Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Bimabet
part 2




Seiring detik berlalu, lumatannya terasa semakin kasar dan keras, begitu juga dengan remasannya disekujur pantatku. Sambil memejamkan mata, aku menikmati setiap detiknya, setiap gigitannya yang sedikit keras di bibirku.

Hampir beberapa menit lamanya, bibir kami menyatu, bertautan, bahkan saling menghisap lidah.

Setelah puas menikmati bibir, kecupannya mulai menghujani sekujur leherku. Lidahnya menari, menjelajahi setiap jengkal, bahkan mengecupnya dengan keras, hingga terasa sedikit perih. Aku yakin, bekas kecupannya akan meninggalkan jejak memar di leherku.

Entah mengapa, Pram yang lembut dan selalu bersikap romantis terhadapku berubah menjadi kasar dan liar. Tidak ada kecupan lembut, dan belaian manja darinya, melainkan ciuman-ciuman kasar yang panas dan penuh nafsu. Tentu saja aku menyukai perubahan ini, karena aku pun semakin bergairah, semakin bernafsu melayaninya.

Dengan siku, aku menopang tubuhku, sehingga menciptakan ruang diantara tubuh kami, dan saat itulah, lidahnya yang panas langsung menyerbu putingku, sementara tangannya mencengkram erat disekitarnya, menyisakan bagian areola dan putingku, sebagai celah baginya untuk menghisap. Berulang kali, silih berganti, kedua putingku diperlakukannya seperti itu.

Aku benar-benar terangsang hebat. Aku suka caranya menyentuhku, cara yang sedikit kasar dan keras dalam menjamahku. Setelah puas dengan kedua putingku, ia kembali menjilati seluruh bagian dadaku. Jejak air liur menghiasi hampir seluruh bagian payudaraku.

Sambil mengisap kulitku dengan keras, jemarinya memilin kedua putingku, bahkan menjepitnya dengan sedikit keras hingga aku merintih nikmat. Seperti leherku, dadaku pun dihadiahinya dengan jejak kemerahan akibat hisapan keras bibirnya.

Saat lidahnya mulai beralih meninggalkan dadaku, aku segera mencegahnya. Aku masih ingin merasakan kenikmatan saat ia mengerjai payudaraku.

“Sayang.. isepin lagi..” kataku lirih sambil memegang payudaraku dan menyodorkan ke mulutnya.

Secepat kilat, Pram langsung menyambarnya, bukan hanya bagian puting, bagian areola pun dimasukkannya kedalam mulutnya.


Tubuhku merinding melihat Pram melahap payudaraku dengan rakus, apalagi didalam rongga mulutnya, putingku menjadi bulan-bulanan permainan lidahnya. Tak hanya sampai disitu saja, satu putingku yang lain pun tak luput dari kelincahan jemari tangannya. Dipilin, diusap, bahkan sesekali dicubitnya dengan sedikit keras.

Pram benar-benar buas. Ia membuatku merintih, mendesah tak karuan.

“Isepin terus sayang..” gumanku lalu mengecup keningnya. Pram memenuhi keinginanku hingga beberapa menit lamanya, lalu mulai mengalihkan perhatiannya pada bagian tubuhku yang lain.

Setelah puas mencumbui payudaraku, lidahnya bergerak turun, seiring dengan tubuhnya yang bergerak kebagian kaki ranjang. Berkali-kali ia mengecup perutku, sedangkan kedua tengannya kembali sibuk meremas pantatku.

Hanya sesaat, namun sangat menikmati jilatannya si sekitar perutku. Ia terlihat tak ingin menyia-nyiakan setiap jengkalnya sehingga perutku pun dipenuhi oleh jejak air liurnya.

Masih bibawah tubuhku, tubuhnya kembali bergeser ke arah kaki ranjang, ke arah kemaluanku.


Tepat seperti dugaanku, Lidahnya yang hangat dan basah kembali membelai vaginaku. Tidak seperti yang sudah terjadi, Pram memperlakukan kemaluanku dengan penuh kelembutan, ia nampak sangat sabar, menikmati setiap lekuk vaginaku dengan ujung lidahnya. Permainan lidahnya pun tak seliar saat memanjakan dada dan leherku. Ia benar-benar membuatku mabuk kepayang.

Hanya beberapa saat kemudian, kutegakkan tubuhku sehingga kemaluanku tepat berada diatas mulutnya. Kedua pahaku kubuka selebar mungkin agar posisi kemaluanku lebih rendah, agar memudahkan Pram menikmati vaginaku.

Hawa dingin pagi hari setelah hujan semalam akhirnya lenyap. Butir-butir keringat mulai bermunculan disekujur tubuhku, begitu juga dengan Pram, yang tengah asik melahap kemaluanku. Lidahnya menari lincah, menelusuri belahan kemaluanku lalu menyeruak masuk, menyentuh seluruh bagiannya dengan perlahan. Ia sukses membuat vaginaku basah karena cairan yang keluar dari kemaluanku bercampur dengan air liurnya.

Hisapannya pada klitorisku semakin membuat aku melayang. Aku bahkan meremas kedua payudaraku sendiri demi merasakan kenikmatan yang lebih besar. Jemariku pun sibuk memilin putingku, sementara pinggulku bergerak pelan, mengikuti irama jilatannya yang sedari tadi menari diantara celah bibir vaginaku.

“Saayaannggg…” gumanku lirih mengiringi ledakan orgasme yang terjadi.

Tubuhku bergetar, seiring keluarnya cairan kental berwarna putih keruh dari liang vaginaku. Dan tak butuh waktu lama, tubuhku ambruk diatas kasur.

Kupejamkan mataku, menikmati sisa-sisa rasa nikmat orgasme yang sebentar lagi akan menghilang.

Tubuhku tersentak ketika kurasakan lidah Pram kembali menjilati kemaluanku, jilatannya terasa sangat erat menempel di perlukaan vaginaku, lalu bergerak kebawah, dan kembali lagi kebagian atas. Ia seolah sedang membersihkan kemaluanku dengan lidahnya. Sungguh luar biasa panas, pemandangan yang tersaji untuk mataku. Pram terlihat sangat menikmati, sangat menyukai apa yang ia lakukan, seolah sedang menikmati makanan kesukaannya.

Setelah beberapa saat, Pram meengakhiri permainan oralnya dengan sebuah kecupan tepat di bagian atas kemaluanku, lalu berbaring disisiku.

Dengan mata sayu, aku memandangnya, sambil mengusap pipinya.

“Belum sampai 15 menit lho buu.. ibu udah lemes gini.” gumannya.

Aku berbaring menyamping, menyangga kepalaku dengan tangan.

“Gimana gak lemes, sayang mainnya hot banget.” kataku, lalu meraih dan menggengam penisnya.

“Biar ibu puas..” balasnya sambil merapikan rambut di keningku.

“Kamu juga harus puas..” kataku, lalu membimbing tubuhnya untuk berlutut disampingku, tepat di depan kepalaku.

Aku meraih dua buah bantal untuk menyangga kepalaku, agar wajahku sejajar dengan pinggulnya, dengan kemaluannya.

Setelah terasa nyaman, kuraih penisnya yang telah mengeras, dan mulai mengocoknya perlahan. Pandangannya tak lepas dari wajahku, dan ketika aku tersenyum, ia pun tersenyum sambil mengusap kepalaku.

Perlahan, kujulurkan lidahku, dan mulai menjilati bagian bawah ujung penisnya. Pram mendesah pelan, matanya terpejam meresapi sentuhan hangat nan basah di kemaluannya. Pram menyukainya, wajahnya nampak sangat menikmati jilatanku disekujur batang penisnya.

Melihat ekspresi wajahnya, aku semakin bergairah, semakin bersemangat untuk memberinya kenikmatan yang lebih. Lidahku menjalar pelan, menelusuri setiap lekuk penisnya yang nampak perkasa, berdiri tegak seolah menantangku.

Urat-urat berwarna kebiruan yang menghiasi bagian batangnya semakin melengkapi pemandangan erotis yang memanjakan mataku. Sementara lidahku bergerak, tatapan mataku tak pernah lepas dari wajahnya. Aku senang, dan bahagia, Pram nampak begitu menikmati setiap sapuan lidahku yang memanjakan penisnya. Desahannya seolah membakar birahiku, melecut nafsuku.

Rasa lemas akibat orgasmeku perlahan memudar, berganti birahi yang perlahan mulai kembali merasukiku. Sambil mengocok batang penisnya, mulutku menenggelamkan bagian ujungnya, lalu lidahku mennjelajah setiap bagiannya dengan perlahan.

Lambat laun, pinggul Pram bergerak pelan, mulai memompa penisnya kedalam mulutku. Sangat pelan, sangat lembut dan mendorongnya hingga hampir setengah bagian penisnya memasuki mulutku. Akibatnya, air liurku mulai menetes, membasahi dadaku, terus meluncur hingga membasahi sprei dibawahku.

Kami bena-benar larut dalam buaian nafsu membara, bahkan dengan penuh kesadaran, jemariku mulai bergerak kebawah, menyentuh vaginaku sendiri. Kuusap, kupermainkan klitorisku hingga pinggulku pun bergetar karena rasa nikmat yang melanda.

Hanya butuh beberapa detik, akhirnya vaginaku mulai kembali mengeluarkan cairan berwarna keruh, akibat rangsanganku sendiri.

Di bagian atas, Pram masih setia menggerkan pinggulnya maju dan mundur, menyetubuhi mulutku rongga mulutku yang terbuka untuknya.

Setelah beberapa saat, aku mencengkram pantantnya, dan memaksakannya untuk mendorong penisnya agar memasuki mulutku lebih jauh.

Pram mengerang, mendesah panjang. Wajahnya menengadah ke langit-langit kamarku saat aku menahan penisnya selama beberapa detik dalam mulutku.

Aku tahu, ia sangat suka, sangat menikmati caraku memanjakan kemaluannya. Dan setelah beberapa saat, perlahan ia memundurkan pinggulnya, praktis penisnya pun mulai bergerak keluar, seirama dengan gerakan kepalaku yang mulai menjauhi selangkangannya.

Akhirnya, penis itu meninggalkan rongga mulutku. Seluruh bagiannya dilumuri oleh air liurku yang kental. Tanganku pun berhenti mengerjai kemaluanku, dan kembali menggengam penis Pram, lalu mengocoknya perlahan.

Ia menunduk, lalu mengecup keningku dengan penuh kemesraan. Pram membimbing tubuhku untuk berbaring menghadap ke tepian ranjang. Ia memintaku untuk mengangkat kedua kaki, lalu menekuk lutut dan menahannya dengan tanganku.

Pram berdiri di hadapanku, lalu tersenyum. Sudah sejak beberapa hari ini aku berusaha menahan hasratku untuk bersetubuh dengannya. Terakhir kali bercinta, ia membuatku tak berdaya saat menyetubuhiku di halaman belakang rumah, lalu berlanjut ke ruang tengah hingga aku terkencing-kencing. Dan kini, sekali lagi, vaginaku akan menerima kunjungan penisnya. Hal kurindukan sejak beberapa hari terakhir.

Perlahan, ia kembali mengusap kemaluanku, aku bisa melihat, dua jarinya tenggelam dalam belahan vaginaku, karena kedua pahaku sedikit tertutup rapat, hanya menyisakan sedikit celah diantaranya.

Beberapa detik berlalu, dan kurasakan kedua jarinya mulai merangsek, masuk kedalam liang vaginaku dan bergerak pelan didalamnya. Pram sedang mempermainkanku, ia tahu bahwa aku sangat menginginkan penisnya memasuki tubuhku, namun ia menundanya. Lalu ia mulai mengocok kemaluanku, kedua jarinya bekerja bak vibrator membuat sekujur tubuhku bergetar.

Tak seperti kejadian yang lalu, kini kedua jarinya tersebut tetap tertanam didalam kemaluanku, gerakan keluar masuknya hanya dengan interval pendek dan dalam kecepatan yang luar biasa kencang. G Spotku menjadi bulan-bulanan ujung jarinya, dan tak sampai satu menit kemudian, aku kembali mencapai orgasmeku, disertai dengan keluarnya urine dari liang kencingku.


Tubuhku mengelinjang hebat saat urine itu meluncur keluar bak air macur. Sekali lagi, Pram membuatku tak berdaya. Tulang-tulangku terasa menghilang. Tubuhku benar-benar lemah. Kakiku menapak lantai kamar dengan kedua paha terbuka lebar. Nafasku memburu bak pelari yang tengah baru saja mencapai garis finish.

“Sayangggg.. lemes banget..” gumanku. Pram menindih tubuhku dan wajah kami saling berhadapan satu sama lain.

“Semalam ibu nantangin, katanya bisa main seharian.”

Aku tersenyum mendengar ucapannya.

“Jadi kamu merasa tertantang?” tanyaku.

“Enggak juga sih bu, gak perlu merasa kayak gitu.. yang penting sama-sama puas, dan nyaman.” jawabnya.

Aku membelai pipinya, lalu melumat bibirnya dengan penuh rasa.

“Ibu suka?”

Aku mengangguk, lalu kembali melumat bibirnya.

“Sayang jahat.. ibu dibuat pipis lagi.” Kataku seraya mencubit pipinya.

Pram tersenyum sambil menatap mataku dalam-dalam. Kedua tangannya menempel erat erat di pipiku. Aku bisa merasakan bahwa ia sedang mengungkapakan perasaanya padaku, lewat tatapan matanya. Hatinya sedang berbicara padaku.

Beberapa detik berlalu, Pram mendekatkan wajahnya, dan kembali melumat bibirku. Lumatannya begitu lembut, penuh perasaan. Deru nafasnya pun terdengar lembut, mengalun membelah kesunyian pagi.

Sambil membalas lumatannya, tanganku menyelinap diantara himpitan tubuh kami, dan meraih penisnya. Aku ingin merasakan kemaluannya memasuki tubuhku, sekarang.

Setelah beberapa saat, Pram melepaskan lumatannya pada bibirku dan kembali berdiri di lantai, di antara kedua pahaku yang terbuka lebar. Dibimbingnya kedua kakiku agar terangkat ke udara, dan menekuk lututku. Setelah tubuhku dirasa siap, ia mengarahkan penisnya menuju kedepan liang vaginaku.

Segera aku meraih bantal yang terserak disekelilingku, dan menumpuknya tepat dibawah kepalaku. Aku tak ingin kehilangan moment tersebut, karena aku begitu menyukai pemandangan saat penisnya yang perkasa menyeruak masuk kedalam celah kemaluanku.

Saat ujung penisnya telah menempel di depan liang vaginaku, sekali lagi Pram menatapku dalam-dalam untuk beberapa detik lamanya. Lalu ia mulai memfokuskan pandangannya pada kemaluan kami yang telah siap bersatu. Begitu juga denganku, setelah pandangannya beralih dari wajahku, aku pun mengarahkan tatapanku pada kemaluanku.

Jantungku berdebar hebat, menantikan saat penisnya yang perkasa memenuhi liang kenikmatanku.

Perlahan, Pram mulai mendorong pinggulnya, dsn penisnya pun mulai memasuki vaginaku. Sangat pelan, sehingga aku bisa merasakan gesekan yang terjadi antara penisnya dengan dinding liang vaginaku.

Selama itu pula nafasku tertahan, dan akhirnya kuhembuskan perlahan saat penis itu telah tertanam sempurna dalam kemaluanku.

Vaginaku terasa sangat sesak karena terisi penuh oleh ukuran besar kemaluan Pram. Akhirnya, kerinduanku akan keperkasaan penisnya terobati.

Pram membungkuk, sedikit menghimpit tubuhku dengan kasur, dengan menggunakan kedua siku sebagai penopang tubuhnya. Segera kulingkarkan tanganku dilehernya, dan mulai melumat bibirnya.

“Ayo sayang.. puaskan ibu.” bisikku kemudian.

Pram kembali melumat bibirku, seraya mulai menggerakan pinggulnya. Hasratku terpenuhi, saat Pram mulai kembali mendorong penisnya masuk ke liang kenikmatanku, maju dan mundur berulang kali dengan irama yang konstan.

Jika saja kami tidak sambil berciuman, aku yakin, suara desahanku akan membahana memenuhi ruangan kamar tidurku, bahkan mungkin akan terdengar sampai keluar rumah.

Nikmat yang kurasakan di selangkanganku terlalu besar, terlalu hebat, hingga aku tak kuasa menahan desahanku.

Seiring detik berlalu, Pram semakin mempercepat tusukannya, bahkan cenerung kasar dan keras. Tubuhku, ranjangku pun ikut bergoyang akibat hujaman penisnya di vaginaku.

Aku benar-benar terbakar birahi! Tak butuh waktu lama baginya untuk membuat vaginaku kembali basah dan becek, karena cairan lubrikasi mulai keluar dari dalam tubuhku. Hanya beberapa menit berlalu, Pram mengeluarkan penisnya, lalu kembali melumat bibirku.

Setelah itu ia memintaku untuk menungging diatas tempat tidurku, dan kedua pahaku tertutup rapat. Setelah aku siap dan nyaman dengan posisiku, Pram kembali memasukan penisnya. Gerakan pinggulnya sedikit lebih cepat dari sebelumnya, tusukannya sangat dalam, hingga menimbulkan suara benturan antara pinggulnya dan permukaan pantatku.

Aku tak kuasa menahan nikmat yang kembali melanda. Tanganku bergerak liar, mencengkram speri dan apa saja yang ada disekitarku. Wajahku kubenamkan ke kasur agar suara eranganku tak sampai terdengar keluar rumah.

Sambil menghujamkan penisnya, kedua tangan Pram mencengkram pantatku dengan sangat kuat. Hanya beberpa menit berselang, otot-otot disekitar pangkal pahaku menegang, vaginaku berkontraksi seiring semakin buasnya Pram menyetubuhiku. Aku sedang menapaki detik-detik menjelang orgasmeku yang ke tiga di pagi buta.

Dan benar saja, tubuhku mengejang disertai rintihan panjang saat orgasmeku tiba. Dan hanya beberapa detik berselang, Pram pun mencapai klimaks.

Secepat kilat ia mengeluarkan penisnya dari vaginaku, lalu memuntahkan spermanya diatas pantatku.


Pram mendesah panjang, seiring spermanya menyebur hingga ke bagian punggungku.

Tubuhku rebah, tengkurap diatas permukaan kasurku yang empuk. Pagi yang indah untukku, pagi yang sempurna untuk mengawali hari ini.

Pram meraih beberapa lembar tissue diatas meja riasku, lalu menyeka tubuhku yang terkena spermanya.

“Kok tadi gak dikeluarin di dalam sih?” tanyaku saat Pram ikut berbaring disampingku.

“Gapapa kok bu, cuman pengen tau rasanya aja.”

“Trys gimana? Enak?”

Pram tersenyum,

“Enakan dikeluarin di dalam bu.”

Aku tertawa mendengar jawabannya.

“Ya udah… besok-besok dikeluarin dalam aja ya sayang..” jawabku sambil mengusap pipinya.

Pram memgecup telapak tanganku yang menempel di pipinya, lalu melirik ke arah jam dinding.

“Jam lima lewat tigabelas menit. Berati kita main hampir empatpuluhlima menit” gumannya.

“dan kamu buat ibu orgame tiga kali, plus pipis sekali.” timpalku.

Pram tertawa, lantas bangun dari tidurnya.

“Sayang mau kemana?”

“Mau ngepel lantai bu, bersiin pipisnya biar gak bau kamarnya.”

Aku tertawa geli, malu, lalu menutupi wajahku dengan bantal.

Sisa waktu pagi itu kami habiskan dengan bermalas-malasan diatas ranjang.

“Bu..”

“Iya..?”

“Sebelum nikah, ibu kan gak pernah pacaran. Tapi, ada gak cowok yang pernah nembak ibu? Atau suka ibu?” tanyanya.

“Dulu waktu SMA sih pernah sekali. Ditembak sama kakak kelas. Tapi ya ibu tolak, soalnya waktu itu ibu kan baru kelas satu. Masih kecil.”

“Waktu kuliah, pernah dua kali. Ya sama juga, ibu tolak semuanya, soalnya ibu takut aja sih Pram.”

“Takut apa bu?? Emang yang nembak anak-anak nakal ya?”

“Bukan begitu sih, kebetulan yang nembak itu ibu tahu, orangnya baik kok. Cuman ibu takut, kalo pacaran ntar kuliah ibu jadi terganggu.”

“Trus, waktu sama suami ibu, dia nembak juga?”

“Kalo sama dia, dia gak nembak sih Pram, cuman dia bilang kalo dia serius dan mau nikahin ibu. Dia juga bilang mau bawa orang tuanya ketemuan sama orang tua ibu.”

“Ya gitu itu akhirnya. Setelah lulus langsung dilamar, langsung nikah.”

“Ibu nyesel nikah sama dia?” tanyanya lagi.

Sebuah pertanyaan yang sulit kembali dilontarkannya.

“Waktu tau dia selingkuh, ibu nyesel banget. Ibu kecewa. Apalagi dia sampe ninggalin ibu, ninggalin Nova.”

“Tapi, makin kesini, akhirnya ibu sadar. Biar bagaimana pun, dia adalah ayah dari Nova. Dia juga pernah menjadi hal yang indah dalam hidup ibu. Ibu udah memaafkan dia.”

“Kalo misalnya dia menyesal, trus minta maaf, trus ingin kembali sama ibu. Gimana, ibu mau?”

Aku menatap mata Pram dalam-dalam.

“kamu pernah mencoret kertas putih dengan pena?” tanyaku.

“Sering…”

“Lalu kamu hapus coretan itu, entah pakai apa hapusnya. Tapi pasti akan meninggalkan bekas. Iya kan?”

“Iya..”

“Begitu juga dengan hati ibu. Jujur saja ya Pram, hati ibu sudah sembuh, udah gak luka lagi, udah gak sakit lagi. Tapi bekas luka itu masih ada. Ibu memang memaafkan dia, tapi untuk menerima dia kembali, rasanya gak mungkin, gak bisa.”

“Hati ibu udah tertutup untuk dia.”

“Bagaimana dengan Nova? Nova kan butuh sosok ayah?” tanyanya lagi.

“Ibu yakin, Nova akan baik-baik saja. Dan ibu harap, jika nanti dia dewasa, dia akan mengerti dan memaklumi hal ini. Mungkin kamu berpikir bahwa ibu egois. Sah-sah saja, dan wajar kok Pram, tapi, sebagai seorang ibu, ibu gak akan membiarkan Nova dibesarkan dan dididik oleh laki-laki seperti suami ibu.”

“Kalaupun nanti ada penggantinya, ibu harap dia adalah laki-laki yang bertanggung jawab terhadap keluarga, dan berkomitmen kuat terhadap pernikahan. Dan supaya kamu tahu ya Pram, ibu ini bukan orang yang mudah jatuh cinta.”

Pram mendengarkanku dengan penuh perhatian. Aku yakin ia bisa mengerti dan memahami semua jawabanku.

“Saya yakin, suatu saat nanti Nova akan mengerti dan memahami hal ini bu.” Kata Pram.

“Iya Pram, semoga.”

Lama kami berdiam, dan kulihat Pram nampak masih memikirkan percakapan kami. Aku tak ingin pikirannya terganggu dengan masalah kehidupanku.

“Pram.. ngomong-ngomong.. memek ibu ngilu.”

“Saya mainnya terlalu kasar ya bu?? Maaf ya bu..”

“Enggak.. cuman emang punya kamu itu gede, jadi ya kerasa kayak ngilu kalo selesai main. Tapi ibu suka kok.”

“ Beneran sakit ya bu?” tanyanya lagi.

“Enggak sakit kok sayang.. cuman ya ngilu aja dikit.. paling bentar lagi juga ilang.”

“Nih lihat, nenen ibu memar semua, bekas cupanagn kamu.” kataku lagi sambil menunjukkan dadaku yang kemerahan akibat perbuatannya.

Pram tertawa, lalu memelukku.

“Abisnya ibu nggemesin sih..” jawabnya.

Aku membalas dengan memeluk erat tubuhnya, sambil mengecup wajahnya berkali-kali.

“semalam bobo dipeluk, paginya dibuatin sarapan, trus dientotin sampe lemes.”

“Kamu emang hebat.. pinter bahagiain ibu.” kataku lagi, lalu kembali mengecup pipinya.

Pram hanya tersenyum, lalu kami kembali berpelukan hingga bermenit-menit lamanya dalam diam, hanya sekedar berpelukan sambil mengistirahatkan tubuh yang lelah.

Seperti kemarin, Pram membantu menyabuni tubhuhku, begitu juga sebaliknya.

“Kayaknya kamu bisa main seharian,” gumanku sambil memegang penisnya.

“Tadi udah lemes, sekarang udah keras aja” sambungku lagi.

Pram membalas dengan mengusap payudaraku, jemarinya memilin putingku yang telah mengers karena dinginnya air.

“Ibu masih pengen?” tanyanya.

Aku menggelengkan kepala, lalu melumat bibirnya.

Sesungguhnya, aku masih ingin bersetubuh dengannya, namun aku harus menahan hasratku tersebut karena hanya beberapa jam lagi, Pram akan menghadapi ujian. Aku tak ingin ia kelelahan, kehilangan konsentrasi dalam mengerjakan ujiannya karena sepagian telah bergumul denganku.

“Spermanya ditabung dulu, biar banyak lagi.” Jawabku sekenanya.

Pram tertawa, lalu memeluk tubuhku.

♡♡♡

pary 3 akan rilis dalam beberpa jam kedepan. Terima kasih
 
Sebenernya bukan urusan ranjang aja akhirnya membuat Pram dan Rindi semakin dekat, tapi kenyamanan.. dan bagaimana kedua insan itu bisa merasa saling melengkapi.

Tapi ya balik lagi ke bagaimana reader menanggapi kisah ini.

Makasih ya
:rose:
Okelah... Okelah..
Mainkan perasaan pram atas sandi dong sist...
Emosi dan ego bercampur cemburu jadi satu... Pasti bakalan lebih binal lagi tuh ngentot nya si pram....
 
part 3




“Bu, masih mendung. Kita pakai motor atau mobil?” tanya Pram saat kami hendak berangkat.

Sejenak kulihat ke atas, memandang langit yang masih tertutupi mendung.

“Kamu ada mantol kan?”

“Ada bu.”

“Ya udah, kita pakai motor aja, gapapa kan?”

“Iya bu.”

Ditempat biasa, teman-teman Pram telah berkumpul dan sedang bercanda seperti biasanya. Pojok sebelah kanan pendopo kampus itu seolah menjadi titik pertemuan mereka. Semua hadir disitu, kecuali Rita. Praktis, Nina menjadi satu-satunya wanita diantara mereka.

“Lho, Rita kemana?”

“Kayaknya hari ini dia libur Mbak.” sahut Deva.

“Gak seru gak ada dia.” timpal Nina.

Rita si ratu usil memang menjadi biang onar dengan segala tingkahnya yang menggemaskan, dan tanpa kehadirannya, suasana diantara kami pun berubah drastis.

“Ya udah, mbak pamit dulu ya.. kalian selamat menempuh ujian.. semoga sukses.” Kataku.

Pram hendak mengikuti langkahku, namun aku segera mencegahnya. “Kamu disini aja, biar ibu ke warung sendiri. Gapap kok Pram, lagian ibu udah tau jalannya.” kataku.

“Beneran gapapa bu? Saya anterin juga gapapa kok..ujiannya kan masih lama.”

“Gapapa kok Pram.. kamu disini aja bareng temen-temenmu.”

Pram nampak keberatan dengan permintaanku, namun ia memilih mengikutinya dan enggan berdebat denganku dihadapan teman-temannya.

“Uuuuuwwwww.. co cwiittt” komentar Nina.

Pram menggelengkan kepalanya.

“Rita gak ada, Nina yang jadi biang rusuh” timpal Galang.

“BODO.. BIARIN..” sahut Nina.

“Pram.. gue juga mau kok dianterin ke ruang ujian.” celetuk Topan.

“Najis..amit-amit” balas Pram.

Aku tertawa melihat tingkah usil mereka. Ada saja hal bisa mereka jadikan bahan candaan untuk menghidupkan suasana.

“Ya udah, mbak tinggal dulu ya.. daaaggg” kataku seraya melangkah pergi.

Setelah menjauh, aku sempat menoleh ke belakang, ke arah mereka dan mendapati Pram masih memandangiku dari kejauhan. Ia seolah mengawasiku, memastikan keadaanku baik-baik saja. Aku melambaikan tangan padanya dan dibalad oleh anggukan kepalanya.

Banyak mahasiswa mahasiswi berkumpul di sepanjang lorong yang biasa aku lewati, dan tak satupun yang aku kenali. Mereka pun tak menyadari, bahwa aku bukanlah mahasiswa dikampus tersebut.

“Pagi mbak Rindi.”

Aku menoleh ke arah sumber suara tersebut dan menemukan Sandi sedang berjalan tak jauh dibelakangku.

“Pagi mas..”

“Mau kerja ya Mbak?” tanyanya sambil mengiringi langkahku, ia berjalan disisi kiriku.

“Iya mas, mau ke warung.”

“Wah kebetulan, saya juga mau sarapan disana mbak.”

Lorong yang hanya selebar dua meter itu dipenuhi oleh kerumunan mahasiswa mahasiswi yang tengah asik bercengkrama. Ada pula yang teelihat sedang duduk lesehan, membaca buku.

Sandi berjalan mendahuluiku, lalu meraih tangan dan mengandengku menembus kerumunan tersebut. Tentu saja aku tak bisa menampik uluran tangannya, apalagi niatnya baik, ingin membantuku melewati kerumunan orang-orang itu.

Setelah, beberapa langkah, ia melepaskan tanganku, dan kembali berjalan disisiku. Banyak mahasiswa yang menyapanya di sepanjang lorong itu, dan Sandi pun selalu membalasnya dengan sopan.

“Mbak kok bisa kerja di warung itu?” tanyanya.

“Kebetulan saya dan Pram makan disitu, dan si ibu bilang kalo lagi butuh tenaga untuk kerja disitu, jadi saya menawarkan diri, gitu Mas.”

“Ooo gitu.. pendidikan terakhir mbak apa? SD? SMP? SMA?”

“Saya sarjana mas, jurusan Ekonomi.”

“Waahhh.. sarjana.. kok mbak gak nyari kerjaan lain yang sesuai dengan ijasah mbak??” tanyanya heran.

“Udah ngelamar dimana-mana kok mas, kerja diwarung buat ngisi waktu aja, sambil nunggu panggilan kerja.”

“Maaf ya mbak, Berarti umur mbak lebih tua dari Pram ya?”

“Iya mas, selisih empat tahun.”

Dari sudut mataku, kulihat Sandi tersenyum. Entah apa arti senyum tersebut.

“Mbak aslinya dari daerah mana?” tanyanya lagi.

“Saya dari Panggang mas.”

“Ooo.. deket sini rupanya.”

“Iya mas.”

Tak terasa, percakapan itu akhirnya mengantarkan kami hingga ke warung tempatku bekerja.

“Mbak, saya minta teh panas, sama air putih ya.” Katanya, setelah mengambil makanan.

“Iya mas.”

Sandi adalah pengunjung pertama hari ini, dan si ibu pemilik warung tampak senang dengan kehadirannya.

“Mas Pram kemana? Kok gak nganterin mbak kesini?” tanya ketika aku membuat minuman pesanan Sandi.

“Mas Pram di kampus bu, sama temen-temennya. Tadinya mau nganterin kesini, tapi saya tolak, lagian cuman deket aja kok bu, dan saya udah tau jalan kesini.”

“Ya gak apa-apa, malah bagus, bisa di anterin mas Sandi kesininya.”

Aku hanya bisa tersenyum mendengar ucapannya.

“Bukan gitu kok bu.. tadi ketemu mas sandi dilorong kampus, katanya mau sarapan disini, jadi ya barengan aja kesininya.”

“Ooo ibu kira sekarang mas Sandi yang nganterin mbak.” jawabnya.

Percakapan yang menggelitik buatku, apalagi membahas Sandi, yang notabene adalah dosen favorit kampus. Arah percakapan yang sedikit janggal, namun realistis jika melihat sikap Sandi selama dua hari belakangan.

Setelah mengantarkan pesanan minumannya, lagi-lagi sandi mengajakku berbincang. Suasana warung masih sepi, sehingga aku bisa meluangkan waktu untuk meladeninya.

“Mbak kelihatan dekat dengan Pram ya..?”

“Iya mas, kebetulan dia kost di tempat saya.”

“Sudah lama kenal dengan Pram?”

“Ya lumayan mas, sejak dia kost disana. Sekitar setahunan ini.”

“Oo gitu.. syukurlah kalo udah kenal lama, yang penting hati-hati aja mbak, jangan mudah percaya orang lain. Kita kan gak tau gimana pribadi orang lain. Hari ini baik, besok bisa bisa berubah jadi jahat.”

“Iya mas. Pram baik kok, saya udah kenal dia.”

Aku sedikit tidak nyaman dengan percakapan yang baru saja terjadi. Entahlah, terasa sangat janggal bagiku.

“Saya tinggal ke dapur dulu ya mas.” kataku, lalu meninggalkannya.

Persis seperti apa yang kualami, aku pun mengamini perkataan Sandi bahwa tidak selamanya seorang akan selalu berlaku baik. Suamiku adalah contoh nyata dalam perjalanan kehidupanku. Pribadi yang baik, namun akhirnya menyakitiku dengan perselingkuhannya.

Bagaimana dengan Pram? Sejauh ini, aku belum bisa menemukan point yang bisa membuatku ragu akan kebaikan pribadinya. Aku sangat yakin, Pram memiliki niat yang tulus dalam membantuku selama ini. Dan selama ini, selama kedekatan kami, aku tak pernah merasa dimanfaatkan olehnya.

Yang paling rawan dan sangat mudah untuk dimanfaatkan Pram adalah uang dan tubuhku. Jika saja Pram ingin mengambil keuntungan dari dua hal tersebut, aku sangat yakin, ia akan meraihnya dengan mudah, karena mendapatkan kepercayaan penuh dariku.

Seks merupakan hal yang wajar, terutama bagi Pram, mengingat usianya yang masih muda. Namun, sekali lagi, ia seolah mampu mengimbanginya dengan kedewasaannya dalam berpikir. Ia tahu bahwa tubuhku selalu tersedia untuknya, ia bisa menikmatinya kapanpun ia mau, namun selama ini, ia tak melakukannya. Pram membiarkan semua kedekatan kami berjalan begitu saja, secara alamai, sesuai dengan kepribadiannya.

Selama setengah hari tersebut, hanya satu atau dua orang pengunjung warung saja yang datang. Hal berbeda terjadi saat memasuki jam makan siang, seperti biasanya, pengunjung membludak, namun kali ini lebih ramai dari hari-hari sebelumnya.

Sambil sibuk melayani pesanan minuman pengunjung, mataku terus mengawasi wajah-wajah disekitarku. Aku sendang menantinya, karena tak seperti biasanya, Pram terlambat datang untuk makan siang.

Seluruh meja telah terisi penuh, bahkan tak sediki dari mereka yang memilih membungkus makanannya dan menyantapnya di tempat lain. Sandi hadir diantara sekian banyak pengunjung tersebut, dan memesan minuman seperti biasanya.

Di sela-sela kesibukanku, tentu saja aku tak memperhatikannya, tak bisa meluangkan waktu walau untuk sekedar bercakap-cakap sesaat.

“Itu dari tadi mas Sandi perhatiin mbak terus lhoo.” bisik si ibu ketika aku hendak ke dapur.

“Masa sih bu? Saya malah gak sempet perhatiin bu, soalnya rame banget.”

Si ibu tersenyum,

“Karena mbak Rindi cantik, makanya dia seneng lihatin.”

“Lebih cantik cewek-cewek kampus kok bu. Saya gak ada apa-apanya kalo dibandingkan mereka.” jawabku.

Si ibu kembali tersenyum, lalu mempersilahkan aku ke dapur.

Aku tengah membersihkan meja, agar bisa langsung digunakan oleh pengunjung lainnya ketika Pram akhirnya datang. Ia melihat ke sekelilingnya, dan tak menemukan tempat duduk yang kosong. Meja yang kubersihkan pun telah dipesan oleh pengunjung yang berdiri disampingku.

“Pram mau makan?” tanyaku sambil melangkah ke arahnya.

“Iya bu, tapi gak dapet tempat duduk.”

“Makan di belakang aja, mau?”

“Didapur ada kursi kok.”

“Iya bu, boleh.”

Pram mengikuti langkahku, menuju ke dapur. Dari sudut mataku, aku bisa melihat sekilas, Sandi tengah memperhatikanku. Benar apa yang dikatakan oleh si ibu.

“Yang lain kemana, kok kamu sendirian aja?”

“Pada makan bakso bu. Katanya mendung-mendung gini pengen makan yang panas, yang seger-seger.”

“Kok pram gak ikut mereka?”

“Tadi sih di ajak juga bu, tapi saya pengen makan disini aja.”

“Kangen sama ibu yaaa??” tanyaku pelan.

Pram tertawa, lalu kembali menyantap makanannya.

“Ibu tinggal sebentar ya Pram.”

Ketika sampai di depan, aku mendapati beberpa meja telah kosong, termasuk meja yang tadinya ditempati Sandi. Si ibu turut membantuku membersihkan meja-meja itu.

“Tadi mas Sandi nanya-nanya tentang mbak Rindi.” gumannya sambil merapikan kursi-kursi disekitar meja.

“Oh ya..? Nanya gimana bu?”

“Ya nanya tentang Pram sama mbak Rindi.”

“Dia nanya, kalian pacaran ya? Soalnya kalian lengket banget.”

“Trus ibu jawab gimana?”

“Ya ibu jawab aja kalo kalian itu pura-pura pacaran, biar temen-temen Pram gak ngejekin Pram lagi.”

“Bener gitu kan mbak.”

Semakin jelas bagiku bahwa Sandi menaruh perhatian khusus padaku. Pertanyaannya seputar kehidupan pribadiku perlahan bisa menjadi bukti kuat akan dugaanku tersebut.

“Iya bu, bener..” jawabku.

Namun dalam hatiku, aku masih menyangsikan hal ini, karena realita yang ada di hadapanku begitu meragukan asumsiku.

“Trus, tadi juga mas Sandi titip salam buat Mbak Rindi lhoo.” Kata si ibu sambil mengumpulkan piring bekas yang telah digunakan oleh pengunjung.

Aku semakin kaget mendengar hal itu, berbeda dengan si ibu, ia tersenyum padaku.

“Salam…??” tanyaku dengan penuh keheranan.

“Iya.. salam, mbak ngertilah.. biasalah mbak..mungkin mas Sandi suka sama Mbak.”

Aku terdiam mendengar ucapan si ibu. Ada benarnya juga, mungkin saja Sandi memang menaruh rasa padaku. Namun hal itu terlalu dini, terlalu cepat. Ia bahkan belum mengenal aku, belum tahu kehidupanku. Atau, mungkinkah ia telah mengenalku, menyelidiki semua tentangku?

“Jadi gimana, salamnya diterima nggak mbak?” tanya si ibu sambil membersihkan meja.

“Nggak tau bu. Saya bingung.” jawabku, lalu kembali ke dapur sambil membawa piring-piring kotor untuk dicuci.

Banyak pertanyaan yang muncul dikepalaku setelah mendengar apa yang dikatakan oleh si ibu. Sangat aneh, sangat janggal bagiku.

“Pram udah selesai makannya?” tanyaku setelah melihat makanan dipiringnya telah habis.

“Atau mau nambah lagi?” sambungku lagi.

“Udah bu, cukup. Udah kenyang.”

“Nanti mau belajar di perpustakaan lagi?"

“Kayaknya enggak bu, mau pulang aja dulu, mau beresin kamar. Tadi pagi kan belum sempat diberesin.”

“Eh, gak usah Pram. Nanti biar ibu yang beresin. Kamu belajar aja. Atau kamu pulang trus belajar dirumah aja. Biar nanti pulangnya ibu naik angkot atau naik ojek”

“Enggak bu. Saya pulang, beresin kamar, trus belajar. Nanti jam lima saya jemput ibu.”

“ Enggak Pram. Ibu gak mau.” Kataku singkat.

Namun Pram tetap bersikeras.

“Saya tetap jemput ibu. Jam lima” Katanya.

Akhirnya aku pun mengalah, mengikuti keinginan Pram. Setelah bercinta tadi pagi, kami bersantai hingga lupa waktu, dan buru-buru berangkat tanpa merapikan ranjang peraduan bercinta itu.

“Ya udah, ibu manut sama kamu.” Kataku.

“Makasih ya Pram.” Sambungku lagi.

Jika saja kami berada ditempat lain yang sepi, aku pasti sudah memeluk dan melumat bibir lelaki dihadapanku ini.

“Ya udah, saya pulang dulu ya bu.” Katanya sambil beranjak pergi.

“Oh iya, saya mau ganti sperinya juga bu. Speri baru di taruh dimana ya?” tanyanya.

“Di lemari, rak paling bawah Pram.”

Sepeninggal Pram, pikiranku kembali tertuju pada Sandi. Rasa-rasanya tak mungkin, dan tidak masuk akal, jika Sandi bisa secepat itu menaruh rasa padaku. Aku baru saja mengenalnya beberapa hari ini, itu pun hanya sekilas, lewat tegur sapa saat ia makan di warung tempatku bekerja. Apakah mungkin?

Seandainya pun ia telah mengenalku, telah mengetahui kehidupanku, ia masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan yang lebih baik dari aku. Ia memiliki modal untuk hal tersebut. Muda, cerdas, pekerjaan mapan, wajah rupawan, dan menjadi dosen idola kaum hawa di kampusnya.

Sedangkan aku, seorang ibu, yang memiliki seorang anak, dan mungkin sebentar lagi akan menjadi janda. Apa yang ia lihat dari semua hal ini?? Aku bahkan bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengannya. Semua ini terlalu janggal, aneh.

Keadaan warung kembali sepi selepas jam makan siang berlalu, dan hampir semua menu makanan terjual habis.

“Mbak Rin, ini jualan kita tinggal dikit. Kita tutup aja sekarang. Udah jam tiga, nanggung kalo mau masak lagi.” Kata si ibu.

“Iya bu. Berarti saya boleh pulang sekarang?” tanyaku.

“Boleh kok mbak, biar bisa istirahat. Tadi siang kan rame banget. Mbak pasti kecapekan.”

Setelah membantu si ibu membereskan dagangannya, aku pun meninggalkan tempat itu. Masih tersisa dua jam sebelum Pram menjemputku. Jika aku pulang sekarang, mungkin aku bisa membantu Pram membereskan kamar tidurku dan Pram bisa belajar dengan tenang.

Suasana sekitar lorong kampus Pram tak seramai pagi hari, hanya ada satu dua orang yang lalu lalang disana.

“Mbak Rinnnn…” teriak Nina, dari kejauhan.

“Kamu mau ujian atau baru selesai ujian?” tanyaku saat ia menghampiriku.

“Ujiannya udah selesai dari siang tadi kok mbak.”

“Trus, kamu kok gak pulang?”

“Tadi belajar dulu di perpus. Mau pulang kok males rasanya, jadi ya main dulu disini.”

“Oooo… tadi Pram juga katanya mau belajar di perpus, tapi gak jadi. Sekarang dia pulang.”

“Pram mah gampang mbak. Dia gak belajar juga gak masalah, dia kan pinter.”

“Oh ya??"

Aku kaget mendengar apa yang Nina katakan.

“Mbak ini gimana sih? Masa pacarnya gak tau???” tanyanya heran.

“Ya mbak gak pernah nanya-nanya soal gitu ke dia, paling ya mbak cuman ingetin buat belajar aja.”

“Pram itu dari semester satu sampai sekarang, IPnya gak pernah kurang dari 3,5 mbak. Pinternya bawaan orok kayaknya.”

“Mbak baru tau lhoo ini.” kataku.

“Nah, kalo kamu gimana? IPnya juga sama kayak Pram?” tanyaku sambil yerus melangkah menuju ke bagian depan gedung kampusnya.

“Dulu sih IPnya hancur mbak. Tapi sejak di ajakin Galang buat belajar bareng mereka, sekarang udah lumayan mbak. Udah bisa diatas 3, tapi ya belum bisa nyamain mereka.

“Wah wah wah.. kalian emang hebat!” seruku.

“Yang paling hebat itu Rita sama Pram itu kok mbak. Paling pinter.”

“Rita juga pinter??” tanyaku kaget.

“Iya, tapi usilnya minta ampun” gerutunya.

Aku tertawa mendengarnya. Rita memang si ratu usil.

“Pantesan Pak Sandi kenal kalian. Ternyata kalian kumpulan mahasiswa pintar di kampus.”

“Masa sih?? Pak Sandi si dosen ganteng itu??” tanyanya penuh semangat.

“Iya.. pak dosen ganteng itu.” jawabku singkat.

“Emang ibu kenal sama pak Sandi?”

“Ya cuman kenal gitu aja sih, pas dia lagi makan diwarung.”

“Haduuhhh.. pak Sandi ternyata tau diriku..” katanya berlagak gadis imut.

“Udaaaahhhh… gak usah menghayal.. inget ujian besok” gumanku.

Nina tertawa sambil yerus melangkah disisiku.

“Kost kamu dimana sih Nin?”

“Deket sini aja kok mbak. Jalan kaki juga sampe. Gak jauh kok.”

“Mbak mau pulang?” tanyanya.

“Iya.. mau naik ojek aja.”

“Gak di jemput Pram?”

“Katanya mau jemput jam lima. Tapi hari ini mbak cepet pulang, soalnya di warung udah kehabisan dagangan. Jadi ya mbak pulang aja, biar gak ngerepotin Pram.”

“Ya udah, kalo gitu aku duluan ya mbak Rin. Takut keburu ujan. Soalnya udah mendung banget.”

Belum sampai lima menit Nina meninggalkanku, hujan gerimis mulai turun kembali membasahi bumi kota pelajar. Dan niatku untuk pulang lebih awal tertunda karenanya.

Semakin sore, suasana di kampus Pram semakin sepi. Di parkiran, masih terlihat beberapa kendaraan disana. Mungkin kendaraan milik para dosen atau pegawai yang bekerja disini. Atau mungkin milik mahasiswa.

“Sore mbak Rindi.”

Aku menoleh ke belakang, dan menemukan Sandi disana.

“Sore mas.”

“Udah pulang kerja Mbak?”

“Iya udah mas, kebetulan dagangan di warung habis, jadi tutup lebih awal.”

“Lagi nungguin Pram?” tanyanya.

“Iya mas, udah janjian, mau dijemput jam lima.”

“Wah, masih lama lho mbak. Ini baru jam emapt kurang.”

“Iya, gapapa mas, soalnya udah terlanjur janjian jam lima.”

“Atau mbak mau saya anterin pulang? Kebetulan saya juga mau pulang sekarang.” katanya.

Aku merasa Sandi sedikit lebih agresif, walaupun sebenarnya, niatnya ingin menolongku. Aku menjadi sedikit tidak nyaman dengan kehadirannya.

“Makasih mas, lain kali aja, saya nungguin Pram aja." jawabku.

“Ya udah, kalo gitu saya temenin dulu disini sampai Pram datang.” balasnya.

“Pram mahasiswa yang baik, dan cerdas. Saya yakin, suatu saat nanti dia akan menjadi orang sukses. Usianya masih muda, dan masa depannya masih panjang.” katanya Sandi.

“Amiinnn… saya juga berharap masa depannya cerah. Pram sudah banyak membantu saya.”

“Mbak kenal dekat dengan Pram?”

“Iya, kira-kira begitu mas.”

“Beberapa kali saya melihat mbak dikampus ini bersama dia. Sepertinya kalian sangat akrab, padahal usia kalian berbeda jauh.”

Aku hanya tersenyum, namun bingung dengan arah pembicaraan Sandi.

“Iya mas, soalnya disini cuman Pram yang saya kenal baik”

“Saya juga pernah dengar kalo Pram membela mbak waktu mbak dilecehkan diwarung.”

Aku hanya diam, mencoba menerka kemana arah perbincangan kami.

“Iya mas. Pram dan teman-temannya yang membantu saya.”

“Dia kelihatannya sangat peduli dengan mbak Rindi. Semoga saja niatnya memang benar-benar tulus untuk membantu mbak.”

Aku kaget mendengar ucapannya, seolah-olah ia telah mengenal Pram, atau mengetahui sesuatu yang tidak baik tentang Pram.

“Maksudnya gimana mas?” tanyaku.

“Ya kita gak tau isi hati seseorang. Mungkin kebaikan itu hanya kedok untuk mencari keuntungan, memanfaatkan kita.”

Aku tertawa pelan setelah mendengar ucapannya itu.

“Iya.. mas benar.. makasih udah di ingatkan ya.” kataku.

Sekarang aku bisa mengerti, paham dengan arah pembicaraan kami.

“Sama-sama mbak, saya hanya mengingatkan saja.. mbak ini orang baik, jadi jangan sampai dimanfaatkan oleh orang lain yang memang berniat jahat.”

“Menurut mas, Pram bagaimana?” tanyaku.

“Saya kurang mengenal Pram. Tapi selama ini dia terlihat baik. Ya semoga saja memang benar-benar baik.”

Dugaanku tentang arah pembicaraan kami benar adanya.

bersambung

♡♡♡

part 4 akan rilis beberapa jam kedepan. Terima kasih :rose:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd