Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Ritual Sex di Gunung Kemukus (edisi revisi)

Status
Please reply by conversation.

satria73

Calon Suhu Semprot
Daftar
12 Nov 2017
Post
2.563
Like diterima
6.746
Bimabet
Daftar Isi :
Chapter 1. Gunung Kemukus di bawah.
 
Terakhir diubah:
2usuz3o.jpg



PROLOG

Cerita ini adalh revisi dari cerita Ritual Sex di Gunung Kemukus yang penulis anggap gagal karena banyaknya typo danalur yang kadang terlalu dipaksakan terutama pas bagian SS yang kesannya sangat monoton seperti copas dari scene sebelumnya. Cerita ini akan apdet tiap hari atau paling lambat tiga hari hingga tamat.

Kisah ini terinspirasi dari kisah nyata para pelaku ritual sex di Gunung Kemukus dengan bumbu penyedap, 20% adalah kisah nyata dan 80% adalah cerita fiksi agar membuat cerita ini semakin menarik.

Kisah ini berlatar belakang ritual sex di Gunung Kemukus, menceritakan para pelaku yang mempunyai latar belakang berbeda untuk melakukan ritual Sex di Gunung Kemukus. Hingga akhirnya Ritual yang mereka lakukan justru membuka sebuah rahasia yang tertutup rapat selama belasan tahun yang menyeret mereka dalam sebuah konflik yang berkepanjangan. Intrik dan tipu daya yang menghalalkan segala macam cara.

Ujang si pemuda lugu yang tertarik melakukan ritual sex karena kecantikan Mbak Wati, tujuan utamanya adalah sex. Tanpa disadari, justru ritual membuat hidupnya berubah total. Sebuah teka teki kematian ayahnya yang tertutup rapat selama belasan tahun, terbuka dan menyeretnya dalam pusaran konflik berkepanjangan.

2pyw58h.jpg

Lilis

Lilis, wanita cantik berusia 26 tahun yang selalu berpenampilan tertutup/berhijab yang rela melakukan ritual demi mendapatkan keturunan, setelah 10 tahun berumah tangga tidak mempunyai anak. Di Gunung Kemukus justru dia bertemu dengan pria yang diam diam dicintai, hingga akhirnya mereka melakukan ritual bersama. Ritual yang sangat diimpikan bisa membuatnya hamil dari benih pria yang dicintainya. Apakah hajat dan keinginannya bisa terkabul atau justru dia akan mendapatkan masalah lain yang akan membuat hidupnya hancur.

2cxev43.jpg

Mbak Wati

Mbak Wati penjual jamu gendong yang cantik dan mempunyai seorang suami cukcould yang sangat terobsesi istrinya melakukan ritual sex di Gunung Kemukus agarr cepat kaya sehingga atas bujukan suaminya dia melakukan Ritual Sex di Gunung Kemukus. Dan pria yang dipilih untuk menjadi pasangan ritualnya adalah, Ujang, pria yang diam diam ditaksirnya. Dengan bantuan suaminya, dia berhasil membujuk Ujang untuk melakukan Ritual sex di Gunung Kemukus.





GUNUNG KEMUKUS

Kisah ini terjadi pada tahun 1994.

Namaku Ujang, pemuda berusia 21 tahun yang berprofesi penjual mie ayam keliling dengan sistem bagi hasil. Aku berasal dari sebuah desa terpencil di kabupaten Bogor yang merantau ke kota Bogor karena ada temanku yang mengajariku menjadi penjual Mie Ayam, maka tak heran, aku tinggal di kontrakan bareng teman temanku sesama penjual mie ayam. Ya, inilah pekerjaanku, penjual Mie Ayam keliling untuk mendapatkan rezeki halal yang secara rutin uang yang berhasil aku kumpulkan kuberikan ke ibuku yang tinggal di desa.

Kami tidak perlu berpikir membayar kontrakan karena Bos kami yang membayar biaya kontrakan yang kami tempati. Di sebelah kontrakan yang aku tempati ada sepasang suami istri dari jawa, namanya Mas Gatot teman seprofesi usianya sekitar 40 tahun, sedang istrinya Mbak Wati berjualan jamu gendong usianya mungkin 30 an. Mereka hanya tinggal berdua, karena anak anaknya tinggal di kampung dengan neneknya.

“Usia Istriku 35 tahun," kata Mas gatot, saat kami ngobrol. Dia terlihat bangga saat memberitahukan usia istrinya yang terlihat lebih muda dibandingkan usianya, hasil dari minum jamu secara rutin, sambung Mas Gatot menerangkan kenapa istrinya bisa awet muda dan bentuk tubuhnya tetap terjaga.

Sekilas tentang Mbak Wati, wajahnya cukup cantik khas wanita jawa dengan kulitnya sawo matang tapi yang paling mencolok adalah tubuhnya yang montok dengan buah dada yang besar selalu menjadi perhatianku walau aku melakukannya secara diam diam. Tubuhnya akan semakin terekspos saat dia berjualan jamu dengan memakai kebaya, kain yang dililitkan di tubuhnya untuk menggendong keranjang jamu, membuat payudaranya semakin tercetak jelas sehingga menjadi pusat perhatian para lelaki yang melihatnya.

"Aduh, semox euy, bikin ngaceng..!" bisik beberapa orang temanku yang rupanya ikut memperhatikan bentuk tubuh Mbak Wati tanpa berkedip.

"Kalau aku punya istri seperti Mbak Wati, tiap malam aku kelonin." bisik temanku yang lain ikut berkomentar.

"Kok bisa Mas Gatot punya istri seperti Mbak Wati? Sepertinya Mbak Wati kena pelet." kata temanku lagi, aku hanya menjadi pendengar yang baik. Mengiyakan semua perkataan mereka.

"Hayo, kalian lagi ngeliatin istriku ya?" kata Mas Gatot yang tiba tiba sudah berada di belakang kami yang sedang asik memperhatikan Mbak Wati sambil berpura pura membereskan dagangan kami.

"Engggggak, Mass..!" jawab kami berbarengan, secepat kilat kami bergerak dan menyibukkan diri dengan dagangan kami tanpa berani menoleh ke arah Mas Gatot.

"Ngaku saja, aku tidak akan marah. Makanya kalian mencari istri seperti Istriku, sudah cantik, semok masih mau kerja keras bantu suami mencari uang. Kalau malam, masih juga mau diajak kembur satu dua ronde. Tetek istriku, walah kalian bisa pingsan melihatnya. Hahahha..!" kata Mas Gatot membuat kami saling berpandangan, kami sudah hafal dengan tabiatnya yang selalu membanggakan istrinya, bahkan setiap lekuk tubuh istrinya akan diceritakannya dengan detil.

"Jang, kamu suka memek berjembut atau gundul?" tanya Mas Gatot menepuk pundakku sehingga aku salah menghisap bara api pada rokok.

"Gundul..!" makiku jengkel. Kebiasaanku selalu menyebut kata gundul saat kaget.

"Ternyata selera kamu sama denganku, memek istriku selalu aku cukurin." bisik Mas Gatot dan meninggalkanku yang bengong mendengar perkataannya.

"Jang, kamu ditawari nyoba memek istrjnga Mas Gatot tuch.!" bisik Mang Kardi teman satu profesiku yang paling tua dan anak anaknya sudah pada kerja.

"Mang Kardi ada ada, saja." jawabku tertawa, kami sudah terbiasa bercanda, kadang bercanda kami menjurus hal mesum.

*********

Suatu hari aku sedang malas berjualan, kulihat mas gatot sedang duduk di teras kontrakan. Sepertinya dia pun sedang kena penyakit malas sepertiku. Aku menghampirinya yang sedang asik merokok. Setidaknya aku punya teman ngobrol, dibandingkan harus sendirian, jenuh sekali.

"Gak jualan juga, Mas?" tanyaku sekedar berbasa basi, hal yang biasa terjadi di dalam masyarakat kita. Basa basi yang membuat bangsa kita terkenal sebagai bangsa yang ramah.

"Lagi malas, Jang. Ayo sini, kita ngopi di dalem sambil ngobrol" ajak Mas Gatot menawariku kopi yang langsung aku iyakan, karena aku memang berniat ke warung membeli kopi. Maka tawaran dari Mas Gatot aku sambut dengan bersuka cita, ini rezeki anak sholeh, pikirku. Tanpa pikir panjang, aku mengikuti mas Gatot ke dalam kontrakannya. Kontrakan yang ditempati Mas Gatot dan Mbak Wati hanya sebuah ruangan berukuran 3 x 4, sehingga semua aktivitas dilakukan di ruangan yang sama dari mulai tidur, memasak dan menerima tamu.

Aku terkejut melihat Mbak Wati sedang asyik tiduran di kasur yang digelar di lantai, sehingga aku bisa melihat gundukan payudaranya menyembul dari balik daster yang dipakainya dan juga pahanya yang mulus agak terluhat membuatku menelan air liur.


"Eh, ada Mbak Wati..!" kataku jengah melihatnya tiduran dengan posisi menghadap ku, sehingga saat aku duduk aku bisa melihat pahanya yang gempal terlihat dari dasternya yang agak terangkat ke atas. Mataku melihat ke arah lorong gelap di antara kedua pahanya yang tertutup daster. Dan sekilas aku melihat bentuk memek Mbak Wati yang tidak memakai celana membuatku terpaku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Mungkin ini hanya halusinasiku saja yang terobsesi dengan bentuk tubuh Mbak Wati.

"Iya Jang, Mbak lagi pewe nih." jawab Mbak Wati tersenyum sambil bangun dari tidurnya, saat bangun kakinya menekuk sehingga dasternya menyingkap semakin tinggi dan aku melihat pemandangan yang belum pernah kulihat, aku melihat dengan jelas selangkangannya yang tembem dan aku tidak salah, Mbak Wati memang tidak memakai CD. Aku terpana, kenapa pemandangan itu cepat berlalu. Aku melihat ke arah Mas Gatot yang duduk di sampingku dan sepertinya dia juga menyadari hal itu.

“Wat, memek kamu kelihatan tuh, kebiasaan kamu tidak pakai CD..!” kata Mas Gatot dengan santainya mengatakan hal mesum di sampingku, seolah itu hal yang biasa saja. Aku menunduk gelisah dengan suguhan pembuka dari suami istri ini. Nafasku tersengal membayangkan bentuk memek Mbak Wati yang sempat kulihat walaupun hanya sekilas.

“Enakan gak pake CD, kalau pengen tinggal masuk. Hihihi..!” jawab Mbak Wati membuatku panas dingin dengan obrolan mesum yang vulgar. Obrolan yang baru pertama kali aku dengar. Tidak tahukah mereka, aku seorang perjaka tingting yang masih tersegel.

“Kasian Ujang belum pernah lihat memek, coba kalau kepengen bagaimana?” tanya Mas Gatot semakin memanasi suasana yang sudah panas menjadi semakin panas.

“Kalau pengen tinggal ngomong, aku kasih. Hahahaha.. Mbak bikinin kamu kopi, ya..!" kata Mbak Wati berjongkok membelakangiku untuk menyalakan kompor minyak tanah yang berada tidak jauh dariku. Seolah perkataannya tadi hanyalah gurauan, tapi bagiku hal itu bermakna lain. Bokongnya yang besar membuat mataku sulit berkedip. Begitu dekat jaraknya, sedikit gerakkan, kakiku akan menyentuh pantanya.

"Tuh Jang, kamu boleh nyobain memek istriku? Tapi ada syaratnya. Hahaha.” Kata Mas Gatot membuatku shock, gila. Dia menawariku memek istrinya seolah olah itu barang yang bisa dipinjamkan. Gila, bebar bdnar gila, mana ada suami yang menawari memek istrinya kepada orang lain.

“ Hus, kamu ini ada ada aja, Mas. Memek istri sendiri ditawari ke teman. Hihihi, kasihan tuh si Ujang kalau beneran pengen, bisa habis sabun di rumah buat onani." kata Mbak Wati menoleh ke arahku dengan senyum menggoda. Mata kirinya mengedip ke arahku, mungkin ini hanya penglihatanku yang semakin terbawa suasana.

"Hahaha, tapi ada syaratnya kalau mau ngentotin istriku. Ngentotnya jangan di sini, tapi di Gunung Kemukus." kata Mas Gatot membuat wajahku semakin pucat, entah dimana itu Penginapan Gunung Kemukus, aku baru dengar sekarang.

"Penginapan Gunung Kemukus, dimana?" tanyaku lugu, aku terlalu asing dengan nama tempat penginapan mesum seperti yang sering diobrolkan teman temanku yang sudah pernah ke tempat itu. Mungkin aku satu satunya perjaka yang masih tersegel di antara rekan rekan seprofesiku.

"Dasar piktor, Gunung Kemukus itu bukan nama penginapan walaupun disana banyak tempat menginap." jawab Mas Gatot menertawakan kebodohanku.

"Gunung Kemukus ? Tempat apa, itu ? " tanyaku, heran karena belum pernah mendengar nama itu. Nama yang sangat asing.

"Itu tempat untuk ngalap berkah, tempat ziarah." kata Mas Gatot menerangkan, membuatku mengangguk heran. Apa hubungan tempat ziarah dengan ngentotin Mbak Wati, bukannya tidak nyambung. Mas Gatot pasti bergurau seperti kebiasaannya selama ini.

" Apa di sana ada dukun hebat?"Tanyaku antusias karena belum pernah mendengar nama itu. Hal yang berbau mistis dan orang hebat yang mempunyai kemampuan lebih selalu membuatku tertarik. Aku percaya orang yang mempunyai kemampuan lebih akan bisa membantu usahaku agar semakin laris, apalagi Abah/ kakekku dikenal sebagai orang pintar.

"Gunung Kemukus itu tempat pesugihan, biar.... " capannya terhenti saat melihat istrinya meletakkan dua gelas kopi di hadapan kami.

“Biar cepat kaya.” Kata Mbak Wati meneruskan perkataan Mas Gatot sambil meletakkan kopi di hadapan kami, saat membungkuk itulah aku melihat sepasang payudara Mbak Wati menggantung dari balik kerah dasternya yang rendah, membuatku menelan ludah karena terlihat jelas Mbak Wati tidak memakai BH.

“Pesugihan khan harus pakai, tumbal.” Jawabku bergidik membayangkan anggota keluargaku harus menjadi tumbal, sedangkan selama ini aku bekerja keras untuk membahagiakan Ibu dan adik adikku. Tidak mungkin aku mengorbankan mereka demi egoku. Aku tidak akan pernah mau ke tempat seperti itu, biarlah aku hidup seperti ini, asalkan bisa melihat senyum di bibir ibu dan adik adikku sudah membuatku merasa bahagia.

"Kopinya diminum, Jang." kata Mbak Wati membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala. Beruntung mas Gatot punya istri cantik, padahal wajah Mas Gatot biasa biasa saja, bahkan masuk dalam kategori jelek.

"Iy iyya Mbak, terima kasih..!" jawabku menunduk malu menghindari tatapan matanya yang terang terangan melihat wajahku. Mungkin dalam keadaan biasa aku tidak akan semalu sekarang, tapi setelah obrolan mesum Mas Gatot dan Mbak Wati aku merasa malu.

"Saya baru dengar sekarang tentang Gunung Kemukus, Mbak !." jawabku sambil meminum kopi yang masih sangat panas untuk menutupi kegelisahanku.

"Kalo kamu mau tau tentang Gunung Kemukus, istriku akan menjelaskannya, Jang. Sekarang aku mau ke pasar, dulu. Kamu santai saja di sini, kalau kamu mau nyusu juga boleh. Dek, aku ke pasar, dulu." Kata Mas Gatot tanpa menunggu jawaban dariku, dia pergi meninggalkanku dengan Mbak Wati di kamar. Apa Mas Gatot tidak takut aku berbuat macam macam dengan Mbak Wati. Dia seperti sengaja memberiku kesempatan untuk berduaan dengan istrinya yang semok. Seolah gurauannya yang tadi bukanlah sebuah gurauan, tapi tawaran yang sesungguhnya.

Berdua dengan Mbak Wati membuatku semakin gugup dan gelisah, beberapa kali aku merubah posisi dudukku sehingga melupakan kopi yang terletak di hadapanku. Bahkan kakiku hampir menumpahkan kopi yang masih panas, segera aku meminumnya untuk menghilangkan kegelisahanku. Walau kami sudah kenal dan bertetangga cukup lama, tapi kami belum pernah ngobrol berduan di dalam kamar kontrakan, terlebih pakaian Mbak Wati yang tanpa lengan, sehingga beberapa kali aku bisa melihat ketiaknya yang tidak berbulu saat Mbak Wati membetulkan rambutnya.

" Gunung Kemukus itu tempat orang nyari pesugihan tanpa tumbal, dan untuk melakukan ritual pesugihan di Gunung Kemukus kita harus datang dengan pasangan selingkuh sebanyak 7x malam jum'at pon. Di sana kita harus zina, agar semua keinginan kita untuk cepat kaya terkabul. Tentu saja setiap Pesugihan harus pakai tumbal, tumbal Pesugihan Gunung Kemukus adalah berzina, apalagi kalau sampai wanitanya bisa hamil. Itulah tumbal dari Pesugihan Gunung Kemukus. " kata Mbak Wati menerangkan panjang lebar tentang Ritual di Gunung Kemukus membuatku heran ada tempat pesugihan seperti itu. Sangaht berbeda dengan Pesugihan yang menurutmu memerlukan tumbal jiwa, di Gunung Kemukus tumbalnya adalah berzina. Tumbal ternikmat yang pernah kudengar.

"Maksudnya berzina itu bagaimana, Mbak ? Terus kalo kita zina di sana, apakah benar kita bisa kaya, ? " tanyaku heran, masa ada pesugihan seperti itu. Rasanya tidak masuk akal. Dengan berbuat mesum kita akan menjadi kaya, kecuali pelakunya adalah wanita yang menjajakan diri. Msreka bisa menjadi kaya karena memang begitu mereka mencari uang.

"Maksudnya zina, ya ngentot dengan istri orang. " Wati menjawab vulgar, bibirnya tersenyum menggoda kebodohanku. Aku terpana melihat senyum Mbak Wati yang membuatnya terlihat semakin cantik, seharusnya dia menjadi milikku yang berwajah tampan dari pada harus menjadi istri Mas Gatot yang menurutku jelek. Ini seperti kisah Beauty and the beast.

"Mmmmbak, pernah kesana ? " tanyaku gugup, membayangkan Mbak Wati ke Gunung Kemukus dan melakukan ritual sex dengan seorang pria membuatku terangsang. Andai pria itu adalah, aku. Dudukku menjadi tidak nyaman saat kontolku bergerak cepat mencapai ukuran maksimal. Tanpa berani membenarkan posisi kontolku, karena Mbak Wati terus memperhatikanku. Swdikit gerakkan akan membuatnga tahu.

"Belum pernah, tapi banyak temen Mbak di klaten kampungku yang pernah ke sana, banyak dari mereka yang sudah sukses. Makanya aku dan mas Gatot punya rencana ke sana, tapi masih bingung mencari pasangan ritualnya, harus bersama dengan orang yang mempunyai keinginan sama dan satu tujuan. Kamu mau nemenin aku ke Gunung Kemukus ? " tanya Mbak Wati membuat jantungku berdegup sangat kencang, Mbak Wati mengajakku ke Gunung Kemukus untuk melakukan ritual disana. Seumur hidup aku belum pernah dekat seorang wanita dan ajakannya membuat nafasku nyaris berhenti.

"Eh, Mbak bercanda..!" kataku setelah berhasil menguasai diri, tawaran dari wanita cantik bertubuh sexy, kesempatan yang tidak akan datang dua kali.

"Aku serius, aku dan mas Gatot capek hidup begini terus. Tiap hari Mas Gatot keliling jualan mie ayam, aku keliling jualan jamu, tapi uangnya selalu habis buat makan dan mengirim uang ke kampung buat biaya makan dan sekolah anak anak. Aku pengen kaya, makanya Mas Gatot menyuruh aku ke Kemukus, pesugihan di sana tanpa tumbal, cukup ngentot. " wati menatapku tajam, bicara tanpa rasa malu seolah itu hal yang biasa buatnya. Atau mungkin karena dia sudah benar benar nekat, ingin mencari pesugihan yang diyakininya bisa membuatnya menjadi kaya dalam waktu singkat.

"Dijamin berhasil, gak ? " tanyaku lagi. Aku mulai tertarik dengan kata tanpa tumbal. Terlebih syaratnya sangat mudah, cukup ngentot dengan pasangan ritual, ritual yang pastinya sangat nikmat. Tanpa sadar aku membenarkan posisi kontolku agar lebih nyaman.

"Kontol kamu sudah ngaceng,ya?" tanya Mbak Wati yang melihat apa yang sedang kulakukan membuatku menunduk malu karena gerakanku terlihat, terlebih celanaku sudah mengembung tidak bisa menyembunyikan apa yang sedang terjadi.

"Terus bagaimana, Mbak?" tanyaku berusaha mengalihkan perhatian Mbak Wati yang terus tertuju ke selangkanganku, mungkin dia mengira ngira seberapa besar kontolku.

"Salah satu diantara kita akan berhasil dan yang berhasil harus membantu pasangannya agar mereka bisa sama sama kaya kalau tidak, yang berhasil akan jatuh bangkrut. Kamu mau ya, menemni Mbak ke Gunung Kemukus ? Di sana kita bisa ngentot sepuasnya. ' ajak Mbak Wati sambil membusungkan dadanya yang montok, seolah ingin menunjukkan keseriusannya mengajakku melakukan ritual di Gunung Kemukus.

"Iiii, iya, saaaya pikkkir, dulu." kataku, berusaha menenangkan diri, menerima tawaran yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Tawaran nikmat yang tidak mungkin bisa kutolak. Tapi lidahku berkata lain, terlalu sulit untuk bisa mengatakan : iya, aku mau.

"Mbak serius, Jang. Kamu tidak akan rugi, bisa ngentotin Mbak sepuasnya..!" kata Mbak Wati merangkak menghampiriku yang duduk gelisah. Mbak Wati duduk di hadapanku, dengkulnya menempel pada dengkulku membuatku semakin gugup melihat keberaniannya.

"Mbak..!" aku terpaku saat Mbak Wati meraih tanganku dan meletakkannya di atas pahanya yang tidak tertutup daster yang menyingkap hingga pangkal pahanya. Kulitnya halus dan hangat. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dalam situasi seperti ini.

"Ja jangan Mbak, nanti Mas Gatot..!" ucapanku terhenti saat Mbak Wati tiba tiba mencium bibirku dengan bernafsu membuatku terdorong ke tembok, sekujur tubuhku menjadi kaku, inilah pertama kali dalam hidupku seorang wanita menciumku terlebih yang melakukannya seorang wanita cantik.

"Maukah kamu nemenin Mbak melakukan ritual sex di Gunung Kemukus? Mas Gatot setuju kalau aku ritual dengan kamu, walaupun Mbak harus hamil karena ritual, anaknya pasti seganteng kamu." kata Mbak Wati meraih tanganku ke arah selangkangannya dan aku semakin gugup saat tanganku menyentuh memeknya yang lembab, keringat langsung mengucur deras membasahi tubuhku. Ini memek pertama yang aku sentuh.

"Iya Mbak, saya mau..! Saya pulang dulu..?" jawabku dan tanpa menunggu jawaban Mbak Wati, aku bangun hingga menyenggol gelas kopi hingga tumpah membashi lantai. Tanpa menoleh, aku meninggalkan Mbak Wati sebelum ada orang yang melihatnya. Aku benar benar ketakutan dan tidak tahu apa yang harus kuperbuat kecuali pergi meninggalkannya sebelum aku diperkosa Mbak Wati.

Sepanjang perjalanan pulang, aku memaki kebodohanku yang sudah melepas kesempatan yang ada di depan mata. Harusnya aku memanfaatkan kesempatan yang belum tentu kudapatkan di lain waktu, tapi bukankah Mbak Wati mengajakku ke Gunung Kemukus, berarti kesempatan itu akan segera datang kembali.

Ya, aku hanya perlu bersabar.

********************†

Sejak kejadian di kontrakan Mbak Wati, aku menjadi gelisah untuk segera ke Gunung Kemukus melakukan ritual sex dengannya, ritual yang belum sempat aku lakukan di kontrakan padahal kesempatan itu sudah tersaji di di depan mata, hanya karena kebodohanku, kesempatan itu raib begitu saja, bahkan aku belum sempat membicarakan kapan kami akan berangkat ke Gunung Kemukus. Bodoh, aku benar benar bodoh. Di saat banyak pria menggunakan berbagai macam cara untuk dapat menikmati tubuh indahnya, aku malah melepas kesempatan itu begitu saja.
Bahkan aku tidak berani bertatapan mata dengan Mbak Wati saat kami bertemu, lidahku kelu dan mulutku terbungkam, hanya sekedar sekedar membalas senyumnya. Dan kesempatan itu kembali berlalu sia sia, aku hanya bisa memaki kebodohanku yang belum berakhir. Harusnya aku bertanya, kapan akan berangkat ke Gunung Kemukus.

Sudah tiga hari sejak kejadian di kontrakan Mbak Wati, semangatku berjualan agak mengendur, masih terbayang kesempatan yang terbuang sia sia. Aku mendorong gerobak mie ayam menyusuri gang yang kiri kanannya tembok perumahan, dari kejauhan aku melihat Mbak berjalan ke arahku. Sepertinya dia sudah mau pulang, jamunya pasti sudah habis.

Hatiku berdesir melihatnya, lututku gemetar dan degup jantungku semakin kencang. Aku harus berani bertanya, kapan dia akan mengajakku ke Gunung Kemukus, harus berani. Perlahan aku menarik nafas mengumpulkan semangat. Langkahku terhenti hanya untuk mengumpulkan keberanian yang berada jauh di dasar hatiku.

"Kamu kenapa, Jang? Sakit gigi?" tanya Mbak Wati melihatku berdiri diam sambil mengatur nafas. Huf, dia sudah berada di sampingku padahal keberanian yang sedang kukumpulkan masih belum terkumpul.

"Tidak, kenapa napa Mbak." jawabku singkat. Aku mulai berani menatap wajahnya yang cantik menggemaskan. Hatiku berkecamuk untuk menanyakan kapan dia akan mengajakku ke Gunung Kemukus, tapi keberanianku hilang begitu saja begitu melihat senyumnya yang menawan.

"Kita jadi, ke Gunung Kemukus?" tanya Mbak Wati

"Yaaa...!" jawabku bersorak kegirangan. Inilah yang ingin aku dengar dari bibir mungilnya, kepastian berangkat ke Gunung Kemukus. Inilah yang membuatku sulit tidur sejak kejadian di kontrakan Mbak Wati. Akhirnya kesabaranku menampakkan hasilnya.

"Kok kamu malah bersorak begitu, Jang? Jadi nggak?" tanya Mbak Wati tersenyum geli melihat tingkahku yang seperti anak kecil.

"Ja jadi, Mbak. Aku lagi ngumpulin uang buat ongkos." jawabku antusias. Aku ingin secepatnya pergi ke Gunung Kemukus dengan Mbak Wati, agar aku bisa menikmati tubuhnya tanpa takut digerebek masyarakat dan diarak keliling kampung dan Mas Gatot sepertinya sangat mendukung kepergian kami ke Gunung Kemukus. Aku tidak perduli dengan Ritual Pesugihan, belum tentu juga aku benar benar kaya karena ritual di Gunung Kemukus, aku hanya ingin menikmati tubuh indah Mbak Wati agar aku sempurna sebagai pria dewasa.

"Masalah ongkos jangan kamu pikirkan, aku sudah mempersiapkan semua biaya kita selama ritual. Aku yang mengajakmu, verarti aku juga yang harus menanggung semua biaya." jawab Mbak Wati tersenyum nakal. Payudaranya yang besar tercetak jelas di balik kebayanya yang terlilit kain untuk menggendong keranjang jamu, pemandangan yang membuatku menelan ludah.

"Tapi, Mbak..! Menurut Abah/kakekku, ketika kita mempunyai sebuah hajat, maka kita harus berani mengorbankan waktu tenaga dan uang agar hajat kita terlaksana. ( Meuntas kudu make cukang.) entah apa maksud dari kalimat itu, aku tidak begitu paham. " kataku keberatan, aku lelaki tidak mungkin membebankan semuanya ke Mbak Wati.

"Gak ada tapi tapian, hari Senin kita berangkat, pulang hari Jumat Pon. Memangnya kamu nggak mau ngentot?" kata Mbak Wati meninggalkanku yang melepas kepergiannya dengan mata melotot melihat pantatnya yang besar, bergerak gemulai. Kata temanku, cewek yang mempunyai pantat seperti Mbak Wati sangat enak dientot lewat belakang.

Aku mendorong gerobak Mie Ayam setelah sosok Mbak Wati hilang di tikungan. Pikiranku terus tertuju padanya, aku ingin secepatnya pergi ke Gunung Kemukus. Hari Senin, berarti tinggal tiga hari lagi, aku harus bersabar walau waktu yang tiga hari akan terasa lama, lebih lama dari pada biasanya.

"Jang, Mie Ayam..!" suara merdu yang kuhafal memanggil membuyarkan lamunanku tentang Mbak Wati, hampir saja aku melewati rumah langganan setiaku yang setiap hari membeli mie ayam, aku menoleh ke arahnya. Lilis wanita yang menjadi buah bibir di kampung ini karena kecantikan dan keanggunannya, sayang dia sudah punya suami. Pak Budi orang terkaya di kampung ini.
Pria paling beruntung yang aku kenal, dia memiliki semuanya, harta dan istri yang cantik jelita.

"Iya, Teh..!" jawabku berhenti tepat di depan pintu pagar rumahnya, tanpa dipanggil pun aku biasanya berhenti dan menunggunya keluar membeli mie ayam dan tadi hampir saja aku melewatinya. Aku tersenyum memandang Lilis yang berjalan dengan gemulai menghampiriku.

"Kirain gak jualan, Jang..!" kata Lilis membuka pintu pagar rumahnya yang besar dan pekarangannya yang luas bisa menampung beberapa buah mobil sekaligus

"Jualan donk, kalau nggak jualan nggak bisa makan..!" kataku tersenyum membalas senyumnya yang sangat menawan. Jilbab yang dikenakan menambah kecantikan wajahnya.

"Bisa saja kamu, Jang." kata Lilis tertawa kecil. Tanpa diminta aku segera membuat satu mangkok Mie Ayam untuknya. Sesekali aku melirik ke arahnya yang berdiri di sampingku. Andai aku punya istri secantik dia atau dia belum punya suami aku akan memeletnya dengan ilmu pelet warisan Abah. Bahkan kalaupun ilmu pelet warisan dari Abah tidak mempan, aku akan mencari dukun pelet paling hebat yang berada di Pelabuhan Ratu, Sukabumi yang paling terkenal.

"Teh Lilis baru pulang kampung, ya?" tanyaku karena beberapa hari dia tidak pernah menyetop Mie Ayam ku dan tidak terlihat sama sekali. Aku kehilangan pelanggan yang paling aku tunggu.

"Iya Jang, nengok Abah dan Ambu di kampung. Maklum sudah lama tidak mudik. Ini Jang, ada sedikit oleh oleh, ada beras hasil panen dan dodol garut.." jawab Lilis, suaranya yang halus begitu merdu. Sungguh beruntung Pak Budi mempunyai isteri secantik dia, apakah aku juga akan mempunyai keberuntungan seperti yang dimiliki Mas Gatot dan Pak Budi yang mempunyai istri cantik? Mimpi.

"Nggak usah repot, Teh. Pake acara ngasih oleh oleh.” Kataku tersenyum senang dan menerima bungkusan oleh oleh yang diberikannya kepadaku, tanpa sengaja tangan kami saling bersentuhan, tangannya begitu halus. Aku menaruh bungkusan di gerobakku.

“Kamu sendiri sudah pulang kampung belum? Kamu kapan bikin mie ayamnya? Perut Teh Lilis sudah lapar, nich.” Kata Teh Lilis menyadarkanku dari pesona yang dimilikinya.

“iya Teh, lupa. Teh Lilis sich ngajak ngobrol terus..” kataku tersipu malu, ternyata dari tadi yang kulakukan adalah menaruh minyak dan bumbu ke dalam mangkok sementara mie belum aku masukkan ke dalam panci yang berisi air mendidih. Pesona Lilis membuatku melupakan tugas sebagai penjual mie ayam, hal yang sama lernah terjadi saat aku memulai berjualan mie ayam, Lilis adalah orang pertama yang membeli mie ayamku. Andai aku punya istri secantik dia, hidup akan terasa lebih indah.

" kok malah aku yang disalahin? Salah sendiri kamu melihat ke arahku terus. Hihihi jadi ingat pertama beli mie ayam kamu, aku disuruh bikin mie sendiri." kata Lilis membuatku tertawa geli.

"Hari senin aku mau pulang dulu, Teh." kataku sambil terus mengaduk Mie yang berada di panci. Sesekali aku melirik ke Lilis yang berada di sampingku, sangat dekat sehingga aku bisa mencium aroma tubuhnya yang harum, padahal aku tahu itu bukan harum dari parfum yang dipakainya. Itu bau dari tubuhnya.

"Kok nggak ngajak ngajak, Jang?" tanya Lilis sambil menambahkan sedikit sambal ke dalam mangkok sehingga tangannya kembali bergesekan dengan tanganku.

"Nggak kuat modal, Teh..!" jawabku bercanda, aku sudah terbiasa bercanda dengannya.

Modal buat apa, Jang?" tanya Lilis heran.

"Buat ngelamar Teh Lilis!" jawabku diakhiri tawa geli walau sebenarnya tidak lucu.

“kamu ada ada saja. Kamu anak ke berapa, Jang dari berapa saudara?” tanya Lilis, pertanyaan yang sudah sering ditanyakannya hingga aku bosan menjawab. Kecantikan yang dimilikinya ternyata tidak berimbang dengan kecerdasan otaknya, apa mungkin dia telmi? Sehingga tidak mampu mengingat jawaban dari pertanyaan yang sudah sangat sering dia tanyakan. Tidak bisakah dia mengajakku mengobrol topik lain yang lebih menyenangkan.

**********

Pada waktu yang telah ditentukan tepatnya hari senin, kami bertemu di stasiun Tanah Abang, sengaja kami tidak berangkat bareng dari rumah untuk menghindari kecurigaan para tetangga padahal bisa saja kami bertemu di stasiun Bogor. Aku tiba terlebih dahulu,30 menit lebih awal, aku menunggu gelisah hingga akhirnya Mbak Wati datang dengan diantar Mas Gatot yang tersenyum melihatku dari kejauhan.

Hampir saja aku tidak mengenal Mbak Wati karena penampilannya yang jauh berbeda dengan penampilannya sehari hari. Mbak Wati berpakaian muslim dengan menggunakan gamis lebar yang menyembunyikan kesintalan tubuhnya dan jilbab warna pink, senada dengan baju gamis yang dikenakannya. Kecantikannya semakin menonjol, beberapa pria jelas jelas melihat ke arah Mbak Wati mereka pasti terpesona oleh kecantikannya. Aku tersenyum senang, merka pasti tidak akan menyangka Mbak Wati akan menjadi milikku selama beberapa hari ke depan. Ya, dia akan menjadi milikku untuk sementara waktu.

" Aku titip istriku ya, Jang. Santai saja tidak usah tegang. Di Kemukus ritualnya nikmat, kamu boleh ngentotin istriku sampai puas, dijamin kamu akan ketagihan memek istriku yang bisa empot ayam. " bisik Mas Gatot membuatku risih, suara Mas Gatot terdengar riang saat mengucapkan hal itu.

"Kamu ini Mas, di temapt umum ngomong begitu.!" kata Mbak Wati mengomel,

"Iya Dek, maaf. Akukan ngomongnya pelan." jawab Mas Gatot membela diri.

"Ya sudah kamu pulang, nanti kemalaman sampe rumah." kata Mbak Wati mengusir Mas Gatot.

"Kita masuk, Jang ; " ajak Mbak Wati sambil menepuk pundakku. Aku menoleh mencari Mas Gatot yang sudah menghilang entah ke mana.

"Mas Gatot, cepet amat jalannya?" tanyaku heran karena tidak melihat Mas Gatot.

"Emang begitu Mas Gatot.. Biruan Jang, kita masuk biar dapat tempat duduk." kata Mbak Wati sambil menarik tanganku memasuki peron stasiun, reflek aku mengambil ransel dan tas Mbak Wati mengikutinya memasuki stasiun. Kami harus bergegas memasuki kereta agar dapat tempat duduk. Tidak seperti sekarang, jumlah penumpang disesuaikan dengan jumlah bangku yang ada. Kami harus berebutan mencari tempat duduk yang tidak bisa dikatakan nyaman dan kalau kami kehabisan bangku, kami harus rela duduk di lantai beralaskan koran, bahkan ada beberapa orang yang sengaja membawa tikar dari rumah.

Ternyata benar apa yang dikhawatirkan Mbak Wati, kami tidak dapat tempat duduk. Terpaksa kami duduk di pintu dekat dengan toilet yang bau. Mbak Wati menyuruhku mengunci pintu kereta agar tidak ada yang masuk dan membuat kami terganggu. Aku hanya mengangguk patuh mengikuti perintahnya. Aku belum pernah naik kereta ke Jawa, jadi aku menyerahkan semuanya ke Mbak Wati yang sudah sangat hafal situasi yang harus kami hadapi. Mbak Wati segera menggelar koran yang dibawanya untuk alas duduk. Kami duduk berdempetan beralaskan koran, Mbak Wati memilih duduk dekat pintu sehingga terbebas dari orang yang berlalu lalang dan menyenggol bagian tubuh.

" Tangan kamu dingin, Jang ! Jangan tegang begitu, kaya yang belum pernah ngentot saja.!!" bisik Mbak Wati berusaha mencairkan ketegangan yang terlihat jelas dari raut wajahku.

"Jangankan ngentot, pegang tangan perempuan baru tangan Mbak. " jawabku jujur., aku malu mengatakannya. Dibandingkan dengan teman temanku yang begitu bangga menceritakan pengalaman mereka mojok dengan cewek yang baru dikenalnya atau dengan pacarnya. Pengalaman yang membuatku merasa iri karena tidak bisa seperti mereka yang dengan mudah mendapatkan pacar atau teman mojok.

"Wah, aku beruntung dong, bisa dapet perjaka kamu. " Mbak Wati mengecup pipiku, seolah olah tidak ada orang di sekeliling kami, membuatku malu. Karena ada beberapa orang yang berada di pintu seberang yang jelas jelas melihat ke arah kami. Masa bodoh dengan pandangan iri mereka yang melihatku mendapatkan ciuman dari seorang wanita cantik.
Kereta Pun mulai jalan, pelan lalu semakin cepat meninggalkan stasiun Tanah Abang. Tubuh kami terguncang, Mbak Wati semakin merapatkan tubuhnya bersandar padaku. Hangat dan lunak ditambah aroma tubuhnya yang alami tanpa parfum membuatku gelisah, aku memberanikan diri merangkul pundaknya. Mbak Wati menyandarkan kepalanya di pundakku, membuat jantungku semakin berdegup kencang dan kontolku bergerak bangun dari tidurnya.

“Sampai Solo jam berapa, Mbak?” tanyaku sambil menghisap rokok kretek kesukaanku sekedar mengusir rasa gelisah karena tubuh Mbak Wati yang menyender padaku. Aku ingin memeluknya, keinginan yang aku pendam.

“Kalau lancar, jam tujuh juga sudah sampai, kalau telat ya bisa jam 9 kita sampai.” jawab Mbak Wati sambil memeluk tanganku sehingga menempel pada payudaranya yang empuk dan hangat, membuat kegelisahanku semakin memuncak. Apakah Mbak Wati akan memelukku seperti ini sepanjang perjalanan ke Solo?

Lama juga, pikirku. Aku melihat ke arah Mbak Wati yang memejamkan matanya, tanpa sadar aku mencium kepalanya. Tak lama, Mbak Wati tertidur di sampingku. Cantik, Mas Gatot benar benar beruntung mendapatkan istri secantik Mbak Wati, akupun sepertinya beruntung sebentar lagi bisa menikmati tubuhnya.

*******

Tepat perkiraan Mbak Wati, kami tiba di Solo pukul 07.00, dari stasiun kami meneruskan perjalanan menggunakan becak ke terminal bus. Ternyata perjalanan dilanjutkan dengan Bus arah Purwodadi, perjalanan yang melelahkan.

"Masih jauh, Mbak?" tanyaku setelah kami duduk berdempetan di dalam bus tidak ber AC sehingga jendela harus dibuka lebar untuk mengurangi udara dalam bus yang pengap dan panas.

"Kata temen Mbak dari sini sekitar satu jam lagi, kita turun di Barong." jawab Mbak Wati yang terlihat lelah namun tetap terlihat bersemangat. Senyumnya tidak pernah lepas dari bibirnya.

"Mbak, capek?" tanyaku melihat matanya yang letih tapi semangatnya terlihat nyata.

"Capek, tapikan nanti dapet yang enak." goda Mbak Wati dengan senyum manisnya.
Senyum yang tidak pernah gagal membuat jantungku berdegup kencang.

"Eh, iya Mbak." jawabku tersipu malu karena tahu apa yang dimaksud, Mbak Wati. Saat bus mulai keluar terminal, kantukku semakin tidak tertahankan hingga akhirnya aku benar benar tertidur.

"Jang, Ujang, bangun, sudah mau sampai.!" kata Mbak Wati sambil membangunkanku. Dengan mata masih mengantuk, aku menatapnya bingung.

"Sudah sampai, Mbak?" tanyaku melihat ke luar kaca mobil, walau aku sebenarnya tidak mengenal daerah sini, semuanya terlihat sangat asing..

"Sebentar lagi. Minum dulu Jang, biar matamu melek." kata Mbak Wati memberikan botol mineral yang isinya tinggal separuh, aku langsung meminumnya hingga tidak tersisa.

"Barong, kiri..!" kata Mbak Wati berdiri, aku ikut berdiri dan mengambil tas tas yang berisi pakaian kami, sudah seharusnya aku membawa semua tas yang berisi pakaian dan perlengkapan berat lainnya karena itu tugas lelaki.

“Mau ke Gunung Kemukus, Mbak?” tanya seorang bapak bapak yang tidak digubris oleh Mbak Wati yang terus berjalan ke arah pintu depan dan aku tidak perlu mewakili Mbak Wati menjawab pertanyaan si Bapak yang terlihat bergairah melihat Mbak Wati.

"Kita jalan kaki saja ya, Jang..! Badan Mbak pegal dari kemarin sore duduk saja." kata Mbak Wati saat kami sudah turun dari bus yang langsung melaju meninggalkan kami.

"Iya, Mbak..!" jawabku setuju, berjalan bisa mengendorkan otot otot kami yang kaku.

Kami berjalan bergandengan, beberapa tukang ojek yang sedang mangkal menawari kami, semuanya kami tolak dengan halus. Berjalan sambil bergandengan tangan dengan seorang wanita cantik sangatlah berbeda rasanya, ada kebanggaan yang muncul saat orang melihat ke arah Mbak Wati sambil bisik bisik yang tidak bisa kami dengar.

Akhirnya kami sampai pada sebuah waduk yang berbama wadung Kedung Ombo yang dibangun pada tahun 1985 hingga 1989, Waduk mulai diairi pada 14 Januari 1989 .
Menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3
kabupaten, yaitu Sragen , Boyolali , Grobogan.
Sebanyak 5268 keluarga kehilangan tanahnya
akibat pembangunan waduk ini.

Pada tahun 1994, belum semua bagian waduk yang terendam oleh air sehingga kami masih busa berjalan ke Gunung Kemukus tanpa menggunakan perahu, sekarang jalan menuju ke Gunung Kemukus sudah tenggelam berganti menjadi jembatan.

"Masih jauh, Mbak?" tanyaku melihat jalan lurus ke arah Gunung Kemukus yang berupa tanah yang lebih tinggi dari pada kiri kanannya. Seperti jalan yang diapit oleh dua jurang dangkal.

"Nggakak tahu, Mbak belum pernah. Cuma kata teman Mbak dari Barong kurang lebih satu kilo meter." jawab Mbak Wati mengusap keningnya yang berkeringat akibat matahari yang terik sementara di kiri kanan kami tidak ada pohon.

o5xdmb.jpg


Kami terus berjalan di atas tanah kering yang berdebu hingga akhirnya kami sampai di pintu gerbang Gunung kemukus, Mbak Wati segera membeli tiket masuk yang aku lupa berapa harganya waktu itu. Setelah berjalan ke dalam, kami masuk ke sebuah warung yang terlihat sepi.

"Bu, kopinya satu dan teh manis ! " kata Mbak Wati ke pemilik warung yang menyambut kami dengan mata berbinar. Sepertinya kami pelanggan pertama yang masuk ke tempat ini.

"Ko, sepi, bu ?" tanya Mbak wati menyadarkanku dengan situasi sekeliling kami yang sepi. Sejak kami memasuki loket, sepanjang jalan berjajar warung warung yang terlihat sepi pembeli. Berbeda dengan tempat ziarah yang sudah terkenal dan selalu ramai dikunjungi peziarah yang datang dari setiap penjuru.

"Di sini ramainya malam Jum'at pon dan Jum" at kliwon, Mbak. Sampeyan dari mana, sudah berapa kali kesini ? Makannya juga, ggak?" tanya pemilik warung membombardir dengan berbagai pertanyaan, pandangan matanya penuh selidik bergantian ke arahku dan Mbak Wati.

"Baru sekarang, ibu. Saya dari Bogor, Jawa Barat, Iya Bu, sekalian nasinya.. Masih ada kamar kosong, Bu? "Tanya Mbak Wati sambil menoleh ke arahku karena bunyi perutku sangat keras hingga terdengar olehnya. Aku tersenyum malu.

"Masih banyak yang kosong, kecuali malam Jum'at Pon, semua kamar di sini penuh." jawab pemilik warung sambil menyuguhkan kopi dan teh manis ke hadapan kami. Dia kembali menyiapkan nasi dan lauk pauknya untuk disuguhkan kepada kami. Melihat nasi yang masih panas, membuatku semakin lapar.

Setelah selesai ngopi dan makan, pemilik warung mengajak kami masuk ke dalam warung, ternyata ada beberapa buah kamar berdinding triplek yang berjejer. Kami memilih kamar paling pojok agar tidak terganggu oleh pengunjung lain. Kamar yang kami tempati hanya berukuran 2 x 2 tanpa ranjang, kasur tergeletak di lantai. Kamar ini seperti kamarku di desa.

Aku segera merebahkan tubuhku yang terasa letih, mengikuti Mbak Wati yang sudah lebih dahulu membaringkan tubuhnya. Tubuh kami saling berdempetan membuat jantungku berdebar kencang, inilah pertama kali aku berada di kamar hanya berduaan dengan seorang wanita. Bau tubuh Mbak Wati membuatku semakin bergairah. Aku ingin memeluknya, tapi aku tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya.

"Kamu mau langsung ngentot, atau mau mandi dulu?" tanya Mbak Wati sambil memelukku yang terpaku kaget dengan tawarannya.

"Ter serah..!" jawabku gugup. Payudara Mbak Wati terasa lunak menekan tubuhku.

"Kamu ditanya malah gugup..!" goda Mbak Wati semakin mempererat pelukannya, bahkan wajahnya menempel pada wajahku sehingga aku bisa merasakan nafasnya yang menerpa wajahku.

Aku semakin gelisah, tanganku tepat berada di selangkangan Mbak Wati, seolah Mbak Wati sengaja melakukannya. Pikiranku kosong tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku hanya bisa berharap Mbak Wati yang akan memulainya lebih dahulu,, mengajariku harus melakukan apa terhadapnya.

"Kita langsung mandi di sendang Ontrowulan, Jang. Setelah itu kita ziarah ke makam, Pangeran Samudra, setelah itu kita bisa bebas ngentot." Kata Mbak Wati, berbisik di telingaku, membuatku sedikit kecewa dengan keputusannya padahal aku sudah sangat ingin merasakannya, hal yang selalu dibanggakan oleh teman temanku yang sudah melepas masa perjakanya. Ya, memang seharusnya seperti itu, ritual harus mengikuti aturan dan tata cara yang benar. Pikirku berusaha menghibur diriku sendiri, tidak akan lari Gunung dikejar. Masanya melepas perjaka hanya tinggal menghitung jam.

"Iyyya, Mbak..!" jawabku. Sabar Jang, tinggal beberapa jam lagi. Aku menarik nafas sepanjang yang aku bisa.

"Gak bawa handuk, Mbak?" tanyaku heran melihat Mbak Wati langsung keluar kamar tanpa membawa apa apa, hanya tas tangan yang dibawanya.

"Kita mau mandi kembang tidak boleh pakai handuk, biar air sendang meresap ke tubuh kita." jawab Mbak Wati mengingatkanku saat aku mandi di tempat tempat keramat bersama Mang Karta, aku tidak boleh melap tubuhku yang basah karena akan mengurangi kekuatan mistis yang terdapat di air.

2q9wino.jpg


Sesampainya di sendang, aku heran karena tidak melihat sebuah sendang melainkan bilik kamar mandi yang di temboknya tertulis SENDANG ONTROWULAN. Yang dimaksud sendang, ternyata hanya sebuah sumur di dalam kamar mandi, Mbak wati membeli kembang, lalu mengajakku masuk ke dalam bilik kamar mandi tempat sendang ontrowulan, membuat jantungku berdebar kencang. Aku akan bisa melihat tubuh bugil Mbak Wati hal yang belum pernah aku alami.

2lo0r5z.jpg


"Kamu kenapa, Jang?" tanya Mbak Wati yang melihatku tegang menanti apa yang akan terjadi.

"Gak apa apa, Mbak..!" jawabku gelisah saat Mbak Wati melepas jilbabnya. Tidak berhenti sampai di situ, Mbak Wati membuka seluruh pakaiannya hingga bugil, buah dadanya yang besar dan kendor dengan pentilnya coklat kehitaman terlihat indah. Memeknya yang tanpa jembut terselip di pangkal pahanya, mungkin jembutnya selalu dicukur. Inilah untuk pertama kali aku melihat tubuh polos seorang wanita dan wanita itu adalah istri teman seprofesiku. Aku menarik nafas, menelan air liur yang tersangkut di kerongkongan.

"Kenapa, Jang? Tetek Mbak gede ya?" goda Mbak Wati meremas payudaranya, menggodaku yang shock melihat tubuhnya yang polos.

"Jang, jangan melotot terus, buruan buka baju kita mandi. !" kata Mbak Wati menarik kaos yang aku kenakan terlepas dari badanku melewati kepala. Dengan santai mbak wati berjongkok dan membuka celanaku seperti seorang ibu yang menelanjangi anaknya yang nakal dan tidak mau mandi. Aku diam, tubuhku semakin kaku bahkan saat harus mengangkat kakiku untuk melepas celana, membuat celanaku basah terkena genangan air di lantai.

"Jang, kontol kamu gede amat !" ucap Mbak Waati takjub melihat kontolku yang sudah berdiri dengan perkasanya. Reflek aku menutup kontolku dari pandangan Mbak Wati yang melotot tepat di depan kontolku.

"Gak usah ditutup, Jang. Bentar lagi kontol kamu masuk memekku nanti malah kamu yang pengen selalu telanjang di depanku. Hihihi" Mbak Wati tertawa geli melihatku yang pucat karena malu. Tangannya menepiskan tanganku yang berusaha menutupi kontolku dari pandangan matanya yang takjub.

"Memek Mbak jadi nyut nyutan pengen dientot...! Buruan kita mandi." kata Mbak Wati mengambil bungkusan berisi kembang dan minyak mawar dari tasnya. Kembang ditaburkan dalam ember yang masih kosong. Aku segera menimba air dan mengisi ember hingga penuh. Mbak Wati meneteskan minyak mawar ke dalam air.

"Jang, Mbak dulu yang kamu mandiin, setelah itu Mbak yang mandiin kamu. Ikuti bacaan Mbak, ya..!

Niat isun ngadusi Wati binti Adam,.................. "

kata Mbak Wati berjongkok menghadap sumur, membelakangiku. Membaca mantra untuk mandi hingga selesai. Mantra ya g menurutku terlalu panjang dan bebeda dengan mantra mandi yang aku hafal.

"Iyya, Mbak..!"aku mengikuti bacaan Mbak Wati hingga selesai. Dengan tangan gemetar, aku mulai menyiramkan air dari gayung ke atas kepala Mbak Wati sebanyak tujuh gayung, aku melakukannya dengan tergesa gesa. Aku ingin semua prosesi ritual cepat selesai sehingga aku bisa bisa membenamkan kontolku di memek Mbak Wati.

"Selesai, Mbak." kataku setelah tujuh gayung air membasahi tubuh Mbak Wati yang terlihat khusu menjalani prosesi ritual. Hilang sudah kesan nakal dan binal yang selalu terucap dari bibirnya.

"Sekarang Mbak yang mandiin, kamu." tanpa diperintah untuk kedua kalinya, aku berjongkok menghadap Mbak Wati sehingga aku bisa melihat memeknya dengan jelas, memek yang akan menjadi petualangan pertamaku.

"Kamu Jang, kok malah menghadap memek Mbak, bukannya menghadap sumur.!" kata Mbak Wati hanya tertawa kecil melihatku, dia mendekatkan memeknya ke wajahku membuat wajahku semakin memerah. Tangannya menarik kepalaku sehingga menyentuh memeknya, tercium bau memek yang sangat khas.

"Kamu sudah gak sabar pengen nyium memek, Mbak ya?" goda Mbak Wati sambil bergerak mundur menjauhkan memeknya dari wajahku, reflek aku mengejar memek Mbak Wati, tidak rela mangsa yang sudah di depan mata terlepas begitu saja.

"Santai, Jang. Nanti juga kamu bisa menikmati memek Mbak sesuka kamu, sepuasnya. Sekarang kamu menghadap sendang.!" kata Mbak Wati membuatku malu. Aku segera berbalik membelakanginya.

Mbak Wati mengambil air dengan gayung dan mulai membaca mantra seperti yang diajarkannya kepadaku, dia sangat khusu sehingga membuat bulu kudukku merinding membuatku melupakan bayang bayang memeknya dari pikiran. Air tertumpah membasahi kepalaku, turun ke sekujur tubuh yang membuatku merasa segar dan nyaman.

"Sudah, Jang..!" kata Mbak Wati menepuk pundakku yang sedang khusu. Aku segera berdiri nenatap Mbak Wati yang kembalu mengenakan pakaiannya.

"Terus sekarang kita ke mana, Mbak?" tanyaku setelah kami selesai berpakaian.

"Ke Makam Pangeran Samudra di atas bukit, kita ziarah dulu di sana." jawab Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sudah tidak sabar ingin melepaskan perjaka.

Dari sedang ke makam Pangeran Samudra lumayan jauh, kami harus menaiki anak tangga yang berjumlah puluhan. Di kiri kanannya terdapat warung warung yang setahuku menyediakan kamar kamar untuk menginap dan melakukan ritual mesum. Sungguh tempat yang sangat unik, satu sisi tempat ini dianggap sebagai tempat sakral yang bisa mengabulkan setiap hajat dan pada sisi lain, tempat ini menjadi tempat mesum yang dijadilkan lokalisasi para wanita yang menjajakan dirinya.

Sesampainya di atas bukit, ada beberapa wanita menjajakan kembang untuk para peziarah. Mereka menawarkan kembang kepada para peziarah yang datang, Mbak Wati membeli dua bungkus kembang dan menyan yang sudah tersedia. Setelah itu kami masuk bangunan makam yang diberi nama Bangsal Sonyoyuri, di situlah makam Pangeran Samudra yang dipercaya sebagai putra dari Prabu Brawijaya V, raja terahir kerajaan Majapahit.

Sejarah dan asal usul Pangeran Samudra masih simpang siur, banyak persi yang beredar tetapi yang paling melekat adalah ucapan Dewi Ontrowulan sebelum wafat.

“ Bagi siapa saja yang mempunyai
keinginan atau cita-cita, untuk mendapatkannya,harus dengan sungguh- sungguh, mantap, teguh pendirian, dan dengan hati yang suci. Jangan tergoda oleh
apa pun, harus terpusat pada yang dituju atau yang diinginkan. Dekatkan dengan
apa yang menjadi kesenangannya, seperti
akan mengunjungi idamanya ( Dhemenane, Pacar gelap; selingkuhan )”

Kepercayaan itulah yang membuat ritual sex tumbuh subur di Gunung Kemukus.

"Nama dan binti, niat anda datang ke sini, Mbak ?" tanya kuncen ke Mbak Wati yang dengan lancar menyebutkan nama dan maksudnya datang ke Gunung Kemukus.

"Kamu ? " kuncen menoleh ke arahku., menanyakan hal yang sama seperti yang ditanyakan ke Mbak Wati.

"Ujang bin Ugan, niatnya sama, Pak" aku menjawab lirih, bau menyan begitu tajam membuatku merinding dan semakin merinding saat kuncen membaca mantra. Bau menyan yang mengingatkanku ke Abah, setiap malam Jumat Abah selalu membakar kemenyan untuk susuguh ke para Karuhun. Kulihat Mbak Wati menundukan wajah dengan khusyuk.

Selesai membaca mantra, kuncen memberikan kembang yang sudah diasapi menyan, menyuruh kami masuk ke dalam cungkup makam. Hanya kami berdua di dalam cungkup, bersila dan berdoa dengan khusuk agar semua keinginan kami terkabul.

Keheningan itu pecah saat Mbak Wati terisak lirih, air mata mengalir di pipinya yang chubby dan mulus, tanpa sadar, aku pun ikut menangis. Teringat dengan nasibku, umur 8 aku sudah menjadi yatim, umur 15 tahun, aku sudah harus memberi nafkah ibu dan adikku, membiayai sekolah adikku adikku.

Suara isak kami seperti mantra yang mengetuk alam ghaib, menghiba agar semua hajat kami terkabul. Kami bersujud tanpa sadar, dahi kami menyentuh marmer makam yang dingin, semua tangis dan kesusahan yang dialami semuanya, seakan tertumpah saat itu. Akhirnya kesadaranku pulih, saat Mbak Wati mengguncang pundakku, tersenyum dengan mata yang sembab.

"Sudah selesai. Belum?" tanya Mbak Wati, masih terlihat matanya yang sembab sehabis menangis.

"Mbak sudah?" tanyaku balik bertanya. Aku kesini karena ajakannya, maka semuanya harus mengikuti perintahnya.

"Sudah..!" jawab Mbak Wati sambil berdiri, tangannya yang terulur kusambut dengan senang hati. Kami bergandengan tangan meninggalkan bangsal Sonyoruri seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta dan kerinduan setelah lama berpisah. Mungkin ini yang dimaksud Dewi Ontrowulan dengan kata DEMENAN, walau pemahaman kami tentang kata DEMENAN berbeda dengan maksud dari Dewi Ontrowulan.

Kata DEMENAN menurut pemahaman kami adalah menumpahkan semua hasrat birahi yang belum tersalurkan, hasrat birahi tabu karena kami bukanlah sepasang suami istri,. Mbak Wati adalah seorang istri yang datang mencari berkah kekayaan sehingga rela berzina denganku seorang perjaka yang mendambakan kehangatan seorang wanita. Semuanya akan kami tumpahkan di sini, menuntaskan hasrat birahi yang belum sempat kami reguk.

Tanpa bersuara kami meninggalkan makam Pangeran Samudra, bergandengan tangan menuruni anak tangga yang di kiri kanan berjejer warung warung yang sepi, setia menunggu malam Jum'at Pon tiba. Pada saat itulah ribuan orang akan memadati tempat ini, menuntaskan hasrat birahi mereka dengan dalih melakukan ritual, ngalap berkah lewat pertemuan Lingga dan Yoni.

Kami berjalan menuruni anak tangga dengan bergandengan tangan dengan perasaan gelisah, sebentar lagi Ritual selanjutnya akan dimulai, tanganku semakin erat menggenggam tangan Mbak Wati yang menoleh ke arahku dengan senyumnya yang khas, sebentar lagi aku akan merasakan kenikmatan yang sebenarnya dan melakukan ritual sesungguhnya. Kenikmatan ngentot yang akan membuatku menjadi pria sejati.

****
 
Bimabet
Apakah sma isinya dengan yg lma nih?? Atau ada tmbhan2 yg lain dstiap updatenya???
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd