Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Senyuman Kekasihku

Kekasihku...
Telah seminggu kau pergi
Tanpa Kabar Tanpa Berita
Ku jalani hari2 ku tanpa senyumu
Yang selalu menghiasi hari hariku
Duh kekasihku revan, ku rindu senyum kekasiku
Ttd sieren

xixixixi... Selamat malam suhu, sukses selalu
Njirr ngena bat sampe ke relung hati siren itu om..:kangen:
 
Senyuman Kekasihku

Part 6. Gusar

Ada yang hilang disini
Bagai kosong tanpa makna
Merindukan senyuman itu
Menantikan tatapan sendu itu

Siren Kana






Berjam-jam sudah kupelolotin untaian kalung plus anting-anting di atas meja riasku. Namun gak ada yang berubah bentuknya.

Hadiah ulang tahunku dari kak Revan. Sebuah kalung bertahtakan berlian dengan motif membentuk inisial huruf V disertai huruf yang sama dibagian belakangnya.

"Apa kalung ini buat orang lain ya?" pikirku sedih.

"Atau jangan-jangan tertukar lagi?"

"Gak mungkin kak Revan salah kasih hadiah! Kan yang ultah cuma gue. Tapi belum tau juga sih! Siapa tau tanggal ultah kita samaan."

"Setau gue, Kak Revan kan gak punya temen! Gue yakin banget, kalung ini pasti buat gue."

Pusing tujuh keliling rasanya mikirin tuh kalung berinisial huruf V.

"Pulangin gak yah? Kayaknya mahal banget harganya."

Aku membuang napas gusar.

"Apa gue tanyain aja nanti?"

"Bisa iya, bisa tidak, bisa jadi kan ke tuker ama pesenan orang!" positif thinking.

Aku saat ini bengong dengan keadaan yang galau. Ku simpan kalung pemberian dari kak Revan di laci meja rias. Bukannya aku gak suka dengan kalungnya, tapi takut hilang saja.

Aku berdiri dari meja rias dan melangkah ke tempat tidur. Merebahkan diriku di kasur, sambil melempar guling-guling yang ada dan kutendang sekalian selimutnya hingga jatuh ke lantai. Aku teringat kembali kecupan pertama yang diberikan oleh Kak Revan.

Malu banget rasanya. Sebagai seorang perempuan muda yang begitu gampangnya nyosor laki-laki duluan. Aku sangat takut kalau dituduh kelebihan testoteron. Tapi kalau gak gerak duluan bakalan gak ada kemajuan sampai aku tua.

Begini-begini terus juga gak ada hasilnya. Bingung, bimbang, jenuh gak tahu lagi harus pakai kode apa biar kak Revan mengerti.

Segala jurus, taktik, tipu muslihat sudah aku kerahkan tepat ke sasaran. Hampir saja patah semangat, kalau gak dapet dukungan penuh dari mamih Marta.

Tapi semua itu akan jadi hambar jika gak ada respon dari yang bersangkutan.

Hatiku gelisah tak karuan. Takut kak Revan berpikir aneh-aneh tentang diriku.

Aku meraba bibirku pelan. Teringat kembali halusnya pipi kak Revan. Wajahku memanas, kukepak-kepakan kedua tanganku ke kedua belah pipiku secara pelan. Dan bibirku tersenyum lebar.

Agak menyesal sebenarnya kenapa gak kepikiran untuk mencium bibirnya saja secara langsung, waktu itu. Toh sama saja kan malunya.

Padahal baru sehari ditinggal, tapi malarindu ini sudah menyerang dan semakin menyiksaku. Sampai aku gak sabar nunggu sang pangeran balik dari tugas.

"Siapa tau abis balik nanti ia langsung ngelamar gue. So. . Gue gak boleh patah semangat." ucapku optimis.

Gak mungkin kan kalau kak Revan gak cinta tapi ngasih hadiah mahal begitu?

Bisa saja ia malu ngungkapkan perasaanya. Mikirin sikap kak Revan bikin gegana. Namun tetap bahagia karena perhatian dan sikap manisnya.



***



Di sekolah kuperlihatkan deretan gigi-gigiku yang berjejer rapih dan putih. Lihat guru langsung nyengir, lihat temen nyengir, lihat kecoa nyengir, lihat Vita kok malah benjut sih?

Ternyata Vita memukul jidatku yang mulus dengan gulungan buku MTK yang tebelnya bisa bikin rambut rontok. Vita menuduh aku sudah kesambet lelembut.

Aku tak akan pernah marah ataupun membalas perlakuan Vita. Karena bahagiaku hari ini tak boleh tercampur dengan hal-hal gak penting.

Kedua sahabatku ngoceh gak ada habisnya kepadaku sambil geleng-geleng kepala.

Aku hanya bisa tersenyum dengan pipi merah merona. Aku selipkan helaian rambutku yang berantakan ke belakang telinga. Duduk manis dengan anggun dan ayu sedangkan kakiku aku rapatkan. Punggungku tegap mirip dengan putri-putri kedaton.

Andra yang sedari tadi memperhatikanku ikut mesam-mesem terpaku menatapku, kedua tangannya menyangga dagunya. Sedangkan Vita mengacak-acak rambutnya frustasi.

Kubiarkan saja kedua sahabatku yang aneh itu. Aku sedikit prihatin kepada mereka berdua. Akupun akhirnya mengajak mereka makan diluar karena ingin mentraktirnya.

Membagi sedikit kebahagiaan pada sesama tiada salahnya kan?

Sebelum memasuki jam pelajaran terakhir Andra membolos seperti biasa. Kusuruh ia untuk menukar motornya dengan mobil. Andra sangat patuh kalau aku yang berbicara, cocok banget jadi sopir.

Bel pelajaran terakhir berbunyi. Aku dan Vita berjalan keluar bergandengan tangan.

"Eii . . Ada crazy woman lewat." celetuk Fera kapten cheerleader. Ketika kami lewat di depannya.Fera, Sandra, dan Jenni tiba-tiba menghadang kami. Mereka tertawa serempak.

"Siapa yang lo maksud tadi?" marah Vita.

"Siapa lagi yang dari tadi pagi senyam-senyum sendiri? Temen lo ini, dia sudah gila ya?" cibir Fera.

"Kurang ajar lo yah." geram Vita yang ingin menggampar Fera.

Kutahan lengan Vita sebelum menyentuh wajah Fera. Aku menggeleng pelan menatap Vita.

"Lo ngomong ama siapa sih, Vit?" tanyaku polos. Menatap Vita. Kulepaskan tangan Vita pelan.

"Lo kenapa sih Ren? Gue mau kasih pelajaran buat dia. Mulutnya gak pernah disekolahin kayaknya." tukas Vita.

"Mana? Kok gue gak lihat ada orang yah? Lo bisa lihat mahluk astral ya Vit?" jawabku celingak-celinguk.

Aku tahu Fera, Sandra dan Jenni akhir-akhir ini memang sering cari gara-gara denganku. Tapi gak pernah aku ladeni.

Aku hanya ingin tahu apa sebabnya mereka membenci kami. Juga ingin tahu sejauh mana mereka berulah.

Vita terkekeh geli.

"Oiya yah . . Mahluk dimensi dari dunia lain gak usah ditanggepin benernya." Vita tergelak kencang.

Aku hanya terkekeh pelan, tersenyum meremehkan.

"Sialan lo bedua." geram Fera ingin menampar balik Vita.

Dengan tangkas. Kutangkap tangan Fera yang ingin memukul Vita, ku pelintir tangannya tak searah jarum jam agar kekuatan pergerakan tangan Fera melemah lalu ku kapit tangannya mengarah ke punggungnya hingga Fera tidak bisa berkutik.

"Gak sia-sia gue berguru sama Kakek Ujang di kampung." pikirku bangga.

Aku terkekeh sinis.

"Hai Fera-hu karam! Kalo cari lawan liat-liat dulu. Jangan maen asal serang! Gue gak sama kayak ade-ade kelas, yang sering lo bully." bisikku pelan ditelinga Fera.

Vita tertawa semakin kencang, sedang aku menampilkan senyum picik.

"Siren lepasin Fera! Ato gue laporin ke guru." ancam Jenni siaga.

"Berani lo maju, gue buat lo masuk rumah sakit." sengit Vita mengancam balik. Memasang kuda-kuda.

Jenni terkejut dan mundur selangkah.

Fera memberontak ingin melepaskan diri. Namun ku kapit semakin kencang sampai dada Fera membusung, dahinya sampai mengernyit menahan sakit.

"Lo, Mau juga San?" tantangku pada Sandra yang gemeteran.

Sandra menggeleng-gelengkan kepalanya takut.

Sebenernya Sandra itu orang yang baik, hanya saja gara-gara orang tuanya bekerja pada Jenni. Sandra jadi selalu mengekor pada Jenni.

"Haiss. Lo betiga kenapa sih nyari gara-gara terus ke gue? Gue gak ada urusan sama sekali ama kalian betiga. Kalian telah mengotori hari bahagia gue saat. Jadi kalian harus dihukum." paparku.

Aku terkekeh kencang.

Mereka belum tahu kalau aku dan Vita pernah mengikuti pencak silat yang di adakan di kampung halamanku.

"Lo masih mau lagi, Fer? Gue bisa lo bikin kaki dan tangan lo patah sekalian." kutakut-takuti Fera.

"Lepas, Ren. Lo bakal nyesel telah ngelakuin ini sama gue." Fera mengancam balik.

Kupelintir sedikit pergelangan tangannya hingga Fera teriak.

"Stop . . stop . . Ren, sakit . . Please lepasin gue." jerit Fera menahan sakit.

"Aneh banget sih lo! Tadi nantangin, sekarang nyerah gitu aja. Siren bukanlah anak kemaren sore yang takut ama lo betiga. Alah palingan lo Pipis aja masih jongkok! Pake gaya-gayaan pengen bully gue."

Iseng-iseng kupelintir lagi tangan Fera, hingga ia memekik kencang.

Ngeselin banget. Setiap hari selalu ada aja ulah mereka.

"AUWW . . . Please, Ren lepasin . ." mohon Fera.

"Yaa . . . Cuma segini doang. Gak seru ahh . ." aku menarik nafas kasar.

Kulepaskan kapitku dan mendorong Fera ke arah Jenni dan Sandra.

Jenni dan Sandra menangkap tubuh Fera yang kudorong dengan sigap.

"Awas yah, lihat aja kalian berdua bakalan nyesel nanti." ucap Fera menggebu-gebu.

Mereka berlari meninggalkan aku dan Vita yang tertawa geli.

Ada-ada saja kelakuan centil-gengz. Aku menggelengkan kepalaku.

Kacau kan hari kebahagiaanku sekarang. Mereka selalu saja membuat ulah.

Aku mengajak Vita berjalan ke parkiran, karena Andra sudah menunggu.

Andra membawa kami ke sebuah cafe. Tempat makan yang dipenuhi anak-anak remaja seusia kami.

Kami duduk di dekat jendela. Kursi ini sudah dipesan Andra terlebih dahulu. Ternyata pemilik cafe ini adalah temannya Andra, berbeda sekolah dengan kami.

Vita menyentuh keningku. "Saraf nih Anak! Senyam-senyum sendiri."

"Kayaknya gue harus bawa Siren ke RSJ deh 'Ndra!" kata Vita kepada Andra yang lagi pesen makanan.

"Lo lagi sakit, Ren?" tanya Andra panik menggemgam dan menarik tanganku.Aku tersentak dari lamunan.

"Iihh apaan sih!" kuhempaskan tangan Andra.

Pletakk . .

"Auw..." Vita meringis.

Aku menyentil kening Vita.

"Gue sehat walafiat, gue masih waras."

"Aishh... Sakit juga sentilan lo. Gue pikir lo cuma bisa gesrek aja." Vita mengusap-usap dahinya.

"Lagian bukannya pesen makan, malah senyam-senyum sendiri dari tadi. Huhh . . . ." tambah Vita kesal.

"Lo lagi jatuh cinta yah?" lagi-lagi Vita curiga menatap tajam ke arahku. Menantikan jawabanku.

"Jatuh cinta sama siapa lo, Ren?" tambah Andra penasaran.

"Ini anak bedua kebanyakan micin kayaknya. Lo juga 'Ndra kumat oonnya. Belom mimi cucu yah?" candaku.

Andra terkekeh geli, sedang Vita mendengus dingin.

"Vital sayang, sahabatmu ini lagi ultah lo sekarang jadi ya mau seneng-seneng lah sama kalian. Jangan jutek gitu dong." rayuku.

"Vita Vita nama gue Vita bukan Vital iihhh . . . ." tekan Vita.

Andra tertawa menggelegar.

"Duh kok ngambek lagi sih. Vital mau mimi cucu juga?" ucapku polos. "Sini . . sini . . Sama Bunda."

"Ngeselin lo . ." Vita memalingkan muka kesal.Aku hanya cekikikan.

"Eh . . Tapi beneran nih Ren, hari ini ultah lo?" tanya Andra.

"Beneranlah masa gue boong. Makanya gue traktir lo bedua. Jarang-jarang kan gue ajak lo bedua makan di luar." jelasku.

"Kenapa gak bilang-bilang sih Ren? Gue kan bisa kali beli kado dulu tadi untuk lo." jawab Andra.

"Ah . . Andra jangan deh tar ngerepotin lo. Tapi kalo lo maksa sih, kasih aja pasti gue terima dengan senang hati." kataku tersenyum manis.

"Itu sih kemauan lo aja Ren." sarkas Vita.

Aku terkekeh.

"Oke lah, tar gue siapin yang spesial buat lo, Ren." tambah Andra.

"Tapi gue heran deh, kenapa sih lo nyembunyiin hari ultah lo? Sekarang sih gue udah tau tanggal ultah lo. Tahun besok gue kerjain ah. Hahaha . . . . Happp . . . . Anjrittt . . . Siren jorok banget sih lo, puehhh puehh . . ." Vita meludah jijik.Sengaja kumasukan tissu ke dalam mulutnya sewaktu ia tertawa lebar.

"Bwahahahaha....." tawaku dan Andra serempak.

Tossss..

Aku dan Andra ber-tos ria. Menertawakan Vita.

Aku memang menyembunyikan hari ultahku kepada sahabatku di SMA. Gara-gara shock dikerjain sewaktu SMP di kota sebelah. Ditimpuk telur campur wantex warna-warni, mereka berpikir sedang festival Holi seperti di film-film India.

Pulang ngafe kami bertiga berjalan-jalan ke mall dan nonton di bioskop. Hingga pulang malam hari.




***



Keesokan harinya . . .


Kak Rissa memberikanku kado spesial yaitu sepeda motor roda dua. Tapi gak pernah aku pakai, karena aku gak bisa ngendarainya.

Aku sudah punya rencana pengen minta ajarin kak Revan nanti, biar dia yang meluk aku dari belakang.

Kak Deni membelikanku bibit tanaman hias. Katanya biar aku jadi istri yang solehah.

Padahal aku tahu maksud terselubung dari kak Deni. Biar aku gak resein dia pas lagi 'bereproduksi' dengan istrinya di dalam rumah.

Karena dulu ia pernah ke tangkep basah lagi mau mulai main bilyar di meja makan. Akhirnya seminggu penuh aku makan di kamar gara-gara gak mau lihat lagi penampakan yang ada di dapur.

Mulai dari situlah otakku mulai tercemar.

"Kamu udah gede sekarang. Harus belajar jadi istri solehah untuk suamimu kelak. Caranya ya dengan banyak-banyak berada di kebun." nasehat kak Deni.

Aku hanya manyun, malas nanggepin.Andra memberikanku hadiah Parfum dari luar negeri. Kayaknya sih mahal. Aku mengendus ketiakku sendiri.

"Perasaan gue gak pernah burket deh! Kok bisa dikadoin parfum yah?" batinku.

"Nih, Ren. Kado dari gue, kayaknya lo paling cocok pake ini daripada gue. Coz aura lo bisa lebih terpancar kalo pake ini." kata Vita mesem-mesem.

"Wah . . Makasih banget yah Vital sayang." jawabku kegirangan.

Aku yang gak tahu apa isi dalam kadonya berjingkrak senang.

Vita memberikanku dress warna hitam yang sangat sexy tapi dressnya yang di kasih bagus banget dari luar negeri juga kelihatannya. Kata Vita itu namanya lingeri.

Vita dapetin lingeri waktu ultah dia ke 18. Beberapa bulan sebelum ultahku. Karena Vita jijik memakainya jadi dia memberikannya kepadaku.
Gak tahu kalau Vita mengerjaiku. Sepertinya 2 tahun lebih berteman sama aku, kita sama-sama gak waras.



***



Sudah beberapa hari ini kak Revan pergi. Kerinduanku semakin menjadi-jadi.

"Kak Revan belum sms juga. Seminggu kok kayak lama banget sih!" lirihku.

Sore sampai malam hari kusibukkan dengan mengerjakan pekerjaan rumah. Apapun ku kulakukan agar waktu berjalan dengan cepat.

Kalau gak ada pekerjaan, aku bermain ke rumah Vita. Bergosip dan hang out menghabiskan waktu luang.

Selama seminggu aku uring-uringan.

Setiap hari aku selalu menjahili kak Deni. Dan juga bermanja-manja kepadanya.

"Kak, Denden. Beliin hape baru dong!" pintaku memelas. "Kayaknya hape aku rusak deh." aku membolak-balikan ponsel.

"Coba Kakak liat." jawab kak Deni mngambil ponsel dari tanganku.

Kak Deni memperhatikan dengan seksama ponsel di tangannya.

"Masih bagus lo ini, fiturnya masih berfungsi." jawabnya.

"Masa sih? Rusak ah . . . Soalnya udah 2 hari gak ada pesan atau telpon yang masuk."

"Ya udah, besok Kakak beliin yang baru. Kamu dateng aja ke toko sepulang sekolah."

Kupeluk kak Deni. "Yeyy . . . Gak salah emang, kalau sayangnya Siren cuma buat Kak Denden."

"Kalo ada maunya aja peluk-peluk." sindirnya.

"Kak Denden, aku perhatiin makin ganteng aja. Pantes aja akunya cantik banget. Yawong Kakaknya ganteng gini. Muach . ." aku mencium kak Deni.

"Udah . . udah . . . Udah gede juga masih aja manja." kak Deni mencubit hidungku.

Kak Deni memang sangat baik.Walaupun sikapnya yang kadang seperti tak memperdulikanku. Tapi sayangnya kepadaku tak bisa diragukan lagi. Apapun yang aku minta pasti ia turuti.




***



Sore ini aku menerima paket dari seorang pria berbaju setelan serba hitam. Pria itu hanya menunduk tanpa berani menatap wajahku. Tampangnya menyeramkan.

Beberapa hari ini aneh banget, kayak ada stalker. Bulu kudukku berdiri semua. Seperti ada yang mengintai tapi aku mencarinya gak ketemu sama sekali jejaknya. Berasa ngaker.

Paket yang katanya dikirim dari Mr. Revan Apriliano.

Aneh banget deh! Kak Revan kan udah kasih kado, tapi kok ngasih kado lagi ya.

Isinya jam tangan branded Aigner pula. Dengan menyertakan sebuah note bahwa aku harus selalu memakainya.

So sweet kan kak Revan.



Bersambung ke Part 7.




Spesial terimakasih buat om @Samean udah dibantu edit. :ampun:
 
Terakhir diubah:
Senyuman Kekasihku

Part 7. I am Vandals


Hanya ada kemenangan yang akan membawaku keluar hidup-hidup dari pertarungan.
Janji seorang Vandals sejati!

Valerio d'Anuncio Buck





VALERIO d'ANUNCIO BUCK


Sicily, Italy..

Aku terlahir kembar. Aku dan saudara kembarku hanya berbeda dua menit terlahir ke dunia dan aku yang belakangan keluar dari perut ibu. Walau kami berdua terlahir hampir bersamaan tetapi sifat dan karakter kami berbeda. Kakakku memiliki karakter yang urakan, mesum, jahil, serta perhitungan yang matang adalah sifat yang melekat kuat pada dirinya. Sementara aku memiliki karakter yang keras, ulet dan serba ingin cepat selesai tetapi sifat perfeksionisku begitu kental mengalir dalam darahku.

Namaku Valerio d'Anuncio Buck dan kakakku bernama Volte d'Anuncio Buck. Kami lahir di Laut Mediterania ini, laut yang mengisahkan penjajahan dan penguasaan manusia atas manusia lain. Orangtuaku sangat menyayangi kami berdua, ayahku bernama Vabio d'Anuncio Buck dengan nama Korea yang diberikan nenekku Kim Yo Min dan ibuku bernama Marta Ngon.

Sejak kecil aku diasingkan ke Thailand karena gangguan psikologis dan dibesarkan oleh ibuku di Indonesia. Selama di Indonesia, aku menggunakan nama lain yaitu Revan Apriliano sebagai nama samaran sekaligus nama dari bagian diriku yang lain. Kami satu tubuh!

Ya, aku memiliki kelainan yaitu aku memiliki dua kepribadian. Aku mengetahui memiliki kelainan psikologis itu saat aku berumur 10 tahun.

Aku, Valerio d'Anuncio Buck, tidak takut akan apa pun di dunia ini karena bagiku rasa takut adalah titik kelemahan yang bisa membuatku lemah. Rasa takut tidak pantas menjadi penghalangku. Dunia bisa aku genggam dengan tanganku, segala penghalang akan aku libas, tidak ada yang bisa menghalangiku. Aku ingin menjadi penguasa dunia, obsesi itu sudah mengaliri di semua pembuluh darahku.

Namun, ada satu kelemahanku yaitu jika jiwa Revan mengambil alih raga dan jiwaku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Meskipun aku mengetahui apa saja yang dilakukan oleh Revan.

Setelah sekian lama jiwa Revan bersemayam dalam tubuhku, hanya satu orang yang mampu membangunkan jiwa Revan, yaitu gadisku.

Sebagai keturunan dari seorang mafia sekaliber kakekku, seharusnya aku tidak lemah seperti Revan sialan itu.

Ya, kakek buyutku seorang mafia kelas tinggi dengan catatan rekor terbayak akan kekejamannya, hingga nama Vandals tersemat pada keluarga kami. Kami juga sering disebut keluarga bar-bar karena menghabisi musuh dengan menyiksa perlahan hingga tewas.

Kakekku bernama Van d'Anuncio Buck masih keturunan bangsawan dari Italia, sedang nenekku bernama Kim Yo Eun berasal dari Korea Selatan. Kakekku berperangai sadis dan kejam. Ia mafia nomor satu penghuni pulau Sisilia, yang ditakuti oleh para mafia di berbagai negara. Hingga pada akhirnya ia takluk dengan pesona nenekku yang berasal dari Korea.

Kisah keluarga Vandals sangat rumit. Perebutan kekuasaan sering terjadi. Kakekku adalah anak keenam merupakan anak haram hasil hubungan gelap dari istri simpanan kakek buyutku. Di lingkup keluarga besar kakek buyutku, terjadi perang saudara yang mengakibatkan terbunuhnya kelima saudara kandung se-ayah dari kakek buyutku. Harta, bisnis, kejayaan, kekuasaan dari kakek buyutku akhirnya jatuh ke tangan kakekku karena ia satu-satunya yang tersisa dan berdarah Vandals.

Semua orang tahu kalau kakakku, Volte, adalah pewaris tunggal Vandals. Kerajaan yang dibangun kakek buyutku akhirnya akan jatuh pada Volte. Selain memang ayahku yang tidak ingin berkecimpung dalam dunia mafia, Volte lebih dekat dengan kakekku. Sementara aku kurang mengenal kakekku karena aku sudah diasingkan sejak kecil. Namun, aku tetap ikut berperan dalam perebutan kekuasaan wilayah pasar gelap yang kini dikuasai oleh Volte.


***


Udara dingin menyelimuti seluruh pelosok negeri. Tanaman enggan mengeluarkan kuncupnya, para binatang pun lebih memilih beristirahat di dalam sarangnya. Kepulan asap yang keluar dari mulut dan hidungku menandakan suhu udara hari ini sangat dingin. Aku kini berada dalam bunker penyimpanan senjata api. Melacak setiap gerak-gerik pendatang yang mencurigakan datang ke pulau ini.

Bunker penyimpanan senjata api yang aku tempati ini adalah milik kakekku. Kakekku memiliki kebun anggur di kota Vittoria, Provinsi Ragusa di Pulau Sisilia. Sesungguhnya perkebunan anggur ini tidak terurus dan hanya dijadikan kedok untuk menutupi gudang senjata kami yang tersimpan dalam bunker. Bunker tua ini diwariskan secara turun menurun dari mendiang kakek buyutku.

Saat aku sedang asik memperhatikan situasi sekitar lewat jendela ruanganku, tiba-tiba datang seorang pengawalku dengan wajah yang sedikit tegang. Dari gesturenya aku sudah bisa menebak apa yang akan dia katakan.

"Tuan, mereka sudah berada di perbatasan arah selatan Ragusa." ucap pengawalku.

“Biarkan mereka mendekat ... Perintahkan pada semua, agar siap-siap menyambut mereka ...” perintahku padanya.

“Baik tuan!” sahut pengawalku lalu keluar ruanganku.

Kira-kira setengah jam kemudian, aku sudah dapat melihat dari kamera pengintai, puluhan anak buah Romanov mendobrak masuk salah satu bunkerku. "Bagus! Mereka memakan umpan yang kuberikan. Hanya menunggu waktu saja untuk melenyapkan mereka." batinku dalam hati. Aku berjalan menghampiri salah satu pengawalku.

"Mereka sudah datang. Berikan sambutan dan jamuan yang meriah untuk tamuku. Ingat! Jauhkan dari turis lokal, giring mereka terus ke selatan." perintahku sambil tersenyum iblis. Mafioso-ku menunduk hormat dan pergi.

Aku sangat senang hari ini karena aku bisa menyiksa, menguliti, memotong-motong hingga ke bagian terkecil tubuh lawanku. Bagiku semua itu adalah sebuah hiburan yang menyenangkan. Hidupku sudah bermandikan darah sejak usia tujuh tahun. Didikan keluarga lah yang telah menjadikan aku menjadi Vandals sesungguhnya.

Ku lihat anak buah Romanov telah masuk ke dalam bunker-ku dan aku pastikan mereka tidak akan bisa keluar hidup-hidup. Kutekan tombol merah mengaktifkan locked pada bunker tersebut. Tombol itu juga berguna mengeluarkan bius serta menghisap oksigen pada ruangan tersebut hingga bisa membuat seseorang tak bisa bernafas selama beberapa menit.

Binggo!

Aku yakin kalau semua puluhan anak buah Romanov sudah terkapar tak berdaya. Kutekan kembali tombol hijau untuk membuka pintu depan agar mafiosoku bisa merangsek masuk. Mereka menyeret dan merantai beberapa orang pada ruangan yang telah aku siapkan. “Good job ...” gumamku pelan.

Bunker itu sudah aku modifikasi dengan berbagai ruangan penyiksaan. Satu ruangan pelacak yang sudah tidak aktif lagi serta beberapa ruangan tahanan bawah tanah. Mafiosoku yang sudah terlatih pasti memasukan anak buah Romanov itu dalam masing-masing kamar penyiksaan yang telah aku rancang sendiri.

“Semua sudah siap, tuan!” pengawalku memberikan isyarat agar aku mulai beraksi. Seketika itu juga aku tersenyum puas.

"Jaga di depan, akan kuurus tawanan ini sendiri." perintahku.

"Baik, Tuan." sahut pengawalku dan pergi keluar.

Aku pakai pakaian kulit serba hitam dan sarung tangan karet untuk memulai penyiksaan. Pakaian yang selalu kugunakan untuk memberi efek jera pada musuh-musuhku. Aku lah Vandals.

Kutekan tombol tersembunyi yang berada di bawah kursi ruanganku. Maka terbukalah pintu penghubung antara tempatku berada dengan bunker tempat penyiksaan tawanan. Kutelusuri lorong gelap yang hanya diterangi temaran dari sinar laser mematikan. Hanya aku yang dapat melewatinya. Beberapa saat kemudian, kubuka koridor belakang pada obor yang padam di bagian kananku.

Srekkk..

Pintu itu terbuka. Dari ruang kontrol, aku bisa melihat sepuluh orang tawanan di ruangan pelacak yang sudah tidak aktif lagi itu, yang aku modifikasi menjadi ruangan setrum. Dalam ruangan setrum itu semua tawanan dibaringkan pada ranjang besi dengan tangan terborgol rantai yang kupasang aliran listrik ribuan volt mematikan. Aku mengontrol semua pengintai serta alat-alat penemuanku yang kurancang sendiri. Akhirnya, aku stel aliran listrik tersebut dengan daya sengat rendah.

Ceklitt..

Mereka semua kejang dan terbangun. Mereka semua berteriak histeris dan membiru, tubuh mereka kejang dan terbakar. Kuputar kembali dengan daya sengat tinggi. Bau hangus darah tercium di hidungku. Aku menikmati pemandangan ini! Aku menikmatinya, menikmati setiap adegan penyiksaan itu setiap detik.

Setelah aku puas melihat tubuh mereka terpanggang hingga berwarna hitam, aku keluar ruang setrum dan memasuki ruangan kedua. Ruangan penyiksaan berikutnya ialah gantung hidup-hidup. Sepuluh orang tanpa busana berada disini dengan kedua tangan terikat rantai besi, di kedua kaki tergantung bola besi dengan berat 20 Kg serta ujung rantai yang terikat ke bawah memutari putaran yang mempunyai tuas untuk menarik kaki dan tubuh korban hingga terputus.

Kutarik tuas yang menghubungkan pada sepuluh rantai bola besi se arah jarum jam secara perlahan. Jerit kesakitan kembali terdengan ramai riuh di ruangan ini.

Kletakk..

Ada bagian yang patah dan putus pada tulang kaki yang tersambung di antara mereka. Suaranya sungguh indah, aku menikmatinya sesaat sebelum kutarik tuas lebih cepat. Lantai dibanjiri genangan air merah seperti red whine. Bau amis serta merta menohok indera penciumanku. Kuhirup dalam-dalam bau amis darah itu. Bau yang kusukai! Kusunggingkan senyuman khasku.

Ruangan ketiga ialah bangsal. Bangsal yang terdapat sepuluh ranjang besi berisi manusia-manusia laknat. Terikat seutas tali besi tipis, sangat tipis pada bagian pergelangan tangan dan kaki para sanderaku. Kuambil pisau bedah dengan berbagai ukuran serta gerindah kecil tipis. "Its show time!" ini adalah ruangan kesukaanku.

Pasien pertamaku masih belum siuman dan yang lain sudah teriak ingin melepaskan diri. Pergelangan tangan mereka tergores core yang melilit mengancam putusnya nadi mereka.

Ku usap perlahan bagian dada kiri pasienku. Kutusukkan perlahan pisau bedah itu centi demi centi hingga membuat pasien mendelik, memekik kencang.

"Ssst... Diamlah. Jika kau bergerak akan semakin sakit nanti. Aku hanya memerlukan jantungmu untuk kusimpan dalam wadah itu."

Kuanggukan dagu ke atas menunjukan puluhan toples berisi masing-masing jantung para musuhku. Aku tergelak kencang. Pasienku gemetar dengan wajah semakin memerah. Pembuluh nadinya hampir saja robek karena ia memberontak bangun ingin melarikan diri.

Classh..

Ku gores dengan kencang dada pasien pertamaku dengan cepat. Cipratan darah itu mengenai wajahku. Pasien itu melotot dan tak bernyawa lagi setelah menggelepar. Kuambil jantungnya dan memasuknya ke dalam toples kosong berisi cairan kimia. Baru saja aku akan menghampiri pasien kedua, tiba-tiba ....

Dokk Dokk..

Pengawalku mengetuk pintu mengganggu aktifitasku. Terpaksa aku membuka pintu ruanganku dulu.

"Ada apa? Jangan ganggu aku." Bentakku.

"Maaf, Tuan. Kita di kepung! Serangan Romanov sudah di depan ingin mengebom bunker ini." Pengawalku berkata dengan wajah yang pucat pasi.

"Aarrrghh... Sial!!" Pekikku.

Kubuka sarungan tangan karet yang telah bermadinkan darah. Aku bergegas keluar ruangan menuju, ruang monitor.

"Lewat sini, Tuan." Ajak pengawalku.

Kami berlari memasuki lorong besi yang terang jalan menuju ruang monitor. Kami berlari secepat-cepatnya. Aku berusaha mengimbangi langkah lari pengawalku yang ternyata lebih cepat dariku. Tiba-tiba ...

Dorr.. Dorr..

"Arrghh..." jeritku menahan sakit.

Punggung kananku tertembak senjata api. Darah mulai merembes keluar dari daerah yang terkena tembakan. Sambil terus berlari, aku pegang bagian yang terluka di punggung kanan bagian atas. Tidak berapa lama, aku dan pengawalku bersembunyi pada sekat pembatas yang terdapat loker besi untuk penyimpanan senjata tajam. Kuambil sepasang belatih yang kusimpan di kedua booth-ku. Kuambil senapan di bagian belakang celanaku dan kubidikan pada musuh.

Dor... Dor... Dor...

Aku rasa tembakanku mengenai sasaran. Aku lihat sekilas, satu musuh tertembak di bagian lengannya.

Dor... Dor...

Mereka menembak angin. Tetapi punggungku terasa terbakar, sakit sekali hingga tangan kananku melemah. Pada saat itu, aku menyadari ada seseorang yang berusaha mendekat pada posisi kami. Kuambil belati dengan tangan kiri dan kuarahkan pada musuhku yang mendekat.

Sleppp...

Tepat sasaran. Bidikanku tak pernah meleset. Belatiku mengenai punggung tangan musuhku yang memegang pistol. Aku berlindungan lagi, kulihat ratusan peluru berterbangan di sampingku. Sahut-sahutan suara senapan semakin dekat. Ada banyak sekali anak buah Romanov yang masuk ke dalam bunker.

"Tuan Volte.. Anda pergi saja! Biar di sini aku yang tangani. Keselamataan anda lebih utama untuk menghancurkan Romanov." cetusnya sambil saling menyerang lawan. Sontak aku menaikan satu alisku.

"Siapa namamu?" aku tatap intens wajahnya.

"John. Saya John. Pengawal baru anda." jawabnya sambil siap siaga dengan pistol yang digenggamnya erat.

"Mari kita habisi mereka sama-sama. Aku bukan seorang pengecut yang lari tanpa perlawanan. Aku Vandals, kau tahu artinya itu? Hanya dengan kemenangan yang akan membawa aku keluar hidup-hidup dari sini." janji seorang Vandals sejati.

Di seberang loker terdapat senjata api laras panjang yang mengantung di dalam kotak kaca. Aku harus bisa meraih senjata itu untuk bertahan dari serangan anak buah Romanov yang semakin merangsek mendekati posisinya.

"John. Kecoh lawan. Aku akan mengambil senjata itu." perintahku pada John. Aku menatap senjata api laras panjang dan menganggukan daguku ke atas.

John mengerti lalu berguling ke depan melawan lima orang musuh dengan cepat. Di usia yang masih muda John sungguh tanggap. Gerakannya sangat gesit, lincah dan dia berhasil menghindar dari serangan sekaligus melumpuhkan musuh. Pantas saja ia menjadi pengawal pribadi Volte.

Aku menunduk serta berguling memecahkan kotak kaca tempat senjata api dan mengambilnya. Kini senjata itu telah ada digenggamanku. Aku mulai mengintai, ada lawan kira-kira tujuh orang berpakaian turis lokal yang memegang senjata api yang sedang mendekat. "Sial..! Romanov ternyata sangat licik juga. Dia bisa mengetahui bunker rahasiaku." gerutuku dalam hati.

Aku akan menyelidiki lagi, siapa Romanov sebenarnya. Ia bukan lawan yang sembarangan. Aku salah menduga karena telah meremehkan musuhku. Pasti ada orang dalam yang terlibat kali ini. Aku sangat yakin kalau ada anak buah Romanov yang berhasil menyusup di organisasiku.

Aku menembak dengan senapan laras panjang dari balik loker besi tempat aku berlindung. Darah bercururan di mana-mana setelah berberapa menit kemudian. Aku merasa ada anak buah Romanov yang terkena tembakanku.

Dor... Dor... Dor... Dor... Dor... Dor... Dor...

Suara desingan peluru berlarian menyapa gendang telinga serta suara teriakan dari anak buah Romanov. Aku terus bertahan dan berusaha menghalau musuh yang terus merangsek mendekatiku.

"Tuan sebaiknya anda pergi dari sini! Tempat ini seperti sudah di kepung oleh mafioso Romanov!" seru John.

"Tidak!! Akan kuhabisi mereka semua."

Dalam kamusku tidak ada kata menyerah. Walaupun nyeri pada bagian bahuku semakin menyiksa. Bau anyir tercium oleh indera penciumanku, bau darahku sendiri. Memang aku mulai melemah, tetapi tidak akan mempengaruhi tekadku untuk menghabisi semua lawanku.

"John.. Aku akan maju, kau lindungi aku dari belakang! Akan aku habisi mereka semua." Amarahku berapi-api.

"Cukup sudah bermain-main. Akan kutunjukan siapa Vandals sesungguhnya." gumamku dalam hati.

Di sisa tenagaku, aku maju dan berlari membidik mereka semua dengan pasti. Satu persatu musuhku berjatuhan, John melindungiku dari belakang dan menembaki mereka yang ingin melukaiku.

Aku berhenti di depan ruangan nomor 1 bunkerku. Pintu bunker telah dibuka paksa dengan alat peledak tanpa suara. Kumasuki ruangan monitor guna melacak musuh. Namun tiba-tiba dua orang musuh yang bersembunyi di dalam ruangan itu mencidukku. Amarahku meledak hingga membuatku lengah.

Dor...

Sesuatu telah bersarang di dadaku. Kesadaranku menipis, itu obat bius. Seketika itu, kepalaku terasa sakit, aku memaksa untuk terus membuka mata namun buram dan akhirnya gelap semuanya...


***

AUTHOR POV

"Kakakkkk!!"

Siren terbangun dalam tidurnya. Dini hari masi terlalu lama untuk matahari bersinar.

Bulir keringat membahasi dahi dan wajahnya. Tarikan nafasnya bergemuruh. Rasa sesak di dalam dadanya terasa menyakitkan.

Siren memegang, menekan serta meremas dada kirinya dengan kencang. Perasaan yang tidak pernah sekalipun ia rasakan.

Tak terasa air mata itu menetes begitu saja. Ia menyentuh dan melihat dengan ujung jari telunjuknya.

Sesak, sesak sekali rasanya...

Isakan tangisan pilu itu terdengar tanpa diketahui penyebab rasa sakit itu. Hanya satu yang ada di pikirannya.

"Semoga ini hanya mimpi." gumamnya pelan disela tangisannya.



Bersambung ke Part 8.





Special terimakasih buat akang ganteng @Nicefor :ampun:


• Vandals (dalam sejarah, wikipedia) : Kaum/suku bar-bar yang terkenal akan kekejamannya menguasai pulau Sisilia, Italia pada tahun 440 SM.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd