Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG [Season 1 & 2] - Slavery Game

Tim siapakah anda?

  • Lia

    Votes: 68 21,1%
  • Indah

    Votes: 40 12,4%
  • Vera

    Votes: 20 6,2%
  • Yolanda

    Votes: 60 18,6%
  • Azizah

    Votes: 125 38,8%
  • Natsu

    Votes: 9 2,8%

  • Total voters
    322
SG 56 – Second Date


Aku memarkirkan mobilku di depan sebuah café tua di kawasan atas kota B. Café ini sudah berdiri cukup lama dan terkenal oleh banyak anak muda kota B generasi 90an dan saat ini bisa termasuk dikategorikan café legend.

Walaupun begitu, café ini sekarang sudah tidak banyak dikunjungi oleh orang. Anak muda jaman sekarang lebih memilih tempat-tempat makan dan nongkrong yang bernuansa modern, yang mempunyai menu western, japanese atau korean.

Sedangkan café ini sampai sekarang masih mempertahankan keotentikannya dengan menu-menu tradisional dan view pemandangan kota di beberapa spot sofanya sebagai sumber daya tariknya untuk pengunjung.

Dekorasi dari café ini pun, terlihat sangat vintage dengan banyak ornamen kayu dan dekorasi pajangan tradisional. Di salah satu bagian café ini terdapat 1 ruangan yang pada bagian dindingnya dipajang foto-foto lama yang warnanya semakin memudar, terkikis oleh waktu yang terus bergerak maju.

Aku menoleh ke arah Yolanda, yang saat ini seperti sedang melamun. Aku tau ia pasti sedang teringat kenangan-kenangan lamanya yang pernah ia rasakan di café ini dulu.

Aku membiarkannya sejenak dalam lamunannya itu sebelum aku menyadarkannya,

“Turun?”, ujarku lembut sambil tersenyum.

Yolanda menoleh ke arahku dan melihatku tanpa ekspresi lalu turun dari mobil. Aku pun ikut turun dari mobil lalu berjalan ke arah pintu masuk café ini sambil menunggu Yolanda.

Yolanda memutari mobilku lalu berjalan ke arahku yang menunggunya di depan pintu masuk. Sambil tersenyum aku mengangkat tangan kananku dan mengarahkannya ke arah dalam café.

Ketika Yolanda sudah berada di sebelah kiriku, tangan kiriku bergerak ke arah pinggangnya, tapi aku tidak menyentuhnya. Kulit tanganku hanya bergesekan sedikit dengan kemejanya. Aku hanya sekedar ingin memandunya masuk.

Kulihat Yolanda tidak bereaksi apa-apa terhadap gesture-ku itu. Lalu aku mengajaknya duduk di salah satu meja dengan sofa yang saling berhadapan.

Di sebelah meja yang kupilih itu, terdapat ruangan yang aku bilang tadi terdapat banyak foto-foto tua yang dipajang di dindingnya. Sedangkan di arah yang berlawanan, tersaji view pemandangan kota B yang mengagumkan.

Setelah kami duduk, Yolanda melihat-lihat ke sekelilingnya, lalu pandangannya tertuju pada salah satu dinding yang terpajang banyak foto-foto lama yang berjejer rapih.

“Kamu suka tempat ini?”, tanyaku pada Yolanda yang sedang melihat foto-foto tua itu dan seperti sedang mencari sesuatu.

Yolanda menoleh ke arahku sebentar tapi ia tidak menjawab pertanyaanku dan menoleh lagi ke arah foto-foto itu. Aku tidak mempermasalahkan aksi diamnya itu, lalu melanjutkan,

“Tempat ini salah satu tempat favoritku dan Lia ketika dulu kami masih berpacaran. Sudah lama aku tidak ke tempat ini”, Yolanda masih tidak menghiraukan perkataanku.

“Ketika aku melihat-lihat galeri fb-mu, aku langsung mengenali setting salah satu fotomu itu. Foto yang sedang kamu cari ada di situ”, kataku sambil menunjuk ke arah pojok salah satu dinding.

Yolanda sekarang terkaget mendengar perkataanku. Ia menatapku tajam lalu mengikuti arah tanganku yang sedang menunjuk.

Di tempat yang aku tunjuk itu terdapat satu foto seorang gadis muda yang berusia sekitar 18, 19 tahun atau mungkin 20 tahunan awal yang sedang dirangkul oleh ayahnya. Gadis itu dan ayahnya tersenyum bahagia ke arah kamera yang sedang mengabadikan momen keduanya itu.

Yolanda menatap lama ke arah foto itu, dan terlihat ia seolah sedang membayangkan memori lamanya itu dalam lamunannya. Namun secepatnya ia tersadar kembali dan langsung melihatku dengan tatapan tajam dan dinginnya itu seraya berkata,

“Kamu sepertinya sudah punya banyak informasi tentangku”, ujarnya dengan nada mencibir.

“Aku hanya tau yang aku tau”, jawabku santai.

Walaupun Yolanda terlihat sedikit bingung dengan jawabanku barusan, ia tetap melanjutkan,

“Jangan banyak bertele-tele dan katakan padaku kenapa kau mendekatiku. Apa hubunganmu dengan Bramono Setiawan dan Rudy Zhao?”, tanyanya dengan nada memaksa.

Aku menghela nafas panjang dan menjawabnya,

“Hahhh.. Kamu harus belajar untuk lebih rileks, Yollie. Lawan yang kita hadapi saat ini adalah orang-orang berbahaya yang memiliki kekuatan besar dan juga rencana dan strategi jitu yang gila. Kita harus bisa terus berpikir jernih dan memikirkan beberapa langkah ke depan untuk mengalahkan mereka, atau mereka akan dengan mudah menghabisi kita”

Yollie masih melihatku tajam namun terlihat raut dinginnya itu perlahan mencair. Terlihat juga ia sedang menganalisa dan menelaah tiap kata yang terlontar dari mulutku. Aku tersenyum lagi kepadanya lalu melanjutkan,

“Bisakah kamu menganggap pertemuan kita ini sebagai kencan yang sesungguhnya? Paling tidak kamu harus belajar bersantai sambil menikmati sajian minuman hangat khas café ini dan juga ketan bakarnya, sambil menikmati pemandangan menakjubkan itu? Kamu pasti ingat kan, café ini terkenal dengan ketan bakarnya?”, pintaku tulus kepadanya.

“Aku tidak punya banyak waktu”, jawabnya tegas.

“huhh.. baiklah setidaknya minum secangkir saja lalu aku akan mengantarmu ke teman-temanmu tadi. Aku kangen dengan rasa teh sereh di café ini”, ujarku dengan raut wajah kecewa.

Lalu aku mengambil sebuah flash disc dari kantong jaketku dan meletakkannya di atas meja.

“Ini hadiah yang kujanjikan padamu sebelumnya.”

Lalu aku menoleh ke arah view pemandangan di sebelah kananku sambil berusaha bernafas rileks. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Yolanda yang masih menatapku tajam.

Setelah beberapa saat, dari posisi duduknya yang sebelumnya tegak dan tegang, Yolanda merebahkan punggungnya santai ke sandaran sofa lalu berkata,

“Baiklah. Aku akan menganggap ini sebagai kencan kita. Asal kamu berjanji tidak mengeluarkan statement-statement yang melecehkanku lagi dan memanggilku dengan namaku. Dan juga aku tidak harus memanggilmu dengan ‘MAS’ lagi kan??”, ujarnya sambil menyindirku dengan intonasi yang jauh lebih lembut kali ini.

“Haha, kalau itu memang cuma bercanda. Tapi maaf aku tetap akan memanggilmu Yollie, karena aku suka memanggilmu seperti itu. Statement melecehkan? Aku tidak pernah berusaha untuk melecehkanmu. Walaupun mungkin kamu menganggapku sering menggodamu, tapi sungguh itu sebenarnya tulus dari lubuk hatiku yang terdalam”, jawabku lembut tapi penuh keyakinan.

“Statement bahwa kamu mau aku menjadi istrimu? Mana ada wanita normal yang suka diperlakukan seperti itu”, jawabnya sedikit ketus kali ini.

“Hahaha maaf. Itu hanya pemikiranku yang muluk-muluk. Aku hanya mau kamu percaya sepenuhnya dan memihak kepadaku. Lalu kita bersama akan menjalankan rencanaku untuk menghancurkan Rudy Zhao dan kelompoknya”

“Cih SINTING!! Bukannya itu berarti sama saja aku setuju menjadi anak buahmu yang bisa kau perintah sesuka hatimu. Kamu memang sama saja seperti kebanyakan laki-laki mesum di luar sana, yang hanya menginginkan tubuh wanita cantik”, ujarnya dengan volume suara lebih keras kali ini dan nada ketus yang jelas.

“Well kamu bisa menganggapnya begitu. Tapi aku tidak pernah melecehkan wanita-wanitaku apalagi menyakiti dan mempermalukannya”, jawabku mantap dan berniat melanjutkan perkataanku.

Namun seketika aku terhenti karena aku melihat pelayan café yang sedang berjalan menghampiri meja kami. Pelayan itu lalu menanyakan menu yang mau kami pesan. Aku memesan secangkir teh sereh hangat dan seporsi ketan bakar. Walapun Yolanda saat ini masih menataoku tajam, ia menoleh sebentar kepada pelayan itu dan memesan teh sereh yang sama sepertiku.

Setelah pelayan itu mencatat pesanan kami, pelayan itu pergi untuk mempersiapkan pesananku dan Yolanda. Lalu setelah itu aku melanjutkan perkataanku yang terpotong tadi,

“Walapun sebagai pria normal aku pernah membayangkan untuk bisa menikmati tubuhmu, tapi ada hal lain yang lebih sangat kubutuhkan darimu”

Yolanda menaikkan alisnya sambil masih menatapku. Tidak mau membuatnya menunggu lama, aku melanjutkan,

“Hatimu dan loyalitasmu”, ujarku lembut sambil menatapnya penuh ketulusan.

“Ckk”, Yolanda berdecak mencibir jawabanku. Mungkin ia berpikir, jawabanku itu hanyalah caraku menggodanya lagi. Kami saling bertatapan mata cukup lama sebelum aku mengalihkan topik pembicaraan kami,

“Kamu terlihat masih sangat muda di foto itu. Kapan itu diambil? Waktu kamu sma? Kuliah?”, tanyaku sambil menunjuk foto Yolanda dan ayahnya itu. Yolanda menoleh lagi ke arah foto itu, diam sejenak lalu menjawab,

“Waktu awal masuk kuliah. Ayahku mengajakku berlibur ke B waktu aku lulus ujian masuk kuliah. Café ini awalnya dulu milik teman lama ayah dan ibuku”, jawabnya pelan dan terlihat ada kesedihan di matanya.

Yolanda sama sepertiku. Ibunya meninggal dunia ketika ia masih kecil. Sejak saat itu hanya tinggal ada ia dan ayahnya. Ayahnya pun tidak menikah lagi dan memutuskan untuk merawat dan mendidik Yolanda seorang diri.

“Kamu sama sepertiku. Ayah dan ibuku meninggal dunia ketika aku masih kecil. Lalu aku dirawat oleh pamanku di kota S. Kamu masih cukup beruntung masih bisa merasakan cinta dan kehangatan dari sosok seorang ayah, setidaknya sampai kamu sudah dewasa”, ujarku berusaha menghiburnya sambil menceritakan tentang kisahku. Lalu aku melihat ke arah view pemandangan lagi seraya memandang jauh.

Dari sudut mataku kulihat Yolanda menatapku sebentar lalu mengikutiku melihat pemandangan itu. Lalu kami berdua sama-sama terdiam lagi dan asik dalam lamunan kami masing-masing.

Beberapa saat kemudian, pelayan café tadi datang ke meja kami dan membawakan pesanan kami. Setelah meletakkannya di atas meja, pelayan itu pergi meninggalkanku dan Yolanda.

Aku langsung mengambil cangkir tehku dan menyeruputnya,

“Ahh.. aku paling suka rasa teh sereh disini. Walaupun sebenernya aku masih trauma mau mencicipi teh dari orang asing karena baru-baru ini Bramono berusaha meracuniku dengan teh herbal”, ujarku santai sambil memancing reaksi Yolanda.

Yolanda yang saat ini juga sedang menyeruput tehnya, seketika terkejut setelah mendengar perkataanku. Kemudian ia meletakkan cangkir tehnya lalu bertanya kepadaku dengan nada serius,

“Apa kamu bisa ceritakan hubunganmu dengan Bramono? Dan apa rencanamu kepada Rudy Zhao?”, tanyanya sambil menatapku. Tapi tatapannya sekarang sudah jauh tidak sedingin sebelumnya. Intonasi suaranya pun tidak ketus lagi.

Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya dan mengambil ketan bakar lalu mengunyahnya perlahan. Kulihat Yolanda kini menungguku dengan lebih sabar. Aku menawarinya ketan bakar ini, tapi ia menolaknya dengan menggeleng. Setelah aku meminum tehku lagi, aku baru berkata,

“Aku sengaja membeli rumah persis di sebelah rumah Bramono untuk mendekatinya. Dan saat ini Bramono sudah bisa kukendalikan. Untuk detail rencanaku kepada Rudy, saat ini belum saat yang tepat untuk menceritakan semuanya kepadamu”, ujarku lembut.

“Kapan saatnya tepat?”, tanyanya lagi agak memaksa.

“Setelah kamu menyerahkan hatimu sepenuhnya kepadaku”, jawabku sambil menatap matanya dalam-dalam.

“Hah bercanda! Bagaimana mungkin seseorang bisa memberikan hati dan cintanya pada orang asing yang baru dikenalnya beberapa hari”, ujarnya sinis.

“Hahaha.. aku kan tidak pernah bilang kamu harus mencintaiku sekarang juga. Aku hanya bilang kamu harus menaruh kepercayaanmu sepenuhnya kepadaku dan bukan pada orang-orang bule itu. Mereka punya agenda mereka sendiri. Mereka sama sekali tidak akan peduli dengan kita, dengan negara kita. Tapi kalau rencanaku berhasil, mereka pasti ikut senang. Makanya aku mau mereka setidaknya membantuku untuk beberapa hal. Tanpa bantuan mereka pun, aku tetap akan menjalankan rencanaku”, aku menjelaskan panjang lebar kepada Yolanda.

Yolanda terlihat fokus menelaah perkataanku. Namun beberapa saat kemudian ia menunjukkan raut wajah bingung lalu bertanya lagi,

“Bukankah tujuan kita sama, kenapa kita tidak bisa bekerja sama secara normal saja? Michael, teman interpolku itu, mengatakan bahwa interpol siap memfasilitasimu dan memberikanmu bantuan apa saja yang kamu butuhkan, asal kamu bisa memberikan kami bukti-bukti lain seperti yang kamu berikan waktu itu”, tanyanya heran.

“Oh ya? Aku sangat yakin tujuan kita sangat berbeda. Kalau kamu dan mereka bisa mendapatkan bukti kuat atas tindak kejahatan internasional Rudy Zhao, lantas apa? Paling juga interpol ataupun negara kita hanya bisa memberikan kecaman di forum internasional untuk negara C. Hasil terbaiknya, mungkin kegiatan Rudy Zhao akan berhenti selama beberapa waktu. Tapi Rudy Zhao dan kelompoknya akan tetap bebas dan sangat mungkin mereka akan melanjutkan kegiatannya itu di masa depan”, bantahku kepada Yolanda.

“Bukannya itu sudah hasil yang memuaskan? Eh tu-tunggu dulu.. Jadi kamu serius waktu itu kamu bilang kamu bisa menghancurkan Rudy Zhao dan kelompoknya atau bahkan organisasi rahasia di belakangnya?”, tanyanya lagi dengan raut tak percaya.

Aku hanya tersenyum simpul untuk menjawab pertanyaannya. Yolanda kembali larut dalam pikirannya yang sedang menganalisa perkataanku tadi.

Lalu ia melanjutkan,

“Gak mungkin.. Mustahil kamu bisa melakukannya. Apa kamu gak tau mereka punya pengaruh dan power yang besar di HK, bahkan pihak berwajib di sana pun tidak berani mengusik mereka. Di lingkup Internasional, ada negara C yang melindungi mereka”, Yolanda menjawab sendiri pertanyaannya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Lalu Yolanda menatapku lama seolah ingin membongkar apa yang ada di dalam pikiranku. Sedangkan aku hanya tersenyum geli melihatnya kebingungan seperti itu. Aku memang sengaja membuatnya berspekulasi sendiri dalam pikirannya itu.

Wanita cerdas seperti Yolanda, memiliki ego dan kepercayaan diri yang tinggi atas tingkat intelektual dan pola pikirnya. Aku sangat menghargai dan menghormati kelebihannya itu.

Dan sampai saat ini, walaupun dari celah kancing atas kemejanya yang terbuka, tersaji pemandangan yang tak kalah indah dengan view kota di sebelahku, aku tidak pernah melirik ke celah payudara besarnya itu. Mataku hanya menatap wajahnya yang rautnya berubah-ubah dengan cepat setelah mendengarkan apa yang kukatakan atau ketika ia sedang berpikir keras.

Beberapa saat kemudian, Yolanda bertanya lagi kepadaku,

“Lantas kenapa kamu berusaha mendekatiku? Apa karena koneksiku dengan interpol? Lalu apa hubungan dengan aku memberikan hatiku untuk rencanamu? Kenapa harus aku?”, Yolanda memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaannya itu.

Aku menghela nafas panjang karena bingung harus bagaimana menjawab pertanyaannya tanpa harus menceritakan rencanaku. Maka aku hanya bisa menjawab dengan jujur,

“Aku tidak mungkin bisa menjawab pertanyaanmu itu tanpa menceritakan semua rencanaku. Seperti yang tadi kukatakan, waktunya belum tepat. Tapi untuk kenapa aku memilihmu, itu karena kamu berkaitan erat dengan sukses atau gagalnya rencanaku. Bukankah tadi kamu sudah dengar, aku bisa mengendalikan Bramono sepenuhnya. Dengan bantuanmu, aku juga akan bisa mengontrol Rudy Zhao”

Yolanda kali ini terlihat terkejut. Namun kebingungannya itu pun semakin terlihat jelas di wajahnya.

“Maksudmu, dengan bantuanku, kamu bisa membuat Rudy Zhao melakukan apapun yang kamu perintahkan?”, tanyanya semakin tak percaya.

“Begitulah kira-kira”, jawabku santai.

Yolanda semakin terkejut lalu berkata lagi,

“Walaupun aku tidak percaya dengan klaim-mu itu, for the sake of the argument, anggaplah aku percaya. Tapi aku masih bingung tentang hubungannya denganku. Aku akui memang aku sedikit terobsesi dengan Rudy Zhao, dan sudah bertekad untuk menghentikan praktek kejahatannya itu. Tapi aku hanya mengincar Rudy Zhao dan kelompoknya saja. Tidak ada hubungannya dengan mafia HK lain, atau organisasi rahasia itu.”

Aku kali ini terdiam lama dan berusaha merangkai kata-kata yang tepat untuk menjawabnya. Setelah berpikir baik dan buruknya, aku baru berkata,

“Karena dengan keberadaan mereka, negara kita tidak akan pernah aman. Karena mereka-lah banyak keluarga di negri ini yang menderita dan harus mengalami kisah tragis kehancuran keluarganya. Termasuk keluargamu”, aku menjelaskan kepada Yolanda.

“Huh? Maksudmu?”, tanyanya. Aku menghela nafas panjang lalu bertanya dengan nada serius,

“Apa kamu tidak pernah sedikitpun mencurigai Rudy Zhao atas kematian ayahmu?”, tanyaku memancingnya.

“OMONG KOSONG! Maksudmu Rudy Zhao membunuh ayahku? Kamu punya buktinya? Ayahku meninggal karena serangan jantung. Polisi saat itu juga tidak menemukan kejanggalan apa-apa”, Yolanda tiba-tiba membentakku dan memaksaku untuk menjelaskan maksudku.

“Aku belum menemukan bukti apa-apa. Tapi aku akan segera menemukannya setelah Rudy berhasil kukontrol. Karena aku yakin, ia lah dalang sebenarnya dari kematian ayahmu. Apa kamu tidak heran, kenapa hakim atas kasus pemerkosaan yang dilakukan anaknya, yang beberapa hari lagi akan mengeluarkan putusannya tiba-tiba meninggal dunia? Lalu ayahmu digantikan oleh hakim lain yang akhirnya memutuskan untuk mengekstradisi William Zhao”, aku berspekulasi dengan penuh keyakinan.

Lalu aku melanjutkan,

“Rudy Zhao dan beberapa mafia HK lain sudah meletakkan tangan gurita mereka di negri ini, Yollie.. Mereka sudah menempatkan orang-orangnya di banyak instansi pemerintahan kita, bahkan juga di interpol. Kalau tidak, bagaimana mungkin mereka bisa tau hubunganmu dengan interpol? Aku memilihmu Yollie, bukan saja karena aku butuh hati dan kepercayaanmu, tapi aku juga butuh bantuanmu nanti untuk membasmi virus-virus lokal negri ini. Sedangkan Rudy dan mafia HK lainnya, aku yang akan membereskannya”, kataku mantap.

“Ka-kamu.. darimana..”, Yolanda terlihat semakin terkejut dan bingung dengan informasi-informasi yang aku berikan itu. Namun ia kemudian berusaha untuk berpikir logis dan menganalisa semua perkataanku.

Aku membiarkannya untuk memberinya waktu berfikir dan mencerna penjelasanku tadi. Tak lama kemudian Yolanda kembali menggelengkan kepalanya,

“Semua yang kamu katakan tadi, hanya terdengar seperti spekulasi dan asumsi tanpa bukti konkret bagiku”, ujarnya jujur.

“Aku tau, Yollie. Makanya setelah kencan kita ini, aku akan memberimu waktu beberapa hari untuk berpikir. Lalu nanti sedikit demi sedikit aku akan memberikan bukti-bukti lain kepadamu dan BPK, atas keterlibatan pejabat-pejabat negri ini di banyak kasus korupsi dan kejahatan yang didalangi oleh Rudy dan Bramono. Aku tidak bisa memberikan semuanya sekaligus, karena itu hanya akan membuat Rudy Zhao waspada”, lanjutku.

“Dan kamu harus berhati-hati, Yollie. Terutama kalau kamu sedang menyelidiki kasus human trafficking itu”, kataku memperingatkannya.

“Aku bisa menjaga diriku”, jawabnya penuh keyakinan.

“Kalau itu aku percaya”, ujarku sambil tersenyum. Tapi aku kemudian bertanya dengan lebih serius kepadanya,

“Tapi bagaimana dengan putramu? Siapa namanya?”

“A-adrian.. Maksudmu mereka juga berani mengincar putraku untuk mengancamku?”, tanya Yolanda tanpa bisa menahan raut wajahnya yang berubah cemas.

Sambil menggeleng aku menjawab pertanyaannya itu,

“Mereka tidak akan segan-segan melakukan segala cara untuk bisa menyingkirkan orang-orang yang berani melawan mereka, Yollie”, jawabku berusaha meyakinkannya.

Setelah itu, kami saling pandang lagi cukup lama. Lalu aku mengambil sesuap terakhir ketan bakar kemudian menyeruput habis tehku. Kemudian aku melihat ke arah jam tanganku. Sudah sekitar 2 jam aku berkencan dan mengobrol dengan Yolanda.

Yolanda yang melihat perbuatanku langsung bertanya,

“Kamu sudah mau pergi? Bukannya kita mau makan siang dulu?”, tanyanya sedikit kecewa. Aku tersenyum dan menjawab,

“Maafkan aku Yollie. Walaupun aku sangat menikmati kencan kita ini, aku harus pergi sekarang karena ada yang harus aku lakukan. Dan aku juga sudah kenyang karena dari tadi menyantap sendiri ketan bakar nikmat ini”, jawabku sambil menyindirnya.

“Ohh”, ujarnya pelan, cuek dengan aku yang menyindirnya.

“Kamu mau aku mengantarkanmu ke teman-temanmu tadi? Atau ke hotelmu? Kamu berencana menginap di B?”, tanyaku.

Yolanda menggeleng dan menjawab,

“Tidak. Aku masih ingin disini. Nanti aku bisa pulang sendiri pakai taxi. Sore ini aku balik ke kota J”, jawabnya menolak tawaranku.

“Baiklah. Terima kasih sudah menjadi teman kencanku hari ini miss Yolanda. Kalau bisa, tolong secepatnya kabari aku tentang keputusanmu, karena aku harus segera menjalankan rencanaku”, kataku lalu aku berdiri dan menyodorkan tanganku untuk menjabat tangannya. Ia memberikan tangannya. Sambil bersalaman aku berkata,

“Apapun keputusanmu nanti, aku harap kita masih bisa berteman baik. Tetap waspada, Yollie. Karena aku tidak bisa melindungimu sebelum kamu memutuskan untuk berpihak sepenuhnya padaku”, ujarku tulus lalu mengecup tangannya sebentar kemudian melepaskannya.

“Aku bisa melindungi diriku sendiri dan keluargaku”, gumamnya pelan sambil memalingkan wajahnya. Aku hanya tersenyum melihat reaksinya itu. Lalu aku berjalan ke arah kasir untuk membayar pesanan kami tadi, tapi Yolanda mencegahnya,

“Kali ini, aku yang traktir. Aku masih mau memesan yang lain”, ujarnya.

Aku menoleh ke arahnya, lalu berkata sambil berpamitan kepadanya seraya tersenyum,

“Thanks.. Kencan ketiga nanti giliranku.. bye Yollie.”

Lalu aku keluar dari café ini dan masuk ke dalam mobilku. Setelah menyalakan mesin mobil, aku menunggu beberapa saat sambil mengirimkan pesan WA ke Indah,

“Malam ini mas akan cerita semuanya ke Lia”

Kemudian tanpa menunggu balasan dari Indah, aku menyetir mobilku untuk pulang ke rumah. Namun sebelum aku menginjak gas, terlintas sebuah ide di pikiranku.

Aku masuk ke dalam ring, lalu menaikkan poin sensitivity Yolanda menjadi 15.

“Slow and steady, Reza.. slow and steady”, gumamku sambil menyeringai..



….

….

….
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd