Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Part 15: Masalah

Amanda-1.jpg

"Masih pagi neh Neng, muka udah ditekuk aja," ujar Jenny yang tiba-tiba menghampiriku dari belakang. Hal tersebut membuatku yang tengah menatap layar laptop menjadi kaget.

Sejak kemarin, aku memang dipusingkan dengan urusan naskah dari Pak Raharjo, yang membuatku tidak mood untuk melakukan apa pun. Hingga sampai di kantor pada pagi hari ini pun, aku masih tidak bisa tampil ceria.

"Dasar lo Mak Lampir, ngagetin aja."

"Lagian lo, matahari juga belum sampai atas, mulut udah manyun kayak Bemo. Ada masalah apa sih? Lagi berantem saja Jodi?"

"Nggak, gue baik-baik aja kok sama Jodi."

"Terus cemberut munyu-munyu ini soal apa?" Tanya Jenny sambil memainkan bibirku yang memang sedang tidak berada di posisi biasanya.

"Soal kerjaan."

"Hmm, soal naskah Pak Raharjo?"

"Iya, emang gue lagi ngerjain naskah apa lagi?"

"Emangnya kenapa? Gue pikir ngedit naskah penulis senior kayak dia bakalan gampang."

"Gue pikir juga awalnya begitu, makanya gue akhirnya mau nerima kerjaan ini dari Pak Budi. Ternyata ada satu bagian penting yang lumayan kacau menurut gue."

"Kacau bagaimana?" Jenny yang penasaran pun mengambil kursi entah dari mana dan langsung duduk di hadapanku. Sepertinya ia merasa pegal terus menerus berdiri sejak tadi.

Aku kemudian menceritakan bahwa naskah novel karya Pak Raharjo mempunyai adegan penting pertemuan kembali kedua tokoh utama yang merupakan sepasang kekasih di kota Jogja. Di dalam cerita, kota tersebut merupakan unsur yang krusial karena telah disebutkan sejak awal cerita, dan merupakan tempat pertama mereka berdua bertemu, sehingga sedikit sulit apabila dihilangkan begitu saja dari naskah.

"Aku paham sampai sini, lalu masalahnya apa?" Jenny pun semakin tak sabar untuk mengetahui puncak permasalahan di naskah tersebut.

"Masalahnya adalah, ketika Pak Raharjo menuliskan adegan demi adegan pertemuan kembali mereka di Jogja, hingga akhirnya asmara kembali membara di hati mereka, aku sebagai pembaca tidak bisa membayangkan bahwa itu adalah Jogja."

"Lho kok?"

"Gak tahu deh, feeling gue Pak Raharjo itu udah lama gak ke Jogja atau bahkan mungkin gak pernah ke kota itu sama sekali. Aneh banget sih, gak tahu soal Jogja tapi nulis soal Jogja, hufth."

"Bener-bener gak bisa dihilangkan aja unsur Jogja-nya? Diganti jadi Arendelle gitu? Hee."

"Ya kali Jen. Ini kan genre-nya romance, bukannya fantasi musikal, hahaa."

"Ya, sekalian aja diganti genre-nya kalau gitu. Pas mereka berdua ketemu, tiba-tiba ada Elsa sama Anna lagi bikin manusia salju," Jenny pun mengikik membayangkan naskah novel roman yang dipadu dengan kisah Frozen buatan Disney.

Aku pun tidak bisa tidak tertawa dibuatnya. "Sekalian aja mereka berdua sambil nyanyi Let It Go."

"Tapi serius deh, beneran gak bisa dihilangkan aja unsur Jogja-nya? Dibikin general aja gitu, atau tulis aja kota fiksi asal-asalan, beres kan?"

"Bisa aja sih, tapi menurut gue bakalan jadi ribet karena gue musti ngecek lagi dari awal bakal ada plot hole yang rusak atau nggak karena perubahan ini. Kayaknya lebih gampang kalau ubah suasana setting dan adegan pas pertemuan kembali kedua tokoh ini aja, cuma sekitar beberapa chapter kok munculnya," jawabku.

"Iya sih, tapi masalahnya emang harus Pak Raharjo sendiri yang ngelakuin ya?"

"Betul sekali, itu dia masalahnya."

"Lo udah bilang sama dia?"

"Udah, secepatnya gue mau ketemu. Hari ini juga mau ngobrol sama Pak Budi, buat tahu bagaimana masukan dari dia soal masalah ini."

"Baguslah, semoga cepet kelar masalahnya, biar muka lo gak kayak selimut buluk gitu tiap hari, hee."

"Sialaaaaannn ..."

Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Eh, kayaknya gue kemarin lihat IG Story lo lagi jalan-jalan ke PIK. Sama siapa lo? Gak mungkin sendirian kan?"

Jenny hanya tersenyum mendengar pertanyaanku.

"Udah ya, gue mau balik ke meja gue dulu," ujarnya sambil berdiri. Dengan cepat, aku pun menarik tubuhnya agar duduk kembali.

"Nanti dulu, urusan kita belum selesai. Lo udah punya pacar baru ya? Ngaku ..." Ujarku sambil menatap matanya dalam-dalam. Aku tahu dia pasti akan mengungkapkan rahasianya bila diperlakukan seperti ini.

Jenny pun tersenyum. Ia memang bukan tipe orang yang bisa menyembunyikan sesuatu dalam waktu lama, terlebih untuk urusan pribadinya.

"Oke, oke, gue ngaku. Kemarin gue jalan sama Fadil," ujarnya sambil malu-malu.

"Fadil? Fadil yang penerjemah busuk itu? Hahaa ..." Aku pun tidak bisa menahan tawaku mendengar kabar tersebut.

"Udah sih, jangan berisik. Ini satu kantor bisa denger lo ketawa, tahu gak?"

"Gimana ceritanya kok lo bisa jalan sama dia?"

"Ya, kita lagi ketemu buat ngobrol soal kerjaan. Terus dia ngajak gue jalan, ya udah gue iyain aja."

"Emang dasarnya lo udah kesengesem kali sama dia."

Jenny tidak menjawab dan hanya tersipu malu mendengar kata-kataku. "Udah ahh, gue mau balik kerja dulu, wleee ..."

Perempuan tersebut pun langsung berlari ke meja kerjanya, meninggalkanku yang tertawa cekikikan di belakang.

***​

Aku berkali-kali coba melongok ke arah ruangan Pak Budi, dan berkali-kali pula ia tampak tengah sibuk menelepon. Karena itu, aku pun kembali mengurungkan niat untuk berkonsultasi soal naskah Pak Raharjo kepada dirinya.

"Ngobrol sama siapa sih itu Bapak? Dari tadi kok gak selesai-selesai?" Gumamku dalam hati.

Tak lama kemudian, ia tampak tidak sedang menggenggam gagang telepon. Dengan sigap, aku pun langsung menuju ke arah kantornya dan mengetuk pintu.

"Permisi, Pak. Apa saya mengganggu?"

"Oh, tidak Amanda. Silakan masuk."

Aku pun langsung menempati salah satu kursi yang terdapat di ruangan tersebut. Di hadapan Pak Budi, aku pun menceritakan apa yang aku temukan dari naskah Pak Raharjo, persis dengan apa yang aku sampaikan pada Jenny tadi pagi. Ia pun mengangguk-angguk, seperti berusaha mencerna apa yang terjadi sebenarnya dengan naskah itu.

"Jadi menurut kamu akan sulit kalau setting tempatnya dibuat umum?"

"Iya, Pak. Menurut saya sulit. Dan sepertinya ada alasan tersendiri mengapa Pak Raharjo secara jelas menyebut kata Jogja di dalam naskah novel tersebut."

Pria setengah baya itu pun berusaha berpikir dan merenungkan kata-kataku.

"Baiklah, begini saja. Saya akan coba periksa sendiri naskah tersebut, khususnya di bagian yang menurut kamu bermasalah tadi. Apabila ada yang menurut saya bisa diubah, maka akan saya sampaikan pada kamu."

"Baik, Pak. Terima kasih."

"Tapi ..."

Aku sebenarnya baru akan beranjak keluar dari ruangan kantor tersebut, tetapi aku urungkan karena ternyata Pak Budi belum selesai dengan kata-katanya.

"Tapi apa Pak?"

"Tapi kalau memang ini seperti apa yang kamu sampaikan, sepertinya ada dua pilihan yang bisa kamu tawarkan ke Raharjo. Pertama, buat setting latarnya menjadi umum, dan nanti kamu periksa kembali secara rinci dari awal sampai akhir apa perubahan tersebut akan mengganggu plot yang sudah ada atau tidak."

"Oke, Pak."

"Kedua, apabila dia memaksa tetap ingin menggunakan setting Jogja, menurut saya kalian berdua harus langsung pergi ke Jogja dan melakukan riset kecil di sana. Dengan begitu, setting yang dibuat akan lebih mengena di mata pembaca."

"Hmm, harus sejauh itu Pak? Tidak bisa Pak Raharjo saja yang pergi ke sana sendiri? Dan kita tinggal menunggu hasilnya?"

"Apabila deadline masih jauh sih gak apa-apa. Tapi saya sudah menetapkan bahwa naskah ini harus selesai secepatnya. Jadi, kamu harus memantau dia agar kerjanya cepat. Karena ..."

"Karena apa Pak?"

"Karena saya tahu kalau dibiarkan sendiri, bisa-bisa baru setahun lagi naskah itu selesai direvisi sama dia."

Mendengar itu, aku pun menggaruk-garuk kepalaku sendiri yang masih berbalut jilbab. "Hmm, dia orangnya begitu ya?"

"Begitulah ... rada aneh memang dia. Saya sih cukup paham saja, udah kenal dari lama soalnya. Kamu gak masalah kan?"

"Gak masalah sih. Tapi, nanti biayanya bagaimana Pak?"

"Nanti akan dicover kantor, kamu tenang saja. Ada lagi yang mau kamu sampaikan?"

"Tidak ada, Pak. Terima kasih banyak," ujarku sambil undur diri.

Entah mengapa, aku malah jadi tambah pusing setelah berdiskusi dengan Pak Budi.

***​

Begitu sampai di rumah, aku masih belum bisa berhenti memikirkan apa yang harus aku lakukan dengan naskah Pak Raharjo itu. Padahal, biasanya aku selalu berhenti memikirkan masalah kantor saat pulang kerja, karena di rumah aku ingin fokus pada keluarga dan urusan pribadiku.

Namun ini memang kasus yang berbeda. Aku berkali-kali menghubungi Pak Raharjo untuk mengajak bertemu, tapi dia mengatakan bahwa akhir-akhir ini sedang sibuk, dan baru bisa ke kantor besok.

"Memangnya apa sih kesibukan tua bangka seperti dia? Paling juga cuma di rumah nyabutin uban," ujarku dalam hati, berusaha menahan kesal.

Rasa suram yang aku rasakan pun terbawa saat makan malam bersama Mama dan adikku. Mereka sepertinya tahu bahwa aku tengah ada masalah, dan tidak menanyakan lebih lanjut apa masalahnya. Seperti biasa, mereka ingin membiarkan aku untuk menyelesaikan masalahku sendiri.

Namun begitu selesai makan, adikku Astari sepertinya sudah tidak tahan untuk mengungkapkan perasaannya.

"Kakak kenapa sih, dari tadi seperti ada yang dipikirkan?" Tanya Astari.

"Urusan kantor, Dek."

"Bukannya kakak lagi mengurus naskah Pak Raharjo? Atau ada naskah lain?"

"Iya, masalahnya dengan naskah Pak Raharjo itu. Bikin cerita gak jelas, tanpa riset yang lengkap. Kakak pikir penulis senior seperti dia sudah hapal cara membuat buku yang baik, bukannya bikin masalah seperti ini."

"Hahaa, sabar Kak, sabar," ujar Astari menenangkanku.

"Udah lah, kita ngomongin yang lain aja mendingan, hee."

Kami berdua pun berganti berbincang masalah makeup. Hmm, mencurigakan juga mengapa tiba-tiba adikku ingin tahu soal ini. Apa jangan-jangan dia sudah mempunyai pacar?

(Bersambung)
 
Part 15: Masalah

Amanda-1.jpg

"Masih pagi neh Neng, muka udah ditekuk aja," ujar Jenny yang tiba-tiba menghampiriku dari belakang. Hal tersebut membuatku yang tengah menatap layar laptop menjadi kaget.

Sejak kemarin, aku memang dipusingkan dengan urusan naskah dari Pak Raharjo, yang membuatku tidak mood untuk melakukan apa pun. Hingga sampai di kantor pada pagi hari ini pun, aku masih tidak bisa tampil ceria.

"Dasar lo Mak Lampir, ngagetin aja."

"Lagian lo, matahari juga belum sampai atas, mulut udah manyun kayak Bemo. Ada masalah apa sih? Lagi berantem saja Jodi?"

"Nggak, gue baik-baik aja kok sama Jodi."

"Terus cemberut munyu-munyu ini soal apa?" Tanya Jenny sambil memainkan bibirku yang memang sedang tidak berada di posisi biasanya.

"Soal kerjaan."

"Hmm, soal naskah Pak Raharjo?"

"Iya, emang gue lagi ngerjain naskah apa lagi?"

"Emangnya kenapa? Gue pikir ngedit naskah penulis senior kayak dia bakalan gampang."

"Gue pikir juga awalnya begitu, makanya gue akhirnya mau nerima kerjaan ini dari Pak Budi. Ternyata ada satu bagian penting yang lumayan kacau menurut gue."

"Kacau bagaimana?" Jenny yang penasaran pun mengambil kursi entah dari mana dan langsung duduk di hadapanku. Sepertinya ia merasa pegal terus menerus berdiri sejak tadi.

Aku kemudian menceritakan bahwa naskah novel karya Pak Raharjo mempunyai adegan penting pertemuan kembali kedua tokoh utama yang merupakan sepasang kekasih di kota Jogja. Di dalam cerita, kota tersebut merupakan unsur yang krusial karena telah disebutkan sejak awal cerita, dan merupakan tempat pertama mereka berdua bertemu, sehingga sedikit sulit apabila dihilangkan begitu saja dari naskah.

"Aku paham sampai sini, lalu masalahnya apa?" Jenny pun semakin tak sabar untuk mengetahui puncak permasalahan di naskah tersebut.

"Masalahnya adalah, ketika Pak Raharjo menuliskan adegan demi adegan pertemuan kembali mereka di Jogja, hingga akhirnya asmara kembali membara di hati mereka, aku sebagai pembaca tidak bisa membayangkan bahwa itu adalah Jogja."

"Lho kok?"

"Gak tahu deh, feeling gue Pak Raharjo itu udah lama gak ke Jogja atau bahkan mungkin gak pernah ke kota itu sama sekali. Aneh banget sih, gak tahu soal Jogja tapi nulis soal Jogja, hufth."

"Bener-bener gak bisa dihilangkan aja unsur Jogja-nya? Diganti jadi Arendelle gitu? Hee."

"Ya kali Jen. Ini kan genre-nya romance, bukannya fantasi musikal, hahaa."

"Ya, sekalian aja diganti genre-nya kalau gitu. Pas mereka berdua ketemu, tiba-tiba ada Elsa sama Anna lagi bikin manusia salju," Jenny pun mengikik membayangkan naskah novel roman yang dipadu dengan kisah Frozen buatan Disney.

Aku pun tidak bisa tidak tertawa dibuatnya. "Sekalian aja mereka berdua sambil nyanyi Let It Go."

"Tapi serius deh, beneran gak bisa dihilangkan aja unsur Jogja-nya? Dibikin general aja gitu, atau tulis aja kota fiksi asal-asalan, beres kan?"

"Bisa aja sih, tapi menurut gue bakalan jadi ribet karena gue musti ngecek lagi dari awal bakal ada plot hole yang rusak atau nggak karena perubahan ini. Kayaknya lebih gampang kalau ubah suasana setting dan adegan pas pertemuan kembali kedua tokoh ini aja, cuma sekitar beberapa chapter kok munculnya," jawabku.

"Iya sih, tapi masalahnya emang harus Pak Raharjo sendiri yang ngelakuin ya?"

"Betul sekali, itu dia masalahnya."

"Lo udah bilang sama dia?"

"Udah, secepatnya gue mau ketemu. Hari ini juga mau ngobrol sama Pak Budi, buat tahu bagaimana masukan dari dia soal masalah ini."

"Baguslah, semoga cepet kelar masalahnya, biar muka lo gak kayak selimut buluk gitu tiap hari, hee."

"Sialaaaaannn ..."

Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Eh, kayaknya gue kemarin lihat IG Story lo lagi jalan-jalan ke PIK. Sama siapa lo? Gak mungkin sendirian kan?"

Jenny hanya tersenyum mendengar pertanyaanku.

"Udah ya, gue mau balik ke meja gue dulu," ujarnya sambil berdiri. Dengan cepat, aku pun menarik tubuhnya agar duduk kembali.

"Nanti dulu, urusan kita belum selesai. Lo udah punya pacar baru ya? Ngaku ..." Ujarku sambil menatap matanya dalam-dalam. Aku tahu dia pasti akan mengungkapkan rahasianya bila diperlakukan seperti ini.

Jenny pun tersenyum. Ia memang bukan tipe orang yang bisa menyembunyikan sesuatu dalam waktu lama, terlebih untuk urusan pribadinya.

"Oke, oke, gue ngaku. Kemarin gue jalan sama Fadil," ujarnya sambil malu-malu.

"Fadil? Fadil yang penerjemah busuk itu? Hahaa ..." Aku pun tidak bisa menahan tawaku mendengar kabar tersebut.

"Udah sih, jangan berisik. Ini satu kantor bisa denger lo ketawa, tahu gak?"

"Gimana ceritanya kok lo bisa jalan sama dia?"

"Ya, kita lagi ketemu buat ngobrol soal kerjaan. Terus dia ngajak gue jalan, ya udah gue iyain aja."

"Emang dasarnya lo udah kesengesem kali sama dia."

Jenny tidak menjawab dan hanya tersipu malu mendengar kata-kataku. "Udah ahh, gue mau balik kerja dulu, wleee ..."

Perempuan tersebut pun langsung berlari ke meja kerjanya, meninggalkanku yang tertawa cekikikan di belakang.

***​

Aku berkali-kali coba melongok ke arah ruangan Pak Budi, dan berkali-kali pula ia tampak tengah sibuk menelepon. Karena itu, aku pun kembali mengurungkan niat untuk berkonsultasi soal naskah Pak Raharjo kepada dirinya.

"Ngobrol sama siapa sih itu Bapak? Dari tadi kok gak selesai-selesai?" Gumamku dalam hati.

Tak lama kemudian, ia tampak tidak sedang menggenggam gagang telepon. Dengan sigap, aku pun langsung menuju ke arah kantornya dan mengetuk pintu.

"Permisi, Pak. Apa saya mengganggu?"

"Oh, tidak Amanda. Silakan masuk."

Aku pun langsung menempati salah satu kursi yang terdapat di ruangan tersebut. Di hadapan Pak Budi, aku pun menceritakan apa yang aku temukan dari naskah Pak Raharjo, persis dengan apa yang aku sampaikan pada Jenny tadi pagi. Ia pun mengangguk-angguk, seperti berusaha mencerna apa yang terjadi sebenarnya dengan naskah itu.

"Jadi menurut kamu akan sulit kalau setting tempatnya dibuat umum?"

"Iya, Pak. Menurut saya sulit. Dan sepertinya ada alasan tersendiri mengapa Pak Raharjo secara jelas menyebut kata Jogja di dalam naskah novel tersebut."

Pria setengah baya itu pun berusaha berpikir dan merenungkan kata-kataku.

"Baiklah, begini saja. Saya akan coba periksa sendiri naskah tersebut, khususnya di bagian yang menurut kamu bermasalah tadi. Apabila ada yang menurut saya bisa diubah, maka akan saya sampaikan pada kamu."

"Baik, Pak. Terima kasih."

"Tapi ..."

Aku sebenarnya baru akan beranjak keluar dari ruangan kantor tersebut, tetapi aku urungkan karena ternyata Pak Budi belum selesai dengan kata-katanya.

"Tapi apa Pak?"

"Tapi kalau memang ini seperti apa yang kamu sampaikan, sepertinya ada dua pilihan yang bisa kamu tawarkan ke Raharjo. Pertama, buat setting latarnya menjadi umum, dan nanti kamu periksa kembali secara rinci dari awal sampai akhir apa perubahan tersebut akan mengganggu plot yang sudah ada atau tidak."

"Oke, Pak."

"Kedua, apabila dia memaksa tetap ingin menggunakan setting Jogja, menurut saya kalian berdua harus langsung pergi ke Jogja dan melakukan riset kecil di sana. Dengan begitu, setting yang dibuat akan lebih mengena di mata pembaca."

"Hmm, harus sejauh itu Pak? Tidak bisa Pak Raharjo saja yang pergi ke sana sendiri? Dan kita tinggal menunggu hasilnya?"

"Apabila deadline masih jauh sih gak apa-apa. Tapi saya sudah menetapkan bahwa naskah ini harus selesai secepatnya. Jadi, kamu harus memantau dia agar kerjanya cepat. Karena ..."

"Karena apa Pak?"

"Karena saya tahu kalau dibiarkan sendiri, bisa-bisa baru setahun lagi naskah itu selesai direvisi sama dia."

Mendengar itu, aku pun menggaruk-garuk kepalaku sendiri yang masih berbalut jilbab. "Hmm, dia orangnya begitu ya?"

"Begitulah ... rada aneh memang dia. Saya sih cukup paham saja, udah kenal dari lama soalnya. Kamu gak masalah kan?"

"Gak masalah sih. Tapi, nanti biayanya bagaimana Pak?"

"Nanti akan dicover kantor, kamu tenang saja. Ada lagi yang mau kamu sampaikan?"

"Tidak ada, Pak. Terima kasih banyak," ujarku sambil undur diri.

Entah mengapa, aku malah jadi tambah pusing setelah berdiskusi dengan Pak Budi.

***​

Begitu sampai di rumah, aku masih belum bisa berhenti memikirkan apa yang harus aku lakukan dengan naskah Pak Raharjo itu. Padahal, biasanya aku selalu berhenti memikirkan masalah kantor saat pulang kerja, karena di rumah aku ingin fokus pada keluarga dan urusan pribadiku.

Namun ini memang kasus yang berbeda. Aku berkali-kali menghubungi Pak Raharjo untuk mengajak bertemu, tapi dia mengatakan bahwa akhir-akhir ini sedang sibuk, dan baru bisa ke kantor besok.

"Memangnya apa sih kesibukan tua bangka seperti dia? Paling juga cuma di rumah nyabutin uban," ujarku dalam hati, berusaha menahan kesal.

Rasa suram yang aku rasakan pun terbawa saat makan malam bersama Mama dan adikku. Mereka sepertinya tahu bahwa aku tengah ada masalah, dan tidak menanyakan lebih lanjut apa masalahnya. Seperti biasa, mereka ingin membiarkan aku untuk menyelesaikan masalahku sendiri.

Namun begitu selesai makan, adikku Astari sepertinya sudah tidak tahan untuk mengungkapkan perasaannya.

"Kakak kenapa sih, dari tadi seperti ada yang dipikirkan?" Tanya Astari.

"Urusan kantor, Dek."

"Bukannya kakak lagi mengurus naskah Pak Raharjo? Atau ada naskah lain?"

"Iya, masalahnya dengan naskah Pak Raharjo itu. Bikin cerita gak jelas, tanpa riset yang lengkap. Kakak pikir penulis senior seperti dia sudah hapal cara membuat buku yang baik, bukannya bikin masalah seperti ini."

"Hahaa, sabar Kak, sabar," ujar Astari menenangkanku.

"Udah lah, kita ngomongin yang lain aja mendingan, hee."

Kami berdua pun berganti berbincang masalah makeup. Hmm, mencurigakan juga mengapa tiba-tiba adikku ingin tahu soal ini. Apa jangan-jangan dia sudah mempunyai pacar?

(Bersambung)
Makasih update nya,
Hmm... Amanda dan Astari secara kebetulan terlibat dengan Pak Rahardjo.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd