Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA SALAH SASARAN - Ipar-Iparku yang Ahhh... Sudahlah (NO SARA!)

CHAPTER 29



Karena males buat bermonolog gak jelas kayak biasanya, maka mari kita lanjutkan, kawan....

“Yuk, berangkat” begitulah aku menyapa saat baru keluar dari rumah dengan berganti pakaian. Masih santai, masih berkaos oblong dan bercelana jeans, tapi hanya dengan sandal biar santai. Rupanya Nira beneran masih menungguku di depan.

“Iya……”

Kami berdua pun tak lupa berpamitan ke penghuni rumah yang masih tertinggal di sini. Papa mertua dan juga Rafiq suami Azizah yang rupanya baru saja bangun sama sepertiku.

Aku lebih dulu berjalan menuju ke mobil di ikuti Nira di belakangku. Entah mengapa ku lakukan ini, begitu Nira mendekat, ku buka pintu samping kiri depan, kemudian ku julurkan tangan kananku untuk menggapai tangannya, memintanya untuk duduk di sebelah pengemudi. Karena kalo tidak ku lakukan seperti ini, bisa saja ia malah duduk di jok tengah, itu artinya aku lagi-lagi tak ada bedanya dengan pak sopir.

Ahhh.... akhwat ini. Lebih tepatnya aku yang tak sengaja malah bukan menyentuh di lengan untuk menghentikannya berpindah ke belakang, malah yang ada.....

Telapak tangan kami menyatu, kawan.



Dalam situasi yang canggung ini, kami berpegangan.

Sialnya….

Tangan sialan ini malah enggan melepaskannya.

Belum selesai kekagetanku, tanganku yang masih bersentuhan, seakan seperti sedang bersalaman dengan tangannya, perlahan tertarik ke atas. Tentunya bukan atas tenagaku, melainkan karena Nira menarik tanganku, dan perlahan meletakkan di keningnya. Hingga tanpa sadar tenggorokanku tiba-tiba mengering dan aku seperti tersedak. Mau tidak mau akupun terbatuk. “Uhuukkkk…Uhukkk….” Suara batukku seolah mengingatkan Nira akan apa yang dia lakukan.

Dengan cepat dia melepaskan tanganku dan menunduk dengan kikuk. Gerakan Nira menunjukkan kalau dia pun tidak sengaja menyambut tanganku dan reflex menciumnya di keningnya.

Akupun demikian sama kagetnya. Segera ku tarik tanganku. Dan membiarkan situasi canggung menyelimuti kami berdua. Baik aku maupun Nira tidak tahu harus bagaimana mengambil sikap setelahnya. Yang aku tahu hanyalah jantungku seakan ingin meledak rasanya. Terlalu indah situasi canggung ini untuk dilukiskan dengan kata-kata.

Tak ingin larut lebih lama lagi, akhirnya aku sudah bisa menguasai diri dan hatiku.

“Ehm…. Yuk kak…. naik di depan sini aja, biar ada teman mengobrol” ujarku membunuh sepi yang terjadi beberapa jenak lamanya.

“Ehh…. I.. Iya….”

Nira segera masuk ke mobil.

Aku pun langsung melangkah ke jok di balik kemudi.

Sejurus kemudian, mobil pun mulai melaju perlahan, tetapi entah mengapa sepertinya hatiku masih tertinggal di depan pagar rumah di belakang sana, yaitu ketika ia menciumi tanganku.

Karena baru kali ini, kakak iparku mencium tanganku. Karena biasanya akulah yang melakukannya - tapi itupun dulu, di saat ia masih belum bercadar. Tapi setelah ia bercadar, bahkan kemarin pas acara salam-salaman maaf memaafkan di awal pertemuan kami, Nira hanya mengatupkan dua telapak tangannya di depan dada.

Tapi hari ini, semuanya terasa berbeda. Sepertinya aku sangat berbunga-bunga dengan peristiwa itu, atau lebih tepatnya bergairah. Aku tidak tahu apa yang dia rasakan saat ini. mungkin saja sama denganku, atau mungkin lebih dariku, atau mungkin saja tidak ada apa-apa.



Suara mobil dan beberapa kendaraan yang menyalip kami secara samar masuk ke dalam kabin mobil, tidak mampu mengusir sepinya suasana di dalamnya. Entah berapa lama kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga kemudian aku memilih untuk membuka obrolan.

“Tidur jam berapa, semalam, kak?” tanyaku.

“Ohh…. Ehh…. Iya, Ar... a... ada apa?” Nira tiba-tiba gelagapan karena pertanyaanku barusan.

“Nggak apa-apa Kak… cuman mau nanya semalam tidurnya jam berapa”

“Kok kakak lagi sih Ar. Lagian apa kamu gak sadar, kamu itu lebih tua dariku loh”

“Oh…. Maaf kak, ehh… Nir”

Nira menatapku dari samping. Aku juga sempat membalas tatapannya, tapi hanya sejenak saja, kemudian ku kembalikan pandanganku ke depan, menatap jalan, fokus menyetir.

“Sekitar jam dua, Ar. Gara-gara kamu aku jadi gak bisa tidur”

“Loh kok gara-gara saya, Nir?”

“Lah emang gara-gara kamu kok. Gara-gara kamu cerita ini itu, aku malah jadi ikutan terangsang hingga susah tidur”





DEGH!




Nyaris saja jantungku copot saat mendengar kalimat Nira barusan yang amat sangat mengagetkanku. Seorang akhwat yang aku tahu persis gerakan tempatnya bergabung, mengucapkan kalimat yang terkesan sensual dengan santai di depan seorang lelaki yang bukan mahramnya, secara ringan sekali meluncur dari mulutnya, serta suaranya yang lembut tanpa terkesan menahan atau menyembunyikan sesuatu, tulus terdengar. Benar-benar aku malah belum siap akan mendengarnya saat ini.

“Maaf Nir. Gara-gara saya kamu kayak gitu.” ujarku, menunjukkan ketulusanku untuk memohon maaf padanya. Padahal mah, di dalam sana sudah bergelora, kawan!

“Iya…. kamu emang jahat”

“Andai saja tak ada dinding yang memisah semalam, hmm….”

“Emang kenapa kalau gak ada dinding rumah di antara kita?” tanyanya. Apakah ini sekedar pancingan?

“Yaa…. minimal bisa ngebantuin kamu buat ngilangin keterangsanmu…. Aduhhh Nir…. sakit” Ucapanku terpotong oleh cubitan Nira yang secara tiba-tiba di lenganku yang lagi nyander di arm rest. Gila! Sudah mulai berani dia, meski baru sebatas cubit-cubitan.

“Dasarrrr….. Messummmm”

Lalu entah mengapa kami berdua tiba-tiba tertawa bersama.

“Kamu inih…. masa sih, bisa-bisanya ngomong gitu di depan aku, Ar….. Fitnah tau, Ar”

“Lha…. kamu yang terangsang kok malah nyalahin saya?”

“Yee…. Kan, karenamu…. karena kamu yang duluan mancing. Udah ah, males ngomong sama kamu….” Lalu sejurus kemudian kami berdua terdiam menikmati alur waktu dalam setiap jejak perjalanan kami menuju ke….



Entahlah kemana ku arahkan mobil ini sekarang. Wong sejak tadi Nira juga belum ngasih tahu dimana alamat rumah temannya yang akan ia datangi itu.

Dan satu lagi, entah mengapa juga aku hampir saja tidak percaya kalau ternyata kami bisa sedekat ini dalam waktu kurang dari 24 jam saja. Kalau sudah begini aku jadi serba salah. Orientasiku mendekati Nira menjadi bias dan membingungkan. Kedekatan ini begitu murni untuk dikotori dengan syahwat.

Ketika aku dan dia saling bercanda lepas tanpa beban, kelihatannya urusan kelamin menjadi nomor sekian. Jujur, aku menjadi dilema. Aku tidak ingin mengotori kedekatan kami ini dengan urusan kelamin, tapi aku juga sangat terobsesi untuk memuaskannya. Dan dari kata-katanya yang tersirat, sepertinya ladangnya saat ini sudah mengering, atau mungkin di basahi tapi tidak sampai tuntas? Hanya hipotesa awalku saja sih. Tapi, meski begitu, ada keiniginan besar dalam sana, yang dengan sungguh-sungguh ingin menyirami ladang itu agar tanahnya gembur kembali setelah ditimpa kemarau kepanjangan. Tapi aku takut jika sang pemilik ladang tak rela ladangnya disirami dengan air yang bukan miliknya.

Aku lantas punya ide….

“Tapi… saya juga salah kok. Saya akui itu. Karena gara-gara foto yang saya kirim ke istri, eh malah itu jadi penyebab kamu terangsang juga.”

Degh!

Nira langsung menunduk.

“Eh maaf… maaf, hanya bercanda kok”

Nira menarik nafas dalam-dalam. “Maaf ya Ar. Maafkan kekhilafanku”

“Andai kamu mintanya baik-baik, tak perlu foto, aslinya juga bakal saya kasih kok, Nir” sembari berucap, sembari ku lemparkan senyumku, seakan-akan menyiratkan aku sedang bercanda. Padahal aslinya mah, beneran. Aku serius, aku mengatakan ini biar ia terpancing.

Sebuah cubitan lantas tiba-tiba mendarat kembali di lenganku. Sakit, tapi bukan itu yang menyebabkanku mengaduh. Aku mengaduh lebih karena aku suka seandainya aku dicubit lagi.

“Kamu ini ih, kok malah bahas itu lagi sih?”

“Habisnya, gak ada bahasan lain. Hehehehe” Aku sangat berharap Nira mencubitku lagi.

Aku suka cubitan yang manja itu. Hhmmm… sepertinya memang harus ku pancing lagi. Sungguh hari ini entah mengapa aku merasa kembali kasmaran. Ah, sungguh aku bingung dengan perasaanku.



Sayang kah? Syahwat kah?

“Eh iya…. dari kemarin itu saya di buat nyaris mati penasaran, Nir”

“Penasaran tentang?”

“Maaf nih, sekalian aja basah yah. Gak apa-apa kan? Hehehehe”

“Tuh pasti bakal menjurus ke sana lagi”

“Emang….” balasku singkat.

Kami lantas terdiam sesaat.

Tak habis akal, dan tak ada niatan mundur, aku menyerangnya lagi. “Saya mohon, ijinkan saya mengeluarkan semua apa yang terpendam dalam hati sejak kemarin, karena jika tak saya keluarkan bisa jadi duri di dalam sana yang bakal mengarat selamanya, dan itu, adalah sebuah penyakit yang bakal menyiksa saya nantinya”

Nira kembali menatapku.

Aku membalasnya.

“Ku mohon”

Akhirnya Nira mengangguk.

“Hmm, jadi gini, sejak kemarin itu saya berharap mendapatkan jawaban sedikit saja darimu, mengenai kejadian di kamar malam itu” Nira tiba-tiba menunduk. Mungkin ia malu saat barusan ku tatap kembali ia dari samping.

“Boleh ya, saya melanjutkan pertanyaan saya?”

“Bo… boleh Ar” gumamnya. Ia gugup bro.

“Jadi gini, yang menyiksa saya itu, adalah pertanyaan kenapa waktu kali pertama saya sengaja bertelanjang di dekatmu, karena sepengetahuan saya awalnya, saya mengira kamu itu Azita…. kamu tidak protes. Oke baiklah, saat itu kamu masih sholat, jadi pasti kamu bakal nyelesaiin sholatmu dulu baru kamu akan teriak, atau setidaknya kamu bakal menegurku untuk mengenakan kembali handuk atau segera berpakaian, atau mungkin kamu bakal langsung berdiri dan keluar dari kamar.” ku ambil waktu sejenak buat mengambil nafas. Lalu ku lanjutkan kembali.

“Atau yang lebih parah, kamu malah menggamparku. Tapi nyatanya, kita sama-sama tahu apa yang terjadi selanjutnya, bukan? Saya mulai menyentuhmu. Saya menyentuh bagian yang tak seharusnya saya sentuh. Maaf, jika saya lancang. Saya sudah menyentuh tubuhmu, payudaramu secara nyata dan harfiah. Tapi sekali lagi, kamu tetap diam, bahkan yang saya tangkap…. maaf seribu maaf, ya Nir. Kamu seolah-olah menikmatinya. Jadi itulah mengapa saya masih menyimpan tanda tanya besar. Apakah bener kamu sama sepertiku, menikmati sekali setiap sentuhan yang ada, karena saya memang sudah mengakui, sedari awal jika saya menikmatinya. Ataukah ada alasan lain? Ku mohon kalo bisa kamu jawab yah, biar gak jadi penyakit yang terpendam di dalam sana”

Nira lantas mengangkat wajahnya. Ia menoleh ke samping, bukan ke arahku, melainkan ke arah jendela.

Aku masih santai menanti jawabannya.



Hingga….

Setelah terdengar tarikan nafas darinya, aku pun merasa inilah saatnya aku mendengar jawaban - lebih kepada pengakuan yang sebenar-benarnya dari akhwat kakak iparku ini.



Here we go....


Ahhhhh.... sumpah..... gue deg-deg’an coeg!

Menanti jawaban dari akhwat bercadar satu ini, meski hanya sebentar saja, nyatanya, rasanya seperti menunggu beratus tahun lamanya. Hadehhhh!



BERSAMBUNG CHAPTER 30
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd