Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Sesuai Aplikasi: Dea

Status
Please reply by conversation.

giaraini

Semprot Kecil
Daftar
6 Nov 2014
Post
65
Like diterima
1.774
Lokasi
Bandung, Bogor
Bimabet
Sesuai Aplikasi: Dea

Ditulis oleh Giaraini, untuk Kakak-Kakak Semprot tercinta.

Keyword: Soft-core, Drama, 1st PoV Perempuan 19th, Mahasiswi, Ojol

Kalo mau copas, copas judul sama penulisnya, ya.

---

Part I
Bandung, 25 Desember 2021


"Pesanan sesuai aplikasi, Neng?"

"Sesuai, Kang. Terimakasih."
Aku menguap, enggan bangkit dari tempat tidurku. Jika saja bukan karena ada UAS besok pagi, di Minggu siang seperti ini, pastilah aku sedang mendengkur sampai nanti siang.

"Baik. Mohon ditunggu ya, Neng."

"Terimakasih, Kang."
23 Juni 2019. Belum ada Covid-19. Tidak ada masker, tidak ada social-distancing, tidak ada vaksin, tidak ada PPKM. Aku sendiri sedang kuliah di penghujung semester empat. Kesibukanku hanya ke kelas, praktikum, tugas, dan ujian. Selain itu, biasanya pacaran. Sayangnya, kali ini Andrian pacarku sedang KL di luar kota.

"Alamat sudah sesuai?"

"Sesuai peta, Kang. Pondok Putri Bianca.
"Yang pertigaan SPBU."
Aku memaksakan diri untuk bangun, sadar jika aku tak membereskan kamarku hari ini, aku tak akan punya kesempatan di lain waktu. Aku termasuk perempuan yang cukup rapi dalam urusan kamar, tapi jika aku sudah mulai belajar, urusan kamar jadi nomor sekian.

"Oh iya, Pak.
"Saya lupa nambah jus tomat.
"Boleh ditambahkan?"
Tulisku sambil memunguti buku-buku yang berserakan di lantai.

"Siap, Neng."

Mungkin sekitar 20 menit kemudian, di aplikasi handphoneku, aku melihat driver online pengantar makananku sudah sampai di titik peta bangunan pondok ini. Namun setelah menunggu agak lama, yang bersangkutan tak kunjung hadir. Penasaran, aku pun menengok ke luar pintu kamar.

Nampaknya, ojek online ini salah pintu kamar. Aku melihat pria berumur 35-40 tahunan yang berjaket hijau sedang menenteng kantong kresek, berdiri di pintu kamar sebelah.

"Kang Rifki?" Tanyaku untuk memastikan.

Sang Driver menoleh, namun anehnya raut mukanya nampak terkejut dengan panggilanku. Dengan bergegas dia berjalan ke arahku.
"Neng Dea?"
"Maaf, salah kamar, Neng."

Dia menyodorkan ayam geprek dan jus tomat yang kupesan.
"Oh iya, harga jus tomatnya belum saya update di aplikasi, Neng."

"Berapa, Kang?"

"Sepuluh ribu."

Selintas, aku melihat lirikan mata Kang Rifki ke arah dadaku. Melihat itu, aku lekasi-lekas pergi mengambil uang sambil aku perhatikan bajuku.
"Ah sial." Bisikku dalam hati, melihat dua gumpalan daging dadaku terbentuk dengan jelas di balik pakaian yang kupakai tidur ini.
"Gak apa-apalah. Anggap aja beramal."

"Tau gak, Neng, di sebelah lagi ada apa?" Ujar si Driver saat aku kembali berjalan ke arahnya.

"Apa emang?" Tanyaku sambil mengenakan kemeja himpunan untuk menyamarkan dadaku.

Dia membuat tanda dengan tangannya, jari-jari yang dijumputkan dan diadukan, seperti kode berciuman.

"Hah?" Aku terkejut.
"Mana mungkin, Kang." Sanggahku, mengingat penghuni kamar di sebelah adalah sosok yang religius.

Namanya Rani. Kak Rani adalah kakak kelas di jurusanku. Selain dikenal religius, ia juga aktif di organisasi keagamaan, tidak seperti aku yang alakadarnya dan malas-malasan. Maka apa yang dikodekan Kang Rifki ini bisa kubilang mustahil.

"Sini." Ajaknya, seperti ingin membuktikan kata-katanya. Dia pun berjalan agak pelan ke arah jendela kamar.

Penasaran, aku pun menuruti ajakannya.
Kang Rifki mendahuluiku mengintip ke jendela, dan seketika menoleh ke arahku dengan mimik muka yang lucu, seperti wajah orang berkata 'Wow'.

"Apan sih." Gumamku.

"Sini." Pintanya, menunjuk jendela, nampak ada celah pada bagian tepi gorden yang menutupi jendela.

Seketika aku mengintip celah itu, seketika itu pula aku terkejut dan terheran-heran.
"Whaaaaat?" Seruku tertahan.

Di celah itu, aku melihat Kak Rani sedang terduduk di lantai lantai karpet, mendekap kepala seorang laki-laki di dadanya. Sementara kakinya yang tertekuk terkadang menutup dan membuka memperlihatkan tangan si laki-laki yang masuk ke dalam rok panjang Kak Rani.

Aku termenung terheran-heran memandangi Kang Rifki, mengisyaratkan bahwa hal ini adalah hal yang mustahil.

Kang Rifki mengangkat bahunya, menjawabku tanpa kata sambil tertawa dan mengacungkan jempol.
"Tadi sih cuma ciuman doang." Bisiknya.

Karena saking mustahilnya hal ini, aku pun merasa perlu mengabadikan momen ini. Sayangnya, aku tak membawa handphone. Satu-satunya handphone yang aku lihat di sana adalah milik Kang Rifki.
"Bisa ngerekam?" Tanyaku ragu-ragu.

Awalnya seperti terkejut, tapi ojol yang satu ini malah tersenyum kegirangan.
"Bisa dong."

Baru saja layar kamera mengarah ke celah gorden, tiba-tiba kedua orang mesum itu menghilang dari tempat yang tadi. Keduanya rupanya pindah ke kasur, yang mana pandangan aku dan Kang Rifki jadi terhalang gorden.
"Yah, pindah." Bisikku agak kecewa.

"Neng Dea kenal sama mereka?" Tanya Kang Rifki setelah kembali di depan pintu kamarku.

"Kenal banget. Kakak kelas aku, itu.
Tapi yang cowoknya aku gak tau."

"Kok bisa? Bukan pacarnya emang?"

"Setauku dia tipe yang sangat 'menjaga'." Ujarku sambil membuat tanda petik dengan jariku.
"Religius, konservatif.
"Ngerti, gak?"

Kang Rifki menggeleng sambil kebingungan.

Aku tertawa.
"Taat gitu deh.
"Makanya aku kaget. Orang sebaik itu. Gak mungkin."

"Ya, makanya gak boleh menilai orang dari luar itu ya seperti itu." Timpal Kang Rifki.

Tak ingin percakapan ini jadi gosip, aku pun berpikir untuk segera membayar uang jus tomat, selain aku juga perlu segera membereskan kamar. Namun mendadak aku terpikirkan suat hal.
"Kang. Sini." Pintaku. Kali ini aku berbalik mengajaknya.

Tanpa canggung, aku menarik tangannya agar dia masuk ke dalam kamar. Dia sendiri nampak kebingungan, apalagi ketika aku menutup pintu kamarku.
"Jangan mikir yang aneh-aneh yaa" Ujarku, khawatir dia pikir aku mau mengajak hal yang dilakukan Kak Rani.

Tangan Kang Rifki aku tuntun ke pintu belakang, persis di samping kasurku. Dari pintu itu, kutunjukkan sebuah ruang terbuka di belakang kamarku. Aku bingung menyebut tempat ini apa. Jika kubilang gudang, tempat ini tak beratap, namun jika kubilang balkon pun, masih tidak tepat karena ada dinding setinggi hidungku yang menghalangi pemandangan. Apa pun itu, aku mencoba menunjukkan sesuatu padanya.

Karena rancangan bangunan setiap kamar di pondok ini serupa, maka kamar sebelah pun akan sama persis dengan kamarku. Memiliki 'balkon' dengan tembok pembatas sekitar 1,5 meter, sementara di samping pintu masuknya terdapat dua jendela yang lega. Ideku, jika aku berjinjit di dinding yang membatasi kamarku dan kamar Kak Rani, tentu aku dapat melihat jelas aktivitas apa pun di kasurnya melalui dua jendela tadi, asalkan gorden di kamar itu terbuka tentunya. Namun sebelum aku menjelaskan itu, Kang Rifki sudah menangkap apa yang aku maksud. Tanpa bertanya, dia menyisiri dinding kamarku dan perlahan mendekati tembok pembatas itu.

Seketika dia melihat ke arah kamar Kak Rani, Kang Rifki langsung melihat ke arahku dan menepuk dahinya.

Maka aku pun penasaran ingin tahu apa yang dilihatnya. Setelah tengok sana-sini, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil panci rice cookerku sebagai pijakan.

"Neng umur berapa?" Tanya Kang Rifki sambil berbisik.

"Sembilan belas." Jawabku, membalik panci itu dan kupijak pelan-pelan.
"Kenapa emang?"

"Ini adegan delapan belas plus." Bisiknya saat aku mulai berdiri di sampingnya.

Apa yang dibilang Kang Rifki benar adanya. Aku diam terpaku melihat dua tubuh telanjang sedang berpelukan.
"Hendri?" Tanyaku dalam hati, saat melihat wajah sang laki-laki.

Hendri adalah adik kelasku. Bocah lugu berkacamata yang hobinya maen game, yang jika ada orang-orang di jurusanku yang aku beri tahu tentang ini, pastilah mereka tak akan percaya.

Kang Rifki tertawa melihatku terheran-heran dengan adegan di balik jendela itu.
"Baru pertama liat beginian ya, Neng?" Tanyanya polos.

Aku bingung menjawabnya. Aku dan Andrian pacarku memang tingkat hubungannya sudah sejauh sampai hal seperti itu, menonton film porno pun aku sudah biasa.
"Iya. Kaget aku, Kang." Jawabku mengiyakan sambil turun dari panci karena kakiku pegal.

"Pernah diremes-remes kayak gitu, gak?" Tanyanya lagi.

Dahiku berkerut. Aku diam tak menjawabnya.

"Enak kan kayak gitu tuh."

"Ya terus, Pak?" Protesku dalam hati.
"Kayaknya sih." Jawabku.

Terus terang, aku geram dengan kedua orang ini. Yang satu dikenal taat, yang satunya dikenal cupu. Ada apa dengan mereka? Kenapa mereka bisa seperti ini? Namun ketaatan dan keluguan kedua aktivis kampus ini seolah sirna di pandanganku beberapa saat selanjutnya. Cara Kak Rani menciumi Hendri, dan cara Hendri meremas-remas payudara Kak Rani, menampakan betapa liar dan dewasanya kedua orang ini.

"Neng." Panggil Kang Rifki.
"Diblowjob. Liat deh."

Aku kembali berdiri di atas panci, mengintip Hendri yang sedang menancapkan penisnya ke dalam mulut Kak Rani.
"Buset." Seruku tertawa geli.

Hendri ini tipikal orang rumahan yang lurus dan lugu, pakaiannya pun antara 3Second atau Nevada, celananya pun tak akan jauh-jauh dari Cardinal, apalagi ditambah kacamata tebalnya dan potongan rambut belah samping. Tapi melihatnya tanpa busana seperti ini, dengan penisnya yang tegak dan kekar dihisap-hisap Kak Rani, membuat dia nampak maskulin dan jantan di mataku.

"Itu tuh, pas lagi enak-enaknya." Tutur Kang Rifki, begitu menjiwai adegan mesum yang dilihatnya itu.

"Ya, aku tau." Timpalku dalam hati. Andrian pun akan merem-melek jika sudah dihisap-hisap seperti itu.

"Ngentot gak ya, Neng, nanti mereka?" Tanya Kang Rifki penasaran.

"Ih aku mana tau, Kang." Jawabku.

Pegalnya kakiku yang tertahan di panci rice cooker ini mendadak hilang begitu melihat Kak Rani ditidurkan oleh Hendri. Dibuka kedua pahanya, dan lalu diciumi dan dihisapnya kemaluan Kak Rani.
"Aduh." Ucapku malu, merasa risih karena melihat hal seperti itu bersama seorang pria yang tak kukenal.

"Mulus banget itu memek." Komentar Kang Rifki.

"Apa sih, Kang?" Protesku sambil tertawa.
"Memek kan emang gitu." Terangku.

"Ah, punya Neng mungkin yang kayak gitu juga."
"Punya istriku gak kayak gitu." Jawabnya santai.

"Punyaku? Apa urusannya sama memek aku? Ih, ni orang."
"Dasar ojol." Gerutuku dalam hati.

"Mau direkam?" Tanyanya mengangkat alis.

"Boleh, boleh." Jawabku usil, mengambil handphone yang diserahkan Kang Rifki.

"Wah. Pas nih." Ujar Kang Rifki begitu aku menyalakan kamera handphonenya, berbarengan dengan Hendri yang bangun dan duduk di hadapan selangkangan Kak Rani.

Kak Rani menggapai-gapai penis Hendri, lalu menuntunnya masuk ke belahan kemaluannya.

Aku diam melotot. Aku pernah melakukannya dan cukup sering menonton di laptopku, tapi melihat adegan seperti ini secara langsung adalah pengalaman pertama kaliku. Jantungku berdebar saat penis Hendri menyelinap ke dalam vagina Kak Rani, aku hanya bisa membayangkan kehangatan dan kelembutan penisnya Hendri yang menyusupi dinding-dinding rongga milik Kak Rani.

"Sempitnyaaa ya ampun." Komentar Kang Rifki lagi, melihat penis Hendri nampak tersendat-sendat sebelum bisa masuk sepenuhnya ke dalam lubang kenikmatan itu.

"Kalo sempit itu lebih enak memang ya, Kang?" Tanyaku, ingin tahu apa yang dirasakan kaum adam di situasi seperti itu.

"Duh, Neng, rasanya kayak dicekik sopir kontener."

"Halah. Si akang ini. Ngadi-ngadi."
Entahlah, aku tak bisa membayangkan apa yang para pejantan itu rasakan, yang jelas buatku rasanya seperti disundul-sundul, dan ketika masuk jadi perih-perih nikmat, walau pun pada akhirnya hanya nikmat yang ada.

Awalnya aku mengira, dua orang yang dikenal taat dan lugu ini mungkin hanya sekedar terbawa nafsu atau ada faktor lain yang membuat mereka terjebak dalam panggung berahi ini, namun apa yang aku dan Kang Rifki saksikan lain dari pada itu. Hendri menarik kedua kaki Kak Rani ke atas, lalu mengambil seutas tali dan mengikat kedua kakinya. Tak hanya itu yang membuatku terkejut, kedua tangan Kak Rani pun diraihnya, lalu diikatnya. Dengan kedua kaki dan tangan terikat ke udara, pantat Hendri yang tepos tapi berotot itu mulai terayun-ayun maju dan mundur. Melihat bibir vagina Kak Rani yang terdorong dan tertarik membuatku sesak nafas.

Nafasku makin tak karuan ketika goyangan pantat Hendri terlihat makin liar. Gerakannya tak ubahnya mesin mobil. Penisnya bak piston yang memompa-mompa lubang silinder kenikmatan Kak Rani. Dadaku terasa panas, sementara dahi, leher, dada, dan ketiakku serasa bersimbah keringat. Hal yang sama nampak dirasakan Kang Rifki, dilepasnya jaket hijau berbahan taslan itu. Aku pun teringat kemeja himpunan kanvas yang tebal yang kukenakan ini dan turut melepasnya.

Aku dan Kang Rifki cungar-cengir tak karuan. Aku sendiri merasa geli dan risi membayangkan kemaluan Kak Rani diaduk-aduk seperti itu.

Cukup lama Hendri mengobrak-abrik vagina Kak Rani, sampai akhirnya dia mengubah posisi Kak Rani. Dibaliknya tubuh Kak Rani hingga terjerembab ke kasur. Pantatnya menungging mengacung ke udara. Lalu dihunuskannya penis tegang yang memerah dan berkilauan oleh cairan syahwat itu ke arah selangkangan Kak Rani. Tanpa aba-aba, ditusukkannya batang kelamin itu. Namun aku dan Kang Rifki terkejut bukan main, ketika menyaksikan penis Hendri itu amblas bukan pada vagina, melainkan pada liang dubur Kak Rani. Keterkejutanku makin menjadi tatkala melihat tangan Kak Rani menggapai kemaluannya sendiri dan mengusap-usapnya.

"What the faaaaak!" Pekiku tertahan, tanganku refleks meremas pinggang Kang Rifki saking terkejutnya. Geli, risih, aneh, heran, bercampur aduk.

Kang Rifki yang terkejut melihat ke arahku, menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa.

Sadar jika aku yang berjinjit di panci itu tak berpegangan ke tembok, Kang Rifki menggenggam tanganku dan menahan tanganku itu di pinggangnya. Sayangnya, sikutnya jadi terganjal di dadaku. Mengetahui itu, aku pun menghindar beberapa senti. Namun itu pun malah jadi bencana. Buah dadaku yang tak berbeha dengan putingnya sudah berdiri sejak melihat Hendri telanjang malah jadi tersentuh-sentuh Kang Rifki. Aku pura-pura tak sadar karena aku tak punya solusi yang lain jika masih ingin tetap menonton adegan liar di balik jendela itu.

Seiring berlangsungnya keliaran dua insan dimabuk syahwat itu, aku merasakan kesengajaan sikut Kang Rifki yang menyentuh-nyentuh puting susuku. Parahnya, terkadang ditekan dan diusapkan sikutnya itu pada payudaraku yang membusung bebas tanpa bra.
"Hhhhhh." Aku mendengus tanpa bisa aku kendalikan.

Di satu sisi, mataku menyaksikan adegan dua manusia telanjang yang sangat erotis dan liar, di lain sisi payudaraku yang tersentuh-sentuh membuatku jadi tak karuan, ditambah cengkraman tangan kasarnya yang memegangi tanganku.

"Enak banget ya, Kang." Bisikku lirih.

Bersambung dulu ah.
 
waduh direkam :pandaketawa:
 
Bimabet
emang dah sista satu ini paling handal dalam penulisan cerita, selalu berhasil di bawa hanyut dalam rangkaian kata katanya. smangat sista @giaraini
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd