Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Tandain dulu, ane suka yg pelan² gini alur nyaa
 
Part 16: Kenangan

Amanda-1.jpg

"Maksudnya bagaimana sih Amanda?" Ujarku dengan nada yang sedikit meninggi saat bertemu dengan Amanda hari ini.

Aku memang sengaja tidak langsung bertemu dengan editorku tersebut begitu dia mengirimkan pesan bahwa ada sesuatu yang kurang tepat di dalam naskah novelku. Ya, mungkin ini adalah egoku yang bicara. Namun jujur aku merasa sedikit sebal saat ada orang yang mengkritik karya yang sudah cukup lama aku garap dengan sepenuh hati ini.

Karena itu, aku pun coba mengulur-ulur waktu untuk bertemu dengan Amanda. Namun aku tahu bahwa hal ini tak bisa dibiarkan lama, dan aku pun menawarkan untuk langsung bertemu dengan dia di kantornya. Saat ini, kami berdua sedang berada di kedai kopi yang berada di bangunan yang sama dengan kantor perempuan tersebut.

"Ya, seperti yang saya jelaskan tadi, Pak. Saya sebagai pembaca tidak merasakan kesan Jogja di bagian pertemuan tokoh utama. Karena itu, saya ingin Bapak merevisi bagian tersebut, agar pembaca bisa lebih merasakan bahwa Bapak sedang bercerita tentang Jogja di situ."

Hilang sudah rasa terpesona yang pernah aku rasakan pada perempuan tersebut. Kini pikiranku terpusat sepenuhnya terhadap karya yang akan aku terbitkan ini. Para penulis lain mungkin tahu betapa beratnya untuk mengubah struktur tulisan yang telah kita tulis dalam waktu yang cukup lama. Aku pun berusaha mencari jalan keluar dari masalah ini.

"Kamu sudah bicarakan ini dengan Budi?"

"Sudah, Pak. Dan beliau setuju dengan pendapat saya. Tapi ..."

"Tapi apa?"

"Tapi Pak Budi memberikan beberapa pilihan solusi yang bisa kita diskusikan."

Hmm, aku tertarik dengan perkembangan ini. Inilah yang aku suka dari editor senior seperti Budi, dia tidak hanya bisa menemukan masalah dari sebuah naskah, tetapi bisa juga memberikan alternatif solusi bagaimana cara memecahkannya agar hasilnya tetap baik, tanpa terlalu merepotkan sang penulis untuk melakukan revisi.

"Apa saja pilihannya?"

Sebelum berbicara lebih lanjut, tampak Amanda menyeruput Americano yang dipesannya tadi. Sepertinya kata-kata selanjutnya yang akan meluncur dari mulut perempuan tersebut bakal begitu panjang.

"Pertama, kita bisa menghilangkan unsur Jogja sama sekali dari tulisan itu. Dengan begitu, fokus utamanya hanya pada pertemuan mereka berdua. Sehingga, apa pun yang Bapak tulis tentang tempat mereka bertemu tidak akan menjadi masalah karena kota tersebut hanya fiksi semata. Namun, bila Bapak memilih opsi ini, saya harus periksa ulang dari awal apakah ada plot lain yang terganggu, dan ..."

"Dan saya harus siap mengubah plot lain itu agar sesuai dengan perubahan yang kita lakukan terkait kota pertemuan itu," ujarku memotong kata-kata Amanda.

"Iya, betul Pak."

Aku pun menghela nafas panjang.

"Lalu pilihan selanjutnya apa?"

"Pilihan kedua, kita akan tetap mempertahankan kata "Jogja" di sana. Tapi artinya, Bapak harus merevisi bagian tersebut agar pembaca benar-benar merasakan kesan Jogja di dalamnya."

"Baik."

"Namun ada syarat khusus apabila Bapak memilih opsi kedua."

"Syarat apa itu?"

"Kami telah menentukan waktu terbit novel terbaru Pak Raharjo ini, dan jujur waktunya sudah begitu mepet. Karena itu, untuk pilihan kedua ini, Pak Budi menyarankan Bapak untuk segera pergi ke Jogja untuk sekalian melakukan riset kecil agar hasil revisinya bisa baik. Nanti kami yang akan urus untuk transportasi dan akomodasi di sana."

Aku pun terdiam, berusaha memikirkan apa yang harus aku lakukan dengan naskah ini.

"Dan selain itu ..." Amanda nampak ragu-ragu untuk melanjutkan kata-katanya. "Pak Budi menyarankan saya untuk ikut ke Jogja juga, agar risetnya bisa berjalan lancar."

Ahh, aku sudah tahu ke mana arah pikiran Budi. Setelah bertahun-tahun bekerja bersama, dia pasti sudah paham betul bahwa aku adalah makhluk paling sulit apabila dihadapkan pada revisi. Apabila dibiarkan sendirian, tentu akan memakan waktu lama bagiku untuk bisa menyelesaikan revisi tersebut.

"Namun dapat ide gila dari mana dia, memaksa editor junior ini menemaniku selama di Jogja," pikirku dalam hati.

Lamunanku pun berakhir begitu Amanda kembali memberondongku dengan pertanyaan.

"Jadi bagaimana, Pak. Mana yang lebih baik menurut Bapak?"

Sungguh ada banyak faktor yang bermain di benakku saat ini. Paling utama aku memikirkan soal naskahku, apakah memang sudah begitu jauh aku melupakan Jogja, sehingga Amanda pun tidak mendapatkan kesan yang spesial saat membaca naskahku tersebut.

Pilihan pertama jelas lebih mudah bagiku, meski bisa menimbulkan masalah di kemudian hari. Namun pilihan kedua, meski lebih sulit untuk dilakukan, tetapi memungkinkan aku untuk berdua saja dengan editor cantik itu selama beberapa hari. Apakah aku akan melewatkan kesempatan tersebut?

"Baiklah, aku pilih opsi kedua," ujarku memutuskan.

Aku tidak bisa menebak dengan jelas perasaan Amanda saat ini. Sepertinya bercampur antara lega dan bersemangat demi selesainya naskah novel ini, tetapi juga khawatir dan takut akan konsekuensi pergi bersama denganku ke Jogja. Namun ia berusaha menutupinya sekuat tenaga dengan menyeruput kopi di hadapannya.

"Jadi kapan kita berangkat?" Tanyaku.

"Secepatnya, Pak. Nanti aku kabari apabila semua tiket dan penginapan sudah dipesan."

"Oke, aku tunggu kabarnya."

"Ngomong-ngomong, Pak. Boleh saya tanya sesuatu?"

"Silakan."

"Mengapa Bapak ngotot untuk menggunakan setting Jogja di adegan penting tersebut? Apakah Bapak punya kenangan pribadi dengan kota itu? Bila iya, mengapa dari naskah novel ini, Bapak seperti lupa bahwa pernah ke sana?"

Aku hanya bisa tersenyum mendengar pertanyaan tersebut.

Apakah aku harus menceritakan kepada Amanda, bahwa Jogja adalah kota yang memainkan peranan penting bagi hubungan aku dengan Inggit, seorang perempuan yang telah mengubah kehidupanku secara drastis. Itulah mengapa secara jelas aku menetapkan Jogja sebagai setting untuk naskah novelku kali ini.

Namun mengapa aku seperti melupakan kota tersebut? Mungkin karena di alam bawah sadar aku sedang berusaha untuk melupakan Inggit. Karena bagiku, kota tersebut memberikan sensasi yang serupa dengan Inggit. Begitu klasik, tenang, sendu, tapi begitu mengikat hati kita yang sudah terpatri saat sekali saja singgah di sana.

Dan kini, aku terpaksa harus kembali ke sana, ke kota asal Inggit.

***

Umurku sebenarnya belum terlalu tua, tetapi entah kenapa aku jadi cepat lelah akhir-akhir ini. Mungkin aku sudah harus lebih sering olahraga lagi, agar staminaku dalam melakukan berbagai hal bisa bertambah ke level yang semestinya.

Aku baru saja sampai di rumah, setelah pergi menemui Amanda di kantornya hari ini. Akhirnya aku tidak jadi menceritakan alasan mengapa aku ngotot memilih Jogja sebagai setting untuk novelku. Setelah dipikir-pikir, ini adalah keputusan bunuh diri di saat aku sebenarnya sedang ingin melupakan Inggit. Dan benar saja, Amanda kecewa dengan cara aku menggambarkan kota tersebut, dan meminta aku untuk merevisinya.

Seperti biasa, saat merasa penat seperti ini aku langsung pergi ke kulkas dan mengambil sekaleng bir dingin dari dalamnya. Aku kemudian merebahkan diri di atas sofa empuk yang menghadap ke televisi yang menyala. Aku tidak memperdulikan acara apa yang sedang tayang di sana, karena pikiranku sedang melanglang buana ke tempat lain.

Saat itu, aku pun teringat sesuatu.

Aku membuka situs berita tempat Astari bekerja, dan aku pun menemukan sebuah tulisan tentang apa yang kami berdua bicarakan beberapa hari lalu di rumah ini. Di dalamnya pun ada fotoku yang diambil oleh perempuan tersebut. Sepertinya dia mempunyai kemampuan fotografi yang baik, sehingga postur tubuhku bisa terlihat lumayan gagah di foto tersebut.

"Ahh, aku jadi ingat kemarin sempat mengirim pesan ke perempuan tersebut," gumamku.

Namun saat kuperiksa, pesan WhatsApp dariku ternyata belum dibalas oleh perempuan tersebut. Aku bertanya-tanya, apakah dia masih marah dengan apa yang kami berdua lakukan di ruang kerjaku sebelum dia pulang? Bukankah diamnya dia berarti dia juga menginginkan hal tersebut? Atau memang aku sudah terlalu kelewatan sehingga membuatnya canggung untuk bertemu denganku lagi?

Ahh, seluruh urusan PDKT ini memang membuatku pusing.

Aku pun memutuskan untuk berhenti memikirkan itu. Aku hanya menulis kata-kata penyemangat, berharap Astari akhirnya luluh dan mau bertemu denganku lagi. "Bagus artikelnya, kamu memang berbakat sebagai seorang jurnalis dan fotografer."

Tidak ada satu pun kata maaf tertulis di pesan tersebut.

(Bersambung)
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd