Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA SENA JATUH CINTA

Sena sudah tau kalo bi ira ini sangat sangat setia, apakah yang akan dilakukan sena ketika mengetahui isi hati bi ira? Hmm, apakah bi ira yang akan perlahan mendekat? Atau tetap dengan pendirian... Dilanjut atu suhu
 
- Part 4 -



Hari demi hari berlalu; merambat terasa sangat lambat. Banyak hal yang menjadi beban pikiran sehingga hari-hariku seakan tidak menyenangkan. Besok aku akan ke kelurahan, dan malamnya akan ke Ciitil untuk mencari keberadaan Uncal dan kedua temannya. Masa depan dan pemulihan nama baikku akan ditentukan besok malam.

Bukan hanya itu yang mengganggu pikiranku, tetapi juga hubunganku dengan Bi Ira. Peristiwa malam itu benar-benar membuatku menjaga jarak. Memang.. aku tidak menjauh, tidak pula menghindar ketika bertemu dan terlibat obrolan, tetapi aku sudah tidak lagi menggoda, apalagi menyentuhnya.

Bohong kalau aku memang tidak ingin lagi berduaan; bohong kalau aku tidak lagi bercengkrama tentang apapun dengannya; bohong pula kalau aku tidak ingin bermesraan seperti sediakala walaupun mungkin hanya sebatas menggenggam tangan atau mengecup pipinya. Akun masih ingin, bahkan sangat ingin. Aku sayang dia.

Satu-satunya alasanku menjaga jarak adalah karena aku tidak ingin membuatnya hanyut dalam gelombang perasaan sesaat lantas merasa bersalah setelahnya. Almarhum ayah pernah berpetuah: orang yang disayang itu adalah untuk dilindungi, bukan disakiti.

Konsekuensinya aku yang harus menderita; menanggung rasa sesak karena rasa dan hasrat terlarang yang tidak bisa diungkapkan atau disalurkan.

“Pagi-pagi kok sudah melamun, Sen. Pamali ngalamun dina panto.” suara Uwa Samping mengembalikan pikiranku yang sedang melayang.

Aku tersenyum kecut sambil melirik ke arah pintu dapur. Uwa rupanya baru pulang mandi dari tampian; badannya hanya dililit kain sarung sehingga bagian bahunya terbuka, dan bagian bawah hanya terlindung sampai lutut. Paha belakangnya mengundang pandangan karena sarung terangkat lebih tinggi akibat pinggulnya yang besar.

“Nggak melamun kok, Wa.” jawabku sambil menyeruput kopi.

“Emangnya uwa gak liat.” jawabnya.

Ia membungkuk untuk meletakan baskom berisi perabotan yang baru selesai ia cuci. Otomatis sarungnya semakin terangkat, dan pinggulnya menjeplak ketat. Kuyakin uwa tidak memakai celana dalam.

“Kamu masih mikirin kejadian yang menimpamu? Sudah toh, Sen, jangan dipikirin terus. Pak Kuncir kan sudah memaafkanmu, dan warga kita sudah mulai tidak mempergunjingkanmu lagi.” uwa mendekat dan berdiri di hadapanku. Otomatis pandangan mataku sejajar dengan selangkangannya. Aku merinding sendiri membayangkan bentukan yang ada di pangkal pahanya itu.

“Iya, Wa, tapi tetap saja saya masih sakit hati. Saya sama sekali tidak bersalah. Lagian masalahnya kan belum selesai. Besok saya harus menghadap pak lurah dan pasti diinterogasi lagi. Saya capek menceritakan hal yang sama.” keluhku.

“Kamu jalani dengan sabar, nu bener mah moal eleh ku salah.” tutur uwa bijaksana.

Uwa tersenyum prihatin sekaligus berusaha menegarkan. Orangtua mana yang tidak bersedih melihat anaknya sedang menghadapi masalah. Aku memang keponakannya, tetapi sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri.

“Iya, Wa.” jawabku singkat.

Uwa pun berjalan menuju kamarnya. Mataku terpaku menatap lenggokan pinggulnya.

“Uwa mau nyusul uwamu dan Aitun ke kebun.” ujarnya seiring tubuhnya yang menghilang di balik tirai. Kamar-kamar rumah kami memang tidak berpintu dan hanya ditutupi kain tirai.

“Iya, Wa. Nanti setelah ngeluarin si ireng, saya mau ngala suluh (mencari kayu bakar). Suluh kita sudah mau habis.” jawabku padahal pikiranku sedang membayangkan tubuh uwa yang sedang telanjang.

“Kamu ngala suluhnya ka kulon (ke barat) aja sekalian ngilikan cau (meriksa pisang). Kalau sudah tua diala wae sakalian (dipanen aja) daripada kaburu dihakan surili (sejenis monyet).” ujar uwa.

“Baik, Wa.”

Tak lama kemudian uwa keluar kamar. Ia sudah mengenakan celana panjang dan baju lengan panjang kumal yang biasa dipakai untuk kerja di ladang.

Kami sama-sama keluar rumah setelah menutup pintu dan semua jendela. Uwa langsung berangkat, sedangkan aku ngasah golok terlebih dahulu.

Aku menatap punggung uwa; ada yang aneh. Uwa bilang mau menyusul uwa laki dan Aitun ke kebun. Tapi mengapa ia jalan ke arah kidul, padahal kebun kami ada di timur. Aku tidak sempat menanyakannya karena uwa keburu jauh.

Aku melanjutkan mengasah tanpa banyak pikir lagi. Kegiatanku hanya berhenti sebentar ketika Mang Karman, ayahnya Janadi lewat. Kami berbasa-basi sebentar, dan ia pun pergi ke kebun kopinya di kidul.

Kusarungkan golokku dan berangkat ke kandang. Rumah Bi Ira sepi dan pintunya tertutup pertanda penghuninya sedang ke kebun. Aku menghela nafas, entah untuk apa.

Setibanya di kandang, si ireng menyambutku dengan dengusan. Buntutnya tak berhenti ngepot. Ia nampak senang. Kutuntun keluar. Kali ini tidak membawanya ke bubulak, tetapi ke sawah milik keluarga Pento yang berada di barat. Karena tidak ada pohon, maka kubuat patok untuk menambatkan talinya.

Aku berjalan menyusuri parit kering karena musim kemarau yang berkepanjangan. Sebelah kiri berbaris terasering pesawahan sedangkan di atasku adalah hutan ilalang.

Kebunku cukup jauh dan berbatasan dengan hutan. Sekali-kali aku membabat ranting yang menghalangi jalan. Berkelok sedikit ke arah lembah lereng, lantas menanjak. Aku pun tiba di kebun peninggalan orangtuaku. Tujuanku langsung ke saung.

Uwa Samping benar. Pisang yang berada di belakang saung sudah tua. Langsung kutebang, dan pisang tanduk itu kumasukan ke dalam saung. Aku duduk sambil menikmati sebatang rokok. Pandanganku melihat sekeliling kebun yang mulai tidak terurus. Pada musim hujan nanti aku berencana untuk menanam bibit kapulaga.

Aku menghela nafas kecewa ketika kulihat salah satu pohon albasia kering. Padahal kalau tidak mati dan bisa tumbuh sampai besar bisa kujadikan papan untuk mengganti dinding rumah. Aku berjalan untuk menebangnya dan menjadikannya kayu bakar.

Aku menerabas rerumputan dan ilalang. Betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa ada orang lain di tempat ini. Kulihat Bi Ira sedang ngarit untuk kambing. Ia pun tak kalah terkejutnya.

“Loh, Bi? Ngaritnya kok jauh banget?” aku bertanya lebih dulu dan berusaha menyembunyikan gejolak perasaanku yang tiba-tiba merasa senang sekaligus grogi.

Wanita itu berdiri sambil mengelap keringat oleh ujung kain yang ia gulung di atas kepalanya. “Musim kemarau gini susah nyari rumput, Sen,” jawabnya.

“Kamu sendiri tumben nengok kebun?”
“Tadi ngala cau. Sekalian ni mau nebang albasia untuk dijadikan kayu bakar.”
“Ooh…”

Sikap kami sedikit kaku, obrolan kami menjadi keramahan alakadarnya. Tak lama kemudian kami melanjutkan pekerjaan masing-masing. Bi Ira melanjutkan ngarit, dan aku menebang pohon.

Kupotong-potong batang dan dahannya, lantas kuikat dengan tali yang sudah kubawa dari saung. Bi Ira selesai lebih dahulu, tetapi ia tidak langsung pulang. Ia masih ngajak ngobrol sambil duduk memerhatikanku.

Sebetulnya aku senang bisa berdua dan ngobrol seperti ini, tetapi aku juga merasa grogi. Aku takut kembali khilaf dan membuatnya sedih kembali.

Matahari sudah naik ketika pekerjaanku selesai. Tubuhku basah oleh keringat.

“Haus ya? Bibi gak bawa air.” ujarnya.
“Hehehe.. sama, Bi.”

Aku menatapnya, ia membalas.

Setelah sekian lama tidak berdua di tempat sepi, kini perasaan yang sudah berusaha kutekan menjadi mekar kembali. Dalam kondisi apapun, Bi Ira selalu terlihat cantik di mataku.

Tanpa sadar kami sama-sama menghela nafas. Saling membuang muka. Saling menatap lagi. Sama-sama menunduk.

Pertahananku runtuh. Aku tidak bisa. Tidak bisa mengendalikan gejolak perasaanku. Niatku untuk menghentikan apa yang pernah kami lakukan luluh lantak. Rasaku menggebu.

Aku mendekat. Duduk di sampingnya. Saling tatap. Hmmmf… tanpa komando kami saling memeluk erat. Kami saling mendekap; tanpa suara, tiada kata. Seketika aku merasa lega. Rinduku terbuncahkan.

“Bibi kangen, Sen. Beberapa hari ini kamu berusaha menghindar yah?” Bi Ira memecah keheningan tanpa melepas pelukan.

Perasaanku tiba-tiba melambung. Bi Ira terang-terangan mengungkapkan perasaan kangennya. Ia merasakan hal yang sama sepertiku.

“Kita ngobrol di atas, yuk Bi.” aku tidak ingin kemesraan ini berlalu, dan ingin membuatnya kian indah sambil menikmati pemandangan dari atas bukit.

Kami sama-sama menggeliat. Saling tatap dekat, dan kecupan tipis pada bibirnya kuberikan. Bi Ira tersipu. Rona wajahnya tak mampu menyembunyikan rasa bahagia.

Kami sama-sama berdiri. Aku berjalan paling depan untuk membuka jalan. Sekali-kali kusibak ilalang, dan kutebas ranting semak.

Tak berselang lama kami tiba di atas bukit yang menjadi batas antara lahan kebunku dengan hutan pegunungan. Lelah kami tertebus oleh pemandangan indah. Kiri-kanan adalah lembah yang menjadi pembatas dengan lereng bukit lainnya. Sedangkan pemandangan di depan menghampar sejauh mata memandang.

Kubabat rumput dan ilalang menggunakan sabit Bi Ira. Wanita itu berinisiatif setelahnya. Ia membuka kain yang menjadi pelindung kepalanya dan mengibaskannya untuk dijadikan alas duduk kami berdua. Kami berdua cukup terlindung dari panas, karena sinar matahari terhalang sebuah pohon rindang.

“Indah. Sudah lama sekali bibi tidak ke sini.” ujar Bi Ira.

Kami duduk bersisian. Kulingkarkan tangan kiriku pada pinggangnya, dan Bi Ira menyandarkan kepalanya pada bahuku. Kami tak ada bedanya dengan sepasang kekasih tanpa peduli pada rentang usia.

Kutatap lekuk sungai di kejauhan, meliuk di antara lembah bukit dan pegunungan. Kampung-kampung sekitar menjadi pemandangan indah; gambaran kehidupan yang harmonis dengan alam.

Kami saling membisu. Hanyut oleh suguhan pesona semesta.

“Kenapa kamu berubah, Sen?” suaranya pelan.
“Aku tidak berubah, Bi.”
“Jangan bohong. Bibi bisa merasakannya.”

Aku mengarahkan pandangan pada wajahnya. Ia mendongak. Tatapan kami cukup dekat.

Pipinya dan lehernya sedikit merah karena sengat matahari, dan merang rerumputan. Keringatnya sudah tidak menyembul tetapi menyisakan lembab. Bukannya menjawab pertanyaan Bi Ira, aku malah terpaku pada pesona setengah bayanya.

Aku mengamati setiap lekuk pipinya, lancip dagunya, garis alisnya, jentik bulu matanya, dan juga merah alami bibirnya. Bibir Bi Ira terlihat kering tetapi tetap tidak bisa menyembunyikan aura sensualnya.

Kini di hadapanku benar-benar tergambar wajah perempuan dewasa dan matang. Sebuah hasil metamorfosis dari peralihan gadis perawan menjadi wanita paruh baya yang mengguratkan kematangan pengalaman.

Ia tak lagi muda, namun justru perubahannya memancarkan aura dan pesona.

“Cantik.” aku bergumam kagum.

“Masa?” pipinya memerah.

Ia sudah lupa pada pertanyaan dan rasa penasarannya. Mungkin hatinya tersanjung karena kupuji, dan aku memang tulus mengucapkannya, bukan kata gombal untuk menjeratnya. Aku jatuh cinta, pada wanita paruh baya. Dan dia adalah Bi Ira, wanita yang berada dalam pelukanku.

Sejenak kami saling melupa pada alam sekitar. Indahnya alam menjadi buram, suara burung-burung menjadi samar. Duniaku hanyalah Bi Ira. Detak jantungku hanya untuknya.

Aku merunduk, ia mendongak. Bibir kami berdua sama-sama terbuka. Nafas hangat saling menerpa.

Cuuuuup. Bibirku dan bibir Bi Ira beradu. Beberapa detik kami saling terpaku. Merasakan sensasi indah lembutnya sentuhan bibir. Sisanya adalah saling kulum dengan mata terpejam.

Kuluman dan lumatan kami lembut tanpa terburu. Aku menghayatinya, pun pula Bi Ira. Ini bukan soal dorongan alami jasmani, tetapi ungkapan tentang keadaan yang manusia namakan cinta.

Sekali-kali cumbuan kami diselingi juluran lidah. Saling menyapu permukaannya lantas diakhiri lumatan dan hisapan bibir.

“Aku benar-benar jatuh cinta pada bibi.” ujarku ketika kami rehat.
“Kamu tidak menyesal?” tanyanya setengah berbisik.

Kugelengkan kepala.

Berbeda dari sebelum-sebelumnya, kali ini Bi Ira tidak terlihat bimbang. Ia begitu menghayati kebersamaan ini.

“Bagaimana kalau bibi juga sayang kamu, Sen?” tanyanya setengah malu.
“Berarti?” perasaanku melonjak girang.

Bi Ira mengangguk.

“Aku ingin bibi.”
“Bibi milik kamu.”

“Perjakaku untuk bibi.”
“Bibi sudah tidak perawan, tapi semuanya punya kamu sekarang.”

“Ajari aku.”
“Kita akan sama-sama ketagihan.”

Dialog mesra menyerempet saru membuat perasaan kami semakin tertumpah, sekaligus perlahan membakar gairah. Kutarik tubuhnya hingga ia duduk mengangkang di atas kedua pahaku.

Bibir kami bersua. Kali ini langsung berupa lumatan basah penuh gairah. Bergantian saling menghisap bibir, begantian saling menggelitik rongga mulut. Sekali-kali tubuhnya melenting ke belakang. Ciumanku pindah pada kulit lehernya sambil kedua tangan menahan punggungnya agar tidak terjengkang.

Lama-kelamaan kami tidak lagi duduk, melainkan saling menindih di atas kain. Lumatan sudah disertai remasan. Bi Ira pun sekali-kali mengerang.

“Bibi cantik menggairahkan.” dengusku.
“Kamu membuat bibi mabuk kepayang.” jawabnya.

“Aku sayang Ira.”
“Aku sayang Kang Sena.”

Dialog terakhir membuat kami kalap. Birahi kami langsung mencapai puncak. Aku dan Bi Ira adalah sepasang manusia yang saling terbuai oleh rasa, terhanyut dalam gelombang asmara.

Serba terburu kami saling melucuti pakaian. Aku selesai membuka baju lengan panjangku terlebih dahulu.

Di balik kemejanya yang memang digunakan untuk melindungi kulit dari sengat matahari dan merangnya tanaman ilalang, Bi Ira masih mengenakan kaos putih. Tugasku membuka penutup terakhirnya.

Kutarik ke atas kaosnya. Sisanya ia yang melepas.

Mataku langsung nanar. Di hadapanku terpajang payudara Bi Ira yang berukuran sedang, terbungkus beha hitam. Bi Ira yang sudah terbakar birahi, langsung menurunkan kedua tapi pada bahunya, dan membuka kaitannya di belakang. Bulu ketiaknya menambah daya rangsang.

Aku hanya terpana melihat pemandangan menakjubkan seperti ini. Apa yang selama ini kubayangkan terpajang di depan mata. Fantasiku seketika menjadi nyata.

Hmmmmfff…

Bi Ira memelukku tanpa memberi kesempatan padaku untuk menjamah dua gundukan payudara indahnya. Kulit dan keringat menyatu. Sensasinya membuat perasaan melayang.

Payudaranya terasanya sangat empuk. Kedua putingnya yang tegang menekan-nekan. Aku dan Bi Ira kembali berciuman. Gaduh oleh desah nafas dan basahnya lumatan. Erang menjadi refren yang menggairahkan.

Ketika Bi Ira semakin tersengal karena desakan birahinya, aku menggunakan kesempatan untuk memindahkan ciuman. Cumbuanku turun ke dagu dan lehernya. Tubuhnya melenting sehingga cukup ada jarak antara dada kami.

“Aaaaah…” erangnya.

Tanganku berhasil menangkup kedua payudaranya. Ciuman semakin merambat turun tanpa peduli pada asinnya keringat. Kubenamkan wajahku di antara kedua payudaranya. Kutempelkan payudaranya pada pipi kiri dan kanan, sementara tangan tak berhenti meremas.

Aku sedikit sulit bernafas, tetapi ini menyenangkan. Aku memiliki kesukaan baru. Sangat melambungkan angan dan meningkatkan tensi tegang di sela selangkangan.

“Ah.. ah… ssssh….” Bi Ira kalap oleh rasa nikmat.

Terdesak oleh gairah panas, aku langsung bersimpuh. Kubuka kaitan celana panjangnya. Bi Ira menatap dengan nafas tersengal. Tangannya sibuk menggulung rambutnya yang sudah acak-acakan.

Setengah bergetar kupelorotkan penutup bawah tubuhnya. Bi Ira mengangkat pinggul untuk memudahkan pekerjaanku.

Aku benar-benar lupa daratan. Untuk pertama kalinya aku melihat dan menyentuh tubuh telanjang perempuan matang. Bulu-lebat-hitam kemaluan Bi Ira terpampang. Sangat kontras dengan warna kulitnya. Di bawahnya, pada pangkal selangkangan, bibir tebal kemaluannya nampak basah.

Bi Ira nampak malu kukagumi, sekaligus tersipu karena nafsunya yang menggebu. Tangan kirinya langsung menangkup vaginanya. Aku sendiri menuntaskan yang tertunda. Kuperlorotkan dan kuloloskan celana dalam dan celana panjangnya sekaligus.

Aku berdiri, sedangkan Bi Ira masih berbaring di atas kain yang sudah berantakan. Tangan kiri menutupi vagina, tangan kanan menyilang melindungi pucuk payudara. Aku tertegun sesaat.

Bi Ira sudah benar-benar telanjang. Indah. Menggairahkan. Mataku tersapu dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Rambut panjangnya yang sudah ia gulung mengembang di atas rumput. Aku suka alisnya yang hitam. Bulu matanya yang lentik. Sorot matanya yang sayu. Hidungnya yang proporsional. Bibirnya yang merah alami; seksi ketika ia gigit. Juga dagunya. Semuanya dihias oleh guratan-guratan wajah khas perempuat matang.

Tiga garis putih yang menyerupai lipatan pada lehernya nampak lembab oleh keringat. Payudaranya tidak kendor, meski tidak bisa dibilang ranum. Masih kenyal ketika tadi kuremas.

Bentuk tubuh Bi Ira meramping pada pinggang, lantas melebar kembali pada pinggul. Sempurna… Inilah wanita telanjang paling sempurna. Mungkin masih ada yang lebih dari ini, tetapi bagiku Bi Iralah yang terindah. Dialah wanita telanjang pertama yang kulihat, dan aku kadung jatuh cinta. Wanita ini milikku dan akan selalu menjadi milikku.

Akhirnya kubuka celanaku, dan kupelorotkan. Penisku langsung mencuat. Mengacung tegang.

Kali ini Bi Ira yang terbelalak. Tanpa sadar ia meremas payudaranya sendiri. Tak lama berselang aku sudah tanpa benang. Aku dan Bi Ira sama-sama telanjang. Aku berdiri di ujung kakinya, ia telentang sambil gelisah karena gerah gairah; posisi kami membentuk huruf L.

Kami berdua seperti kembali ke zaman primordial; sama-sama telanjang di tengah alam. Terlepas daripada itu, kami berdua kembali ke hakiki alami, saling birahi untuk saling membuahi.

Bi Ira tidak sabar ketika melihatku hanya terpana pada molek tubuhnya. Ia langsung duduk dan menangkap penisku. Aku terkejut, dan mendongak nikmat. Aku menggeram kecil ketika ia langsung mengocok. Sementara mengocok, ia mengecupi kepala dan kanjut kundangku bergantian. Sensasinya tak terkata, nikmat ini tiada dua.

Batang penisku menjadi basah karena ciumannya. Ia tidak mengoral. Mungkin tidak pernah, mungkin juga tidak tahu, tapi kecupan-kecupan basahnya nikmat tidak kepalang.

“Sekarang.” suaranya serak dan bergetar. Ia sudah tidak tahan.

Ia kembali berbaring sambil menarik tanganku. Aku bersimpuh di antara dua paha yang ia lebarkan. Tanganku bertumpu pada kedua payudaranya sambil meremas. Ingin aku menciuminya, tetapi Bi Ira sudah sangat limbung oleh birahi, gairahnya harus segera tuntas.

Ia menarikku agar menindihnya. Penisku ia genggam dan diarahkan pada lubang yang seharusnya. Aku yang belum berpengalaman hanya menurut pada arahan dan bahasa tubuhnya.

Bi Ira melenguh, aku meringis. Untuk pertama kalinya kelamin kami bersentuhan. Kepala penisku membelah bibir vaginanya, menyentuh daging nan lembut dan basah. Kedutan-kedutan kecil kurasakan.

“Tttekaan.. sssh.. aaah…” Bi Ira memberi perintah.

Cleeep.. cleeep… blessssss….

“Aaaaarhhhhh…” Bi Ira setengah teriak.
“Mmmmhhh…”

Tubuhku ambruk menindihnya, sementara selangkangan sudah saling mengunci. Penisku sudah amblas sepenuhnya.

“Pelan-pelaaan..” rengeknya, seperti mau menangis.

Kurasakan batang penisku memang sedikit perih. Vagina Bi Ira sudah sangat basah tetapi tetap sakit ketika kumasuki. Mungkin Bi Ira merasakan lebih daripada yang kurasakan. Aku terdiam. Tak berselang lama, rasa nikmat mengalahkan rasa sakit.

Bi Ira menangkup kedua pipiku dan mencari bibirku. Kami saling mencumbu. Kini tubuh kami sepenuhnya menyatu, dari atas sampai bawah.

Secara naluriah aku mulai mengocok penisku. Awalnya langsung bersemangat, namun berubah pelan ketika Bi Ira meminta.

Bi Ira saja butuh waktu untuk menyayangi diriku dan menyerahkan tubuhnya, demikian juga vaginanya sepertinya butuh waktu untuk menerima tamu di pintu rahimnya.

Sisa waktu adalah kenikmatan. Tidak ada yang lain. Aku dan Bi Ira bersenggama dengan panas. Suasana semak menjadi gaduh. Lenguh, erang, rintih, dan kata-kata sayang saling kami lontarkan.

Aku menusuk, Bi Ira menyambut. Aku mencabut, Bi Ira memburu. Pinggul kami tak berhenti bergerak agar kelamin tetapi saling memberi nikmat. Basah.. itulah tubuh kami sekarang.

Di tengah kenikmatan, Bi Ira meminta berhenti sebentar. Tubuhnya menggeliat. Secara naluriah aku menuruti maunya. Tubuhku berguling ke samping, dan Bi Ira sigap mengikuti. Kini ia yang menindihku tanpa kelamin terlepas ketika terjadi pergerakan.

Aku sangat menikmatinya. Setahuku, pria di atas dan perempuan di bawah ketika bersetubuh. Ternyata bisa sebaliknya, dan justru penisku terasa semakin nikmat.

Kali ini Bi Ira yang lebih banyak bergerak. Bukan hanya menurun-naikan pinggul, tetapi juga menggoyang memutar ketika penisku sedang terbenam.

Nikmat ini belum selesai. Bi Ira yang menindihku merubah posisi lagi. Ia mendudukiku. Kelamin kami semakin menyatu.

Kini aku bisa lebih leluasa menggerayangi tubuh polos Bi Ira. Kuremas payudaranya. Mungkin ini adalah posisi favorit Bi Ira ketika bercinta. Gerakan semakin liar, mulutnya tak berhenti meracau.

“Bi…” aku merasa limbung. Penisku berkedut kencang.

“Aaah.. Sen… Bibi juga…” sepertinya Bi Ira paham akan apa yang kurasakan, maklum aku belum berpengalaman.

Goyangan Bi Ira semakin liar. Aku tak kalah kalapnya.

“Bi Ira…”
“Uuuh… enak, Sen, enaaaak….” pekiknya.

“Bi aku.. aku….”
“Kita ngentot Sen…”

Kata-kata jorok Bi Ira seakan menjadi gong dari seluruh perjalan nikmat ini. Penisku melonjak seiring dorongan sperma. Bi Ira setengah menjerit ketika vaginanya berkedut keras dan menjepit.

“Sa… yaaang….”

Aku dan Bi Ira mengerang bersamaan. Bi Ira ambruk menindihku. Sementara aku gemetaran seiring semburan sperma ke dalam rahimnya. Kami berdua berbagi kenikmatan, berbagi cairan kelamin, berbagi keringat.

“Ira…”
“Kang Sena. Aaah…”

Sejenak kami terbang ke alam ketenangan. Lelah yang mendamaikan, lemas yang menenteramkan. Puncak nikmat yang tak terkata. Damai…

Aku baru membuka mata ketika penisku keluar dari sarangnya dengan sendirinya. Disusul lelehan lengket dari dalam kemaluan Bi Ira.

Bi Ira melakukan hal yang sama. Kami saling tatap. Lekat… Kepuasan kami kabarkan. Aku bahagia.. ketika aku merasakan pancaran cinta dari Bi Ira.

Kukecup bibirnya. Ia menyambut. Saling kulum lembut.

“Kamu…” rengeknya.

“Bibi tidak pernah seperti ini, sangat nikmat.” ia tak malu mengungkapkanya. Setelah bercinta, tak ada lagi tanggul penghalang di dalam hatinya.

“Bi Ira, makasih.” ujarku tulus. Kini kami sudah berbaring bersisian meresapi sisa nikmat. Tubuh kami saling miring menghadap, mata tetap saling tatap.

Kurapikan rambutnya. Bi Ira sendiri mengusapi dada bidangku.

“Tadi manggilnya gak gitu..” ia merajuk.

Aku mengkerut, sejurus kemudian aku ingat.

“Ira, makasih.”
“Kang Sena.”

Kami auto bercumbu. Kali ini bukan karena nafsu, namun karena ada sebuah rasa yang sama.

Sebetulnya kami masih sangat betah bermesra. Tapi kami harus mengakhirinya. Aku dan Bi Ira bangkit. Berdiri telanjang tanpa lagi malu dan sungkan. Ia malah mengelap penisku dengan ujung kainnya, sisanya ia mengelap vaginanya sendiri.

Kami berpakaian. Saling membelai setelahnya, cumbuan lembut sekali lagi, lantas menuruni bukit dengan perasaan bahagia.

Kami pulang. Bi Ira membawa rumput, aku memikul kayu bakar. Sebenarnya aku sempat mengajak Bi Ira ke saung, tapi ia menolak. Ia tahu modusku.

Aku dan Bi Ira berpisah di sawah Pento sahabatku. Ia melanjutkan perjalanan pulang, sedangkan aku harus memindahkan si ireng. Kami cukup hati-hati. Berpisah tanpa ciuman. Tatapan mata sudah cukup, rasa ini tetap saling ada.

Si ireng rupanya sudah ada yang memindahkan. Mungkin temanku atau orangtuanya tadi ke sini. Aku cukup senang karena keboku tidak harus menunggu kelaparan.

“Reng, aing geus ngewe.” aku memberi tahu si ireng. Ireng pun mendongak sambil mendengus, mengangguk-angguk, lalu asik makan lagi.


Bersambung….
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd