Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

Bimabet
suhu2 yg tau cara bikin tread bisa ksi tau ane ya huu sya ada pengalaman pribadi bbrpa tp ga tau cara bikin treadnya klu ada yg tau bisa ksi tau huuu 🙏🏻
 
suhu2 yg tau cara bikin tread bisa ksi tau ane ya huu sya ada pengalaman pribadi bbrpa tp ga tau cara bikin treadnya klu ada yg tau bisa ksi tau huuu 🙏🏻
Sudah nulis belum,ceritanya? Kalau belum coba belajar bikin thread di hth dulu share pengalaman dulu
Nanti dirangkum dibikin cerita

Diatas cari. (no prefix) klik judul thread isi sesuai keinginan
Mending belajar di latihan posting dulu
 
Terakhir diubah:
Beberapa kali thread ini gua lewatin, krna gua anggap biasa aja, tapi setelah gua baca, pikiran gua langsung ini berubah, ini thread bagus, alurnya natural, coba dimasukin ke sf cerbung
 
Makasih saran dan masukannya ya :rose:
Kalo dari sisi perempuan, apalagi yg dalam kondisi seperti Rindi, berat banget lho. Bayangin aja jadi janda di usia muda, punya anak juga.

Trus ketemu sama cowok yg emang bener2 udah klop dan pas dihati, tapi usianya jauh lebih muda, tajir pulak.

Jadi, maksud aku, yang mau aku sampaikan dlm kisah ini adalah gambaran suasana hati, dilema, galau kalo kata anak jaman sekarang. Bagi pribadi seperti Rindi ( dan bagi perempuan lain yg hidupnya sama seperti ini) aku yakin, rasanya pasti berat banget.

Jadi, kalo tentang konflik suapay kisah ini lebih gimana gitu, kayaknya sih gk ada.

Semua ini tentang suasana hati, tentang perasaan aja sih bang.

Kira-kira gitu ya.

Makasih atas sarannya bang :ampun:
Iya mbak udh sgt bagus koq alex..happyending dgn pram...tdk usah ada unsur paksaan segala dr pak sandi...malah alur cerita makin kabur dan tdk asyik....mngkn saran yg bagus mantan suami yg kena karma dan akan kembali ke rindi dan rindi menunjukkan kebahagiaanx bersama pram
 
Iya mbak udh sgt bagus koq alex..happyending dgn pram...tdk usah ada unsur paksaan segala dr pak sandi...malah alur cerita makin kabur dan tdk asyik....mngkn saran yg bagus mantan suami yg kena karma dan akan kembali ke rindi dan rindi menunjukkan kebahagiaanx bersama pram
Maksudnya gimana ntu bang?
 
Ooo garis besarnya gak ada konflik... Berarti sandi bye bye dong ya 😁

Tinggal kartu as aja yang belom keluar.. Yakni keluarganya pram.. Bagaimana menilai sosok rindi yang nantinya ( kalopun iya) bersanding ama pram.. Secara dari status rindi dan Pram sudah di jelaskan secara gamblang..
Oke kita tunggu kartu as nya keluar ya sist @merah_delima .. Come on pram.. Selesaiin dulu skripsi mu.. Cari kerja yang bener.. Bawa bu rindi ama nova di hadapan keluarga mu...
Sebenernya gak ada kartu AS kok, gak ada kejutan juga sih, semuanya berjalan seperti biasanya..

Sekali lagi, kisah ini lebih menonjolkan sisi hati sosok perempuan, tentang lika-liku perasaan hati perempuan aja sih.

Kira-kira gitu ya bang
:rose:
 
Rada berat kalo masuk sf cerbung bang. Blm berani aku.

makasih :ampun:
Memang mba, lebih cocok di DRAMA...
soalnya banyak hal yg diceritain dan dikembangin dalam perjalanan hidup Rindi dan Pram...

Sebenernya gak ada kartu AS kok, gak ada kejutan juga sih, semuanya berjalan seperti biasanya..

Sekali lagi, kisah ini lebih menonjolkan sisi hati sosok perempuan, tentang lika-liku perasaan hati perempuan aja sih.

Kira-kira gitu ya bang
:rose:
Banyak ujian dan rintangan dalam perjuangan Rindi menuju kebahagiaan nya...
:semangat: :semangat:
 
Bimabet
RINDIANI The Series - Seri 9
Sosok-Sosok Luar Biasa

part 1



Rindiani

Pram menghempaskan tubuhnya diatas ranjangku setelah sebelumnya berganti pakaian dengan pakaian yang biasa ia gunakan dirumah. Aku memandanginya lewat pantulan cermin di meja riasku karena sedang membersihkan wajah, sebelum kami beristirahat.

“Mau ibu pijetin?” tanyaku, sambil mengusapkan kapas pembersih ke seluruh bagian wajahku.

“Enggak bu, gak capek kok.”

Setelah berganti pakaian, aku menyusul lelakiku diatas ranjang dan berbaring di sisinya.

“Mbak Aya kalo belanja boros banget yah.” gumanku.

“Dulu gak begitu bu. Sejak dia kerja aja jadi boros kayak gitu.”

“Oohhh, ya pantes aja. Soalnya udah bisa nyari duit sendiri.”

“Pakaiannya banyak banget. Dirumah kami aja ada dua lemari besar. Gak tau di apartmentnya di jakarta. Sepatunya juga banyak.” keluhnya.

“Namanya juga cewek, jadi wajar aja kalo gitu.”

Pram mendengus kesal.

“Tapi kan jadi boros banget bu. Kadang dia beli pakaian, cuman sekali dipakai, trus disimpen gitu aja sampe rusak, kadang dikasih ke orang lain.”

“Cewek ya emang begitu, sayang. Apalagi udah kerja, udah mapan, bisa nyari duit sendiri.”

“Emang tadi mbak Aya belanja apaan bu?”

“Banyak banget. Baju, celana, celana dalam, Bra, sepatu, tas..”

“Ibu juga di beliin kayak gitu.” sambungku.

Pram tertawa, lalu berbaring miring, menghadap ke arahku.

“Dulu, pas mbak Aya kesini, Nina juga dibelanjain kayak gitu, soalnya nemenin dia belanja. Mbak Aya itu royal bu, kalo sama temen gak perhitungan.”

“Iya, tadi belanja asal ambil aja, gak mikir harganya berapa.” timpalku.

“Ibu udah nolak, tapi Mbak Aya maksa banget, jadi ya ibu terima aja.”

“Ibu gak mungkin bisa menolak mbak Aya. Dia keras kepala banget bu.”

Aku mengangguk, menyetujui apa yang Pram katakan. Calya memang keras kepala, namun dalam hal yang baik. Ia hanya berusaha untuk menyenangkan hati orang yang ia kenal.

“Beruntung banget cowok yang bisa jadi suaminya nanti.” gumanku.

“Iya, sama kayak ibu, beruntung banget laki-laki yang bisa jadi suami ibu.”

Aku menatap Pram dengan sedikit keheranan.

“Kayaknya enggak. Suami ibu aja selingkuh, trus pergi.”

Pram tersenyum, lalu mengusap pipiku dengan lembut.

“Karena dia bukan laki-laki yang bisa melihat keindahan ibu.” katanya.

“Apanya yang indah? Maksud kamu gimana?”

Pram menatapku, lalu mendekatkan tubuh padaku.

“Setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangannya. Itu wajar, hal yang manusiawi. Sebagai seorang wanita, seorang ibu, menurut saya, ibu sudah menjadi yang terbaik. Sempurna.”

“Lemah lembut, baik, pengertian, bisa mengurusi keluarga, tegar dan kuat.” sambungnya lagi sambil terus menempelkan telapak tangannya dipipiku.

“Menurut kamu, ibu udah sempurna sebagai seorang wanita? Seorang istri?” tanyaku.

Pram mengangguk, lalu mengecup bibirku sesaat.

“Saya tidak tahu persis, apa yang menyebabkan suami ibu pergi. Kenapa dia selingkuh. Tapi saya sudah merasakan dan tahu bagaimana rasanya menjadi laki-laki disamping ibu. Mungkin masih ada hal yang belum saya ketahui tentang ibu, tapi saya yakin, ibu adalah seorang istri yang baik, istri yang sempurna.”

Sedikit banyak, apa yang Pram katakan membuatku bangga dan hatiku berbunga-bunga. Aku yakin, Pram tidak sedang merayuku. Ia berkata sesuai dengan apa yang ia rasakan dan ia lihat selama ini.

“Iya, ibu juga gak tahu penyebab kenapa suami ibu selingkuh.”

Kami terdiam sesaat, saling menatap wajah dengan mesra.

“Seharusnya sebagai suami, dia menjadi pelengkap kekurangan ibu, menjadi pembimbing dan penyempurna hidup ibu.”

“Tapi sudahlah, gak perlu dipikir lagi bu, semua sudah terjadi.” sambungnya.

Aku hanya mengangguk pelan, menatap dalam-dalam wajah lelakiku.

“Hidup ibu ya seperti ini, seperti yang kamu kenali dan lihat selama ini. Gak ada yang ibu sembunyikan atau ibu tutupi dari kamu.”

Pram tersenyum, lalu kembali mengusap pipiku.

“Mungkin ibu belum sempurna dimata orang lain. Hal itu wajar kok, manusiawi. Tapi, sebagai makhluk yang dilengkapi dengan akal budi, hati nurani, ibu telah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi pribadi yang baik.”

“Haduuhhhh.. kamu ngomongnya kepinteran. Pakai bahasa yang biasa aja dong, bahasa sederhana aja biar ibu paham.”

Pram tertawa, lalu mencubit pipiku dengan gemes.

“Gini aja deh.”

“Ibu inget waktu kita ngobrol di halaman rumah ibu tempo hari? Waktu siang itu lho bu, sambil ngopi dibawah pohon.”

“Iya, ibu inget. Itu kan pertama kali kita ngobrol, kalo gak salah sih.” jawabku.

“Iya, ibu bener. Waktu itu ibu bilang kalo ibu sadar, bahwa apa yang kita lakukan sekarang, apa yang terjadi diantara kita adalah hal yang salah. Maksud ibu tentang hubungan seks kita. Iya kan?”

Aku mengangguk, dan mengenang kembali moment tersebut.

“Artinya, ibu masih punya hati nurani, punya kontrol yang baik atas prilaku ibu sendiri.”

Aku mencoba mencerna apa yang dikatakan olehnya, karena bagiku, obrolan kami kali ini terbilang cukup serius dan berat bagiku.

“Kalo ibu gak punya hati, ibu gak akan ngomong seperti itu. Malah, mungkin saja ibu akan lebih liar dan gila dalam urusan seks.”

“Contoh lainnya lagi.” sambungnya.

“Ibu gak ingin kehilangan Nova, karena ibu merasa bertanggung jawab terhadapnya. Padahal, kalo mau ngelepas Nova biar diasuh suami ibu, mudah banget. Tapi ibu memilih untuk mempertahankan Nova, karena ibu memiliki hati nurani.”

Sedikit banyak, aku mulai memahami apa yang coba dijelaskan oleh Pram.

“Gimana ya Pram, hhmmm.. sebenernya ibu hanya menjalani semuanya sesuai dengan apa yang ibu rasakan.”

“Misalnya tentang Nova. Dia kan anak ibu. Ibu udah mengandung dia, menyusui dia, merawat dia. Dia bagian dari hidup ibu, dan ibu gak mau kehilangan dia.”

“Nah..! Itu maksud saya bu. Ibu memiliki rasa tanggung jawab sebagai seorang ibu. Padahal kalo ibu gak mau repot, gak mau pusing, ibu serahkan Nova ke suami ibu aja, bisa. Dan beban hidup ibu bisa berkurang. Tapi ibu gak melakukannya. Ibu memilih untuk tetap mempertahankan Nova.”

Aku mengangguk, dan mulai memahami apa yang coba Pram katakan.

“Memang sih, kadang kita gak selalu baik sepanjang waktu. Ada saat dimana cacat, atau kekurangan kita menjadi hal yang kurang menyenangkan, terutama bagi pasangan kita. Tapi, apapun itu, seharusnya bukan menjadi alasan untuk berselingkuh.”

“Iya, ibu setuju. Kamu bener.”

“Nah, dari semua hal itu, menurut saya, ibu adalah perempuan sempurna, seorang ibu dan istri yang sempurna.”

“Tapi ibu gak cantik, gak pinter seperti mbak Aya, gendut lagi…” gerutuku.

Pram menggelengkan kepala, lalu mendekatkan wajahnya dengan wajahku.

“Yang penting isi hati ibu, dan bagaimana cara ibu menjalani kehidupan. Fisik itu hanya bonus.” katanya dengan lembut sambil mengusap pipiku.

“Seharusnya kamu jadi Motivator aja.” gumanku sambil mencubut pipinya.

Pram tertawa, lalu memelukku dengan sangat erat untuk beberapa saat.

“Gak mau. Jadi motivator itu harus pinter. Saya gak pantas bu.”

“Kamu pantes banget kok sayang. Kalo bukan karena kamu, mungkin ibu gak akan jadi seperti sekarang ini. Ibu bisa bangkit dan berjalan lagi karena kamu selalu membimbing ibu, menyemangati ibu.”

“Kemarin-kemarin ibu gak pede dengan fisik ibu, tapu kamu berhasil merubahnya.” sambungku lagi.

Selanjutnya kami hanya menghabiskan waktu dalam diam. Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam.

“Kita nonton tv yuk bu.”

“Iya, boleh.. lagian masih sore, belum ngantuk juga.”

Pram terlebih dahulu menuju ke ruang tengah, sementara aku menyempatkan diri untuk ke kamar mandi, lalu berganti pakaian sebelum menyusulnya.

Ketika melihatku keluar dari kamar tidur, Pram tersenyum. Ia nampak senang dengan pakaian yang kukenakan.

“Seksi..” gumannya.

Aku tersenyum, lalu duduk disampingnya.

“Ini baju yang tadi di beliin mbak Aya. Sebenernya satu set sama pakaian dalamnya. Tapi dalemannya besok dicuci dulu deh, baru dipakai.”

“Pantes aja. Mbak Aya kan baju tidurnya selalu seksi kayak gini.”

“Oh ya?? Emang kamu sering lihat mbak Aya pakai pakaian seksi?”

Pram menghela nafas, lalu membaringkan tubuh dengan kepala beralaskan pahaku.

“Dia sih cuek aja. Masa bodoh. Saya yang risih, gak nyaman kalo lihat dia pakai pakaian seksi.”

“Namanya juga baju tidur, jadi ya biasanya kan emang seksi.” kataku.

“Iya sih, cuman saya aja yang gak nyaman lihat dia kayak gitu.”

“Kalo ibu yang pakai pakaian seksi gimana? Kamu risih?” tanyaku.

Pram tertawa sejenak, lalu meraih tanganku dan mengecupnya.

“Kalo ibu yang pakai, saya suka.” jawabnya.

Aku menunduk, lalu mengecup kening lelakiku.

Tujuan untuk menonton tv tak sepenuhnya tercapai, karena sesampainya di ruang tengah, kami kembali berbincang-bincang. Entah acara apa yang tersaji dilayar tv, kami tak memperdulikannya.

“Emang kalian akrab dari kecil ya? Deket dari kecil?” tanyaku.

“Iya bu. Dari kecil mbak Aya emang udah deket sama saya. Kalo tidur malam, pasti ditemenin sama dia. Tapi sejak dia masuk SMP, udah gak nemenin lagi.”

“Tuh kan, berarti mbak Aya sayang sama kamu. Bukan bawel.”

“Tapi dulu dia gak kayak sekarang ini kok bu. Dulu waktu masih kuliah, dia gak bawel, gak cerewet kayak sekarang.”

Aku tertawa mendengar keluhan lelakiku. “Haduuuhhhhh kamu ini yaaa. Wajar aja dia cerewet, karena mbak Aya itu punya adik cuman satu, ya kamu ini satu-satunya adiknya, saudaranya. Dia itu sebenernya perhatian dan sayang sama kamu. Dia kan kakak kamu, dia yang bertanggung jawab terhadap kamu sekarang.”

“Iya juga sih bu, bener begitu. Tapi saya kan bukan anak kecil lagi. Jadi kan gak perlu diatur harus begini, harus begitu, gak boleh begini, gak boleh begitu.”

“Kalo tentang mengatur hidup kamu, sebenernya itu hanya sekedar mengingatkan aja kok Pram. Dan ibu yakin, mbak Aya gak ada niat untuk mengatur hidup kamu.”

Sejenak, Pram tak melanjutkan obrolan kami. Tatapan matanya menerawang ke arah langit-langit rumah.

“Kalo sama bapak ibu, Pram juga deket?” tanyaku.

“Biasa aja sih bu, gak deket-deket amat.”

“Berarti lebih deket sama mbak Aya kan?”

“Iya..”

“Nah.. maka dari itu, sebagai seorang kakak, mbak Aya ingin supaya kamu hidup dengan baik, tidak kekurangan satu apapun.”

“Percaya deh sama ibu, mbak Aya gak bawel dan gak cerewet seperti yang kamu kira.”

“Kalo ibu berada di posisi mbak Aya, ibu pun akan bersikap sama seperti dia.”

Pram tersenyum sambil menatap wajahku.

“Kok ketawa?”

“Ibu gak cocok kalo jadi perempuan bawel dan cerewet.” gumannya.

“Kok bisa? Gak cocok gimana?” tanyaku heran.

“Ibu orangnya lemah lembut, gak banyak bicara. Saya udah ngerasain dan sedikit banyak memahami ibu. Jadi, rasanya gak cocok aja kalo ibu jadi bawel.”

Apa yang Pram katakan tentang aku, benar adanya. Aku tidak terbiasa mengatur kehidupan orang lain, hal itu bukanlah karakterku. Aku lebih memilih untuk mempercayai orang lain dalam menjalani kehidupannya, menyerahkan sepenuhnya semua keputusan tentang jalan hidup pada orang tersebut.

“Kalo misalnya ibu yang ngatur kamu gimana? Kamu mau dengerin?” tanyaku.

Pram tersenyum, lalu melingkarkan tangannya di pinggangku.

“Mau kok bu.”

“Sama mbak Aya juga saya selalu ndengerin kok bu, cuman kadang ya saya ngerasa terlalu berlebihan aja.”

“Berlebihan gimana sih sayang? Coba jelasin.”

“Misalnya saya dikontrakkan rumah selama kuliah. Itu kan gak penting banget, mending ngekost aja, lebih hemat. Saya mau di beliin mobil buat transport kuliah. Itu kan pemborosan, padahal pakai sepeda motor aja kan udah bisa, udah cukup.”

“Iya sih. Tapi mungkin mbak Aya emang ingin supaya hidupmu disini nyaman dan gak kekurangan satu apapun.” kataku.

“Justru dengan hidup seperti sekarang ini, saya nyaman bu. Saya gak perlu mobil buat kuliah. Saya lebih senang ngekost.”

“Jujur aja ya sayang. Ibu heran lho sama kamu. Kayaknya, Kamu ini anak orang kaya lho, dan mbak Aya mampu membiayai hidup kamu melebihi kebutuhan kamu. Tapi kamu lebih senang hidup sederhana, hidup seperti sekarang ini.”

Pram kembali tersenyum.

“Bu, yang kaya itu orang tua saya, Mbak Aya. Mereka yang punya uang. Sedangkan saya, masih kuliah, belum punya apa-apa.”

“Saya juga kepingin hidup seperti mbak Aya kok. Punya mobil, bisa beli rumah, beli apartment, punya tabungan, bisa senang-senang. Tapi belum saatnya, saya belum sampai di masa itu. Jadi, buat apa saya membanggakan hal itu, kalo sebenernya semua itu adalah hasil keringat orang tua saya, hasil keringat mbak Aya?”

Sebuah pemikiran yang realistis dan bijak dari lelakiku. Sedikit banyak, kepribadiannya menambah keunikan yang selama ini selalu kudapati dalam dirinya.

Pram bukan seorang pemuda biasa, tetapi luar biasa. Aku sangat yakin, kedua orangtuanya pasti sangat bangga padanya.

“Ibu bangga sama kamu. Dan ibu senang bisa kenal kamu. Ibu yakin, suatu saat nanti kamu akan jadi orang sukses.” gumanku sambil mengusap kepalanya.

“Amiinnnn..”

“Saya juga senang bisa kenal ibu, bisa dekat dengan ibu.”

Aku menundukkan kepala, lalu mengecup bibirnya. Ciumanku berbalas dengan lumatan lembut pada bibirku.

Aku bisa merasakan kasih sayangnya yang dalam lewat ciuman itu. Aku yakin akan hal itu. Setelah kecupan itu berakhir, kuusap pipinya, lalu mengecup keningnya. Pram tersenyum, lalu mempererat pelukannya pada pinggangku.

“Oh iya, ibu mau nanya..”

“Ngomong-ngomong, kapan pertama kali Pram tahu kalo suami ibu selingkuh sama Anita.”

“Pertama kali lihat waktu fotokopi tugas kampus. Kebetulan Anita ada disitu, lagi fotokopi juga. Dia ditemenin sama suami ibu.”

“Selama ini, gosipnya emang Anita itu simpenan om-om, tapi belum pernah ada yang lihat orangnya. Waktu di tempat foto kopi itu, saya yakin, suami ibu gak mengenali saya, mungkin karena saya baru aja ngekost disini, jadi belum hafal dengan wajah saya.”

“Kalo ibu nanya, kapan mereka mulai selingkuh, saya gak tau bu.”

“Ya udah, gapapa, ibu cuman pengen tau aja kok Pram”

“Emang sebelum ketahuan itu, ibu gak curiga? Atau mungkin suami ibu berubah.”

“Ibu gak curiga, soalnya semuanya berjalan normal. Dia juga gak berubah. Jadi, ibu sama sekali gak curiga.”

“Pinter banget nutupinnya.” guman Pram.

“Tapi akhirnya terbongkar juga.” timpalku.

“Waktu malam mau ke kantor polisi itu, kok ibu datengin saya? Kenapa ibu memilih saya untuk mengantar ke kantor polisi?” tanyanya.

“Malam itu, pikiran ibu benar-benar kacau. Ibu gak tau harus minta tolong sama siapa. Ya cuman kamu aja yang bisa ibu mintain tolong. Ibu gak mungkin pergi kesana sendirian sama Nova.”

“Ibu bener-bener kalut, kacau. Dan gak tau kenapa, yang dipikiran ibu muncul nama kamu.”

Pram mengangguk pelan,

“Saya udah mulai kerasa waktu itu. Waktu ibu bilang kita ke polsek. Pasti karena suami ibu.” jawabnya.

“Temen-temenmu yang lain tau? Kalo laki-laki itu suami ibu?” tanyaku lagi.

Pram menggelengkan kepala.

“Ya udah, biarin aja begitu. Biarin nanti mereka tau dengan sendirinya.”

“Iya bu.” jawabnya singkat.

Sejenak kami terdiam, sementara Pram memejamkan mata, menikmati pelukannya pada tubuhku dan usapanku di kepalanya.

Kadang, aku masih bertanya-tanya, mengapa aku bisa seberuntung ini. Setelah terpuruk dan jatuh dalan ujian hidup, aku bisa perlahan bangkit, dan menemukan kebahagiaan yang jauh lebih besar dari sebelumnya.

Lelaki muda yang kini berbaring dipangkuanku, mengisi kekosongan, mengantikan tempat yang ditinggalkan oleh suamiku. Ia menggantikannya dengan penuh ketulusan, mengembalikan senyum diwajahku.

Kegilaan-kegilaan yang kami lakukan hanyalah sedikit bagian dari bumbu-bumbu yang melengkapi hubungan kami. Di lain pihak, lelaki muda ini memberiku kebebasan, memintaku untuk menjadi diri sendiri, tanpa harus merasa malu, atau menutup-nutupi tentang diriku yang sebenarnya.

Dan kini, setelah berbulan-bulan kedekatan kami, inilah aku yang sekarang, seorang wanita yang berbahagia, wanita yang kian percaya pada diri sendiri.

Mungkin saja, Pram memang seperti itu adanya. Pribadi yang hangat dan mampu membawa keceriaan pada orang lain, namun fakta bahwa usia kami yang tidak ideal untuk menjadi sepasang kekasih, atau suami istri, sedikit banyak membuatku terganggu.

“Kalo emang kita beneran jadi pacaran, emang kamu gak malu?” tanyaku memecah keheningan.

“Enggak.” jawabnya singkat.

“Beneran??” tanyaku lagi. Pram mengangguk mantap.

“Soal hati, kenapa harus malu?” tanyanya.

“Ibu lebih tua lho sayang, udah punya anak lagi.” kataku.

“Iya, saya tau itu, saya sadar kok bu. Tapi gini, saya nyaman bersama ibu, dan saya bisa ngerasain kalo ibu pun nyaman bersama saya. Bagi saya, itu yang paling penting.”

“Tentang pendapat orang lain, omongan orang lain, biarkan aja. Mereka memang berhak untuk beropini, tapi tidak berhak untuk menentukan pilihan kehidupan saya.”

Jawabannya benar-benar membuatku tepana. Sungguh sangat dewasa dan matang dalam memikirkan kehidupan, terutama tentang jalan hidupnya.

“Ibu malu?” tanyanya.

Aku menggelengkan kepala.

“Ibu juga pengen tiduran” kataku.

Pram mengangkat kepalanya, membebaskan pahaku lalu memberiku ruang disisinya untukku berbaring.

Terasa lucu dan unik, bukannya menghabiskan waktu dengan bersantai diranjangku, kami malah memilih sofa ruang tengah sebagai gantinya.

Satu kakiku menumpang diatas pinggulnya, merangkulnya, dengan posisi membelakangi layar tv. Pahaku tersingkap, karena baju tidur yang kukenakan terlalu pendek, apalagi aku tidak mengenakan pakaian dalam.

“Ibu gak malu kok. Cuman ibu khawatir aja, sayang malu atau gimana gitu kalo misalnya mereka tau kita sedekat ini.”

Pram tersenyum, lalu dengan lembut melumat bibirku.

“Kamu disuruh mbak Aya nyari pacar lho..?”

Pram, lelakiku tersenyum sambil mengusap pipiku.

“Gak mau. Udah ada ibu.” jawabnya singkat.

“Kita kan bukan pacaran.”

“Iya, saya tau kok, kita memang bukan pacaran, tapi udah kayak suami istri.”

“Iya sih, kalo kamu mau cari pacar, gapapa kok Pram. Ibu ngerti.”

Pram menatapku dalam-dalam. Telapak tangannya menempel erat dipipiku. Ia mendekatkan wajahnya, lalu melumat bibirku dengan lembut. Aku tahu, Pram menolak usulanku lewat ciumannya yang mesra.

“Saya gak akan melakukan hal seperti itu bu. Sama aja saya menyakiti hati ibu. Saya gak mau.” jawabnya dengan suara pelan.”

Segera kuusap pipinya, lalu melumat bibirnya. Aku menciumnya sebagai ungkapan terima kasihku karena Pram selalu mampu menjaga perasaanku. Ia sangat mengormati dan menghargai kedekatan kami, walaupun sebenarnya, kami bukanlah sepasang kekasih maupun suami istri.

Aku tak pernah merasa tersakiti atau direndahkan, sebaliknya, ia membuatku semakin menyayangi dan mencintainya dengan perlakuannya terhadapku. Aku jauh lebih bahagia, melebihi kehidupan yang pernah kujalani dulu.

Penghargaannya terhadapku membuatku merasa menjadi perempuan istimewa, walaupun pada kenyataannya, aku bukanlah siapa-siapa dalam hidupnya. Pram menyempurnakan perjalanan hidupku.

“Nanti kalo kamu dijodohin sama bapak ibumu, gimana?”

Pram tertawa geli mendengar apa yang kukatakan.

“Ibu ini ada-ada aja..” gumannya.

“Lho, bisa aja begitu kan? Apalagi kamu anak laki-laki satu-satunya.”

“Iya, saya anak laki-laki satu-satunya. Tapi saya tahu, orang tua saya bukan orang tua seperti itu.”

“Ibu lihat mbak Calya. Sampai sekarang aja belum nikah, gak punya pacar juga. Tapi gak dicariin jodoh kan?” jawab Pram.

“Iya sih.” jawabku singkat.

“Kalaupun emang dijodohkan, pasti mereka akan ngomong dulu sama saya. Saya yakin begitu. Orang tua saya gak mungkin melakukannya diam-diam, tanpa sepengetahuan saya atau mbak Aya.”

Sedikit banyak, aku mulai memahami kehidupan Pram maupun keluarganya. Aku yakin, mereka adalah keluarga yang harmonis dan modern, saling menghormati satu dengan yang lain.

Namun , tetap saja ada kekhawatiran dalam hatiku tentang reaksi penolakan mereka, jika suatu saat aku dan Pram bisa menjalani hubungan kami lebih serius.

Aku pernah tersakiti oleh lelaki, suamiku sendiri. Namun aku yakin, Pram akan menjadi kebahagiaanku yang lain dan tidak akan pernah menyakitiku. Aku yakin akan hal tersebut.

Disisi lain, keluargaku, Nova putri kecilku, semuanya tampak menerima Pram dengan baik. Apakah keluarga Pram juga akan menerimaku dengan tangan terbuka?

♡♡♡ bersambung ♡♡♡

Part 2 akan rilis dalam beberapa jam kedepan.
Terima kasih :rose:
Cerita super yg apik dan sangat menarik...tak bosan bacanya....tp sy ingin happy ending bersama pram....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd