Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Mantap. Makin penasaran kisah selanjutnya.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Part 19: Solusi

Aku memutuskan untuk menghabiskan hari kedua di Jogja dengan berkeliling kota sendirian. Kurasa itu adalah keputusan terbaik, daripada harus mengawasi Pak Raharjo sepanjang hari. Lagipula, bukankah penulis tidak akan suka kalau dilihat oleh orang lain saat tengah bekerja?

Dengan begitu, aku berharap kreativitas pria tua tersebut bisa keluar dengan bebas, sehingga ia bisa lebih cepat menyelesaikan revisi seperti yang aku minta.

Kami berdua praktis tidak pernah bertemu sama sekali sejak turun dari pesawat dan check in di hotel tempat kami menginap. Makan malam dan sarapan pun kami lakukan secara terpisah. Aku bahkan tidak tahu apakah dia sudah makan atau belum tadi pagi. Masa bodo, lah.

Saat ini, aku tengah duduk di balkon lantai dua sebuah kedai kopi populer yang berada di jalan Malioboro. Aku memang selalu mengunjungi cabang dari kedai kopi ini saat berkunjung ke berbagai kota. Aku bahkan mengoleksi tempat air minum bertuliskan nama setiap kota di mana cabang kedai kopi ini berada. Jumlah koleksiku saat ini memang masih belum seberapa, tetapi aku bertekad untuk menambahnya seiring makin banyaknya kota yang aku singgahi, baik di dalam maupun luar negeri.

Aku sedang merenung, menatap ke arah jalanan di hadapanku yang lumayan padat. Aku mengingat kembali pertemuan dengan Bu Inggit, mantan istri Pak Raharjo, saat baru turun dari pesawat kemarin.

Sejujurnya, aku masih heran mengapa aku bisa mengenalkan diri sebagai "teman" dari Pak Raharjo, bahkan sampai menggandeng lengan pria tua tersebut. Saat mata kami bertemu, aku bisa melihat betapa terkejutnya ia, karena kami memang sama sekali tidak pernah merencanakan hal itu sebelumnya.

"Sepertinya aku hanya tidak suka dengan sikap Bu Inggit yang seperti merendahkan Pak Raharjo di hadapan suami barunya," gumamku dalam hati.

Saat ditunjuk menjadi editor untuk buku terbaru Pak Raharjo, aku memang sempat melakukan riset singkat tentang masa lalu sang penulis. Kasus perceraian pria tua tersebut dengan Bu Inggit jelas merupakan salah satu berita yang sempat aku baca. Aku benar-benar tidak habis pikir mengapa Bu Inggit sampai hati meninggalkan Pak Raharjo, yang membuat penulis itu sempat vakum menghasilkan karya dalam waktu yang cukup lama.

Alasannya bercerai pada saat itu pun terkesan begitu sederhana: "Sudah tidak ada kecocokan". Dan faktanya, beberapa bulan setelahnya ia langsung menikah dengan suaminya sekarang. Pernikahan tersebut bahkan dirayakan dengan cukup mewah, karena sang suami adalah orang yang cukup terpandang. Mereka berdua kini tinggal di Jogja, karena keduanya memang lahir dan besar di kota tersebut.

"Dendam" terhadap sikap Bu Inggit sepertinya merupakan alasan utamaku bertingkah seperti itu di Bandara. Toh tidak ada salahnya juga kan, karena aku dan Pak Raharjo hanya sekadar bergandengan tangan. AKu pun hanya mengenalkan diri sebagai "teman", terserah saja Bu Inggit mau mengartikan sebagai teman apa.

"Ahh, semoga saja Pak Raharjo lekas menyelesaikan revisinya, agar semua urusan ini cepat berakhir," ujarku.

Aku pun segera mengeluarkan ponsel dan mengirimkan pesan kepada Pak Raharjo, memintanya untuk segera mengirimkan perkembangan revisi yang telah ia buat lewat email.

***

Keesokan harinya, aku bangun dengan perasaan kesal.

Semalam aku telah menerima dan memeriksa revisi yang dibuat Pak Raharjo setelah lebih dari 24 jam berada di Jogja. Aku berharap perkembangan naskah terbaru ini paling tidak sudah seperempat jalan. Namun nyatanya, belum ada perubahan berarti dari naskah tersebut.

Aku pun naik pitam. Karena sudah begitu mengantuk, aku memutuskan untuk tidak berdebat dengan Pak Raharjo tadi malam. Aku akhirnya mengirim pesan kepada pria tua tersebut untuk bertemu saat sarapan pagi ini.

Karena itu, aku cepat-cepat mandi dan sedikit merapikan penampilan setelah bangun tidur, sebelum kemudian turun ke restoran hotel yang berada di lantai dasar. Saat sampai, aku melihat sekeliling, tapi tidak berhasil menemukan Pak Raharjo.

"Sial, belum turun juga itu tua bangka," gumamku. Aku pun mengambil roti panggang dan kopi untuk sarapan, lalu duduk di sebuah bangku yang kosong.

"Saya sudah di bawah, menunggu di meja dekat pintu masuk," begitu bunyi pesan yang aku kirimkan pada Pak Raharjo.

Sekitar 15 menit kemudian, aku bisa melihat sosok pria tua tersebut tengah berjalan menuju ke restoran tempatku berada. Ia tampak sama gontainya dengan diriku. Tanpa menyapa, ia melewati tempat duduk yang aku tempati, dan langsung menuju tempat air panas dan menyeduh secangkir kopi hangat. Setelah selesai, barulah dia kembali dan duduk di kursi yang ada di hadapanku.

"Kita harus bicara tentang revisi yang Bapak buat," ujarku dengan nada yang sedikit tinggi.

"Ya, tentu saja," jawabnya.

"Aku serius, Pak. Tolong jangan bercanda."

"Iya, aku juga serius," Pak Raharjo menjawab kata-kataku sambil menatap mataku dalam-dalam. Namun bukan aura kemarahan yang aku rasakan, melainkan kesedihan.

"Mengapa revisi yang Bapak kerjakan belum ada perkembangan. Seharian kemarin Bapak ngapain saja? Ke mana saja?"

"Aku hanya diam di kamar, tapi tidak kunjung mendapat inspirasi. Itu alasannya. Puas kamu?"

Dalam hati aku sudah menduga kalau ini adalah akar masalahnya. Pak Raharjo masih terlalu terpuruk akan masa lalunya dengan Bu Inggit, sehingga hatinya seperti menolak kesan baik tentang Jogja. Dalam benaknya, mungkin Pak Raharjo masih mengasosiasikan Jogja dengan patah hati, pengkhianatan, dan rasa kecewa. Padahal, novel yang ia buat harusnya memberikan kesan cinta, kasih sayang, dan harapan.

"Baik, kalau begitu. Aku punya solusi akan masalah tersebut," kulihat Pak Raharjo tampak terkejut dengan kata-kataku. "Sekarang Bapak sarapan dulu, lalu temui saya di lobby."

Tanpa memberikan waktu pada Pak Raharjo untuk memberikan respon, aku sudah beranjak meninggalkan restoran hotel tersebut.

***

Tak perlu menunggu lama, Pak Raharjo akhirnya menghampiri aku yang sedang duduk di sebuah sofa yang ada di lobby hotel. Aku pun langsung berdiri dan mengajaknya ke arah pintu keluar.

"Ikut saya, Pak."

Aku membawa Pak Raharjo ke sebuah mobil city car yang terparkir di depan gedung hotel. Aku langsung menuju kursi pengemudi, dan mengisyaratkan Pak Raharjo untuk masuk ke kursi penumpang di sebelahku.

"Tunggu dulu. Apa maksudnya ini, Amanda? Mobil siapa ini?"

Tanpa menjawab, aku langsung mengenakan sabuk pengaman dan menyalakan mobil. Lalu mengendarainya ke luar area hotel. "Cepat pakai sabuk pengamannya, Pak. Nanti ketilang polisi, hee."

"Apa maumu sebenarnya, Amanda? Bukankah kamu yang memaksa aku untuk membuat revisi novel itu? Lalu mengapa kamu malah membawa aku pergi naik mobil seperti ini?"

"Bapak tahu apa masalah Bapak yang sebenarnya?"

"Apa?"

"Bu Inggit."

Pak Raharjo tampak terhenyak mendengar perkataanku yang begitu jujur. Aku tahu perkataan tersebut sama saja menampar harga diri seorang Raharjo bolak balik. Namun, aku tak peduli. Cepat atau lambat, harus ada seseorang yang menyadarkan pria tua di sebelahku ini dari mimpi panjangnya akan penderitaan abadi ditinggal mantan istrinya.

"Bapak tidak bisa menulis kisah romantis di Jogja, karena Bapak masih memikirkan Bu Inggit, dan masa lalu Bapak bersama dia."

"Anggaplah apa yang kau katakan itu benar. Lalu menurutmu aku harus bagaimana?"

"Menurut saya, Bapak harus membuat memori yang baru di Jogja. Sehingga kenangan Bapak tentang Jogja yang didominasi kekecewaan pada Bu Inggit, bisa berganti dengan cerita yang baru. Yang lebih ceria tentunya."

"Tapi kalau begitu nanti aku jadi tidak punya waktu untuk menulis, bukankah kamu yang meminta ..."

"Ahh, persetan dengan menulis," ujarku memotong kata-kata Pak Raharjo. "Apabila sudah ada inspirasi, saya yakin Bapak bisa menyelesaikan revisi itu hanya dalam waktu beberapa jam."

Pak Raharjo terdiam sejenak. Ia mungkin sedang mengamini kata-kataku, karena itu adalah kenyataan.

"Tapi saya belum berganti pakaian," ujarnya lagi.

Aku melihat busana yang dipakainya, hanya kaos polo lengan pendek dan celana pendek sedengkul. Dalam hati, aku harus mengakui kalau pria tua itu tampak cukup jantan dengan pakaian tersebut. Tapi tentu aku tidak bisa mengatakannya dengan jujur. Nanti dia bisa jadi terlalu percaya diri.

"Itu sudah oke kok," ujarku sambil tersenyum.
 
Perjalanan kami dimulai dari Museum Ullen Sentalu yang berada di kawasan Kaliurang. Hanya butuh waktu sekitar satu jam untuk bisa sampai ke lokasi wisata yang ada di daerah utara Jogja tersebut. Di sana, kami mengikuti tour guide yang menjelaskan cerita-cerita menarik tentang sejarah Jawa, termasuk kisah legendaris Putri Nurul yang cantik jelita.

Jujur, aku merasakan aura mistis yang begitu kuat di dalam museum tersebut. Karena itu, aku memutuskan untuk menggenggam tangan Pak Raharjo, dan memintanya untuk menuntunku. Untungnya, dia tampak tidak bermasalah dengan itu.

"Sial, mengapa aku tidak riset dulu museum ini seperti apa sebenarnya. Cuma bermodal googling dan langsung jalan ya kayak gini jadinya," gumamku dalam hati.

Setelah tur selesai, kami sampai di area luar yang begitu hijau dengan ornamen patung di sana sini. Aku memutuskan untuk memotret pemandangan di tempat tersebut dengan kamera ponsel. Aku seperti meluapkan rasa gatal yang kurasakan untuk mengambil foto sejak sampai di museum tersebut, karena di dalam kami tidak diizinkan untuk mengambil foto sama sekali.

Aku pun memotret semacam prasasti berbentuk persegi panjang yang dipajang dengan bentuk miring. Sepertinya prasasti tersebut merupakan salah satu ikon spesial tempat ini. Setelah mengambil beberapa foto, aku merasa tertarik untuk mengambil foto selfie di depan prasasti tersebut. Aku berusaha merentangkan tangan sejauh-jauhnya, tetapi sulit sekali untuk mendapatkan gambar yang sesuai karena ukuran lenganku yang pendek.

"Sini saya bantu," tiba-tiba Pak Raharjo mengambil ponsel milikku dan mengarahkan lensa kamera ke arah kami berdua. Lengannya yang lebih panjang membuat keseluruhan prasasti bisa tertangkap dengan baik, lengkap dengan wajah kami berdua.

Pak Raharjo berdiri benar-benar dekat denganku. Ia bahkan sempat merangkul pundakku dengan lengan kanannya, sementara ia memegang ponsel dengan tangan kiri. Kami seperti pasangan kekasih yang sedang berpelukan. Aku bisa merasakan kulit lengannya yang sedikit kasar, meski tetap terasa macho. Aroma tubuhnya yang jantan menyeruak, membuat aliran darah di dalam tubuhku ikut menghangat.

"Ahh, berpikir apa sih aku ini."

***

Tujuan kedua kami adalah Hutan Pinus Mangunan. Untuk sampai di daerah wisata yang berada di selatan kota Jogja tersebut, kami harus menempuh perjalanan sekitar dua jam.

Sesampainya kami di sana, hari sudah siang, dan matahari sudah hampir berada tepat di atas kepala kami. Karena itu, kami memutuskan untuk makan siang di warung makan kecil yang ada di sana.

"Pak Raharjo gak apa-apa makan di tempat yang seperti ini?" Tanyaku.

"Hahaa, kamu meledek yah. Meski sekarang punya rumah mewah, dulu aku juga pernah makan di tempat yang lebih parah dari ini," ujarnya sambil mengelus-elus kepalaku yang masih tertutup jilbab.

Entah mengapa aku tidak marah diperlakukan seperti itu. Mungkin karena ia melakukannya dengan kesan kebapakan, sehingga aku seperti merasa diperhatikan oleh mendiang ayahku sendiri.

Setelah kenyang, kami kemudian berkeliling di sekitar lokasi wisata tersebut, yang ternyata banyak diisi oleh spot-spot foto instagrammable. Aku memang suka mengambil foto di tempat yang menurutku bagus. Namun, kalau sudah ditetapkan spot foto seperti ini, aku malah kurang suka. Yang ada, fotoku akan sama persis dengan foto orang lain yang juga mengambil gambar di tempat yang sama, hanya berbeda objeknya saja. Padahal, aku selalu ingin foto yang spesial, dan berbeda dengan orang lain.

Tapi setidaknya, tempat tersebut terasa cukup segar, karena banyaknya pohon rimbun di sana. Aku bisa melihat Pak Raharjo memandang ke sekeliling dengan bersemangat. Aku rasa sudah lama memang dia tidak "keluar dari sarang" seperti ini. Ideku mengajaknya ke sini untuk menenangkan pikiran sepertinya cukup berhasil.

Aku hendak berjalan ke sisi barat, tempat banyak orang berkumpul, ketika kakiku terpeleset hingga tubuhku jadi hilang keseimbangan. Aku pun mempersiapkan diri untuk jatuh ke tanah, saat tiba-tiba aku merasakan ada sepasang tangan yang menahan tubuhku.

"Kamu tidak apa-apa?" Tanya Pak Raharjo. Lumayan sigap juga dia menahan tubuhku yang hampir jatuh.

Aku masih belum cukup kuat untuk kembali berdiri. Karena itu ia terus memeluk tubuhku, dan berusaha mengangkatnya secara perlahan. Ahh, desiran hangat yang sebelumnya sempat kurasakan kini kembali muncul. "Apa artinya ini?" Gumamku dalam hati.

Harus kuakui, aku pun jarang pergi jalan-jalan ke lokasi wisata seperti ini, apalagi bersama pacarku Jodi. Kesibukan kerja membuat kami jarang punya waktu untuk liburan bersama. Saat aku libur, dia justru masuk kerja. Demikian juga sebaliknya.

Karena itu, mungkin keluar ke tempat baru pada akhirnya memberikan perspektif baru padaku, yang sebelumnya selalu berkutat pada rutinitas kerja. Dan kuharap, Pak Raharjo juga merasakan hal yang sama, demi novel terbarunya.

Aku kini sudah cukup kuat untuk berdiri, dan mulai mengangkat tubuhku sendiri secara perlahan. Namun, Pak Raharjo masih tetap merangkul pundakku dengan erat.

"Aku sudah bisa jalan sendiri, Pak. Terima kasih bantuannya."

"Kamu yakin?"

"Iya, yakin Pak."

Ia pun melepas sentuhannya pada tubuhku, dan kami berdua kembali berjalan mengelilingi tempat wisata tersebut. Setelah lelah berputar-putar sambil jalan kaki, kami pun memutuskan untuk kembali ke mobil.

"Sekarang saya yang bawa mobilnya ya," ujar Pak Raharjo.

"Lho, kenapa begitu?"

"Kamu kan baru saja jatuh, bahaya kalau mengemudi lagi," aku merasa kata-katanya cukup masuk akal. "Kamu arahkan saja aku harus lewat jalan mana."

"Oke, Pak. Siap," ujarku.

Aku akhirnya memberikan kunci mobil pada Pak Raharjo. Kini posisi kami berdua berbalik, aku di kursi penumpang dan dia di kursi pengemudi.

***

"Stop Pak, stop," teriakku tiba-tiba.

"Ada apa sih Amanda? Kok tiba-tiba minta berhenti?"

"Kita mampir dulu di sini ya, ini kan tempat es krim populer itu," ujarku sambil nyengir.

Pak Raharjo hanya bisa geleng-geleng kepala. Mungkin ini pertama kalinya ia jalan-jalan keluar, bersama anak muda yang suka memaksa sepertiku. Biarlah, tidak sering-sering juga kamu jalan berdua seperti ini. Pria tua itu kemudian melihat sekeliling, mencari tempat di mana dia bisa memarkir mobil.

Kondisi di dalam toko es krim tersebut cukup ramai. Namun beruntung kami berdua tak butuh waktu lama untuk mengantri, hingga akhirnya tiba giliran kami untuk memilih rasa es krim yang ingin kami pesan.

"Bapak mau rasa apa?" Tanyaku.

"Apa saja."

"Bener neh apa saja?"

"Iya, bener. Kamu pilih saja."

Aku pun tersenyum jahat. Pria tua itu sepertinya belum tahu toko es krim seperti apa ini. Aku pun memutuskan untuk berbuat iseng, dan memesan es krim dengan rasa-rasa aneh untuknya. Satu cup es krim memang bisa diisi oleh dua hingga tiga rasa, sehingga aku pun memilih semua rasa yang aneh dan mencampurkannya ke dalam satu cup.

Setelah membayar, kami pun naik ke lantai dua toko es krim tersebut, dan duduk di sebuah meja.

"Wleehhh ... rasa apa neh?" Ujar Pak Raharjo jengkel begitu menyendokkan es krim ke mulutnya. Aku hanya tertawa melihat pria tua itu mencoba mencerna rasa es krim aneh yang aku pesan.

Melihat aku yang malah tertawa, ia tampak kesal. Aku tak menyangka ia kemudian berani untuk mengoleskan es krim ke hidungku. Aku pun tak mau kalah, dan balas mengoleskan es krim ke pipinya. Kami melakukan hal itu beberapa kali, sehingga wajah kami berdua hampir penuh dengan olesan es krim.

Kami seperti tidak ingat bahwa kami masih berada di tempat umum, dengan banyak orang yang pasti tengah memperhatikan tingkah kami berdua. Meski begitu, justru ada rasa bahagia yang aku rasakan saat itu.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd