Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA SENA JATUH CINTA

- Part 6 -



Pagi masih gelap. Aku dan Bi Ira menyusuri jalan setapak, menuju saung sawah miliknya. Kulihat tubuhnya sedikit menggigil karena kedinginan.

Tadi aku membangunkannya karena aku sangat kangen. Ia begitu senang melihatku karena kemarin kami tidak bertemu seharian. Tapi entah mengapa, Bi Ira menolak ketika kuajak bermesraan di rumahnya. Akhirnya kami sepakat untuk mandi di kolam, dan langsung menuju saung sawah yang cukup terpencil.

Setelah menyusuri jalan setapak yang membelah perkebunan singkong milik uwa, kami berbelok menyusuri sebuah parit kering. Di bawah kami membentang pesawahan yang belum digarap karena musim hujan tak kunjung tiba. Setibanya di belokan bukit, kami menuruni jalan, dan menyeberangi pematang sawah.

Nampak rambut Bi Ira tergerai karena terpaan angin, dan pinggulnya bergoyang mengundang rangsang. Ia juga tidak sungkan minta kutuntun ketika menuruni jalan tanpa undakan. Kami sudah begitu mesra sepagi ini.

Kami sampai di ujung pematang lalu berbelok menuju saung. Ia langsung masuk, sementara aku mengamati suasana sesaat. Setelah dirasa aman, aku ikut masuk dan meraih tikar yang digulung di bawah atap lalu kubentangkan di atas bale-bale.

Kutata kayu bakar lalu kusulut dengan memakai daun kelapa kering. Kami tak perlu takut mengundang perhatian orang karena pesawahan warga umumnya berada di utara, sehingga sedikit kemungkinan ada orang yang datang ke tempat ini sepagi ini.

Api pun menyala dan asap mengepul, menghentikan suara jangkrik di kolong bale-
bale. Setelah perapian cukup menyala dan mengeluarkan bara, aku berbalik ke arah bale-bale.

Nampak Bi Ira sedang mengamatiku sambil mengatupkan tangan di depan mulut agar tidak terbatuk karena asap.

Aku berdiri dan menghampirinya. Mata kami saling tatap, dan seulas senyum saling kami bagikan.

“Kangen.” ujarku sambil menggenggam tangannya, tangan kiriku merapikan gerai rambut panjangnya ke belakang. Manis wajahnya semakin terpajang.

“Masa?” sambil memamerkan gigi putihnya. Aroma odol masih tercium.

“Emang bibi gak kangen?” aku balik bertanya.

“Nggak tuh!” sambil memonyongkan bibir.

“Masa?” aku mengutip pertanyaannya.

Aku benar-benar jatuh cinta pada wanita di hadapanku. Tingkahnya membuat aku lupa pada rentang usia.

“Banget.” akhirnya Bi Ira tidak bisa lagi menutupi gejolak perasaannya.

Pancaran wajahnya menyiratkan perasaan yang sama. Ia merindukanku; mungkin juga jatuh cinta seperti aku.

Bi Ira langsung menjatuhkan diri, rebah dalam dekapanku. Cukup erat. Kukecup keningnya, dan ia memejamkan mata.

Kuangkat dagunya. Bi Ira membuka mata, bibirnya sedikit terbuka. Nafas kami beradu. Kuberikan seulas senyum sebelum merunduk.

Cuuuuup.

Bibir kami beradu. Kami berdua tidak terburu. Ciuman kami lekat, tetapi lumatan-lumatan kami lembut. Saling membagi, saling meresapi. Semua sentuhan ini keluar dari rasa, bukan karena dorongan selangkangan semata.

Aku semakin terlatih bercumbu. Secara naluriah aku belajar dari apa yang Bi Ira berikan. Kuperlakukan wanitaku secara lembut.

“Aku sayang, Bi Ira.” ujarku di akhir cumbuan. Kening kami menempel.
“Bibi juga.”

Perasaanku langsung terasa melayang. Ini adalah pertama kalinya Bi Ira mengatakan kalimat sakral itu.

Kuhadiahi dengan kecupan. Ia menyambut. Sejenak kami saling bermesra. Saling mengungkapkan rasa yang ada, sambil tak hentinya saling membelai dan mengecup lembut.

“Mmmh.. nakal…” rengeknya ketika tanganku meremas payudaranya.

Beda ucap, lain tindak. Meski seolah protes, Bi Ira langsung melumat bibirku, kali ini lebih panas. Remasanku pada payudaranya telah memantik birahi wanitaku. Kuimbangi permainannya. Ciuman kami cukup lama dan panas, juga basah, menumpahkan gairah yang sudah ditahan sejak di rumah.

Kutarik tubuhnya dan kami berdiri. Kami melucuti pakaian kami masing-masing, tanpa sisa. Kami bugil. Tak terasa lagi dingin; yang ada malah gairah panas melihat tubuh polosnya.

Kubantu membaringkannya dengan kaki tetap menjuntai, payudaranya terasa empuk dan putingnya yang menegang menggelitik dadaku. Kami berciuman dengan tubuh melekat dan kemaluan saling menggesek.

“Ah Sena...” Ia mendesah.

Kuhentikan cumbuanku sejenak. Wajahnya yang sedang bernafsu sungguh sangat kusukai.

“Apah...?” aku menggodanya.

“Sssh...sssh... kamu..” usai berkata begitu ia memburu bibirku dan langsung melumat basah. Lidah kami langsung membelit dan menggelitik, air liur
pun saling terbagi. Kuremas kedua payudaranya, membuatnya makin gelisah.

Putingnya yang sangat keras kugosok dengan telapak tangan, sementara jariku-jariku tetap meremas. Kukilikitik kedua telinganya bergantian dengan lidahku.

“Aaaaarghhh... mmmhhh... oh… geli aaah...” Ia mendesah sambil meraih penisku dan mengocoknya.

Ciumanku merambat turun pada dagu dan lehernya. Tak tahan, kucaplok pucuk payudaranya. Kukecup dan kuemut, yang satunya kuremas.

Begitu seterusnya bergantian... Genggamannya pun terlepas dari penisku, beralih mencengkeram punggungku. Kuabaikan rasa nikmat pada selangkangan karena kocokannya terlepas. Aku tidak ingin egois, aku juga ingin memberi Bi Ira kenikmatan yang lebih dan lebih lagi.

Lalu aku menciumi perut dan pusarnya, lidahku menjalar di sana. Kedua tanganku tetap meremas payudaranya.

“Aaaah... Sena sayang... uuuh... bibi enak... memek bibi gatel...” Ia mulai meracau;
erangan penuh birahinya membakar bergairahku.

“Bibi binal...” Aku menggeram di sela lumatanku.

“Kamu... ahhh... kamu sayang... bibi ahh… kamu sih.... uh enak…” racauannya tidak jelas. Birahinya yang terus meningkat membuat ia tidak bisa menyelesaikan kalimat.

Kulebarkan kedua pahanya, lalu kusibak jembutnya yang lebat. Aku hanya bisa melihat samar merahnya karena posisiku yang membelakangi perapian. Bau khas yang tak pernah bisa kujelaskan hinggap di hidungku, membuat gairahku makin tinggi. Aku makin birahi.

Kuusap-usap cairan basahnya, lalu kuoleskan pada klitorisnya.

“Aaaaah...” Ia memekik tertahan. Rambutku di jambak. Kumainkan terus itilnya yang makin tegang. Aku jadi penasaran... aku ingin merasakannya... mungkin karena dorongan naluri… kujulurkan lidahku dan kujilat-jilat itilnya.

Aku belum pernah; tetapi aku penasaran.

“Sayaaang... kamu nga...nga...pain? Uuuuh....” Badannya terangkat setengah duduk melihat aksiku.

“Iiiih... aduh duh.. duuh.. sssh…. kok enak banget, Sen? Uuuh... aaaah….”.

Aku tetap asik. Aku suka... rasanya asin-gurih gimanaa gitu.

“Aaah... ampuun.... udah... heuuup... Sen... oh say... bibi bucaaaat.” Tubuhnya kejang-kejang. Seeeerrr... cuuur... ada cairan putih yang keluar. Banyak sekali. Aku penasaran. Tapi pas mau kujilat rambutku dijambak kuat sampai terasa sakit. Aku ditariknya ke atas.

Aku terpaku di atas tubuhnya. Melongo. Bi Ira sedang berkejat-kejat cukup lama. Lalu terkulai lemas. Wajah dan lehernya basah oleh keringat. Aku jadi bingung... penisku sudah tegang maksimal, tapi aku bingung. Apakah sekarang? Duh.. nanggung banget...

Kubersihkan keringatnya dan ia membuka mata. Sangat sayu.

“Bibi enak banget, Sen. Shhh... be.. belum pernah kayak gini.” Akhirnya ia membuka suara sambil mengatur nafas.

Kutempelkan penisku pada vaginanya dan kugesek pelan.

“Uuuuh... bentar dulu. Bibi ngilu.”

Kucium bibirnya, ia membalas lemah. Kuemut.. emut... sungguh sangat lembut rasanya. Kugesek-gesekkan lidahku. Kuusap-usap kembali kedua susunya... terasa putingnya sedikit demi sedikit menegang. Ia kembali mendesah.

“Bentar sayang. Uuuh...”

Aku mengangkat tubuhku, lalu ia mengatur posisinya. Ia beringsut lalu menekuk kedua lututnya, pahanya dilebarkan. Sangat menggairahkan. Lalu aku naik ke atas bale-bale dan mengarahkan penisku dengan bantuan tangannya. Terasa nikmat sekaligus ngilu ketika ia mengusap-usapkan di sepanjang bibir memeknya beberapa kali.

Kurasakan ujung penisku menyentuh lubang sempit dan kenyal. Lalu kutekan pelan...

“Aaah...” Kami mendesah bersamaan.

Sleeeep...

“Grrrhggghh..” Aku menggeram menahan nikmat.

Sementara ia meracau jorok.
Slep.. slepp... sleeep... Bleeesss.... penisku amblas sampai pintu rahimnya.

Lalu mulai kupompa penisku dengan tempo cepat.

“Aaah... uuuh... mhhh... memek…”

“Kontol… anjrriiit... gggrrrhhhh... iiih.... ssssttth... aaahhhh..”

Kami meracau berirama dengan nada yang berbeda. Lalu iya melingkarkan kedua kakinya di pinggangku, vaginanya terasa makin menjepit.

Nikmat-ngilu kurasakan. Keringatku mulai merembesi pori dada dan punggungku.

“Aaaaaah... sayang.... uuuhh...” hampir ia memekik menjemput puncak.

“Iyah Bi.. hayoooo...” Aku mempercepat pompaanku.

Aaaaah... kami berpacu menuju puncak.

Srrrrr... crot crot... croooot... Kami mengejang bersamaan.

Tubuhku ambruk di atas tubuhnya yang lemas tersengal.

“………“

Setelah lama terbuai nikmat, kami beringsut bersamaan. Namun ketika aku hendak mencabut penisku, ia menahannya. Kami berpandangan.. lalu kucium keningnya.
Ia meraih kain lalu ditutupkan ke atas tubuh kami alakadarnya. Kami terus bertatapan lama tanpa bicara.

“Aku puas banget. Makasih, Bi Ira sayang.” Aku memecah keheningan.
“Kamu... mmhhh... bibi bisa ketagihan, sayang.”

Cuuup.

Subuh yang semula gelap mulai berubah remang. Matahari sudah menampakan sinarnya, tapi kami berdua enggan melemas kemesraan. Kami tetap saling mencumbu dan membelai dengan tetap sama-sama telanjang.

Tak berselang lama, kami kembali bergairah. Kelamin kami kembali menyatu, bedanya kali ini Bi Ira yang menindihku. Nikmatnya tak terkata. Selain merasakan goyangannya, aku juga bisa lebih leluasa menjamah dan meremas payudaranya.

Bi Ira lelah sendiri, sementara puncak birahi masih belum mau menghampiri. Kudorong bahunya. Kini kami sama-sama duduk, bedanya ia menduduki pahaku dengan kelamin yang tetap menyatu.

Aku merasa tidak nyaman. Maka kuarahkan wanitaku supaya mengangkat pinggul dan mundur seiring pergeseran posisiku. Kali ini aku duduk di tepi bale-bale saung dengan kaki menjejak tanah.

Bi Ira meringis sambil melingkarkan kedua kakinya pada pinggangku, kedua tangannya membelit leherku.

Aku mengaduk lubang senggamanya, ia memompa. Aku rehat diam, ia menggoyang dan memutar pinggulnya yang bulat lebar. Kenikmat demi kenikmatan kami dapatkan. Racauan penuh birahi kembali menggaduhkan saung dan suasana sekitar.

Kata-kata sayang saling lontarkan. Kami lupa pada keadaan. Lupa pada status. Lupa pada rentang usia. Yang kami punya hanyalah gejolak rasa yang bercampur dengan nikmat raga tiada tara.

Kami adalah dua manusia. Yang menyatukan rasa; yang menyatukan raga.

“Mmmh… kita lagi ngapain, Bi.” godaku.

“Ngewe!” jawabnya.

Bi Ira terbakar birahi karena mendengar suara erotisnya sendiri; pun pula aku. Percintaan kami semakin liar. Aku ambruk terjengkang; Bi Ira ikut rebah menindihku.

Sementara pada selangkangan, penisku berkedut hebat sambil menyemburkan cairan kental; disambut cairan hangat orgasme Bi Ira.

Penisku berkubang dalam lubang kenikmatan Bi Ira. Lantas sama-sama lunglai di akhir erangan panjang.

Tubuh kami basah, padahal udara pagi terasa dingin. Perasaan kami hangat setelah sama-sama meraih nikmat.

Setelah rehat kami menggeliat. Saling merapikan rambut sejenak disertai senyum mesra. Kecupan tipis menjadi penutup. Kami pun turun dari bale-bale untuk berpakaian.

“Kok kamu pake celana dalam bibi?” protesnya.
“Bibi pake celana dalamku.” jawabku sekenanya.

Tak dinyana. Bi Ira tertawa dan melakukan apa yang kuminta. Akan kujalani hari dengan kelamin yang seolah tetap berdekatan.

Kami saling memeluk erat. Kata dan bisik mesra kami ungkapkan. Sebetulnya kami enggan berpisah. Ingin kami adalah ada bersama di seluruh hari. Tetapi matahari sudah menampakan diri, sementara ternak kami perlu diberi makan.

Kali ini kami tidak pulang searah. Bi Ira melewati jalan semula sambil nyuhun (membawa di atas kepala) kayu bakar yang diambil dari kolong saung. Aku menaiki bukit dan menuju kandang si ireng. Setelah membawanya ke lahan berumput, aku tidur di bawah pohon. Kini tubuhku terasa sangat lelah. Kemarin adalah hari yang panjang, dan semalaman aku belum tidur. Semua itu diakhiri permainan birahi yang menguras energi. Tidur adalah pilihan.. setelah sebelumnya aku mengisi perut dengan pepaya mengkal yang kupetik tak jauh dari tempat si ireng ditambatkan.



*

*

*


Malam harinya rumah Bi Ira mendadak ramai. Rupanya Teh Sari dan Kang Mendung suaminya datang berkunjung. Sudah menjadi kebiasaan, jika ada ada tamu datang, atau ada warga yang baru pulang pesiar, kami para tetangga berkumpul untuk sekedar ngopi dan berbagi cerita. Kadang-kadang sambil main kartu.

Tak ketinggalan aku dan ketiga sahabatku juga datang. Sebetulnya aku kecewa karena rencana malam ini untuk mengulang bercocok tanam pada selangkangan Bi Ira gagal total. Harapanku hanya satu, semoga kunjungan mereka tidak berlangsung lama, agar kami tetap bisa leluasa bercumbu mesra.

Di dalam rumah duduk para orangtua. Uwa Kasur dan Pak RT juga ada di sana. Kami anak muda duduk di teras depan sambil berkerudung sarung untuk sekedar mengusir dingin.

Beberapa ibu-ibu ngobrol di dapur sambil menyiapkan kopi dan cemilan. Aitun juga ada di sana. Maklum, ia berteman baik dengan Teh Sari. Uwa Samping tidak datang karena katanya kecapean setelah kerja di ladang dan mau tidur cepat.

“Wah kok pada ngumpul di depan?” seseorang keluar.

“Kang, apa kabar?” kami bersahutan menyapa dan menyalami tanpa menjawab pertanyaan. Dia adalah Kang Mendung. Kami sudah saling mengenal, karena waktu masih pacaran dengan Teh Sari, ia sering datang ke kampung.

“Neng, ini teman-temanmu datang.” serunya pada sang istri, dan terdengar jawaban dari dalam.

Kang Mendung ikut duduk, dan ngobrol bersama kami. Ia cukup menyayangkan karena ia datang di saat ayah mertuanya sedang di kota. Ia tidak tahu saja, justru aku senang jika mertuanya tidak pulang-pulang.


“Bapakmu kemana, Ndi?” tanya Kang Mendung pada Janadi.
“Gak tahu, tadi sih ada di rumah sambil dengerin dongeng radio.” jawab sahabatku.

Obrolan terhenti ketika Teh Sari datang membawa baki. Sapaan khasnya langsung keluar. Meledek kami, terutama aku dan Janadi yang masih jomblo. Kami hanya cengengesan mendengar candaannya.

Teh Sari nampak semakin cantik setelah menikah. Tetapi bukan dia yang membuatku tertarik, melainkan seorang gadis yang berada di belakangnya. Aku mencoba mengingat karena merasa pernah bertemu sebelumnya. Hasilnya nihil.

Tubuhnya langsing, tetapi dadanya nampak montok, menggunung di balik kaos putih yang ia kenakan. Wajahnya cantik, walaupun standar cantik gadis desa. Namun putih kulitnya menjadi pembeda. Warna kulitnya sangat putih, beda dengan gadis kampung pada umumnya.

“Ini kenalin, Rara, adik Kang Mendung. Eh.. tapi kalian sudah pernah ketemu ya waktu pernikahan kami.” ujar Teh Sari.

Ahh.. aku ingat sekarang. Aku melihat gadis ini pas pernikahan mereka.

Kami berempat bersemangat berdiri untuk menyalaminya. Padahal ketika menyalami Kang Mendung dan istrinya kami tetap duduk. Tapi Pento langsung ciut ketika Aitun yang sedang menyuguhkan kopi di ruang tengah melotot ke arahnya.

“Pento..”
“Rara..”

“Ruko..”
“Oh Ruko ini pacarnya Nyeni ya?” gadis itu sangat ramah. Nyeni memang satu kampung dengan mereka.
“Hehehe.. iya…” Ruko merasa kena ‘dor’ sehingga urung memodusi Rara.
“Ada salam dari Nyeni.”
“Hehe.. makasih. Besok aku ke sana kok.”

“Cieee.. yang mau ngapel.” kami serempak menyahut.

“Janadi..”
“Rara..”

“Sena..”
“…”

Raut ramah Rara berubah ketika ia bersalaman denganku dan mendengar namaku.

“Sena yang terkenal itu ya?” ia langsung menarik tangannya padahal baru menyentuh sebatas jari.

“Rara!!” Kang Mendung menghardik dan terlihat tidak enak hati.

Aku yang awalnya mengagumi kecantikannya auto anti pati.

“Lah emang iya, kan?” Rara masih ingin memastikan.

Teh Sari sendiri mengedip kepadaku seolah memintaku sabar dan tidak perlu tersinggung.

“Iya.. aku Sena si pemerkosa…” kesalku. Aku tidak peduli pada ekspresi Kang Mendung dan Teh Sari, juga teman-temanku.

Bukannya merasa tidak enak hati, Rara langsung menunjukan ekspresi tidak sukanya. Ia langsung mundur dengan tatapan takut sekaligus jijik.

“Ayo pada diminum kopinya, nanti keburu dingin.” Teh Sari berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba kaku.

Ia berdiri dan menarik Rara masuk rumah. Aku benar-benar gondok dibuatnya. Kecewaku menjadi berlipat. Pertama kesal karena kemesraanku dengan Bi Ira harus terganggu, dan kedua karena sikap Rara.

“Maafkan adikku, ya Sen, dia memang mulutnya tidak pernah disaring.” ujar Kang Mendung.

“Hehe.. iya, gakpapa, kang.” aku menyembunyikan kejengkelan.

Untung ketiga temanku cukup tanggap, mereka kembali bercanda seolah tidak terjadi apa-apa. Kami melanjutkan obrolan, sekali-kali saling menyahut dengan para orangtua yang duduk di dalam.

Sambil ngobrol aku sering melirik ke arah dalam. Bisa melihat Bi Ira walau sekelebat adalah kesenangan. Wanita itu sepertinya mengalami situasi yang sama. Sesekali ia muncul untuk sekedar menyuruh kami memakan ‘awug’ oleh-oleh Kang Mendung.

Tak seorang pun yang tahu, ada kemesraan tersembunyi dalam setiap tatap mata kami. Ada senyum tersamar yang sering kami lemparkan.

“Kemarin gimana hasil menghadap kamu kepada pak lurah, Sen?” terdengar pertanyaan Pak RT dari arah dalam.

“Baik, pak.” jawabku sambil pindah duduk ke dekat ambang pintu.

Lalu kuceritakan secara singkat. Semua orang menyimak, tetapi Rara tidak kelihatan batang hidungnya, mungkin ia sudah tidur duluan. Seketika tema obrolan pun berubah. Semua berpusat padaku.

Kang Mendung yang semula sungkan, sekali-kali bertanya tentang peristiwa yang sebenarnya. Ia juga menceritakan kehebohan peristiwa itu di kampungnya. Rupanya aku sudah sangat terkenal di seantero desa. Aku maklum, jangankan manusia, si ireng pun tahu semua karena memang tak ada yang kututupi darinya.

Aku bisa merasakan ketulusan hati Kang Mendung. Ia memang bertanya, ia memang juga bercerita tentang buruknya nama baikku di kampungnya, tetapi kini setelah mendengar semua penjelasan, ia paham dan percaya. Satu nada yang sama, Pak Kuncir terkenal baik hati dan ringan membantu jika ada warga yang kesusahan di sana.

Penuturan Kang Mendung disahut para orangtua. Mereka percaya pada ceritaku, tetapi juga percaya pada kebaikan hati Pak Kuncir. Teman-temanku yang tahu akan perasaanku, bukannya membantu, tapi malah semakin mengomporin supaya semua cerita hanya berkisar tentang aku dan Pak Kuncir. Kampret!!

Itu tidak lama. Tema obrolan para orangtua dan kami berbeda. Tapi…

“Dengar-dengar, tahun depan katanya Pak Kuncir mau nyalon jadi lurah.” terdengar suara Pak RT.

Jedeeeeerrrrr!!!

Aku dan ketiga sahabatku saling pandang. Sejenak kami diam menguping. Beberapa orang, termasuk uwaku sendiri malah terdengar memberikan dukungan.

“Jangan-jangan…” Ruko berujar pelan.
“Tah eta!!” Pento memotong ucapan Ruko.
“Ceuk aing mah bener!” Janadi tidak mau kalah.
“Bisa jadi.” aku masih menebak-nebak.

“Kalau bener gimana atuh?” Ruko bingung sendiri.

Kami berempat sepemikiran. Sepertinya Pak Kuncir bersikap baik karena sedang mencari pengaruh agar pencalonan dirinya menjadi lurah berjalan mulus.

“Maksud kalian apa?” Kang Mendung tidak paham.

Ruko mencoba menjelaskan kepadanya. Volume suara kami berubah pelan.

“Kalau gitu, kita tidak bisa membiarkannya. Lagian kan lurah sekarang juga sangat berpihak pada rakyat, mendingan dipilih satu periode lagi.” celetuk Kang Mendung.

Aku bernafas lega. Orang yang berada di pihakku bertambah satu orang.

“Ya kita harus berbuat sesuatu agar dia gagal.” Pento bersemangat.
“Caranya?” Janadi mendadak blo’on.

“Kita buktikan bahwa ia sudah memfitnah si Swot.” Pento sigap menjawab.
“Caranya?” tanya Janadi lagi.
“Gak tahu kalau itu!”

Kami pun auto tertawa mendengarnya. Tetapi di balik tawa kami, kami sudah sehati untuk berbuat sesuatu. Pak Kuncir sedang mengincar jabatan lurah, dan kami harus mencegahnya dengan cara membongkar segala keculasan dia.

Tiba-tiba sesuatu yang menyukakan hatiku datang. Bapak-bapak meminta dibuatkan kopi lagi. Bi Ira mendekat.

“Sen, anter bibi ke rumahmu, mau pinjem gula. Si Sari hanya bawa kopi tapi gulanya gak bawa.” ujarnya.
“Hehee.. maaf, bu. Kelupaan.” Kang Mendung terkekeh.
“Udah gakapa-apa.”

Sebenarnya aku mau berinisiatif mengambil sendiri, tapi satu kedipan Bi Ira sudah cukup bagiku.

Aku pun meraih senter dan menemani Bi Ira.

“Kita harus lebih hati-hati. Bibi juga tidak tau kalau si Sari akan datang.” ujarnya ketika kami sudah menjauh dari rumahnya.

“Iya, Bi. Tapi masih bisa, kan?”
“Kita atur, tapi tetap harus hati-hati.”

Aku senang mendengarnya.

Bi Ira bercerita bahwa Kang Mendung akan pulang dulu, tetapi Sari dan Rara akan tinggal sekitar satu minggu. Bi Ira juga memintaku, supaya besok membantu Kang Mendung untuk membuat ‘tampian’ di kolamnya.

“Biar kalau bibi mandi, gak ada yang ngintip lagi.” candanya.

Aku yang gemas langsung mempercepat langkah. Kugandeng pinggangnya. Bi Ira celingukan takut ada orang, dan senyumnya berubah manis ketika sudah dipastikan situasi aman. Kecupan tipis pada bibir saling kami berikan. Kami mengucapkan kata-kata sayang secara bersamaan setelahnya.

Indah.. hidupku berubah indah… tak masalah aku difitnah orang sedesa karena ada seorang wanita yang membuatku merasa tetap berharga.

“Bi..”
“Hmmm?”
“Aku masih memakai celana dalam bibi.”
“Hihi.. bibi juga.”

Kumatikan senter, kulumat bibirnya. Kami berciuman panas. Kuremas pula bokongnya sehingga Bi Ira mendesah.

Sisa langkah kami berjalan sambil bergandengan tangan, dan tak lama kemudian kami pun tiba di rumahku. Kami masuk melalui pintu dapur, langkah kami cukup pelan karena tidak mau membangunkan Uwa Samping yang sedang tidur.

Sementara Bi Ira mengambil gula, aku masuk ke ruang tengah. Naluriku berkata lain… Kusingkap gorden kamar uwa.

Degh!

Kamar kosong, padahal tadi katanya uwa mau tidur. Sesuatu yang ganjil sedang terjadi, tetapi aku tidak mau membuat Bi Ira curiga. Aku segera kembali ke dapur.

Untuk menutupi perasaan tidak nyamanku, kupeluk Bi Ira dari belakang sambil meremas payudaranya. Ia hanya tersenyum. Lalu kami meninggalkan rumah.

Aku kembali bergabung dengan teman-temanku tetapi kali ini keberadaanku cukup gamang. Pikiranku melayang memikirkan segala kemungkinan.

“Ah mungkin uwa sedang ke jamban.” aku menghibur diri, tetapi itu tidak cukup membantu.

Akhirnya aku pamit dengan alasan mau tidur cepat karena besok mau membantu Kang Mendung membuat pemandian.

Uwa Kasur masih betah ngobrol, sedangkan Aitun sudah tidur menemani Rara teman barunya.

Bukan hanya aku, ketiga temanku juga bubar. Ruko menyampaikan bahwa besok ia akan mengunjungi Nyeni dan nginap semalam. Ia juga berjanji untuk mencari segala informasi tambahan tentang segala hal yang berkaitan dengan Pak Kuncir. Tentu saja sambil membawa misi untuk memulihkan nama baikku secara perlahan.

Setibanya di rumah aku kembali memastikan keadaan. Kuperiksa semua kamar dan ruangan. Kosong tidak ada orang.

Aku kembali keluar rumah dan berdiri dalam kegelapan. Aku harus mencari uwa, tapi kemana?

Aku memutuskan untuk mencari uwa ke tampian umum. Sebetulnya wajar saja kalau uwa tidak ada, mungkin memang sedang ke jamban. Tetapi perasaanku tidak enak. Aku harus memastikan.

Aku berjalan melewati rumah temanku Janadi.

“Ibu kok belum tidur, bapak kemana?” terdengar Janadi bertanya pada ibunya.
“Ibu abis kencing. Bapakmu tadi katanya mau meriksa air ke kolam, soalnya suka ada yang mampetin.”

Aku tidak peduli, dan tidak ada niat untuk mampir. Langkahku panjang. Tapi…

Degh.

Aku ingat kejadian pagi itu. Jangan-jangan? Ah….

Aku tidak ingin curiga, tapi aku harus membuktikan bahwa pikiranku salah. Jalanku semakin cepat.


Bersambung….
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd