Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA SENA JATUH CINTA

- Part 3 -
Keterangan geografis said:
Wilayah pemerintahan Desa Cikasur (warga biasanya menyebutnya dengan dayeuh) mencakup Jembut Ireng (Jering) di sebelah barat, Ciitil di Timur, Babakan Gundul di Utara, Medangan Kidul (Meki) di Selatan, dan kampung Pasir Beha.

Cikasur sebagai pusat desa memiliki wilayah yang cukup luas, mencakup dua Rukun Warga dan tujuh Rukun Tetangga. Jering dan Babakan Gundul masing-masing memiliki dua RT dan terhimpun dalam satu RW. Ciitil terdiri dari tiga RT dan satu RW. Meki memiliki tiga RT, dan Pasir Beha (kampungnya Sena) satu RT. Meki dan Pasir Beha berada di dalam satu RW.

Dari semua kampung yang ada, Pasir Beha merupakan kampung yang paling kecil dan terpencil. Letaknya berada di lereng gunung, dan hanya memiliki dua belas rumah yang dihuni oleh 14 KK. Di sanalah Sena lahir dan tumbuh dewasa.

Karena posisi Pasir Beha paling dekat dengan Meki, dan selalu melewati Meki jika hendak bepergian ke Cikasur (dayeuh) atau ke kota, maka warga dua kampung ini saling mengenal satu sama lain. Tak sedikit pula yang memiliki pertalian darah alias bersaudara.


Hari yang kubenci pun tiba. Uwa Kasur dan Uwa Samping mengajakku berkunjung ke rumah Pak Kuncir. Bukan hanya itu, Pak RT Sukiman juga ikut serta sebagai perwakilan kampung Pasir Beha.

Tuan rumah mempersilakan kami masuk. Pak Kuncir dan istrinya menyambut dengan ramah. Kehadiranku sebagai ‘pemuda laknat’ tentu saja menarik perhatian warga yang kebetulan sedang menggiling padi di seberang jalan, atau perhatian tetangga yang kebetulan tidak pergi ke sawah atau ladang.

Warung di samping pabrik penggilingan dipenuhi banyak orang. Mereka pasti sedang bergunjing sambil memperhatikan ke rumah Pak Kuncir yang pintunya dibiarkan tetap terbuka. Di halaman rumah awalnya hanya berdiri satu-dua orang tapi lambat laun para tetangga berdatangan dan nongkrong di sana sambil merokok.

Sadar akan hal ini, Pak Kuncir secara terang-terangan meminta salah satu warga untuk mengundang RT setempat, Pak Boki, ke rumahnya. Mungkin sekedar untuk berjaga-jaga seandainya terjadi keributan. Padahal ia sendiri adalah ketua RW.

Perasaanku tidak karuan. Marah dan malu bercampur menjadi satu. Tapi apa daya.. diam dan pura-pura tenang adalah satu-satunya pilihan. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, ada ketiga sahabatku di pabrik yang siap membantu. Mereka menemaniku dengan pura-pura menggiling padi meskipun beras mereka di rumah masih banyak. Tentu saja mereka bukan bagian dari rombonganku, sehingga mereka tidak bisa ikut menemaniku di rumah Pak Kuncir.

“Tenang, Sen, tenang…” aku membatin berulang kali. Aku berada di sini atas kehendak uwaku, bukan atas keinginanku. Aku tidak bersalah!! Aku juga harus tenang agar bisa mendapat informasi yang diperlukan untuk misi balas dendamku.

Dan.. basa-basi panjang terjadi. Terdengar sangat memuakan. Lantas mulai pada inti dari maksud kedatangan. Terdengar malah seperti ganti-gantian menyampaikan pidato. Tanpa mereka tahu, amarahku sebetulnya meluap, pipiku panas dan mungkin merah padam. Baik dari pihak keluargaku maupun dari pihak Pak Kuncir, keduanya memosisikanku sebagai pihak yang bersalah. Aku adalah pelaku pelecehan. Aku seperti sedang diadili tanpa bisa melakukan pembelaan sedikit pun. Sedikit saja aku berucap salah, uwa Kasur langsung memelototiku.

Harusnya aku kagum pada kebaikan dan kebijaksanaan Pak Kuncir. Harusnya aku lega dan bersyukur atas sikap murah hati dan lapang dadanya. Meskipun ia menganggap aku sebagai penista putrinya, ia dengan ‘tulus’ mau memaafkanku. Warga yang hadir berdecak kagum dibuatnya. Tapi kok.. aku malah semakin muak dan benci pada pria itu. Entahlah..!!! Aku merasa kebaikannya adalah palsu, tetapi aku tidak mungkin mengungkapkan prasangkaku tanpa bukti.

Sebetulnya, kalau saat ini aku bisa menahan diri dan rela panas telinga, itu karena ada sarana pengalihan. Aku muak pada semua yang kudengar, dan aku mengalihkan konsentrasiku pada hal yang lain. Hadirku hanya fisik, sementara angan dan pikirku tertuju pada satu sosok. Dan sosok itu adalah Bu Ronan, istri Pak Kuncir.

Entah mengapa, sejak merasakan sensasi bercumbu dengan wanita paruh baya, yaitu Bi Ira, cara pandangku terhadap wanita sedikit berubah. Kali ini yang menarik perhatianku adalah Bu Ronan. Tubuhnya montok khas istri seorang juragan kaya. Kulitnya bersih, wajahnya dipulas make up walaupun tipis.

Buah dadanya juga besar, di atas rata-rata, walaupun mungkin tak sekenyal milik Bi Ira. Entahlah.. aku kan belum membuktikannya. Setelah aku bisa meremas secara langsung barulah aku akan tahu bedanya.

Maka curi-curi pandang adalah satu-satunya hiburanku. Aku menciptakan situasi tegang di tengah obrolan yang sebetulnya sangat serius. Apalagi ketika Bu Ronan mengubah posisi duduknya, sudut mataku selalu mengarah pada area betis dan lututnya. Pakaiannya tidak seksi, tetapi justru karena itu, sedikit saja terbuka membuat jantungku berdebar-debar karena didorong oleh rasa penasaran ingin melihat lebih dan lebih lagi.

Wanita itu tidak banyak bicara. Hanya sekali-kali saja berbicara ketika Pak Kuncir meminta. Aku paham karena Pak Kuncir sendiri menyampaikan kepada kami bahwa Bu Ronan masih shock atas kejadian yang menimpa putri semata wayangnya. Ia juga belum sepenuhnya ikhlas memaafkanku. Namun pada titik ini, sekali lagi aku melihat misi terselubung dari Pak Kuncir. Ia mau menunjukan diri bahwa ia adalah suami yang baik, yang bisa membuat istrinya belajar memaafkan (seperti dirinya) dan patuh pada suami.

“Semoga peristiwa ini menjadi pembelajaran bagi Sena dan semua pemuda di kampung kita. Salah adalah salah dan benar adalah benar, tetapi yang salah masih bisa diperbaiki menjadi benar. Itulah gunanya kita saling memaafkan.” ucapan bijaksana Pak Kuncir mengalihkan perhatianku yang sedang mengintip bayangan kulit putih pada bukaan kerah baju Bu Ronan.

“Nak Sena sudah berjanji untuk tidak mengulanginya, kan?” sorot matanya tertuju kepadaku.
“Iii.. Iya, Pak.” aku gugup karena tidak siap ditanya.

Bersamaan dengan itu darahku kembali bergolak. Apapun yang ia katakan, intinya adalah aku salah dan ia sudah bermurah hati untuk memaafkanku. Aku sangat muak pada pria yang pasti rutin bercocok tanam pada selangkan Bu Ronan ini. Terpintas dalam pikiranku, aku harus membuat kemaluannya letoy sebagai bentuk dari balas dendamku. Haisssh!!!

Acara silaturahmi memang sangat lama, hampir dua jam, dan itu terasa semakin lama karena semua yang kudengar adalah kepalsuan yang memuakan. Dan aku bernafas lega ketika semua penderitaan ini berakhir. Dari pihak kedua keluarga saling memaafkan, dari pihak warga yang diwakili oleh RT masing-masing sepakat untuk menghindari pertikaian. Kerukunan diutamakan. Semua mengamini, walaupun kuyakin kebencian atasku tak serta-merta akan sirna.

Kami pun saling bersalaman satu sama lain. Lagi.. para sesepuh memberikan nasihat ketika aku menyalami mereka satu per satu. Tak kecuali Pak Kuncir. Ia menyambut tangan kananku, tangan kirinya menepuki pundak sambil menyampaikan nasihat singkat. Ingin kuludahi kumisnya, tapi yang keluar adalah senyum kecut dan kata maaf.

Perasaanku sedikit berdebar ketika aku semakin mendekat ke arah Bu Ronan. Aku ingin segera merasakan sentuhan pada kulit tangannya.

“Bu..” bibirku bergetar.

Tanganku terulur. Dan…

Wanita itu melengos. Jangankan menerima uluran tangan, menatapku pun tidak. Ia seperti sangat jijik padaku.

“Bu, jangan gitu.” suara lembut Pak Kuncir terdengar.

“Maafkan istri saya, ya Nak Sena, mungkin masih butuh waktu bagi ibu untuk bisa memaafkanmu sepenuh hati.” kali ini ditujukan padaku.

Aku tersenyum dan membungkuk. Tetapi hatiku merutuk dan mengutuk. Aku harus bisa membuat Bu Ronan bertekuk lutut.

Kami pun pamit. Kami menyalami juga warga yang berkumpul di halaman. Puja-puji pada Pak Kuncir terdengar, tak ada yang mengutukku, tetapi kutahu mereka masih membenciku. Tak sedikit yang diam-diam meludah ketika kulirik. Ingin kutonjok mereka sampai bonyok, lantas kugagahi istri mereka jika belum peyot.

Tiga temanku sudah menunggu di jalan utama kampung. Kehadiran mereka cukup menghiburku. Sisa perjalanan adalah puja-puji atas sikap Pak Kuncir dari mulut Uwa Kasur dan Uwa Samping, juga dari Pak RT. Nasihat-nasihat kembali mereka sampaikan. Bukan nasihat supaya aku tidak mengulangi perbuatanku karena mereka sudah mendengar penjelasanku, melainkan nasihat supaya aku dan ketiga temanku murah hati seperti Pak Kuncir. Kampret!!!

Kami tiba di kampung sekitar jam tiga sore. Setibanya di rumah, aku langsung ganti baju dan pergi untuk memberi makan si ireng. Tadi pagi sebelum berangkat, aku hanya mengeluarkan si ireng dari kandang dan mengikatnya di bubulak. Sekarang pasti rumputnya sudah habis dan ia sudah lapar. Aku akan memasukannya kembali ke kandang dan memberi makan rumput yang sudah kusabit sejak kemarin.

Sebelumnya aku mampir rumah Bi Ira. Aku kangen. Tetapi rumahnya terkunci. Aku kecewa. Langkahku berlanjut pada tujuan semula. Si ireng mendongak menyambutku. Hidungnya mendengus kesal karena rumput sekitar sudah habis. Tapi sorot matanya senang aku datang.

“Maaf, Reng, aku abis dari Meki.” ujarku sambil menepuki kepalanya.

Aku memindahkan si ireng ke lahan yang lebih hijau. Ujung talinya yang panjang tidak kuikat, melainkan tetap kupegang. Aku duduk sambil merokok.

“Aku punya tiga teman yang mau mengerti aku, Reng, tapi kayaknya hanya kamu satu-satunya teman yang tidak pernah rese.” aku berbicara sendiri, sedangkan yang kuajak ngomong asik makan dengan rakusnya.

Aku tak peduli. Aku nyerocos sendiri untuk menumpahkan semua kekesalanku sepanjang hari ini. Layaknya berbicara dengan manusia, kungkapkan semuanya, sedetail mungkin. Ini memang sudah menjadi kebiasaanku kalau sedang punya masalah. Bercerita pada ketiga temanku saja tidak cukup, dan rasanya masih ganjel kalau belum bercerita pada si ireng.

“Anjing bangetlah, Reng. Untung kamu munding (kebo), bukan anjing.” gerutuku setelah menumpahkan semua unek-unek.
“Sabar, Sen. Dan gak boleh ngomong kasar kayak gitu.”

Eh.. kenapa si ireng tiba-tiba bisa ngomong, suara perempuan pula? Aku menengok. Kulihat Bi Ira sedang berdiri di jalan setapak sambil nyuhun rumput untuk kambing. Wajah dan lehernya berkeringat.

“Bibi.” aku malu.

Aku langsung berdiri menghadap ke arahnya.

“Tadi pulang jam berapa?” tanyanya.
“Baru saja kok, Bi. Tadi cuma ganti baju terus ke sini. Kasihan si ireng kelaparan.” jawabku.
“Jadi kamu memilih cerita ke si ireng daripada ke bibi?”

Pertanyaannya membuat rasa malu menjadi gemas. Aku mendekatinya. Aku ingin memeluknya.

“Abis tadi aku mencari bibi ke rumah, bibinya gak ada.” ujarku.

“Sena. Jangan!!” Bi Ira sadar akan niat mesumku. Matanya melotot.

Aku celingukan untuk memastikan tidak ada orang.

“Kalau jangan, ya jangan. Bibi tidak mau!” wanita itu ngeloyor menuruni jalan setapak.
“Biii..” aku memelas.
“Bibi tunggu di rumah.”

Asiyaaaap. Aku kembali bersemangat. Kutarik tali si ireng untuk diajak pulang. Kebo sialan. Ia tak bergeming dan tetap asik makan.

“Ireng, ayo balik. Makannya di kandang aja.” kesalku.

Aku tidak peduli pada Bi Ira yang tertawa kecil melihat tingkahku. Kutarik si ireng dengan paksa dan kutuntun ke kandangnya. Si ireng yang kecewa pun kembali senang ketika kuberi dua ikat rumput dengan ukuran besar. Ia mengacuhkanku dan kembali makan, bedanya kali ini ia makan rumput yang sudah kusabit.

Setelah membersihkan tangan dan kaki, langkahku panjang menuju rumah bi Ira. Tanpa permisi aku masuk. Wanita itu nampak sedang duduk selonjor di ruang tengah sambil mengikat rambutnya. Kemeja dan celana panjang kumal yang tadi ia kenakan sudah ia tanggalkan. Kini ia hanya berbalut daster longgar.

Wajah dan lehernya masih lembab karena keringat. Belahan payudaranya terlihat karena model kerah dasternya yang longgar.

“Mau ngapain?” matanya melotot ketika aku langsung duduk rapat di sampingnya.

Tanpa peduli, aku langsung mencium pipinya. Wanita paruh payudara itu cemberut, tetapi tetap saja tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Bi Ira tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang sedang tersanjung, meski itu cukup tersamar.

Aku tidak peduli pada bau keringatnya yang menyengat. Tidak peduli pula pada keluhannya karena masih kepanasan. Kutarik bahunya dan kucari bibirnya. Langsung kukecup. Bi Ira mengernyit dengan bibir tetap terkatup. Tetapi ketika kuusapi puhu lengannya, ia mulai membalas. Seperti biasanya, aku hanya melakukan sentuhan kecil, dan itu sudah cukup untuk meluluhkan pertahanan Bi Ira. Bahkan ia selalu lebih panas setelahnya. Ia langsung membalas ciumanku dengan lumatan. Lenguhan-lenguhan halus terdengar. Menggairahkan, membangkitkan birahi.

Bukan hanya mulut kami yang beradu. Bukan hanya lidah kami yang saling melilit dan membelit. Tetapi tanganku sudah mulai berani merambati pahanya. Kuusap dan kupijit lembut. Terus merambat ke bawah dasternya. Halus kurasa.

Tubuhnya kembali basah berkeringat. Baunya menyengat, tetapi itu menyukakanku. Aku terbakar birahi.

Kami berdua kehilangan keseimbangan, menggelesor dan saling menindih di atas lantai papan. Rasanya enggan bibir ini berpisah walau hanya sedetik. Kami kembali saling memburu. Kali ini kuhisap lidahnya yang menjulur. Kusedot kuat.

Bi Ira menggelijang. Rambut belakangku ia remas.

“Mmmmh…” Bi Ira melenguh mengabarkan gerah gairahnya.

Aku kian bersemangat. Tanganku kian merambat. Usapanku berubah sedikit kasar; merambat menuju pangkal paha.

Batang penisku melonjak. Tanganku sudah menyentuh tepian celana dalamnya. Sedangkan tangan kanan mulai meremas tepian payudara.

“Aaaaah…” Bi Ira mengerang.

Sedetik kemudian tangannya menangkap tangan kiriku dan mendorong keluar dari selangkangan. Ia seperti kaget oleh suara erangannya sendiri; sekaligus tersadar akan apa yang sedang kami lakukan.

Ciuman kami terlepas, dan aku terguling ke samping karena hentakan dorongannya. Bi Ira buru-buru duduk dan menurunkan dasternya yang sudah tersibak. Aku masih bisa melihat celana dalamnya yang berwarna abu.

Ia geser menjauh. Nafasnya tersengal, keringat di lehernya bercucuran. Lantas… ia menangkup wajahnya dengan dua telapak tangan. Tubuhnya bergetar. Bi Ira menangis.

Aku hanya melongo. Perasaanku sangat tidak nyaman. Sange yang tertahan dan rasa heran bercampur menjadi satu.

“Ini salah, Sen, salah.. hiks… hiks… kita tidak boleh begini.” ujarnya di sela isak tangis.

Entah.. apakah aku harus kesal atau menyesal. Bi Ira sangat sukar ditebak. Seperti jinak, nafsunya juga meluap-luap, tetapi justru di saat menjelang puncak, ia selalu tersadar dan berusaha menghentikan.

Aku bangkit duduk sambil membetulkan isi celana dalam yang perih karena kentang. Aku tercenung diam, tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Sebetulnya bisa saja aku memburu Bi Ira. Menyergap dan menindihnya, lantas menggagahinya. Namun jika itu kulakukan, apa bedanya aku dengan tuduhan orang yang menganggapku sebagai seorang penjahat kelamin dan pemerkosa. Lebih daripada itu, di masa jeda saling diam ini, rasa sayangku pada Bi Ira jauh lebih besar daripada sekedar melampiaskan nafsu birahi.

Aku memberanikan diri menatap Bi Ira yang masih menangis. Kali ini sudah tidak menutupi wajahnya lagi.

“Aku sayang bibi.” tanganku terulur untuk mengusapi lelehan air matanya. Ia tidak menolak. Tetapi juga deraiannya malah semakin deras.

“Ini salah, Sen, maafkan kalau bibi khilaf dan membuatmu tidak nyaman.” jawabnya sambil menunduk.

“Bi…”

“Bibi sudah punya suami, Sen. Lagipula, umurmu lebih muda daripada Yuni, kamu lebih pantas menjadi anak bibi, bukan seperti ini.” ia menekuk kaki dan memeluk kedua lututnya. Tanganku berpindah mengusapi rambut panjangnya yang menumpang di belakang punggung.

“Aku tahu, Bi.” jawabku pelan. Lanjutku, “tapi aku juga tahu kalau perasaanku ini ada tanpa kuminta. Aku sayang bibi, walaupun aku tahu ini salah. Jadi yang salah adalah perasaanku, atau takdir kita yang berbeda?”

Aku seperti bertanya pada diri sendiri. Aku frustasi memiliki perasaan seperti ini.

Bi Ira mendongak gamang. Ekspresinya tak kalah frustasinya denganku. Aku sadar, kami adalah manusia kampung yang diajari nilai-nilai warisan leluhur, dididik norma sosial, juga tahu bahwa perkawinan bukan hanya soal persenggamaan, tetapi juga kesetiaan.

Aku tahu, dan kuyakin Bi Ira jauh lebih tahu dariku. Tapi rasa ini? Kenapa harus ada? Apakah Bi Ira juga sebetulnya memiliki perasaan yang sama?

“Jangan lebih dari apa yang sudah kita lakukan sekarang.” lirihnya.

Bi Ira nampak begitu rapuh. Ia selalu sadar ketika kami nyaris kebablasan, tetapi ungkapannya barusan menyiratkan bahwa ia juga masih tetap menginginkannya. Syaratnya, ‘jangan lebih’ seperti yang ia ucapkan.

“Apakah bibi juga punya perasaan sayang seperti yang kumiliki?” mulutku terbuka dan hampir mengucapkan hal itu, tetapi urung. Aku tidak sedang jatuh cinta pada gadis sebaya. Aku harus tetap menghargai kegundahannya, aku tidak boleh membuatnya semakin dilema dan dilingkupi rasa bersalah.

“Kenapa kamu menyayangi bibi, Sen?” ia menatapku sendu. Air matanya sudah berhenti mengalir.

“Aku.. aku tidak tahu, Bi, dan aku tidak punya alasan… yang kutahu hanya satu: aku sayang bibi. Selebihnya aku tidak paham.”

“Maafkan bibi.” ujarnya. Aku malah tidak paham mengapa harus Bi Ira yang meminta maaf, tetapi aku enggan menanyakannya.

Nafas panjang ia desahkan, seperti sedang membuang beban.

“Jujur bibi menyukai perlakuanmu pada bibi, Sen. Bibi terlena, bibi merasa sangat berharga, dan bahkan merasa muda kembali. Tetapi setiap kali kita bercumbu di rumah ini, bibi selalu disadarkan oleh bayangan suami bibi dan bayangan Yuni. Bibi menyukainya, tetapi bayangan mereka selalu menyadarkan bibi bahwa ini semua salah.” ujarnya.

Kuulaskan segaris senyum. Aku paham, dan aku menghargai pergulatan batin Bi Ira. Tapi…

“Berarti kalau gak di rumah bisa kali, Bi?” mulut sialan. Kadang akal sehat selalu tersingkir oleh desakan keinginan seputar selangkangan yang masih penasaran.

Bi Ira nampak geram. Marah, kesal, bingung, sedih, gemas.. dan entah apa lagi… terekspresi. Ia memukuli dadaku. Kubiarkan karena itu menyukakan. Suasana kaku kembali lumer, kami saling cekikikan walaupun sebetulnya tawa ini terdorong oleh perasaan yang getir. Sisanya kami saling berpelukan tanpa cumbuan. Cukup lama dan hanya saling diam. Angan dan alam pikir kami berkelana, tanpa kutahu apakah sama atau berbeda. Di pihakku, aku ingin pelukan ini bisa terus selamanya.


*
*
*

Langit malam tidak terlalu pekat karena purnama bersinar. Suara binatang malam bersahutan. Sementara sepoi angin menebarkan dingin; cukup menusuk pori. Aku dan ketiga sahabatku duduk di sebuah saung pinggir kampung sambil menikmati kopi hitam dan singkong bakar. Sekali-kali tangan kami terjulur ke arah perapian untuk sekedar menghangatkan badan.

Semua warga tahu bahwa saung ini menjadi ‘markas’ tempat kami dan beberapa anak muda lainnya nongkrong. Tempat melepas lelah selepas seharian bekerja, dan mencari hiburan dengan main kartu atau sekedar mendengarkan musik dari radio. Tetapi malam ini kami berempat hanya berbincang. Sebuah misi pembalasan sedang kami susun.

Aku tidak mengulang cerita. Aku hanya menambahkan informasi, bahwa Yuni diungsikan ke rumah saudaranya di kota. Gadis itu, menurut penuturan Pak Kuncir, masih trauma, sekaligus juga malu karena hampir menjadi korban pelecehan.

“Aneh, sih.” celetuk Ruko.
“Aneh gimana?” heranku.

“Kalau memang Yuni sedang trauma, kenapa ibunya tidak menemani?” penuturan Ruko membuat kami bertiga manggut-manggut. Bukan sebuah anggukan paham, tetapi justru sebaliknya.

“Ada informasi tentang Uncal, Wot?” kali ini Janadi yang bertanya.
“Tidak ada.” singkatku.

“Sama. Kami juga tidak mendapat informasi tentang keberadaan si brengsek itu. Tetapi beberapa warga yang ada di pabrik dan warung sangat memuji keberanian pemuda itu. Ia dianggap sebagai pahlawan yang sudah menyelamatkan kekasihnya.” Pento menimbuhi.

“Anjing!!!” spontan aku memaki.

Ketiga temanku bergantian bercerita tentang berbagai rumor yang mereka dengar selama menggiling padi dan nongkrong di warung ketika menungguku. Hanya sedikit petunjuk yang mereka dapatkan. Intinya masih sama, aku dibenci sedangkan Pak Kuncir dan keluarganya dipuja-puji.

“Ada satu keanehan lagi…” Pento menambahkan. “Ketiga brengsek itu sedang mabuk malam itu, dan polisi pasti tahu dari kondisi dan bau mulut mereka, tetapi mengapa mereka tidak diamankan? Seharusnya mereka juga diamankan dengan alasan mabuk-mabukan. Bagaimana mungkin pemabuk dianggap pahlawan?”

Kami semua tercenung, apa yang dikatakan oleh Pento ada benarnya.

“Kita mulai dengan mencari mereka bertiga.” Janadi memecah kebuntuan.

“Jadi kita harus ke Ciitil?” tanyaku. Mereka bertiga memang bukan warga Meki, tetapi berasal dari Ciitil.

“Tidak ada pilihan.” jawab Janadi.

Kami sahut-sahutan mengusulkan rencana. Banyak ide, banyak pendapat. Akhirnya kami sepakat untuk melakukan misi pencarian. Kami akan membekuk mereka; menghajar sampai mulut mereka menyampaikan pengakuan. Misi ini kami namakan: Sriwedari. Artinya, kami harus bisa melumpuhkan musuh tidak lebih dari hisapan satu batang rokok Sriwedari.

“Kapan kita eksekusi?” Janadi yang paling berangasan di antara kami bersemangat.

“Malam Selasa di minggu ketiga.” jawabku.

Kusampaikan alasannya. Senin siang aku harus ke dayeuh untuk menghadap Pak Lurah. Aku masih dalam status wajib lapor. Aku masih bersyukur karena aku hanya diwajibkan lapor kepada lurah sehingga tidak harus jauh-jauh pergi ke kantor Polsek yang berada di kecamatan.

Kami semua sepakat. Senin pagi kami akan berangkat bersama ke dayeuh sambil sekalian menjual hasil bumi ke pasar. Siang sampai sore melakukan pengintaian ke Ciitil dan malamnya melakukan aksi.

Setelah menyusun rencana dengan matang, obrolan berubah menjadi ngalor-ngidul tanpa judul. Apa yang dipikirkan itu yang dilontarkan. Tanpa sengaja aku pun bercerita tentang Bu Ronan. Cerita berubah menjadi saru.

Kemontokan Bu Ronan bikin sange, tetapi sikap judesnya sangat ngehe. “Perkosa aja dia, penuduh pemerkosa harus diberi pelajaran dengan diperkosa beneran,” celoteh Pento. Kami semua tertawa terbahak. Tanpa mereka sadari, celetukan Pento aku amini. Rasanya candaan dia bisa aku wujudkan. Taklukan istrinya sampai ketagihan, baru suaminya bisa dilumpuhkan.

Tawa kami menjadi akhir kebersamaan. Setelah membersihkan cangkir kotor bekas kopi, kami bubar ke rumah masing-masing. Hari sudah sekitar jam sebelas malam.

Sebetulnya hari ini sangatlah melelahkan, tetapi entah mengapa kantuk ini tidak datang. Aku urung pulang ke rumah, melainkan berbelok ke arah barat. Duduk di tepi ladang singkong sambil merokok.

Mataku tertuju pada satu-satunya rumah yang memang terpisah dari barisan rumah warga lainnya. Rumah Bi Ira.

Keadaan rumahnya nampak gelap, tetapi samar-samar masih terdengar suara wayang dari radio transistor miliknya.

“Bi Ira belum tidur?” aku membatin.

Namanya orang sedang kesengsem asmara, bertemu sekali dalam sehari tidaklah cukup. Tanpa betul-betul kusadari, kakiku melangkah menuruni jalan setapak. Aku bahkan tidak tahu untuk apa. Bertamu malam-malam akan sangat berbahaya dan mengundang fitnah.

Setibanya di depan rumahnya tiba-tiba jantungku berdebar. Aku bimbang antara masuk atau kembali pulang. Akhirnya aku mengurungkan niat untuk mengetuk. Kerinduan untuk bertemu berubah dengan niat mengintip. Melihat sosoknya walau sedikit sudah cukup mengobati rasa rindu, pikirku.

Aku berjalan pelan mengitari sisi samping rumahnya, menuju arah datangnya suara radio. Kutahu itu adalah kamar Bi Ira.

Suara radio di dalam kamar cukup menguntungkan. Itu bisa menyamarkan pergerakanku sehingga tidak terdengar dari dalam. Aku mengendap-endap dengan jantung berdegup kencang. Sebenarnya aku tidak harus mengintip, terang-terangan mengetuk jendela mungkin ia akan membukanya. Tapi entah mengapa aku ingin tahu keadaan Bi Ira secara sembunyi-sembunyi. Aku ingin menyelidiki.. menyelidiki apa? Aku sendiri tidak tahu.

Sela-sela dinding papan kususuri, mencari celah dan lubang. Kutajamkan pula pendengaran. Ada lenguh dan sedikit gaduh. Ada apa dengan Bi Ira? Perasaanku berkecamuk.

Sial. Tak ada sedikit lubang pun yang bisa memberi celah untukku bisa mengintip ke dalam. Jendela pun tertutup rapat.

“Aaaahhhh…” terdengar erangan panjang.

Dugh!! Jantungku berdetak kencang. Erangan itu adalah erangan nikmat. Adakah Bi Ira selingkuh? Atau…?

Suhu tubuhku berubah panas. Ada amarah. Juga penasaran. Ingin juga menerobos masuk untuk melihat apa yang terjadi. Tapi akhirnya aku memilih untuk diam. Semakin kutajamkan pendengaran.

Hening!!

Hanya suara radio dan binatang malam yang kudengar. Aku mematung diam. Kali ini sambil siaga. Jika benar Bi Ira selingkuh, aku ingin menciduk lelaki itu pada saat ia keluar rumah.

Masih hening!!

“Hiks.. hiks…” eh kok malah suara tangis yang sekarang kudengar. Adakah Bi Ira disakiti?

Aku kembali mencari lubang, hasilnya sama saja. Sia-sia.

“Hiks.. hiks.. maafkan ibu, Pak.”

“Sari, maafkan ibu. Hiiiiks….”

“…” aku tercenung.

Sekarang aku yakin hanya ada Bi Ira seorang di dalam kamar. Apa hubungannya antara erangannya tadi dengan tangis minta maaf sekarang? Aaah.. aku pusing sendiri.

Aku terus menguping. Dan…

Kali ini rasanya aku yang ingin menangis. Kudengar Bi Ira meratap sendiri. Berulang kali meminta maaf kepada suaminya yang jauh di sana. Ia menyesal atas apa yang ia lakukan ‘barusan’; tetapi terutama menyesal atas apa yang telah ia lakukan bersamaku selama beberapa hari ini.

Aku menjauh dengan langkah gontai. Tak kuat lagi mendengar tangis sesal Bi Ira. Aku kagum pada perjuangannya untuk tetap setia dan sekaligus merasa berdosa karena telah menggodanya.

Tapi aku juga marah. Marah kenapa aku bisa jatuh cinta pada wanita yang tidak seharusnya. Hubungan mesraku dengan Bi Ira masih dalam hitungan hari, dan tanpa status, tetapi rasa luka di hatiku terasa jauh lebih dalam jika dibandingkan dengan Yuni ketika ia menolak dan menghinaku.

Kelopak mataku terasa panas. Aku merasa tidak berdaya. Jika aku sungguh jatuh cinta pada seorang gadis, mungkin masih bisa kukejar dan kuperjuangkan; tetapi jatuh cinta pada Bi Ira, perjuangan macam apa yang harus kulakukan. Membuatnya menjadi janda lantas kunikahi? Jika itu kulakukan maka urusannya bukan hanya antara aku, Bi Ira, suami, dan anaknya; melainkan dengan seluruh warga kampung dan bahkan seluruh warga desa. Hidup kami akan menjadi pergunjingan; tak sedikit kemungkinan kami malah diusir.

Kini, satu-satunya perjuangan yang mungkin adalah melawan diriku sendiri. Aku tidak boleh membuat Bi Ira dilema dan bermuram. Aku harus ‘pergi’ dan tidak boleh menggodanya lagi. Tapi ini juga sulit, pembaca bisa kecewa kalau aku tidak menggagahi Bi Ira.

Ah… biarkan saja penulis yang berpikir, bukan aku….
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd