Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Jgn sampe 40 hari vakumnya hu. Takutnya klo terjadi vakum lagi, bisa 100 hari, 1000 hari, 10 thn. Kasian kami, hehe
 
Part 12: Pasangan

"Untuk apa sih kamu mengajakku bertemu lagi, Jo?"

Duh, baru datang saja sudah bersikap menyebalkan seperti ini si Rachmadi. Lumayan menyesal juga aku mengajaknya bertemu kembali di kedai kopi ini. Sepertinya lebih baik aku nongkrong dan melamun sendiri saja, daripada ditemani oleh pria judes seperti dia.

"Lagakmu seperti orang sibuk saja sih, Di. Memangnya kamu banyak kerjaan di rumah?"

"Kalau di rumah kan aku bisa berduaan dengan istriku."

Dasar tua bangka sialan, seperti masih bisa berdiri saja burungnya itu. Paling kalau sedang berduaan mereka cuma duduk duduk sambil nonton sinetron saja.

"Aku tadi kan sudah bilang, ajak saja sekalian istri kamu ke sini, biar kita bisa kumpul bertiga."

"Nggak mau."

"Kenapa?"

"Nanti istriku kamu terkam juga."

Aku tidak tahu bagaimana cara menanggapi kata-kata Rachmadi itu. Lebih baik aku tertawa atau marah? Apakah aku memang sudah membuat banyak orang di sekitarku tidak nyaman dengan kegilaanku di masa muda? Apakah ini yang selama ini mereka tutupi di belakangku?

"Hahaa ... Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau aku sudah tua, Rachmadi. Sudah bukan usianya aku melakukan hal-hal gila seperti merebut istri orang. Lagipula, sejak menikah dengan Inggit, aku sudah tidak segila itu kan?"

"Itulah sebabnya. Hanya seorang Inggit yang bisa menjagamu agar tetap "aman". Setelah kamu berpisah dengannya, siapa yang bisa menjamin bahwa kamu tidak akan menggila lagi?"

"Memang ironis ya. Kamu bilang Inggit berhasil menjagaku, tetapi justru aku yang gagal menjaga dia. Dan hasilnya, justru Inggit yang selingkuh dengan laki-laki lain, hahaa ... "

"Hahaa ... Masih terasa sakit ya Jo?"

"Masih lah," jawabku sambil menyeruput kopi yang ada di hadapanku. Sungguh pahit, serupa dengan kenyataan hidupku.

Aku sebenarnya tidak ingin mengenang masa laluku dengan Inggit. Namun tanpa sadar, semua kejadian yang sudah lewat itu terus saja membayangi kehidupanku. Mungkin benar kata Rachmadi, aku benar-benar harus mencari kesibukan baru, bahkan mencari pasangan baru, pokoknya semua hal yang bisa membuatku melupakan mantan istriku tersebut.

"Sebenarnya apa sih maksud kamu mengajakku ke sini?" Rachmadi kembali mengungkapkan pertanyaan yang sama.

"Aku cuma pengin ngobrol saja, tidak lebih," jawabku.

"Sudahlah. Kita sudah kenal lama, jadi kamu tidak usah basa-basi. Kamu tidak akan mengajak bertemu kalau tidak ada yang ingin kamu sampaikan langsung padaku. Kalau cuma hal remeh pasti sudah kamu katakan lewat telepon, tak perlu bertemu seperti ini."

Sulit memang menipu seorang Rachmadi.

"Cepatlah sampaikan, sebelum kopiku jadi dingin nanti," ujarnya lagi.

Aku menghela napas, sembari berusaha memilah kata-kata yang akan kugunakan. Setelah itu, kata-kata tersebut pun kususun menjadi pertanyaan yang akan aku ajukan pada pria tua di hadapanku ini.

"Aku ingin bertanya tentang saranmu waktu itu, Rachmadi."

"Saran yang mana?"

"Soal aku yang menurutmu perlu mencari pasangan lagi. Apakah aku benar-benar harus melakukannya? Terutama di usia seperti ini?"

"Menurutku sih iya."

"Lalu harus yang seperti apa? Yang sudah janda atau masih perawan?" Rachmadi nampak berpikir keras untuk menjawab pertanyaanku, sebelum aku kemudian melanjutkan. "Yang seumuran kita atau lebih muda?"

Tiba-tiba temanku itu tersenyum.

"Hmm, sepertinya aku paham arah obrolan kita," ujarnya.

"Maksud kamu bagaimana?"

"Kamu sedang memikirkan editor yang kemarin kita bicarakan ya? Siapa namanya? Amanda?"

Sial, bagaimana pria tua ini bisa menebak jalan pikiranku. Apa dia sebenarnya mempunyai bakat sebagai cenayang? Atau dia sudah membuka bisnis sebagai dukun?

"Ahh, tidak kok. Ngarang saja kamu. Aku cuma sedang berpikir apakah aku harus mengikuti saranmu yang kemarin atau tidak. Itu saja."

"Hahaa ... Kamu ini, Jo. Kita sudah kenal lama, sehingga aku bisa menebak dengan baik pola pikirmu yang mesum itu. Tidak perlu kamu mengelak."

Aku tidak ingin membalas kata-kata tersebut, karena memang terlalu sulit untuk menyangkalnya.

"Aku sebenarnya tidak ingin mempengaruhi pemikiranmu. Jujur, menurutku kamu harus mencari pendamping, agar hidupmu lebih terarah dibanding sekarang. Namun terserah kamu mau pilih siapa nantinya. Hanya saja, kamu harus ingat ... "

"Ingat apa?"

"Yang namanya pernikahan, pacaran, atau apa pun kamu akan menyebutnya nanti, bukan hanya soal ketertarikan fisik, tetapi juga kesesuaian mental dan sikap. Perempuan yang lebih muda jelas lebih aduhai secara paras, bodi, atau dalamannya ... Tapi mereka tentu punya hobi, sikap, dan kebiasaan yang jauh berbeda dengan kita. Dan kamu harus memahami itu."

Aku bahkan tidak bisa sedikit pun menyela kata-katanya.

"Semua terserah kamu, dengan siapa kamu merasa nyaman. Karena cinta kan tidak bisa memilih. Kecuali kalau kamu cuma mau cari pendamping yang akan jadi pembantu rumah tangga, itu beda cerita ... Dan yang lebih penting lagi, orang yang kamu suka juga merasa nyaman dengan kamu atau tidak?"

Aku pun berusaha meresapi kata-kata Rachmadi barusan. Sudah begitu lama sejak aku terakhir kali berpacaran. Menjalani pernikahan dengan seorang perempuan pun sudah lama kutinggalkan sejak satu dekade yang lalu. Karena itu, konsep "nyaman" pun terasa begitu asing bagiku. Apa parameter kata nyaman tersebut? Apa bedanya dengan birahi? Semuanya membuatku begitu pusing.

"Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan. Nanti juga akan ketemu jawabannya. Kamu jalani saja dengan santai," ujar Rachmadi sambil tersenyum.

Sungguh bijak sekali temanku ini. Apa dia sehari-hari masih makan nasi? Atau sudah berganti menjadi roti?

***​

Rachmadi memang sudah pulang satu jam lalu, tapi aku masih termenung di sini, di kedai kopi tempatku bertemu dengannya tadi. Kata-katanya barusan benar-benar membuatku berpikir keras, tentang apa yang sebenarnya aku inginkan dalam hidup. Terlebih lagi di usiaku yang sudah tidak muda lagi ini.

Aku melirik ke arah meja kasir, tampak sepasang pria dan perempuan sedang membayar pesanan mereka sebelum pulang. Sang perempuan tampak sudah cukup berumur, sekitar 40an tahun. Dari jauh, aku tetap bisa melihat kerutan di wajahnya, meski tubuhnya masih cukup terjaga baik di usia tersebut. Sedangkan sang pria tampak masih cukup muda, mungkin di pertengahan 20an, dengan bentuk tubuh yang masih gagah, dan wajah yang bersih dari kumis dan jenggot.

"Tumben banget ada teman kerja yang ngopi di kedai ini. Mungkin pria tersebut adalah staf baru di kantor keuangan yang berada dekat sini, dan perempuan tersebut adalah atasannya," gumamku dalam hati berusaha menebak-nebak.

Aku sempat menoleh sebentar untuk menyeruput kopiku, sebelum kembali memalingkan wajah ke arah mereka berdua. Mereka telah menyelesaikan pembayaran dan sedang berjalan menuju pintu keluar. Dan keduanya ... saling bergandengan tangan.

"Hmm, baiklah," ujarku pelan, berusaha memahami situasi yang sedang terjadi.

Aku berusaha untuk tidak menebak-nebak lagi hubungan di antara pasangan tersebut, dan memilih untuk kembali sibuk menikmati minuman di hadapanku. Namun tak lama kemudian, ada sebuah pesan WhatsApp yang masuk ke smartphone milikku.

"Halo, Pak Raharjo. Apa kabar? Apakah sedang sibuk?"

Ternyata itu adalah pesan dari perempuan bernama Astari, yang kukenal dari twit**ter beberapa hari lalu. Aku pun membalas pesannya sambil tersenyum. Orang yang melihatku seperti ini pasti menganggapku kurang waras, karena senyum-senyum sendiri sambil membalas pesan.

"Kok manggilnya "Pak" lagi?"

"Eh, maksud saya Om Raharjo. Apa Om sedang sibuk?"

Perempuan tersebut sepertinya sedang lengang aktivitasnya, terbukti ia bisa langsung membalas pesanku.

"Nah gitu donk. Lagi gak sibuk, Astari. Memang kenapa?"

"Aku ingin melanjutkan obrolan kita yang kemarin."

"Obrolan yang mana ya? Yang soal aku dan kamu sedang kesepian?" Aku coba menggodanya.

"Hahaa, bukan yang itu Om. Tapi soal tulisan yang sedang kukerjakan, di mana aku perlu Om Raharjo sebagai salah satu narasumber."

"Owh yang itu. Boleh saja. Tapi ..." Aku berusaha menemukan cara agar bisa mengenal perempuan ini lebih lanjut.

"Tapi apa, Om?"

"Kalau kita wawancaranya langsung di rumahku, bagaimana? Aku sedang malas untuk keluar rumah."

Sungguh alasan yang aneh, karena aku mengirim pesan tersebut dari sebuah kedai kopi yang jelas berada di luar rumah. Lagipula, wawancara seperti ini pun sebenarnya bisa dilakukan lewat telepon atau aplikasi teleconference seperti Zoom atau Google Meet. Ahh, peduli setan dengan itu semua.

Astari tampak butuh waktu yang cukup lama sebelum menjawab pesan tersebut. Ajakanku ini nampaknya membuat ia harus berpikir keras. Namun akhirnya, aku mendapatkan jawaban yang kuinginkan.

"Memangnya boleh aku berkunjung ke rumah Om?"

"Boleh, kenapa nggak?"

"Baiklah. Kapan Om bisa?"

"Nanti aku kabari lagi soal waktunya ya, soalnya aku harus mencocokkan jadwal dulu," jawabku. Padahal sih sebenarnya aku sudah ingin Astari datang malam ini juga, tapi aku tak ingin tampak murahan, atau memperjelas maksudku mengundang dia untuk datang.

"Jangan lupa kirim alamat lengkapnya juga ya Om."

"Siap."

"Baiklah, Om. Aku tunggu informasi soal jadwal Om Raharjo, kapan bisa melakukan wawancara, agar aku bisa sesuaikan dengan jadwalku. Oh iya, nanti aku boleh minta foto Om Raharjo? Untuk dimasukkan ke dalam artikel?"

"Boleh saja. Tapi ..."

"Tapi apa lagi Om?" Semoga Astari tidak merasa kesal dengan tingkahku yang begitu menyebalkan ini.

"Tapi kalau aku juga minta foto kamu boleh?"

Astari tidak kunjung memberi jawaban. Aku akui permintaanku kali ini sudah begitu keterlaluan. Mungkin dia tidak ingin membalasnya demi menjaga perasaanku.

Aku pun memutuskan untuk membayar semua kopi dan makanan ringan yang aku beli, sebelum beranjak pulang ke rumah. Saat aku baru selesai melakukan pembayaran di kasir, sebuah pesan masuk ke ponselku.

"Ini Om, fotoku. Semoga Om suka ... "

Alangkah bahagianya aku bisa menerima foto dari Astari. Perempuan tersebut tampak benar-benar cantik, raga mudanya masih terlihat jelas, tetapi balutan jilbab di kepalanya menambah kesan anggun yang justru menaikkan minatku.

"Lagi kesepian?" Aku menggodanya lagi.

"Iya neh, Om. Kok tahu sih?"

"Mau ditemenin?" Tanyaku dengan bersemangat.

"Mau ... tapi."

"Tapi apa?"

"Tapi aku masih di kantor. Aku mau menyelesaikan pekerjaan dulu ya, Om. Nanti aku hubungi lagi. Bye."

"Bye juga."

Sial, sepertinya kini giliran dia yang menggodaku. Luar biasa sekali anak muda ini.

(Bersambung)
 
Makasih sista @fathimah atas updatenya...
Tapi kalo bisa " kisah 6 sahabat " di lanjut dong 😁😁😁

Itu sebenarnya karya orang lain, tapi memang menarik banget kalau dilanjutkan.
Nanti aku coba, tapi mungkin gak akan pakai kesan sunda terlalu banyak ya, hee
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd