Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Bimabet
Akhirnya update lagi.. Semangat suhu, ditunggu next ceritanya:semangat:
 
Akhirnya update juga, tapi kok pendek, Hu? Akan segera ada update lagi? Siiiipp.
 
Part 17: Berangkat

Amanda-1.jpg

"Emang kamu harus banget pergi ke Jogja ya, Sayang?" Tanya Jodi begitu kami baru pulang kencan malam minggu, dan mobilnya pun telah sampai di depan rumahku.

"Iya, Sayang. Ini semua demi pekerjaan. Aku juga gak lama kok, cuma beberapa hari saja," ujarku.

"Baiklah, aku sih gak ada masalah. Cuma inget, jaga diri dan kesehatan kamu, kan sebentar lagi kita akan menikah."

"Iya sayangku, tenang saja. Pokoknya semua pasti beres," ujarku sambil mencium pipinya dengan lembut.

Pria tersebut kemudian menahan wajahku. Aku melihat ada campuran perasaan cinta dan khawatir yang mendalam di matanya. Pandangan seperti itu telah membuatku luluh dan setia menemaninya selama bertahun-tahun. Aku bisa merasakan tangannya menarik wajahku agar mendekat ke arahnya, hingga bibir kami berdua saling bertaut.

***

Akhirnya sampai juga di hari aku harus berangkat ke Jogja bersama Pak Raharjo. Pagi-pagi sekali, Jodi telah menjemputku di depan rumah.

"Kamu gak kerja hari ini, Sayang?" Tanyaku.

"Aku izin setengah hari, demi nganter kamu, hee."

"Makasih ya, Sayang," ujarku sambil memeluknya.

Dari dalam rumah, adikku Astari tampak keluar sambil membawa koperku. Ia pun menyapa Jodi seperti biasa.

"Kamu beneran gak mau nganter aku ke bandara, Dek? Kamu kan ngefans sama Pak Raharjo, siapa tahu mau ketemu, hee."

"Nggak usah kak, ada kerjaan penting hari ini," ujar adikku.

Aku merasa ada aroma kebohongan dari kata-katanya, tapi aku tidak tahu apa. Mungkin dia memang sudah punya pacar yang belum berani ia kenalkan kepadaku. Biarlah, nanti juga ada waktunya untuk itu.

"Aku kemarin lihat tulisan kamu tentang Pak Raharjo. Bagus juga, Astari," ujar Jodi tiba-tiba.

"Terima kasih, Kak," jawab Astari.

"Hmm, tulisan? Pak Raharjo? Maksudnya apa neh?" Tanyaku heran.

"Loh, kamu tidak tahu? Astari baru saja menulis artikel tentang Pak Raharjo untuk kantornya. Dan sepertinya kamu wawancara langsung dengan penulis itu di rumahnya ya?"

Astari hanya mengangguk.

"Tunggu, kok kamu tidak pernah cerita?" Aku masih menuntut penjelasan.

"Sudah, cepat kakak berangkat, nanti ketinggalan pesawat," ujar adikku tersebut.

"Iya, Sayang. Ayo cepat masuk ke dalam mobil," tambah Jodi.

Aku pun menurut, meski sebenarnya masih ada sesuatu yang mengganjal di hatiku soal Pak Raharjo dan adikku.

***

Aku sampai di bandara sekitar satu setengah jam sebelum pesawatku berangkat. Jodi hanya mengantar sampai tempat drop off di depan bandara, karena harus segera kembali ke kantornya. Kami pun hanya sempat berpelukan sekilas, sebelum kemudian harus berpisah.

Dengan longkah gontai, aku berjalan memasuki bandara yang mulai ramai dengan para penumpang lain. Dengan malas, aku melewati pos pemeriksaan serta counter check in, sebelum kemudian duduk di depan gate tempat aku akan masuk ke dalam pesawat nanti. Masih ada waktu sekitar 45 menit sebelum gerbang tersebut dibuka, dan para penumpang dipersilakan masuk.

"Sendirian saja, neh," tiba-tiba terdengar suara yang sudah begitu aku kenal. Bukan karena aku merindukannya, tapi justru karena aku tengah merasa sangat kesal akan pemiliknya. Ya, tanpa minta izin atau menyapaku terlebih dahulu, Pak Raharjo sudah langsung duduk di sebelahku.

"Gak usah ganggu," ujarku ketus dan terus asyik memainkan game di smartphone.

"Main apa sih? Kayaknya serius banget. Nanti gak denger lho kalau dipanggil untuk masuk pesawat."

Aku mungkin akan merasa sangat bersyukur apabila benar-benar ketinggalan pesawat. Dengan begitu, aku tidak perlu menemani si tua bangka ini untuk merevisi tulisannya yang berantakan. Aku pun bisa menghabiskan waktu bersama Jodi, pacarku.

Namun karena tuntutan untuk menjadi seorang editor yang profesional, aku akhirnya memilih untuk tidak membalas perkataan Pak Raharjo. Aku pun tetap fokus pada permainan yang tengah aku mainkan. Merasa tidak digubris, pria tersebut malah mengambil sebuah buku dari dalam tas jinjing yang ia bawa, lalu membukanya untuk dibaca. Aku tidak bisa melihat jelas judulnya, tetapi buku tersebut terlihat seperti sebuah novel berbahasa Inggris.

"Bagus lah, lebih baik seperti itu," pikirku.

Waktu berjalan begitu cepat, dan baik aku dan Pak Raharjo sama-sama tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kami sibuk dengan aktivitas kami masing-masing. Hingga akhirnya, aku mendengar panggilan dari awak pesawat untuk segera berkumpul di depan gate.

Seperti tidak mempunyai etika, Pak Raharjo justru mendahuluiku untuk berdiri dan berjalan tepat di hadapanku menuju gate. "Dasar, gak ada ngalah-ngalahnya sama perempuan," gumamku pelan.

"Kamu ngomong apa, Amanda?" Ternyata suaraku tadi sempat terdengar oleh Pak Raharjo.

"Oh, nggak ngomong apa-apa kok, Pak," ujarku ketus. "Silakan duluan, Pak."

Saat masuk ke dalam pesawat dan melihat kode bangku yang tertera di kompartemen atas, aku baru sadar bahwa aku akan sebangku dengan Pak Raharjo. Dan yang lebih menyebalkan lagi, karcisku menunjukkan bahwa aku akan duduk di sisi dekat aisle atau gang yang akan sering dilewati orang, bukan di dekat jendela yang merupakan posisi favoritku saat naik pesawat.

Begitu sampai di tempat duduk kami berdua, Pak Raharjo tidak langsung masuk ke dalam dan justru memilih memasukkan tasnya ke kompartemen atas.

"Mau aku bantu?" Ujarnya tiba-tiba.

Aku yang sempat kaget akan tawaran pria tua tersebut, akhirnya memilih untuk mengangguk. Tidak nyaman juga untuk lama-lama mempertimbangkan tawaran Pak Raharjo sementara masih banyak penumpang lain di belakangku yang sedang menunggu giliran untuk lewat di gang pesawat yang sempit itu.

"Kamu mau duduk di aisle atau dekat jendela?" Tanya Pak Raharjo lagi.

Ternyata dia sosok lelaki yang cukup pengertian juga. "Di dekat jendela, Om. Kalau boleh," jawabku.

"Ya sudah, cepat masuk."

Tanpa tersenyum, karena aku masih merasa kesal akan tingkahnya yang menyebabkan aku harus pergi ke Jogja kali ini, aku pun duduk di kursi favoritku. Namun dalam hati, aku tidak bisa memungkiri bahwa ada rasa kagum akan sifat pengertian dari Pak Raharjo. Jodi saja mungkin tidak sampai memahami keinginanku seperti itu. Mungkin waktu hidup yang sudah sangat lama membuat pria tua tersebut punya banyak pengetahuan akan kepribadian perempuan.

Setelah duduk, aku menyempatkan diri untuk mengirim pesan kepada pacarku, bahwa aku sudah berada di pesawat dan siap untuk lepas landas. Ia tidak langsung membalas, mungkin sedang sibuk di kantor.

Kebiasaanku selanjutnya setiap kali naik pesawat adalah memutar film di layar kecil yang berada tepat di hadapanku. Tidak banyak pilihan film yang bisa diputar. Aku akhirnya memilih sebuah film komedi romantis tentang seorang pria tua yang mendapat pekerjaan di sebuah startup milik perempuan yang jauh lebih muda darinya.

Aku melirik ke sebelah, dan Pak Raharjo ternyata telah memejamkan mata sambil duduk di kursinya. Mungkin faktor usia membuatnya lebih cepat lelah untuk perjalanan jauh seperti ini. Dalam hati aku pun tertawa sangat keras.

"Drrrt ... drrrt ..." tiba-tiba terdengar bunyi getar smartphone, tanda ada sebuah pesan yang masuk. Tadinya kupikir berasal dari smartphone milikku, dan pesan dari Jodi baru saja masuk, tapi ternyata bukan. Toh aku barusan sudah menonaktifkan penerimaan sinyal seluler di ponselku, karena pesawat akan segera berangkat.

Pak Raharjo tiba-tiba terbangun dan mengambil smartphone miliknya dari kantong celana jeans yang ia kenakan. Harus aku akui, ia tampak lebih muda dengan tampilan seperti itu, lengkap dengan kaos polo berwarna putih. Perutnya yang buncit memang masih bisa terlihat jelas, tetapi bentuk tubuhnya yang masih berisi membuatnya terlihat cukup gagah. Bunyi getar tadi ternyata berasal dari ponsel miliknya.

Pria tua tersebut tampak membuka aplikasi WhatsApp, dan tersenyum saat membaca pesan yang tertera di sana. Dalam hati aku merasa penasaran, siapa pengirim pesan tersebut, yang bisa membuat Pak Raharjo tersenyum seperti itu. Apa jangan-jangan dia sudah mempunyai pacar baru?

"Ahh, masa bodo lah. Yang penting urusan ini bisa cepat selesai, dan aku bisa terbebas dari dia," pikirku dalam hati. Aku pun lebih memilih untuk memalingkan wajah ke sisi jendela, dan melihat ke arah luar pesawat.
 
Terakhir diubah:
Part 18: Mantan

Tidak ada masalah yang berarti saat pesawat yang aku tumpangi lepas landas dari Jakarta, hingga akhirnya mendarat dengan selamat di Jogja. Aku lebih banyak menghabiskan waktu sepanjang perjalanan di pesawat dengan mengistirahatkan pikiran dan tenaga. Memang ada seorang perempuan muda yang duduk tepat di sebelahku, tetapi sepertinya dia lebih memilih untuk tidak mengindahkan keberadaanku. Biar saja.

Dalam perjalanan keluar kabin pesawat menuju tempat pengambilan bagasi, perempuan cantik tersebut tampak sibuk dengan ponselnya. Seperti biasa, banyak orang mempunyai kebiasaan untuk memberi kabar kepada orang terdekat setiap kali akan naik atau baru turun dari pesawat. Apakah orang-orang seperti itu juga akan memberi kabar setiap kali mereka naik atau turun angkot?

Meski begitu, aku pun melakukan hal yang sama. Alasan utamanya adalah untuk mengisi waktu. Lebih tepatnya, aku ingin memeriksa kembali pesan yang aku terima dari Astari tepat sebelum take off tadi.

"Terima kasih atas apresiasinya, Om. Semua ini kan juga karena perjalanan karier Om yang luar biasa."

Dari kata-katanya, aku tidak dapat menemukan kesan dendam atau rasa kesal. Mungkin aku memang harus kembali menemui dia saat kembali ke Jakarta, dan lepas dari kekangan sang editor kurang ajar yang tengah bersamaku ini. Aku berniat membalas pesan tersebut saat aku tiba di hotel nanti.

***

Tak butuh waktu lama bagi aku dan Amanda untuk mengambil bagasi. Kami berdua masing-masing hanya membawa satu koper, karena memang tidak berencana untuk menetap dalam waktu yang lama di Jogja. Sesuai rencana, kami langsung berjalan menuju tempat pemberhentian taksi, dan segera menuju hotel.

Namun saat baru saja melewati pintu keluar, tiba-tiba aku melihat sosok perempuan yang begitu aku kenal. Ia tampak tengah menggandeng seorang pria dengan mesra. Aku panik, dan detak jantungku meninggi. Saat berpikir tentang Jogja, aku memang sempat berpikir tentang dia. Namun, aku tidak mengira kalau akan bertemu langsung dengannya dalam waktu secepat ini.

Aku berusaha untuk menghindar dari tatapan matanya, dan mengarahkan Amanda untuk menjauhi mereka berdua.

"Ih, Om. Kita kan mau naik taksi, jalannya ke sana donk," ujar Amanda menolak dengan suara yang cukup keras.

"Sudah, ikut saja," ujarku.

"Raharjo," ahh, usahaku sepertinya gagal. Suara indah tersebut kembali terdengar. Suara yang biasa menemani aktivitasku setiap hari selama bertahun-tahun, kini telah memanggilku kembali.

Aku menoleh ke asal suara tersebut. Perempuan berusia hampir 50 tahun tersebut tampak menghampiriku, diiringi oleh pria yang tadi bersamanya. Saat telah tiba di hadapanku, ia pun mengulurkan tangan untuk bersalaman. Dengan canggung aku menyambutnya.

"Apa kabar Raharjo?" Tanya perempuan tersebut. Kurasakan tangannya masih cukup halus, meski sudah sedikit keriput. Dahulu, aku bisa bebas menyentuh tangan indah ini sesuka hatiku.

"Kabar baik ... Inggit. Kamu bagaimana?" Tanyaku basa-basi. Aku berusaha tetap tenang, meski dalam hati jantungku serasa akan meledak. Sekilas, aku melihat wajah pria di belakangnya, yang tampak tidak menyiratkan ekspresi apa-apa. Meski begitu, aku bisa merasakan rasa cemburu yang menyeruak dari dalam hatinya.

"Baik juga. Kenalkan ini Rahmat, suamiku."

"Ya, aku jelas sudah tahu siapa bajingan yang telah merebut istriku," ujarku dalam hati. Namun sebagai seseorang yang selalu mengedepankan kepribadian yang elegan, aku pun terpaksa memasang senyum di hadapannya. Meski batinku mengatakan bahwa aku seharusnya sudah menggigit telinganya hingga terlepas.

Saat bersalaman dengan Rahmat, aku bisa merasakan genggaman yang begitu erat dari pria tersebut. Aku membalasnya sekuat tenaga, hingga akhirnya kami harus saling melepas jabat tangan yang canggung tersebut.

"Baru sampai dari Jakarta?" Tanya Inggit.

Ia masih tampak cantik di usianya yang tidak begitu muda lagi. Tubuhnya langsing dan tinggi, tampak anggun dengan kemeja lengan panjang berwarna kuning dan celana panjang yang ia kenakan. Apabila diizinkan, aku tentu sangat ingin memeluk tubuhnya dengan erat saat ini juga, seperti yang biasa kami lakukan saat masih bersama dulu.

"Iya, ada sedikit urusan di sini. Kalau kamu?"

"Aku juga sedang menjemput suamiku yang baru datang dari Jakarta. Mungkin tadi kalian satu pesawat," ujar Inggit.

"Tahu begitu, harusnya kubunuh saja bajingan tengik ini tadi dan kulemparkan keluar kabin," gumamku kembali dalam hati. Namun lagi-lagi, aku hanya bisa tersenyum manis di hadapan keduanya. Betapa munafiknya diriku ini memang.

"Sudah lama sekali ya kita tidak bertemu, Raharjo," entah mengapa Inggit memutuskan untuk mengatakan hal itu di momen seperti ini, tepat di hadapan suaminya.

Aku tahu itu hanya pernyataan basa-basi, tetapi seharusnya ia mengerti bagaimana perasaanku saat ini yang masih begitu sakit apabila mengingat pengkhianatannya dengan dengan buaya darat di belakangnya tersebut. Seharusnya ia tahu betapa aku belum bisa melupakannya, hingga hidupku kini terasa berantakan.

"Iya, sudah lama juga. Aku senang kamu sehat-sehat bersama Rahmat," alangkah dustanya bibirku ini. Entah bagaimana aku bisa mengeluarkan kata-kata manis seperti itu. Mungkin aku sedikit terbawa cerita-cerita romantis yang biasa aku tuliskan di dalam novel.

Tiba-tiba, Inggit melirik ke arah Amanda yang berdiri tepat di sampingku. Aku baru sadar bahwa dari tadi perempuan muda tersebut hanya diam saja menyaksikan interaksi dengan mantan istriku ini.

"Dari tadi kok kamu tidak mengenalkan perempuan cantik di sebelahmu ini, Raharjo?" Akhirnya Inggit bertanya.

"Oh, ini ... Dia," alangkah malunya aku apabila mengatakan bahwa Amanda adalah editor untuk karya terbaruku.

Di saat Inggit sedang asyik bermesraan dengan suaminya, aku malah "berduaan" dengan rekan kerja yang tentu tidak bisa aku ajak bercumbu. Tapi aku jelas tidak bisa berbohong di hadapan Inggit dan Amanda.

Tanpa kuduga, Amanda langsung mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Inggit. Tampak senyum lebar di bibirnya, senyum yang sempat membuatku jatuh hati saat pertama kali bertemu dengannya.

"Saya Amanda, 'teman' Pak Raharjo," ujar Amanda sambil memberikan penekanan di kata "teman". Aku tidak tahu mengapa ia memilih mengenalkan diri seperti itu.

"Dan kalian di sini untuk?" Inggit bertanya lagi. Ia sepertinya masih penasaran.

"Err, jadi kamu berdua ini mau ..."

"Kami berdua mau jalan-jalan, menghabiskan waktu liburan di sini," Amanda memotong kata-kataku dengan cepat. "Sudah lama Pak Raharjo tidak liburan karena sibuk dengan novel terbarunya yang sebentar lagi akan terbit, makanya saya mengajak beliau untuk liburan berdua ke sini."

"Hanya berdua saja?" Tanya Inggit.

"Iya, hanya berdua saja," balas Amanda dengan cepat.

Belum selesai rasa kagetku akan kata-katanya, Amanda tiba-tiba mengaitkan tangannya ke lenganku. Aku bahkan bisa sedikit merasakan payudaranya yang lembut menempel di kulitku. Aku tidak bisa berkata apa-apa dengan perkembangan tersebut, dan hanya bisa mengangguk pelan.

Inggit justru tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia tentu tidak menyangka bahwa aku sudah mempunyai gandengan baru. Walaupun kenyataannya memang belum, tapi ia tampak percaya betul dengan kata-kata Amanda. Bisa kutebak bahwa ia merasa sangat cemburu, apalagi dengan paras Amanda yang jelas lebih segar daripada dirinya.

"Owh, baiklah kalau begitu. Maaf kalau mengganggu," ujar Inggit dengan sedikit terbata. "Aku permisi dulu. Sampai jumpa, Raharjo."

Meski Inggit dan suaminya telah menjauh, Amanda tetap tidak melepaskan gandengannya di lenganku. Tanpa mengatakan apa-apa, ia menarikku ke deretan taksi yang tengah menunggu penumpang. Kami baru melepaskan gandengan ketika akan masuk ke dalam taksi yang sudah siap mengantarkan kami menuju hotel.

Saat kami berdua telah duduk, dan taksi tersebut telah bergerak maju, aku pun memberanikan diri untuk membuka suara.

"Untuk yang tadi ..."

"Sudah, tidak usah dibahas. Anggap saja kejadian tadi tidak pernah terjadi," potong Amanda. Ia bahkan mengatakannya tanpa menoleh ke arahku, dan fokus memandangi jalan yang kian cepat kami lewati.

Aku mengerti kondisi yang tengah terjadi saat ini, dan hanya duduk diam di sebelahnya. Aku menghela nafas lega.

"Terima kasih," ujarku pelan.

Amanda tidak membalasnya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd