Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA SENA JATUH CINTA

- Part 6 -



Pagi masih gelap. Aku dan Bi Ira menyusuri jalan setapak, menuju saung sawah miliknya. Kulihat tubuhnya sedikit menggigil karena kedinginan.

Tadi aku membangunkannya karena aku sangat kangen. Ia begitu senang melihatku karena kemarin kami tidak bertemu seharian. Tapi entah mengapa, Bi Ira menolak ketika kuajak bermesraan di rumahnya. Akhirnya kami sepakat untuk mandi di kolam, dan langsung menuju saung sawah yang cukup terpencil.

Setelah menyusuri jalan setapak yang membelah perkebunan singkong milik uwa, kami berbelok menyusuri sebuah parit kering. Di bawah kami membentang pesawahan yang belum digarap karena musim hujan tak kunjung tiba. Setibanya di belokan bukit, kami menuruni jalan, dan menyeberangi pematang sawah.

Nampak rambut Bi Ira tergerai karena terpaan angin, dan pinggulnya bergoyang mengundang rangsang. Ia juga tidak sungkan minta kutuntun ketika menuruni jalan tanpa undakan. Kami sudah begitu mesra sepagi ini.

Kami sampai di ujung pematang lalu berbelok menuju saung. Ia langsung masuk, sementara aku mengamati suasana sesaat. Setelah dirasa aman, aku ikut masuk dan meraih tikar yang digulung di bawah atap lalu kubentangkan di atas bale-bale.

Kutata kayu bakar lalu kusulut dengan memakai daun kelapa kering. Kami tak perlu takut mengundang perhatian orang karena pesawahan warga umumnya berada di utara, sehingga sedikit kemungkinan ada orang yang datang ke tempat ini sepagi ini.

Api pun menyala dan asap mengepul, menghentikan suara jangkrik di kolong bale-
bale. Setelah perapian cukup menyala dan mengeluarkan bara, aku berbalik ke arah bale-bale.

Nampak Bi Ira sedang mengamatiku sambil mengatupkan tangan di depan mulut agar tidak terbatuk karena asap.

Aku berdiri dan menghampirinya. Mata kami saling tatap, dan seulas senyum saling kami bagikan.

“Kangen.” ujarku sambil menggenggam tangannya, tangan kiriku merapikan gerai rambut panjangnya ke belakang. Manis wajahnya semakin terpajang.

“Masa?” sambil memamerkan gigi putihnya. Aroma odol masih tercium.

“Emang bibi gak kangen?” aku balik bertanya.

“Nggak tuh!” sambil memonyongkan bibir.

“Masa?” aku mengutip pertanyaannya.

Aku benar-benar jatuh cinta pada wanita di hadapanku. Tingkahnya membuat aku lupa pada rentang usia.

“Banget.” akhirnya Bi Ira tidak bisa lagi menutupi gejolak perasaannya.

Pancaran wajahnya menyiratkan perasaan yang sama. Ia merindukanku; mungkin juga jatuh cinta seperti aku.

Bi Ira langsung menjatuhkan diri, rebah dalam dekapanku. Cukup erat. Kukecup keningnya, dan ia memejamkan mata.

Kuangkat dagunya. Bi Ira membuka mata, bibirnya sedikit terbuka. Nafas kami beradu. Kuberikan seulas senyum sebelum merunduk.

Cuuuuup.

Bibir kami beradu. Kami berdua tidak terburu. Ciuman kami lekat, tetapi lumatan-lumatan kami lembut. Saling membagi, saling meresapi. Semua sentuhan ini keluar dari rasa, bukan karena dorongan selangkangan semata.

Aku semakin terlatih bercumbu. Secara naluriah aku belajar dari apa yang Bi Ira berikan. Kuperlakukan wanitaku secara lembut.

“Aku sayang, Bi Ira.” ujarku di akhir cumbuan. Kening kami menempel.
“Bibi juga.”

Perasaanku langsung terasa melayang. Ini adalah pertama kalinya Bi Ira mengatakan kalimat sakral itu.

Kuhadiahi dengan kecupan. Ia menyambut. Sejenak kami saling bermesra. Saling mengungkapkan rasa yang ada, sambil tak hentinya saling membelai dan mengecup lembut.

“Mmmh.. nakal…” rengeknya ketika tanganku meremas payudaranya.

Beda ucap, lain tindak. Meski seolah protes, Bi Ira langsung melumat bibirku, kali ini lebih panas. Remasanku pada payudaranya telah memantik birahi wanitaku. Kuimbangi permainannya. Ciuman kami cukup lama dan panas, juga basah, menumpahkan gairah yang sudah ditahan sejak di rumah.

Kutarik tubuhnya dan kami berdiri. Kami melucuti pakaian kami masing-masing, tanpa sisa. Kami bugil. Tak terasa lagi dingin; yang ada malah gairah panas melihat tubuh polosnya.

Kubantu membaringkannya dengan kaki tetap menjuntai, payudaranya terasa empuk dan putingnya yang menegang menggelitik dadaku. Kami berciuman dengan tubuh melekat dan kemaluan saling menggesek.

“Ah Sena...” Ia mendesah.

Kuhentikan cumbuanku sejenak. Wajahnya yang sedang bernafsu sungguh sangat kusukai.

“Apah...?” aku menggodanya.

“Sssh...sssh... kamu..” usai berkata begitu ia memburu bibirku dan langsung melumat basah. Lidah kami langsung membelit dan menggelitik, air liur
pun saling terbagi. Kuremas kedua payudaranya, membuatnya makin gelisah.

Putingnya yang sangat keras kugosok dengan telapak tangan, sementara jariku-jariku tetap meremas. Kukilikitik kedua telinganya bergantian dengan lidahku.

“Aaaaarghhh... mmmhhh... oh… geli aaah...” Ia mendesah sambil meraih penisku dan mengocoknya.

Ciumanku merambat turun pada dagu dan lehernya. Tak tahan, kucaplok pucuk payudaranya. Kukecup dan kuemut, yang satunya kuremas.

Begitu seterusnya bergantian... Genggamannya pun terlepas dari penisku, beralih mencengkeram punggungku. Kuabaikan rasa nikmat pada selangkangan karena kocokannya terlepas. Aku tidak ingin egois, aku juga ingin memberi Bi Ira kenikmatan yang lebih dan lebih lagi.

Lalu aku menciumi perut dan pusarnya, lidahku menjalar di sana. Kedua tanganku tetap meremas payudaranya.

“Aaaah... Sena sayang... uuuh... bibi enak... memek bibi gatel...” Ia mulai meracau;
erangan penuh birahinya membakar bergairahku.

“Bibi binal...” Aku menggeram di sela lumatanku.

“Kamu... ahhh... kamu sayang... bibi ahh… kamu sih.... uh enak…” racauannya tidak jelas. Birahinya yang terus meningkat membuat ia tidak bisa menyelesaikan kalimat.

Kulebarkan kedua pahanya, lalu kusibak jembutnya yang lebat. Aku hanya bisa melihat samar merahnya karena posisiku yang membelakangi perapian. Bau khas yang tak pernah bisa kujelaskan hinggap di hidungku, membuat gairahku makin tinggi. Aku makin birahi.

Kuusap-usap cairan basahnya, lalu kuoleskan pada klitorisnya.

“Aaaaah...” Ia memekik tertahan. Rambutku di jambak. Kumainkan terus itilnya yang makin tegang. Aku jadi penasaran... aku ingin merasakannya... mungkin karena dorongan naluri… kujulurkan lidahku dan kujilat-jilat itilnya.

Aku belum pernah; tetapi aku penasaran.

“Sayaaang... kamu nga...nga...pain? Uuuuh....” Badannya terangkat setengah duduk melihat aksiku.

“Iiiih... aduh duh.. duuh.. sssh…. kok enak banget, Sen? Uuuh... aaaah….”.

Aku tetap asik. Aku suka... rasanya asin-gurih gimanaa gitu.

“Aaah... ampuun.... udah... heuuup... Sen... oh say... bibi bucaaaat.” Tubuhnya kejang-kejang. Seeeerrr... cuuur... ada cairan putih yang keluar. Banyak sekali. Aku penasaran. Tapi pas mau kujilat rambutku dijambak kuat sampai terasa sakit. Aku ditariknya ke atas.

Aku terpaku di atas tubuhnya. Melongo. Bi Ira sedang berkejat-kejat cukup lama. Lalu terkulai lemas. Wajah dan lehernya basah oleh keringat. Aku jadi bingung... penisku sudah tegang maksimal, tapi aku bingung. Apakah sekarang? Duh.. nanggung banget...

Kubersihkan keringatnya dan ia membuka mata. Sangat sayu.

“Bibi enak banget, Sen. Shhh... be.. belum pernah kayak gini.” Akhirnya ia membuka suara sambil mengatur nafas.

Kutempelkan penisku pada vaginanya dan kugesek pelan.

“Uuuuh... bentar dulu. Bibi ngilu.”

Kucium bibirnya, ia membalas lemah. Kuemut.. emut... sungguh sangat lembut rasanya. Kugesek-gesekkan lidahku. Kuusap-usap kembali kedua susunya... terasa putingnya sedikit demi sedikit menegang. Ia kembali mendesah.

“Bentar sayang. Uuuh...”

Aku mengangkat tubuhku, lalu ia mengatur posisinya. Ia beringsut lalu menekuk kedua lututnya, pahanya dilebarkan. Sangat menggairahkan. Lalu aku naik ke atas bale-bale dan mengarahkan penisku dengan bantuan tangannya. Terasa nikmat sekaligus ngilu ketika ia mengusap-usapkan di sepanjang bibir memeknya beberapa kali.

Kurasakan ujung penisku menyentuh lubang sempit dan kenyal. Lalu kutekan pelan...

“Aaah...” Kami mendesah bersamaan.

Sleeeep...

“Grrrhggghh..” Aku menggeram menahan nikmat.

Sementara ia meracau jorok.
Slep.. slepp... sleeep... Bleeesss.... penisku amblas sampai pintu rahimnya.

Lalu mulai kupompa penisku dengan tempo cepat.

“Aaah... uuuh... mhhh... memek…”

“Kontol… anjrriiit... gggrrrhhhh... iiih.... ssssttth... aaahhhh..”

Kami meracau berirama dengan nada yang berbeda. Lalu iya melingkarkan kedua kakinya di pinggangku, vaginanya terasa makin menjepit.

Nikmat-ngilu kurasakan. Keringatku mulai merembesi pori dada dan punggungku.

“Aaaaaah... sayang.... uuuhh...” hampir ia memekik menjemput puncak.

“Iyah Bi.. hayoooo...” Aku mempercepat pompaanku.

Aaaaah... kami berpacu menuju puncak.

Srrrrr... crot crot... croooot... Kami mengejang bersamaan.

Tubuhku ambruk di atas tubuhnya yang lemas tersengal.

“………“

Setelah lama terbuai nikmat, kami beringsut bersamaan. Namun ketika aku hendak mencabut penisku, ia menahannya. Kami berpandangan.. lalu kucium keningnya.
Ia meraih kain lalu ditutupkan ke atas tubuh kami alakadarnya. Kami terus bertatapan lama tanpa bicara.

“Aku puas banget. Makasih, Bi Ira sayang.” Aku memecah keheningan.
“Kamu... mmhhh... bibi bisa ketagihan, sayang.”

Cuuup.

Subuh yang semula gelap mulai berubah remang. Matahari sudah menampakan sinarnya, tapi kami berdua enggan melemas kemesraan. Kami tetap saling mencumbu dan membelai dengan tetap sama-sama telanjang.

Tak berselang lama, kami kembali bergairah. Kelamin kami kembali menyatu, bedanya kali ini Bi Ira yang menindihku. Nikmatnya tak terkata. Selain merasakan goyangannya, aku juga bisa lebih leluasa menjamah dan meremas payudaranya.

Bi Ira lelah sendiri, sementara puncak birahi masih belum mau menghampiri. Kudorong bahunya. Kini kami sama-sama duduk, bedanya ia menduduki pahaku dengan kelamin yang tetap menyatu.

Aku merasa tidak nyaman. Maka kuarahkan wanitaku supaya mengangkat pinggul dan mundur seiring pergeseran posisiku. Kali ini aku duduk di tepi bale-bale saung dengan kaki menjejak tanah.

Bi Ira meringis sambil melingkarkan kedua kakinya pada pinggangku, kedua tangannya membelit leherku.

Aku mengaduk lubang senggamanya, ia memompa. Aku rehat diam, ia menggoyang dan memutar pinggulnya yang bulat lebar. Kenikmat demi kenikmatan kami dapatkan. Racauan penuh birahi kembali menggaduhkan saung dan suasana sekitar.

Kata-kata sayang saling lontarkan. Kami lupa pada keadaan. Lupa pada status. Lupa pada rentang usia. Yang kami punya hanyalah gejolak rasa yang bercampur dengan nikmat raga tiada tara.

Kami adalah dua manusia. Yang menyatukan rasa; yang menyatukan raga.

“Mmmh… kita lagi ngapain, Bi.” godaku.

“Ngewe!” jawabnya.

Bi Ira terbakar birahi karena mendengar suara erotisnya sendiri; pun pula aku. Percintaan kami semakin liar. Aku ambruk terjengkang; Bi Ira ikut rebah menindihku.

Sementara pada selangkangan, penisku berkedut hebat sambil menyemburkan cairan kental; disambut cairan hangat orgasme Bi Ira.

Penisku berkubang dalam lubang kenikmatan Bi Ira. Lantas sama-sama lunglai di akhir erangan panjang.

Tubuh kami basah, padahal udara pagi terasa dingin. Perasaan kami hangat setelah sama-sama meraih nikmat.

Setelah rehat kami menggeliat. Saling merapikan rambut sejenak disertai senyum mesra. Kecupan tipis menjadi penutup. Kami pun turun dari bale-bale untuk berpakaian.

“Kok kamu pake celana dalam bibi?” protesnya.
“Bibi pake celana dalamku.” jawabku sekenanya.

Tak dinyana. Bi Ira tertawa dan melakukan apa yang kuminta. Akan kujalani hari dengan kelamin yang seolah tetap berdekatan.

Kami saling memeluk erat. Kata dan bisik mesra kami ungkapkan. Sebetulnya kami enggan berpisah. Ingin kami adalah ada bersama di seluruh hari. Tetapi matahari sudah menampakan diri, sementara ternak kami perlu diberi makan.

Kali ini kami tidak pulang searah. Bi Ira melewati jalan semula sambil nyuhun (membawa di atas kepala) kayu bakar yang diambil dari kolong saung. Aku menaiki bukit dan menuju kandang si ireng. Setelah membawanya ke lahan berumput, aku tidur di bawah pohon. Kini tubuhku terasa sangat lelah. Kemarin adalah hari yang panjang, dan semalaman aku belum tidur. Semua itu diakhiri permainan birahi yang menguras energi. Tidur adalah pilihan.. setelah sebelumnya aku mengisi perut dengan pepaya mengkal yang kupetik tak jauh dari tempat si ireng ditambatkan.



*

*

*


Malam harinya rumah Bi Ira mendadak ramai. Rupanya Teh Sari dan Kang Mendung suaminya datang berkunjung. Sudah menjadi kebiasaan, jika ada ada tamu datang, atau ada warga yang baru pulang pesiar, kami para tetangga berkumpul untuk sekedar ngopi dan berbagi cerita. Kadang-kadang sambil main kartu.

Tak ketinggalan aku dan ketiga sahabatku juga datang. Sebetulnya aku kecewa karena rencana malam ini untuk mengulang bercocok tanam pada selangkangan Bi Ira gagal total. Harapanku hanya satu, semoga kunjungan mereka tidak berlangsung lama, agar kami tetap bisa leluasa bercumbu mesra.

Di dalam rumah duduk para orangtua. Uwa Kasur dan Pak RT juga ada di sana. Kami anak muda duduk di teras depan sambil berkerudung sarung untuk sekedar mengusir dingin.

Beberapa ibu-ibu ngobrol di dapur sambil menyiapkan kopi dan cemilan. Aitun juga ada di sana. Maklum, ia berteman baik dengan Teh Sari. Uwa Samping tidak datang karena katanya kecapean setelah kerja di ladang dan mau tidur cepat.

“Wah kok pada ngumpul di depan?” seseorang keluar.

“Kang, apa kabar?” kami bersahutan menyapa dan menyalami tanpa menjawab pertanyaan. Dia adalah Kang Mendung. Kami sudah saling mengenal, karena waktu masih pacaran dengan Teh Sari, ia sering datang ke kampung.

“Neng, ini teman-temanmu datang.” serunya pada sang istri, dan terdengar jawaban dari dalam.

Kang Mendung ikut duduk, dan ngobrol bersama kami. Ia cukup menyayangkan karena ia datang di saat ayah mertuanya sedang di kota. Ia tidak tahu saja, justru aku senang jika mertuanya tidak pulang-pulang.


“Bapakmu kemana, Ndi?” tanya Kang Mendung pada Janadi.
“Gak tahu, tadi sih ada di rumah sambil dengerin dongeng radio.” jawab sahabatku.

Obrolan terhenti ketika Teh Sari datang membawa baki. Sapaan khasnya langsung keluar. Meledek kami, terutama aku dan Janadi yang masih jomblo. Kami hanya cengengesan mendengar candaannya.

Teh Sari nampak semakin cantik setelah menikah. Tetapi bukan dia yang membuatku tertarik, melainkan seorang gadis yang berada di belakangnya. Aku mencoba mengingat karena merasa pernah bertemu sebelumnya. Hasilnya nihil.

Tubuhnya langsing, tetapi dadanya nampak montok, menggunung di balik kaos putih yang ia kenakan. Wajahnya cantik, walaupun standar cantik gadis desa. Namun putih kulitnya menjadi pembeda. Warna kulitnya sangat putih, beda dengan gadis kampung pada umumnya.

“Ini kenalin, Rara, adik Kang Mendung. Eh.. tapi kalian sudah pernah ketemu ya waktu pernikahan kami.” ujar Teh Sari.

Ahh.. aku ingat sekarang. Aku melihat gadis ini pas pernikahan mereka.

Kami berempat bersemangat berdiri untuk menyalaminya. Padahal ketika menyalami Kang Mendung dan istrinya kami tetap duduk. Tapi Pento langsung ciut ketika Aitun yang sedang menyuguhkan kopi di ruang tengah melotot ke arahnya.

“Pento..”
“Rara..”

“Ruko..”
“Oh Ruko ini pacarnya Nyeni ya?” gadis itu sangat ramah. Nyeni memang satu kampung dengan mereka.
“Hehehe.. iya…” Ruko merasa kena ‘dor’ sehingga urung memodusi Rara.
“Ada salam dari Nyeni.”
“Hehe.. makasih. Besok aku ke sana kok.”

“Cieee.. yang mau ngapel.” kami serempak menyahut.

“Janadi..”
“Rara..”

“Sena..”
“…”

Raut ramah Rara berubah ketika ia bersalaman denganku dan mendengar namaku.

“Sena yang terkenal itu ya?” ia langsung menarik tangannya padahal baru menyentuh sebatas jari.

“Rara!!” Kang Mendung menghardik dan terlihat tidak enak hati.

Aku yang awalnya mengagumi kecantikannya auto anti pati.

“Lah emang iya, kan?” Rara masih ingin memastikan.

Teh Sari sendiri mengedip kepadaku seolah memintaku sabar dan tidak perlu tersinggung.

“Iya.. aku Sena si pemerkosa…” kesalku. Aku tidak peduli pada ekspresi Kang Mendung dan Teh Sari, juga teman-temanku.

Bukannya merasa tidak enak hati, Rara langsung menunjukan ekspresi tidak sukanya. Ia langsung mundur dengan tatapan takut sekaligus jijik.

“Ayo pada diminum kopinya, nanti keburu dingin.” Teh Sari berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba kaku.

Ia berdiri dan menarik Rara masuk rumah. Aku benar-benar gondok dibuatnya. Kecewaku menjadi berlipat. Pertama kesal karena kemesraanku dengan Bi Ira harus terganggu, dan kedua karena sikap Rara.

“Maafkan adikku, ya Sen, dia memang mulutnya tidak pernah disaring.” ujar Kang Mendung.

“Hehe.. iya, gakpapa, kang.” aku menyembunyikan kejengkelan.

Untung ketiga temanku cukup tanggap, mereka kembali bercanda seolah tidak terjadi apa-apa. Kami melanjutkan obrolan, sekali-kali saling menyahut dengan para orangtua yang duduk di dalam.

Sambil ngobrol aku sering melirik ke arah dalam. Bisa melihat Bi Ira walau sekelebat adalah kesenangan. Wanita itu sepertinya mengalami situasi yang sama. Sesekali ia muncul untuk sekedar menyuruh kami memakan ‘awug’ oleh-oleh Kang Mendung.

Tak seorang pun yang tahu, ada kemesraan tersembunyi dalam setiap tatap mata kami. Ada senyum tersamar yang sering kami lemparkan.

“Kemarin gimana hasil menghadap kamu kepada pak lurah, Sen?” terdengar pertanyaan Pak RT dari arah dalam.

“Baik, pak.” jawabku sambil pindah duduk ke dekat ambang pintu.

Lalu kuceritakan secara singkat. Semua orang menyimak, tetapi Rara tidak kelihatan batang hidungnya, mungkin ia sudah tidur duluan. Seketika tema obrolan pun berubah. Semua berpusat padaku.

Kang Mendung yang semula sungkan, sekali-kali bertanya tentang peristiwa yang sebenarnya. Ia juga menceritakan kehebohan peristiwa itu di kampungnya. Rupanya aku sudah sangat terkenal di seantero desa. Aku maklum, jangankan manusia, si ireng pun tahu semua karena memang tak ada yang kututupi darinya.

Aku bisa merasakan ketulusan hati Kang Mendung. Ia memang bertanya, ia memang juga bercerita tentang buruknya nama baikku di kampungnya, tetapi kini setelah mendengar semua penjelasan, ia paham dan percaya. Satu nada yang sama, Pak Kuncir terkenal baik hati dan ringan membantu jika ada warga yang kesusahan di sana.

Penuturan Kang Mendung disahut para orangtua. Mereka percaya pada ceritaku, tetapi juga percaya pada kebaikan hati Pak Kuncir. Teman-temanku yang tahu akan perasaanku, bukannya membantu, tapi malah semakin mengomporin supaya semua cerita hanya berkisar tentang aku dan Pak Kuncir. Kampret!!

Itu tidak lama. Tema obrolan para orangtua dan kami berbeda. Tapi…

“Dengar-dengar, tahun depan katanya Pak Kuncir mau nyalon jadi lurah.” terdengar suara Pak RT.

Jedeeeeerrrrr!!!

Aku dan ketiga sahabatku saling pandang. Sejenak kami diam menguping. Beberapa orang, termasuk uwaku sendiri malah terdengar memberikan dukungan.

“Jangan-jangan…” Ruko berujar pelan.
“Tah eta!!” Pento memotong ucapan Ruko.
“Ceuk aing mah bener!” Janadi tidak mau kalah.
“Bisa jadi.” aku masih menebak-nebak.

“Kalau bener gimana atuh?” Ruko bingung sendiri.

Kami berempat sepemikiran. Sepertinya Pak Kuncir bersikap baik karena sedang mencari pengaruh agar pencalonan dirinya menjadi lurah berjalan mulus.

“Maksud kalian apa?” Kang Mendung tidak paham.

Ruko mencoba menjelaskan kepadanya. Volume suara kami berubah pelan.

“Kalau gitu, kita tidak bisa membiarkannya. Lagian kan lurah sekarang juga sangat berpihak pada rakyat, mendingan dipilih satu periode lagi.” celetuk Kang Mendung.

Aku bernafas lega. Orang yang berada di pihakku bertambah satu orang.

“Ya kita harus berbuat sesuatu agar dia gagal.” Pento bersemangat.
“Caranya?” Janadi mendadak blo’on.

“Kita buktikan bahwa ia sudah memfitnah si Swot.” Pento sigap menjawab.
“Caranya?” tanya Janadi lagi.
“Gak tahu kalau itu!”

Kami pun auto tertawa mendengarnya. Tetapi di balik tawa kami, kami sudah sehati untuk berbuat sesuatu. Pak Kuncir sedang mengincar jabatan lurah, dan kami harus mencegahnya dengan cara membongkar segala keculasan dia.

Tiba-tiba sesuatu yang menyukakan hatiku datang. Bapak-bapak meminta dibuatkan kopi lagi. Bi Ira mendekat.

“Sen, anter bibi ke rumahmu, mau pinjem gula. Si Sari hanya bawa kopi tapi gulanya gak bawa.” ujarnya.
“Hehee.. maaf, bu. Kelupaan.” Kang Mendung terkekeh.
“Udah gakapa-apa.”

Sebenarnya aku mau berinisiatif mengambil sendiri, tapi satu kedipan Bi Ira sudah cukup bagiku.

Aku pun meraih senter dan menemani Bi Ira.

“Kita harus lebih hati-hati. Bibi juga tidak tau kalau si Sari akan datang.” ujarnya ketika kami sudah menjauh dari rumahnya.

“Iya, Bi. Tapi masih bisa, kan?”
“Kita atur, tapi tetap harus hati-hati.”

Aku senang mendengarnya.

Bi Ira bercerita bahwa Kang Mendung akan pulang dulu, tetapi Sari dan Rara akan tinggal sekitar satu minggu. Bi Ira juga memintaku, supaya besok membantu Kang Mendung untuk membuat ‘tampian’ di kolamnya.

“Biar kalau bibi mandi, gak ada yang ngintip lagi.” candanya.

Aku yang gemas langsung mempercepat langkah. Kugandeng pinggangnya. Bi Ira celingukan takut ada orang, dan senyumnya berubah manis ketika sudah dipastikan situasi aman. Kecupan tipis pada bibir saling kami berikan. Kami mengucapkan kata-kata sayang secara bersamaan setelahnya.

Indah.. hidupku berubah indah… tak masalah aku difitnah orang sedesa karena ada seorang wanita yang membuatku merasa tetap berharga.

“Bi..”
“Hmmm?”
“Aku masih memakai celana dalam bibi.”
“Hihi.. bibi juga.”

Kumatikan senter, kulumat bibirnya. Kami berciuman panas. Kuremas pula bokongnya sehingga Bi Ira mendesah.

Sisa langkah kami berjalan sambil bergandengan tangan, dan tak lama kemudian kami pun tiba di rumahku. Kami masuk melalui pintu dapur, langkah kami cukup pelan karena tidak mau membangunkan Uwa Samping yang sedang tidur.

Sementara Bi Ira mengambil gula, aku masuk ke ruang tengah. Naluriku berkata lain… Kusingkap gorden kamar uwa.

Degh!

Kamar kosong, padahal tadi katanya uwa mau tidur. Sesuatu yang ganjil sedang terjadi, tetapi aku tidak mau membuat Bi Ira curiga. Aku segera kembali ke dapur.

Untuk menutupi perasaan tidak nyamanku, kupeluk Bi Ira dari belakang sambil meremas payudaranya. Ia hanya tersenyum. Lalu kami meninggalkan rumah.

Aku kembali bergabung dengan teman-temanku tetapi kali ini keberadaanku cukup gamang. Pikiranku melayang memikirkan segala kemungkinan.

“Ah mungkin uwa sedang ke jamban.” aku menghibur diri, tetapi itu tidak cukup membantu.

Akhirnya aku pamit dengan alasan mau tidur cepat karena besok mau membantu Kang Mendung membuat pemandian.

Uwa Kasur masih betah ngobrol, sedangkan Aitun sudah tidur menemani Rara teman barunya.

Bukan hanya aku, ketiga temanku juga bubar. Ruko menyampaikan bahwa besok ia akan mengunjungi Nyeni dan nginap semalam. Ia juga berjanji untuk mencari segala informasi tambahan tentang segala hal yang berkaitan dengan Pak Kuncir. Tentu saja sambil membawa misi untuk memulihkan nama baikku secara perlahan.

Setibanya di rumah aku kembali memastikan keadaan. Kuperiksa semua kamar dan ruangan. Kosong tidak ada orang.

Aku kembali keluar rumah dan berdiri dalam kegelapan. Aku harus mencari uwa, tapi kemana?

Aku memutuskan untuk mencari uwa ke tampian umum. Sebetulnya wajar saja kalau uwa tidak ada, mungkin memang sedang ke jamban. Tetapi perasaanku tidak enak. Aku harus memastikan.

Aku berjalan melewati rumah temanku Janadi.

“Ibu kok belum tidur, bapak kemana?” terdengar Janadi bertanya pada ibunya.
“Ibu abis kencing. Bapakmu tadi katanya mau meriksa air ke kolam, soalnya suka ada yang mampetin.”

Aku tidak peduli, dan tidak ada niat untuk mampir. Langkahku panjang. Tapi…

Degh.

Aku ingat kejadian pagi itu. Jangan-jangan? Ah….

Aku tidak ingin curiga, tapi aku harus membuktikan bahwa pikiranku salah. Jalanku semakin cepat.


Bersambung….
Wow wow wow membagongkan!!!
 
Patroli dulu nih, cek si ireng masih sendiri cek ka empang belum keliatan tanda2 ada si uwa..salah venue kayanya..muter lagi ahhh...
 
- Part 7 -



Hari ini uwa nampaknya tidak bepergian ke ladang. Kukaitkan kantong plastik berisi alat mandi pada paku, lalu ikut duduk mengitari tungku. Aitun sigap menyeduhkan kopi untukku.

“Kamu mau kemana hari ini, Sen?” tanya Uwa Samping yang sedang ngakeul (terjemahannya apa ya?) nasi.

“Saya diminta Bi Ira untuk bantuin Kang Mendung bikin tampian di kulon.” jawabku. Kulirik wajahnya. Tidak ada ekspresi mencurigakan di sana. Semalam aku mencarinya tetapi tidak ketemu. Pas aku pulang, ia malah sudah ada di rumah dan tidur di kamar. Sebenarnya aku ingin menanyakannya, tetapi takut menimbulkan fitnah, walaupun firasatku mengatakan bahwa memang ada yang uwa sembunyikan.

“Kamu sudah dengar berita dari Ciitil, Sen?” Uwa Kasur mengalihkan pembicaraan.
“Berita apa, Wa?” tanyaku sambil menerima cangkir kopi yang Aitun sodorkan. Setelahnya ia ikut duduk di atas jojodog sambil memanggang ikan asin.

“Tadi aku beli bako buat bapak ke warung, eh ibu-ibu lagi pada ngumpul dan cerita bahwa dua orang yang memfitnahmu di desa diciduk dan digebukin warga. Siapa namanya, aku lupa?” Aitun menyahut.

“Si Uncal, Koma, ama Kopet. Memangnya kenapa?” aku pura-pura terkejut.

“Nah.. katanya si Koma ama Kopet itu ketahuan warga sedang memperkosa Bu Ndit, ibunya si Uncal. Mereka langsung digebukin. Salah satu dari mereka.. aku lupa Koma atau Kopet.. masih sempat diamankan dan dibawa ke puskesmas. Kondisinya sangat kritis. Kalau yang satunya lagi malah meninggal di tempat.” cerita Aitun.

“Masa sih, mereka tega memperkosa ibu teman sendiri?” celetuk Uwa Samping.

“Ya aku denger langsung dari ibu-ibu tadi. Kebetulan Abah Tatakan baru pulang dari desa dan mendengar ceritanya dari sana.” jawab sepupuku.

“Tah hirup mah kitu, Sen.” celetuk Uwa Kasur. “Melak cabe moal jadi bonteng, melak bonteng moal jadi cabe; melak hade moal jadi goreng, melak goreng moal jadi hade (menanam kebaikan tidak akan berbuah buruk, menanam keburukan tidak akan berbuah baik).

“Kamu difitnah, sekarang terbukti sendiri siapa penjahat sebenarnya, tanpa harus kamu mencari bukti atau balas dendam.” lanjut uwa. Sikapnya yang belakangan lebih banyak mendiamkanku berubah menjadi ramah kembali.

“Iya, Wa.” singkatku. Ia tidak tahu saja apa yang telah kami berempat lakukan. Seandainya ia tahu, murkanya pasti meluap melebihi kemarahannya ketika di kantor polisi.

Sarapan pun siap disantap. Nasi hangat, tanjan bakar, sambal, dan lalapan. Kami melanjutkan obrolan sambil makan. Uwa dan Aitun terlihat lega sekaligus prihatin. Lega karena dengan sendirinya nama baikku perlahan dipulihkan, sedangkan prihatin karena moral bejat mereka. Sekaligus prihatin pada keluarga Pak Ndit.

Tak berselang lama, Pento nongol di pintu dapur. ‘Pakaian perang’ perkebunan sudah ia kenakan.

“Mau kemana, Nto?” tanya Uwa Samping.
“Mau ka kulon, ngilikan kapol (kapulaga). Ini sengaja mampir dulu karena baru saja ada berita dari Ciitil.” jawabnya.

“Mampir karena ada berita atau karena mau ketemu Aitun?” sindirku.

Pento sih hanya cengengesan, tapi Aitun yang ngedumel. Tebakanku telak, walaupun sebenarnya apa yang dikatakan Pento tidak ada salahnya.

“Sok atuh duduk, sekalian ikut makan.” undang Uwa Kasur.

“Saya mah sudah makan, Mang, tapi kalau kopi sih mau.” jawabnya.

Tanpa diminta, Aitun langsung mencuci tangannya, dan sigap menyeduh kopi untuk sang pacar.

Pento melengkapi cerita yang disampaikan oleh Aitun. Rupanya yang meninggal adalah Kopet; dan yang dilarikan ke puskesmas adalah si Koma. Mungkin namanya membawa keberuntungan, sehingga ia hanya koma, tidak sampai ‘titik’ (mati) seperti si Kopet.

Karena rumah kami ada di sisi jalan menuju ladang dan pintu dapur dibiarkan terbuka, beberapa warga yang lewat berhenti di depan pintu. Mereka bukan hanya mau bersalam-sapa, tetapi langsung berbagi cerita tentang berita hangat hari ini. Rupanya berita tentang nasib naas yang dialami dua bajingan itu cepat meluas.

Ada yang bercerita tentang si Koma dan si Kopet. Ada yang fokus cerita pada nasib ibu Ndit sekarang. Ada juga yang meminta maaf kepadaku karena selama ini telah bersikap membenciku.

Lega rasanya.. kini aku tidak merasa terasing lagi di kampung sendiri. Memang ini adalah maksud dari balas dendamku. Tetapi, bahwa kini ada masalah baru dengan niat terselubung Pak Kuncir yang ingin mencalokan diri menjadi lurah, itu urusan nanti. Aku harus bisa membuktikan dan meyakinkan warga kampung agar tidak mendukung dia. Ini akan sangat sulit, karena uwaku sendiri mendukungnya.

Sekitar jam delapan, di dapur kembali hanya ada kami berempat. Pento sudah berangkat ke kebun.

Uwa Kasur dan Uwa samping kembali menyampaikan rasa leganya. Uwa Kasur malah tak sungkan meminta maaf kepadaku. Aku sungguh terharu, tak sepantasnya uwa bersikap begitu.

Aitun ikut senang karena perubahan sikap ayahnya. Pun pula Uwa Samping.

“Terus kamu mau begini-begini saja, Sen?” tanya Uwa Kasur.
“Maksud Uwa?”
“Ya kamu gak ada niatan ke kota nyari kerja. Lagian kalau di kampung terus kapan kamu ketemu jodohnya?”

“Nggak ah, Wa. Saya mah mau di kampung saja.” jawabku.
“Terus gimana bisa ketemu jodohnya?” Aitun menirukan pertanyaan ayahnya.
“Tadinya ingin ngawinin kamu, tapi keburu kepincut si Pento.” jawabku kesal.

Mereka bertiga tertawa. Ah.. hari ini terasa sangat berbeda. Aku kembali merasa berada di rumah sendiri. Tak ada lagi ganjalan yang menjadi penghalang.

“Atau kamu deketin si Rara aja tuh, Sen, semalam ia banyak bertanya tentang kamu. Kayaknya dia suka deh ama kamu.” Aitun masih belum mau mengalihkan topik pembicaraan.

“Nggak!!” spontan suaraku sedikit meninggi.

“Cantik loh..” Uwa Kasur menyahut.

“Ah.. mana mau dia ama tukang angon kebo seperti saya.” jawabku sekenanya.
“Kalau ternyata dia mau?” Aitun kembali menimpali.
“Akunya yang nggak!” jawabku.

Aku tidak tertarik pada Rara bukan karena ia tidak cantik. Bukan juga karena sikap tidak menyenangkannya. Tetapi karena di hatiku sudah ada sebuah nama, yaitu Bi Ira.

Aitun malah mengompori orangtuanya supaya menjodohkan aku dengan Rara. Entah kenapa tiba-tiba Aitun menjadi ceriwis dan begitu bersemangat.

Seperti biasa, Uwa Kasur memberi nasihat. Intinya supaya aku segera memikirkan dan mencari jodoh. Pemuda kampung seusiaku pada umumnya sudah pada menikah.

“Iya, Wa, iya.. aku akan mencari.” jawabku di akhir nasihat uwa.

Jawabanku sebenarnya supaya obrolan pagi ini berakhir, bukan jawaban yang keluar dari hati. Kupretnya, Aitun masih saja mengompori, dan baru bungkam ketika aku balik bertanya, “kamu dan Pento sendiri kapan nikah?”

Sejurus kemudian kami beranjak dari dapur. Uwa Kasur mau ngarit untuk kambing, Uwa Samping beres-beres rumah, sedangkan aku dan Aitun menuju rumah Bi Ira. Aku sudah lengkap dengan kemeja kumal dan golok tajam.

Di dapur ada Bi Ira dan Teh Sari. Mereka berdua ngobrol di depan tungku. Aitun langsung masuk menaiki bale-bale untuk mencari Rara yang katanya baru selesai mandi.

“Anak bujang jam segini baru nongol. Tuh Kang Mendung mah sudah ke kolam duluan.” celoteh Teh Sri.

“Hehe.. justru karena masih bujang, makanya bangun siang.” jawabku sambil cengengesan. Tanpa ia ketahui, aku dan Bi Ira saling mencuri tatapan. Rasa sayang sama-sama kami sorotkan, karena sentuhan tidak mungkin kami lakukan.

“Hmmm… tapi sepertinya gak akan lama lagi nih jadi bujangnya.” senyum Teh Sari mencurigakan.

“Heh? Maksud teteh?” heranku. Bu Ira juga nampak terkejut mendengar ucapan anaknya.

“Ada deh!”

Hadeuh! Bi Ira menawariku sarapan, tetapi jelas kutolak karena aku sudah makan. Kuputuskan untuk langsung menyusul Kang Mendung di kolam. Sebetulnya aku masih betah karena bisa berdekatan dengan Bi Ira, tetapi begitu mendengar suara Aitun dan Rara, aku memilih pergi. Aku masih muak pada sikap gadis itu.

Aku mampir ke kandang untuk mengeluarkan si ireng. Kutuntun menuju kolam. Kusapa Kang Mendung yang sedang menggergaji bambu gelondongan.

“Maaf kang saya telat. Itu bambu sebanyak gitu dari mana?” tanyaku.
“Santai, Sen. Ini mah sehari juga selesai.” jawabnya. Ia juga menjelaskan bahwa ia menebang bambu milik Abah Tatakan yang lokasinya tidak jauh dari kolam.

“Tapi nanti kamu tolong ganti kalau Abah Tatakan membutuhkan. Kamu tebang aja bambu yang di wetan sebagai ganti.” Kang Mendung terkekeh.

“Haha.. santai, kang. Selagi saya masih di kampung mah aman.” jawabku.

Kutambatkan tali tambang si ireng pada pohon kelapa, lalu sigap membantu Kang Mendung.

Sejam kemudian keempat wanita datang sambil menenteng bawaan masing-masing. Aku senang.. wanitaku datang. Berada di dekatnya sudahlah cukup bagiku. Tetapi sekaligus moodku berkurang karena Rara ikut serta.

“Nanti kita makan siang di sini saja.” tutur Bi Ira. Rupanya mereka sudah siap dengan anco (jaring ikan).

Bi Ira juga sepertinya baru mendengar kabar tentang kejadian di Ciitil dari Aitun. Tema obrolan pun kembali tentang kejadian itu. Mereka saling menyahut, banyak benarnya, tapi tak sedikit yang hanya gosip.

Bukannya nganco (menjaring), para wanita malah ngobrolin itu sambil duduk dan memperhatikan aku dan Kang Mendung yang sedang bekerja. Sialnya.. meskipun peristiwa itu sedikit atau banyak memulihkan nama baikku, tetapi sikap Rara padaku tetap saja nyinyir. Celetukannya penuh sindiran, bahkan candaannya dengan Aitun atau kakak ipar seolah tetap memojokanku. Teguran Kang Kang Mendung dan Teh Sari pun tak lagi mempan.

Kalau sudah begitu, aku hanya bisa melirik Bi Ira. Hanya pada sorot matanya aku mencari ketenangan. Teduh senyumnya membuat aku kebal dan tidak peduli pada apapun yang Rara katakan.

Aku bernafas lega ketika mereka akhirnya sadar pada niat mereka untuk menangkap ikan. Mereka mulai sibuk nganco (menyair ikan) dan kadang heboh sendiri. Rara pun nampak menikmati. Hanya padaku saja sikapnya arogan, ke yang lain tidak.

Tepat tengah hari, kerangka tampian sudah kami selesaikan. Juga bilik bambu untuk dindingnya selesai dikerjakan.

Aku dan Kang Mendung rehat. Kupindahkan si ireng, lantas kembali menemani Kang Mendung. Asap rokok mengepul dari mulut kami berdua. Teh Sari membawakan teko berisi air minum. Meski tidak ada kata-kata mesra, jelas gerak-geriknya menunjukan sikap perhatian pada suami tercinta. Aura kasih sayang di antara mereka berdua bisa aku rasakan. Kalau aku dan Bi Ira hanya bisa saling curi pandang, Kang Mendung dan Teh Sari tak sungkan terang-terangan saling tatap mesra.

“Rara dan Aitun, kalian pulang duluan, masak nasi sama bikin sambel.” teriak Bi Ira sambil menyalakan perapian.

Kedua gadis itu langsung sregep. Mereka berdua melakukan yang diminta Bi Ira dengan langkah riang. Mereka belum lama kenal, tapi terlihat seperti sudah berteman lama.

Kupandang punggung keduanya. Aku baru sadar kalau pakaian Rara basah. Lekuk tubuhnya tercetak. Pinggul padatnya melenggok di atas kaki putihnya yang jenjang.

“Cantik gak?” Teh Sari menyenggol bahuku. Kang Mendung tertawa kecil mendengar pertanyaan istrinya.

“Teteh? Cantiklah.. kalau nggak, mana mau Kang Mendung dibela-belain datang tiap minggu waktu kalian masih pacaran.” jawabku tidak nyambung, walaupun aku bisa menangkap arah pembicaraan Teh Sari.

“Yee.. godain istri orang di depan suaminya.” Teh Sari pura-pura sewot. “Maksud teteh, Rara cantik gak?”

Hatiku mengakui kalau Rara memang cantik. Tapi kalau aku bilang dia cantik, bukan tidak mungkin kalau aku jadi korban bulian. Lagi pula wanita tercantik bagiku tetaplah Bi Ira. Tetapi kalau aku bilang Rara jelek, jelas aku tidak enak pada Kang Mendung. Maka jawabku, “Cantikan Teh Sari sih.”

Wanita itu auto kesal mendengar jawabanku, sedangkan Kang Mendung ngakak lepas karena ia tahu bahwa aku hanya bercanda. Sejak dulu, aku dan Teh Sari memang sudah seperti kakak-beradik, Kang Mendung tahu itu.

“Sari, sini bantuin ibu mau nyisik ikan.” teriak Bi Ira.

Aku pun bernafas lega karena terlepas dari cecaran Teh Sari. Kubuang puntung rokok, dan melanjutkan pekerjaan.

Kali ini aku melucuti pakaian, menyisakan celana pendek selutut dan bertelanjang dada. Kang Mendung kucegah ketika ia akan melakukan hal yang sama. Cukup aku saja yang turun ke dalam kolam.

Dua gadis sibuk memasak nasi di rumah. Dua wanita sibuk menyisik dan membakar ikan di tepi kolam. Aku dan Kang Mendung melanjutkan membuat tempat pemandian. Aku turun ke dalam kolam untuk menancapkan dua buah balok yang akan dijadikan tiang. Aku cukup kesulitan karena lumpur dan tinggi air yang sampai seleher. Tapi secara perlahan kedua tiang berhasil kutancapkan.

Aku mengagumi cara kerja Kang Mendung. Tinggi tiang sangat pas dan sejajar, meski dalamnya tancapan berbeda. Rupanya ia sudah mengukur dengan menancapkan galah sebelumnya. Aku menyambungkan palang pada dua tiang dan memakunya. Setelah beres, aku naik kembali ke permukaan. Aroma ikan mujair bakar langsung tercium menggugah selera.

Kang Mendung menggerutu karena melihat Teh Sari sibuk makan ikan yang sudah dibakar ibunya. Ada keseruan tersendiri di antara kami berempat, meski aktivitas kami berbeda.

Tak lama berselang kerangka utama tampian sudah kami pasang. Cukup dua tiang karena pada sisi lainnya palang kayu ditumpangkan pada bibir kolam; diganjal batu. Lantai kami pasang, pun pula dinding bambu pada ketiga sisinya. Bagian pintu depan tanpa penghalang. Tak mungkin orang bisa melihat dari arah bawah lereng, kecuali kalau memang benar-benar lewat di depan tampian.

Bi Ira memuji hasil kerja kami berdua, sedangkan Teh Sari hanya memuji suaminya. Begitulah.. aku dan Teh Sari seperti tak pernah rukun, tetapi sesungguhnya ini menunjukan kedekatan kami berdua. Kami sudah seperti satu keluarga.

Tak lama berselang, dari kejauhan nampak Aitun dan Rara berjalan, datang membawa makanan. Bi Ira mengambil tikar. Semula ia mau menggelar tikar di bawah pohon kelapa, tetapi begitu melihat tai si ireng, ia mengurungkan niat.

Tikar pun digelar di bawah jambu batu.

Dua gadis datang. Makanan disajikan. Kami semua duduk melingkar di atas tikar. Keindahan dan nikmatnya hidup ini tak lagi terkata. Makan bersama di alam terbuka, dengan sajian kampung yang menggugah selera. Tak semua orang bisa membeli suasana ini.

Nasi panas mengepul, sambal tomat dadakan tersaji, lalapan segar dihidangkan. Aroma mujair bakar semakin menggugah selera. Tak lupa kerupuk sebagai menu pelengkap.

Rara yang tadi pagi banyak bawel kini lebih pendiam. Tapi tetap seolah risih melihatku.

“Kamu pake baju dulu, masa makan telanjang dada.” ujar Bi Ira.

Aku nyengir. Sekarang aku sadar kenapa Rara risih. Aku berjingkat mengambil bajuku, sementara celana tidak kuganti walaupun masih basah.

Bi Ira sudah menuangkan nasi di atas daun jati untukku. Lengkap dengan lauk pauknya.

Nikmatnya menu yang disajikan membuat sikap menyebalkan Rara tidak kumat. Kami menikmati makanan sambil ngobrol ringan, tak jarang sambil melemparkan canda tawa. Rara jarang berbicara langsung padaku, tetapi sikapnya sudah tidak sejudes dan sesinis sebelumnya. Itu sudah cukup bagiku.

Lebih menyenangkan lagi karena Bi Ira duduk di sampingku. Aku duduk bersila, sedangkan ia emok. Lututku menyentuh pahanya meski tidak bersentuhan kulit secara langsung. Sekali-kali tangan atau sikut kami saling menyenggol tipis, seolah tidak sengaja, padahal itu adalah kehendak kami berdua. Ia juga melayani makanku melebihi apa yang ia lakukan pada suaminya.

Ganjil memang. Kami berdua saling kasmaran, sementara anaknya sendiri sedikit lebih tua dariku. Rasanya geli sendiri ketika memikirkan Teh Sari dan Kang Mendung memanggilku ayah. Tapi asli, aku akan sangat senang jika hal itu terjadi. Walaupun jalan menuju kesana sangatlah terjal. Bi Ira adalah istri orang. Teh Sari sendiri sudah pasti akan menentang; dan tak mungkin balik membenci.

Bodo amat. Yang penting sekarang aku sedang bahagia. Bahagia karena jatuh cinta. Bahagia karena yang memfitnahku telah terjerembab ke dasar nadir mereka. Dan makan siang ini.. bagiku tak ada ubahnya dengan pesta syukur.

Seusai makan, aku memindahkan si ireng. Di bibirku menempel sebatang rokok. Setelah rehat, aku dan Kang Mendung melanjutkan pekerjaan. Kali ini membuat talang dari bambu untuk mengalirkan air. Dua batang bambu panjang kami lubangi tengahnya dengan galah yang kami runcingkan ujungnya, lantas disambung. Tepat jam empat sore air jernih pun mengalir dan pekerjaan kami selesai.

“Yasudah kalian ambil pakaian ganti dan pada mandi. Ibu mau metik daun singkong buat makan malam.” seru Bi Ira pada Kang Mendung dan tiga perempuan yang sedang menggosip.

“Ikuuut…” seru Rara.

“Gak usah gak lama kok. Kalian mandi aja. Kan udah punya tampian baru.” ujar Bi Ira sambil tersenyum senang.

“Makasih, Sen, atas bantuannya, kamu mau langsung pulang?” tanya Bi Ira padaku.

Sebelum menjawab, aku menatap Bi Ira. Perasaanku berdesir halus. Ada tatap sayu di sana. Bagiku menjadi sebuah kode.

“Saya mau memasukan si ireng dulu ke kandang, lalu ngarit rumput untuk makan tambahan.” jawabku. Aku senang, jawabanku tepat, kulihat Bi Ira tersipu penuh arti.

Kami pun bubar. Kang Mendung juga berterima kasih, dan mengundangku main nanti malam. Sekedar ngobrol dan hiburan main kartu.

Mereka pulang, sedangkan aku dan Bi Ira berjalan satu arah. Aku sambil menuntun si ireng. Wanitaku menunggu ketika aku memasukan si ireng ke dalam kandang dan mengikat tambang pada tiang.

Lantas kami beriringan menjauh dari kampung. Sesampainya di tempat yang dituju, Bi Ira memetik pucuk daun singkong, sedangkan aku menyabit rumput. Kulakukan dengan cepat.

Setelah beres kami tidak langsung pulang. Ini semua hanyalah alasan. Aku mengajak Bi Ira memasuki perkebunan jagung, berlindung di antara dedaunan.

Tak peduli pada kulit yang masih sedikit gatal-gatal karena ilalang. Tak peduli pada keringat yang masih bercucuran. Tanpa komando aku dan Bi Ira duduk di atas tanah dan berpelukan erat. Rasa kangen saling kami kabarkan.

“Tadi waktu melihat kamu tidak pakai baju, bibi selalu merinding. Keingetan yang kemarin subuh.” ujar Bi Ira tanpa malu.

“Aku juga dari tadi ingin meluk bibiku sayang.” jawabku.

Bi Ira menggeliat untuk merubah posisi. Ia duduk menyamping di atas pangkuan. Kembali memeluk, sementara bibir langsung berpagut. Tak peduli pada aroma ikan, cumbuan kami kian panas dan dalam.

Sore ini, kebun jagung menjadi saksi atas kemesraan kami. Dan semilir angin menjadi peneduh ketika kami terbakar gairah. Aku dan Bi Ira kembali bersenggama. Tidak sepanas dan seliar sebelumnya, juga tanpa melucuti semua pakaian, tetapi tak mengurangi puasnya puncak kenikmatan.

Aku dan Bi Ira kembali melupa pada status; sama-sama terlena pada indahnya getaran sayang yang kami rasakan.

Rasa kami semakin terpatri, sementara birahi menyertai, dan membuat kami selalu ingin mengulangi.

“Ira, aku mau sampai.” aku mendesah tanpa pake embel-embel ‘bibi’.
“Kang Sena, Ira juga. Aaaah….”

Aku saling memeluk dengan nafas terengah. Sementara selangkangan masih menyatu basah.

“Nakal manggil Ira.” rajuknya setelah ia pulih dari getaran-getaran orgasmenya.
“Bibi juga manggil aku Kang Sena.”

Kami tak ubahnya dengan dua sejoli sebaya yang sedang digandrung cinta.

“Hihi abisnya…” ia terkekeh sambil menggelayut manja.
“Habisnya apa?” selidikku.

“Bibi jatuh cinta pada Kang Sena.” kedua pipinya langsung memerah.
“Aku juga sayang ama Ira.”

“Ira…”
“Kang Sena..”

Usai saling berbisik memanggil nama, kami kembali saling mencumbu. Aku lupa pada jarak usia, ia lupa pada suaminya. Yang selalu kami ingat adalah.. kami saling menyayangi.


*

*

*



Matahari sedang tepat vertikal di atas bumi, tetapi sinarnya tidak terlalu menyengat. Gumpalan awan mulai memenuhi langit. Ini pertanda baik, musim penghujan akan segera tiba.

Aku rebahan terkantuk-kantuk di bawah pohon randu, Setengah tubuhku bersandar pada rumput yang tadi kusabit. Si ireng asik makan, sekali-kali ia mendongak ke arahku.

Aku merasa lebih damai. Kecurigaanku pada Uwa Samping tidak terbukti, setidaknya sampai hari ini. Aku juga sudah tidak merasa terasing; tidak ada lagi warga yang mengacuhkanku atau mencibir ketika berpapasan. Pikiranku melayang pada peristiwa kemarin malam.


Begitu malam tiba, aku batal main ke rumah Bi Ira. Rumahku yang mendapat giliran jadi tongkrongan warga. Tak terkecuali Bi Ira sekeluarga. Alasannya karena berita yang kami dengar tentang kejadian di Ciitil.

Kami membicarakannya walaupun warga sebetulnya tidak tahu kejadian yang sebenarnya. Kecuali aku dan teman-temanku tentu saja. Nama baikku dipulihkan. Warga percaya pada penuturanku beberapa minggu yang lalu bahwa aku hanyalah korban fitnah.

Aku senang. Aku kembali tak lagi merasa dikucilkan. Lebih senang lagi karena si jutek Rara mendengar semua obrolan warga. Aku bukan pemerkosa seperti yang ia percayai dari rumor yang beredar sampai ke kampungnya.

Sekitar jam delapan malam, sebagian warga pulang. Beberapa pria masih bertahan. Kartu dibagikan, dan kopi serta cemilan kampung kembali disuguhkan.

Aku memilih duduk di bale-bale rumah, ditemani Janadi. Pento mojok berdua dengan Aitun di halaman.

“Gimana udah lega kan sekarang?” ujar Janadi.
“Belum.” jawabku singkat.
“Heh?”
“Aku masih ingin ketemu si Yuni dan mendengar penjelasannya.”

Janadi mendongak sambil menggelembungkan asap rokok dari dalam mulutnya.

“Apapun rencanamu, jangan pernah bergerak sendiri, Wot. Ingat ada aku, Pento, dan Ruko yang selalu siap membantu.” Aku terharu mendengarnya. Kuanggukan kepala.

“Tadi aku ngobrol dengan bapak…” ujarnya lagi. Aku diam mendengarkan.

“Awalnya sih aku gak setuju, tapi setelah dipikir-pikir ada baiknya juga. Malah bisa sekalian menjadi sarana kita untuk memata-matai pergerakan Pak Kuncir.”

“Maksumu, Ndi?”

“Aku mau kerja di pabriknya Pak Kuncir.”

Hampir saja aku teriak mendengarnya, tetapi keburu sadar di dalam rumah ada orang.

“Gelo maneh teh?” protesku.

“Dengerin aing heula.” nadanya masih datar.

Ia pun menuturkan pemikirannya. Pertama, ia membutuhkan penghasilan lebih secara kebun dan sawah mereka tidaklah cukup luas. Hanya pas untuk makan sehari-hari. Kedua, ia bisa mengawasi Pak Kuncir. Dan ketiga…

“Aku kepikiran Sri.”

“….” aku diam melongo.

“Aku juga gak tahu kenapa bisa begini. Tapi aku pikir sekarang momennya memang pas. Waktu kita ke sana, kan kita mengaku sebagai pegawai Pak Kuncir. Nah, kalau aku bisa kerja di pabrik kan jadi lebih gampang bagiku untuk mendekati Sri. Kebohongan kita tidak akan terbongkar. Apalagi sekarang dia sudah janda.” jelasnya panjang lebar.

Sebenarnya aku ingin memaki. Bisa-bisanya Janadi jatuh hati pada perempuan yang baru bertemu sekali. Tapi aku urung melontarkannya. Apa yang kulakukan dengan Bi Ira lebih buruk dari pada itu. Cinta memang ganjil.

“Aku paham, Ndi, tapi kalau maneh pergi, siapa lagi temanku nongkrong?”
“Kan masih ada Ruko ama Pento. Lagian.. seminggu dua kali aku pasti pulang.” jawabnya.

Aku menghela nafas. Aku berat kalau harus jauh dari sahabatku. Tetapi juga tidak ingin menghalanginya.

“Terserah kamu saja, Ndi.” akhirnya hanya itu yang bisa kuucapkan.

Janadi malah semakin antusias membeberkan rencana-rencananya, itu cukup menghiburku. Ada itikad tulus dari sahabatku. Selain berpetualang mencari nafkah dan mengejar cinta, ia juga mau membantuku untuk menyelidiki rencana-rencana Pak Kuncir.

“Nanti kalau ada kabar tentang si Yuni, aku pasti langsung ngasih tahu kamu.” pungkasnya.

“Selain kita menggagalkan rencana pencalonan Pak Kuncir dan kamu membereskan urusanmu dengan si Yuni, kamu sendiri tidak ada rencana lain?” kali ini ia balik bertanya.

“Maksudmu, Ndi?”
“Ya misalnya cari kerja ke kota atau cari jodoh.”

“Hahaha.. nggaklah.. aku di kampung saja. Lagian mau nyari jodoh kemana?”
“Belegug (bodoh) sia mah. Aku yakin si Rara suka kamu tuh, tadi sering ngelirik kamu terus, tapi kamunya terlalu dingin. Cantik sia.. aing ge bogoh.”

“Sialan! Kagaklah!!! Lagian katanya mau mencari si Sri tapi bogoh ka si Rara.” aku ngedumel.
“Hahaha.. ya itu untungnya. Aku sudah jatuh hati duluan pada si Sri sebelum ketemu Rara. Jadi si Rara jatah kamu!”

“Naaah.. akhirnya ketemu juga.” sebuah suara yang kukenal membuyarkan lamunanku.

Aku membuka mata. Aitun sudah berdiri di hadapanku sambil ngelek seikat reundeu (sejenis lalap yang dipetik dari hutan). Bukan dia yang mengusik kenyamananku, melainkan Rara yang bersamanya.

“Dari mana kalian?” tanyaku.

“Nyari kamu, jeleeek!!” cerewet Aitun kumat, sedangkan Rara hanya diam sambil senyam-senyum. Ia sudah tidak sejudes kemarin-kemarin lagi, tapi sebaliknya aku yang malah bersikap dingin kepada dia. Aku sendiri tidak tahu kenapa, bawaannya kesal kalau ada dia. Cantiknya tidak mampu melumerkan hatiku.

“Ra, naik munding yuk.” ajak Aitun.
“Nggak ah takut.”
“Yeeeh.. seru tau!”

Tanpa memedulikan kami berdua, Aitun setengah berlari ke arah si ireng. Ia menuntunnya ke dekat lereng, lantas dengan gesit ia naik ke atas punggungnya.

“Yihaaaaa…” teriaknya seolah mau memanas-manasi Rara.

Rara sebetulnya nampak tertarik, tetapi masih ragu. Sialnya ia malah duduk di sampingku. Kini malah aku yang kikuk sendiri.

“Ngerokok terus.” ujarnya sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan muka karena asap rokokku.

Aku diam. Perhatianku kualihkan pada Aitun.

Hening. Kami berdua sama-sama diam. Hanya sekali-kali ia menanggapi obrolan Aitun dari atas punggung munding.

Meski tidak saling berbicara, secara naluriah aku curi-curi pandang melalui sudut mataku. Perhatianku selalu pada lengan dan betisnya yang putih. Beberapa bentol bekas gigitan nyamuk terlihat.

Lengan Rara, juga betisnya ditumbuhi bulu-bulu halus. Hanya terlihat kalau diperhatikan dari dekat. Bagiku itu sangatlah seksi. Entah aku gede rasa atau tidak, Rara pun sering melirik ke arahku. Kalau sudah begitu, aku hanya pura-pura tak acuh memandang ke depan.

“Dulu kamu SMA di mana?” bosan juga kalau hanya saling diam.
“Di Majalengka.” jawabnya.

Aku mengangguk. Pantas saja kami tidak pernah ketemu karena satu-satunya sekolah SMA hanya ada di desa, sedangkan Rara sekolah di kota kabupaten. Aku juga sedikit paham pada karakter Rara. Ia sudah mengenal pergaulan kota sehingga gaya bicaranya berbeda dari gadis desa pada umumnya.

“Kamu?”
“Di dayeuh.”
“Oh.”

Suasana kaku antara kami berdua sedikit melumer walaupun hanya sebatas pertanyaan dan jawaban singkat.

“Kamu gak kerja?” kali ini sambil terang-terangan menatapku.
“Lah ini sedang kerja.” aku sedikit tersinggung. “Berkebun dan ngangon si ireng adalah pekerjaanku.”

“Maksudku, kamu gak kerja ke kota?”
“Nggak!”
“Kenapa?”
“Di kampung lebih enak!”
“Oh…”

Obrolan kami masih singkat-singkat. Aku malas sebetulnya, tetapi entah mengapa juga aku mau meladeni pertanyaan-pertanyaannya.

“Udah punya pacar?”
“Belum!” sebetulnya aku mengatakan ‘sudah’ tetapi terlalu berbahaya karena pasti Rara akan bertanya lebih jauh.

“Oh…”

“…”

“Ya kalau di kampung terus bagaimana kamu bisa punya pacar?”

Sebetulnya nada suara Rara biasa saja, cenderung pelan, bahkan seperti memiliki maksud terselubung. Tetapi entah mengapa, aku tersinggung mendengarnya. Aku sedikit emosi.

“Lah kamu sendiri ngapain lama-lama di sini, emangnya kamu gak punya pacar, gak laku di kampungmu?” kali ini aku yang menatapnya. Mungkin aku kesal karena keberadaannya dengan Teh Sari membuat hubunganku dengan Bi Ira sedikit terhalang.

Rara terkejut dan balas menatap.

“Kok kamu malah sewot?” sambil menunjukan ekspresi tidak suka.
“Ya lagian…”
“Apa?!”
“Nggak!!!”

“….” kami kembali saling diam.

“Rara buruan sini. Seru loh…” teriakan Aitun mencairkan kebekuan.
“Nggak mau. Takut..!!”
“Ayolah coba aja..”

Aitun meloncat dari punggung si ireng dan menghampiri kami. Tanpa banyak kata, ia menarik tangan Rara supaya berdiri dan setengah menyeretnya mendekati si ireng.

Aku ingin tertawa melihat tingkah mereka yang sedang tarik-tarikan. Rara akhirnya mengalah. Aitun membantu Rara menaiki punggung si ireng.

Rara menjerit-jerit kecil, bercampur tawa. Mungkin kegelian karena kulit mulusnya berasa digelitik bulu-bulu si ireng yang kaku.

Awalnya Rara nampak tegang dan masih takut. Tetapi lama-kelamaan menikmati. Ia menemukan keseruan baru. Takutnya berubah riang.

Aku terpaku. Kupandang pemandangan kotras antara gadis berkulit putih dengan si ireng yang hitam kelam.

Rambut Rara berkibar diterpa angin, nampak sedikit keemasan karena sinar matahari. Lehernya mengkilat karena lembab keringat.

Perawakan gadis itu memang terlihat sempurna. Karena posisiku berada menyamping, aku juga bisa melihat gundukan payudara Rara yang dibalut kaos berwarna putuh. Nampak sekal walau berukuran sedang.

Pinggangnya ramping, dan pinggulnya membulat ideal. Rara memang memakai celana pendek selutut berbahan jeans, sehingga lekuk pinggang dan pinggulnya tercetak ketat. Ujung celananya tertarik ke atas sehingga aku bisa melihat kulit di atas lututnya. Kalau dilihat dari depan, pasti aku juga bisa melihat gundukan kembung pada pangkal selangkangannya.

“Enak, ya reng, ditunggangi gadis cantik.” gumamku dalam hati. Aku merasa sedikit iri pada keboku.

“Dah ya aku pulang duluan. Nanti kamu pulangnya dengan si Sena aja.” tiba-tiba Aitun berlari ke arahku.

“Aituuuuun…” teriak Rara.

Aitun tidak peduli. Ia mengambil reundeu di sampingku lalu berlari menuruni bubulak.


“Hei… Aitun…” kali ini aku yang berteriak.

“Hihi.. dadah… kalian jangan macam-macam ya!” teriaknya sambil mempercepat lari.

Aku menatap Rara dan punggung sepupuku bergantian. Rara melakukan hal yang sama. Riangnya hilang. Nampak begitu bingung. Ia seperti ingin turun menyusul Aitun, tetapi tidak punya keberanian untuk meloncat.

“Sena!! Malah diam saja!! Bantuin aku turun!!” pekik Rara.

“Loncat aja!” jawabku sekenanya karena masih bingung.
“Gak bisaaa! Bantuin..!!”

Aku mengalah. Kudekati Rara.

Duduk Rara yang gelisah membuat si ireng menghentikan makan. Pergerakan tangan gadis itu, bagi si ireng menjadi seperti pukulan yang menyuruhnya berjalan.

“Jatuh sia.. jatuh sia…” ucapku dalam hati.

“Senaaa..” pekik Rara.

Melihat si ireng menuruni lereng setinggi pinggang orang, aku malah senang. Bukannya menolong Rara, tapi berdiri mematung.

“Senaaa… hiiiks…” Rara panik. Sementara kaki depan si ireng sudah menggelosor turun. Rara oleng.

Aku kemudian sadar kalau Rara bukanlah anak kampung yang berbau tanah ladang dan binatang peliharaan. Lereng segitu tidak akan membuatku atau Aitun jatuh dari punggung si ireng. Tapi sekarang berbeda, yang sedang berada di atas punggungya adalah seorang Rara.

Aku segera berlari untuk menahan tubuh gadis itu agar tetap stabil pada posisi duduknya. Terlambat… tubuh Rara oleng ke samping dan melayang. Pekiknya terdengar nyaring.

Aku yang semula mau membantu supaya ia tidak jatuh, berubah menjadi menangkap tubuhnya supaya tidak terjerembab. Kalau ia terperosok bersama si ireng bukan tidak mungkin malah Rara terinjak.

Kutarik tangan Rara, kuraih pula pinggangnya.

Huuuuffff…

Sial.. aku keserimpet rumput kering. Aku kehilangan keseimbangan. Jatuh sudah tak terhindarkan.

“Aaaaahhh…” pekik Rara.

Buuukkkk…

Punggungku membentur tanah. Sigap kutahan kepala Rara agar tidak terbentur, tetapi perutku menjadi korban. Pinggul Rara mendarat tepat di atas perut.

“Aaaaauuuwww…” jerit Rara.

Hkkkkkkkk….

Rara terselamatkan, aku kokosehan karena beban tubuhnya.

Sedetik kemudan Rara berusaha bangkit, tapi gagal. Lantas miring untuk menggulingkan badan. Kembali gagal. Tanpa sengaja aku malah mencium pipinya.

“Sena lepasiiin.”

Eh.. ternyata aku memeluk pinggangnya erat. Pantas saja ia tidak bisa bangun.

“Maaf-maaf…”

Gadis itu pun bangkit. Ekspresi shock, kesal, dan malu langsung memancar.

Ia merunduk untuk membersikan debu pada celananya. Aku terbelalak. Kerah kaos Rara terbuka, dan sekelibat belahan putih payudara ranumnya terlihat.

“Heiii…!!!”

Aku gelagapan karena sorot mataku terciduk. Aku langsung bangkit sambil memegangi perut.

“Oeeee…” si ireng bersuara sambil melihat ke arah kami. Lidahnya terjulur menjolati hidung.

“Siaaa…!!!” kulampiaskan sewotku pada si ireng.

“Kamuuuu!!” eh malah Rara juga sewot padaku.

“Loh? Udah bagus ditolong.”

“Ya tapi.. tapi…”
“Apa?”
“Haisssh.. kamu…”

Ungkapan kesal kami sama-sama tidak jelas. Akhirnya kami sama-sama sibuk membersihkan pakaian dari debu dan bunga rumput yang menempel.

“Makasih.”

Gadis yang aneh. Tadi ngambek, sekarang berterima kasih. Tanpa komando, kami berdua sama-sama menggerutu. Aitun yang sudah tidak ada menjadi pelampiasan kekesalan.

“Ireng jahaaat…” tiba-tiba Rara merengek sambil menunjuk keboku.

Aku auto tertawa mendengarnya. Semua kekesalan berganti geli. Melihat tawaku, Rara ikut tertawa. Kami berdua tertawa. Kenapa tertawa? Ya pingin aja.

“Oeeeeee…”

Semua kekakuan yang sejak awal pertemuan sudah tercipta, kini pecah. Aku dan Rara menjadi bisa ngobrol biasa. Sekali-kali diselipi canda. Ia juga masih betah ketika kuajak pulang. Sejenak aku melupa pada Bi Ira. Entah mengapa. Berada di dekat Rara menciptakan kenyamanan berbeda.

Rara kembali duduk di tempat semula, aku memanjat pohon kelapa dan memetik kelapa muda. Sisanya kami ngobrol berdua sambil menikmati hasil petikanku.

“Maaf.” ujarnya tanpa melirik. Ia sibuk menoreh kulit kelapa dengan sendok yang kubuat dari kulit luarnya.

“Heh?”

Rara pun mengaku sudah bersalah sangka. Ia sebetulnya ragu ketika diajak kakaknya datang ke Pasir Beha. Namaku sudah santer disebut orang. Tetapi karena terus dibujuk Teh Sari akhirnya ia mau.

Tanpa lagi menghakimi, Rara bercerita tentang jeleknya namaku di kampungnya. Banyak orang yang tidak mengenalku, tetapi mendengar nama Sena, mereka langsung mencibir jijik.

Mendengar ketulusan Rara, tanpa kumau aku pun bercerita. Kisah sebenarnya kusampaikan, bahkan sampai detail.

Tanpa terasa waktu beranjak sore. Kami menjadi terasa lebih dekat dan akrab. Ia menunjukan perhatiannya agar tetap sabar. Toh sekarang yang semula menuduhku memerkosa malah sudah terbukti menjadi pemerkosa. Ah.. Rara tidak tahu saja.

“Kita pulang.” ujarku ketika matahari sudah mulai turun.
“Iya.” jawabnya enggan.

Yaa.. sebetulnya kami masih sama-sama betah.

Kubuka ikatan si Ireng dan menuntunnya. Rumput yang kusabit kusuhun di atas kepala. Tanpa dinyana, Rara malah ikut ke kandang, ia seperti masih betah bersamaku.

Hanya dalam waktu singkat, aku melihat seorang Rara yang berbeda. Seorang gadis yang bukan hanya cantik, tetapi juga baik. Aku harus menyangkal kalau aku jatuh cinta. Aku hanya merasa nyaman, sementara cintaku sudah milik seorang wanita.

“Dari mana kalian?” sorot mata Teh Sari penuh sedilidik ketika aku mengantar Rara. Tapi ada senyum tersembunyi. Teh Sari seperti senang melihat kedekatan kami.

“Dari bubulak. Ama Aitun juga kook.” jawab Rara.

“Oooh… mana Aitunnya, kok gak ada?”

“Eh itu.. anu…” aku gelagapan.
“Udah pulang duluan.” Rara menjawab.

“Oooh..” gumam Teh Sari dengan senyum dikulum.

“Iiiih teteeh…” Rara merajuk.

Setelah mengobrol sebentar, aku langsung pamit pulang. Tak ingin terlalu berlama-lama karena kulihat Bi Ira sedang tidak berada di rumah.

“Baru pulang, Sen?”
“Iya, mang.”

Aku berpapasan dengan Mang Karman, ayahnya, Janadi di belakang rumah. Pria itu memikul kayu bakar. Setelah basa-basi sebentar aku masuk rumah melalu pintu dapur.

Uwa Samping ada di sana, sedang membereskan perabotan yang baru selesai dicuci. Ia rupanya baru pulang dari tampian sekalian mandi. Tubuhnya masih dibungkus kain samping sehingga hanya sebatas setengah paha sampai dada yang terlindung. Kain itu basah.

Kuliat kedua paha belakangnya terpajang ketika ia menunduk, malah sampai terekspos sampai mendekati pangkal pahanya. Kain menjadi semakin terlihat ketat, dan tidak terlihat cetakan celana dalam.

Kulihat uwa sedang senyam-senyum sendiri, dan ia langsung bersikap biasa, ketika tahu aku masuk.

Aku yakin uwa baru saja berpapasan dengan Mang Karman. Sebetulnya tidak ada yang aneh. Bagi kami orang kampung melihat perempuan berpakaian seperti ini sepulang mandi sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Tetapi kenapa uwa senyam-senyum sendiri? Itu yang aneh.

“Uwa belum pulang, Wa?” sapaku menanyakan uwa laki.
“Udah. Lagi ngasih makan kambing di belakang.”
“Aitun?”
“Lagi disuruh ke warung.”
“Ooh..”

Tanpa uwa tahu, mataku selalu tertuju pada cetakan pinggul dan pahanya. Uwa Samping seusia dengan Bi Ira, tapi perawakannya lebih montok.

Ketika uwa berbalik aku disuguhi pemandangan lain. Kali ini payudaranya yang besar. Ikatan kain tidak mampu melindungan belahannya. Ah.. siapapun itu.. the power of wanita setengah baya sensasinya memang berbeda.

Uwa tidak curiga atas aksi mataku. Kami ngobrol sebentar, sebelum akhirnya uwa beres menata perabotan, lantas menuju kamar untuk berpakaian. Lagi-lagi pikiranku malah membayangkan uwa yang sedang telanjang di dalam kamar.

Kuputuskan untuk bersantai sambil merokok, pikirku sebatang dulu sebelum pergi mandi.

“Uwa mau ke tampian lagi. Alat mandi ketinggalan. Nanti kalau si Aitun pulang dari warung bilang aja gak usah nanak nasi yang baru, sisa siang masih banyak, tinggal diangetin.” Rupanya uwa sudah selesai berganti pakaian. Ia mengenakan daster panjang sehingga lekuk tubuhnya tak lagi terkespose. Kepalanya rambutnya digelung oleh kain batik.

Bersamaan dengan itu Uwa Kasur masuk rumah. Uwa Samping mengatakan hal yang sama.

Uwa Samping pun pergi, sedangkan Uwa Kasur mengeluarkan kapak untuk membelah kayu bakar.

Sekelebat aku melihat Uwa Samping di halaman. Yang membuatku curiga adalah karena arahnya yang berbelok. Ia menuju bubulak tempatku tadi berdua dengan Rara.

Terdorong oleh rasa penasaran, aku pun pamit pada Uwa Kasur dengan alasan mau mandi. Aku mengendap mengikuti uwa. Aku tidak menyusuri jalan setapak, tetapi menerobos kebun singkong dan kebun jagung. Yang penting aku masih bisa mengawasi keberadaan uwa.

Dugaanku benar. Tujuan uwa bukan tampian seperti tadi ia bilang, melainkan bubulak. Lantas tubuhnya menghilang di belokan.

Aku terus bergerak. Tiba-tiba aku mendengar seseorang yang batuk. Kulihat Mang Karman berjalan sendirian ke arah yang sama. Tangannya menenteng arit (sabit) dan gulungan tali yang terbuat dari bambu. Ia seolah mau menyabit rumput.

Aku diam mengawasi sampai Mang Karman lewat. Kuikuti dari jauh.

Di tepi puncak bubulak, yang berbatasan dengan hutan lindung, ada sebuah saung reyot yang sudah tidak terurus. Mang Karman menuju ke sana.

Aku yang sudah paham daerah ini, langsung memutar menerobos hutan ilalang. Tujuanku adalah mengawasi dari bagian atas saung.

Benar saja, Mang Karman menuju ke sana. Yang membuatku terkejut dan sesak dada, rupanya Uwa Samping juga sudah ada di sana. Duduk di tepi bale-bale saung. Kain yang tadi ia gulungkan di atas kepala, sudah dijadikan alas.

Sial malah bersambung….
 
- Part 7 -



Hari ini uwa nampaknya tidak bepergian ke ladang. Kukaitkan kantong plastik berisi alat mandi pada paku, lalu ikut duduk mengitari tungku. Aitun sigap menyeduhkan kopi untukku.

“Kamu mau kemana hari ini, Sen?” tanya Uwa Samping yang sedang ngakeul (terjemahannya apa ya?) nasi.

“Saya diminta Bi Ira untuk bantuin Kang Mendung bikin tampian di kulon.” jawabku. Kulirik wajahnya. Tidak ada ekspresi mencurigakan di sana. Semalam aku mencarinya tetapi tidak ketemu. Pas aku pulang, ia malah sudah ada di rumah dan tidur di kamar. Sebenarnya aku ingin menanyakannya, tetapi takut menimbulkan fitnah, walaupun firasatku mengatakan bahwa memang ada yang uwa sembunyikan.

“Kamu sudah dengar berita dari Ciitil, Sen?” Uwa Kasur mengalihkan pembicaraan.
“Berita apa, Wa?” tanyaku sambil menerima cangkir kopi yang Aitun sodorkan. Setelahnya ia ikut duduk di atas jojodog sambil memanggang ikan asin.

“Tadi aku beli bako buat bapak ke warung, eh ibu-ibu lagi pada ngumpul dan cerita bahwa dua orang yang memfitnahmu di desa diciduk dan digebukin warga. Siapa namanya, aku lupa?” Aitun menyahut.

“Si Uncal, Koma, ama Kopet. Memangnya kenapa?” aku pura-pura terkejut.

“Nah.. katanya si Koma ama Kopet itu ketahuan warga sedang memperkosa Bu Ndit, ibunya si Uncal. Mereka langsung digebukin. Salah satu dari mereka.. aku lupa Koma atau Kopet.. masih sempat diamankan dan dibawa ke puskesmas. Kondisinya sangat kritis. Kalau yang satunya lagi malah meninggal di tempat.” cerita Aitun.

“Masa sih, mereka tega memperkosa ibu teman sendiri?” celetuk Uwa Samping.

“Ya aku denger langsung dari ibu-ibu tadi. Kebetulan Abah Tatakan baru pulang dari desa dan mendengar ceritanya dari sana.” jawab sepupuku.

“Tah hirup mah kitu, Sen.” celetuk Uwa Kasur. “Melak cabe moal jadi bonteng, melak bonteng moal jadi cabe; melak hade moal jadi goreng, melak goreng moal jadi hade (menanam kebaikan tidak akan berbuah buruk, menanam keburukan tidak akan berbuah baik).

“Kamu difitnah, sekarang terbukti sendiri siapa penjahat sebenarnya, tanpa harus kamu mencari bukti atau balas dendam.” lanjut uwa. Sikapnya yang belakangan lebih banyak mendiamkanku berubah menjadi ramah kembali.

“Iya, Wa.” singkatku. Ia tidak tahu saja apa yang telah kami berempat lakukan. Seandainya ia tahu, murkanya pasti meluap melebihi kemarahannya ketika di kantor polisi.

Sarapan pun siap disantap. Nasi hangat, tanjan bakar, sambal, dan lalapan. Kami melanjutkan obrolan sambil makan. Uwa dan Aitun terlihat lega sekaligus prihatin. Lega karena dengan sendirinya nama baikku perlahan dipulihkan, sedangkan prihatin karena moral bejat mereka. Sekaligus prihatin pada keluarga Pak Ndit.

Tak berselang lama, Pento nongol di pintu dapur. ‘Pakaian perang’ perkebunan sudah ia kenakan.

“Mau kemana, Nto?” tanya Uwa Samping.
“Mau ka kulon, ngilikan kapol (kapulaga). Ini sengaja mampir dulu karena baru saja ada berita dari Ciitil.” jawabnya.

“Mampir karena ada berita atau karena mau ketemu Aitun?” sindirku.

Pento sih hanya cengengesan, tapi Aitun yang ngedumel. Tebakanku telak, walaupun sebenarnya apa yang dikatakan Pento tidak ada salahnya.

“Sok atuh duduk, sekalian ikut makan.” undang Uwa Kasur.

“Saya mah sudah makan, Mang, tapi kalau kopi sih mau.” jawabnya.

Tanpa diminta, Aitun langsung mencuci tangannya, dan sigap menyeduh kopi untuk sang pacar.

Pento melengkapi cerita yang disampaikan oleh Aitun. Rupanya yang meninggal adalah Kopet; dan yang dilarikan ke puskesmas adalah si Koma. Mungkin namanya membawa keberuntungan, sehingga ia hanya koma, tidak sampai ‘titik’ (mati) seperti si Kopet.

Karena rumah kami ada di sisi jalan menuju ladang dan pintu dapur dibiarkan terbuka, beberapa warga yang lewat berhenti di depan pintu. Mereka bukan hanya mau bersalam-sapa, tetapi langsung berbagi cerita tentang berita hangat hari ini. Rupanya berita tentang nasib naas yang dialami dua bajingan itu cepat meluas.

Ada yang bercerita tentang si Koma dan si Kopet. Ada yang fokus cerita pada nasib ibu Ndit sekarang. Ada juga yang meminta maaf kepadaku karena selama ini telah bersikap membenciku.

Lega rasanya.. kini aku tidak merasa terasing lagi di kampung sendiri. Memang ini adalah maksud dari balas dendamku. Tetapi, bahwa kini ada masalah baru dengan niat terselubung Pak Kuncir yang ingin mencalokan diri menjadi lurah, itu urusan nanti. Aku harus bisa membuktikan dan meyakinkan warga kampung agar tidak mendukung dia. Ini akan sangat sulit, karena uwaku sendiri mendukungnya.

Sekitar jam delapan, di dapur kembali hanya ada kami berempat. Pento sudah berangkat ke kebun.

Uwa Kasur dan Uwa samping kembali menyampaikan rasa leganya. Uwa Kasur malah tak sungkan meminta maaf kepadaku. Aku sungguh terharu, tak sepantasnya uwa bersikap begitu.

Aitun ikut senang karena perubahan sikap ayahnya. Pun pula Uwa Samping.

“Terus kamu mau begini-begini saja, Sen?” tanya Uwa Kasur.
“Maksud Uwa?”
“Ya kamu gak ada niatan ke kota nyari kerja. Lagian kalau di kampung terus kapan kamu ketemu jodohnya?”

“Nggak ah, Wa. Saya mah mau di kampung saja.” jawabku.
“Terus gimana bisa ketemu jodohnya?” Aitun menirukan pertanyaan ayahnya.
“Tadinya ingin ngawinin kamu, tapi keburu kepincut si Pento.” jawabku kesal.

Mereka bertiga tertawa. Ah.. hari ini terasa sangat berbeda. Aku kembali merasa berada di rumah sendiri. Tak ada lagi ganjalan yang menjadi penghalang.

“Atau kamu deketin si Rara aja tuh, Sen, semalam ia banyak bertanya tentang kamu. Kayaknya dia suka deh ama kamu.” Aitun masih belum mau mengalihkan topik pembicaraan.

“Nggak!!” spontan suaraku sedikit meninggi.

“Cantik loh..” Uwa Kasur menyahut.

“Ah.. mana mau dia ama tukang angon kebo seperti saya.” jawabku sekenanya.
“Kalau ternyata dia mau?” Aitun kembali menimpali.
“Akunya yang nggak!” jawabku.

Aku tidak tertarik pada Rara bukan karena ia tidak cantik. Bukan juga karena sikap tidak menyenangkannya. Tetapi karena di hatiku sudah ada sebuah nama, yaitu Bi Ira.

Aitun malah mengompori orangtuanya supaya menjodohkan aku dengan Rara. Entah kenapa tiba-tiba Aitun menjadi ceriwis dan begitu bersemangat.

Seperti biasa, Uwa Kasur memberi nasihat. Intinya supaya aku segera memikirkan dan mencari jodoh. Pemuda kampung seusiaku pada umumnya sudah pada menikah.

“Iya, Wa, iya.. aku akan mencari.” jawabku di akhir nasihat uwa.

Jawabanku sebenarnya supaya obrolan pagi ini berakhir, bukan jawaban yang keluar dari hati. Kupretnya, Aitun masih saja mengompori, dan baru bungkam ketika aku balik bertanya, “kamu dan Pento sendiri kapan nikah?”

Sejurus kemudian kami beranjak dari dapur. Uwa Kasur mau ngarit untuk kambing, Uwa Samping beres-beres rumah, sedangkan aku dan Aitun menuju rumah Bi Ira. Aku sudah lengkap dengan kemeja kumal dan golok tajam.

Di dapur ada Bi Ira dan Teh Sari. Mereka berdua ngobrol di depan tungku. Aitun langsung masuk menaiki bale-bale untuk mencari Rara yang katanya baru selesai mandi.

“Anak bujang jam segini baru nongol. Tuh Kang Mendung mah sudah ke kolam duluan.” celoteh Teh Sri.

“Hehe.. justru karena masih bujang, makanya bangun siang.” jawabku sambil cengengesan. Tanpa ia ketahui, aku dan Bi Ira saling mencuri tatapan. Rasa sayang sama-sama kami sorotkan, karena sentuhan tidak mungkin kami lakukan.

“Hmmm… tapi sepertinya gak akan lama lagi nih jadi bujangnya.” senyum Teh Sari mencurigakan.

“Heh? Maksud teteh?” heranku. Bu Ira juga nampak terkejut mendengar ucapan anaknya.

“Ada deh!”

Hadeuh! Bi Ira menawariku sarapan, tetapi jelas kutolak karena aku sudah makan. Kuputuskan untuk langsung menyusul Kang Mendung di kolam. Sebetulnya aku masih betah karena bisa berdekatan dengan Bi Ira, tetapi begitu mendengar suara Aitun dan Rara, aku memilih pergi. Aku masih muak pada sikap gadis itu.

Aku mampir ke kandang untuk mengeluarkan si ireng. Kutuntun menuju kolam. Kusapa Kang Mendung yang sedang menggergaji bambu gelondongan.

“Maaf kang saya telat. Itu bambu sebanyak gitu dari mana?” tanyaku.
“Santai, Sen. Ini mah sehari juga selesai.” jawabnya. Ia juga menjelaskan bahwa ia menebang bambu milik Abah Tatakan yang lokasinya tidak jauh dari kolam.

“Tapi nanti kamu tolong ganti kalau Abah Tatakan membutuhkan. Kamu tebang aja bambu yang di wetan sebagai ganti.” Kang Mendung terkekeh.

“Haha.. santai, kang. Selagi saya masih di kampung mah aman.” jawabku.

Kutambatkan tali tambang si ireng pada pohon kelapa, lalu sigap membantu Kang Mendung.

Sejam kemudian keempat wanita datang sambil menenteng bawaan masing-masing. Aku senang.. wanitaku datang. Berada di dekatnya sudahlah cukup bagiku. Tetapi sekaligus moodku berkurang karena Rara ikut serta.

“Nanti kita makan siang di sini saja.” tutur Bi Ira. Rupanya mereka sudah siap dengan anco (jaring ikan).

Bi Ira juga sepertinya baru mendengar kabar tentang kejadian di Ciitil dari Aitun. Tema obrolan pun kembali tentang kejadian itu. Mereka saling menyahut, banyak benarnya, tapi tak sedikit yang hanya gosip.

Bukannya nganco (menjaring), para wanita malah ngobrolin itu sambil duduk dan memperhatikan aku dan Kang Mendung yang sedang bekerja. Sialnya.. meskipun peristiwa itu sedikit atau banyak memulihkan nama baikku, tetapi sikap Rara padaku tetap saja nyinyir. Celetukannya penuh sindiran, bahkan candaannya dengan Aitun atau kakak ipar seolah tetap memojokanku. Teguran Kang Kang Mendung dan Teh Sari pun tak lagi mempan.

Kalau sudah begitu, aku hanya bisa melirik Bi Ira. Hanya pada sorot matanya aku mencari ketenangan. Teduh senyumnya membuat aku kebal dan tidak peduli pada apapun yang Rara katakan.

Aku bernafas lega ketika mereka akhirnya sadar pada niat mereka untuk menangkap ikan. Mereka mulai sibuk nganco (menyair ikan) dan kadang heboh sendiri. Rara pun nampak menikmati. Hanya padaku saja sikapnya arogan, ke yang lain tidak.

Tepat tengah hari, kerangka tampian sudah kami selesaikan. Juga bilik bambu untuk dindingnya selesai dikerjakan.

Aku dan Kang Mendung rehat. Kupindahkan si ireng, lantas kembali menemani Kang Mendung. Asap rokok mengepul dari mulut kami berdua. Teh Sari membawakan teko berisi air minum. Meski tidak ada kata-kata mesra, jelas gerak-geriknya menunjukan sikap perhatian pada suami tercinta. Aura kasih sayang di antara mereka berdua bisa aku rasakan. Kalau aku dan Bi Ira hanya bisa saling curi pandang, Kang Mendung dan Teh Sari tak sungkan terang-terangan saling tatap mesra.

“Rara dan Aitun, kalian pulang duluan, masak nasi sama bikin sambel.” teriak Bi Ira sambil menyalakan perapian.

Kedua gadis itu langsung sregep. Mereka berdua melakukan yang diminta Bi Ira dengan langkah riang. Mereka belum lama kenal, tapi terlihat seperti sudah berteman lama.

Kupandang punggung keduanya. Aku baru sadar kalau pakaian Rara basah. Lekuk tubuhnya tercetak. Pinggul padatnya melenggok di atas kaki putihnya yang jenjang.

“Cantik gak?” Teh Sari menyenggol bahuku. Kang Mendung tertawa kecil mendengar pertanyaan istrinya.

“Teteh? Cantiklah.. kalau nggak, mana mau Kang Mendung dibela-belain datang tiap minggu waktu kalian masih pacaran.” jawabku tidak nyambung, walaupun aku bisa menangkap arah pembicaraan Teh Sari.

“Yee.. godain istri orang di depan suaminya.” Teh Sari pura-pura sewot. “Maksud teteh, Rara cantik gak?”

Hatiku mengakui kalau Rara memang cantik. Tapi kalau aku bilang dia cantik, bukan tidak mungkin kalau aku jadi korban bulian. Lagi pula wanita tercantik bagiku tetaplah Bi Ira. Tetapi kalau aku bilang Rara jelek, jelas aku tidak enak pada Kang Mendung. Maka jawabku, “Cantikan Teh Sari sih.”

Wanita itu auto kesal mendengar jawabanku, sedangkan Kang Mendung ngakak lepas karena ia tahu bahwa aku hanya bercanda. Sejak dulu, aku dan Teh Sari memang sudah seperti kakak-beradik, Kang Mendung tahu itu.

“Sari, sini bantuin ibu mau nyisik ikan.” teriak Bi Ira.

Aku pun bernafas lega karena terlepas dari cecaran Teh Sari. Kubuang puntung rokok, dan melanjutkan pekerjaan.

Kali ini aku melucuti pakaian, menyisakan celana pendek selutut dan bertelanjang dada. Kang Mendung kucegah ketika ia akan melakukan hal yang sama. Cukup aku saja yang turun ke dalam kolam.

Dua gadis sibuk memasak nasi di rumah. Dua wanita sibuk menyisik dan membakar ikan di tepi kolam. Aku dan Kang Mendung melanjutkan membuat tempat pemandian. Aku turun ke dalam kolam untuk menancapkan dua buah balok yang akan dijadikan tiang. Aku cukup kesulitan karena lumpur dan tinggi air yang sampai seleher. Tapi secara perlahan kedua tiang berhasil kutancapkan.

Aku mengagumi cara kerja Kang Mendung. Tinggi tiang sangat pas dan sejajar, meski dalamnya tancapan berbeda. Rupanya ia sudah mengukur dengan menancapkan galah sebelumnya. Aku menyambungkan palang pada dua tiang dan memakunya. Setelah beres, aku naik kembali ke permukaan. Aroma ikan mujair bakar langsung tercium menggugah selera.

Kang Mendung menggerutu karena melihat Teh Sari sibuk makan ikan yang sudah dibakar ibunya. Ada keseruan tersendiri di antara kami berempat, meski aktivitas kami berbeda.

Tak lama berselang kerangka utama tampian sudah kami pasang. Cukup dua tiang karena pada sisi lainnya palang kayu ditumpangkan pada bibir kolam; diganjal batu. Lantai kami pasang, pun pula dinding bambu pada ketiga sisinya. Bagian pintu depan tanpa penghalang. Tak mungkin orang bisa melihat dari arah bawah lereng, kecuali kalau memang benar-benar lewat di depan tampian.

Bi Ira memuji hasil kerja kami berdua, sedangkan Teh Sari hanya memuji suaminya. Begitulah.. aku dan Teh Sari seperti tak pernah rukun, tetapi sesungguhnya ini menunjukan kedekatan kami berdua. Kami sudah seperti satu keluarga.

Tak lama berselang, dari kejauhan nampak Aitun dan Rara berjalan, datang membawa makanan. Bi Ira mengambil tikar. Semula ia mau menggelar tikar di bawah pohon kelapa, tetapi begitu melihat tai si ireng, ia mengurungkan niat.

Tikar pun digelar di bawah jambu batu.

Dua gadis datang. Makanan disajikan. Kami semua duduk melingkar di atas tikar. Keindahan dan nikmatnya hidup ini tak lagi terkata. Makan bersama di alam terbuka, dengan sajian kampung yang menggugah selera. Tak semua orang bisa membeli suasana ini.

Nasi panas mengepul, sambal tomat dadakan tersaji, lalapan segar dihidangkan. Aroma mujair bakar semakin menggugah selera. Tak lupa kerupuk sebagai menu pelengkap.

Rara yang tadi pagi banyak bawel kini lebih pendiam. Tapi tetap seolah risih melihatku.

“Kamu pake baju dulu, masa makan telanjang dada.” ujar Bi Ira.

Aku nyengir. Sekarang aku sadar kenapa Rara risih. Aku berjingkat mengambil bajuku, sementara celana tidak kuganti walaupun masih basah.

Bi Ira sudah menuangkan nasi di atas daun jati untukku. Lengkap dengan lauk pauknya.

Nikmatnya menu yang disajikan membuat sikap menyebalkan Rara tidak kumat. Kami menikmati makanan sambil ngobrol ringan, tak jarang sambil melemparkan canda tawa. Rara jarang berbicara langsung padaku, tetapi sikapnya sudah tidak sejudes dan sesinis sebelumnya. Itu sudah cukup bagiku.

Lebih menyenangkan lagi karena Bi Ira duduk di sampingku. Aku duduk bersila, sedangkan ia emok. Lututku menyentuh pahanya meski tidak bersentuhan kulit secara langsung. Sekali-kali tangan atau sikut kami saling menyenggol tipis, seolah tidak sengaja, padahal itu adalah kehendak kami berdua. Ia juga melayani makanku melebihi apa yang ia lakukan pada suaminya.

Ganjil memang. Kami berdua saling kasmaran, sementara anaknya sendiri sedikit lebih tua dariku. Rasanya geli sendiri ketika memikirkan Teh Sari dan Kang Mendung memanggilku ayah. Tapi asli, aku akan sangat senang jika hal itu terjadi. Walaupun jalan menuju kesana sangatlah terjal. Bi Ira adalah istri orang. Teh Sari sendiri sudah pasti akan menentang; dan tak mungkin balik membenci.

Bodo amat. Yang penting sekarang aku sedang bahagia. Bahagia karena jatuh cinta. Bahagia karena yang memfitnahku telah terjerembab ke dasar nadir mereka. Dan makan siang ini.. bagiku tak ada ubahnya dengan pesta syukur.

Seusai makan, aku memindahkan si ireng. Di bibirku menempel sebatang rokok. Setelah rehat, aku dan Kang Mendung melanjutkan pekerjaan. Kali ini membuat talang dari bambu untuk mengalirkan air. Dua batang bambu panjang kami lubangi tengahnya dengan galah yang kami runcingkan ujungnya, lantas disambung. Tepat jam empat sore air jernih pun mengalir dan pekerjaan kami selesai.

“Yasudah kalian ambil pakaian ganti dan pada mandi. Ibu mau metik daun singkong buat makan malam.” seru Bi Ira pada Kang Mendung dan tiga perempuan yang sedang menggosip.

“Ikuuut…” seru Rara.

“Gak usah gak lama kok. Kalian mandi aja. Kan udah punya tampian baru.” ujar Bi Ira sambil tersenyum senang.

“Makasih, Sen, atas bantuannya, kamu mau langsung pulang?” tanya Bi Ira padaku.

Sebelum menjawab, aku menatap Bi Ira. Perasaanku berdesir halus. Ada tatap sayu di sana. Bagiku menjadi sebuah kode.

“Saya mau memasukan si ireng dulu ke kandang, lalu ngarit rumput untuk makan tambahan.” jawabku. Aku senang, jawabanku tepat, kulihat Bi Ira tersipu penuh arti.

Kami pun bubar. Kang Mendung juga berterima kasih, dan mengundangku main nanti malam. Sekedar ngobrol dan hiburan main kartu.

Mereka pulang, sedangkan aku dan Bi Ira berjalan satu arah. Aku sambil menuntun si ireng. Wanitaku menunggu ketika aku memasukan si ireng ke dalam kandang dan mengikat tambang pada tiang.

Lantas kami beriringan menjauh dari kampung. Sesampainya di tempat yang dituju, Bi Ira memetik pucuk daun singkong, sedangkan aku menyabit rumput. Kulakukan dengan cepat.

Setelah beres kami tidak langsung pulang. Ini semua hanyalah alasan. Aku mengajak Bi Ira memasuki perkebunan jagung, berlindung di antara dedaunan.

Tak peduli pada kulit yang masih sedikit gatal-gatal karena ilalang. Tak peduli pada keringat yang masih bercucuran. Tanpa komando aku dan Bi Ira duduk di atas tanah dan berpelukan erat. Rasa kangen saling kami kabarkan.

“Tadi waktu melihat kamu tidak pakai baju, bibi selalu merinding. Keingetan yang kemarin subuh.” ujar Bi Ira tanpa malu.

“Aku juga dari tadi ingin meluk bibiku sayang.” jawabku.

Bi Ira menggeliat untuk merubah posisi. Ia duduk menyamping di atas pangkuan. Kembali memeluk, sementara bibir langsung berpagut. Tak peduli pada aroma ikan, cumbuan kami kian panas dan dalam.

Sore ini, kebun jagung menjadi saksi atas kemesraan kami. Dan semilir angin menjadi peneduh ketika kami terbakar gairah. Aku dan Bi Ira kembali bersenggama. Tidak sepanas dan seliar sebelumnya, juga tanpa melucuti semua pakaian, tetapi tak mengurangi puasnya puncak kenikmatan.

Aku dan Bi Ira kembali melupa pada status; sama-sama terlena pada indahnya getaran sayang yang kami rasakan.

Rasa kami semakin terpatri, sementara birahi menyertai, dan membuat kami selalu ingin mengulangi.

“Ira, aku mau sampai.” aku mendesah tanpa pake embel-embel ‘bibi’.
“Kang Sena, Ira juga. Aaaah….”

Aku saling memeluk dengan nafas terengah. Sementara selangkangan masih menyatu basah.

“Nakal manggil Ira.” rajuknya setelah ia pulih dari getaran-getaran orgasmenya.
“Bibi juga manggil aku Kang Sena.”

Kami tak ubahnya dengan dua sejoli sebaya yang sedang digandrung cinta.

“Hihi abisnya…” ia terkekeh sambil menggelayut manja.
“Habisnya apa?” selidikku.

“Bibi jatuh cinta pada Kang Sena.” kedua pipinya langsung memerah.
“Aku juga sayang ama Ira.”

“Ira…”
“Kang Sena..”

Usai saling berbisik memanggil nama, kami kembali saling mencumbu. Aku lupa pada jarak usia, ia lupa pada suaminya. Yang selalu kami ingat adalah.. kami saling menyayangi.


*

*

*



Matahari sedang tepat vertikal di atas bumi, tetapi sinarnya tidak terlalu menyengat. Gumpalan awan mulai memenuhi langit. Ini pertanda baik, musim penghujan akan segera tiba.

Aku rebahan terkantuk-kantuk di bawah pohon randu, Setengah tubuhku bersandar pada rumput yang tadi kusabit. Si ireng asik makan, sekali-kali ia mendongak ke arahku.

Aku merasa lebih damai. Kecurigaanku pada Uwa Samping tidak terbukti, setidaknya sampai hari ini. Aku juga sudah tidak merasa terasing; tidak ada lagi warga yang mengacuhkanku atau mencibir ketika berpapasan. Pikiranku melayang pada peristiwa kemarin malam.




“Naaah.. akhirnya ketemu juga.” sebuah suara yang kukenal membuyarkan lamunanku.

Aku membuka mata. Aitun sudah berdiri di hadapanku sambil ngelek seikat reundeu (sejenis lalap yang dipetik dari hutan). Bukan dia yang mengusik kenyamananku, melainkan Rara yang bersamanya.

“Dari mana kalian?” tanyaku.

“Nyari kamu, jeleeek!!” cerewet Aitun kumat, sedangkan Rara hanya diam sambil senyam-senyum. Ia sudah tidak sejudes kemarin-kemarin lagi, tapi sebaliknya aku yang malah bersikap dingin kepada dia. Aku sendiri tidak tahu kenapa, bawaannya kesal kalau ada dia. Cantiknya tidak mampu melumerkan hatiku.

“Ra, naik munding yuk.” ajak Aitun.
“Nggak ah takut.”
“Yeeeh.. seru tau!”

Tanpa memedulikan kami berdua, Aitun setengah berlari ke arah si ireng. Ia menuntunnya ke dekat lereng, lantas dengan gesit ia naik ke atas punggungnya.

“Yihaaaaa…” teriaknya seolah mau memanas-manasi Rara.

Rara sebetulnya nampak tertarik, tetapi masih ragu. Sialnya ia malah duduk di sampingku. Kini malah aku yang kikuk sendiri.

“Ngerokok terus.” ujarnya sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan muka karena asap rokokku.

Aku diam. Perhatianku kualihkan pada Aitun.

Hening. Kami berdua sama-sama diam. Hanya sekali-kali ia menanggapi obrolan Aitun dari atas punggung munding.

Meski tidak saling berbicara, secara naluriah aku curi-curi pandang melalui sudut mataku. Perhatianku selalu pada lengan dan betisnya yang putih. Beberapa bentol bekas gigitan nyamuk terlihat.

Lengan Rara, juga betisnya ditumbuhi bulu-bulu halus. Hanya terlihat kalau diperhatikan dari dekat. Bagiku itu sangatlah seksi. Entah aku gede rasa atau tidak, Rara pun sering melirik ke arahku. Kalau sudah begitu, aku hanya pura-pura tak acuh memandang ke depan.

“Dulu kamu SMA di mana?” bosan juga kalau hanya saling diam.
“Di Majalengka.” jawabnya.

Aku mengangguk. Pantas saja kami tidak pernah ketemu karena satu-satunya sekolah SMA hanya ada di desa, sedangkan Rara sekolah di kota kabupaten. Aku juga sedikit paham pada karakter Rara. Ia sudah mengenal pergaulan kota sehingga gaya bicaranya berbeda dari gadis desa pada umumnya.

“Kamu?”
“Di dayeuh.”
“Oh.”

Suasana kaku antara kami berdua sedikit melumer walaupun hanya sebatas pertanyaan dan jawaban singkat.

“Kamu gak kerja?” kali ini sambil terang-terangan menatapku.
“Lah ini sedang kerja.” aku sedikit tersinggung. “Berkebun dan ngangon si ireng adalah pekerjaanku.”

“Maksudku, kamu gak kerja ke kota?”
“Nggak!”
“Kenapa?”
“Di kampung lebih enak!”
“Oh…”

Obrolan kami masih singkat-singkat. Aku malas sebetulnya, tetapi entah mengapa juga aku mau meladeni pertanyaan-pertanyaannya.

“Udah punya pacar?”
“Belum!” sebetulnya aku mengatakan ‘sudah’ tetapi terlalu berbahaya karena pasti Rara akan bertanya lebih jauh.

“Oh…”

“…”

“Ya kalau di kampung terus bagaimana kamu bisa punya pacar?”

Sebetulnya nada suara Rara biasa saja, cenderung pelan, bahkan seperti memiliki maksud terselubung. Tetapi entah mengapa, aku tersinggung mendengarnya. Aku sedikit emosi.

“Lah kamu sendiri ngapain lama-lama di sini, emangnya kamu gak punya pacar, gak laku di kampungmu?” kali ini aku yang menatapnya. Mungkin aku kesal karena keberadaannya dengan Teh Sari membuat hubunganku dengan Bi Ira sedikit terhalang.

Rara terkejut dan balas menatap.

“Kok kamu malah sewot?” sambil menunjukan ekspresi tidak suka.
“Ya lagian…”
“Apa?!”
“Nggak!!!”

“….” kami kembali saling diam.

“Rara buruan sini. Seru loh…” teriakan Aitun mencairkan kebekuan.
“Nggak mau. Takut..!!”
“Ayolah coba aja..”

Aitun meloncat dari punggung si ireng dan menghampiri kami. Tanpa banyak kata, ia menarik tangan Rara supaya berdiri dan setengah menyeretnya mendekati si ireng.

Aku ingin tertawa melihat tingkah mereka yang sedang tarik-tarikan. Rara akhirnya mengalah. Aitun membantu Rara menaiki punggung si ireng.

Rara menjerit-jerit kecil, bercampur tawa. Mungkin kegelian karena kulit mulusnya berasa digelitik bulu-bulu si ireng yang kaku.

Awalnya Rara nampak tegang dan masih takut. Tetapi lama-kelamaan menikmati. Ia menemukan keseruan baru. Takutnya berubah riang.

Aku terpaku. Kupandang pemandangan kotras antara gadis berkulit putih dengan si ireng yang hitam kelam.

Rambut Rara berkibar diterpa angin, nampak sedikit keemasan karena sinar matahari. Lehernya mengkilat karena lembab keringat.

Perawakan gadis itu memang terlihat sempurna. Karena posisiku berada menyamping, aku juga bisa melihat gundukan payudara Rara yang dibalut kaos berwarna putuh. Nampak sekal walau berukuran sedang.

Pinggangnya ramping, dan pinggulnya membulat ideal. Rara memang memakai celana pendek selutut berbahan jeans, sehingga lekuk pinggang dan pinggulnya tercetak ketat. Ujung celananya tertarik ke atas sehingga aku bisa melihat kulit di atas lututnya. Kalau dilihat dari depan, pasti aku juga bisa melihat gundukan kembung pada pangkal selangkangannya.

“Enak, ya reng, ditunggangi gadis cantik.” gumamku dalam hati. Aku merasa sedikit iri pada keboku.

“Dah ya aku pulang duluan. Nanti kamu pulangnya dengan si Sena aja.” tiba-tiba Aitun berlari ke arahku.

“Aituuuuun…” teriak Rara.

Aitun tidak peduli. Ia mengambil reundeu di sampingku lalu berlari menuruni bubulak.


“Hei… Aitun…” kali ini aku yang berteriak.

“Hihi.. dadah… kalian jangan macam-macam ya!” teriaknya sambil mempercepat lari.

Aku menatap Rara dan punggung sepupuku bergantian. Rara melakukan hal yang sama. Riangnya hilang. Nampak begitu bingung. Ia seperti ingin turun menyusul Aitun, tetapi tidak punya keberanian untuk meloncat.

“Sena!! Malah diam saja!! Bantuin aku turun!!” pekik Rara.

“Loncat aja!” jawabku sekenanya karena masih bingung.
“Gak bisaaa! Bantuin..!!”

Aku mengalah. Kudekati Rara.

Duduk Rara yang gelisah membuat si ireng menghentikan makan. Pergerakan tangan gadis itu, bagi si ireng menjadi seperti pukulan yang menyuruhnya berjalan.

“Jatuh sia.. jatuh sia…” ucapku dalam hati.

“Senaaa..” pekik Rara.

Melihat si ireng menuruni lereng setinggi pinggang orang, aku malah senang. Bukannya menolong Rara, tapi berdiri mematung.

“Senaaa… hiiiks…” Rara panik. Sementara kaki depan si ireng sudah menggelosor turun. Rara oleng.

Aku kemudian sadar kalau Rara bukanlah anak kampung yang berbau tanah ladang dan binatang peliharaan. Lereng segitu tidak akan membuatku atau Aitun jatuh dari punggung si ireng. Tapi sekarang berbeda, yang sedang berada di atas punggungya adalah seorang Rara.

Aku segera berlari untuk menahan tubuh gadis itu agar tetap stabil pada posisi duduknya. Terlambat… tubuh Rara oleng ke samping dan melayang. Pekiknya terdengar nyaring.

Aku yang semula mau membantu supaya ia tidak jatuh, berubah menjadi menangkap tubuhnya supaya tidak terjerembab. Kalau ia terperosok bersama si ireng bukan tidak mungkin malah Rara terinjak.

Kutarik tangan Rara, kuraih pula pinggangnya.

Huuuuffff…

Sial.. aku keserimpet rumput kering. Aku kehilangan keseimbangan. Jatuh sudah tak terhindarkan.

“Aaaaahhh…” pekik Rara.

Buuukkkk…

Punggungku membentur tanah. Sigap kutahan kepala Rara agar tidak terbentur, tetapi perutku menjadi korban. Pinggul Rara mendarat tepat di atas perut.

“Aaaaauuuwww…” jerit Rara.

Hkkkkkkkk….

Rara terselamatkan, aku kokosehan karena beban tubuhnya.

Sedetik kemudan Rara berusaha bangkit, tapi gagal. Lantas miring untuk menggulingkan badan. Kembali gagal. Tanpa sengaja aku malah mencium pipinya.

“Sena lepasiiin.”

Eh.. ternyata aku memeluk pinggangnya erat. Pantas saja ia tidak bisa bangun.

“Maaf-maaf…”

Gadis itu pun bangkit. Ekspresi shock, kesal, dan malu langsung memancar.

Ia merunduk untuk membersikan debu pada celananya. Aku terbelalak. Kerah kaos Rara terbuka, dan sekelibat belahan putih payudara ranumnya terlihat.

“Heiii…!!!”

Aku gelagapan karena sorot mataku terciduk. Aku langsung bangkit sambil memegangi perut.

“Oeeee…” si ireng bersuara sambil melihat ke arah kami. Lidahnya terjulur menjolati hidung.

“Siaaa…!!!” kulampiaskan sewotku pada si ireng.

“Kamuuuu!!” eh malah Rara juga sewot padaku.

“Loh? Udah bagus ditolong.”

“Ya tapi.. tapi…”
“Apa?”
“Haisssh.. kamu…”

Ungkapan kesal kami sama-sama tidak jelas. Akhirnya kami sama-sama sibuk membersihkan pakaian dari debu dan bunga rumput yang menempel.

“Makasih.”

Gadis yang aneh. Tadi ngambek, sekarang berterima kasih. Tanpa komando, kami berdua sama-sama menggerutu. Aitun yang sudah tidak ada menjadi pelampiasan kekesalan.

“Ireng jahaaat…” tiba-tiba Rara merengek sambil menunjuk keboku.

Aku auto tertawa mendengarnya. Semua kekesalan berganti geli. Melihat tawaku, Rara ikut tertawa. Kami berdua tertawa. Kenapa tertawa? Ya pingin aja.

“Oeeeeee…”

Semua kekakuan yang sejak awal pertemuan sudah tercipta, kini pecah. Aku dan Rara menjadi bisa ngobrol biasa. Sekali-kali diselipi canda. Ia juga masih betah ketika kuajak pulang. Sejenak aku melupa pada Bi Ira. Entah mengapa. Berada di dekat Rara menciptakan kenyamanan berbeda.

Rara kembali duduk di tempat semula, aku memanjat pohon kelapa dan memetik kelapa muda. Sisanya kami ngobrol berdua sambil menikmati hasil petikanku.

“Maaf.” ujarnya tanpa melirik. Ia sibuk menoreh kulit kelapa dengan sendok yang kubuat dari kulit luarnya.

“Heh?”

Rara pun mengaku sudah bersalah sangka. Ia sebetulnya ragu ketika diajak kakaknya datang ke Pasir Beha. Namaku sudah santer disebut orang. Tetapi karena terus dibujuk Teh Sari akhirnya ia mau.

Tanpa lagi menghakimi, Rara bercerita tentang jeleknya namaku di kampungnya. Banyak orang yang tidak mengenalku, tetapi mendengar nama Sena, mereka langsung mencibir jijik.

Mendengar ketulusan Rara, tanpa kumau aku pun bercerita. Kisah sebenarnya kusampaikan, bahkan sampai detail.

Tanpa terasa waktu beranjak sore. Kami menjadi terasa lebih dekat dan akrab. Ia menunjukan perhatiannya agar tetap sabar. Toh sekarang yang semula menuduhku memerkosa malah sudah terbukti menjadi pemerkosa. Ah.. Rara tidak tahu saja.

“Kita pulang.” ujarku ketika matahari sudah mulai turun.
“Iya.” jawabnya enggan.

Yaa.. sebetulnya kami masih sama-sama betah.

Kubuka ikatan si Ireng dan menuntunnya. Rumput yang kusabit kusuhun di atas kepala. Tanpa dinyana, Rara malah ikut ke kandang, ia seperti masih betah bersamaku.

Hanya dalam waktu singkat, aku melihat seorang Rara yang berbeda. Seorang gadis yang bukan hanya cantik, tetapi juga baik. Aku harus menyangkal kalau aku jatuh cinta. Aku hanya merasa nyaman, sementara cintaku sudah milik seorang wanita.

“Dari mana kalian?” sorot mata Teh Sari penuh sedilidik ketika aku mengantar Rara. Tapi ada senyum tersembunyi. Teh Sari seperti senang melihat kedekatan kami.

“Dari bubulak. Ama Aitun juga kook.” jawab Rara.

“Oooh… mana Aitunnya, kok gak ada?”

“Eh itu.. anu…” aku gelagapan.
“Udah pulang duluan.” Rara menjawab.

“Oooh..” gumam Teh Sari dengan senyum dikulum.

“Iiiih teteeh…” Rara merajuk.

Setelah mengobrol sebentar, aku langsung pamit pulang. Tak ingin terlalu berlama-lama karena kulihat Bi Ira sedang tidak berada di rumah.

“Baru pulang, Sen?”
“Iya, mang.”

Aku berpapasan dengan Mang Karman, ayahnya, Janadi di belakang rumah. Pria itu memikul kayu bakar. Setelah basa-basi sebentar aku masuk rumah melalu pintu dapur.

Uwa Samping ada di sana, sedang membereskan perabotan yang baru selesai dicuci. Ia rupanya baru pulang dari tampian sekalian mandi. Tubuhnya masih dibungkus kain samping sehingga hanya sebatas setengah paha sampai dada yang terlindung. Kain itu basah.

Kuliat kedua paha belakangnya terpajang ketika ia menunduk, malah sampai terekspos sampai mendekati pangkal pahanya. Kain menjadi semakin terlihat ketat, dan tidak terlihat cetakan celana dalam.

Kulihat uwa sedang senyam-senyum sendiri, dan ia langsung bersikap biasa, ketika tahu aku masuk.

Aku yakin uwa baru saja berpapasan dengan Mang Karman. Sebetulnya tidak ada yang aneh. Bagi kami orang kampung melihat perempuan berpakaian seperti ini sepulang mandi sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Tetapi kenapa uwa senyam-senyum sendiri? Itu yang aneh.

“Uwa belum pulang, Wa?” sapaku menanyakan uwa laki.
“Udah. Lagi ngasih makan kambing di belakang.”
“Aitun?”
“Lagi disuruh ke warung.”
“Ooh..”

Tanpa uwa tahu, mataku selalu tertuju pada cetakan pinggul dan pahanya. Uwa Samping seusia dengan Bi Ira, tapi perawakannya lebih montok.

Ketika uwa berbalik aku disuguhi pemandangan lain. Kali ini payudaranya yang besar. Ikatan kain tidak mampu melindungan belahannya. Ah.. siapapun itu.. the power of wanita setengah baya sensasinya memang berbeda.

Uwa tidak curiga atas aksi mataku. Kami ngobrol sebentar, sebelum akhirnya uwa beres menata perabotan, lantas menuju kamar untuk berpakaian. Lagi-lagi pikiranku malah membayangkan uwa yang sedang telanjang di dalam kamar.

Kuputuskan untuk bersantai sambil merokok, pikirku sebatang dulu sebelum pergi mandi.

“Uwa mau ke tampian lagi. Alat mandi ketinggalan. Nanti kalau si Aitun pulang dari warung bilang aja gak usah nanak nasi yang baru, sisa siang masih banyak, tinggal diangetin.” Rupanya uwa sudah selesai berganti pakaian. Ia mengenakan daster panjang sehingga lekuk tubuhnya tak lagi terkespose. Kepalanya rambutnya digelung oleh kain batik.

Bersamaan dengan itu Uwa Kasur masuk rumah. Uwa Samping mengatakan hal yang sama.

Uwa Samping pun pergi, sedangkan Uwa Kasur mengeluarkan kapak untuk membelah kayu bakar.

Sekelebat aku melihat Uwa Samping di halaman. Yang membuatku curiga adalah karena arahnya yang berbelok. Ia menuju bubulak tempatku tadi berdua dengan Rara.

Terdorong oleh rasa penasaran, aku pun pamit pada Uwa Kasur dengan alasan mau mandi. Aku mengendap mengikuti uwa. Aku tidak menyusuri jalan setapak, tetapi menerobos kebun singkong dan kebun jagung. Yang penting aku masih bisa mengawasi keberadaan uwa.

Dugaanku benar. Tujuan uwa bukan tampian seperti tadi ia bilang, melainkan bubulak. Lantas tubuhnya menghilang di belokan.

Aku terus bergerak. Tiba-tiba aku mendengar seseorang yang batuk. Kulihat Mang Karman berjalan sendirian ke arah yang sama. Tangannya menenteng arit (sabit) dan gulungan tali yang terbuat dari bambu. Ia seolah mau menyabit rumput.

Aku diam mengawasi sampai Mang Karman lewat. Kuikuti dari jauh.

Di tepi puncak bubulak, yang berbatasan dengan hutan lindung, ada sebuah saung reyot yang sudah tidak terurus. Mang Karman menuju ke sana.

Aku yang sudah paham daerah ini, langsung memutar menerobos hutan ilalang. Tujuanku adalah mengawasi dari bagian atas saung.

Benar saja, Mang Karman menuju ke sana. Yang membuatku terkejut dan sesak dada, rupanya Uwa Samping juga sudah ada di sana. Duduk di tepi bale-bale saung. Kain yang tadi ia gulungkan di atas kepala, sudah dijadikan alas.

Sial malah bersambung….
Terima kasih updatenya.....
walau bikin kentang, tapi rasanya renyah kok.....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd