Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA SENA JATUH CINTA

- PART 2 -



Sudah dua minggu aku mendekam di balik jeruji Polsek. Karena letaknya di kecamatan, maka cukup jauh dari kampungku.

Jangan tanya apa salahku. Aku tidak tahu. Jangan tanya apa dakwaan pasal yang dituduhkan. Aku juga tidak tahu. Yang kutahu hanyalah bahwa aku salah. Itu versi pihak yang berwenang. Minggu depan aku akan dipindahkan ke rutan di kota kabupaten untuk menjalani proses hukum selanjutnya.

Satu lagi yang kutahu, aku difitnah. Aku dianggap bersalah dan melakukan tindak kejahatan karena hendak memperkosa Yuni. Dua polisi yang menangkapku sekaligus menjadi saksi mata malam itu. Aku sedang menindih Yuni, dengan tangan seperti sedang menggerayangi payudaranya.

Aku tidak tahu kenapa Yuni tidak membelaku dan tidak mengatakan peristiwa yang sebenarnya. Tapi aku tahu si kampret Uncal berlagak sebagai pahlawan. Ia memosisikan diri sebagai pelapor yang memutar balikan fakta bahwa akulah pelakunya. Aku juga tidak tahu nasib kedua teman si Uncal; dan aku heran kenapa mereka tidak ada di balik jeruji bersamaku. Semuanya serba misteri.

Hampir tiap malam aku tidak bisa tidur. Aku sangat stres. Bukan stres karena takut menjalani hukuman, tetapi serem membayangkan gunjingan warga di kampungku dan semua warga kampung tetangga. Beritanya pasti sudah sangat menyebar.

Bagi warga kampung, jangankan masuk penjara, dipanggil polisi saja sudah seperti aib besar. Mereka akan malu jika kampung mereka disebut di banyak berita bahwa ada warganya yang melakukan kejahatan. Hukuman sosial jauh lebih menyeramkan dibandingkan harus meringkuk di balik jeruji besi itu sendiri.

“Sudah jangan ngelamun, Sen. Teman-temanmu gak menjenguk lagi?” seorang pria paruh baya membuyarkan lamunanku. Selama aku mendekam ketiga temanku memang sempat menjenguk dua kali sambil membawa makanan. Aku tidak mendapat banyak informasi dari mereka, tetapi mereka berjanji untuk mencari tahu akan apa yang sesungguhnya terjadi.

Aku tersenyum kecut sambil menggeleng. Pria kurus itu adalah satu-satunya teman ngobrol selama aku berada di balik teralis. Ia terciduk karena mencuri ayam di pasar. Bukan sembarang ayam, melainkan ayam hitam yang harganya sangat mahal karena biasa dipakai untuk ritual kepercayaan. Namanya Pak Randu.

Di balik murungku, memang ada hal lain yang kusembunyikan. Aku rindu pada Bi Ira. Wajahnya selalu terbayang. Sentuhan-sentuhan tangan kami malam itu sukar untuk kulupakan. Aku rindu.. aku sayang… pada wanita yang tidak seharusnya.. juga akan sangat tidak wajar menurut pandangan orang kebanyakan. Hanya satu harapku, ia tidak mengadukan kelakuanku pada uwa. Jika hal itu terjadi, semakin habislah hidupku.

“Orang kecil identik dengan hidup malang, tapi kamu jangan takut, justru kemalangan adalah jalan menuju kemenangan.” ujar Pak Randu.

“Eh.. maksud bapak?” aku heran.

“Hehhe.. kelak kamu akan paham.” Pak Randu terkekeh tanpa memberi penjelasan. Aku meringis kecil tanpa niat untuk bertanya lebih lanjut.

Obrolan kami terhenti ketika seorang petugas berpakaian preman datang dan membuka kunci jeruji.

“Sena, kamu ikut saya.” suaranya datar, wajahnya tanpa ekspresi.

Aku langsung berdiri dengan wajah bingung. Kulirik Pak Randu, pria itu tersenyum seolah membantu menegarkan.

Aku tidak dibawa ke ruang penyidikan seperti biasanya, melainkan menuju sisi lain gedung Polsek, menuju ruangan yang lebih besar. Kulihat Kapolsek sudah ada di sana. Tapi yang mengejutkan sudah duduk juga Pak Kuncir, ayahnya Yuni. Uwa Kasur dan Uwa Samping yang selama ini tidak pernah menjengukku juga ada di sana.

“Uwa..” sambil merunduk dan mengulurkan tangan untuk menyalami Uwa Kasur.

Plaaaaak!!! Ia tidak menyambut uluran tanganku, tetapi malah menggampar pipiku sangat keras.

“Pak, jangan begitu toh pak.” Uwa Samping berseru sambil berdiri setengah memelukku.

“Bikin malu saja!! Mau jadi apa kamu hah?!!” Uwa Kasur nampak murka. Aku hanya bisa menunduk. Perih sakit hati langsung menyeruak.

Kalau bukan karena Uwa Samping yang memelukku sambil menangis, mungkin aku akan balik marah. Kini aku hanya bisa meredam emosiku dalam dada.

“Sudah.. sudah… Bapak dan ibu silakan duduk. Kamu juga duduk, Sen.” ujar Pak Kapolres. Kami bertiga menurut. Kulirik Pak Kuncir yang tersenyum, entah mengapa aku sangat membenci senyum itu. Ada kepicikan di balik ekspresi ramahnya.

Polisi yang tadi menjemputku dari ruang jeruji menyerahkan map kepada Kapolres, lantas kembali duduk. Setelah membaca isi berkas sebentar, ia menatap kami. Aku hanya diam menunggu.

“Jadi begini Sena…” Pak Kapolres mulai menjelaskan. Ia berbicara panjang lebar. Aku paham, tetapi aku sama sekali tidak bisa menerima semua yang ia sampaikan.

Intinya, dari semua saksi malam itu, aku terbukti berusaha memerkosa Yuni. Beruntung Uncal dan kedua temannya datang untuk menolong walaupun mereka sendiri tidak berdaya karena bisa kulumpuhkan. Sementara aku bertarung dengan Kopet dan Koma, Uncal berusaha mencari pertolongan. Kebetulan ada dua orang petugas yang sedang patroli sehingga aku segera diamankan.

Mendengar itu semua emosiku langsung meluap, dadaku rasanya mau meledak. Kalau bukan karena uwaku mungkin aku sudah kalap. Aku berusaha menahan diri; kedua tangan terkepal di bawah meja; kurekatkan juga gigiku untuk menahan getaran rahang.

Sebenarnya dalam beberapa kali BAP aku sudah menyangkal semua tuduhan, tetapi hasilnya selalu berakhir dengan pukulan dan tendangan oknum petugas. Alasannya klasik, aku tidak mengatakan hal yang sebenarnya dan berusaha membohongi petugas.

Kini apa dayaku? Pasrah? Aku tidak mau pasrah, tetapi mungkin hanya itu satu-satunya jalan. Kampret memang si pasrah.

Samar-samar masih kudengar penuturan Pak Kapolsek tentang daftar jeratan pasal dan lamanya kurungan maksimal. Aku tidak peduli dengan itu. Sedikit saja aku membuka mulut, amarahku bisa meledak. Bungkam adalah satu-satunya pilihan.

“Tapi atas kebaikan keluarga korban, yang siang ini diwakili oleh Pak Kuncir, tuntutanmu dicabut dan kita melakukan jalan rekonsiliasi dan damai. Tentu saja dengan tetap memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku.” ujar Pak Kapolsek lagi.

Kali ini mulutku benar-benar terbuka. Melongo.. aku sangat tidak menyangka akan hal ini. Bagaimana mungkin orang yang memfitnahku sekaligus menjelma sebagai malaikat penolong?

“Hiks.. hiks.. kamu ini telah bikin malu keluarga dan semua warga kampung, Sen.” Uwa Samping tersedu.“Tapi kamu dengar sendiri, Pak Kuncir dan keluarganya begitu berlapang dada dan mau memaafkan kamu. Sampai-sampai mereka mau mencabut berkas perkara mereka, padahal apa yang telah kamu lakukan itu.. hiks.. hiks…” uwa tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.

Sisanya adalah drama. Sambutan dan nasihat dari kedua belah pihak disampaikan. Pak Kuncir menjadi tokoh tenang yang berwibawa, murah hati, dan penuh pengampunan. Di pihak uwa, mereka berada di posisi yang sungguh merasa bersalah, malu tidak kepalang, sekaligus bersyukur dan penuh puja-puji karena kebaikan Pak Kuncir. Aku? Diam!!! Aku memang senang bisa bebas, tetapi di balik itu semua, ada rasa muak yang sulit kugambarkan.

Setelah proses panjang, aku pun diperbolehkan pulang dengan bebas-bersyarat, dan wajib lapor secara berkala. Drama memuakan pun berakhir. Berkas-berkas kami tanda tangani. Keesokan harinya aku sudah boleh pulang.


*
*
*

Aku tiba di kampung ketika hari sudah gelap gulita. Aku memang tidak sendiri, ketiga sahabatku menjemput dengan sukacita. Mereka selalu bercanda menyambut kebebasanku, sedangkan aku lebih banyak diam tanpa banyak menanggapi.

Ketakutanku terjadi. Semua mata warga yang berpapasan memandang sinis. Tak sedikit yang mengintip dari balik kaca rumah. Banyak pula yang terang-terangan mencaci dan bahkan mengutuk sambil meludah. Bukan aku yang tersinggung marah, melainkan teman-temanku yang menghardik. Mereka menjadi pembelaku dan kami berempat menjelma menjadi “komplotan” yang dibenci sekaligus ditakuti. Dibenci karena aku dianggap penista anak gadis, dan ditakuti karena garangnya teman-temanku ketika ada warga yang bersikap tidak terpuji kepadaku.

Aku menyimpulkan nada yang sama dari semua pembenciku. Pak Kuncir dipuja-puji karena kemurah-hatiannya, sedangkan aku dianggap najis karena perbuatan laknatku. Semuanya seperti ada yang menyeting.

Dan ketika kami tiba di kampung bada Isya seperti ini, itu bukan karena jauhnya perjalanan, tetapi memang kusengaja. Aku bisa menerima cacian warga desa dan kampung-kampung yang kami lewati, tetapi aku belum siap menghadapi warga kampungku sendiri. Pulang malam adalah pilihan.

Tetapi aku salah. Setibanya di rumah, sesepuh kampung dan beberapa warga sudah berkumpul menunggu kedatanganku. Gumaman terdengar ketika sosok kami berempat muncul. Kusalami mereka satu per satu. Serba kaku dan hanya ada lontaran basa-basi. Senyum mereka semua palsu. Hanya Bi Samping dan Aitun sepupuku yang menyambut dengan isak haru dan penuh sukacita. Aitun malah memelukku erat.

Seerrrrrr… perasaanku berdesir. Ada wanita lain yang sedang duduk di ambang pintu antara ruang tengah dan dapur. Sorot mata kami beradu. Perasaanku berubah menjadi hangat. Dan senyum itu terulas dari bibirnya.. sungguh menyejukan.

“Bi.” aku mendekat dan menyalaminya.

Lagi-lagi ia tersenyum tanpa menjawab. Berbeda dengan warga lainnya, senyum Bi Ira terlihat sangat tulus. Tidak ada ekspresi kekecewaan atau kebencian; ia tulus menyambut kepulanganku.

Rasanya aku tak ingin melepas tautan tangan ini; jika mungkin malah aku ingin memeluknya. Apa daya.. kondisi di rumah saat ini banyak orang.

Aku lantas duduk di atas tikar, bersandar pada dinding bilik bambu. Suasana sejenak menjadi kaku dan formal. Teman-temanku yang mengapit kiri dan kanan ikut terdiam. Aitun menyuguhkan air putih dan kami menenggaknya sampai habis. Tak lama kemudian uwa Samping dan Bi Ira menyuguhkan kopi. Setelah rehat dan melepas lelah, Pak RT Sukiman memulai percakapan. Awalnya basa-basi menanyai kabarku. Dan…

“Secara pribadi saya dan warga kampung Pasir Beha sangat senang menyambut kebebasan Nak Sena. Tetapi perlu Nak Sena juga tahu, bahwa sebetulnya ada banyak warga yang menolak kepulangan Nak Sena. Nama baik kampung sudah tercoreng, dan kami semua merasa malu.” ujar Pak RT disambut anggukan dan gumaman setuju dari warga yang hadir.

Bahasanya sangat halus penuh kehati-hatian. Tetapi intinya, ada gerakan dari warga untuk mengusirku dari kampung kelahiranku ini. Mendengar itu semua, ketiga temanku bereaksi dengan menegakan duduk masing-masing. Mulut mereka terbuka, seolah mau berlomba untuk melakukan protes pertama dan melakukan pembelaan.

Tapi Pak RT jauh lebih sigap. Sebelum teman-temanku marah, ia mengangkat tangannya agar kami semua tetap tenang.

“Tapi sangatlah tidak adil kalau kami hanya mengambil keputusan berdasarkan desas-desus yang kami dengar. Maka malam ini kami berkumpul agar bisa mendengar penjelasan dari Nak Sena secara langsung.” Pak RT bijaksana.

“Buruan jelasin, Sen.” Ruko tidak sabar.
“Enya sok atuh, Sen.” Janadi menimpali.

Aku mendesah panjang. Kuedarkan pandangan, dan berakhir pada Bi Ira. Wanita itu balas menatap. Secara tersamar ia menganggukan kepala. Senyumnya juga tersungging tipis.

Karena bingung harus memulai cerita dari mana, suaraku sedikit terbata-bata.

“Udah ceritain aja dari sejak awal kita berangkat. Kami sudah menceritakannya pada Pak RT dan warga, tapi ada baiknya sekarang kamu yang bercerita.” bisik Pento.

Aku melirik kembali ke arah Bi Ira. Hanya pada wanita itu aku merasa mendapat kekuatan dan kedamaian. Benar saja.. setelah melihat kembali sorot matanya yang teduh, aku jadi bisa berkata-kata secara lebih lancar, dan ceritaku mengalir. Bukan hanya ketiga temanku yang melengkapi ceritaku, bahkan Bi Ira pun berani bersuara untuk membenarkan ceritaku.

Namun aku bingung sendiri ketika harus mengawali cerita tentang perjumpaanku dengan Yuni dan ketiga jahanam itu. Ada bagian yang harus aku tutupi tetapi tidak tahu bagaimana membuat skenarionya. Secara aku tidak tahu cerita apa yang telah disampaikan Bi Ira yang membuat kami terpisah malam itu.

“Nah sekarang kamu ceritakan bagaimana sampai peristiwa itu terjadi, Sen. Ke bibi kan kamu pamitnya karena mau kencing.” Bi Ira seolah sadar akan kebingunganku.

Ah.. Bi Ira benar-benar menjadi penolongku malam ini. Ia bisa menangkap kegundahanku, dan mencarikan jalan keluar secara tersamar.

Kulanjutkan ceritaku dengan lancar. Tanpa tedeng aling-aling, tiada yang kututupi. Gumaman-gumaman terdengar, ada yang manggut-manggut, tak sedikit juga yang menatap penuh selidik.

Beberapa pemuda menyela dan membandingkan dengan cerita warga yang beredar, entah sumbernya dari mana. Intinya sama seperti berkas perkara yang kemarin dibacakan oleh Kapolsek. Aku hanya bisa menyanggah dengan cerita versiku sendiri, tentu saja tanpa ada yang kututupi.

Suasana menjadi lebih ramai. Penjelasanku banyak disanggah. Ada juga yang membela. Riuh…!! Beruntung Pak RT cukup bijaksana menenangkan.

Kini malah warga yang berdiskusi sendiri karena ada dua versi cerita yang berbeda. Ada juga yang bercerita tentang kebaikan Pak Kuncir. Ada yang berpendapat bahwa tidak mungkin Uncal memerkosa pacarnya sendiri. Ada yang memojokanku bahwa jika memang benar aku yang menolong Yuni, mengapa malam itu Yuni diam saja. Dan banyak cerita lain yang memberatkanku. Tetapi kemudian muncul lontaran tentang diriku yang selama ini hidup baik di kampung. Nah.. pada bagian ini giliran teman-temanku dan beberapa ibu-ibu yang membela. Debat kusir pun terjadi.

“Bapak dan ibu, warga kampung Babakan Kopid yang saya hormati…” aku menenangkan suasana.

“Saya berani bersumpah bahwa saya tidak menyampaikan cerita yang bohong. Kejadian yang sebenarnya -seperti yang sudah saya sampaikan tadi- adalah saya berniat menolong Yuni, bukan menodainya. Tetapi bahwa kemudian saya sendiri yang menjadi tertuduh, saya sendiri tidak paham. Beri saya waktu untuk membuktikan bahwa saya tidak bersalah. Jika dalam waktu tiga bulan-tujuh hari-dan delapan jam saya tidak bisa membuktikannya, maka saya sendiri yang akan pergi dari kampung ini. Bapak dan ibu tidak perlu mengusir saya.”

Mendengar ucapanku semuanya terdiam. Uwa dan Aitun terisak, dan Bi Ira memalingkan muka ke arah dapur. Sepertinya ia mau menyembunyikan kesedihannya.

“Nak Sena tenang dulu.” ujar Pak RT. Kutahu sebetulnya ia sedang bingung. Ia mempercayai ceritaku tetapi juga ada banyak pendapat warga yang harus juga ia akomodasi.

“Mohon maaf bapak dan ibu.” Ruko menyahut. “Saya percaya sepenuhnya pada cerita Sena. Selain karena saya kenal baik sifat Sena, saya juga menemukan beberapa keganjilan. Maka mari kita lepaskan dulu perasaan suka dan tidak suka bapak dan ibu pada Sena, mari kita menelaah bersama dari titik berangkat yang sama, yaitu bahwa Sena benar.”

Ruko pun memaparkan hasil pemikirannya, yaitu berupa keganjilan-keganjilan yang ada. Tentang Yuni yang sama sekali tidak membelaku, tentang Uncal dan kedua temannya, tentang Pak Kuncir yang dengan murah hati mau mencabut berkas perkaranya. Dan banyak hal lain yang sebelumnya aku sendiri tidak berpikir tentang hal itu.

Ruko berhasil mempengaruhi pemikiran warga. Mereka yang semula menyudutkanku berbalik membela, walaupun tetap ada yang bersiteguh bahwa akulah yang bersalah. Setidaknya aku lebih merasa lega.

Bahkan Ruko berhasil mempengaruhi warga bahwa aku dizolimi entah oleh siapa dan untuk keperluan apa. Beberapa warga yang masih berdarah muda balik emosi.

“Kalau sampai ada warga kita yang dizolimi, itu tidak bisa kita diterima. Kita harus melawan, harga diri kampung dipertaruhkan.” celetuk salah seorang warga yang duduk di luar rumah.

“Tenang-tenang.. kita semua harus tenang dan jangan terbawa emosi.” Pak RT menenangkan.

Karena hari sudah larut malam, Pak RT menawarkan solusi. Intinya benar atau salah, aku sudah dibebaskan dan kembali ke kampung. Ini patut disyukuri. Intinya sebagai warga tidak pantas mengusir anggotanya sendiri. Apapun yang terjadi aku tetap diterima di kampung.

“Setuju.”
“Sepakat.”

Satu per satu menyahut. Kami semua bernafas lega. Aku tidak jadi diusir dari kampung ini. Namun jauh di dalam lubuk hatiku, aku bertekad untuk membuktikan bahwa aku tidak bersalah. Bukan untuk memulihkan nama baikku sendiri, tetapi terutama demi nama baik kampung kelahiranku. Jika aku gagal membuktikannya, aku tetap akan pergi, meskipun warga tak lagi meminta. Itu tekadku.

Hampir tengah malam warga pun bubar. Aitun menyuguhkan makan malam alakadarnya, dan kami berempat makan dengan lahap. Uwa Kasur sudah masuk kamar seolah menghindar untuk berbicara denganku. Nampaknya ia masih kecewa dan malu atas ‘perbuatanku’.

“Kamu yang sabar, ya Sen, uwa mah percaya ke kamu.” ujar Uwa Samping.
“Aku juga percaya kamu, Sen, tapi ingat kamu jangan macam-macam untuk mencari tahu dan balas dendam. Salah sedikit, malah kamu bisa dipenjara beneran.” celoteh Aitun.

Aku hanya mengangguk kecil dan pura-pura sibuk mengunyah. Tekad tetaplah tekad. Rasa penasaran dan dendam harus dituntaskan.

Usai makan, Uwa Samping, Bi Ira dan Aitun membereskan perabotan dan gelas-gelas kosong, sedangkan aku dan ketiga temanku duduk di bale-bale sambil merokok. Hari sudah berganti, namun aku belum merasa ngantuk.

“Jadi apa rencanamu selanjutnya?” Janadi memulai percakapan.
“Mencari tahu!” jawabku singkat.
“Aing oge nyaho, Wot. Tapi gimana caranya?” Janadi merongos.

“Aku harus bisa ketemu Yuni dan Uncal. Hanya dari mereka aku bisa mendapat informasi.” tegasku.

“‘Kita’, Wot, bukan ‘aku’.” timpal Ruko.
“Enya bener, kamu jangan bergerak sendiri. Kami bertiga siap membantu.” kali ini Pento menambahi.

“Nuhun.” singkatku.

“Pokoknya aku harus bisa membuat Yuni buka mulut, kalau mulut atasnya tetap bungkam, maka mulut bawahnya yang akan kurobek!” aku menambahkan sambil menghembuskan asap rokok. Teman-temanku tertawa.


“Kita lihat dulu orang-orang yang ada di sana. Pertama Yuni…” Ruko memulai analisa. Yuni sama sekali bungkam malam itu; ia hanya menangis. Bahkan ketika Uncal menuduhku mau memperkosa Yuni, gadis itu tidak membela sama sekali. Ia juga tidak menolak ketika Uncal mencoba menutupi tubuh setengah polos Yuni dan memeluknya.

“Kedua Uncal,” lanjutnya. “Sesuai ceritamu, kemungkinan dia adalah orang pertama yang melihat dua orang polisi yang kebetulan sedang patroli. Maka ia berlari seolah-olah mau meminta pertolongan dan melaporkan bahwa Yuni pacarnya hendak kamu perkosa.”

Satu per satu kami menyampaikan pendapat. Ada banyak keganjilan di situ. Tidak perlu kuuraikan nanti pembaca bosan.

“Berikutnya adalah si Kopet dan Koma. Di mana mereka?” kali ini Janadi berganti fokus. Kami sepakat akan mencari tahu tentang keberadaan dua manusia itu.

“Sebetulnya bukan hanya mereka yang harus kita selidiki, tetapi juga Pak Kuncir.” celetuk Ruko.

“Heh?”
“Hah?”
“Hoh?”

Kami bertiga memandang Ruko.

“Coba kalian pikir..” Ruko meneruskan. “Orangtua mana yang dengan mudah mau memaafkan orang yang mau memperkosa anaknya sendiri? Kamu kan bilang sendiri, Pak Kuncir sama sekali tidak marah kepadamu ketika kemarin bertemu di kantor polisi.”

“Hmmm…” kami bergumam serempak. Apa yang dikatakan Ruko ada benarnya. Kuyakin Pak Kuncir percaya pada cerita Uncal (dan Yuni) bahwa aku hendak menodai anaknya. Tetapi mengapa ia mau memaafkanku, dan mencabut tuntutannya pada polisi. Bahkan ia juga rela mengeluarkan sejumlah uang sebagai tebusan.

Kami menghentikan obrolan ketika kulihat Uwa Samping dan Aitun mendekat. Aku kecewa karena Bi Ira sudah tidak kelihatan.

“Sen, uwamu (uwa laki) bilang kalau besok lusa kita sekeluarga akan berkunjung ke rumah Pak Kuncir.” ujar Uwa Samping.

“Lah mau ngapain?” heranku.

“Kamu itu!! Ya kita ke sana untuk minta maaf secara kekeluargaan sekaligus mengucapkan terima kasih atas kebaikannya sehingga kami tidak jadi dipenjara.”

“Tapi, Bi…”
“Ya kalau kamu tidak setuju, kamu bilang sendiri pada uwamu.” potong uwa Samping dan aku pun sukses bungkam. Mataku melotot pada Aitun yang cengengesan melihat ekspresiku.

“Itu adalah ide bagus. Sekalian bawa oleh-oleh ke sana. Bawa padi dan pisang atau apa gitu..” Ruko menyahut.
“Memang rencanya juga begitu. Kita akan membawa padi ketan, pisang, dan dua ekor ayam.” jawab uwa.

Aku sama sekali tidak setuju. Tapi aku urung protes ketika Ruko membaduk lututku. Bisiknya, “Kamu harus memosisikan diri sebagai pecundang, karena dengan cara itu kamu akan tahu caranya menjadi pemenang.”

“Baiklah, Wa, saya ikut aja apa rencana uwa.” suaraku lemah.

Uwa menepuk pundakku dengan sikap penuh keibuan. Ujarnya, “Uwa percaya kalau kamu tidak bersalah. Uwa tahu kalau kamu itu anak baik, jadi tidak mungkin kamu melakukan perbuatan tidak terpuji seperti itu. Tapi tidak ada salahnya kita memulihkan tali silaturahmi, jangan sampai kita bermusuhan, karena kalau tidak hati-hati bukan hanya kita yang berkonflik tapi juga kampung kita. Kamu mau dua kampung saling membenci dan bahkan bermusuhan?”

“Iya, Wa.”

“Sudah sekarang kalian pada tidur. Udah janari ini.”
“Saya nginap di sini, ya Bi.” Pento menyahut.
“Nggak!! Kamu pulang!!” uwa pura-pura ketus.

“Yaaaah…” bukan hanya Pento yang kecewa tapi juga Aitun. Semua orang tahu kalau mereka berpacaran.

Kami pun mengakhiri malam yang melelahkan dengan tertawa, lantas bubar untuk tidur.


*
*
*


Aku bangun jam tujuh pagi. Di rumah hanya ada Aitun yang sedang menyapu. Katanya uwa sudah berangkat ke kebun. Yeah.. untuk ukuran orang kampung, bangun jam segini adalah sudahlah sangat kesiangan.

“Terus kamu di rumah saja?”
“Iyalah… anak gadis gak boleh ke kebun nanti hitam dan cantiknya hilang.” Aitun memeletkan lidah.

Tanganku melayang untuk menggeplak kepalanya, tapi ia lebih gesit mengangkat gagang sapu. Aku mundur satu langkah sambil cengengesan.

“Sudah buruan sana mandi.” dengan mata melotot.
“Iya.. iya… mau sekalian ngangon (menggembalakan) si ireng.” jawabku.
“Gak sarapan dulu?”
“Nggak.”
“Baguslah kalau gitu, jadi gak ada siapa-siapa di rumah.”
“Heeeh?!!” aku melotot.

Kali ini Aitun yang cengengesan. Aku tahu pasti Ruko akan datang dan mereka bisa bebas pacaran. Tapi aku malas menanyakannya. Kusambar handuk dan melenggang menuju kolam.

“Baru bangun, Sen? Habis mandi mampir sini dan sarapan.”

Mataku yang masih setengah ngantuk langsung terbuka lebar. Semua rasa lelah mental dan fisik pun sirna seketika.

Kulihat dari pintu dapur yang terbuka, Bi Ira sedang duduk di depan tungku dan menggoreng uli ketan. Karena hanya memakai daster rumahan, betisnya terlihat. Meskipun paha atasnya tertutup daster, Bi Ira tidak sadar bahwa paha bawahnya tidak terlindung karena ujung dasternya tidak terjepit. Otomatis aku bisa melihat kemulusannya. Sedikit saja terbuka aku juga akan bisa melihat celana dalamnya.

“Heeii malah bengong. Buruan sana mandi!” Bi Ira pura-pura cemberut.
“Eeh iiya, Bi. Makasih..”

Langkahku panjang, setengah berlari. Semangatku pulih, bahkan berlipat-lipat. Tanpa sadar aku mandi sambil senyum-senyum sendiri dan bahkan bersenandung. Lupa kalau aku harus mengeluarkan si ireng dari kandangnya.

Seperempat jam kemudian aku sudah kembali ke rumah Bi Ira. Duduk pada jojodog (bangku kayu) di depan tungku, di samping Bi Ira. Kopi hitam sudah terhidang dan aku seruput tanpa sungkan.

“Cepet banget mandinya?” sambil meletakan piring berisi uli di sampingku.
“Gak sabar pengen ketemu bibi.” ujarku.
“Kamu!!”

Awal hariku terasa begitu indah. Bi Ira memang cemberut. Tapi ia menoyor bahuku. Kedua pipinya merona. Sejenak aku menikmati sarapanku, dan Bi Ira menyelesaikan pekerjaannya. Ia menawariku makan, tapi kutolak. Kopi dan uli sudahlah cukup bagiku.

Setelah memasukan semua perabot kotor pada baskom, Bi Ira menutup pintu dapur. Entah mengapa aku malah senang; walaupun perasaan jadi berdebar-debar.

Kami ngobrol ringan sambil menikmati kopi dan goreng uli panas. Entah siapa yang memulai, obrolan kembali membahas masalah yang sempat menimpaku. Kali ini emosiku meluap-luap. Amarah, dendam, sekaligus kesedihan yang selama ini kutekan dan kusembunyikan meluap tanpa bisa kubendung. Kalau ada orang yang mendengar dari luar mungkin mereka akan mengira aku sedang memarahi Bi Ira.

Bahkan aku juga tidak malu menceritakan kisah masa laluku. Aku yang pernah sakit hati karena ditolak cinta oleh Yuni, dihina sebagai anak kampung, kini semakin sakit hati dan bahkan dendam karena perlakuan gadis itu.

Bi Ira mendengarkanku dengan sangat sabar. Sekali-kali tangannya mengusapi punggungku. Ia tidak banyak berbicara, tetapi sekalinya berucap aku malah semakin terpancing untuk bercerita. Ia seperti sedang membantuku untuk mengeluarkan semua unek-unek yang selama ini kusimpan dan kupendam sendiri.

Marah… kecewa… sakit hati… dendam… semuanya menggulung bercampur rasa sedih, takut, dan malu pada warga. Dan…

Aku kehabisan kata. Diam.. membisu… semua beban sudah kutumpahkan. Nafasku yang tadi tersengal kembali tenang. Aku merasa lebih tenang, damai, dadaku pun ringan. Bi Ira juga diam tercenung, tak ada tanya, tiada nasihat. Ia tahu, yang kubutuhkan saat ini adalah didengarkan. Dan ia sedang memerankan itu.

Sikap Bi Ira membuatku semakin mengaguminya. Ia tahu memosisikan diri. Ia tahu apa yang kubutuhkan; dan ia paham kapan harus berbicara atau diam.

Aku terkejut ketika kurasakan remasan lembut pada jemariku. Aku baru sadar -dan entah sejak kapan- rupanya telapak tangan kami sudah bertautan dan saling menggenggam. Kuyakin.. Bi Ira melakukannya karena ia ingin memberikan ‘pegangan’ atas ketidak stabilan emosiku, sedangkan aku melakukannya tanpa sadar karena memang sedang membutuhkan ‘pegangan’ agar rapuh hidupku tidak lantas membuat seluruh diriku runtuh.

Aku balas meremas, tanpa sungkan kuusapi pula bulu-bulu halus pada punggung jemarinya. Ini menyukakanku. Damai hatiku sudah kembali. Aku tenang. Tanpa sepakat, genggaman yang semula terjalin untuk saling menguatkan, dan mengabarkan bahwa kami saling ada satu sama lain, kini berubah menjadi remasan halus dan mesra. Aku belum tahu apa yang dirasakan dan dipikirkan wanita paruh baya itu. Tetapi di pihakku, remasan dan usapan ini menjadi tanda dari desiran halus rasa sayang. Aku sedang jatuh cinta. Sebuah rasa yang bahkan tidak kumiliki ketika aku menembak Yuni.

Aku menegakkan dudukku dan menatap wajah Bi Ira. Rupanya wanita itu sudah lebih dahulu menatapku. Wajahnya tiba-tiba tersipu, pipinya sedikit merona, lantas ia menunduk.

“Bi..” bibirku bergetar sambil mengeratkan genggaman.

Aku yang sedang rapuh, aku yang mengeluh, tapi kini justru Bi Iralah yang nampak lemah. Menyangga tubuhnya pun tidak mampu. Tubuhnya miring dan… langsung kusambut dalam pelukan.

Kaku.. sangat kaku.. nafas pun sama-sama tertahan. Tangan kananku berpindah pada pinggangnya; kekakuan pun pudar. Sebuah pelukan erat saling kami berikan. Entah untuk apa, tidak tahu karena apa, satu yang kutahu, rasa cinta ini ada.

Nafasku tersengal. Kuyakin Bi Ira bisa merasakan. Ini adalah sebuah pelukan pertamaku dengan seorang perempuan. Mendebarkan sekaligus menenteramkan.

“Bi, aku…”
“Sudah jangan dibahas.” ia memotong ucapanku dengan suara bergetar. Kepalanya semakin ia benamkan di atas bahuku.

Aku memejamkan mata. Meresapi saat-saat indah perasaanku. Aroma tubuh perempuan membuat anganku terasa melayang. Cukup lama seperti ini.

Adalah rasa pegal yang membuat kami bergerak. Maklum kami duduk pada jojodog pendek yang bersisian.

Bi Ira menggeliat sperti mau melepas pelukan. Duduknya berubah tegak. Hal yang sama kulakukan. Namun perubahan posisi ini membuat wajah kami ‘berpapasan’. Saling tatap sayu. Kami sama-sama berhenti, urung memisahkan diri. Wajah kami sangat dekat, sorot mata kami saling lekat. Bahkan hembusan nafasnya pun bisa kurasakan.

Perasaanku bergemuruh.. nafasku tersengal.. nekad.. terlalu nekad.. dan aku harus nekad… aku mendekat. Bi Ira tak kalah tegang. Seperti ingin menghindar tapi tak punya kekuatan. Perlahan tapi pasti bibirku mendarat. Bukan pada pipinya, bukan pula pada bibirnya, melainkan pada sisi dagunya yang indah. Nyaris menyentuh ujung bibir.

Reaksinya di luar dugaan. Ibarat pematang sawah basah yang jebol karena terinjak kebo ireng, begitulah Bi Ira. Pertahanan hatinya retak, ketegaran dan kesetiannya jebol. Sentuhan kecil bibirku, membuat ia bereaksi keras.

Kedua tangannya menangkup kedua pipiku. Kecupan pada bibir ia berikan. Aku gelagapan. Ini pengalaman pertama dan aku tidak paham harus bagaimana.

Bibir Bi Ira melumat mulutku yang terkatup diiringi desah resah dan lenguh. Aroma uli ketan langsung tercium.

Tangan dan punggung berkeringat. Ini sangat nikmat. Sensasinya sangat membuat rasa dan anganku melambung. Secara naluriah kubalas ciuman Bi Ira. Kulakukan seperti apa yang ia lakukan. Panas.. saling hisap… saling sedot… dan ketika bibirku terbuka untuk mengambil nafas. Bi Ira malah memasukan lidahnya.

Aku terperanjat oleh rasa nikmat. Aku terjengkang. Kuraih tubuhnya hingga kami berdua terjatuh ke atas lantai tanah. Ia menindihku, kutarik pinggangnya hingga kami merapat. Tak menunggu waktu, bibir kami kembali beradu.

Ciuman kami berubah basah, lidah kami saling bertaut, saling membelit kaku.

Hilang tatanan norma, lupa sopan santun manusia kampung yang memegang tradisi luhur leluhur, hilang etika kesopanan pada lawan jenis yang bukan pasangan. Kami bergulat panas. Bukan hanya saling mencumbu, tetapi juga saling meremas.

Lupakan rentang umur… lupakan status Bi Ira sebagai istri orang… yang ada adalah dua manusia berlainan jenis. Bergulat menumpahkan hasrat, meski saat ini sulit memisahkan apakah yang ada adalah rasa murni atau birahi.

Aku semakin kalap oleh hasrat. Kulebarkan kakiku dan kudorong pinggulnya sambil kuremas. Kemaluan kami saling menempel.

“Aaaah.. hash… hash…” Bi Ira terengah.

“Sen.. Sen… mmmh… udah.. jangan, Sen.” Bi Ira melepas cumbuan.

“Hassh.. jangan sekarang.” wajahnya merah padam menahan birahi.

Aku menatapnya kecewa.

“Ini salah.” ujarnya sambil susah payah melepaskan diri dari pelukanku.
“Tapi, Bi.”
“Jangan sekarang.”

Aku benar-benar kecewa. Nafsuku sudah diubun-ubun. Gairah birahiku sudah memuncak. Tetapi kini ia menghentikannya seketika. Seperti naik motor yang direm mendadak, lalu buah peler menubruk ujung kardus mie instan yang diselipkan di depan jok. Rasanya anyiiing banget.

Biar bagaimana pun, aku menghargai keputusan Bi Ira. Aku tidak ingin gegabah yang malah bisa membuat Bi Ira berubah. Kata-kata ‘jangan sekarang’ terngiang. Kalau tidak sekarang berarti ada kesempatan di masa datang.

Bi Ira duduk di atas lantai sambil merapikan pakaiannya yang acak-acakan. Nafasnya masih tersengal. Aku masih sempat menikmati indah kedua pahanya sebelum ia tutupi. Senyumnya terulas. Sebuah senyum misterius yang menyembunyikan percampuran antara birahi yang tertahan, rasa sayang, dan juga kesadaran nurani.

Bi Ira malah membantuku untuk bangkit. Ia merapikan bajuku dengan tatapan sendu. Saling belai rambut sesaat. Lantas bediri dan pelukan lagi. Pelukan kali ini lebih berupa sikap untuk saling meredakan gairah yang tertunda.

Kali ini aku tidak sungkan. Kukecupi rambutnya. Rasa sayang ini tak bisa lagi kuhadang. Aku menginginkan wanita dalam pelukanku sebagai bagian dari seluruh hidupku.

“Kamu tidak ngangon si Ireng.” tanyanya.

Aah.. wanita yang aneh. Gelayutan pelukannya dan nada bicaranya berubah menjadi manja. Layaknya seorang gadis belia yang sedang jatuh cinta.

“Oh iya lupa.. hehehe..” aku tertawa sambil menyelipkan helai rambut pada belakang telinganya. Ia nampak senang dan tersanjung.

“Yaudah ayo.”
“Eh.. maksud bibi?”
“Ayo keluarin si ireng dari kandangnya. Bibi ikut sekalian mau ‘ngarit’ untuk kambing.”
“Hehe kirain ngeluarin si ireng yang lain.” kekehku.

Hidungku sukses ia betot dengan mata melotot. Tapi di mataku lebih berupa rajukan manja. Tingkahnya menyukakanku.

Tak lama kemudian kami keluar rumah. Tidak ada yang aneh, tak terlihat tingkah ganjil. Nampak normal, sebagaimana warga pada umumnya. Tapi ada yang tersembunyi, hati kami sama-sama bersenandung.

Bi Ira bertegur sapa dengan warga yang sedang sibuk di ladang. Sama sekali tidak mencurigakan. Mereka juga menyapaku. Bedanya, mereka masih belum bisa menyembunyikan nada ketus dan sorot mata jijiknya padaku. Keramahan mereka berubah palsu. Bi Ira paham itu, maka ia seringkali menenangkanku melalui sorot dan kedip matanya.

Seluruh hari ini, aku dan Bi Ira terlihat wajar ketika bertemu orang. Namun seperti dua pasang berpacaran ketika sedang berdua. Saling canda, saling genggam, dan bahkan saling kecup ketika situasi memungkinkan.

Di balik luka hidupku, ada bunga yang mekar, meskipun di masa depan, duri-durinya mungkin akan menggoreskan luka baru. Saat ini aku bahagia menyayangi Bi Ira, itu sudahlah cukup bagiku.



Bersambung….
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd