Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA SALAH SASARAN - Ipar-Iparku yang Ahhh... Sudahlah (NO SARA!)

CHAPTER 28



Pasti kalian bertanya-tanya apa yang terjadi selanjutnya - semalam, bukan?

Kejadian setelah balasan singkat dari kakak iparku dengan kalimat yang membuatku spontan terdiam, kaku seakan tubuhku baru saja di bekukan, kalimat yang menyatakan dirinya lagi terangsang?

Maka kan ku jawab. Sudahlah, aku tak tahu lagi harus menjelaskan dengan kalimat yang cukup pas pada kalian, karena sejujurnya, aku tak dapat lagi merangkaikan dengan sebuah narasi buat ku jelaskan pada kalian. Intinya, setelah itu, aku tak lagi membalasnya, karena aku sudah amat di kuasai oleh syahwat kembali. Alhasil, aku pun langsung ngacir ke kamar, buat membangunkan istri untuk sesegera mungkin ku setubuhi.

Selama ku setubuhi Azita, aku tak memikirkannya melainkan dalam pikiranku itu, sedang menyetubuhi kakaknya, si Nira. Makanya spermaku sangat dahsyat menyemprot ke rahim istri, bahkan istri juga bertanya padaku mengapa aku malam kemarin sangat semangat sekali untuk bersetubuh dengannya. Aku hanya jawab, nyengir aja. Toh! Bukan sekali dua kali juga ia mendapatkan suaminya lagi sange berat. Karena memang suaminya ini adalah type pria yang sangean. Haha!

Tapi….

Satu yang pasti yang kini ku catat dalam benakku. Membuat Nira berbicara balk-blakan adalah sebuah kemenangan besar dalam proses pendekatan - baca : merencanakan untuk menaklukkan. Pernyataanku ini tidaklah berlebihan, mengingat aktifitas keseharian Nira yang serba tertutup karena menjaga iffah mereka dari fitnah dengan menerapkan aturan niqab. Jika kalian mengira bahwa niqab itu adalah kain yang menutup aurat mereka, maka kalian salah besar. Niqab adalah prinsip pembatasan hubungan dengan lawan jenis dalam bentuk apapun untuk menghindari fitnah.

Baik itu dalam urusan fisik, seperti mengumbar aurat, maupun dalam hal psikis seperti berbicara yang tidak penting. Untuk itulah mereka mengenakan niqab buat menutup wajahnya, sebagai pendukung untuk gerakan aliansi para wanita yang kerap mendapatkan pelecehan baik itu secara sepintas dengan sebuah tatapan, atau lebih parahnya dengan sebuah tindakan.

Memang benar anggapan bahwa tidak semua perempuan yang bercadar itu menganut faham konservatif. Buktinya banyak sekali akhwat yang memakai cadar dengan segala kepentingannya.

Ada yang melakukannya karena keyakinan. Aku bisa dengan sangat mudah mengenali mereka yang berada pada tipe ini, berhubung istriku juga cukup aktif dengan salah satu organisasi yang sama seperti yang di ikuti kakakknya itu - secara memang mereka bertiga hidup di kalangan orang-orang yang haus akan agama, meskipun istriku dan beberapa ummahat yang lain memilih untuk tidak memakainya.

Biasanya mereka terlihat dari pakaiannya yang serba gelap, tanpa motif dan corak. Hanya pakaian jubbah dan jilbab yang polos, dan Nira adalah akhwat yang berada pada tipe ini. Tipe kedua adalah mereka yang mengedakan cadar karena doktrin ataupun ikut-ikutan. Mereka hanya bermodalkan semangat namun tidak mengimbanginya dengan usaha yang pantas, sehingga akhwat jenis ini terlihat sangat mudah dikenali. Mereka berjilbab lebar dan bercadar, tetapi kain corak pakaiannya sangat modis, menggunakan kain yang warnanya cerah, kadang memakai motif-motif. Meskipun mereka bercadar, tetapi mereka tetap menarik perhatian.

Ah, sepertinya, terlalu banyak pendahuluannya buat membuka cerita pada chapter kali ini. Oke kita skip saja. Hahahaha!







Pagi ini aku terjaga dari tidurkku yang benar-benar efektif banget. Secara beberapa hari ini, aku tidurnya kurang efektif, mengingat kejadian demi kejadian dari aku berangkat ke sini, selalu menyiksa pikiranku sebelum aku memejamkan mata. Bahkan tak jarang, salah satu di antara kedua saudari istriku kerap hadir dalam mimpi. Tentu saja, hadirnya bukan dengan yang positif, melainkan negatif. Ahhh! Aku yakin kalian paham apa yang ku maksudkan ini.

Hari ini seolah aku mendapatkan semangat yang baru, setelah semalaman berhasil memasuki babakan baru dalam proses komunikasiku dengan Nira.

Di samping itu aku juga telah mendapatkan ‘makan malam’ yang super dahsyat dari istriku semalam. Skor 4-1 sudah cukup memuaskanku. Dia adalah istri yang sangat hebat. Mengapa? Karena dia adalah wujud keadilan Tuhan atas diriku.



Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, dalam hal apapun dan Azita selalu mampu melengkapi kekurangan ataupun kebutuhanku, termasuk dalam hal syahwat.

Seperti yang selalu ku jelaskan juga, jika aku selalu memiliki nafsu yang menggebu untuk melepaskan birahiku. Baca - cowok sange’an. Sedangkan Azita selalu memiliki semangat yang tinggi untuk melayani syahwat hewaniku.

Oh, istriku. Engkau sebenarnya sudah lebih dari cukup untukku, hanya aku saja yang seperti kurang bersyukur.



Rupanya istriku, putriku dan Azizah adiknya serta mama mertua sedang ke rumah keluarga yang berada di Buah Batu. Informasi ini ku dapatkan dari……………..



Nira?

What the.

Yap, kalian tak salah baca kawan. Pagi ini, saat aku lagi keluar dari rumah, aku berpapasan dengan Nira yang juga baru saja keluar dari pintu rumah utama dengan penampilan - hmm, yah seperti biasa, berhijab lebar dengan cadar penutup wajahnya.

Ah… perasaan ini.

Terlalu murahkah perasaanku ini pada kakak iparku? Mengapa bukan hanya dengan Azita saja aku merasa perasaan seperti ini, yang dapat ku pastikan jika perasaan ini bisa kalian sebut sebagai perasaan ‘kasmaran’. Yang anehnya, perasaan ini muncul bukan untuk Azita saja.

Pfhhhh!

Mengapa dengan Azizah juga? Dan kini dengan Nira? Ah, Nira. Perempuan anggun yang penuh misteri, setidaknya dari wajah yang dia tutupi. Dari mata dan sedikit alisnya yang nampak, aku tidak bisa mengira ekspresi seperti apa apa yang tersaji di baliknya saat ini, ketika sepagi ini ia malah bertemu denganku yang semalam - dengan sadar ia baru saja membuka tabir sedikit saja kehidupan berumah tangganya pada sesosok lelaki lain, meski aku masih menjadi bagian dari keluarganya.

Apakah dari semua petunjuk yang ada, Nira juga menyimpan segudang keinginan untuk bisa saling ‘bercicipan’?

Tapi jika sebaliknya, sanggupkah aku melanjutkan rencana ini? Bagaimana jika pas aku sudah di hadapkan pada sebuah kesempatan, tiba-tiba aku malah mendapatkan bencana seperti di gampar atau di caci maki, atau lebih para si akhwat ini malah teriak meminta pertolongan - yang pada akhirnya, bukan hanya pihak keluarga yang datang membantu, mungkin saja para warga lain yang mendengar bakal datang berbondong-bondong buat menghakimiku? Ahhh! Aku bahkan takut buat membayangkan kejadian tersebut. Bagaimana rumah tanggaku nanti? Bagaimana perasaan Azita istriku, serta bagaimana masa depan putriku Intan? Serta calon dua debay yang berada di dua rahim yang berbeda - rahim istri dan rahim adiknya, Azizah. Ahhh entahlah, aku tak mau lagi berfikir terlalu jauh.

Ku akui, memang untuk menaklukkan seorang akhwat yang memakai cadar adalah sebuah pertaruhan yang sangat besar. Bagaimana tidak, engkau memperjuangkan apa yang belum engkau ketahui tentang perasaannya. Hm, begitulah kira-kira kondisiku saat ini.

Baiklah….

Kembali pada kejadian aku yang berpapasan dengan Nira sepagi ini.

“Eh Nira…. pagi, kak”

“Pa… pagi Ar.” begitu jawabnya. Dari nada suaranya sih, dapat kupastikan jika empunya lagi di landa kegugupan.

“Baru bangun?” tanyaku.

Dia malah menggeleng, “Udah dari subuh kali, Ar.”

“Wah aku malah baru bangun, baru juga selesai mandi”

“Iya…. gak apa-apa” balasnya lagi.

“Eh iya, Azita dan yang lain pada kemana? Kok sepi amat ya?” tanyaku saat kepalaku teralihkan, dan sekedar untuk celingak celinguk mencari dimana istriku berada.

Dan dari sinilah aku mendapatkan informasi seperti yang ku jelaskan di awal, jika istri beserta yang lainnya lagi pergi ke rumah keluarga yang terletak di buah batu. Mereka menggunakan jasa taksi online karena istriku tak ingin membangunkanku tadi. Ia menyadari jika suaminya lelah banget setelah menungganginya semalam.

“Ohhh gitu. Ya udah eh, itu artinya saya bebas hari ini. Pengen lanjut molor lagi kalo gitu. Hahaha” kelakarku mencoba untuk bercanda padanya.

“Dasar.”

“Eh iya, rapi gini mau kemana?” tanyaku tiba-tiba, setelah menyadari penampilan Nira pagi ini cukup rapi.

“Oh ini…. hmm mau ke Cimahi. Kebetulan lagi ada undangan makan siang di rumah temen satu pesantren dulunya” begitu balasnya.

“Ohhh gitu”

Nira mengangguk.

“Ya udah kalo gitu Ar, aku mau lanjut….”

“Perginya bareng bang Anton?” sebelum ia meninggalkanku, aku segera bertanya lagi. Rasa-rasanya, aku belum rela jika aku berpisah lagi dengannya. Padahal kami masih berdekatan dalam radius yang tidak lebih dari 20 meteran.

“Yah suami sudah di jemput pagi-pagi ama bekas komandannya dulu, mereka juga lagi pada mau keliling bertamu di rumah kawan-kawan seangkatannya dulu di Akabri”

Hmm, sepertinya aku punya ide.

“Mau saya anter?”

Nira langsung menatapku. Urung ia melangkahkan kakinya buat meninggalkanku.

“Hmm….” dia berfikir.

“Pasti takut ya, karena kejadian kemarin?” aku menembaknya, tapi suaraku agak sedikit ku kecilkan.

“Ih apaan sih… lagian kan, kejadiannya gak di sengaja juga”

“Nah. Berarti gak apa-apa dong kalo saya anter, kebetulan juga saya mau mampir di rumah temen di Cimahi mantan atasan saya dulunya di sini, Nir” alasanku. Padahal sejujurnya aku berbohong. Karena sejujurnya juga, aku masih ingin mengobrol dengannya, tak lebih. Karena memang aku tak meniatkan adanya kejadian yang aneh-aneh bersamanya nanti.

“Hmmm gimana ya?”

“Ayolah. Hmmm masih pengen ngobrol ama kamu juga sih”

Nira kembali menatapku dari sepasang matanya itu yang terlihat, menatapku seakan sedang menyelidiki maksudku menawarkan untuk mengantarnya.

Tapi, sebelum dia berucap buat membalas tawaranku, aku telah meraih ponselku dan menghubungi istriku. Begitu Nira ingin berucap, bersamaan pula telfonku di jawab Azita di seberang.

“Wait Nir” gumamku. “Assalamualaikum, bun”

“Wa’alaikumsalam, ya ayah…. maaf yah, bunda ma yang lain kebetulan di rumah bibi Jum. Tadi gak sempet bangunin ayah, karena ayah tidurnya nyenyak banget. Heheheh, tapi paling pulangnya gak sampe sore sih”

“Iya ayah juga udah tahu, nih kak Nira yang ngasih tau” sembari berucap, sembari ku lirik sepasang mata kakak iparku ini yang masih menatapku.

“Ohh syukurlah. Hehehe”

“Ini, kak Nira kebetulan mau ke Cimahi, pas ayah juga mau ke cimahi rumah Pak Rusli. Biar sekalian aja kan barengan”

“Oh iya bareng aja…. daripada kak Nira sendirian ke sananya, kan bang Anton juga lagi keluar tadi”

“Iya makanya.”

“Ya udah gak apa-apa…. jagain kak Nira loh yah” bukan hanya jagain saja yang ayah bisa lakukan sayang, kalo Nira juga meminta lebih, akan ayah ladenin kok. Untuk saja lanjutan kalimat tersebut hanya terucap dalam hati. Hahaha!

Dan setelah berbasa-basi beberapa detik bersama istri, akhirnya ku pungkasi obrolan kami via phone.

“Beres” ku sakukan kembali ponselku.

“Ihh kamu ini Ar, malah jual namaku. Padahal mah, kamu yang nawarin”

“Hehe gak apa-apa kali. Jadi gimana, mau bareng berangkatnya?” tanyaku.

“Hmm…”

“Ya elah kebanyakan mikir. Dah ah, saya ganti pake celana panjang dulu di dalem. Tunggu di sini aja, gak sampe mamenit mah kalo saya ganti pakaian”

“Hmm ya …. ya udah deh” begitu jawabnya. Agak terbata-bata juga.

Tapi setidaknya, dari sini aku sudah mendapatkan lampu hijau darinya, untuk bisa bersamanya lebih lama lagi. Bahkan aku berharap, ia batal ke rumah temannya dan ikut bersamaku menghabiskan waktu seharian ini di suatu tempat. Jangan terlalu jauh dulu mikirnya, aku tak mau, endingnya aku yang malah terkena bencana karena kenekad-tanku yang tak berarah.




BERSAMBUNG CHAPTER 29
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd