#
Tiga bulan setelah keputusan ku untuk tidak lagi bercumbu membawa pengaruh besar dalam hubunganku. Aku merasa hubungan kami semakin merenggang, aku merasa ada batasan yang menjadi halangan. Aku jarang dan bahkan mungkin tidak pernah lagi memeluk Ardi saat berboncengan di motor. Saat kami berdua aku berusaha menjaga jarak, tak ada lagi tangan Ardi memainkan rambutku. Bahkan kini kami tidak pernah berpegangan tangan ketika sedang berduaan ditempat umum.
Ardi tidak protes dengan keputusan itu, tapi satu bulan pertama dia sempat mengajak aku untuk membicarakan hal ini. Bukan, bukan dia ingin menginginkan tubuhku kembali, tapi dia ingin penjelasan yang lebih rinci. Sampai akhirnya merasa bosan sendiri, sampai saat ini dia tidak pernah menanyakannya kembali.
Aku rasa Ardi juga merasakan hal yang demikian, merasa bingung dengan keputusanku yang sepihak. Meskipun niatnya baik, aku tak terpikirkan akan seberubah ini dampaknya. Tapi apakah ini pertanda jika sebenarnya Ardi tidak mencintaiku? Atau ini hanya tipu daya setan yang ingin mengajak ku kembali dalam buaian dosa? Entahlah.
Satu hari sebelum pernikahan kakak ku, aku sekeluarga dibuat sibuk dengan persiapan nya. Meskipun pernikahan nanti digelar di gedung, tetap saja rumah menjadi berantakan. Selama persiapan tersebut aku dibantu oleh Ardi. Meskipun harus mencuri waktu diantara kesibukan pekerjaan kami, tapi setidaknya aku tidak terlalu memikirkan kondisi hubunganku yang sedang renggang ini.
“cape ya sayang?” Tanya Ardi saat melihatku terengah karena kelelahan
“iya lah, nanti pas kita nikah kaya gini juga gak ya?” aku membalas obrolannya
“ya gak tau, tapi mudah-mudahan masih lengkap ya keluarganya” jawab Ardi sambil mendekatkan duduk di sebelahku
Aku dan Ardi ikut sibuk dalam membawa logistik dari rumahku menuju gedung tempat resepsi digelar. Dia sengaja ijin cuti dari pekerjaannya untuk membantu keluargaku begitupun aku. Kami semua sama-sama sibuk mempersiapkan pernikahan kakak ku. Ada harapan besar dalam benak ku bahwa kelak aku yang menjadi pengantin wanita dan Ardi yang akan menjadi pengantin prianya.
“yang, apa sih yang kamu pikirin? Kayanya dari beberapa waktu itu kamu kaya diem aja gitu” Ardi mulai membuka obrolan
“ya biasa aja sih, emang kenapa yang?” aku mulai menimpali
“sadar gak kalo akhir-akhir ini hubungan kita jadi agak aneh gitu?” Ardi langsung mengutarakan perasaannya
“aneh gimana maksud kamu? Biasa aja ah” kataku berbohong
“ya aneh aja, kamu gak pernah meluk lagi kalo pas di motor, gak pernah mau pegangan tangan lagi, ya aneh aja gitu, kaya dingin” jelasnya sambil terus berkonsentrasi mengendarai mobilnya
“aku lagi banyak pikiran, tapi yaudahlah nanti aja ceritanya” aku membuang muka, mencoba menyembunyikan kegundahanku
“ya emang kenapa kalo cerita sekarang? Biar cepet selesai aja gitu kalo emamg aku punya salah” Ardi coba membujuk ku
“nanti aja, gak kondusif. Udah ah, lagi kaya gini malah bahas masalah” aku mulai merajuk, tapi apa yang membuatku merajuk?
“yaudah deh, maaf ya” Ardi menutup obrolan kami sore itu
Aku salut dengan Ardi, meski hubungan kami saat ini sedang dilanda badai, tapi pembawaannya tetap santai. Dia masih luwes berbincang dengan saudaraku, bahkan sempat mengobrol dengan papah ku. Sama sekali tidak menunjukan bahwa hubungan kami saat ini sedang goyah. Perhatiannya padaku juga tidak hilang. Dia masih sempat membawakan es buah saat melihatku kehausan karena menjadi pager ayu. Dia juga sudah menyiapkan sandal jepit saat aku mengeluh karena lelah menggunakan sepatu hak tinggi.
Saat dia mengantarku pulang, sama sekali tidak membahas tentang masalah yang sedang terjadi. Segala perubahan pada sikapku tidak diikuti oleh perubahan sikapnya. Yang terjadi adalah dia makin perhatian dan makin menunjukan kasih sayangnya. Saat dia bisa menjemputku, dia selalu mengajak ku untuk sekedar makan bersama. Tuhan, apakah aku terlalu egois dengan ego surgawiku?
Ardi, maafkan aku yang terlalu egois atas keputusanku
------
Hari ini aku berencana membeli perlengkapan untuk kegiatan pengajian bulanan di tempatku bekerja. Acara pengajian ini rutin dilakukan, selain untuk bersilaturahmi diluar pekerjaan, juga untuk memberikan energi positif pada tempat kami bekerja. Tepat jam 4 aku berangkat dari kantor bersama Mbak Bela menuju salah satu pusat perbelanjaan di kotaku. Setelah membeli segala kebutuhan yang ada, kami memutuskan untuk makan di restoran cepat saji.
Mbak Bela adalah rekan satu kantorku. Dia 2 tahun lebih tua dari usiaku. Saat ini Mbak Bela sudah memiliki satu anak perempuan yang cantik berusia 1 tahun. Suami Mbak Bela, mas Dito adalah pegawai salah satu perusahaan di kota sebelah. Dengan posisi yang lumayan, keuangan bukan masalah untuk mereka. Mereka adalah cerimanan keluarga kecil bahagia. Tak jarang aku melihat mas Dito menjemput mbak Bela di kantor. Meski sudah memiliki anak, mereka tidak canggung dalam menunjukan kemesraannya.
Kami membicarakan banyak hal, yang paling menarik adalah ketika Mbak Bela bercerita tentang kehidupan rumah tangganya.
“mbak, kok bisa sih, udah punya anak tapi badannya masih bagus aja?” tanyaku sebelum mengigit burger extra keju yang ku pesan
“hahaha, aku gak KB, Di. Kalo ikutan KB nanti ngaruh sama badan, soalnya kan dia ikut ngaruh juga sama hormon” jawabnya menjelaskan
“lah, emang gak takut hamil, mbak?” aku penasaran
“ya tergantung kitanya aja sih, aku sama suami udah sepakat gak mau ikut KB. Suami juga dukung kok” katanya sambil kembali melahap burgernya
Bentuk tubuh Mbak Bela cukup tinggi semampai. Mungkin tingginya sekitar 165cm dan ku taksir beratnya mungkin 58kg. Orang yang pertama kali melihat pasti menyangka Mba Bela belum memliki anak, atau bahkan dia sempat bercerita bahwa ada pasien yang mengira dia belum menikah. Wajahnya khas orang sunda dengan alir mata yang agak tebal ditambah dengan jilbab yang selalu menutupi rambutnya, membuat mbak Bela makin terlihat cantik.
“jadi aku sama suami biasanya suka keluarin di luar, kalo di dalem paling pas aku lagi gak subur” Mbak Bela mulai menjelaskan rahasia badan langsingnya
“oh gitu, tapi mbak, ada pengaruhnya gak sih sama kenikmatan pas gituan, hehehe” aku mencoba bertanya tapi malu
“ya ada lah Didi, dimana-mana juga enakan di dalem buangnya, apalagi kalo barengan, hahaha” dia berkelakar sambil sedikit tertawa
“hahaha, ya aku kan gak tau, belum pernah nyoba soalnya” aku beralasan
“yakin kamu belum pernah nyoba? Tapi kalo pegang-pegang udah kan? Hahaha” Mbak Bela mencoba mengintrogasiku
“hahaha apaan sih, Mbak. Eh terus kalo di luar, emang biasanya dimana? Di lantai gitu? Hahah” aku mulai lancang
“ya banyak, kadang di perut, atau di dada, atau sering juga di muka sama di mulut” Mbak Bela menjelaskan dengan santai
“hah? Di mulut mbak? Emang gak jijik?” aku terkejut, sesuatu yang selama ini ku hindari malah menjadi kebiasaan Mbak Bela
“awalnya sih iya, tapi lama-lama ya biasa aja, apalagi suami aku seneng aja kalo dikeluarin di muka, apalagi sampe di mulut” Mbak Bela menjelaskan dengan nada suara yang dipelankan
“emang itunya dimasukin ke mulut Mbak?” aku masih penasaran
“jadi pas dia mau keluar, di cabut tuh, terus di kocokin di depan muka aku, pas udah keluar di muka, terus aku sedot deh biar keluar semua, yaudah gitu” Mbak Bela menjelaskan dengan ekspresi yang meyakinkan, sepertinya memang nikmat
“tapi aku sih lebih enak pas gak subur, bisa keluarin di dalem gitu, heheh” Mbak Bela kembali malu-malu menjelaskannya
“emang kalo di dalem lebih enak ya, Mbak?” aku jadi lebih pensasaran
“duh, dasar anak kecil haha. Enak dooonggs, jadi pas lagi puncaknya gitu, terus kaya ada yang anget-anget gitu di dalem itu kamu, terus pas udah selesai aku biasanya gak dilepasin gitu, tapi di diemin aja” Mbak Bela kembali menjelaskan dengan suara yang perlahan
"kata suami aku, aku jadi keliatan lebih cantik kalo di muka aku ada spermanya, aneh sih. Tapi menurut aku, karena dia gak bisa setiap hari nikmatin keluar di dalem, yaudah gak apa-apa dia aku manjain sama mulut aku" Mbak Bela mencoba menjelaskan alasannya
“hmmm, aku gak ngerti, Mbak. Hahahah. Yuk ah pulang, nanti keburu magrib” aku embereskas bekas makanku dan bersiap untuk pulang
Setelah sampai rumah, aku teringiang dengan obrolan Mbak Bela tadi sore. Apakah memang seperti itu rasanya? Rasanya yang selama ini coba ku tahan? Ah sudahlah.
#