Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Part 3: Sendiri

"Apa maksudmu tidak bisa mengedit tulisanku lagi, Budi?"

Kurang ajar sekali ini si Budi, pagi-pagi begini sudah membuat aku naik pitam saja. Mentang-mentang sekarang jabatannya sudah tinggi di penerbit, seenaknya saja dia tidak mau mengurus tulisanku lagi. Sudah sombong rupanya anak ini.

Aku yang masih sedikit mengantuk karena baru saja bangun, dan sedikit pusing akibat pengaruh alkohol yang belum begitu hilang tadi malam, tiba-tiba harus langsung menegakkan tubuh hingga bersandar di ujung tempat tidur. Saat baru bangun tidur dan membuka mata, aku memang langsung memeriksa WhatsApp di smartphone milikku, dan menemukan pesan dari Budi yang mengatakan bahwa naskahku nanti akan diedit oleh editor lain, dan bukan oleh dia.

Tanpa menunggu waktu lama, aku langsung menelepon Budi. Kini, aku tengah coba menekankan speaker smartphone lebih dekat ke telingaku, khawatir aku salah mendengar kata-kata Budi sialan ini.

"Jangan marah dulu Mas Jo. Penerbit kami tentu dengan senang hati akan menerbitkan novel Mas Jo lagi. Hanya saja, bukan saya yang nanti akan mengurus editingnya, melainkan editor senior lain. Saya bisa jamin, kualitas editingnya tidak jauh berbeda dengan saya," jelas Budi dari ujung telepon.

Dalam hati, aku mengutuk editor kurang ajar ini. Meski ia mengatakan "editor senior lain", aku tentu tahu bahwa yang ia maksud adalah editor yang lebih junior daripada dia. Mungkin si Budi ini sedang mengurus naskah buku yang lebih sastra, atau penulis yang lebih populer dibandingkan aku. Persetan lah dengan alasan yang dibuat-buat ini.

Namun aku berusaha sekuat tenaga untuk mengumpulkan akal sehatku. Menerbitkan buku di penerbit lain yang lebih kecil reputasinya dibandingkan penerbit si Budi ini, tentu bukan alternatif yang bisa aku terima juga. Mau diletakkan di mana mukaku nanti? Lagipula, siapa pun editornya, namanya tidak akan mempengaruhi performa buku ini saat dijual kan?

Aku pun sepertinya tidak bisa memaksa penerbit untuk mengubah editor apabila tidak ada alasan yang kuat. Mungkin apabila aku menerima si editor junior ini, dan pekerjaannya tidak beres, aku bisa cepat minta pergantian editor ke yang lebih senior. Itu ide yang cukup bagus menurutku, membuat editor pemula ini gerah hingga penerbit tersebut menyadari bahwa mereka telah melakukan kesalahan.

"Siapa yang akan menangani naskah novel terbaruku ini, Bud?"

"Namanya Amanda Nur Izzati. Dia sudah bertahun-tahun mengedit tulisan di sini, dan kualitas pekerjaannya luar biasa bagus. Kamu pasti akan terbantu olehnya."

Seorang perempuan? Usia berapa dia ya? Wajahnya seperti apa? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus berseliweran di otakku. Mendengar namanya saja pikiran-pikiran mesum sudah langsung bergerilya di sudut-sudut kepalaku. Dasar tua bangka bodoh.

"Baiklah. Kapan aku bisa bertemu dia?" Tanyaku yang sudah tidak sabar ingin menjadikan hidup editor tersebut seperti neraka.

"Siang ini aku akan berdiskusi dengan dia, dan secepatnya dia akan menghubungi kamu. Ditunggu saja ya Mas Jo," ujar Budi sambil menyebut panggilan akrabku di dunia penulisan.

"Oke, aku tunggu. Sampai jumpa," ujarku sambil menutup telepon. Aku memang tidak suka berbasa-basi, apalagi dengan orang yang sudah membuat aku kesal.

Ah, hari ini sepertinya tidak ada pekerjaan yang bisa aku lakukan. Lebih baik mengisi dengan kegiatan apa ya?

***

Saat tidak sedang bersama siapapun di rumah ini, aku memang terbiasa hanya mengenakan kaos dan celana pendek, tanpa kaos dalam dan celana dalam. Busana seperti ini membuatku merasa lebih bebas bergerak, dengan sirkulasi udara yang mengalir lebih baik di seluruh permukaan tubuhku.

Setelah mandi, aku pun turun dari kamar tidurku di lantai dua, menuju ruang tamu dan dapur di lantai satu. Sambil menyeduh kopi, aku coba menyalakan televisi dan melihat ada berita apa pagi ini. Rupanya perdebatan soal Komisi Pemberantasan Korupsi masih saja menjadi tajuk utama di setiap stasiun televisi. Mendengar berita tersebut aku jelas merasa kesal, karena setelah bertahun-tahun presiden sebelumnya turun, budaya "mencuri" seperti ini masih saja bercokol di tanah air.

Namun di sisi lain aku juga bingung, harus berbuat apa aku sebagai penulis novel roman. Membuat cerita yang menyinggung pemerintah tentu aku tidak bisa. Kalaupun bisa, aku tidak mau repot-repot berurusan dengan pihak berwajib apabila naskah tersebut kemudian dianggap bermasalah.

"Yah, lebih baik begini saja. Tiap pagi bisa menyeruput kopi, dan malamnya bisa minum bir sambil makan spaghetti," ujarku dalam hati. "Lebih nikmat lagi kalau bisa ada gadis yang menemani, haa."

Beberapa menit kemudian coffee maker di dapurku sudah selesai bekerja. Cairan pekat penambah semangat di pagi hari pun tersaji, dan aku tuang ke dalam cangkir krem favoritku. Tanpa menunggu lama, aku langsung membawa cangkir kopi tersebut ke ruang kerjaku di bungalow belakang rumah.

Jarum jam baru menunjuk ke angka 8, dan matahari masih bersinar cerah. Aku suka lingkungan rumahku yang tidak terlalu berisik baik di pagi maupun malam hari. Rumah di sebelah kananku sepertinya kosong tak berpenghuni, hanya ada seorang asisten rumah tangga dan seorang tukang kebun saja yang menjaga. Sedangkan rumah di sebelah kiriku, menurut isu adalah tempat seorang pejabat teras menempatkan salah satu selingkuhannya. Aku belum berhasil membuktikannya, jadi sejauh ini hal tersebut masih merupakan desas desus belaka.

Hal pertama yang kulakukan setelah membuka laptop di ruang kerja adalah mencari tahu siapa sebenarnya editor yang akan mengurus naskah novel terbaruku ini, dan apa latar belakangnya. Aku pun mengetikkan namanya di mesin pencari: Amanda Nur Izzati.

Hmm, dia ternyata mempunyai blog di mana dia mengumpulkan semua judul buku yang pernah ia garap. Hal ini tentu memudahkan aku untuk mengetahui buku-buku seperti apa yang biasanya ia edit. Di awal karier sepertinya dia hanya dipercaya untuk mengedit naskah-naskah roman remaja, tetapi dalam waktu cepat ia sudah diizinkan menangani buku-buku milik penulis kenamaan. Aku menemukan beberapa judul buku milik penulis hebat, yang juga teman-temanku sendiri, yang sempat diedit oleh perempuan bernama Amanda ini.

"Bukunya Rachmadi yang terbit dua bulan lalu pun diedit oleh si Amanda. Coba aku tanya Rachmadi oke gak kerjaannya editor baru ini," ujarku sambil mengetikkan sebuah pesan kepada sahabatku sesama penulis tersebut.

Di halaman pencarian, aku pun menemukan akun Instagram yang sepertinya milik Amanda. Aku coba membukanya, dan ternyata akun tersebut memang benar miliknya. Bisa terlihat foto seorang perempuan berjilbab yang berpose dengan setiap buku yang pernah ia edit, demi mempromosikan buku-buku tersebut. Apakah bukuku nanti akan mendapatkan perlakuan yang sama?

"Cantik juga perempuan ini, sepertinya belum 30 umurnya," ujarku sambil terus melihat koleksi foto di akun Instagram Amanda.

Meski mengenakan jilbab, tetapi Amanda beberapa kali mengambil foto dengan pakaian yang cukup ketat, sehingga aku bisa melihat bentuk badannya yang cukup seksi, khas perempuan muda. Tentu jauh berbeda dengan mantan istriku yang sudah mempunyai timbunan lemak di sana sini, sekuat apapun ia berusaha menghilangkannya di pusat kebugaran.

Di beberapa kesempatan, ia tampak berpose dengan seorang pria yang seumuran dengan dirinya, dan menambahkan caption yang romantis. Aku menebak itu adalah pacarnya, karena sepertinya tidak cocok apabila berpose dengan keluarga dan menambahkan caption seperti itu.

"Baiklah, kutunggu saja kapan si Amanda ini nanti akan menghubungiku. Biar aku bisa membuktikan apakah aslinya memang cantik seperti foto-fotonya ini. Bikin aku tidak sabar saja."

Aku kemudian menutup halaman pencarianku untuk Amanda, dan beralih membuka media sosial favoritku, twit**ter. Seperti biasa, cuitanku semalam masih banyak dikomentari oleh para pengikutku. Aku pun mencoba jual mahal untuk tidak terlalu menanggapi mereka.

Namun tiba-tiba aku melihat notifikasi bahwa ada Direct Message yang masuk ke twit**terku. Ini cukup aneh karena aku tidak mengikuti banyak orang di twit**ter, sehingga tidak banyak orang yang bisa mengirimkan DM kepadaku. Bahkan, sepertinya aku juga belum follow akun penerbit dan editor bukuku. Mohon maaf, meski sering main twit**ter, aku bukan tipe orang yang menganggap serius platform ini.

Saat membuka halaman Direct Message, ternyata ada sebuah pesan dari akun perempuan yang kulihat semalam, yang menggunakan nama Astari di profilnya. Aku sempat berpikir sejenak, bagaimana dia bisa mengirimkan DM untukku. Setelah memeriksa lebih lanjut, aku baru menyadari bahwa semalam aku sempat menekan tombol Follow di profil perempuan tersebut. Alkohol memang bertugas sangat baik untuk membuatku melakukan hal-hal yang tidak jelas.

"Terima kasih ya Pak Jo sudah follow aku."

Tapi setelah berpikir lagi, sepertinya tidak ada masalah sesekali follow orang lain yang tidak aku kenal. Aku tidak yakin bahwa pemilik akun tersebut benar perempuan, dan wajahnya pun secantik yang ia tampilkan di profil. Namun tidak ada salahnya kan untuk menanggapi sebentar? Aku pun membalas pesan tersebut.

"Buat kamu, apa sih yang nggak? ;)"

(Bersambung ke Part 4)
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd