merah_delima
Calon Pertapa Semprot
part 2
Seiring detik berlalu, lumatannya terasa semakin kasar dan keras, begitu juga dengan remasannya disekujur pantatku. Sambil memejamkan mata, aku menikmati setiap detiknya, setiap gigitannya yang sedikit keras di bibirku.
Hampir beberapa menit lamanya, bibir kami menyatu, bertautan, bahkan saling menghisap lidah.
Setelah puas menikmati bibir, kecupannya mulai menghujani sekujur leherku. Lidahnya menari, menjelajahi setiap jengkal, bahkan mengecupnya dengan keras, hingga terasa sedikit perih. Aku yakin, bekas kecupannya akan meninggalkan jejak memar di leherku.
Entah mengapa, Pram yang lembut dan selalu bersikap romantis terhadapku berubah menjadi kasar dan liar. Tidak ada kecupan lembut, dan belaian manja darinya, melainkan ciuman-ciuman kasar yang panas dan penuh nafsu. Tentu saja aku menyukai perubahan ini, karena aku pun semakin bergairah, semakin bernafsu melayaninya.
Dengan siku, aku menopang tubuhku, sehingga menciptakan ruang diantara tubuh kami, dan saat itulah, lidahnya yang panas langsung menyerbu putingku, sementara tangannya mencengkram erat disekitarnya, menyisakan bagian areola dan putingku, sebagai celah baginya untuk menghisap. Berulang kali, silih berganti, kedua putingku diperlakukannya seperti itu.
Aku benar-benar terangsang hebat. Aku suka caranya menyentuhku, cara yang sedikit kasar dan keras dalam menjamahku. Setelah puas dengan kedua putingku, ia kembali menjilati seluruh bagian dadaku. Jejak air liur menghiasi hampir seluruh bagian payudaraku.
Sambil mengisap kulitku dengan keras, jemarinya memilin kedua putingku, bahkan menjepitnya dengan sedikit keras hingga aku merintih nikmat. Seperti leherku, dadaku pun dihadiahinya dengan jejak kemerahan akibat hisapan keras bibirnya.
Saat lidahnya mulai beralih meninggalkan dadaku, aku segera mencegahnya. Aku masih ingin merasakan kenikmatan saat ia mengerjai payudaraku.
“Sayang.. isepin lagi..” kataku lirih sambil memegang payudaraku dan menyodorkan ke mulutnya.
Secepat kilat, Pram langsung menyambarnya, bukan hanya bagian puting, bagian areola pun dimasukkannya kedalam mulutnya.
Tubuhku merinding melihat Pram melahap payudaraku dengan rakus, apalagi didalam rongga mulutnya, putingku menjadi bulan-bulanan permainan lidahnya. Tak hanya sampai disitu saja, satu putingku yang lain pun tak luput dari kelincahan jemari tangannya. Dipilin, diusap, bahkan sesekali dicubitnya dengan sedikit keras.
Pram benar-benar buas. Ia membuatku merintih, mendesah tak karuan.
“Isepin terus sayang..” gumanku lalu mengecup keningnya. Pram memenuhi keinginanku hingga beberapa menit lamanya, lalu mulai mengalihkan perhatiannya pada bagian tubuhku yang lain.
Setelah puas mencumbui payudaraku, lidahnya bergerak turun, seiring dengan tubuhnya yang bergerak kebagian kaki ranjang. Berkali-kali ia mengecup perutku, sedangkan kedua tengannya kembali sibuk meremas pantatku.
Hanya sesaat, namun sangat menikmati jilatannya si sekitar perutku. Ia terlihat tak ingin menyia-nyiakan setiap jengkalnya sehingga perutku pun dipenuhi oleh jejak air liurnya.
Masih bibawah tubuhku, tubuhnya kembali bergeser ke arah kaki ranjang, ke arah kemaluanku.
Tepat seperti dugaanku, Lidahnya yang hangat dan basah kembali membelai vaginaku. Tidak seperti yang sudah terjadi, Pram memperlakukan kemaluanku dengan penuh kelembutan, ia nampak sangat sabar, menikmati setiap lekuk vaginaku dengan ujung lidahnya. Permainan lidahnya pun tak seliar saat memanjakan dada dan leherku. Ia benar-benar membuatku mabuk kepayang.
Hanya beberapa saat kemudian, kutegakkan tubuhku sehingga kemaluanku tepat berada diatas mulutnya. Kedua pahaku kubuka selebar mungkin agar posisi kemaluanku lebih rendah, agar memudahkan Pram menikmati vaginaku.
Hawa dingin pagi hari setelah hujan semalam akhirnya lenyap. Butir-butir keringat mulai bermunculan disekujur tubuhku, begitu juga dengan Pram, yang tengah asik melahap kemaluanku. Lidahnya menari lincah, menelusuri belahan kemaluanku lalu menyeruak masuk, menyentuh seluruh bagiannya dengan perlahan. Ia sukses membuat vaginaku basah karena cairan yang keluar dari kemaluanku bercampur dengan air liurnya.
Hisapannya pada klitorisku semakin membuat aku melayang. Aku bahkan meremas kedua payudaraku sendiri demi merasakan kenikmatan yang lebih besar. Jemariku pun sibuk memilin putingku, sementara pinggulku bergerak pelan, mengikuti irama jilatannya yang sedari tadi menari diantara celah bibir vaginaku.
“Saayaannggg…” gumanku lirih mengiringi ledakan orgasme yang terjadi.
Tubuhku bergetar, seiring keluarnya cairan kental berwarna putih keruh dari liang vaginaku. Dan tak butuh waktu lama, tubuhku ambruk diatas kasur.
Kupejamkan mataku, menikmati sisa-sisa rasa nikmat orgasme yang sebentar lagi akan menghilang.
Tubuhku tersentak ketika kurasakan lidah Pram kembali menjilati kemaluanku, jilatannya terasa sangat erat menempel di perlukaan vaginaku, lalu bergerak kebawah, dan kembali lagi kebagian atas. Ia seolah sedang membersihkan kemaluanku dengan lidahnya. Sungguh luar biasa panas, pemandangan yang tersaji untuk mataku. Pram terlihat sangat menikmati, sangat menyukai apa yang ia lakukan, seolah sedang menikmati makanan kesukaannya.
Setelah beberapa saat, Pram meengakhiri permainan oralnya dengan sebuah kecupan tepat di bagian atas kemaluanku, lalu berbaring disisiku.
Dengan mata sayu, aku memandangnya, sambil mengusap pipinya.
“Belum sampai 15 menit lho buu.. ibu udah lemes gini.” gumannya.
Aku berbaring menyamping, menyangga kepalaku dengan tangan.
“Gimana gak lemes, sayang mainnya hot banget.” kataku, lalu meraih dan menggengam penisnya.
“Biar ibu puas..” balasnya sambil merapikan rambut di keningku.
“Kamu juga harus puas..” kataku, lalu membimbing tubuhnya untuk berlutut disampingku, tepat di depan kepalaku.
Aku meraih dua buah bantal untuk menyangga kepalaku, agar wajahku sejajar dengan pinggulnya, dengan kemaluannya.
Setelah terasa nyaman, kuraih penisnya yang telah mengeras, dan mulai mengocoknya perlahan. Pandangannya tak lepas dari wajahku, dan ketika aku tersenyum, ia pun tersenyum sambil mengusap kepalaku.
Perlahan, kujulurkan lidahku, dan mulai menjilati bagian bawah ujung penisnya. Pram mendesah pelan, matanya terpejam meresapi sentuhan hangat nan basah di kemaluannya. Pram menyukainya, wajahnya nampak sangat menikmati jilatanku disekujur batang penisnya.
Melihat ekspresi wajahnya, aku semakin bergairah, semakin bersemangat untuk memberinya kenikmatan yang lebih. Lidahku menjalar pelan, menelusuri setiap lekuk penisnya yang nampak perkasa, berdiri tegak seolah menantangku.
Urat-urat berwarna kebiruan yang menghiasi bagian batangnya semakin melengkapi pemandangan erotis yang memanjakan mataku. Sementara lidahku bergerak, tatapan mataku tak pernah lepas dari wajahnya. Aku senang, dan bahagia, Pram nampak begitu menikmati setiap sapuan lidahku yang memanjakan penisnya. Desahannya seolah membakar birahiku, melecut nafsuku.
Rasa lemas akibat orgasmeku perlahan memudar, berganti birahi yang perlahan mulai kembali merasukiku. Sambil mengocok batang penisnya, mulutku menenggelamkan bagian ujungnya, lalu lidahku mennjelajah setiap bagiannya dengan perlahan.
Lambat laun, pinggul Pram bergerak pelan, mulai memompa penisnya kedalam mulutku. Sangat pelan, sangat lembut dan mendorongnya hingga hampir setengah bagian penisnya memasuki mulutku. Akibatnya, air liurku mulai menetes, membasahi dadaku, terus meluncur hingga membasahi sprei dibawahku.
Kami bena-benar larut dalam buaian nafsu membara, bahkan dengan penuh kesadaran, jemariku mulai bergerak kebawah, menyentuh vaginaku sendiri. Kuusap, kupermainkan klitorisku hingga pinggulku pun bergetar karena rasa nikmat yang melanda.
Hanya butuh beberapa detik, akhirnya vaginaku mulai kembali mengeluarkan cairan berwarna keruh, akibat rangsanganku sendiri.
Di bagian atas, Pram masih setia menggerkan pinggulnya maju dan mundur, menyetubuhi mulutku rongga mulutku yang terbuka untuknya.
Setelah beberapa saat, aku mencengkram pantantnya, dan memaksakannya untuk mendorong penisnya agar memasuki mulutku lebih jauh.
Pram mengerang, mendesah panjang. Wajahnya menengadah ke langit-langit kamarku saat aku menahan penisnya selama beberapa detik dalam mulutku.
Aku tahu, ia sangat suka, sangat menikmati caraku memanjakan kemaluannya. Dan setelah beberapa saat, perlahan ia memundurkan pinggulnya, praktis penisnya pun mulai bergerak keluar, seirama dengan gerakan kepalaku yang mulai menjauhi selangkangannya.
Akhirnya, penis itu meninggalkan rongga mulutku. Seluruh bagiannya dilumuri oleh air liurku yang kental. Tanganku pun berhenti mengerjai kemaluanku, dan kembali menggengam penis Pram, lalu mengocoknya perlahan.
Ia menunduk, lalu mengecup keningku dengan penuh kemesraan. Pram membimbing tubuhku untuk berbaring menghadap ke tepian ranjang. Ia memintaku untuk mengangkat kedua kaki, lalu menekuk lutut dan menahannya dengan tanganku.
Pram berdiri di hadapanku, lalu tersenyum. Sudah sejak beberapa hari ini aku berusaha menahan hasratku untuk bersetubuh dengannya. Terakhir kali bercinta, ia membuatku tak berdaya saat menyetubuhiku di halaman belakang rumah, lalu berlanjut ke ruang tengah hingga aku terkencing-kencing. Dan kini, sekali lagi, vaginaku akan menerima kunjungan penisnya. Hal kurindukan sejak beberapa hari terakhir.
Perlahan, ia kembali mengusap kemaluanku, aku bisa melihat, dua jarinya tenggelam dalam belahan vaginaku, karena kedua pahaku sedikit tertutup rapat, hanya menyisakan sedikit celah diantaranya.
Beberapa detik berlalu, dan kurasakan kedua jarinya mulai merangsek, masuk kedalam liang vaginaku dan bergerak pelan didalamnya. Pram sedang mempermainkanku, ia tahu bahwa aku sangat menginginkan penisnya memasuki tubuhku, namun ia menundanya. Lalu ia mulai mengocok kemaluanku, kedua jarinya bekerja bak vibrator membuat sekujur tubuhku bergetar.
Tak seperti kejadian yang lalu, kini kedua jarinya tersebut tetap tertanam didalam kemaluanku, gerakan keluar masuknya hanya dengan interval pendek dan dalam kecepatan yang luar biasa kencang. G Spotku menjadi bulan-bulanan ujung jarinya, dan tak sampai satu menit kemudian, aku kembali mencapai orgasmeku, disertai dengan keluarnya urine dari liang kencingku.
Tubuhku mengelinjang hebat saat urine itu meluncur keluar bak air macur. Sekali lagi, Pram membuatku tak berdaya. Tulang-tulangku terasa menghilang. Tubuhku benar-benar lemah. Kakiku menapak lantai kamar dengan kedua paha terbuka lebar. Nafasku memburu bak pelari yang tengah baru saja mencapai garis finish.
“Sayangggg.. lemes banget..” gumanku. Pram menindih tubuhku dan wajah kami saling berhadapan satu sama lain.
“Semalam ibu nantangin, katanya bisa main seharian.”
Aku tersenyum mendengar ucapannya.
“Jadi kamu merasa tertantang?” tanyaku.
“Enggak juga sih bu, gak perlu merasa kayak gitu.. yang penting sama-sama puas, dan nyaman.” jawabnya.
Aku membelai pipinya, lalu melumat bibirnya dengan penuh rasa.
“Ibu suka?”
Aku mengangguk, lalu kembali melumat bibirnya.
“Sayang jahat.. ibu dibuat pipis lagi.” Kataku seraya mencubit pipinya.
Pram tersenyum sambil menatap mataku dalam-dalam. Kedua tangannya menempel erat erat di pipiku. Aku bisa merasakan bahwa ia sedang mengungkapakan perasaanya padaku, lewat tatapan matanya. Hatinya sedang berbicara padaku.
Beberapa detik berlalu, Pram mendekatkan wajahnya, dan kembali melumat bibirku. Lumatannya begitu lembut, penuh perasaan. Deru nafasnya pun terdengar lembut, mengalun membelah kesunyian pagi.
Sambil membalas lumatannya, tanganku menyelinap diantara himpitan tubuh kami, dan meraih penisnya. Aku ingin merasakan kemaluannya memasuki tubuhku, sekarang.
Setelah beberapa saat, Pram melepaskan lumatannya pada bibirku dan kembali berdiri di lantai, di antara kedua pahaku yang terbuka lebar. Dibimbingnya kedua kakiku agar terangkat ke udara, dan menekuk lututku. Setelah tubuhku dirasa siap, ia mengarahkan penisnya menuju kedepan liang vaginaku.
Segera aku meraih bantal yang terserak disekelilingku, dan menumpuknya tepat dibawah kepalaku. Aku tak ingin kehilangan moment tersebut, karena aku begitu menyukai pemandangan saat penisnya yang perkasa menyeruak masuk kedalam celah kemaluanku.
Saat ujung penisnya telah menempel di depan liang vaginaku, sekali lagi Pram menatapku dalam-dalam untuk beberapa detik lamanya. Lalu ia mulai memfokuskan pandangannya pada kemaluan kami yang telah siap bersatu. Begitu juga denganku, setelah pandangannya beralih dari wajahku, aku pun mengarahkan tatapanku pada kemaluanku.
Jantungku berdebar hebat, menantikan saat penisnya yang perkasa memenuhi liang kenikmatanku.
Perlahan, Pram mulai mendorong pinggulnya, dsn penisnya pun mulai memasuki vaginaku. Sangat pelan, sehingga aku bisa merasakan gesekan yang terjadi antara penisnya dengan dinding liang vaginaku.
Selama itu pula nafasku tertahan, dan akhirnya kuhembuskan perlahan saat penis itu telah tertanam sempurna dalam kemaluanku.
Vaginaku terasa sangat sesak karena terisi penuh oleh ukuran besar kemaluan Pram. Akhirnya, kerinduanku akan keperkasaan penisnya terobati.
Pram membungkuk, sedikit menghimpit tubuhku dengan kasur, dengan menggunakan kedua siku sebagai penopang tubuhnya. Segera kulingkarkan tanganku dilehernya, dan mulai melumat bibirnya.
“Ayo sayang.. puaskan ibu.” bisikku kemudian.
Pram kembali melumat bibirku, seraya mulai menggerakan pinggulnya. Hasratku terpenuhi, saat Pram mulai kembali mendorong penisnya masuk ke liang kenikmatanku, maju dan mundur berulang kali dengan irama yang konstan.
Jika saja kami tidak sambil berciuman, aku yakin, suara desahanku akan membahana memenuhi ruangan kamar tidurku, bahkan mungkin akan terdengar sampai keluar rumah.
Nikmat yang kurasakan di selangkanganku terlalu besar, terlalu hebat, hingga aku tak kuasa menahan desahanku.
Seiring detik berlalu, Pram semakin mempercepat tusukannya, bahkan cenerung kasar dan keras. Tubuhku, ranjangku pun ikut bergoyang akibat hujaman penisnya di vaginaku.
Aku benar-benar terbakar birahi! Tak butuh waktu lama baginya untuk membuat vaginaku kembali basah dan becek, karena cairan lubrikasi mulai keluar dari dalam tubuhku. Hanya beberapa menit berlalu, Pram mengeluarkan penisnya, lalu kembali melumat bibirku.
Setelah itu ia memintaku untuk menungging diatas tempat tidurku, dan kedua pahaku tertutup rapat. Setelah aku siap dan nyaman dengan posisiku, Pram kembali memasukan penisnya. Gerakan pinggulnya sedikit lebih cepat dari sebelumnya, tusukannya sangat dalam, hingga menimbulkan suara benturan antara pinggulnya dan permukaan pantatku.
Aku tak kuasa menahan nikmat yang kembali melanda. Tanganku bergerak liar, mencengkram speri dan apa saja yang ada disekitarku. Wajahku kubenamkan ke kasur agar suara eranganku tak sampai terdengar keluar rumah.
Sambil menghujamkan penisnya, kedua tangan Pram mencengkram pantatku dengan sangat kuat. Hanya beberpa menit berselang, otot-otot disekitar pangkal pahaku menegang, vaginaku berkontraksi seiring semakin buasnya Pram menyetubuhiku. Aku sedang menapaki detik-detik menjelang orgasmeku yang ke tiga di pagi buta.
Dan benar saja, tubuhku mengejang disertai rintihan panjang saat orgasmeku tiba. Dan hanya beberapa detik berselang, Pram pun mencapai klimaks.
Secepat kilat ia mengeluarkan penisnya dari vaginaku, lalu memuntahkan spermanya diatas pantatku.
Pram mendesah panjang, seiring spermanya menyebur hingga ke bagian punggungku.
Tubuhku rebah, tengkurap diatas permukaan kasurku yang empuk. Pagi yang indah untukku, pagi yang sempurna untuk mengawali hari ini.
Pram meraih beberapa lembar tissue diatas meja riasku, lalu menyeka tubuhku yang terkena spermanya.
“Kok tadi gak dikeluarin di dalam sih?” tanyaku saat Pram ikut berbaring disampingku.
“Gapapa kok bu, cuman pengen tau rasanya aja.”
“Trys gimana? Enak?”
Pram tersenyum,
“Enakan dikeluarin di dalam bu.”
Aku tertawa mendengar jawabannya.
“Ya udah… besok-besok dikeluarin dalam aja ya sayang..” jawabku sambil mengusap pipinya.
Pram memgecup telapak tanganku yang menempel di pipinya, lalu melirik ke arah jam dinding.
“Jam lima lewat tigabelas menit. Berati kita main hampir empatpuluhlima menit” gumannya.
“dan kamu buat ibu orgame tiga kali, plus pipis sekali.” timpalku.
Pram tertawa, lantas bangun dari tidurnya.
“Sayang mau kemana?”
“Mau ngepel lantai bu, bersiin pipisnya biar gak bau kamarnya.”
Aku tertawa geli, malu, lalu menutupi wajahku dengan bantal.
Sisa waktu pagi itu kami habiskan dengan bermalas-malasan diatas ranjang.
“Bu..”
“Iya..?”
“Sebelum nikah, ibu kan gak pernah pacaran. Tapi, ada gak cowok yang pernah nembak ibu? Atau suka ibu?” tanyanya.
“Dulu waktu SMA sih pernah sekali. Ditembak sama kakak kelas. Tapi ya ibu tolak, soalnya waktu itu ibu kan baru kelas satu. Masih kecil.”
“Waktu kuliah, pernah dua kali. Ya sama juga, ibu tolak semuanya, soalnya ibu takut aja sih Pram.”
“Takut apa bu?? Emang yang nembak anak-anak nakal ya?”
“Bukan begitu sih, kebetulan yang nembak itu ibu tahu, orangnya baik kok. Cuman ibu takut, kalo pacaran ntar kuliah ibu jadi terganggu.”
“Trus, waktu sama suami ibu, dia nembak juga?”
“Kalo sama dia, dia gak nembak sih Pram, cuman dia bilang kalo dia serius dan mau nikahin ibu. Dia juga bilang mau bawa orang tuanya ketemuan sama orang tua ibu.”
“Ya gitu itu akhirnya. Setelah lulus langsung dilamar, langsung nikah.”
“Ibu nyesel nikah sama dia?” tanyanya lagi.
Sebuah pertanyaan yang sulit kembali dilontarkannya.
“Waktu tau dia selingkuh, ibu nyesel banget. Ibu kecewa. Apalagi dia sampe ninggalin ibu, ninggalin Nova.”
“Tapi, makin kesini, akhirnya ibu sadar. Biar bagaimana pun, dia adalah ayah dari Nova. Dia juga pernah menjadi hal yang indah dalam hidup ibu. Ibu udah memaafkan dia.”
“Kalo misalnya dia menyesal, trus minta maaf, trus ingin kembali sama ibu. Gimana, ibu mau?”
Aku menatap mata Pram dalam-dalam.
“kamu pernah mencoret kertas putih dengan pena?” tanyaku.
“Sering…”
“Lalu kamu hapus coretan itu, entah pakai apa hapusnya. Tapi pasti akan meninggalkan bekas. Iya kan?”
“Iya..”
“Begitu juga dengan hati ibu. Jujur saja ya Pram, hati ibu sudah sembuh, udah gak luka lagi, udah gak sakit lagi. Tapi bekas luka itu masih ada. Ibu memang memaafkan dia, tapi untuk menerima dia kembali, rasanya gak mungkin, gak bisa.”
“Hati ibu udah tertutup untuk dia.”
“Bagaimana dengan Nova? Nova kan butuh sosok ayah?” tanyanya lagi.
“Ibu yakin, Nova akan baik-baik saja. Dan ibu harap, jika nanti dia dewasa, dia akan mengerti dan memaklumi hal ini. Mungkin kamu berpikir bahwa ibu egois. Sah-sah saja, dan wajar kok Pram, tapi, sebagai seorang ibu, ibu gak akan membiarkan Nova dibesarkan dan dididik oleh laki-laki seperti suami ibu.”
“Kalaupun nanti ada penggantinya, ibu harap dia adalah laki-laki yang bertanggung jawab terhadap keluarga, dan berkomitmen kuat terhadap pernikahan. Dan supaya kamu tahu ya Pram, ibu ini bukan orang yang mudah jatuh cinta.”
Pram mendengarkanku dengan penuh perhatian. Aku yakin ia bisa mengerti dan memahami semua jawabanku.
“Saya yakin, suatu saat nanti Nova akan mengerti dan memahami hal ini bu.” Kata Pram.
“Iya Pram, semoga.”
Lama kami berdiam, dan kulihat Pram nampak masih memikirkan percakapan kami. Aku tak ingin pikirannya terganggu dengan masalah kehidupanku.
“Pram.. ngomong-ngomong.. memek ibu ngilu.”
“Saya mainnya terlalu kasar ya bu?? Maaf ya bu..”
“Enggak.. cuman emang punya kamu itu gede, jadi ya kerasa kayak ngilu kalo selesai main. Tapi ibu suka kok.”
“ Beneran sakit ya bu?” tanyanya lagi.
“Enggak sakit kok sayang.. cuman ya ngilu aja dikit.. paling bentar lagi juga ilang.”
“Nih lihat, nenen ibu memar semua, bekas cupanagn kamu.” kataku lagi sambil menunjukkan dadaku yang kemerahan akibat perbuatannya.
Pram tertawa, lalu memelukku.
“Abisnya ibu nggemesin sih..” jawabnya.
Aku membalas dengan memeluk erat tubuhnya, sambil mengecup wajahnya berkali-kali.
“semalam bobo dipeluk, paginya dibuatin sarapan, trus dientotin sampe lemes.”
“Kamu emang hebat.. pinter bahagiain ibu.” kataku lagi, lalu kembali mengecup pipinya.
Pram hanya tersenyum, lalu kami kembali berpelukan hingga bermenit-menit lamanya dalam diam, hanya sekedar berpelukan sambil mengistirahatkan tubuh yang lelah.
Seperti kemarin, Pram membantu menyabuni tubhuhku, begitu juga sebaliknya.
“Kayaknya kamu bisa main seharian,” gumanku sambil memegang penisnya.
“Tadi udah lemes, sekarang udah keras aja” sambungku lagi.
Pram membalas dengan mengusap payudaraku, jemarinya memilin putingku yang telah mengers karena dinginnya air.
“Ibu masih pengen?” tanyanya.
Aku menggelengkan kepala, lalu melumat bibirnya.
Sesungguhnya, aku masih ingin bersetubuh dengannya, namun aku harus menahan hasratku tersebut karena hanya beberapa jam lagi, Pram akan menghadapi ujian. Aku tak ingin ia kelelahan, kehilangan konsentrasi dalam mengerjakan ujiannya karena sepagian telah bergumul denganku.
“Spermanya ditabung dulu, biar banyak lagi.” Jawabku sekenanya.
Pram tertawa, lalu memeluk tubuhku.
♡♡♡
pary 3 akan rilis dalam beberpa jam kedepan. Terima kasih
Seiring detik berlalu, lumatannya terasa semakin kasar dan keras, begitu juga dengan remasannya disekujur pantatku. Sambil memejamkan mata, aku menikmati setiap detiknya, setiap gigitannya yang sedikit keras di bibirku.
Hampir beberapa menit lamanya, bibir kami menyatu, bertautan, bahkan saling menghisap lidah.
Setelah puas menikmati bibir, kecupannya mulai menghujani sekujur leherku. Lidahnya menari, menjelajahi setiap jengkal, bahkan mengecupnya dengan keras, hingga terasa sedikit perih. Aku yakin, bekas kecupannya akan meninggalkan jejak memar di leherku.
Entah mengapa, Pram yang lembut dan selalu bersikap romantis terhadapku berubah menjadi kasar dan liar. Tidak ada kecupan lembut, dan belaian manja darinya, melainkan ciuman-ciuman kasar yang panas dan penuh nafsu. Tentu saja aku menyukai perubahan ini, karena aku pun semakin bergairah, semakin bernafsu melayaninya.
Dengan siku, aku menopang tubuhku, sehingga menciptakan ruang diantara tubuh kami, dan saat itulah, lidahnya yang panas langsung menyerbu putingku, sementara tangannya mencengkram erat disekitarnya, menyisakan bagian areola dan putingku, sebagai celah baginya untuk menghisap. Berulang kali, silih berganti, kedua putingku diperlakukannya seperti itu.
Aku benar-benar terangsang hebat. Aku suka caranya menyentuhku, cara yang sedikit kasar dan keras dalam menjamahku. Setelah puas dengan kedua putingku, ia kembali menjilati seluruh bagian dadaku. Jejak air liur menghiasi hampir seluruh bagian payudaraku.
Sambil mengisap kulitku dengan keras, jemarinya memilin kedua putingku, bahkan menjepitnya dengan sedikit keras hingga aku merintih nikmat. Seperti leherku, dadaku pun dihadiahinya dengan jejak kemerahan akibat hisapan keras bibirnya.
Saat lidahnya mulai beralih meninggalkan dadaku, aku segera mencegahnya. Aku masih ingin merasakan kenikmatan saat ia mengerjai payudaraku.
“Sayang.. isepin lagi..” kataku lirih sambil memegang payudaraku dan menyodorkan ke mulutnya.
Secepat kilat, Pram langsung menyambarnya, bukan hanya bagian puting, bagian areola pun dimasukkannya kedalam mulutnya.
Tubuhku merinding melihat Pram melahap payudaraku dengan rakus, apalagi didalam rongga mulutnya, putingku menjadi bulan-bulanan permainan lidahnya. Tak hanya sampai disitu saja, satu putingku yang lain pun tak luput dari kelincahan jemari tangannya. Dipilin, diusap, bahkan sesekali dicubitnya dengan sedikit keras.
Pram benar-benar buas. Ia membuatku merintih, mendesah tak karuan.
“Isepin terus sayang..” gumanku lalu mengecup keningnya. Pram memenuhi keinginanku hingga beberapa menit lamanya, lalu mulai mengalihkan perhatiannya pada bagian tubuhku yang lain.
Setelah puas mencumbui payudaraku, lidahnya bergerak turun, seiring dengan tubuhnya yang bergerak kebagian kaki ranjang. Berkali-kali ia mengecup perutku, sedangkan kedua tengannya kembali sibuk meremas pantatku.
Hanya sesaat, namun sangat menikmati jilatannya si sekitar perutku. Ia terlihat tak ingin menyia-nyiakan setiap jengkalnya sehingga perutku pun dipenuhi oleh jejak air liurnya.
Masih bibawah tubuhku, tubuhnya kembali bergeser ke arah kaki ranjang, ke arah kemaluanku.
Tepat seperti dugaanku, Lidahnya yang hangat dan basah kembali membelai vaginaku. Tidak seperti yang sudah terjadi, Pram memperlakukan kemaluanku dengan penuh kelembutan, ia nampak sangat sabar, menikmati setiap lekuk vaginaku dengan ujung lidahnya. Permainan lidahnya pun tak seliar saat memanjakan dada dan leherku. Ia benar-benar membuatku mabuk kepayang.
Hanya beberapa saat kemudian, kutegakkan tubuhku sehingga kemaluanku tepat berada diatas mulutnya. Kedua pahaku kubuka selebar mungkin agar posisi kemaluanku lebih rendah, agar memudahkan Pram menikmati vaginaku.
Hawa dingin pagi hari setelah hujan semalam akhirnya lenyap. Butir-butir keringat mulai bermunculan disekujur tubuhku, begitu juga dengan Pram, yang tengah asik melahap kemaluanku. Lidahnya menari lincah, menelusuri belahan kemaluanku lalu menyeruak masuk, menyentuh seluruh bagiannya dengan perlahan. Ia sukses membuat vaginaku basah karena cairan yang keluar dari kemaluanku bercampur dengan air liurnya.
Hisapannya pada klitorisku semakin membuat aku melayang. Aku bahkan meremas kedua payudaraku sendiri demi merasakan kenikmatan yang lebih besar. Jemariku pun sibuk memilin putingku, sementara pinggulku bergerak pelan, mengikuti irama jilatannya yang sedari tadi menari diantara celah bibir vaginaku.
“Saayaannggg…” gumanku lirih mengiringi ledakan orgasme yang terjadi.
Tubuhku bergetar, seiring keluarnya cairan kental berwarna putih keruh dari liang vaginaku. Dan tak butuh waktu lama, tubuhku ambruk diatas kasur.
Kupejamkan mataku, menikmati sisa-sisa rasa nikmat orgasme yang sebentar lagi akan menghilang.
Tubuhku tersentak ketika kurasakan lidah Pram kembali menjilati kemaluanku, jilatannya terasa sangat erat menempel di perlukaan vaginaku, lalu bergerak kebawah, dan kembali lagi kebagian atas. Ia seolah sedang membersihkan kemaluanku dengan lidahnya. Sungguh luar biasa panas, pemandangan yang tersaji untuk mataku. Pram terlihat sangat menikmati, sangat menyukai apa yang ia lakukan, seolah sedang menikmati makanan kesukaannya.
Setelah beberapa saat, Pram meengakhiri permainan oralnya dengan sebuah kecupan tepat di bagian atas kemaluanku, lalu berbaring disisiku.
Dengan mata sayu, aku memandangnya, sambil mengusap pipinya.
“Belum sampai 15 menit lho buu.. ibu udah lemes gini.” gumannya.
Aku berbaring menyamping, menyangga kepalaku dengan tangan.
“Gimana gak lemes, sayang mainnya hot banget.” kataku, lalu meraih dan menggengam penisnya.
“Biar ibu puas..” balasnya sambil merapikan rambut di keningku.
“Kamu juga harus puas..” kataku, lalu membimbing tubuhnya untuk berlutut disampingku, tepat di depan kepalaku.
Aku meraih dua buah bantal untuk menyangga kepalaku, agar wajahku sejajar dengan pinggulnya, dengan kemaluannya.
Setelah terasa nyaman, kuraih penisnya yang telah mengeras, dan mulai mengocoknya perlahan. Pandangannya tak lepas dari wajahku, dan ketika aku tersenyum, ia pun tersenyum sambil mengusap kepalaku.
Perlahan, kujulurkan lidahku, dan mulai menjilati bagian bawah ujung penisnya. Pram mendesah pelan, matanya terpejam meresapi sentuhan hangat nan basah di kemaluannya. Pram menyukainya, wajahnya nampak sangat menikmati jilatanku disekujur batang penisnya.
Melihat ekspresi wajahnya, aku semakin bergairah, semakin bersemangat untuk memberinya kenikmatan yang lebih. Lidahku menjalar pelan, menelusuri setiap lekuk penisnya yang nampak perkasa, berdiri tegak seolah menantangku.
Urat-urat berwarna kebiruan yang menghiasi bagian batangnya semakin melengkapi pemandangan erotis yang memanjakan mataku. Sementara lidahku bergerak, tatapan mataku tak pernah lepas dari wajahnya. Aku senang, dan bahagia, Pram nampak begitu menikmati setiap sapuan lidahku yang memanjakan penisnya. Desahannya seolah membakar birahiku, melecut nafsuku.
Rasa lemas akibat orgasmeku perlahan memudar, berganti birahi yang perlahan mulai kembali merasukiku. Sambil mengocok batang penisnya, mulutku menenggelamkan bagian ujungnya, lalu lidahku mennjelajah setiap bagiannya dengan perlahan.
Lambat laun, pinggul Pram bergerak pelan, mulai memompa penisnya kedalam mulutku. Sangat pelan, sangat lembut dan mendorongnya hingga hampir setengah bagian penisnya memasuki mulutku. Akibatnya, air liurku mulai menetes, membasahi dadaku, terus meluncur hingga membasahi sprei dibawahku.
Kami bena-benar larut dalam buaian nafsu membara, bahkan dengan penuh kesadaran, jemariku mulai bergerak kebawah, menyentuh vaginaku sendiri. Kuusap, kupermainkan klitorisku hingga pinggulku pun bergetar karena rasa nikmat yang melanda.
Hanya butuh beberapa detik, akhirnya vaginaku mulai kembali mengeluarkan cairan berwarna keruh, akibat rangsanganku sendiri.
Di bagian atas, Pram masih setia menggerkan pinggulnya maju dan mundur, menyetubuhi mulutku rongga mulutku yang terbuka untuknya.
Setelah beberapa saat, aku mencengkram pantantnya, dan memaksakannya untuk mendorong penisnya agar memasuki mulutku lebih jauh.
Pram mengerang, mendesah panjang. Wajahnya menengadah ke langit-langit kamarku saat aku menahan penisnya selama beberapa detik dalam mulutku.
Aku tahu, ia sangat suka, sangat menikmati caraku memanjakan kemaluannya. Dan setelah beberapa saat, perlahan ia memundurkan pinggulnya, praktis penisnya pun mulai bergerak keluar, seirama dengan gerakan kepalaku yang mulai menjauhi selangkangannya.
Akhirnya, penis itu meninggalkan rongga mulutku. Seluruh bagiannya dilumuri oleh air liurku yang kental. Tanganku pun berhenti mengerjai kemaluanku, dan kembali menggengam penis Pram, lalu mengocoknya perlahan.
Ia menunduk, lalu mengecup keningku dengan penuh kemesraan. Pram membimbing tubuhku untuk berbaring menghadap ke tepian ranjang. Ia memintaku untuk mengangkat kedua kaki, lalu menekuk lutut dan menahannya dengan tanganku.
Pram berdiri di hadapanku, lalu tersenyum. Sudah sejak beberapa hari ini aku berusaha menahan hasratku untuk bersetubuh dengannya. Terakhir kali bercinta, ia membuatku tak berdaya saat menyetubuhiku di halaman belakang rumah, lalu berlanjut ke ruang tengah hingga aku terkencing-kencing. Dan kini, sekali lagi, vaginaku akan menerima kunjungan penisnya. Hal kurindukan sejak beberapa hari terakhir.
Perlahan, ia kembali mengusap kemaluanku, aku bisa melihat, dua jarinya tenggelam dalam belahan vaginaku, karena kedua pahaku sedikit tertutup rapat, hanya menyisakan sedikit celah diantaranya.
Beberapa detik berlalu, dan kurasakan kedua jarinya mulai merangsek, masuk kedalam liang vaginaku dan bergerak pelan didalamnya. Pram sedang mempermainkanku, ia tahu bahwa aku sangat menginginkan penisnya memasuki tubuhku, namun ia menundanya. Lalu ia mulai mengocok kemaluanku, kedua jarinya bekerja bak vibrator membuat sekujur tubuhku bergetar.
Tak seperti kejadian yang lalu, kini kedua jarinya tersebut tetap tertanam didalam kemaluanku, gerakan keluar masuknya hanya dengan interval pendek dan dalam kecepatan yang luar biasa kencang. G Spotku menjadi bulan-bulanan ujung jarinya, dan tak sampai satu menit kemudian, aku kembali mencapai orgasmeku, disertai dengan keluarnya urine dari liang kencingku.
Tubuhku mengelinjang hebat saat urine itu meluncur keluar bak air macur. Sekali lagi, Pram membuatku tak berdaya. Tulang-tulangku terasa menghilang. Tubuhku benar-benar lemah. Kakiku menapak lantai kamar dengan kedua paha terbuka lebar. Nafasku memburu bak pelari yang tengah baru saja mencapai garis finish.
“Sayangggg.. lemes banget..” gumanku. Pram menindih tubuhku dan wajah kami saling berhadapan satu sama lain.
“Semalam ibu nantangin, katanya bisa main seharian.”
Aku tersenyum mendengar ucapannya.
“Jadi kamu merasa tertantang?” tanyaku.
“Enggak juga sih bu, gak perlu merasa kayak gitu.. yang penting sama-sama puas, dan nyaman.” jawabnya.
Aku membelai pipinya, lalu melumat bibirnya dengan penuh rasa.
“Ibu suka?”
Aku mengangguk, lalu kembali melumat bibirnya.
“Sayang jahat.. ibu dibuat pipis lagi.” Kataku seraya mencubit pipinya.
Pram tersenyum sambil menatap mataku dalam-dalam. Kedua tangannya menempel erat erat di pipiku. Aku bisa merasakan bahwa ia sedang mengungkapakan perasaanya padaku, lewat tatapan matanya. Hatinya sedang berbicara padaku.
Beberapa detik berlalu, Pram mendekatkan wajahnya, dan kembali melumat bibirku. Lumatannya begitu lembut, penuh perasaan. Deru nafasnya pun terdengar lembut, mengalun membelah kesunyian pagi.
Sambil membalas lumatannya, tanganku menyelinap diantara himpitan tubuh kami, dan meraih penisnya. Aku ingin merasakan kemaluannya memasuki tubuhku, sekarang.
Setelah beberapa saat, Pram melepaskan lumatannya pada bibirku dan kembali berdiri di lantai, di antara kedua pahaku yang terbuka lebar. Dibimbingnya kedua kakiku agar terangkat ke udara, dan menekuk lututku. Setelah tubuhku dirasa siap, ia mengarahkan penisnya menuju kedepan liang vaginaku.
Segera aku meraih bantal yang terserak disekelilingku, dan menumpuknya tepat dibawah kepalaku. Aku tak ingin kehilangan moment tersebut, karena aku begitu menyukai pemandangan saat penisnya yang perkasa menyeruak masuk kedalam celah kemaluanku.
Saat ujung penisnya telah menempel di depan liang vaginaku, sekali lagi Pram menatapku dalam-dalam untuk beberapa detik lamanya. Lalu ia mulai memfokuskan pandangannya pada kemaluan kami yang telah siap bersatu. Begitu juga denganku, setelah pandangannya beralih dari wajahku, aku pun mengarahkan tatapanku pada kemaluanku.
Jantungku berdebar hebat, menantikan saat penisnya yang perkasa memenuhi liang kenikmatanku.
Perlahan, Pram mulai mendorong pinggulnya, dsn penisnya pun mulai memasuki vaginaku. Sangat pelan, sehingga aku bisa merasakan gesekan yang terjadi antara penisnya dengan dinding liang vaginaku.
Selama itu pula nafasku tertahan, dan akhirnya kuhembuskan perlahan saat penis itu telah tertanam sempurna dalam kemaluanku.
Vaginaku terasa sangat sesak karena terisi penuh oleh ukuran besar kemaluan Pram. Akhirnya, kerinduanku akan keperkasaan penisnya terobati.
Pram membungkuk, sedikit menghimpit tubuhku dengan kasur, dengan menggunakan kedua siku sebagai penopang tubuhnya. Segera kulingkarkan tanganku dilehernya, dan mulai melumat bibirnya.
“Ayo sayang.. puaskan ibu.” bisikku kemudian.
Pram kembali melumat bibirku, seraya mulai menggerakan pinggulnya. Hasratku terpenuhi, saat Pram mulai kembali mendorong penisnya masuk ke liang kenikmatanku, maju dan mundur berulang kali dengan irama yang konstan.
Jika saja kami tidak sambil berciuman, aku yakin, suara desahanku akan membahana memenuhi ruangan kamar tidurku, bahkan mungkin akan terdengar sampai keluar rumah.
Nikmat yang kurasakan di selangkanganku terlalu besar, terlalu hebat, hingga aku tak kuasa menahan desahanku.
Seiring detik berlalu, Pram semakin mempercepat tusukannya, bahkan cenerung kasar dan keras. Tubuhku, ranjangku pun ikut bergoyang akibat hujaman penisnya di vaginaku.
Aku benar-benar terbakar birahi! Tak butuh waktu lama baginya untuk membuat vaginaku kembali basah dan becek, karena cairan lubrikasi mulai keluar dari dalam tubuhku. Hanya beberapa menit berlalu, Pram mengeluarkan penisnya, lalu kembali melumat bibirku.
Setelah itu ia memintaku untuk menungging diatas tempat tidurku, dan kedua pahaku tertutup rapat. Setelah aku siap dan nyaman dengan posisiku, Pram kembali memasukan penisnya. Gerakan pinggulnya sedikit lebih cepat dari sebelumnya, tusukannya sangat dalam, hingga menimbulkan suara benturan antara pinggulnya dan permukaan pantatku.
Aku tak kuasa menahan nikmat yang kembali melanda. Tanganku bergerak liar, mencengkram speri dan apa saja yang ada disekitarku. Wajahku kubenamkan ke kasur agar suara eranganku tak sampai terdengar keluar rumah.
Sambil menghujamkan penisnya, kedua tangan Pram mencengkram pantatku dengan sangat kuat. Hanya beberpa menit berselang, otot-otot disekitar pangkal pahaku menegang, vaginaku berkontraksi seiring semakin buasnya Pram menyetubuhiku. Aku sedang menapaki detik-detik menjelang orgasmeku yang ke tiga di pagi buta.
Dan benar saja, tubuhku mengejang disertai rintihan panjang saat orgasmeku tiba. Dan hanya beberapa detik berselang, Pram pun mencapai klimaks.
Secepat kilat ia mengeluarkan penisnya dari vaginaku, lalu memuntahkan spermanya diatas pantatku.
Pram mendesah panjang, seiring spermanya menyebur hingga ke bagian punggungku.
Tubuhku rebah, tengkurap diatas permukaan kasurku yang empuk. Pagi yang indah untukku, pagi yang sempurna untuk mengawali hari ini.
Pram meraih beberapa lembar tissue diatas meja riasku, lalu menyeka tubuhku yang terkena spermanya.
“Kok tadi gak dikeluarin di dalam sih?” tanyaku saat Pram ikut berbaring disampingku.
“Gapapa kok bu, cuman pengen tau rasanya aja.”
“Trys gimana? Enak?”
Pram tersenyum,
“Enakan dikeluarin di dalam bu.”
Aku tertawa mendengar jawabannya.
“Ya udah… besok-besok dikeluarin dalam aja ya sayang..” jawabku sambil mengusap pipinya.
Pram memgecup telapak tanganku yang menempel di pipinya, lalu melirik ke arah jam dinding.
“Jam lima lewat tigabelas menit. Berati kita main hampir empatpuluhlima menit” gumannya.
“dan kamu buat ibu orgame tiga kali, plus pipis sekali.” timpalku.
Pram tertawa, lantas bangun dari tidurnya.
“Sayang mau kemana?”
“Mau ngepel lantai bu, bersiin pipisnya biar gak bau kamarnya.”
Aku tertawa geli, malu, lalu menutupi wajahku dengan bantal.
Sisa waktu pagi itu kami habiskan dengan bermalas-malasan diatas ranjang.
“Bu..”
“Iya..?”
“Sebelum nikah, ibu kan gak pernah pacaran. Tapi, ada gak cowok yang pernah nembak ibu? Atau suka ibu?” tanyanya.
“Dulu waktu SMA sih pernah sekali. Ditembak sama kakak kelas. Tapi ya ibu tolak, soalnya waktu itu ibu kan baru kelas satu. Masih kecil.”
“Waktu kuliah, pernah dua kali. Ya sama juga, ibu tolak semuanya, soalnya ibu takut aja sih Pram.”
“Takut apa bu?? Emang yang nembak anak-anak nakal ya?”
“Bukan begitu sih, kebetulan yang nembak itu ibu tahu, orangnya baik kok. Cuman ibu takut, kalo pacaran ntar kuliah ibu jadi terganggu.”
“Trus, waktu sama suami ibu, dia nembak juga?”
“Kalo sama dia, dia gak nembak sih Pram, cuman dia bilang kalo dia serius dan mau nikahin ibu. Dia juga bilang mau bawa orang tuanya ketemuan sama orang tua ibu.”
“Ya gitu itu akhirnya. Setelah lulus langsung dilamar, langsung nikah.”
“Ibu nyesel nikah sama dia?” tanyanya lagi.
Sebuah pertanyaan yang sulit kembali dilontarkannya.
“Waktu tau dia selingkuh, ibu nyesel banget. Ibu kecewa. Apalagi dia sampe ninggalin ibu, ninggalin Nova.”
“Tapi, makin kesini, akhirnya ibu sadar. Biar bagaimana pun, dia adalah ayah dari Nova. Dia juga pernah menjadi hal yang indah dalam hidup ibu. Ibu udah memaafkan dia.”
“Kalo misalnya dia menyesal, trus minta maaf, trus ingin kembali sama ibu. Gimana, ibu mau?”
Aku menatap mata Pram dalam-dalam.
“kamu pernah mencoret kertas putih dengan pena?” tanyaku.
“Sering…”
“Lalu kamu hapus coretan itu, entah pakai apa hapusnya. Tapi pasti akan meninggalkan bekas. Iya kan?”
“Iya..”
“Begitu juga dengan hati ibu. Jujur saja ya Pram, hati ibu sudah sembuh, udah gak luka lagi, udah gak sakit lagi. Tapi bekas luka itu masih ada. Ibu memang memaafkan dia, tapi untuk menerima dia kembali, rasanya gak mungkin, gak bisa.”
“Hati ibu udah tertutup untuk dia.”
“Bagaimana dengan Nova? Nova kan butuh sosok ayah?” tanyanya lagi.
“Ibu yakin, Nova akan baik-baik saja. Dan ibu harap, jika nanti dia dewasa, dia akan mengerti dan memaklumi hal ini. Mungkin kamu berpikir bahwa ibu egois. Sah-sah saja, dan wajar kok Pram, tapi, sebagai seorang ibu, ibu gak akan membiarkan Nova dibesarkan dan dididik oleh laki-laki seperti suami ibu.”
“Kalaupun nanti ada penggantinya, ibu harap dia adalah laki-laki yang bertanggung jawab terhadap keluarga, dan berkomitmen kuat terhadap pernikahan. Dan supaya kamu tahu ya Pram, ibu ini bukan orang yang mudah jatuh cinta.”
Pram mendengarkanku dengan penuh perhatian. Aku yakin ia bisa mengerti dan memahami semua jawabanku.
“Saya yakin, suatu saat nanti Nova akan mengerti dan memahami hal ini bu.” Kata Pram.
“Iya Pram, semoga.”
Lama kami berdiam, dan kulihat Pram nampak masih memikirkan percakapan kami. Aku tak ingin pikirannya terganggu dengan masalah kehidupanku.
“Pram.. ngomong-ngomong.. memek ibu ngilu.”
“Saya mainnya terlalu kasar ya bu?? Maaf ya bu..”
“Enggak.. cuman emang punya kamu itu gede, jadi ya kerasa kayak ngilu kalo selesai main. Tapi ibu suka kok.”
“ Beneran sakit ya bu?” tanyanya lagi.
“Enggak sakit kok sayang.. cuman ya ngilu aja dikit.. paling bentar lagi juga ilang.”
“Nih lihat, nenen ibu memar semua, bekas cupanagn kamu.” kataku lagi sambil menunjukkan dadaku yang kemerahan akibat perbuatannya.
Pram tertawa, lalu memelukku.
“Abisnya ibu nggemesin sih..” jawabnya.
Aku membalas dengan memeluk erat tubuhnya, sambil mengecup wajahnya berkali-kali.
“semalam bobo dipeluk, paginya dibuatin sarapan, trus dientotin sampe lemes.”
“Kamu emang hebat.. pinter bahagiain ibu.” kataku lagi, lalu kembali mengecup pipinya.
Pram hanya tersenyum, lalu kami kembali berpelukan hingga bermenit-menit lamanya dalam diam, hanya sekedar berpelukan sambil mengistirahatkan tubuh yang lelah.
Seperti kemarin, Pram membantu menyabuni tubhuhku, begitu juga sebaliknya.
“Kayaknya kamu bisa main seharian,” gumanku sambil memegang penisnya.
“Tadi udah lemes, sekarang udah keras aja” sambungku lagi.
Pram membalas dengan mengusap payudaraku, jemarinya memilin putingku yang telah mengers karena dinginnya air.
“Ibu masih pengen?” tanyanya.
Aku menggelengkan kepala, lalu melumat bibirnya.
Sesungguhnya, aku masih ingin bersetubuh dengannya, namun aku harus menahan hasratku tersebut karena hanya beberapa jam lagi, Pram akan menghadapi ujian. Aku tak ingin ia kelelahan, kehilangan konsentrasi dalam mengerjakan ujiannya karena sepagian telah bergumul denganku.
“Spermanya ditabung dulu, biar banyak lagi.” Jawabku sekenanya.
Pram tertawa, lalu memeluk tubuhku.
♡♡♡
pary 3 akan rilis dalam beberpa jam kedepan. Terima kasih