Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Mantap. Makin gak sabar buat nunggu Amanda diekse.
 
Part 20: Malam Indah

Akhirnya sampai juga aku di kamar hotel, setelah perjalanan yang begitu melelahkan sepanjang hari ini. Begitu berada di dalam kamar, aku langsung merebahkan tubuh di atas ranjang, menatap langit-langit kamar. Staminaku benar-benar terkuras habis. Usia memang tidak bisa berbohong untuk urusan ini.

Aku berusaha mengingat setiap momen yang aku lewati hari ini bersama editorku yang cantik itu. Aku tidak menyangka bahwa perempuan muda seperti Amanda bisa mempunyai ide luar biasa untuk mengajakku jalan-jalan keluar. Awalnya aku pesimis hal tersebut bisa membuka kembali kebahagiaan yang pernah aku rasakan dulu. Tapi kini aku telah tahu bahwa anggapan awalku memang salah.

Amanda benar akan satu hal. Aku memang masih terpaku pada kekecewaanku atas gagalnya hubungan asmara yang aku jalin bersama Inggit. Hingga saat ini, aku masih menyalahkan diriku atas keputusan tersebut. Aku terus berpikir bahwa pengkhianatan Inggit terjadi karena kurangnya perhatian yang aku berikan, bukan karena kesalahan dia.

Apakah itu merupakan asumsi yang benar? Tidak ada yang tahu. Namun yang pasti, aku jelas punya hak untuk tetap bahagia setelah perceraian itu, bukannya menjadi orang yang menyedihkan seperti sekarang. Dan aku baru sadar akan hal tersebut setelah perjalanan hari ini.

Amanda juga tepat saat mengatakan bahwa alasan mengapa aku tidak kunjung bisa membuat revisi yang baik untuk novel terbaruku memang berakar pada perasaanku yang belum hilang kepada Inggit. Apakah saat ini perasaanku pada Inggit sudah hilang? Tentu belum. Tapi apa yang terjadi hari ini sepertinya mulai bisa memunculkan perasaan baru di dalam hatiku.

Dan di tengah perasaan itu, ada sosok Amanda.

Aku mengingat-ingat hal-hal menarik yang terjadi hari ini, mulai tangan kami yang bergandengan erat di dalam museum, pelukan eratku saat ia terpeleset dan hampir jatuh setelah, hingga canda tawa kami di toko es krim. Meski semuanya hanya terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam, aku bisa merasakan kesan yang berbeda tentang Jogja di dalam hatiku.

Dalam memori tersebut, aku bisa mengingat betapa lembut tubuh Amanda, apalagi ketika tengah aku peluk. Tangannya terasa sangat halus, seperti tidak pernah digunakan untuk pekerjaan kasar. Dan yang paling menarik bagiku, adalah aroma tubuhnya yang begitu segar, membuatku enggan berjauhan dari perempuan cantik tersebut.

Namun, dia tetap saja bukan pacarku. Hanya editor yang sedang menemani sekaligus mengawasi aku dalam bekerja. Apa yang harus aku lakukan untuk meredam perasaan ini?

***

"Tok tok tok ..." Aku mengetuk pintu sebuah kamar hotel yang tepat berada di hadapanku secara perlahan.

"Iya, siapa ya?" Terdengar sahutan seorang perempuan dari dalam kamar.

"Pak Raharjo," ujarku.

"Ada apa ya, Pak?" Tanya perempuan di dalam yang sepertinya sudah berdiri tepat di belakang pintu.

"Aku mau berterima kasih atas apa yang kamu lakukan hari ini. Karena itu aku membawa pizza untuk makan malam. Kamu belum makan sama sekali, kan?"

Tak terdengar apa-apa dari dalam kamar. Sepertinya perempuan tersebut tengah mempertimbangkan apakah akan mengizinkan aku untuk masuk atau tidak.

"Kalau kamu tidak mau aku masuk ke kamarmu, aku tinggalkan pizza-nya di depan kamar saja ya," ujarku sambil meletakkan kemasan pizza ukuran besar yang aku bawa di atas lantai, tepat di depan pintu kamar hotel tersebut.

Aku kemudian berjalan kembali ke kamarku, yang memang berada di lantai yang sama dengan kamar perempuan tersebut.

***

Di kamar, aku merasa sangat bosan. Meski sudah muncul semangat untuk merampungkan revisi yang perlu aku selesaikan, aku merasa sudah terlalu suntuk untuk bekerja. Guyuran air hangat saat mandi tadi memang sedikit bisa menyegarkan tubuhku, tapi masih belum cukup untuk membuat seluruh staminaku kembali.

"Aku mulai besok saja deh untuk merampungkan revisi," gumamku dalam hati.

Aku pun menyalakan televisi, tetapi tidak menaikkan volume suaranya. Aku hanya ingin ada tayangan yang menemani malamku, hingga aku tertidur nanti.

"Tok tok tok ..." tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarku.

Aku yang merasa tidak memanggil room service langsung berjalan ke dekat pintu, dan mengintip lewat lubang kecil yang berada di bagian atas pintu tersebut. Alangkah kagetnya aku melihat Amanda sedang berdiri di depan. Aku lebih terkejut karena ia datang sambil membawa kemasan pizza yang tadi aku tinggalkan di depan pintu kamarnya.

Aku pun segera membuka pintu kamar untuknya.

"Ada perlu apa, Amanda?"

"Boleh aku masuk?" Tanya Amanda dengan canggung.

"Silakan, silakan, Amanda."

Begitu perempuan tersebut telah berada di dalam kamar, aku pun menutup pintu kamar, lalu mengikutinya dari belakang.

Amanda-3.jpg

Kamar yang kami berdua pesan memang lumayan luas, cukup untuk menampung sebuah tempat tidur ukuran king size double, sebuah sofa, serta meja kecil di depannya. Di pojok ruangan ada sebuah rak tempat aku bisa meletakkan barang apa pun, mulai dari ponsel, hingga botol minuman keras favoritku yang memang sengaja aku beli begitu tiba di kota ini.

Amanda meletakkan pizza yang ia bawa di atas meja, lalu duduk di sofa. Ia tampak begitu cantik dengan kaos berwarna pink yang ketat membungkus tubuhnya, serta hijab yang berwarna senada. Perempuan tersebut sebenarnya mengenakan luaran lagi yang juga berwarna merah muda, tetapi tidak cukup lebar untuk membungkus tubuhnya yang seksi. Sebagai bawahan, ia mengenakan celana jeans berwarna biru yang juga ketat.

"Kenapa bengong, Pak?" Tanya Amanda saat melihatku hanya berdiri mematung di hadapannya.

"Hmm, aku pikir kamu tadi gak mau menemui aku."

"Awalnya begitu. Namun setelah aku pikir-pikir, tidak ada salahnya juga bertemu dengan Bapak. Kita sudah menghabiskan waktu seharian bersama, dan aku harap apa yang kita lakukan hari ini bisa berguna agar Bapak cepat menyelesaikan revisi," ujarnya. "Lagipula, pizza ini terlalu besar untuk aku makan sendiri, jadi aku bawa saja ke sini agar bisa cepat habis."

"Boleh aku duduk di situ," ujarku menunjuk sisi sofa tempatnya duduk yang masih kosong. Ia pun mengangguk.

Seloyang pizza ukuran besar tersebut terbukti bisa mencairkan suasana di antara kami berdua. Kami mulai berbincang tentang bagaimana seharusnya aku melakukan revisi terhadap cerita yang aku buat, dan Amanda tampak puas dengan rencanaku. Setelah itu, obrolan kami melebar ke masalah dunia sastra yang hingga saat ini masih didominasi oleh penulis tua, sedangkan para penulis muda dibiarkan untuk mencari jalan sendiri untuk mencapai popularitas. Kami berdua sepakat bahwa itu bukanlah cara yang sehat untuk membangun regenerasi.

"Amanda, aku mau izin sesuatu," ujarku tiba-tiba.

"Izin apa, Pak?"

"Aku biasanya kalau makan pizza, selalu sambil minum alkohol. Boleh gak?"

Amanda tampak berpikir sejenak. Tapi kemudian dia akhirnya menganggukkan kepala. "Silakan saja, Pak," ujarnya sambil kembali mengambil potongan pizza untuk disantap.

Aku pun berdiri dan berjalan menuju rak kayu yang ada di pojok kamar. Aku mengambil sebotol whiskey, lengkap dengan sebuah gelas kecil, lalu meletakkannya di atas meja.

"Kamu mau coba?" Tanyaku ketika selesai menuangkan minuman keras tersebut ke dalam gelas.

Amanda menggeleng.

"Kamu belum pernah coba alkohol?"

"Sudah, Pak," jawab Amanda. "Tapi hanya bir yang kadar alkoholnya lebih ringan. Itu whiskey, kan?"

"Betul. Mungkin karena sudah lama minum ini, aku jadi terbiasa meski kadar alkoholnya lebih tinggi," jawabku sambil meminumnya pelan-pelan. Kunikmati rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuhku.

"Rasanya beda dengan bir ya, Pak?"

"Beda sih, tapi mungkin sensasinya mirip dengan minum bir beberapa botol," ujarku. Kamu mau coba?"

"Aku minta sedikit saja, boleh?"

Aku tersenyum, lalu kembali berdiri untuk mengambil gelas lain yang masih bersih dari rak. Aku menuangkan whiskey ke gelas tersebut dalam jumlah yang sedikit, membiarkan Amanda mencobanya.

Begitu minuman tersebut masuk melewati kerongkongannya, perempuan tersebut tampak mengernyit saat merasakan sensasi kuatnya. Parasnya tampak lucu sekali saat itu, membuatku tak tahan untuk tertawa.

"Bagaimana?"

"Kuat banget, tapi rasanya enak sih."

"Mau tambah lagi?"

Amanda mengangguk, dan aku pun kembali menuangkan minuman tersebut ke gelas kami berdua.

Dari beberapa buku dan penelitian yang aku baca, secara fisiologis tubuh perempuan memang punya toleransi akan alkohol yang lebih rendah. Karena itu, meski meminum minuman keras dengan jumlah yang sama, perempuan biasanya akan lebih cepat mabuk daripada pria, apalagi yang belum terbiasa.

Mungkin itu pula sebabnya wajah Amanda perlahan menjadi sayu. Ia terus mengunyah pizza hingga potonga terakhir, dan meminum whiskey yang aku tuang untuknya. Namun tulangnya seperti sudah rontok dan tubuhnya terlihat lemas, meski aku bisa melihat bahwa ia masih punya sedikit kesadaran sehingga tidak sampai tertidur. Kini, ia justru merebahkan tubuhnya ke samping dan bersandar di pundakku.

"Pak Raharjo?"

"Iya, Amanda."

"Apa sih sebenarnya arti cinta?" Sungguh pertanyaan yang berat, dan aku pun tak tahu jawabannya. Karena itu aku hanya diam.

Aku memberanikan diri untuk membelai kepalanya yang masih berbalut jilbab, demi mengetahui apakah ia akan menolak atau tidak. Untungnya, perempuan tersebut membiarkan tanganku bermain di sana, sambil terus menatap ke arah televisi yang sedang menayangkan siaran berita. Meski kami berdua tentu tidak ada yang memperhatikan berita apa yang sedang dibacakan.

Beberapa menit kemudian, Amanda menoleh ke arahku, lalu memandang mataku dalam-dalam. Di dalamnya, aku melihat kerapuhan, harapan, dan kesegaran masa muda yang haus akan kepuasan. Aku pun membalas tatapannya dengan senyuman.

Tanpa kuduga, perempuan cantik tersebut tiba-tiba bergerak naik ke atas pangkuanku, hingga kami berdua kini saling berhadapan. Tangannya menyentuh wajahku, dan jempol kanannya menempel di bibirku. Ia seperti tengah meneliti setiap titik di wajahku yang sudah mulai keriput ini.

Aku pun balas menyentuh pundaknya, yang dilanjutkan dengan sentuhan ke punggungnya yang terbuka. Dengan sekali usap, luarannya yang berwarna merah muda pun jatuh ke lantai. Aku pun bisa menatap payudaranya yang sekal, tepat di depan mataku, meski masih tertutup dengan kaos lengan panjang yang ketat. Saat meraba punggungnya, aku bisa merasakan kaitan bra yang menonjol dari balik kaos tersebut.

Amanda tak berhenti mengusap bibirku dengan jemarinya. Sementara tangannya yang satu lagi bergerak ke arah kancing kemeja lengan pendek yang aku kenakan, lalu melepasnya satu per satu. Aku pun membantunya melepas kemeja tersebut, hingga tubuh bagian atasku terbuka semua, karena aku kebetulan tidak sedang memakai kaos dalam.

Tangan Amanda kini bergeser ke bawah, dan mulai bermain di dadaku. Awalnya ia mengelus perutku yang buncit, lalu naik ke atas hingga sampai di area putingku. Ia memutar-mutar jari di daerah sensitif tersebut, membuat birahiku naik. Tak mau kalah, aku pun balas menyentuh pipinya yang tampak sayu. Aku usap bibirnya yang merah, yang tetap tampak indah meski belum dioles lipstik.

Makin lama, wajah kami kian dekat, hingga aku bisa merasakan dengusan nafasnya yang makin tidak beraturan. Ia memejamkan mata, seiring kian rapatnya tubuh kami berdua di atas sofa itu.

"Hmpphhh ..." apa yang aku pikirkan sejak pertama kali bertemu dengan perempuan tersebut akhirnya terjadi juga. Kini bibirku telah rapat menempel di bibirnya. Dan benar saja tebakanku, ia mempunyai bibir yang tak hanya indah, tapi manis rasanya.

Aku coba menembus pertahanannya dengan mengeluarkan lidah, dan mengusapkannya ke bibir Amanda, tanpa melepas kecupanku. Tak kusangka, ia kemudian turut membalasnya, hingga lidah kami saling bertaut. Tanganku kini telah mengelus-elus bagian belakang kepalanya, demi membuatnya lebih rileks. Sedangkan tangan Amanda tampak bersandar pada pinggiran sofa tempat kami bercumbu saat ini.

Tak puas dengan posisi tersebut, aku pun menggendong Amanda dengan posisi kami berdua masih saling berhadapan, tanpa melepas kecupanku cari bibirnya. Tubuh indahnya kemudian kurebahkan di atas ranjang yang terasa begitu empuk. Kami berdua kemudian saling menatap, dengan posisi tubuhku yang berada di atas tubuhnya.

Wajah Amanda tampak sedikit memerah. Aku tidak tahu apakah itu karena dia tengah merasa malu, atau karena pengaruh alkohol. Aku bisa merasakan jemarinya kembali bermain di dadaku yang terbuka, membuatku merasa geli.

"Kamu cantik sekali, Amanda," gumamku pelan.

Aku kembali mendekatkan wajahku untuk memagut bibir indah perempuan di hadapanku. Ia kembali memejamkan mata saat bibir kami bersentuhan. Kini tanpa diperintah, lidahnya langsung keluar dan berusaha menyentuh setiap bagian dari rongga mulutku. Tangannya pun sudah dikalungkan ke leherku, sehingga dadaku kini lekat menempel di payudaranya yang masih tertutup kaos berwarna pink.

"Hmmpppphhh ..." terdengar jelas desahan dari percumbuan kami berdua.

Aku bisa merasakan bahwa Amanda benar-benar haus akan sentuhan pria. Aku tidak mengerti apa yang selama ini diberikan oleh pacarnya, sehingga perempuan tersebut bisa begitu aktif mengejar birahi, meski dalam kondisi mabuk. Apakah ia masih perawan?

"Ahhh ... Pak Raharjo," Amanda melenguh saat aku mulai mengelus payudaranya dari balik kaos. Ia tampak telah begitu terangsang dengan rabaanku di tubuhnya, apalagi saat ini posisiku benar-benar tengah menindihnya, dan tubuh kami berhimpit dengan erat.

Elusanku di payudaranya berubah menjadi remasan. Aku tidak bisa menahan diri untuk bermain-main dengan payudara yang empuk nan menggemaskan tersebut. Meski sempat kesulitan, aku akhirnya berhasil menemukan posisi puting perempuan tersebut, yang membuat pemiliknya menggelinjang setiap kali aku menyentuh daerah itu.

Aku yang sudah tak tahan, langsung berusaha mengangkat kaos lengan panjang yang dikenakan Amanda ke atas. Tak sulit bagiku untuk melakukannya, karena Amanda pun membantuku dengan menaikkan sedikit bahunya. Keindahan payudara perempuan muda nan cantik itu pun tersaji di hadapanku, meski masih tertutup bra.

Tanpa basa-basi, aku langsung mengecup payudaranya yang sebelah kanan, dan memainkan yang sebelah kiri dengan tanganku. "Sluuurrrppphh ... cup, cup, cup," saat melirik ke atas, kulihat Amanda masih tetap memejamkan mata. Namun dari raut wajahnya, nampak ia sangat menikmati rangsangan yang aku berikan di titik sensitifnya. Tangannya bahkan tiba-tiba menjambak-jambak rambutku, seperti berusaha melampiaskan gairah.

Aku akui payudara Amanda bukanlah yang terbesar, di antara payudara yang pernah aku lihat sampai saat ini. Namun bila dibandingkan dengan Inggit, payudara Amanda jelas lebih berisi dan terasa segar. Putingnya pun masih berwarna coklat muda, belum kehitaman seperti milik Inggit.

"Ahhh, Pak Raharjo, ahhhh ..." Amanda terus mendesah sambil menyebut-nyebut namaku, membuatku makin bergairah.

Sepertinya kini giliran Amanda yang tak tahan. Ia pun berinisiatif untuk melepaskan kaitan bra di punggungnya, dan melemparkannya ke lantai. Aku kini bisa begitu bebas menjilat dan menghisap puting payudaranya yang indah. Kulit putih Amanda tampak mulai berkeringat di tengah pergumulan kami berdua, meski aku yakin sebelumnya telah menyalakan pendingin ruangan di suhu yang lumayan rendah.

"Ahhh, ahhh, ahhhh ..." Amanda tak henti-hentinya mengeluarkan desahan yang terdengar begitu binal. Tubuhnya yang telah terbuka dengan hanya secarik jilbab menutupi kepalanya, membuat libidoku kian meledak-ledak.

Tanganku mulai bergerilya ke arah selangkangan Amanda, berusaha melepaskan kaitan celana jeans yang dikenakan perempuan cantik tersebut. Setelah berhasil, aku pun melepaskan kulumanku di payudara Amanda, dan berpindah ke bagian bawah tubuh perempuan tersebut. Dengan perlahan, aku tarik celana jeans tersebut hingga lepas, menampakkan sebuah selangkangan indah yang masih tertutup celana dalam berwarna putih.

Kutempelkan hidungku di selangkangan perempuan tersebut, hingga aku bisa menghirup bau yang khas di daerah suci itu. Tanpa menunggu lama, aku pun turut menarik celana dalam Amanda ke bawah, hingga vagina imut editor cantikku itu terbuka lebar. Bentuknya begitu indah, dengan bulu kemaluan yang tipis. Tampaknya, Amanda sering melakukan perawatan terhadap bagian paling pribadi dari tubuhnya tersebut.

"Nggghhhh ... " Amanda terdengar merintih saat aku mulai mengusap bibir vaginanya dengan jari telunjuk.

Aku bisa merasakan vagina tersebut sudah mulai basah berkat rangsangan yang aku berikan. Tangan Amanda kini sudah terentang ke kiri dan ke kanan, berusaha menahan birahi dengan meremas-remas seprai yang terbentang di atas ranjang tersebut. Kulihat ia makin tidak tahan saat aku memasukkan lebih dari satu jari ke dalam lian senggamanya.

Tanpa merasa jijik, aku mulai menjilat-jilat kemaluan Amanda yang sudah begitu lembab dengan lidahku. Ia tampak kaget dengan perlakuanku itu. Mungkin dia belum pernah merasakan ini dari pacarnya.

"Ahhh, ahhh, ahhhhhhhh ..." Perempuan tersebut terus menggoyangkan pinggul ke kiri dan kanan, berusaha bertahan dari rangsangan gencar yang aku lancarkan. Sepertinya pengalaman memang bisa bicara banyak dalam kondisi seperti ini.

Lidahku kini bergerak masuk ke dalam rongga vagina Amanda, hingga bisa menjilati dinding liang senggama tersebut. Amanda hanya bisa mendesah, merintih, mengerang, dan menggelinjang dengan penuh kenikmatan.

"Sluurrrrpppphhh .... bagaimana rasanya, manis?" Tanyaku.

Amanda tidak menjawab. Ia hanya mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya. Sepertinya hawa nafsu sudah membuatnya menyerah dan tunduk di hadapanku.

Aku pun melepas celana pendek yang aku kenakan. Tak lupa, aku mengeluarkan sebuah kondom yang memang selalu aku simpan di dalam dompet, berjaga-jaga apabila suatu saat aku menemukan seorang perempuan cantik yang bisa aku ajak bersetubuh, seperti dengan Amanda kali ini.

Penisku sudah begitu tegak berkat percumbuan dengan Amanda barusan. Meski harus kuakui, aku sudah mulai terangsang saat perempuan tersebut secara sadar masuk ke dalam kamar ini. Perlahan, aku pasangkan kondom berukuran jumbo tersebut di kemaluanku.

Dengan lembut, aku kembali memeluk tubuh Amanda yang masih berbalut jilbab di kepalanya. Aku gesekkan penisku di bibir kemaluannya. Awalnya perempuan tersebut tampak malu-malu dan menarik diri. Namun lama kelamaan, aku bisa merasakan bahwa liang senggama tersebut juga butuh untuk dipuaskan. Aku pun mengecup bibirnya untuk meredakan rasa bimbangnya.

Aku lebarkan kaki Amanda agar bisa kusetubuhi dengan lebih mudah. Kepala penisku sudah berada tepat di bibir kemaluannya yang tampak naik turun mencari lawan yang sepadan. Perlahan, aku memasukkan kemaluanku yang besar ke dalam liang sempit Amanda.

"Ahhhh, nikmat sekali memekmu, Amanda," ujarku.

"Ngghhhhhhhhhhh," Amanda juga mengeluarkan desahan panjang saat penisku ambles ke dalam vaginanya.

Aku tidak merasakan ada lapisan tipis yang terlepas dari tempatnya saat kemaluanku masuk, yang artinya perempuan cantik ini memang sudah tidak perawan. Baguslah, pikirku. Berarti tidak terlalu berat konsekuensi yang harus aku terima setelah persenggamaan ini berakhir.

Dengan perlahan, aku gerakkan kemaluanku maju mundur, yang ternyata disambut dengan isapan kencang Amanda lewat dinding vaginanya. Ahh, benar-benar nikmat rasanya. Tak kusangka editorku yang cantik ini punya tubuh yang luar biasa indah, dan permainan seks yang sangat menggairahkan. Nampak perempuan cantik tersebut sedang menahan diri dengan begitu kuat agar tidak mengeluarkan desahan yang binal.

"Lepaskan saja, Amanda. Lepaskan saja semua gairahmu," ujarku.

"Ahhh, nikmat sekali, Pak Raharjo," ia akhirnya menyerah.

"Kalau begini apa lebih enak?" Tiba-tiba aku mempercepat kocokan penisku di vaginanya.

"Ahhh, ahhh, ahh ... iya, lebih enak banget kalau begitu. Nghhhhh."

Seiring dengan makin cepatnya tusukanku, tubuh Amanda pun bergetar makin cepat, membuat payudaranya turut bergerak naik turun dengan gemulai. Harus kuakui, aku sudah benar-benar tidak tahan untuk segera menuntaskan libidoku ini.

Sambil terus menggenjot liang senggamanya, aku pun mengecup bibir indah Amanda, dan meremas payudaranya yang terbuka bebas.

"Ini tadi payudara yang sempat aku sentuh saat menolongnya di lokasi wisata tadi siang. Sekarang aku bisa menyentuhnya dengan bebas, bahkan menghisap putingnya sepuasku," gumamku. "Ini dia tubuh yang selama ini aku lihat tertutup saat bertemu, tetapi sekarang sudah terbuka lebar dan bebas aku entotin semauku."

Selain makin cepat, aku pun menggerakkan penisku lebih dalam dari sebelumnya. Aku tak peduli apakah nanti akan kelepasan orgasme di dalam, karena aku sudah menggunakan kondom. Tapi setidaknya, aku harus menyentuh seluruh relung sempit di kemaluan Amanda.

"Ahh, kamu cantik banget, Amanda. Tubuhmu juga sangat indah," ujarku sambil terus menggenjot kemaluan perempuan tersebut dan mengecup bibir seksinya.

"Nggghhh, ahhhh, Pak Raharjo, ahhhh ..."

Aku pun memperkuat remasanku pada payudara Amanda, sambil mempercepat kocokanku di selangkangannya. Sepertinya ini adalah gelombang kenikmatan terakhir yang bisa aku berikan, sebelum aku mencapai orgasme tidak lama lagi. Gerakanku yang semakin agresif ternyata disadari betul oleh Amanda.

"Ahhhh, Pak Raharjo, enaaaaaaaakkkk, ahhhhhh," erangnya puas.

Kini aku mulai fokus menggenggam pinggul Amanda yang seksi, dan fokus untuk memberikannya orgasme terindah. Perempuan tersebut pun menyambut gerakanku dengan pinggulnya.

"Nggghhhh, aku mau keluaar, Paaaaaaaakkkkkk ..."

"Keluarin aja, Sayang. Aku juga udah mau keluar neh, ahhhhhhhhhhh."

Aku merasakan gelombang orgasmeku sebentar lagi melanda. Karena itu, aku tancapkan penisku sedalam mungkin di kemaluan Amanda. Ia pun tampaknya telah mencapai puncak kenikmatan, ditandai dengan tubuhnya yang bergetar hebat.

"Ahhhhhhhhhhhhhhh."

"Haaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhh."

Kami berdua sama-sama mengeluarkan lenguhan kencang tanda terpuaskannya birahi kami berdua. Dengan cepat, aku langsung mengeluarkan penisku dari kemaluan Amanda, dan melepaskan kondom yang aku kenakan. Setelah itu, aku langsung bergerak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun entah mengapa, penisku seperti tidak mau mengendur.

Saat kembali ke ranjang, aku bisa melihat Amanda yang masih terkapar seperti tak punya tenaga untuk bergerak. Keringat deras tampak mengucur dari tubuhnya. Dalam hati, perempuan tersebut mungkin tidak percaya akan apa yang baru ia lakukan, serta bagaimana alkohol mempengaruhi cara dia mengambil keputusan malam ini. Tapi aku tidak peduli.

Aku kembali naik ke atas ranjang dan naik ke atas tubuhnya yang masih tanpa busana. Aku dekatkan bibirku untuk kembali mengecup kembali bibirnya yang ranum. Amanda tampak tidak menolak, dan malah mengalungkan tangannya kembali ke leherku. Tubuh polos kami kembali berhimpitan, dengan aura birahi yang begitu kental menyeruak di dalam kamar.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd