dan jilatan Pram disekujur dadaku semakin menambah kenikmatan untukku, ia mulai mengerjaiku putingku ketika jemariku telah terlalut dalam permainan di vaginaku sendiri.

Tentu saja cara seperti ini membuatku cepat mencapai klimaks, karena aku bisa dengan bebas menyentuh bagian kemaluanku yang menjadi titik-titik kesukaanku. Dan tak butuh waktu lama, tak sampai dua menit kemdian, kemaluanku semakin banyak mengeluarkan cairan lubrikasi hingga menimbulkan suara kecipak ketika aku mengocok vaginaku.

Pram pun semakin intens mengerjai payudaraku. Hisapan dan jilatannya semakin terasa liar dan kasar. Kedua putingku menjadi bulan-bulanan permainannya. Satu putingku dihisap dan dikulum, sementara yang lainnya dipilin, bahkan sesekali dijepitnya dengan sedikit keras menggunakan jarinya. Benar-benar permainan yang luar biasa..!

Pram seolah hanya berfungsi sebagai pembantuku dalam bermasturbasi, membantuku mencapai orgasme yang aku yakin, akan terjadi sebentar lagi.

Hanya beberapa saat berlalu, kocokan cepat yang kulakukan pada liang kemaluanku sendiri berbuah orgasme. Aku mendesah pelan, disertai tubuhku yang bergetar saat akhirnya aku mencapai klimaks.

Tiga jariku tertanam sempurna dalam liang vaginaku, menahan keluarnya cairan kenikmatan dari dalam tubuhku. Satu tangan yang menopang tubuhku goyah, dan dengan gerakan cepat, pram merangkulku, memelukku agar tak rebah keatas meja dibelakangku.

Aku memeluknya begitu erat, sambil menikmati orgasme yang baru saja terjadi. Tubuhku bergetar dalam pelukannya.

♡♡♡

Hampir 30 menit aku menikmati pelukan di pangkuannya, menikmati usapannya di sekujur punggungku.

“Bu..”

“Eemmm..” jawabku sambil terus mendekap tubuhnya, menyembunyikan wajahku dibelakang lehernya.

“Ibu tidur?”

“Enggak..”

“Kita istirahat yuk.” ajaknya.

“Nanti.” jawabku singkat sambil mengeratkan pelukanku.

Aku masih ingin menikmati pelukan tubuhnya, mengistirahatkan tubuhku setelah meraih orgasme ke empat dalam sehari ini. Aku hanya ingin menikmati moment tersebut.

Hampir 15 menit kemudian, akhirnya aku melepaskan pelukanku, lalu memandang wajah Pram.

“Terima kasih,” kataku, lalu mengecup keningnya.

Pram membalas dengan mengecup keningku, lalu memelukku dengan erat. Seperti hari-hari yang telah kami lalui, malam-malamku tak lagi kelam dan sepi karena Pram selalu hadir dan menemaniku.

Sisa malam itu aku tertidur dengan lelap dalam hangat pelukannya, hingga pagi menjelang.

Seperti biasa, aku terbangun saat adzan subuh berkumandang. Disisiku, Pram masih terlelap dengan damai. Kukecup keningnya sebelum beranjak dari tempat tidur, untuk memulai hari.

Saat keluar dari kamar mandi, aku mendapati Pram masih tertidur pulas.

“Pram.. sayang.. bangun yuk.. udah pagi..” kataku sambil mengusap pipinya dan duduk di tepian ranjang.

Perlahan Pram sedikit membuka matanya, lalu bergeser ke arahku dan memeluk pinggangku. Kepalanya di rebahkannya dipangkuanku sementara tangannya melingkar di pinggangku.

“Ya ampunnn… manjanya pacar ibu ini..” kataku sambil mengusap kepalanya.

Beberapa saat kemudian, Pram membuka matanya dan menatapku.

“Mandi.. udah pagi lhooo.” kataku.

“Ibu udah mandi?”

“Iya.. barusan aja selesai.” kataku seraya membenahi handuk yang melilit tubuhku.

Pram bangun dari tidurnya lalu duduk di tepian ranjang bersamaku.

“Masih ngantuk ya?” tanyaku sambil mengusap punggungnya.

“Enggak bu.. cuman rasanya males mau mandi.”

Aku tertawa mendengar jawabannya.

“Harus mandi dong sayang.. nanti kan mau ujian. Masa ke kampus gak mandi?”

“Iya bu..”

Setelah beberapa saat, akhirnya Pram beranjak menuju ke kamar mandi. Samar-samar kudengar Pram bernyanyi di kamar mandi, suatu hal yang membuatku tertawa sendiri di pagi buta.

Aku sedang menyisir rambutku didepan meja rias ketika akhirnya Pram keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat segar.

“Nah.. kalo gini kan kelihatan segar, makin ganteng..” kataku sambil melihatnya melalui cermin di hadapanku.

“Ibu juga makin cantik.. kelihatan kayak anak kuliahan.” balasnya.

Aku tertawa mendengar Pram mengatakan hal itu.

“Gombal..” bisikku sambil melangkah menuju ke lemari untuk memilih pakaian yang akan kukenakan hari ini.

“Bukan gombal lhoo.. tapi emang beneran cantik kok.” katanya sambil memelukku dari belakang.

“Makasih sayang..” kataku sambil menutup lemari yang juga terdapat cermin didepannya.

Aku bisa melihat pantulan tubuh kami disana. Sebuah awal hari yang indah, bisa merasakan perlakuannya yang manis dan romantis. Pram selalu mampu membuat hatiku berbunga-bunga, menceriakan hari yang kulewati.

“Kita pakai pakaian, trus buat sarapan.. oke??” kataku.

Pram menagngguk, lalu melepaskan pelukannya dan membiarkanku kembali memilih pakaian yang ada di lemari.

“Hari ini ujian terakhir lho Pram, semangat ya.” kataku ketika kami sarapan bersama.

“Iya bu.. masih semangat kok.”

“Nanti malam kita jadi jalan-jalan ke malioboro kan?”

“Iya.. jadi kok bu. Moga aja gak hujan.”

Sepanjang hari itu kulewati dengan penuh semangat, karena mengingat rencana kami untuk menikmati malam di Malioboro.

“Mbak Rindi, hari ini kelihatannya ceria sekali.” Kata Sandi yang ikut menikmati makan siang diwarung.

“Enggak mas, biasa aja kok.” kataku seraya meletakkan minuman pesanannya.

“Pram masih ujian?”

“Iya mas, mungkin sebentar lagi selesai, terus makan siang disini.”

Tidak seperti kemarin, hari ini pengunjung warung cenderung lebih sedikit, karena banyak mahasiswa yang telah menyelesaikan ujiannya dan pulang ke kampung halamannya masing-masing. Imbasnya, pekerjaanku pun jauh lebih sedikit dan lebih banyak waktu untuk bersantai.

“Mbak Rindi udah makan siang? Kalo belum, kita makan sama-sama.” kata Sandi.

“Iya mbak, sekalian temenin mas Sandi makan. Ini warungnya juga sepi kok mbak.” Kata si ibu pemilik warung.

“Iya bu.”

Akhirnya, aku menikmati makan siang bersama Sandi karena tak memiliki alasan untuk menghindari ajakannya, apalagi ibu pemilik warung pun memperbolehkanku untuk bersantai sejenak.

“Mungkin semester depan, Pram sudah bisa mulai mengerjakan skripsi.” kata Sandi.

“Ya Syukurlah kalo gitu Mas, biar bisa cepat lulus.”

“Pasti lulus, saya tahu dia anak yang cerdas.”

“Aminnn..” jawabku.

“Ngomong-ngomong, kalo boleh tahu, mas Sandi udah lama ngajar di kampus ini?” tanyaku.

“Sudah lima tahun mbak.”

“Sebelumnya saya juga pengajar di salah satu kampus di jakarta, tapi karena ada satu dan lain hal, saya memutuskan pulang kampung. Dan sampai sekarang inilah saya mengajar disini. Kota ini kampung halaman saya.”

“Wah.. pernah di ibukota juga ya mas? Padahal setahu saya, UMR disana kan tinggi, kok malah pulang kesini yang UMRnya lebih kecil."

Sandi tertawa renyah.

“Pulang karena Asmara mbak. Urusan hati. Tapi sudahlah, itu Cuma cerita masa lalu yang sedikit pahit.”

“Ohh, maaf ya mas.” Kataku dengan perasaan yang tak enak hati.

“Gapapa kok mbak, saya sudah melupakannya. Mungkin mbak udah denger ceritanya dari orang-orang disini.”

“Ya denger dikit sih Mas, kayak gosip-gosip gitu."

“Sebenarnya bukan sekedar gosip sih mbak, tapi memang kenyataannya seperti itu.”

“Maaf ya mas, kalo boleh tahu, kok bisa dia ninggalin mas?” tanyaku berterus terang.

“5 tahun lalu, saya masih di jakarta, jadi hubungan kami sempat renggang. Karena saya ingin memperbaiki hubungan kami, akhirnya saya memutuskan untuk pulang kesini, agar bisa dekat dengannya. Tapi kenyataannya ternyata berbeda dengan apa yang saya harapkan.”

“Selama saya di Jakarta, dia menjalin hubungan dengan laki-laki lain, hingga akhirnya memilih untuk pergi bersama laki-laki itu.” sambungnya.

“Kejadiannya 4 tahun lalu Mbak. Dan laki-laki yang merebutnya dari saya adalah teman saya, saya kenal baik dengannya.”

Aku hanya bisa termenung setelah mendengarkan cerita Sandi. Hampir sama dengan apa yang kualami, sebuah pengkhianatan atas cinta.

Sandi tersenyum, sebuah senyum yang terlihat seperti sebuah ironi jika mendengar apa yang telah ia ceritakan.

“Saya terlalu mudah untuk percaya seseorang, dan akhirnya, ya seperti inilah keadaanya.” sambungnya.

“Sekarang mereka udah nikah?” tanyaku penasaran.

“3 tahun lalu mereka menikah, itu kabar terakhir yang saya dengar.”

Aku menghela nafas, membayangkan betapa sakit dan hancurnya hati Sandi saat melewati semua itu.

“Dan karena peristiwa itu, sampai sekarang mas masih belum mencari pendamping hidup?”

Sandi mengangguk, lalu meneguk sedikit air putih di hadapannya.

“Sulit untuk melupakan mantan tunangan saya itu mbak. Dia cinta pertama saya, dan kedua orang tua saya sangat menyukainya.”

“Saya sudah berusaha untuk melupakannya, tapi memang sangat sulit.” sambungnya.

Jika dibandingkan dengan Sandi, hidupku sedikit lebih beruntung karena tak tenggelam dalam kubangan kesedihan dan kesepian seperti yang ia alami. Aku memiliki orang tuaku, memiliki Nova, dan Pram yang selalu setia menemani dan memberiku semangat.

“Mas gak cari pengantinya?” tanyaku.

Lagi-lagi Sandi tertawa.

“Sedang berusaha mencari penggantinya mbak, tapi saya sadar, tidak akan mudah untuk menemukan penggantinya. Bagi saya, urusan perasaan harus dijalani penuh dengan keseriusan dan komitmen kuat, karena saya mencari pendamping seumur hidup, bukan hanya untuk sesaat.” jawabnya.

Tepat saat Sandi selesai berbicara, Pram dan rombongan teman-temannya datang.


bersambung

part 3 akan rilis dalam beberapa jam kedepan. Terima kasih :rose:
 
part 3




“Mbak Rindiiiii… aku kangennn..!” teriak Rita, lalu memelukku dari belakang.

“Eh, ada Pak Sandi..” sambungnya lagi dengan malu-malu.

“Makhluk aneh.. yang kangen itu harusnya Pram, bukan kamu.” gerutu Galang.

“Eh, sandal jepit, ngapain sih sirik mulu?” balas Rita.

Dan mulailah mereka membuat keributan, membuat suasana warung yang tadinya sepi berubag menjadi ramai.

“Cukup… Stooppppp..!” seruku.

“Sekarang kalian ambil makanan. Minumnya mau pesan apa?” tanyaku.

Satu persatu mereka menyebutkan minuman pesanannya, lalu kembali duduk bergerombol.

“Ya sudah, mbak buatin minumannya dulu. Inget.. makan dulu, jangan bertengkar..” kataku lagi.

Sandi pun pamit, dan kembali ke kampus.

Sambil membuat minuman pesanan mereka, lagi-lagi aku mendengar kegaduhan dari arah depan. Tak lain dan tak bukan, suara Rita yang menjadi pemecah keheningan. Aku hanya bisa amenggelengkan kepala.

“Lhoo Pram, kok makannya dikit banget sih?” tanyaku saat melihat makanan di piring Pram, sambil meletakkan minuman diatas meja.

“Gapapa bu, masih belum terlalu laper kok.”

“Aku juga makannya dikit lho mbak Rin, tapi gak di tanyain.” sahut Nina.

“Kumat..” guman Topan pelan.

“Biarinnn… sirik..!” balas Nina.

Pram, Galang dan Deva tertawa, begitu juga dengan Rita. Sedangkan Nina melanjutkan makan dengan wajah cemberut.

“Hari ini, ujian kalian udah selesai ya?” tanyaku.

“Iya mbak. Udah rampung. Tinggal liburnya doang.” jawab Galang.

“Saatnya pulang kampung.” Timpal Nina.

“Iya, udah kangen rumah.” sambung Rita.

“Kalo kalian pulang, pasti warung gak rame lagi.” kataku.

“Cuman seminggu doang kok mbak, lagian Pram kan gak pulang.” jawab Nina.

“Asik tuh.. bisa libur bareng, bisa anu..” sambung Rita.

Lagi-lagi Rita memulai keusilannya, sementara Pram hanya menggelengkan kepala, seperti biasanya.

“Ni anak, udah paling kecil, tapi otaknya paling hancur.” guman Deva yang sedari tadi hanya diam.

Rita hanya tertawa, bersikap masa bodoh.

Warung sepi pengunjung pasca jam makan siang, bahkan keadaan ini bertahan hingga kami tutup. Beruntung, si ibu hanya memasak makanan dagangan hanya sedikit, secukupnya sehingga tak tak banyak yang tersisa. Seperti yang sudah-sudah, Pram menjemputku didepan warung.

“Bu, kita gak jadi jalan-jalan. “ katanya sambil menggandeng tanganku dan melangkah meninggalkan warung.

“Lho kenapa? Kamu capek? Pengen istrirahat aja dirumah?”

“Enggak bu, tadi kakak saya telpon, minta dijemput dibandara, jam 6 pesawatnya sampai disini.”

“Ya, gak apa-apa kok Pram.”

“Kapan-kapan kalo ada waktu, kita masih bisa jalan-jalan ke malioboro.”

“Maaf ya bu. Saya gak tau kalo kakak saya mau liburan disini.”

“Gapapa kok Pram, beneran gapapa.”

“Sekalian ibu juga pengen kenalan sama keluarga kamu.” sambungku.

“Iya bu, orangnya baik kok, cuman rada bawel aja.”

Aku tertawa mendengar ucapannya. Jika Pram memiliki karakter pendiam, mungkin saja sang kakak bawel seperti yang ia katakan.

“Kita pulang dulu, atau langsung ke bandara bu?”

“kita langsung ke bandara aja Pram, kalo pulang dulu, nanti malah gak sempat lhoo, telat jemputnya.”

“Iya bu, makasih ya bu.”

“Iya.. sama-sama sayang.” Suasana bandara internasional kota pelajar nampak ramai, apalagi menjelang perayaan natal dan tahun baru. Ratusan, mungkin bahkan ribuan wisatawan domestik dan intrrnasional memenuhi tempat tersebut. Aku dan Pram duduk di sekitar pintu keluar area kedatangan, untuk menanti sang kakak, yang sebentar lagi akan mendarat.

“Kakak kamu pernah ke jogja?”

“Dulu dia kuliah S1 disini bu.”

“Oohhhh… berarti udah tau kota ini dong.”

“Iya bu, 4 tahun disini. Trus lanjut S2 di jakarta.”

“Waahhh.. kakak kamu S2 ya? Hebattt banget.” gumanku.

“Gak kok bu, biasa aja. Malah ibu lebih hebat. Udah punya Nova.”

“Kakak kmau belum nikah??”

“Belum bu..”

“Mungkin masih pingin bebas Pram, masih pingin meniti karir.” jawabku.

“Iya, tapi dia gak inget umur bu.”

“Masa mau jadi perawan tua dulu baru nikah?”

“Ya gak gitu juga Pram. Mungkin belum ketemu cowok yang tepat, yang bisa buat dia jatuh cinta.”

Pram hanya menghela nafas panjang.

“Dia bilang saya duluan nikah, baru dia mau nikah.”

Aku tertawa mendengarnya.

“Berarti masih lama dong, kamu lulus aja belum.” kataku.

“Orangbtua saya udah nyerah sama dia bu. Tiap kali disuruh nikah, cari temen cowok, dia malah ketawa aja.”

“Ya mungkin kalian harus sabar. Menikah itu gak mudah lhoo. Kalo belum siap ya sebaiknya jangan di paksakan.”

Suara pengumuman melalui pengeras suara terdengar, pesawat yang ditumpangi oleh sang kakak telah mendarat.

Aku dan Pram berdiri diantara kerumunan para penjemput lainnya yang menanti kedatangan para penumpang pesawat tersebut. Cukup lama kami menanti, hingga akhirnya seorang wanita cantik melambaikan tangan ke arah kami.

Celana jeans yang terpotong nyaris sampai dibagian pangkal paha, dengan kacamata hitam dan eraphone yang terpasang ditelinganya, sambil menyeret sebuah travel bag, wanita itu sungguh mempersona, dan mampu menarik lirikan mata orang-orang yang ada disitu, walaupun pakaiannya cukup sederhana dan hanya menggunakan sandal jepit.


“Pram, itu kakak kamu?” tanyaku pelan.

Pram mengangguk.

“Cantik bangeetttt..” gumanku.

Pram menatapku heran.

“Pram.. apa kabar sayang?” tanya wanita itu, yang tak lain adalah sang kakak sambil memeluknya erat.

“Baik mbak, sehat. Mbak sehat?”

“Iya, sehat kok.”

“Hhmmmmm.. ini?” tanyanya pada Pram sambil menunjuk kearahku.

Aku berdiri disamping, sedikit tersembunyi dibelakang Pram.

“Oh iya, ini ibu Rindi mbak, ibu kost saya.” kata Pram.

Aku mengulurkan tangan untuk bersalaman dengannya. Ia menyambut uluran tanganku.

“Rindi.”

“Calya.” katanya sambil menjabat erat tanganku.

Calya memang benar-benar wanita cantik, apalagi ia berpakaian cukup seksi sehingga menjadi santapan mata lelaki yang kebetulan berada disitu. Namun Calya tak peduli, ia terlihat sangat percaya diri melangkah disisi kami.

“Mbak nginep dimana?” tanya Pram.

“Inna Garuda.” katanya singkat.

“Malioboro.” guman Pram.

“Iya, kangen sama Malioboro.” jawab Calya.

Perbincangan sesaat itu mengantarkan kami hingga ke area parkiran.

“Kamu udah beli mobilnya?” tanya Calya pada Pram.

“Belum mbak.” jawab Pram sambil menggelengkan kepala.

“Ini..?”

“Ini mobil bu Rindi.”

“Oohhh.. maaf.. makasih ya mbak Rindi, udah jemput saya.” kata Calya padaku.

“Iya, sama-sama mbak Calya.”

“Jangan panggil Calya, kepanjangan lho mbak. Cukup panggil Aya aja.” Katanya sambil membuka pintu mobil di depan, disamping Pram.

Calya memang pernah menghabiskan 4 tahun waktunya disini, namun kekagumannya pada suasana kota pelajar ini tetap terjaga.

“Masih belum banyak yang berubah.” gumannya sambil melihat pemandangan diluar kaca jendelanya.

“Ya masih gini-gini aja kok mbak, cuman tambah macet aja.” jawab Pram.

“Iya, dulu gak seramai ini lhoo. Sekarang kok makin banyak motor.”

“Soalnya banyak mahasiswa yang pakai motor mbak.” kata Pram.

Aku hanya bisa mendengar percakapan kakak beradik itu, tanpa berani ikut terlibat didalamnya karena masih sungkan terhadap Calya.

“Mbak Rindi, selama ini Pram nakal gak?” tanya Calya sambil menengok kebelakang, ke arahku.

Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu, layaknya pertanyaan tentang prilaku seorang anak kecil.

“Enggak Mbak, Pram baik kok, rajin belajar juga.” kataku.

“Sudah kuduga..” jawab Calya singkat.

Calya kembali melayangkan pandangannya keluar jendela, menikmati hiruk pikuk penghuni kota pelajar yang seakan tak pernah lelah bergeliat.

Sesekali wanita cantik itu berguman pelan, seolah takjub dengan apa yang ia lihat. Calya sedang bernostalgia, mengulang lagi menapakkan kakinya di kota pelajar.

“Mbak disini sampai tahun baru?” tanya Pram.

“Enggak.. papah mamah maunya gitu, disuruh nemenin kamu disini. Tapi mbak gak mau. Mbak mau pulang aja. Disini cuman 3 hari aja.”

Pram menggelengkan kepalanya.

“Kamu sih gak pulang. Makanya Mbak disuruh nengokin kamu.”

“Liburnya cuman seminggu mbak. Daripada buang uang buat beli tiket, mending libur disini aja.” jawab Pram.

“Kamu ini yaaa…. Mbak kan udah bilang, kamu gak perlu mikirin masalah uang. Mbak yang urus semuanya.”

Pram hanya diam, tak melanjutkan pembahasan hal tersebut. Dari percakapan singkat itu, aku semakin mengenal Pram, setidaknya aku tahu bahwa ia sangat matang, penuh pertimbangan dalam menggunakan uang.

“Atau kamu mau ikut mbak pulang? Kalo mau, mbak beliin tiket sekalian.” tanya Calya.

“Enggak mbak. Makasih, libur disini aja.” Kata Pram.

Tak terasa, akhirnya kami tiba di hotel tempat Calya menginap.

Aku dan Pram mendampinginya mengurus administrasi dan pembayaran di bagian depan hotel.

“Ok, selesai. Kita ke kamar yuk.” ajak Calya pada kami.

Inilah pengalaman pertamaku menginjakkan kaki di hotel yang mewah ini. Aku belum pernah sekalipun ketempat ini, apalagi menginap disini.

“Kita makan dulu ya, abis itu baru kamu pulang.” Kata Calya setelah kami sampai di sebuah kamar, di lantai 5.

“Mbak Rin, kita makan dulu ya. Gapapa kan?”

“Iya mbak, gapapa kok.”

Sambil merebahkan tubuhnya di sofa, Calya memegang keningnya.

“Pram, tolong belikan Mbak obat sakit kepala ya. Yang biasanya itu. Sekalian sama obat tidur.”

“Iya mbak.” jawab Pram.

“Bu, saya tinggal dulu sebentar ya.” kata Pram padaku.

“Iya, silahkan.”

Setelah kepergian Pram, Calya beralih ke jendela kamarnya, memandangi pemandangan kota pelajar di senja hari.

“Akhirnyaaaaa… bertemu jogja lagi.” katanya sambil merentangkan tangan, lalu kembali duduk di sofa bersamaku.

“Selama Pram kost ditempat mbak, dia gak nakal kan?” tanyanya.

“Udah hampir setahun dia kost ditempat saya mbak. Saya gak pernah denger atau lihat Pram macem-macem. Dia baik kok mbak.”

Calya mengela nafas panjang.

“Dia memang seperti itu. Gak berubah..” gumannya.

“Memangnya Pram kenapa mbak?” tanyaku heran.

“Saya udah kontak rumah untuk dia selama tiga tahun ini. Tahun lalu dia gak mau lagi tinggal disitu, katanya harga kontrakannya naik, jadi lebih mahal.”
"Pram menghubungi orang tua kami dan mengatakan bahwa dia telah mendapatkan kost yang bagus dan murah. Kabar itu akhirnya sampai ke telinga saya. Saya percaya Pram, oleh karena itu, saya bersedia membayarkan kost barunya itu, walaupun saya belum melihatnya secara langsung."

“Uang bukan masalah bagi saya, yang Penting Pram bisa hidup dengan baik disini, bisa nyaman dan tenang dalam studinya.”

“Mbak jangan khawatir tentang studinya. Selama ini dia selalu meluangkan waktu untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas kampus.” jawabku.

“Iya, saya yakin dia begitu. Hanya saja, saya selalu mengkhawatirkan dia, begitu juga dengan orang tua kami.”

“Khawatir gimana mbak?” tanyaku heran.

“Dia itu pribadi yang tertutup, bahkan terhadap saya maupun terhadap kedua orang tua kami. Dia gak pernah mengeluh, atau meminta sesuatu, sekecil apapun.”

“Dia hanya menerima, namun menerima sesuatu sesuai keperluannya. Jika berlebihan, ia akan menolaknya.”

“Maksudnya gimana mbak?” tanyaku.

“Pram saya bekali dengan ATM milik saya, dan jumlah uang di tabungan saya berkurang sangat sedikit setiap bulannya. Saya tahu, karena buku rekening itu ada pada saya.”

Calya menggelengkan kepalanya.

“Saya memberi dia sejumlah uang, untuk membeli mobil buat dia. Tapi dia hanya membeli sepeda motor, dan sisa uangnya ia kembalikan.” sambungnya lagi.

“Bahkan mungkin, pakaiannya pun masih sama dengan pakaiannya beberapa tahun lalu.” gumannya lagi.

Aku mendapatkan begitu banyak pengetahuan tentang kepribadian Pram, dan semua itu semakin membuatku kagum padanya.

“Orang tua kami selalu mengkhawatirkan dia, karena dia tidak pernah mengeluh, atau meminta sesuatu. Pram selalu tertutup pada kami.”

“Selama kost di tempat saya, Pram memang terlihat sederhana mbak. Gak pernah keluar-keluar kost buat main, atau jalan-jalan. Dia memang pendiam, tapi sopan mbak, orangnya ramah.” kataku.

Calya tersenyum sambil memandangku.

“Itulah Pram. Dia satu-satunya saudara saya. Dan dia tidak pernah sekalipun menyusahkan saya, atau merepotkan kedua orang tua kami.”

“Saya pernah berjanji pada diri saya sendiri, kalo suatu saat nanti Pram meminta sesuatu dari saya, saya akan berusaha untuk memenuhinya. Apapun permintaannya.” kata Calya.

“Kecuali kalo dia minta saya nikah duluan, akan saya tolak.” katanya lagi lalu tertawa.

Aku pun tertawa bersamanya.

Perbincangan kami terputus saat terdengar suara ketukan dari arah pintu. Parm muncul dibaliknya saat pintu itu terbuka.

“kita pesan makanan dulu, abis itu kalian boleh pulang. Istirahat.” kata Calya lalu meraih telpon sambungan kamar hotel dan memesan menu makanan.

Sesekali aku melirik Pram, lelaki yang baru saja kami bicarakan. Dalam hatiku aku merasa bangga dan bahagia bisa bertemu dengannya, bisa berkenalan, bahkan berhubungan sangat dekat dengannya.

“Oh iya, mbak Rindi, kalo saya sewa mobil mbak selama saya disini gimana? Boleh?” tanya Calya.

“Kok disewa?? Gak perlu mbak. Mbak boleh pakai mobil saya. Gratis. Gak perlu sewa-sewaan.” kataku.

“Ya gak bisa gitu dong. Bisnis ya tetap bisnis mbak.”

“Enggak mbak. Mbak boleh pakai mobil saya, nanti biar Pram yang jadi supirnya.”

“Sippp… kalo begitu, besok jemput mbak jam 9 ya Pram. Mbak pengen jalan-jalan keliling kota.” kata Calya.

“Iya mbak.” jawab Pram singkat.

Sambil menikmati makan malam bersama mereka, aku disuguhi oleh pemandangan hangat pertemuan kedua kakak beradik yang tak bersua hampir selama setahun. Obrolan seputar kedua orang tua mereka, kedaan kampung halaman, maupun keadaan ibukota tempat Calya bekerja menjadi topik perbincangan yang hangat.

Waktu hampir menunjukkan pukul sepuluh malam ketika aku dan Pram berpamitan pada Calya.

“Pram, jangan lupa lho ya, besok jemput mbak, sekitar jam sembilan pagi.” pesan Calya.

“Iya mbak.” Calya lantas memeluk Pram, lalu mengecup keningnya. Pram pun membalasnya dengannsebuah pelukan yang hangat dan erat pula.

“Mbak Rindi, makasih udah minjemin mobilnya ya.” katanya, lalu memelukku dengan erat.

“Iya, sama-sama mbak Aya, saya juga makasih, udah ditraktir makan mewah malam ini.”

Calya tertawa.

“Enak apanya? Enakan makan di angkringan mbak..” bantahnya.

Aku pun tertawa bersamanya setelah mendengar kata angkringan.

“Ya sudah, kalian hati-hati dijalan ya..” kata Calya pada kami sebelum akhirnya kami pergi dari tempat itu.

“Oh iya, bentar.” Kata Calya, lalu berlari kecil kedalam kamar dan meraih dompetnya.

“Ini.. buat beli BBM.” Katanya seraya menyerahkan sejumlah uang pada Pram.

“Saya masih ada uang kok mbak, nanti biar saya yang beli.”

Calya menggelengkan kepalanya.

“Mbak Rindi, ini uangnya mbak simpen ya, mbak pegang, buat beli BBM. Ini buat mbak.” kata Calya.

“Enggak mbak.. BBMnya masih cukup kok, masih banyak.” kataku.

Calya bersikeras, dan akhirnya dengan berat hati aku menerima pemberiannya.

“Kakakmu cantik, baik hati pula.” Kataku saat kami dalam perjalanan pulang menuju ke rumah.

“Iya, tapi bawel bu.”

“Bukan bawel, tapi dia memang perhatian dan sayang sama kamu.”

“Kamu itu satu-satunya saudaranya lho.. makanya dia kayak gitu.”

“Iya sih bu, kami cuman berdua aja. Tapi ya gak perlu bawel gitu juga kali.”

“Sayang.. itu bukan bawel, tapi bentuk perhatiannya ke kamu. Dia cuman ingin memastikan kamu baik-baik aja disini, tanpa kekurangan satu apapun.”

“Ngomong-ngomong, baru kali ini ibu masuk ke hotel mewah kayak gitu. Pasti tarifnya mahal ya..” gumanku.

“Kayaknya semalam sampe sejuta lebih bu.”

“Gilaaa.. cuman buat tidur aja sampe semahal itu.” gumanku.

“Buat mbak Calya ya gak mahal bu. Biasa aja itu.”

“Duitnya banyak.” Sambungnya lagi.

“Emang mbak Aya kerja apa Pram?”

“Saya gak tau posisi persisnya bu, tapi dia di kementrian luar negri.”

“Wwaaahhhhh… berarti sering jalan-jalan keluar negri dong..?”

“Ya kira-kira gitu bu, saya gak tau persis.”

“Kamu ini.. itu kakakmu lho Pram.. kok gak tau gak tau mulu sih?” tanyaku heran.

“Soalnya saya bisa hubungi dia kalo dia yang hubungi saya duluan. Kalo enggak, susah mau komunikasi sama dia.”

“Waduuhhh.. kayak mata-mata gitu. Kayak film james bond dong.” kataku.

Pram tertawa mendengarkanku.

“Gak gitu juga kali bu. Maksud saya, mungkin kerjaan dia banyak, sibuk, jadi kalo mau hubungin dia ya agak susah.”

“Oooo gitu..”

Aku membayangkan betapa indahnya hidup Calya. Karir yang gemilang di usia yang masih muda, ditambah dengan memiliki Pram sebagai saudaranya, rasa-rasanya, hidupnya sudah mendekati kesempurnaan, kecuali satu hal, Calya belum menikah.

“Ngomong-ngomong, kita belum mandi lho bu.” kata Pram membuyarkan lamunanku.

“Iya.. mana udah malam lagi. Pasti dingin.”

“Kalo ibu mau, nanti saya masakin air buat ibu mandi air hangat.”

Begitulah Pram, selalu berusaha untuk menyenangkan aku, membuatku nyaman dengan segala upayanya.

Aku semakin mengenalnya setelah mendengarkan sedikit cerita tentangnya dari Calya. Bukanlah sebuah cerita bohong, karena aku sendiri telah merasakannya sejak kedekatan kami.

“Makasih sayang.. gak perlu repot-repot..nanti mandi bareng kamu aja, biar anget.” jawabku sambil merangkul lengannya.

Satu tangannya mengusap kepalaku yang tertutupi jilbab, sedangkan tangannya yang lain mengendalikan stir mobil.

“Akhirnya ibu bisa kenal sama kakak kamu, dan kalian sama-sama orang baik dan kayaknya mbak Aya enak diajak ngobrol.”

“Kalo soal ngobrol, mbak Aya emang enak diajak ngobrol, soalnya pengalamannya banyak, temennya banyak bu. Ada aja bahan obrolan kalo sama dia.”

Puluhan menit berikutnya, kami tiba dirumahku dan mendapati keadaan sangat sepi. Kedua penghuni kost lainnya mungkin telah terlelap dalam tidurnya masing-masing.

“Saya ambil pakaian buat besok ya bu.” Kata Pram sambil meletakkan kunci mobil diatas meja rias, di kamarku.

“Iya, jangan lama-lama ya. Ibu tunggu disini.”

Pram mengangguk, lalu melangkah pergi.

“Pram…” kataku saat ia sampai di pintu kamarku.

Pram berhenti melangkah, berdiri disana dan menungguku datang ke arahnya.

“Sekalian bawa beberapa lembar, buat beberapa hari kedepan. Atau.. sekalian bawa semua pakaianmu kesini, taruh di lemari ibu. Tiap hari kan kamu sama-sama ibu.”

Pram nampak sedikit ragu dengan usulanku.

“Saya bawa dikit aja ya bu, buat beberapa hari kedepan. Gak perlu semuanya. Saya gak enak, malu.”

“Malu kenapa sih sayang? Malu sama siapa?”

“Nanti kalo tiba-tiba orang tua ibu datang, gimana?”

Pram benar, hal spele yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Tentu saja akan menjadi hal yang lazim jika kedua orangtuaku datang dan menemukan kami telah tinggal bersama dalam satu rumah.

“Ya sudah, bawa dikit aja, buat beberapa hari, biar tiap hari gak bolak-balik ambil pakaian terus.”

“Iya bu.” jawabnya singkat.

“Mau ibu temenin?”

“Boleh..” jawabnya.

Sambil bergandengan tangan, kami melangkah menuju ke kamar tidurnya. Keadaan disekitar rumahku sangat sepi dan sedikit gelap, apalagi lampu-lampu kamar kedua penghuni kost lainnya telah dipadamkan. Mungkin telah terlelap dalam mimpi mereka masing-masing.

Pram segera membuka lemarinya, dan memilih beberapa pakaian yang akan ia bawa ke kamarku.

“Itu kemejanya kayaknya belum pernah kamu pakai ya Pram?” tanyaku saat melihat tumpukan kemeja di rak paling atas lemarinya.

“Ini dikasih sama mbak Aya, tapi kegedean, jadi saya simpen aja bu.” katanya sambil meraih setumpuk kemeja itu dan meletakkannya di hadapanku.

“Ini kan kemeja bagus Pram, pasti mahal harganya.”

“Iya tapi kegedean bu. Gak cocok di badan saya.”

Kubuka lipatan kemeja tersebut dan membentangkannya diatas kasur Pram. Label merek yang tertera di baju itu merupakan salah satu merk ternaman yang terkenal luas secara internasional dan harganya pastilah sangat mahal buatku.

“Kalo mau, ambil aja bu, buat ibu pakai. Dicoba aja, siapa tau ukurannya pas buat ibu.” katanya.

“Enggak ah, ini kan dikasih mbak Aya buat kamu.”

“Gapapa kok bu. Malah ada beberapa yang udah saya kasih ke Topan sama Galang. Nina juga udah pernah saya kasih.”

Dari pandanganku, aku yakin beberapa kemeja itu memiliki ukuran yang sesuai dengan tubuhku.

“Ibu coba boleh gak Pram?” tanyaku.

“Ya boleh dong bu.. di coba semuanya, kalo ada yang pas sama ibu, diambil aja, daripada disimpen disini gak kepakai sama saya.”

“Ya udah, kita bawa ke kamar ibu aja, nanti dicoba disana.” kataku.

Saat keluar dari kamar Pram, hujan gerimis kembali turun.

“Bu, kita langsung mandi ya, udah hujan, nanti keburu dingin.” kata Pram sambil mengunci pintu setelah kami berada didalam rumah.

Pram mengekor dibelakangku, menuju ke kamar tidur.

“Mbak Aya umur berapa sih Pram? Kok kayak masih muda banget, masih cantik gitu.” kataku seraya melepaskan jilbab di kepalaku.

“Dia tiga tahun lebih tua dari ibu.”

“Wahhh.. masih kelihatan kayak ABG lhoo..”

Pram hanya tersenyum, sambil melucuti pakaian yang masih melekat di tubuhnya.

“Ibu juga masih kayak ABG kok..” katanya sambil merangkul pinggangku saat melangkah menuju ke kamar mandi.

“ABG gimana? Udah melar gini, udah punya anak.” Kataku sambil mencubit pinggangku yang berlemak.

Pram menghidupkan shower, dan mengajakku berdiri dibawahnya. Guyuran airnya terasa sejuk dan menyegarkan, setelah seharian bekerja.

“Buat saya, ibu tetap menarik kok.” katanya sambil mengucek rambut di kepalanya agar rambutnya basah dengan sempurna.

Aku tertawa mendengar ucapannya yang terdengar seperti sebuah rayuan.

“Yang bener..?” tanyaku menggodanya.

Pram mendekatkan tubuhnya padaku, lalu memegang pinggangku sambil menatap wajahku. Di benahinya beberapa helai rambut dikeningku, lalu mengusap pipiku.

“Saya bukan melihat fisik ibu.”

“Saya melihat hati ibu.” sambungnya sambil meletakkan telapak tangan tepat di jantungku.

Ia berhasil membuat hatiku berbunga-bunga, membuatku merasa menjadi wanita yang paling bahagia.

Sesaat kemudian, Pram mengecup bibirku, sangat lembut dan dengan penuh perasaan. Aku tahu ia menyayangiku, tanpa memandang siapa diriku. Semua yang ia lakukan berdasarkan hati yang tulus, dan aku bisa merasakan hal itu.

Aku membalas ciumannya, melumat bibirnya dengan lembut, seperti yang ia lakukan. Sesekali kujulurkan lidahku, memasuki rongga mulutnya dan disambut dengan hisapannya yang lembut.

Hanya beberapa saat kemudian, ciuman kami berakhir. Pram menuangkan sabun cair ke punggungku, lalu mengusapnya, hingga ke bagian pinggul, paha, dan kakiku. Seluruh tubuh bagian belakangku dibalurinya dengan sabun.

“Makasih sayang.” kataku saat Pram beralih posisi, berhadapan denganku.

Pram mengecup keningku, lalu menyabuni tubuh bagian depan. Setiap usapannya disekujur tubuhku sangat lembut dan mampu memancing birahiku. Namun aku yakin, Pram tak bermaksud demikian sehingga aku berusaha sebisa mungkin untuk meredam gejolak dalam diriku.

“berati besok, kamu anterin ibu, trus jemput mbak Aya?” tanyaku, sambil menyabuni punggung Pram.

“Iya bu, nanti pulangnya saya jemput seperti biasa.”

“Kalo kalian memang mau jalan-jalan sampai malam, gapap kok Pram, nanti ibu pulang naik ojek atau naik angkot aja.”

“Enggak bu. Saya jemput ibu seperti biasanya.”

“Ya sudah, ibu manut kamu Pram, tapi kalo gak bisa jemput gapapa, yang penting kabari ibu, biar ibu gak nunggu kamu.”

“iya bu.”

Aku yakin, Calya ingin menghabiskan waktu bersama Pram, untuk mengobati rasa rindunya, dan aku tak ingin mengganggu mereka. Perhatian dan rasa sayangnya pada Pram amatlah besar, karena sebagai kakak, Calya bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan Pram, saudara satu-satunya yang ia miliki.

“Ini uangnya kamu bawa aja ya Pram, buat jajan kamu atau buat kamu tabung.” kataku seraya menyerahkan uang yang diserahkan Calya padaku.

“Enggak bu. Itu buat ibu. Disimpen aja, atau dipakai buat keperluan ibu." Jawab Pram sambil mengenakan celana pendek, lalu duduk di ujung ranjang.

“Atau, kamu pakai buat beli BBM, buat jalan-jalan besok sama mbak Aya.”

Pram menggeleng, lalu meraih uang itu dari tanganku dan memasukannya kedalam laci meja riasku.

“Saya masih punya uang bu, cukup kok buat beli BBM besok. Uangnya ibu simpen aja.”

“Ya sudah, uangnya ibu simpen disini ya, kalo kamu butuh, kamu ambil aja.” Kataku seraya menutup laci meja riasku.

♡♡♡

bersambung

part 4 akan rilis dalam beberapa jam kedepan. Terima kasih :rose:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd