Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Part 14: Ruang Kerja

Ternyata hanya butuh waktu sekitar satu jam bagi Astari untuk mewawancarai diriku hingga selesai. Harus aku akui beberapa pertanyaan darinya memang lumayan kritis, tetapi sebagian besar di antaranya sudah pernah aku terima sebelumnya di beberapa acara literasi. Karena itu, aku pun tidak terlalu kesulitan dalam menjawabnya.

Intinya, kami sebagai penulis senior ini sebenarnya tidak terlalu gagap teknologi atau malas untuk berkembang, seperti yang dipikirkan banyak orang. Kami hanya belum menemukan formula yang tepat untuk menyesuaikan diri dengan kanal-kanal menulis dan pembuatan konten yang ada saat ini, tentunya sesuai dengan citra dan pakem penulisan yang telah kami bangun selama bertahun-tahun.

Aku sendiri tidak menutup diri untuk menulis di platform online dalam bentuk cerita pendek, cerita panjang, cerita bersambung, atau bahkan ikut membuat konten di TikTok. Hanya saja, menurutku seorang penulis tidak bisa langsung memindahkan cerita yang sebelumnya berbentuk buku fisik menjadi berbentuk online, karena pengalaman membacanya jelas berbeda. Belum lagi apabila kita memperhitungkan kebiasaan pembaca online yang cenderung ingin serba cepat, dan sering lompat-lompat saat membaca.

Apabila dipaksakan, aku khawatir karya yang dibuat justru akan membuat para pembaca kecewa, baik mereka yang baru membaca karyaku maupun yang telah mengikuti perjalananku sejak dahulu.

"Terima kasih atas waktunya, Om. Aku rasa bahannya sudah cukup untuk saat ini," ujar Astari sambil membereskan peralatan merekamnya di atas meja. "Apabila ada yang kurang, aku boleh tanya-tanya lagi kan lewat WhatsApp?"

"Tentu saja, jangan sungkan untuk menghubungi Saya kembali."

"Mungkin terakhir, boleh aku ambil foto Om Raharjo untuk dimasukkan ke dalam artikel?"

"Tentu boleh donk. Mau seperti apa fotonya dan bagusnya di mana?" Tanyaku sambil mengambil pose foto di hadapan Astari.

"Di situ saja gak apa-apa, Om. Sambil duduk saja," ujar perempuan manis tersebut sambil mengeluarkan sebuah kamera mirrorless mungil dari tasnya. Aku kagum dengan kelengkapan peralatan yang dibawa Astari dalam tas tersebut. Mungkin memang semua jurnalis jaman sekarang sudah seharusnya seperti itu.

Aku pun duduk menatap Astari dan membuat beberapa pose. Tentunya hanya pose standar yang biasa aku gunakan untuk foto-fotoku sebelumnya. Sebagai penulis senior, aku lebih memilih untuk menjaga sesuatu yang telah aman, dibanding mencoba sesuatu yang baru tetapi hasilnya justru tidak memuaskan. Apalagi dengan wajahku yang telah penuh kerutan dan perutku yang telah membuncit ini, agak berbahaya apabila aku membuat pose-pose "tidak normal".

Perempuan tersebut mengambil gambar dari beberapa sudut, sehingga membuat aku bisa sedikit menerawang bentuk tubuhnya yang mungil di balik pakaian tertutup tersebut. Kenyataan bahwa kami hanya berdua di dalam rumah yang sepi ini membuat adik kecilku menegang. Semoga saja dia tidak menyadari hal tersebut.

"Apakah aku harus melakukan sesuatu terhadapnya? Sekarang?" Gumamku dalam hati.

***

Setelah sesi pengambilan foto selesai, Astari tampak sibuk dengan smartphone miliknya. Aku pun ikut menyibukkan diri dengan telepon genggam milikku, agar ia tidak merasa canggung telah membiarkanku menganggur sendirian. Meski sebenarnya mataku tidak bisa berhenti melirik ke arah wajahnya yang manis. Pipinya yang tembam dan bibirnya yang begitu seksi membuatku tidak tahan untuk segera melumatnya dengan penuh birahi.

Aku sebenarnya ingin mengambil minum lagi, sembari mengambilkan minum untuk Astari. Namun segera aku urungkan karena melihat raut wajahnya yang tampak kesal. Berkali-kali ia memasang wajah cemberut saat mengakses aplikasi transportasi online di ponselnya.

"Bagaimana, sudah dapat driver, Astari?"

"Belum, Om. Dari tadi selalu di-cancel," jawabnya sambil merengut.

Posisi rumahku yang berada di sebuah komplek perumahan elit memang sering membuat para pengemudi taksi online enggan menjemput penumpang dari sini. Mereka lebih suka mangkal di stasiun atau pusat perbelanjaan yang jaraknya sekitar 20 menit dari rumahku, demi mendapat banyak penumpang dan tidak perlu waktu lama untuk penjemputan. Aku sudah menyadari hal tersebut sejak lama, tetapi memang sengaja tidak mengatakannya pada perempuan muda tersebut saat ia datang tadi.

"Bagaimana kalau saya ant ..."

"Wah, akhirnya dapat neh Om," ujar Astari memotong kata-kataku. Dalam diam, aku coba menutupi kekecewaanku.

"Dasar driver sialan," gumamku pelan.

"Eh, tapi kok posisinya sedikit jauh ya?"

Astari coba mengirim pesan kepada sang pengemudi, untuk memastikan apakah ia akan menjemput atau tidak. Memang banyak kejadian pengemudi transportasi online yang sebenarnya enggan untuk menjemput, tapi tidak mau membatalkan pesanan agar performa mereka tidak menurun di mata pengelola aplikasi tersebut. Akhirnya, mereka memilih untuk tidak membalas pesan dari pengguna dan menunggu hingga pesanan tersebut dibatalkan oleh pengguna yang tidak sabar.

Perempuan di hadapanku ini sepertinya sudah sering menggunakan transportasi online, sehingga sudah hapal betul kebiasaan-kebiasaan buruk para pengemudi.

Tiba-tiba, ponsel milik Astari berbunyi. "Sebentar ya Om, ini driver-nya telpon," ujarnya sambil berdiri dan bergeser ke pojok ruangan, mungkin agar obrolannya tidak menggangguku.

Tak lama kemudian, ia kembali duduk di sofa di hadapanku dengan wajah yang masih cemberut.

"Bagaimana, Astari. Supirnya mau jemput?"

"Mau sih, Om. Tapi jaraknya lumayan jauh, dan katanya dia harus isi bensin dulu. Gak apa-apa ya kalau aku menunggu di sini dulu? Gak ganggu kan?"

"Boleh, kok. Saya juga sedang santai," ujarku sambil tersenyum.

"Hmm, tadi sepertinya Om ingin mengatakan sesuatu, apa ya?"

"Oh, tidak. Lupakan saja, saya juga sudah lupa ingin mengatakan apa tadi."

"Baiklah, maaf ya Om tadi saya harus angkat telpon dari driver-nya dulu."

Sopan sekali memang perempuan muda ini. Padahal saat ia sedang menelepon tadi, aku tak henti-hentinya membayangkan tubuh telanjangnya kusetubuhi di dalam rumahku ini.

"Hmm, sambil menunggu taksi online kamu datang, bagaimana kalau kamu melihat-lihat rumahku dulu? Mau?"

"Hmm, memangnya boleh Om?"

Terlihat sedikit keraguan di wajahnya, meski aku tahu kalau dia sebenarnya sangat tertarik dengan tawaranku ini. Penikmat buku mana yang tidak ingin melihat isi rumah seorang penulis senior sepertiku.

"Boleh, kenapa nggak?"

Tanpa bertanya lagi, aku pun langsung berdiri dan melangkah menuju bagian belakang rumahku. Terlihat Astari pun mengikutiku dari belakang, setelah meletakkan tasnya di atas sofa.

"Aku taruh tas di sini gak apa-apa kan, Om?"

"Gak apa-apa, aman kok."

Aku kemudian membawanya keluar dari bangunan utama rumah, menyusuri jalan setapak berlapis rerumputan dengan kolam renang di sisinya. Tak lama kemudian, kami pun telah memasuki sebuah bangunan berbentuk bungalow, yang berada di belakang bangunan utama rumahku. Di situlah ruang kerjaku berada.

Setelah aku menyalakan lampu, terlihat jelas deretan rak buku yang menutupi dinding di hampir seluruh sisinya. Hal tersebut membuat ruang kerjaku itu tampak seperti perpustakaan kecil. Terdapat sebuah meja kerja yang menempel di dinding bagian timur, lengkap dengan layar komputer yang berada di atasnya. Karena tidak mau repot, aku sengaja membeli sebuah perangkat desktop yang sudah satu paket dengan monitor dan keyboard, buatan produsen ternama yang berlogo buah-buahan.

Astari tampak mengarahkan pandangannya ke seantero ruangan dengan takjub. Begitu lama aku menghabiskan waktu untuk menulis di ruangan ini, sehingga aroma yang tercium pun menjadi sangat khas. Campuran dari keringat, kopi, alkohol, hingga pengharum ruangan yang berbau unik.

"Kamu suka ruangan ini?"

Tanpa menjawab, perempuan cantik tersebut langsung bertanya, "Om selalu menulis di sini?"

Aku pun mengangguk. "Inilah tempatku menghabiskan waktu setiap hari, Astari."

Astari tampak begitu tertarik dengan meja kerjaku dan mulai mendekatinya. Setelah itu, ia mulai meraba-raba keyboard dan layar komputer yang masih dalam kondisi mati tersebut. Ia kemudian berbalik menatapku, seperti meminta izin untuk menyentuhnya. Aku pun mengangguk sambil tersenyum.

"Pantas saja Om kesepian," tiba-tiba Astari mengatakan itu.

"Hahaa ... Tapi sekarang Om sedang berdua kan. Dengan kamu," jawabku sambil mendekatinya, selangkah demi selangkah.

Perempuan tersebut sedang membelakangiku dan terus fokus menyentuh tuts komputer di hadapannya. Karena posisi meja yang sedikit rendah, ia pun harus melakukannya dengan posisi sedikit membungkuk. Hal tersebut membuat bokongnya yang seksi terlihat menonjol ke belakang, membuat birahiku membuncah.

Saat tubuhku telah berada tepat di belakangnya, aku pun memberanikan diri untuk menyentuh tangan kanannya, dan menekan ke bawah agar kami bisa bersama-sama menyentuh tuts keyboard yang ada di atas meja. Aku pikir dia akan langsung menolak. Tapi untungnya, Astari hanya diam saja kuperlakukan seperti itu. Dalam suasana yang hening, aku bisa mendengar nafasnya yang semakin cepat.

Saat tangan kananku tengah bermain-main di punggung tangan Astari, tangan kiriku mulai bergerilya menyentuh pundak perempuan tersebut. Dengan lembut, kugerakkan jemariku menyusuri lengannya dari atas ke bawah dari balik pakaiannya yang lembut. Merasa tidak ada perlawanan, aku pun mulai mendekatkan tubuhku dari belakang, hingga selangkanganku menempel di bokong perempuan tersebut.

Astari masih dia, dengan wajah yang lurus menatap ke arah layar komputer, yang masih dalam kondisi mati. Tidak ada apa-apa yang bisa dilihat di sana, yang artinya, satu-satunya yang sedang ia rasakan hanyalah sentuhanku. Ia pun pasti bisa merasakan kalau adik kecilku sudah membesar setelah menempel di pantatnya, meski masih terhalang celana yang masih kami kenakan.

Dengan jarak yang begitu dekat, aku bisa menghirup aroma harum yang menyeruak dari tubuh dan pakaian Astari. Aku pun mendekatkan wajahku ke sisi sebelah kanan wajahnya, tepatnya di bagian telinga, dan mulai menyentuhkan hidungku hingga menempel di jilbab yang ia kenakan. Dengan begitu, aku bisa merasakan dengan lebih jelas semerbak parfum yang ia kenakan, membuatku sungguh bergairah.

Di atas meja, jemarinya sudah tidak lagi menyentuh tuts keyboard. Ia justru meraih tanganku dan berusaha menggenggamnya. Tak lama kemudian, jemari kami pun saling bertautan, dan aku bisa merasakan tekanan yang cukup kuat di sana. Saat melirik ke arah wajahnya, aku bisa melihat bahwa Astari sedang memejamkan mata, membuatku bertanya-tanya apa yang sedang ia pikirkan saat ini.

"Kriiiinnnggg ..." tiba-tiba smartphone Astai berbunyi, merusak kebersamaan kami berdua.

Dengan refleks, aku pun melepaskan genggamanku. Astari pun tampak kaget dan langsung berusaha menghindar. Dengan wajah tertunduk, ia berusaha mengeluarkan ponselnya dan memeriksa siapa yang menelponnya. Setelah itu, ia pun buru-buru keluar meninggalkanku.

"Maaf, Om. Taksi online-ku sudah sampai, aku permisi dulu," ujarnya tanpa menghentikan langkah.

Aku pun berusaha menyusulnya, namun terlambat. Saat sampai di depan pagar, Astari telah naik ke taksi online yang menjemputnya, lalu pergi meninggalkan rumahku.

"Sial ..." ujarku geram.

***

Sepulangnya Astari dari rumahku, aku langsung menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri. Di bawah guyuran shower aku bertanya-tanya sendiri, apakah aku melakukan gerakan yang terlalu cepat, sehingga dia merasa malu? Akankah Astari mau bertemu denganku kembali? Apa yang akan terjadi apabila sang supir taksi online tadi tidak menelpon? Berbagai pertanyaan itu terus saja berseliweran di kepalaku.

Tak ingin terlalu lama memusingkan hal tersebut, aku pun mengambil sabun cair secukupunya lalu mengoleskannya di kemaluanku. Shower kemudian kumatikan, agar aku bisa fokus mengelus-elus penisku yang masih membesar sejak memikirkan perempuan berjilbab yang baru saja mengunjungiku tadi.

"Ahhh, Astari ... nikmatnya bokongmu yang seksi itu," gumamku sambil memainkan penisku dengan tangan. Aku gerakkan jemariku mau mundur, dari pangkal hingga ke ujungnya, membayangkan bahwa Astari lah yang melakukannya tepat di hadapanku.

"Ohhh, nikmat sekali toketmu, Sayang ..." aku terus melakukan permainan self-service tersebut selama 15 menit, hingga spermaku akhirnya meluncur keluar dan mengenai dinding kamar mandi. Aku pun merasa lemas, dan kembali menyalakan shower untuk membersihkan diri dan bekas-bekas permainan birahiku.

Begitu selesai mandi, aku pun keluar tanpa mengenakan busana sama sekali untuk kembali berpakaian. Namun sebelum sampai di lemari pakaian, aku melihat ada notifikasi pesan di ponselku. Aku pun penasaran untuk membukanya. Ternyata itu pesan dari Amanda.

"Om, aku menemukan sebuah plot hole yang cukup besar di cerita ini. Apa besok kita bisa membicarakan hal ini?"

Tiba-tiba saja mood ku langsung berantakan.

(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd