Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA SENA JATUH CINTA

Akhirnya beres juga marathon cerita dari suhu @turun_gunung.....
Mantapss cerita nya hu....

Mau nanya nihh hu di part 3 pas bi ira nangis di akhir kok nyebut nama yuni???
Typo kah, maaf karena jadi bingung bacanya....

Tapi selain itu best hu cerita nya dan ditunggu lanjutannya....
 
Akhirnya beres juga marathon cerita dari suhu @turun_gunung.....
Mantapss cerita nya hu....

Mau nanya nihh hu di part 3 pas bi ira nangis di akhir kok nyebut nama yuni???
Typo kah, maaf karena jadi bingung bacanya....

Tapi selain itu best hu cerita nya dan ditunggu lanjutannya....
Makasih koreksinya sob. Betul typo, harusnya Sari nama anaknya. Otw edit setelah update.
 
- Part 5 -



Aku meninggalkan rumah pak lurah sambil menenteng sebuah plastik hitam. Sesekali kusapa warga yang berpapasan tanpa peduli pada perubahan raut wajah mereka begitu mereka sadar bahwa aku adalah seorang Sena yang belakangan ini menjadi buah bibir. Aku sudah jauh lebih lega; pertemuanku dengan pak lurah yang kutakutkan ternyata tidak seseram yang dibayangkan. Pria itu cukup ramah, pun pula istrinya. Ada sejarah masa lalu yang membuat mereka begitu. Ah yasudahlah.. ceritanya terlalu panjang jika kuceritakan sekarang.

Apapun itu misi dendam tetap harus dijalankan. Aku berbelok ke kiri menysuri jalan beraspal. Melewati gedung sekolahku dulu. Tak lama berselang aku sudah tiba ditempat yang dijanjikan. Terlihat ketiga temanku sudah ada di sana. Mereka menyambut bukan dengan sapaan hangat, tetapi oleh sumpah serapah dan gerutu. Aku memang terlalu lama berada di rumah pak lurah.

“Lama, njing.” gumal Ruko.

Aku hanya nyengir. Kusodorkan kantong plastik yang kubawa. Sewot mereka berubah.

“Beli atau nyuri?” tanya Janadi.
“Dikasih bu lurah.” jawabku.

“Haaah?” kompak antara percaya dan tidak percaya.

“Beneran dari bu lurah.” jelasku. Di seberang jalan rumah pak lurah memang ada warung bakso, dan bu lurah membelikannya empat bungkus. Ia membeli lebih karena aku memberi tahu bahwa aku datang bersama dengan teman-temanku.

Raut muka mereka jelas menunjukan sikap tidak percaya, tapi fokus mereka teralihkan pada apa yang kubawa.

Mereka bagai tiga anak kecil yang kegirangan dibelikan jajanan. Bakso masih panas tapi kami cukup lihai memegangnya. Tidak ada mangkok apalagi sendok, maka yang kami lakukan adalah dengan menggigit ujung plastik dan melubanginya.

Bunyi seruput langsung terdengar. Panas-panas sedap, juga pedas. Setelah kuahnya tinggal setengah, kuperbesar lubangnya agar bisa menyedot mie dan bakso-bakso kecilnya. Bakso besar dimakan terakhir sebagai gongnya.

“Masih sesuai rencana?” tanyaku sambil mengelapkan tangan pada celana panjang. Aku sudah selesai makan duluan.

“Yaap. Tapi sedikit berubah.” jawab Ruko. Ia pun menjelaskan bahwa Uncal sedang pergi ke kota untuk membeli urea, maklum orangtuanya adalah bandar pupuk. Koma ikut serta. Sementara Kopet ada di kampung. Kami pun sepakat, aku dan Janadi akan ke rumah Kopet, sedangkan Ruko dan Pento akan ke rumah Koma.

Sebatang Sriwedari kami hisap sambil mematangkan rencana. Hanya sedikit warga Ciitil yang mengenal kami, sehingga kami tidak terlalu khawatir.

Setelah rokok kami habis, aku dan ketiga temanku berdiri sambil mengibaskan celana masing-masing. Kembali ke pinggir jalan. Cukup lama kami menunggu kendaraan. Karena tak satu pun angkutan pedesaan yang lewat, kami menghentikan sebuah mobil bak terbuka. Ngompreng, kami menyebutnya.

Semesta memihak kami, ternyata mobil yang kami cegat menuju Ciitil. Padahal kalau naik Angped, kami masih harus berjalan kaki atau ngojek.

Kami tiba di Ciitil sekitar jam tiga sore, waktu di mana para lelaki masih di ladang, sedangkan kaum perempuan mulai pada pulang untuk beres-beres rumah dan menyiapkan makanan.

“Nuhun, mang.” ujar kami bersahutan. Pemilik kendaraan mengangguk tanpa meminta bayaran.

Tanpa banyak kata, kami berempat berpisah.

“Jang, rumahnya Kang Kopet yang mana ya?” tanya Janadi kepada seorang anak yang sedang menarik mobil-mobilan yang terbuat dari jantung pisang.

“Kaditu… Imahna nu sisi kebon.” sambil menunjuk.

Kami keluar dari jalan kampung, menyusuri jalan berbatu. Menyeberangi sungai kecil, dan melewati beberapa rumah yang sepi. Rumah yang kami cari pun langsung ketemu. Tidak terpencil, tetapi berada di paling sisi.

“Jangan sampai lolos.” gumamku.

Janadi mengangguk. Rencananya kalau Kopet berada di rumah kami akan langsung menciduk, sedangkan jika tidak ada kami akan pura-pura bertamu.

“Sampurasun.” salamku.
“Rampes, siapa ya?”

Terdengar jawaban seorang wanita. Tak berselang lama seorang perempuan yang seumuran dengan kami berdua membukakan pintu, nampak ada wanita lain yang berdiri di ruang dalam. Melihat ke arah kami.

“Punten, Teh, benar ini rumahnya Kang Kopet? Kami temannya dari Medangan Kidul.” aku mengangguk sopan. Tentu saja aku tidak menyebut ‘Meki’ karena singkatan ini biasa hanya dipakai ketika ngobrol dengan teman sebaya yang sudah akrab.

“Oh.. ada apa, ya? Kebetulan Kang Kopetnya sedang tidak ada di rumah.” perempuan itu terlihat curiga.

“Oh gitu ya? Sebenarnya hanya mau mampir dan berkunjung aja, tadi kami habis dari rumah Pak Ndit (orangtua Uncal) mengantar titipan dari Pak Kuncir. Tadinya sekalian mampir ketemu Kang Kopet.” jawabku.

Janadi sedikit melotot mendengar jawabanku karena seolah urung bertamu.

“Siapa, neng?” seorang wanita paruh baya mendekat.
“Ini temannya Kang Kopet dari Medangan.” jawabnya.

“Disuruh masuk dulu atuh, kasihan dari jauh.” wanita itu ramah.
“Tidak apa-apa, Bu, kami permisi aja kalau Kang Kopetnya tidak ada.” jawabku.

“Gak boleh gitu. Ayo mampir dulu, Kopet mah bentaran lagi juga pulang. Gak tahu tuh anak kemana, tapi pasti pulang karena dari pagi belum makan.” jawabnya setengah menggerutu.

Aku dan Janadi menyalami mereka berdua. Ternyata wanita itu adalah Bi Rukinah, mertuanya Kopet, sedangkan wanita muda yang bernama Sri adalah istrinya. “Geulis-geulis dapat suami bajingan,” gerutuku dalam hari.

Kami berdua duduk di ruang tamu ditemani oleh Bi Rukinah, sedangkan Sri pergi ke belakang.

“Jadi Nak Janadi dan Nak Obam ini berasal dari Medangan? Kenal Kopet di mana?” ia memulai obrolan. Aku tidak memberitahu namaku yang sebenarnya, tetapi juga tidak berbohong karena nama lengkapku adalah Sena Wiwaha Obam Taryadi.

“Iya, Bu, dulu kami teman satu sekolah dengan Kang Kopet, kakak kelas dua tahun.” kali ini Janadi yang menjawab.

“Lulus sekolah kami bekerja di pabrik penggilingan padi Pak Kuncir.” aku menambahkan.

Mendengar kami menyebut nama Pak Kuncir, wanita di hadapan kami semakin ramah. “Wah kalian berdua beruntung bisa kerja pada Pak Kuncir; orangnya sangat terkenal baik. Tidak seperti Kopet yang kerjaannya hanya lontang-lantung dan mabuk-mabukan. Ibu mah malu sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi, ibu sudah kehabisan akal menasihatinya.”

“Ngomong-ngomong gimana kabarnya Neng Yuni? Kemarin sempat heboh karena katanya hampir kena musibah.” Bu Rukinah nyerocos. Aku sebenarnya senang karena sikap cerewetnya memudahkan kami untuk mendapatkan informasi tanpa harus banyak bertanya, tetapi tetap saja gondok ketika ia terlihat membenci Sena, pemuda yang tidak dikenalnya. Ingin kusumpal mulut atas dan bawahnya.

Obrolan terhenti ketika Sri datang membawa dua cangkir kopi dan goreng pisang. Lantas duduk di samping ibunya sambil menumpangkan baki di atas pangkuan.

Sial.. Janadi tak hentinya mencuri pandang pada Sri. Perempuan itu memang sangat manis; terutama bibirnya yang seksi-tebal sepertinya nikmat jika dihisap.

Aku berinisiatif bercerita tentang keluarga Pak Kuncir. Tentang keluarganya dan kondisi Yuni sekarang, tentang kebaikannya, dan juga tentang usahanya yang semakin maju. Tentu saja sebagian besar ceritaku adalah bohong.

“Minggu lalu ada dua warga di sini yang kena musibah. Rumah mereka ketiban longsor. Bukan hanya warga sini yang gotong royong membantu, tetapi Pak Kuncir sendiri mengirim bantuan berupa genteng dan semen.” Bi Rukinah kembali nyerocos; sikapnya berbanding terbalik dengan Sri yang lebih banyak diam.

“Pak Kuncir mah baik pisan orangnya. Begitu mendengar ada warga kampung sini yang terkena musibah, ia langsung mengirim bantuan walaupun Pak Kuncirnya sendiri tidak bisa datang. Beda banget dengan lurah kita… ia hanya datang saja dan meminta seluruh warga untuk gotong royong tapi tidak memberi bantuan sepeser pun.” lanjutnya lagi.

Tanpa terasa kami ngobrol ngalor-ngidul. Nadanya selalu sama, kebaikan Pak Kuncir terkenal bukan hanya di Meki tetapi juga di Ciitil. Mengagumkan!!!

Kopi sudah habis, tetapi yang ditunggu tak kunjung menunjukan batang hidung. Bi Rukinah menyadari kegelisahan kami. Maka ia pun meminta Sri untuk menyiapkan makan, sedangkan ia sendiri keluar untuk mencari Kopet. Kami pura-pura menolak. Untung Bu Rukinah keukeuh meminta kami makan dulu, karena kalau tidak, kami malah bingung karena berarti harus pamit beneran.

“Geulis (cantik) anyiiing…” bisik Janadi ketika tinggal kami berdua di ruang tamu.
“Sia.. jaga matamu, nyet.” gerutuku.
“Munapik (pake p) sia. Dari tadi juga sia ngintip pahanya kan?”

Aku hanya bisa nyengir mendengarnya. Pesona Sri membuat aku dan temanku tertarik pada perempuan itu.

“Di rumah hanya bertiga, Teh?” tanya Janadi pada Sri yang sedang menyiapkan makanan.

“Iya, kang. Bapak saya sudah tidak ada.” jawabnya sopan.

Beginilah di kampung. Orang tak dikenal pun bisa diundang makan hanya dengan modal sedikit berbohong.

Sri mempersilakan kami makan. Kami sempat rikuh dan mengatakan bahwa kami akan menunggu Bi Rukinah dan Kopet biar makan bersama, tetapi Sri mendesak kami karena suaminya belum tentu ‘ditemukan’.

Kami pun makan. Sri hanya duduk di pintu dapur, enggan jika harus makan bersama dengan orang yang baru dikenal. Tetapi sikap Janadi yang ceplas-ceplos membuat Sri mencair. Ia mau duduk bersama walaupun tetap tidak ikut makan.

Kami berdua menikmati nasi yang dihidangkan dengan sambal, ikan asin, dan pete bakar. Sudah dingin tetapi tetap terasa nikmat. Sri sendiri tidak lagi sungkan bercerita tentang suaminya; tepatnya mengeluh.

Kopet dikenal sebagai orang yang berangasan. Kerjanya hanya mabuk-mabukan.

“Kenapa atuh Teteh mau nikah ama dia?” Janadi mulai modus.
“Yaah gimana lagi, namanya juga dijodohkan.” Sri keceplosan.

Fix. Sri tidak bahagia. Aku benci dengan pikiranku sendiri yang tiba-tiba menerawang, sedikit memberi kenikmatan mungkin akan menyenangkan. Eh…!! Aku menyambat nama Bi Ira. Aku berusaha sadar. Cinta dan kejantananku hanya untuk wanita itu.

Dari Sri kami mendapat petunjuk tentang cerita malam itu dari versi yang beredar di Ciitil. Suaminya dan Koma pergi menonton sekaligus menemani Uncal yang berpacaran dengan Yuni. Waktu itu Uncal dan Yuni sedang mojok berdua, lantas datanglah Sena. Sisa cerita sama seperti yang beredar di Meki dan Pasir Beha. Sena berusaha memperkosa Yuni, sedangkan Uncal bersama Koma dan suaminya berusaha menolong walaupun harus babak belur karena dihajar.

“Anjing!” gerutuki dalam hati. Cerita yang beredar dengan kejadian yang sebenarnya berbanding terbalik. Janadi yang sadar akan amarahku menendang kakiku untuk mengingatkan agar aku tetap bersikap tenang.

Di tengah makan, terdengar ada orang yang masuk dari pintu belakang. Bi Rukinah terdengar menggurutu. Dan…

Orang yang kami cari datang bersamanya. Ia hanya memakai celana pendek dan kaos singlet belel. Ia nampak terkejut, dan seperti mau melarikan diri.

“Kang Kopeet.. gimana kabarnya, kang?” aku antusias menyabutnya.
“Wah.. wah.. lama sekali kita gak bertemu, kang.” Janadi ikut bersandiwara.

Kopet yang semula takut berubah menjadi bingung.

Aku dan Janadi langsung berdiri menyalaminya, tak peduli pada tangan yang masih belepotan sambal.

“Ka.. kalian…?” Kopet gugup ketika menyambut uluran tangan kami.

“Tah kan.. ari maneh.. masih mabok nya.. ada temannya malah linglung kayak ayam tetelo.” Bi Rukinah kesal pada sikap Kopet.

“Ayo makan, kang.” ujar Sri pada suaminya. Sikapnya lebih berupa takut daripada tulus.

Kopet seperti linglung, tetapi ia nurut. Duduk di hadapan kami berdua. Sri menuangkan nasi pada piring kosong.

“Dari mana, kang? Kami jadi gak enak ngerepotin numpang makan.” ujarku.
“Nongkrong aja di warung.” jawabnya.

Beruntung ada Bu Rukinah yang cerewet. Pembicaraan ia dominasi. Bukan kami yang menyampaikan maksud kedatangan, tetapi malah Bi Rukinah sendiri. Kopet sebetulnya takut dan sikapnya penuh waspada, makannya juga tidak lahap. Tetapi celotehan mertuanya membuat ia tidak memiliki kesempatan untuk bertanya.

“Bu, udah atuh, dari tadi ngomong melulu. Biarkan mereka ngobrol.” Sri mengingatkan ibunya.

“Hehehe… maap.. atuh da ibu seneng teman-temannya Kopet datang. Tolong Nak Jana dan Nak Obam “warah” si Kopet biar tobat.” tetap saja ia ngomel.

Kopet terkejut ketika mendengar Bu Rukinah menyebut nama kami berdua. Tapi…

“Yasudah kalian lanjutkan makannya, gak usah sungkan. Ibu dan Sri mau ke tampian takut keburu sore.” tutur Bu Rukinah.

Dua perempuan itu pamit, dan kami melanjutkan makan.

“Tenang, kang, kami datang tidak ada maksud jahat. Sekarang kami sudah menjadi pegawai di pabrik Pak Kuncir, dan kami datang ke sini untuk menyampaikan titipan.” ujarku ketika terdengar pintu dapur tertutup. Kedua perempuan itu sudah pergi.

“Jangan bohong kalian!!!” sikap Kopet berubah arogan.

“Eiiit… nih buktinya…” Janadi mengambil tas ransel dan mengeluarkan isinya. Sebotol OT ia letakan di atas meja.

“Ini dari Pak Kuncir. Ada misi baru, kang.” Janadi lagi.

Kopet nampak bimbang, tapi botol di atas meja mampu mengalihkan perhatiannya. Aku yang sudah siaga untuk menyerbu pun kembali duduk tenang.

Sekarang malah Janadi yang kebingungan sendiri. Kami belum tahu ada hubungan apa antara Pak Kuncir dengan manusia satu ini. Memang, Kopet sepertinya termakan umpan, tetapi sedikit saja kami salah, semuanya bisa berantakan. Sekarang kami tidak lagi leluasa, kami sudah berada di rumahnya terlalu lama, mungkin para tetangga sudah pulang dari ladang. Sedikit saja berbuat salah, bisa-bisa malah kami berdua yang dikeroyok.

“Gini, kang…” aku berinisiatif mengarang cerita.

“Aku sudah melupakan kejadian malam itu. Pak Kuncir sudah menceritakan semuanya. Aku sebenarnya marah, tapi akang tahu sendiri, Pak Kuncir itu sangat baik, ia banyak membantu keluargaku di Pasir. Makanya aku bisa menerima alasan Pak Kuncir, sekarang aku malah bisa kerja di pabriknya.”

“Terus ada misi apa?” Kopet mulai terpengaruh ceritaku.

“Jangan di sini ngobrolnya, kang, bahaya kalau didengar tetangga. Kita mencari tempat aman biar sekalian bisa minum-minum, masih ada dua botol di dalam tas.” Janadi menyahut sambil menunjukan sisa botol di dalam tas.

“Kalian tidak berbohong, kan?” Kopet ragu.

“Ealah.. Kang Kopet. Kalau kami ada maksud jahat, mana berani kami datang ke sini, kang. Itu mah sama aja kayak oray nyempeurkeun paneunggeul (ular nyamperin penggebuk).” jawabku.

“Hahaha.. iya juga sih. Itu mah sama aja kalian cari mati di kandang singa.” Kopet terpengaruh omonganku dan mulai percaya.

Tak berselang lama, kami bersama-sama meninggalkan rumah. Kopet mengajak kami menyusuri jalan kampung, menuju ‘markas’ mereka. Rupanya markas yang dimaksud adalah pos kamling yang terletak di dekat tugu masuk kampung. Aku dan Janadi saling lirik, rupanya tongkrongan mereka bukanlah tempat sepi dan tersembunyi. Kami harus lebih waspada.

“Siapa mereka, kang?” seorang pemuda yang sedang nongkrong bertanya kepada Kopet. Total ada tiga orang di dalam pos.

“Anak buah dunungan (majikan) aing ti Ciitil. Mawa rejeki yeuh.” jawab Kopet.

Rupanya Kopet adalah orang yang cukup berpengaruh di antara mereka. Ketiganya percaya dan tidak menaruh curiga pada kami berdua setelah mendengar penuturan dari Kopet. Sebaliknya, mereka senang karena kami membawa minuman.

Dari perkenalan singkat, nama mereka adalah Mbut, Jakar, dan Kulat.

“Kurang atuh tiga botol mah.” celetuk Jakar.
“Tenang, kang, tiga juga jaminan mutu ini mah.” jawab Janadi.

Minuman dan rokok menjadi pemersatu di antara kami yang baru saling mengenal. Kopet pun sudah mempercayai kami.

Botol pertama habis. Tidak ada perubahan. Mereka adalah peminum sehingga tidak gampang mabuk. Tapi tanpa mereka sadari, Janadi sudah memasukan sebuah dedaunan kering yang hanya tumbuh di kampung kami.

“Eh ngomong-ngomong Kang Koma kemana, kang?” tanyaku. Padahal aku dan Janadi sudah tahu kalau pria itu sedang ke kota dengan Uncal.

“Halah palingan masih ngewe dengan istrinya Pak Ndit. Hahaha…” jawab Kopet sambil terbahak. Botol kedua sudah habis setengah, dan efek ramuan sudah mulai bekerja. Obrolan mereka mulai tidak tersaring. Kopet juga mulai lupa pada maksud kedatangan kami yang mau menyampaikan misi dari Pak Kuncir. Ini cukup melegakan karena kami tidak harus mengarang cerita tambahan.

Aku dan Janadi saling lirik sambil menghembuskan asap rokok. Ucapan Kopet sudah menjadi petunjuk bahwa Koma -dan mungkin juga Kopet- selingkuh dengan istri juragan di kampung ini. Dan wanita itu berarti ibunya Uncal.

Informasi ini sangat mengejutkan. Tetapi juga menyukakan hatiku. Aku menemukan cara untuk membuat Kopet dan Koma digebukin orang sekampung.

“Bukannya si Koma mah sedang ke kota bareng Uncal, kang?” celetuk Mbut sambil membuka botol ketiga.

“Ya kan bisa aja ngewenya di kota!” Kopet tidak mau kalah.

“Tapi da Bu Ndit mah tidak ikut ke kota.” Kali ini Jakar yang menyanggah.

“Ya bisa aja kontol si Koma panjang, orangnya di kota, tapi kontolnya merayap sampe kamar Bu Ndit, walau mungkin hanya ujungnya doank!”

Mereka bertiga tertawa. Aku dan Janadi juga ikut tertawa. Mendengarkan obrolan orang yang sedang mabuk ternyata menyenangkan.

Dari arah kampung aku melihat Ruko dan Pento mendekat. Aku memberi kode supaya mereka jangan bergabung. Beruntung mereka paham, keduanya berbelok menuruni jalan, menyusuri pematang sawah yang kering; menuju sebuah saung yang jaraknya sekitar dua ratus dua puluh tujuh meter dari tempat kami berada.

“Kampret sia mah, kang.” ujarku sambil pura-pura setengah mabuk. “Kalian yang mau memperkosa si Yuni, tapi aing yang dituduh. Haha…”

Kopet dan teman-temannya ikut tertawa. Jawab Kopet, “Sia nu ******. Mau-maunya dikibulin.”

Aku dan Janadi melakukan pancingan-pancingan kecil. Informasi pun kami dapatkan dengan mudah; tanpa harus berkeringat.

“Emang Yuni masih perawan, kang? Kalau tidak keburu ada polisi mah, setelah menghajar kalian, aku pengen tuh nyuwir selangkangannya.” celotehku lagi. Bukannya marah, Kopet malah terbahak. Sementara dua temannya sudah tumbang. Sisa satu lagi, itu pun hanya melongo dengan sorot mata kosong.

“Matakna si Uncal pengen memperkosa si Yuni juga karena dia masih perawan, anying.” jawab Kopet setelah menenggak isi botol ketiga. Setengah ngelantur ia pun menyampaikan bahwa Uncal sudah berulang kali ingin bercocok tanam pada selangkangan Yuni, tetapi gadis itu selalu menolak, dengan alasan mau menunggu sampai halal dulu. Kejadian malam itu memang sudah mereka rencanakan, Uncal mau memperkosa pacarnya sendiri.

“Tapi beneran aku salut pada kalian bertiga.” ujarku sambil pura-pura mual mau muntah. “Jagolah.. hebat… kalian bisa memutar balikan fakta bahwa aku yang mau memperkosa Yuni.”

“Hahaha.. sia nu ******, anying.” Kopet terbahak. “Salah satu polisi itu mamangnya si Uncal.”

Jedeeeerrrr!!!

Aku kaget mendengarnya. Janadi tak kalah kagetnya. Kami saling lihat satu sama lain.

“Pak Kuncir tahu?” kali ini Janadi yang bertanya.

“Ya nggaklah. Hahaha… ****** tuh orangtua… dia malah memuji-muji si Uncal jeung aing.”

“Husssh.. katanya majikan tapi dibilang ******.” celetuk Janadi.
“Ya, memang ******.” jawab Kopet.
“Hahahahha…” kami semua tertawa.

“Hidup ******, anying!! Hahaha…” Mbut yang tidak tahu menahu ikut menyahut, lalu tersungkur karena pengaruh OT yang dicampur ramuan rahasia sudah bekerja maksimal.

Fix. Mereka bertiga telah memutar balikan fakta atas bantuan pamannya si Uncal, dan Pak Kuncir tidak tahu. Pertanyaan berikutnya, kalau memang Pak Kuncir percaya bahwa aku berusaha memperkosa putri semata wayangnya, lalu mengapa ia dengan mudah mau memaafkanku dan bahkan mau membebaskanku dari jeratan hukum? Mengapa pula Yuni hanya diam dan tidak menjelaskan apapun kepada ayahnya?

Kopet sudah benar-benar mabuk dan tidak bisa diajak bicara lagi. Ia terkapar karena pengaruh ramuan rahasia yang kami campurkan ke dalam OT.

“Eksekusi sekarang?” tanya Janadi.

“Panggil mereka.” jawabku.

Janadi bersiul, dan kedua temanku yang lain keluar dari saung. Mereka mendekat setelah sebelumnya Janadi melambaikan tangan.

“Bagaimana aman?” tanya Ruko ketika keduanya sudah sampai.
“Seperti yang kalian lihat. Tapi aku punya rencana baru.” jawabku.

“Apa?”
“Aku ingin Koma dan Kopet digebukin warga sekampung.” jawabku setengah berbisik.

Kami berempat berdiri di depan pos dan berbicara setengah berbisik. Sebetulnya selama kami berada di dalam pos kamling, beberapa warga lewat dan melihat kami. Tetapi mereka sendiri takut karena ada si Kopet. Maka ketika mereka juga melihat kami berempat, warga yang kebetulan melihat malah langsung menjauh dengan langkah panjang.

“Ternyata ibunya si Uncal selingkuh dengan si Koma, mungkin juga dengan si Kopet.” ujarku. Lalu aku membeberkan rencana baruku. Ketiga temanku menyambut dengan antusias.

Setelah semua sepakat. Giliran Ruko dan Pento yang menceritakan hasil kunjungan mereka ke rumah Koma. Rumah kosong, tetapi ada tetangga yang kasihan begitu tahu bahwa Ruko dan Pento datang dari jauh.

Mereka dipersilakan istirahat dulu sebelum kembali ke Meki. Tentu saja sambil disuguhi makanan. Dari sana mereka mendapat informasi yang nadanya kurang lebih sama. Pak Kuncir sangat terkenal karena kemurah-hatiannya, berbeda dengan juragan Ndit yang dianggap sebagai juragan yang pelit.

“Informasi lainnya, sebetulnya warga sudah muak dengan kelakukan Koma dan Kopet yang meresahkan warga dan memberi pengaruh buruk pada pemuda lainnya.” ujar Ruko.

“Kenapa mereka tidak diusir saja dari kampung?” tanyaku.

“Warga tidak berani. Mereka adalah orang-orang kepercayaan Pak Ndit dan si Uncal. Bukan hanya mereka, Bu Ndit juga selalu membela ketika warga mempergunjingkan kedua bajingan itu.” jelas Ruko.

Aku dan Janadi mengangguk. Kini aku semakin menemukan benang merah antara pengakuan Kopet dan cerita mereka. Karma mereka sudah di depan mata.

Kami terus berbicara sambil mematangkan rencana, tanpa takut si Kopet dan ketiga temannya bangun. Pengaruh ramuan akan bekerja selama kurang lebih dua jam.

Kami berempat bergerak ketika suasana sudah benar-benar sepi. Sementara di kejauhan terdengar beduk maghrib. Dengan gesit kami nyumpal mulut dan mengikat tangan serta kaki si Mbut, Jakar, dan Kulat. Tak satu pun yang terbangun.

Setelah semuanya beres. Kami setengah menyeret si Kopet keluar dari pos. Kami membawanya menjauh dari kampung dan menggeletakannya di tengah jalan.

“Aku kira di sini sudah cukup aman.” ujarku.

“Sekarang kalian bertiga kembali ke pos, jika mereka tidak mau kerjasama, hajar mereka!” perintahku lagi.

“Kamu yakin bisa sendiri?” Pento nampak khawatir.
“Aman. Kalau pun tidak berhasil, aku akan menyusul kalian.”

Kami saling menyatukan tinju. Misi sesungguhnya baru akan dimulai malam ini.

Hari sudah gelap. Jangkrik dan binatang malam bersahutan. Mataku memandang bayangan ketiga temanku yang menjauh. Kusulut sebatang rokok Sriwedari.

Aku menunggu dengan waspada. Aku harus bergerak cepat jika ada warga yang lewat, atau jika si Kopet sadar sebelum waktunya.

Sejam kemudian terdengar suara raungan kendaraan yang sedang menanjak. Suaranya semakin keras dan mendekat. Kubuka ikatan tangan si Kopet lantas meloncat ke pinggir jalan, bersembunyi di balik semak.

Jantungku berdetak lebih cepat ketika sorot kendaraan mulai memancar. Adrenalinku meningkat.

Sebuah truk colt diesel mendekat dan melewatiku persembunyianku. Denyit rem terdengar keras, dan truk pun berhenti. Kulihat Koma keluar dari pintu sopir.

“Anjing, si Koma dihajar orang.” teriak Koma.

Si Uncal menyusul keluar dan keduanya mengerubuti si Kopet yang terkapar. Aku tak membuang kesempatan. Aku keluar dari persembunyian dan menyelinap ke belakang truk. Merayap naik dan menjatuhkan diri di atas tumpukan karung. Aku mendengar kepanikan berubah menjadi makian.

“Bangsat ni orang, mabok di tengah jalan. Mana sendirian lagi.” gerutu Uncal. Prang suara botol kosong yang dibuang terdengar. Sempurna!!! Botol OT yang kutaruh membuat mereka yakin bahwa si Uncal hanya mabuk. Lagipula tidak ada tanda bekas pukulan pada tubuhnya.

Truk sedikit bergoyang. Mereka berdua sedang berusaha memasukan si Kopet ke dalam mobil. Tak lama kemudian mobil pun bergerak kembali. Aku tidak bisa lagi mendengar percakapan mereka, tertutupi suara mesin dan knalpot.

Aku menghela nafas lega ketika truk melewati pos yang sudah kosong. Teman-temanku telah melaksanakan tugas mereka.

Sial bagiku. Keadaan halaman rumah -sekaligus warung- Pak Ndit rupanya cukup terang. Pilihanku saat ini hanyalah diam dengan sangat tegang. Aku bahkan seperti mendengar detak jantungku sendiri ketika mesin dimatikan.

“Gimana ini, boss?” terdengar suara si Koma.
“Gimana.. gimana apanya?!” Uncal Sewot. “Turunkan si Kopet dan tidurkan di teras.”

Tak lama kemudian terdengar suara pintu rumah yang dibuka. Suara ramah seorang perempuan berubah panik. Ada suara lain juga. Sialnya, untuk mengintip pun aku tidak bisa.

“Yasudah.. Koma, kamu urus si Kopet dulu. Turunin barangnya besok aja.” terdengar suara seorang lelaki.

Aku bernafas lega mendengarnya. Aku aman di tempat persembunyian padahal tubuhku sudah berkeringat karena memikirkan segala kemungkinan.

Sisanya aku tak bisa lagi mendengar percakapan mereka dengan jelas. Mereka sepertinya masuk rumah walaupun tidak terdengar suara pintu ditutup. Aku tidak mau mengambil resiko, tetap diam adalah pilihan.

Semenit.. lima menit… dua puluh tujuh menit… sejam… keadaan masih belum aman. Aku bosan menunggu.

Kupelorotkan celanaku, lantas mengubah posisi jadi tengkurap. Kuposisikan penisku yang sedikit tegang di sela-sela tumpukan karung. Cuuuurrr… air kencingku mengalir dengan deras. Aku tidak peduli pada isi karung, peduliku adalah kantong seni harus dikosongkan.

Peeeettt… setengah jam kemudian lampu halaman mati, berganti bohlam kecil di teras. Ceklek… pintu rumah terdengar ditutup. Aku melongok untuk mengamati situasi. Kutelaah keadaan rumah Pak Ndit dan para tetangganya.

Dari kejuahan terdengar suara burung hantu tiga kali. Itu adalah kode. Ketiga temanku sudah siap dengan rencana berikutnya.

Aku merayap turun dari atas truk, lalu meninggalkan halaman. Sedikit berputar melewati dua rumah lantas menyelinap menyusuri sebuah gang sempit. Tak lama kemudian aku tiba di belakang rumah Pak Ndit; berlindung di balik kandang ayam. Di belakang rumah rupanya ada halaman luas dan sebuah saung. Kulihat Uncal dan Koma ada di sana; Kopet juga sudah sadar walaupun tampak masih linglung. Ia menjadi bulan-bulanan makian.

“Cal, kamu istirahat dulu, kan capek habis perjalanan.” seorang perempuan keluar dari arah pintu.

Posisi mereka cukup terang, sedangkan aku gelap, sehingga aku bisa mengawasi mereka dengan leluasa. Fokusku kali ini adalah pada sang wanita yang kuyakin Bu Ndit. Seorang wanita berkerudung dengan daster longgar. Aku harus mengakui bahwa wanita itu cantik dan montok. Dadanya membusung pertanda isinya besar.

“Nanti, Bu, saya mau mandi dulu.” jawab Uncal.
“Yaudah buruan sekarang biar gak masuk angin. Koma dan Kopet kalian nginap di sini atau pulang?”

“Nginap di sini, bu. Tapi saya mau pulang dulu untuk mandi dan ganti pakaian.” jawab Koma.

Kulihat Uncal masuk ke dalam rumah. Bu Ndit juga masuk tapi ia berhenti di dapur. Setelah tubuh Uncal menghilang, Koma juga masuk.

Si Kopet tidak bohong. Kulihat Koma langsung memeluk Bu Ndit dan menciumi wajahnya. Bu Ndit berontak sebentar sambil mengamati keadaan. Ia akhirnya luluh, keduanya terlibat cumbuan yang panas.

Kuyakin si Kopet melihat aksi mereka juga, tetapi karena kesadaran belum penuh, ia nampak tidak peduli. Ia malah menjepitkan ibu jarinya di antara telunjuk dan jari tengah dan mengacungkannya ke arah mereka.

Aku waspada ketika mendengar suara ranting terinjak. Sigap aku menengok.. begitu tahu siapa yang datang aku memberi kode supaya tenang. Kuberi kode ke arah rumah. Janadi terbelalak.

“Anyiiiiing…” perangah Janadi.

“Aman? Mana yang lain?” bisikku.

“Mereka bertiga sudah takluk dan siap menuruti perintah. Apa rencana selanjutnya?” jawab Janadi.

“Kita jangan menunggu warga kampung tidur. Kita harus bisa masuk rumah.” jawabku. Kujelaskan pula bahwa saat ini Uncal sedang mandi.

“Sepertinya mereka juga berencana bercocok tanam, jadi kita tidak usah memaksa si Koma.” bisik Janadi sambil menunjuk ke arah dua manusia yang masih bercumbu.

“Kita berdua akan masuk melalui pintu depan, tapi kita masih butuh satu orang lagi untuk berjaga di sini.” aku membagi tugas.

Tanpa menjawab, Janadi langsung berjingkat pergi. Tak lama kemudian ia kembali bersama Ruko. Kujelaskan rencana berikutnya kepada mereka berdua.

Bersamaan dengan itu, kulihat Koma keluar rumah, dan Bu Ndit masuk ke ruang tengah.

Aku dan Janadi mundur keluar dari persembunyian, menyusuri gang yang tadi kulewati. Langkah kami kubuat wajar dan biasa. Tak lama kemudian kami sampai di halaman depan. Kami berdua mengangguk, lalu serempak berjalan menuju pintu warung sekaligus bagian depan rumah. Kami seperti dua orang yang hendak bertamu.

Dari celah gorden aku bisa mengintip. Warung nampak kosong, sedangkan dari ruang tengah terdengar suara televisi.

Kuputar grendel pintu. Skenario pertama adalah langsung masuk jika tidak dikunci, dan skenario cadangan adalah mengetuk.

Kuputar pelan. Ceklek…

Kami beruntung karena pintu belum dikunci, tetapi tetap saja bunyinya cukup keras.

“Siapa?” terdengar suara Pak Ndit.

Aku dan Janadi berkelebat masuk tanpa menjawab; dan tak sempat menutup pintu sampai rapat. Tubuh kami menempel pada tembok yang menjadi pembatas dengan ruang tengah. Kutarik sarung yang kuselendangkan menjadi cadar. Begitu pula Janadi.

“Ibu, lain kali kalau nutup pintu yang rapat, dikunci sekalian.” teriak Pak Ndit, langkahnya mendekat.

“Maaf, ibu lupa. Bapak tolong tutup, ibu lagi mencuci perabotan bekas makan.” terdengar jawaban Bu Ndit dari arah belakang.

Sebuah bayangan melewati kami berdua, sedetik kemudian sebuah sosok muncul. Haaaap…. langsung kutangkap tubuh yang lewat. Kubekap pula mulutnya. Ruko tidak membantu, ia langsung masuk ke ruang tengah. Tujuannya adalah mencari Uncal.

“Buuuukkkk.. buuuuk…” kupukul ulu hati Pak Ndit dua kali. Pria paruh baya itu meronta dengan mata melotot. Tetapi teriakannya tidak keluar karena mulutnya tetap kubekap dengan tangan kiri.

Tap.. tap.. duuuk… beberapa jurus totokan kudaratkan. Pak Ndit pun lemas tak sadarkan diri tanpa perlawanan. Aku memang tidak berniat mencelakainya, maka yang kulakukan hanya membuatnya pingsan.

Aku tidak kewalahan dengan bobot tubuhnya meskipun gendut. Langsung kubopong menuju ruang tengah. Janadi masih berdiri di sana. Ia menggeleng pertanda tidak bisa langsung ke belakang karena ada Bu Ndit.

“Kamu jaga di sini.” bisikku.

Aku urung menidurkan Pak Ndit di atas sofa. Aku mendorong pintu kamar dengan kakiku, ternyata kamar kosong. Aku menuju kamar sebelahnya. Kulihat keadaan, setelah yakin bahwa ini adalah kamar bapak dan ibu Ndit, langsung kurebahkan tubuhnya di atas kasur. Tak lupa menyelimutinya.

“Kita ciduk saat mereka bercinta atau kita buat seolah-olah Bu Ndit diperkosa?” bisik Janadi.

“Tujuan kita adalah balas dendam pada para cecunguk itu, bukan pada Bu Ndit. Kita buat seolah Bu Ndit diperkosa. Lagi pula kalau menunggu mereka bercinta, takutnya keburu malam, karena mereka pasti menunggu semua penghuni rumah tidur.” aku berpikir cepat.

Tok tok tok.

Sial. Terdengar suara ketukan pada pintu depan.

“Punten.. Bu… punten mau beli rokok.” terdengar suara.

Kepanikan berubah seringai, ini adalah kesempatan. Kutarik tangan Janadi menuju kamar kosong.

“Pak, tolong buka pintu, itu ada yang mau beli.” terdengar suara Bu Ndit.

Tentu saja tidak ada jawaban.

Ketukan kembali terdengar.

“Haish si bapak kemana sih?” gerutu Bu Ndit.

“Kamu urus Bu Ndit, aku akan meringkus si Uncal.” bisikku pada Janadi.
“Kita tuker. Kamu yang urus Bu Ndit, jurus totokmu akan membuat pekerjaan kita lebih mudah.” jawabnya.

Janadi ada benarnya. Tak terselang lama terdengar suara Bu Ndit yang menggerutu. Rupanya ia sudah melihat suaminya tidur di kamar karena memang pintunya tidak kututup. Ia terdengar semakin kesal karena TV tidak ia matikan.

Hanya butuh waktu lima menit bagi aku dan Janadi untuk menunggu. Begitu terdengar si pembeli pamit dan pintu di tutup, kami langsung merapat.

Sreeeet…

“Siapa kaaalllll….”

Taaaap… sigap kubungkap mulut Bu Ndit. Desh… desh… tiga totokan berhasil kudaratkan. Bu Ndit langsung menggelosor lemah. Sorot mata Bu Ndit terlihat shock, tapi ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Berbicara pun tidak.

Kupangku tubuhnya ke dalam kamar dan kubaringkan di samping suaminya. Bersamaan dengan itu terdengar sedikit suara keributan di dapur. Aku hanya bisa berharap Janadi bisa melumpuhkan Uncal seorang diri karena tugasku dengan Bu Ndit belum selesai.

“Saya akan membuka totokan ibu, tapi ingat, sedikit saja berteriak. Nyawa suami dan anak ibu jadi taruhannya.” bisikku sambil mencengkeram leher suaminya.

Bu Ndit tentu saja tidak menjawab tetapi sorot matanya menunjukan ketakutan.

“Ibu mengedip dua kali jika setuju.”

“Aah tolong!” terdengar erangan tertahan dari arah dapur.

“Anak ibu akan mati.” aku semakin mengintimidasi.

Bu Ndit pun mengedip dua kali disertai lelehan air mata.

Desssh.. kutotok bagian leher Bu Ndit. Ia langsung membuka mulut, tapi kutempelkan telunjukku pada bibirnya agar suaranya tidak terlalu keras.

“Siapa kamu? Tolong jangan sakiti kami.” bisiknya diikuti isakan.

“Aku sudah mengetahui perselingkuhan ibu dan Koma.” aku tak menghiraukan pertanyaannya. Mata Bu Ndik terbelalak.

“Siapa kamu? Hiks… hiks… kamu jangan memfitnah saya.” aku menyeringai mendengar ucapannya, tetapi tentu saja Bu Ndit tidak bisa melihat karena wajahku dilindungi sarung.

“Koma sudah mengaku sendiri dan dia sudah kami ringkus. Ibu harus menurut pada perintahku, sebab kalau tidak, Koma akan mengaku di depan semua warga bahwa ia sudah meniduri ibu.” aku semakin mengintimidasinya.

“Kamu jangan berbohong. Koma sudah berjanji tidak akan mengaku kepada siapapun.” Bu Ndit berkilah.

“Hehe.. ucapan ibu barusan sudah menjadi bukti bahwa kalian memang selingkuh.”

Mendengar perkataanku, Bu Ndit langsung terdiam. Ia sudah mengakui kelakuannya sendiri tanpa sadar.

“Tolong.. jangan…” Bu Ndit terbata-bata lantas diam karena tidak tahu harus berbicara apa.

“Ibu harus melayani Koma dan Kopet malam ini di ruang TV. Kalau tidak, maka nyawa suami dan anak ibu akan melayang malam ini juga.”

“Hiks.. hiks.. tolong jangan…”

“Selain mereka akan mati, aku juga akan membongkar perselingkuhan ibu di depan warga.”

Bu Ndit semakin ketakutan, sementara aku terus mengintimidasinya.

“Kelamaan anying!!” Janadi dan Ruko sudah berdiri di ambang pintu.

“Lihat.. aku tidak seorang diri. Dan anak ibu sudah kami tangkap.” ujarku pada Bu Ndit. Wanita itu menangis. Sebenarnya aku sangat kasihan melihatnya, tetapi aku tidak punya pilihan lain, dendam harus dituntaskan.

Bu Ndit sudah tidak punya pilihan, ia akhirnya menyanggupi permintaanku. Kubopong tubuhnya ke ruang tengah dan kubaringkan di atas sofa.

“Kami ada sepuluh orang. Dan bersembunyi di semua ruangan, kalau ibu tidak mau melayani Koma dan Kopet, ibu sudah tahu akibatnya.” Ia nampak percaya pada kebohonganku dan mengangguk takut.

“Ibu akan bisa bergerak dalam waktu sepuluh menit lagi. Tetap di sini!!” perintahku.

Kami bertiga bergerak menuju dapur. Kulihat Uncal sudah terkapar di atas lantai, kedua tangannya sudah diikat, dan mulutnya dibebat.

“Bagaimana dengan Kopet?” tanyaku.
“Dia tidur, jadi tidak mengetahui kedatangan kita.” jawab Ruko. Ia juga menjelaskan keadaan Mbut, Jakar, dan Kulat yang sedang bersama Pento.

Kami menyeret Uncal ke dalam kamarnya.

“Jangan sakiti anak saya, hiks.. hiks…” Bu Ndit merintih ketika melihat keadaan anaknya yang babak belur.

“Ibu tahu akibatnya kalau tidak nurut.” ujarku. Uncal sendiri masih limbung oleh rasa sakit pada tubuhnya sehingga tidak terlalu menyadari keadaan ibunya.

“Saatnya kita menonton.” Ruko antusias.
“Interogasi dulu si Uncal.” tukasku.

“Aman. Dia sudah mengaku tadi di dapur. Nanti kuceritakan.” sahut Janadi.

Aku mengangguk. Aku kagum pada Janadi yang bisa melumpuhkan Uncal dan menginterogasinya dalam waktu singkat.

Kami bertiga keluar kamar, meninggalkan Uncal yang meronta tidak berdaya. Aku kembali ke kamar Pak Ndit, sedangkan kedua temanku bersembunyi di dalam warung. Kuikat tangan dan kaki Pak Ndit sehingga seolah-olah menjadi korban penganiayaan. Setelahnya aku menyusul kedua temanku ke dalam warung tanpa peduli pada Bu Ndit yang menatap aksiku sambil berlinang air mata.

“Mantap.” pujiku. Rupanya di dalam warung bukan hanya ada Ruko dan Janadi, melainkan juga sudah ada Pento bersama ketika anak buah si Kopet. Mereka tidak diikat.

Waktu terasa merambat lambat. Kami berempat menghisap rokok yang diambil dari dalam rak.

“Ibu kok sendiri?” terdengar suara. Rupanya Koma sudah datang.

“Bu.. bu.. kok malah bengong?”
“Eh.. iiiya… euuh… bapak dan si Uncal sudah tidur.” Bu Ndit akhirnya menjawab dengan gugup.

“Hehehe.. ibu kok gugup? Sudah gak tahan ya?” Koma terkekeh menggoda.
“Iya.”

Kami berempat serempak mengendap. Kami sama-sama tegang. Kali ini bukan tegang karena aksi kami, melainkan karena tontonan gratis yang akan segera kami saksikan. Mbut, Jakar, dan Kulat malah ikutan mengintip.

“Ayo, bu, saya juga sudah tidak tahan.” ujar Koma sambil tangannya menarik tangan Bu Ndit supaya bangkit.

“Kita di sini saja.” jawab Bu Ndit.
“Hah? Ibu yakin?” Koma terperangah.
“Sensasinya pasti berbeda.” ujar Bu Ndit lagi disambut seringai senang Koma.

Sebetulnya ucapan Bu Ndit tanpa ekspresi, tetapi Koma yang sudah mulai bernafsu sepertinya tidak terlalu menyadari itu.

“Bercinta dekat suami dan anak sendiri pasti menyenangkan, asal jangan terlalu berisik agar mereka tidak bangun.”

Kami saling lirik satu sama lain. Sungguh tidak menyangka Bu Ndit bisa bersandiwara seperti yang kuminta. Ketakutan amat sangat membuatnya tidak bisa berpikir panjang.

Koma langsung bergerak untuk menindih Bu Ndit tetapi wanita itu menahan dengan kedua telapak tangan. Lantas ia berbisik pada telinga Koma.

Tak berselang lama, Koma setengah berlari ke belakang. Ia nampak terburu karena sudah tidak tahan. Bu Ndit melihat ke arah kami bersembunyi, sepertinya ia mau memelas supaya rencana ini dibatalkan.

Tak berselang lama Koma sudah kembali sambil setengah menyeret Kopet yang terkantuk-kantuk.

Koma yang sudah tidak sabar langsung melucuti pakaiannya sampai telanjang. Penisnya sudah tegang. Hampir muntah aku melihatnya karena yang kuintip adalah sesama batang.

“Kecil anying!” Pento berbisik.

Kami langsung membekap mulut masing-masing karena nyaris ngakak mendengar celotehannya.

Koma langsung mendekati Bu Ndit dan menarik ujung daster wanita itu. Kopet duduk di lantai sambil melongo. Sepertinya efek mabuk dan kantuknya perlahan luntur.

“Jangan coli masal.” ujar Pento lagi ketika daster Bu Ndit sudah sampai ke pinggang, memamerkan kulitnya yang mulus. Celana dalam hitam ia kenakan.

Hmmmmfff… Janadi menonjok perut Pento sambil tertawa tanpa suara.

“Kampreet..” keluh Pento. Beruntung TV tidak dimatikan sehingga suara kami masih tersamar.

Adegan panas pun mulai terlihat. Bu Ndit hanya tinggal mengenakan kerudung dan celana dalam. Wanita paruh baya itu memang montok, payudaranya putih dan besar. Bibir dan wajahnya sensual.

Bu Ndit mengangkat pinggulnya ketika Koma melorotkan celana dalamnya. Tangannya meraih pakaian pria itu dan melemparnya ke arah kami berada.

Kami sama-sama terpaku. Bu Ndit sudah benar-benar telanjang. Gundukan hitam mahkota kelaminnya nampak lebat dan menggiurkan. Penisku mau tidak mau menegang.

Koma yang sudah dipuncak birahi langsung mencumbu dan menggumuli Bu Ndit. Melihat adegan gratis, Kopet pun mulai bereaksi. Ia berdiri dan menelanjangi diri. Kami nyaris kembali tertawa ketika melihat pion mini miliknya.

Sebetulnya, kalau Koma dan Kopet tidak sedang terbakar birahi mereka bisa merasakan ada keganjilan. Bu Ndit terlihat sangat pasif dan sama sekali tidak menikmati. Lenguhan dan rintihan kecil yang keluar dari bibirnya hanyalah akal-akalan.

Pluuuuk… kali ini pakaian si Kopet yang dilempar ke arah kami oleh Bu Ndit. Ruko langsung mengamankan dan menyembunyikan pada dus bekas mie instant.

“Puasin ibu.. ah… siksa ibu…” ujar Bu Ndit. Bagi kami suara itu penuh paksaan, tetapi bagi Koma dan Kopet menaikan daya rangsang. Bu Ndit langsung dikerubuti. Seluruh area sensitifnya digerayangi.

Bu Ndit meminta supaya Koma mengikat tangannya. “Pengen ngewe sambil membayangkan sedang diperkosa.” ujarnya.

Ucapan vulgar Bu Ndit membuat birahi keduanya terbakar. Koma melakukan apa yang wanita itu minta. Ia melepas kerudung Bu Ndit dan dipakai untuk mengikat kedua tangannya. Kopet sendiri langsung mengarahkan minionnya pada vagina Bu Ndit.

Aku langsung memberi kode. Kami serempak keluar dari warung tanpa menutup pintu. Kami melakukan aksi senyap.

Mbut mengetuk rumah tetangga depan, Jakar mengetuk rumah tetangga samping kiri dan kanan. Aku dan ketiga temanku langsung menyelinap ke belakang rumah, bersembunyi di ke gelapan. Kami masih harus memastikan semua skenario berjalan lancar.

Tak berselang lama kulihat beberapa warga mengendap memasuki halaman belakang. Kuharap di depan juga sudah mulai berkumpul orang.

Mereka menerobos masuk.

“Maliiiing…!!!”
“Pemerkosa…!!!” teriakan mulai terdengar, disambut keributan dari arah pintu depan.

Tak berselang lama suara kentongan ditabuh, semakin ramai dan bersahutan. Rumah Pak Ndit ditingker banyak orang.

Kami tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Kami melenggang pergi dengan senyum penuh kemenangan.

Kali ini kami tidak memakai jalan berputar melewati jalan raya seperti awal kedatangan. Kami menyusuri perkebunan, sawah, dan ladang, juga hutan. Saling bercerita, saling berbagi hasil penyelidikan, dan saling tertawa penuh kemenangan. Juga saling ‘menyesal’ karena uang hasil menjual hasil bumi di pasar habis untuk membeli OT dan menyogok Mbut, Jakar, dan Kulat.

“Kalau si Sri menggugat cerai, aing mau lah menampung jandanya.” celetuk Janadi.

Kami semua tertawa, tetapi hawa-hawanya aku menangkap keseriusan di balik nada suaranya.

Kami tiba di kampung ketika subuh tiba. Kami butuh tidur di saat warga lainnya mulai bangun. Kami berpisah setelah janjian untuk kumpul nanti malam.

Aku tidak pulang ke rumah karena uwa pasti akan curiga aku pulang subuh. Padahal waktu berangkat aku bilangnya mau nginap di rumah teman sekolah dulu. Langkahku panjang menuju rumah Bi Ira. Birahiku yang sempat terpancing karena melihat tubuh telanjang Bu Ndit butuh penyaluran.

Kurogoh penisku yang tiba-tiba tegang karena membayangkan tubuh polos Bi Ira.

“Tenang, sebentar lagi kita bercocok tanam.” aku ngomong sendiri.


Bersambung….
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd