Part 21: Kenikmatan
Kepalaku terasa begitu pusing. Namun aku masih cukup sadar untuk menggerakkan tanganku ke leher Pak Raharjo dan mengecup bibirnya yang hangat namun kasar. Terlihat sekali bahwa pria tua itu memang jauh lebih berpengalaman dibanding diriku dalam urusan bermain ranjang. Sejak awal malam tadi, bibir tersebut sudah bertubi-tubi menjamah tubuhku, hingga aku mendapat kenikmatan yang luar biasa.
Aku sadar bahwa apa yang baru saja kami lakukan adalah sesuatu yang salah. Sebagian besar memang terjadi akibat pengaruh alkohol yang begitu kuat, tetapi aku tidak bisa memungkiri bahwa aku juga menginginkan kehangatan tersebut. Dan Pak Raharjo seperti telah membangkitkan sesuatu yang berbeda dari tubuhku.
Aku mengingat semua hal yang terjadi hari ini, dari yang awalnya kami hanya bergandengan tangan di museum, hingga saling berpelukan di hutan pinus, dan bercanda sampai malam menjelang di toko es krim. Kebersamaan itu meski terbilang singkat, dan bukan sesuatu yang sengaja aku lakukan atau rencanakan, tetapi telah begitu membekas di hatiku. Sehingga ketika akhirnya dia menyentuh tubuhku secara langsung di kamar hotel ini, terutama bagian-bagian paling sensitif dari tubuhku, kepalaku pun langsung hilang kendali dan menyerah pada birahi.
Lebih dari itu, permainan Pak Raharjo ternyata sangat luar biasa. Penisnya sedikit lebih besar daripada pacarku Jodi, ditambah staminanya untuk terus menggenjot kemaluanku bertubi-tubi yang benar-benar harus diacungi jempol. Kalau aku tidak coba mengalihkan pikiran dengan hal lain selama proses persenggamaan itu, mungkin aku sudah orgasme berkali-kali. Apabila itu terjadi, mau ditaruh di mana harga diriku yang sebenarnya sudah cukup hancur di hadapan pria tua itu.
Aku merasa sangat lelah. Entah mana yang lebih mendominasi, habisnya staminaku setelah bergumul dengan Pak Raharjo di atas ranjang, atau pengaruh alkohol yang tak berhenti menyeruak. Bila dibiarkan lebih lama, yang ada aku malah bisa pingsan karena dehidrasi.
Aku pun melepaskan diri dari pelukan pria tua yang tengah menindihku di atas ranjang tersebut, untuk mencari air minum. "Aku haus, Pak."
Ia membiarkanku bangkit dari ranjang, sebelum kemudian menuju kulkas kecil yang terdapat di bagian bawah rak. Saat dibuka, aku bisa menemukan sebotol air mineral yang dingin. Aku langsung meneguknya hingga hanya tersisa setengah.
Baru selesai mengembalikan botol air mineral tersebut ke tempatnya, aku langsung merasakan sebuah sentuhan di pundakku. Pria tua yang baru saja memberiku kepuasan, kini sudah berdiri tepat di belakangku.
"Aku suka sekali tubuh indahmu yang biasanya tertutup ini, Amanda," bisiknya lembut di telingaku.
Aku hanya terdiam, merasakan sentuhannya bergerak dari pundak, ke leher, lalu turun hingga menyentuh belahan payudaraku yang terbuka. Tangan lainnya yang masih bebas kini menyentuh jilbab pink yang masih kukenakan, meski bentuknya sudah berantakan.
"Aku lepas saja ya hijab kamu?" Tanya Pak Raharjo. Aku pun mengangguk.
Dengan cepat, pertahanan terakhirku pun lepas sudah. Pria tua tersebut melemparkan kain jilbabku ke lantai, hingga rambutku yang cukup panjang tergerai bebas. Aku bisa merasakan hidungnya menempel di rambutku, mencoba menghirup baunya yang harum.
"Baru pertama kali melihat, aku sudah jatuh cinta pada keindahan rambutmu, Amanda," ujarnya sambil membelai rambutku dengan lembut, sembari meremas payudaraku.
"Ahh, Pak Raharjo. Sudah, ini semua salah," gumamku. "Aku memang yang membuat semua ini terjadi karena terlalu mabuk, tapi kita harus hentikan secepatnya."
Pria tua itu tidak menjawab. Ia justru menempelkan kemaluannya yang besar di belahan pantatku, lalu menggesek-gesekkannya di sana. Perutnya yang buncit kembali menempel di punggungku yang halus. Dalam hati, aku cukup kagum mengetahui betapa cepatnya Pak Raharjo kembali bangkit birahinya. Padahal, baru beberapa menit yang lalu kami menjemput orgasme bersama-sama.
Aku hanya bisa terdiam merasakan sentuhan demi sentuhan yang diberikan pria tua tersebut. Tubuhku menggelinjang saat lidahnya mulai menyusuri telingaku yang begitu sensitif, hingga liurnya turut menempel di situ. Puting payudaraku ia mainkan dengan begitu lihai, terkadang diusap, diputar, dipilin, hingga dicubit mesra.
"Akui saja kalau kamu juga menginginkan ini, Amanda," bisiknya lagi.
"Tapi ini salah, Pak. Kita tidak seharusnya begini, saya sudah mempunyai pac ..." belum sempat aku menyelesaikan kata-kata, pria tua itu sudah menutup bibirku dengan kecupannya.
Posisiku masih tetap membelakangi Pak Raharjo, dan ia mencumbuku dari belakang. Tangannya memeluk tubuhku dan berusaha menaikkan gairahku kembali. Menurutku, posisi ini benar-benar membuat keindahan tubuhku terekspos jelas di hadapannya. Seorang pria tua berperut buncit sedang merengkuh tubuh perempuan muda yang masih begitu segar, berkulit putih dan halus, dengan payudara yang tengah membusung. Pikiran tentang hal itu sejujurnya membuat birahiku seperti ingin langsung meledak.
"Nikmati saja apa yang akan aku berikan padamu, silakan bandingkan mana yang lebih membuat kamu puas. Aku atau pacarmu," ujar Pak Raharjo.
Aku merasa begitu jijik mendengarnya. Namun begitu ia mengusap telunjuknya di bibir vaginaku, aku tidak bisa membantah bahwa aku memang tengah merindukan kepuasan birahi.
"Seharusnya hubungan kita hanya sebatas penulis dan editor, kita tidak boleh sejauh ini. Bagaimana kalau pimpinan saya tahu, atau orang lain ..."
"Kamu tidak perlu khawatir, tidak akan ada yang berubah di antara kita. Bedanya, pekerjaan kita akan lebih menarik dan menyenangkan dengan ini," Pak Raharjo langsung memberondong leherku yang terbuka dengan kecupan demi kecupan.
Ia tampak sudah tak tahan, dan mendorongku agar menghadap ke jendela kamar yang memang memanjang dari lantai hingga ke langit-langit kamar. Posisi kamar kami berada di lantai yang cukup tinggi, membuat kami merasa aman bermain gila di depan jendela seperti itu.
Pak Raharjo mendorong kepalaku ke depan, memintaku untuk sedikit menungging, hingga pantatku yang indah terangkat tepat di hadapannya. Awalnya ia hanya mengelus-elus bokongku tersebut, tetapi kemudian ia lanjutkan dengan meremasnya. Kini, ia bahkan langsung menyentuhkan kemaluannya yang sudah berdiri tegak di bagian belakang selangkanganku itu.
"Jangan, Pak. Aku gak mau dimasukin kalau Bapak gak pakai kondom," ujarku.
"Tenang saja, nanti kalau mau keluar aku lepas. Aku cuma bawa satu kondom soalnya. Mana aku tahu akan bermain lebih dari satu ronde dengan editor cantik dan alim seperti kamu, Amanda," ujar Pak Raharjo sambil terkekeh.
"Ahhhhhhhhhhh," tubuhku sedikit bergetar saat merasakan ujung penis Pak Raharjo mulai menyundul-nyundul bibir vaginaku dari belakang.
Tanganku langsung berpegangan erat dengan besi rangka jendela di hadapanku, berusaha menahan birahi yang berulang kali dipancing keluar oleh pria tua di belakangku. Pinggulku semakin menekuk, seperti menantang Pak Raharjo untuk segera melancarkan serangannya.
Liang senggamaku yang sudah kembali lembab kini mulai berkedut-kedut mencari pelampiasan. Namun sayangnya, Pak Raharjo tak kunjung memasukkan kemaluannya ke selangkanganku. Hal tersebut membuat birahiku meninggi bukan kepalang.
"Pak Raharjo ..."
"Hahaa, kenapa sayang?"
Kurang ajar sekali memang pria tua tersebut memanggilku dengan sebutan sayang. Sepertinya ia sudah paham betapa aku kembali merindukan kepuasan yang telah ia berikan sebelumnya.
"Cepetan ..."
"Cepetan apa?"
"Ituuu ..."
"Itu apa? Hee ..."
"Masukin itunya ... Cepetaaannn."
"Yang ini maksudnya?" Ia justru kembali menyentuh-nyentuh bibir kemaluanku dengan ujung penisnya, tetapi tidak kunjung memasukkannya ke dalam. Aku menjadi sangat tidak sabar dengan godaan tersebut.
"Iya yang ituuuuuu ..."
Aku bisa merasakan tangan Pak Raharjo kini membelai-belai puting payudaraku yang menggantung indah. Ia seperti ingin melepaskan gairah terpendam yang selama ini aku simpan dalam-dalam, tidak hanya menuntaskan birahinya begitu saja.
"Kalau kamu pengin ini, bilang donk baik-baik. Atau kamu jemput sendiri saja kenikmatan ini kalau kamu memang menginginkannya."
"Ahhh, Pak Raharjooooo ... Aku gak tahaaaaannn."
Aku yang sudah begitu gemas mendengar kata-katanya, akhirnya menyerah. Aku memundurkan pinggulku, membuat penisnya tak bisa bergerak ke mana-mana lagi, selain masuk ke dalam vaginaku yang sempit. Awalnya hanya ujung kepalanya, tapi aku tidak merasa cukup sampai di situ. Aku terus mendorong ke belakang, merasakan batangnya yang besar menggesek-gesek dinding vaginaku. Rasanya sangat nikmat. Aku pun terus mendorong ke belakang, hingga ujung penisnya menyentuh bagian terdalam dari vaginaku.
"Nahh, gitu donk. Enak kan, Amanda?"
Darahku berdesir setiap kali Pak Raharjo menyebut namaku. Ia seperti ingin menegaskan bahwa aku telah benar-benar takluk pada jebakan birahi yang ia lancarkan. Saat aku menarik tubuhku ke depan, ia sama sekali tidak bergerak. Karena takut batang besar itu lepas dari kemaluanku, aku pun terpaksa memundurkan kembali pinggulku. Tubuhku kini maju mundur di depan penisnya yang besar.
Harus aku akui, dibandingkan dengan menerima tusukan-tusukan kemaluan Pak Raharjo begitu saja, menjemput sendiri kepuasan seperti yang aku lakukan saat ini terasa begitu menggairahkan. Sungguh pemandangan yang erotis pastinya, seorang perempuan muda alim sepertiku maju mundur di hadapan pria tua buncit yang hanya diam melihat kebinalanku tepat di hadapannya.
"Ahhhhhh ... Aaahhhhhhh ... Aaaaaahhhhhhhhhh," terdengar suaraku yang mengerang binal, setiap kali kepala penis Pak Raharjo menyentuh ujung kemaluanku.
Pria tua tersebut mulai tak sabar. Ia kini ikut menggerakkan pinggulnya maju mundur, seirama dengan gerakan tubuhku. Sesekali, ia menampar bongkahan pantatku dengan tangan. Anehnya, bukannya membuatku kesakitan, aku malah menjadi lebih bergairah dibuatnya. Bila tidak segera berhenti, aku mungkin akan menjemput kenikmatan orgasme sekali lagi.
"Enak ya, Amanda, ngentot sama bapak-bapak sambil nungging kayak gini?"
Aku hanya bisa mengangguk. Harga diriku seperti sudah tidak ada artinya di hadapan pria tua tersebut. Ia bahkan berani menjilat punggungku dengan lidahnya, dari bawah hingga atas, membuat keringatku yang kembali mengucur tersapu bersih.
"Jawab donk," ujarnya lagi sambil kembali menekan kemaluannya sedalam mungkin.
"Ahhhh, iya enak rasanya bersetubuh dengan Pak Raharjo sambil nungging gini," ujarku terpaksa.
Pria tua tersebut tiba-tiba mencabut penisnya, dan memintaku untuk berdiri. Ia kemudian memeluk tubuh indahku, dan mengangkatnya ke atas. Secara reflek, aku langsung mengalungkan tangan di lehernya. Tak kusangka, Pak Raharjo ternyata masih kuat juga menggendong tubuhku.
Tangannya kini menyangga pantatku dari bawah, dengan kemaluannya tepat menempel di depan liang senggamaku. Agar aku tidak mudah terjatuh, ia bergerak maju hingga punggungku kini menempel di kaca jendela.
Ia mendekatkan bibirnya ke wajahku, yang langsung aku sambut dengan kecupan mesra. Aku sudah tidak malu-malu lagi melepaskan birahiku. Aku tak peduli lagi dengan apa yang akan dikatakan orang atas hubungan kami berdua. Aku hanya ingin segera dipuaskan.
"Apa kamu pernah membayangkan akan bermain gila denganku saat kita bertemu, Amanda?" Tanyanya di sela-sela percumbuan kami berdua.
Aku pun menggeleng. Walau itu sebenarnya sebuah dusta, karena jujur ada sedikit ide gila di dalam hatiku membayangkan hubungan dengan pria tua ini. Meski saat itu, semuanya hanya merupakan imajinasi semata.
"Kalau aku, sudah membayangkan bahwa ini akan terjadi saat kita pertama bertemu. Aku sudah jatuh hati pada parasmu yang cantik, tubuhmu yang indah, dan buah dadamu yang begitu besar ini," ujarnya sambil mengecup belahan dadaku yang terbuka.
Dipuji seperti itu, aku hanya bisa terdiam dan menikmati rangsangan yang aku terima. Dalam hati, aku merasa bangga bisa menarik hati seorang pria seperti Pak Raharjo. Namun di sisi lain, ada perasaan bersalah karena aku pasti menyakiti perasaan Jodi apabila ia tahu apa yang aku lakukan saat ini.
Penis Pak Raharjo kini sudah kembali menggesek-gesek bibir kemaluanku, dan siap untuk merangsek masuk. Payudaraku yang menempel di dadanya menambah gejolak gairah di tubuhku. Putingku jadi begitu gatal. Aku pun kembali mengecup bibirnya.
"Hmmmpphh, Pak. Nikmat sekali tubuhmu, ahhhhhhhh ..." ujarku di sela-sela kuluman bibir kamu.
"Aku masukin lagi ya, Amanda?" Tanyanya lagi.
Aku mengangguk, meski sebenarnya pertanyaan itu tidak perlu jawaban sama sekali. Perempuan mana yang bisa menolak apabila sudah berada di posisi sepertiku ini.
"Ahhhhhhhhhhhh ..." Aku menjerit saat penis Pak Raharjo masuk begitu dalam di rongga vaginaku.
"Duhhh, jepitan vagina editor berjilbab memang beda dari yang lain, ahhhh. Jepit yang kencang, Amanda, buat aku melayang."
"Ahhhhhhhh ...."
Pinggulku kini mulai bergoyang pelan di atas gendongannya, berusaha menyambut penis besar Pak Raharjo yang maju mundur di hadapanku. Kejantanannya terasa begitu keras, mendorong setiap inci rongga di luang senggamaku. Ujung batang kemaluannya seperti menyentuh ujung rahimku yang belum pernah tersentuh oleh apapun sebelumnya.
"Kamu manis sekali, Amanda. Apalagi kalau lagi ngentot begini, muka kamu binal banget, ahhhh ..."
"Ahhhhhhhhh ..."
Wajahku memang sudah tidak karuan. Aku sudah tidak peduli untuk menjaga imej, karena yang aku pikirkan saat ini adalah bagaimana caranya merengguk kenikmatan secepat mungkin dari Pak Raharjo. Desahan demi desahan terus saja keluar dari bibirku. Namun aku harus berhati-hati, karena pria tua tersebut tidak menggunakan kondom. Jangan sampai dia menyemprotkan sperma di kemaluanku dan membuatku hamil.
Beberapa menit kemudian, aku sudah tidak bisa menahan diri. Kombinasi batang penis besar yang menggesek-gesek vaginaku, dilengkapi dengan kecupan dan kuluman bibir Pak Raharjo di bibirku, membuat gairahku menjadi tak tertahan.
"Aku sampai Pak, ahhhhhhhhhh ..." Kupeluk tubuh Pak Raharjo dengan kuat, sembari menikmati gelombang orgasme yang melanda tubuhku dengan hebat.
Begitu kuatnya orgasme yang aku rasakan, secara otomatis vaginaku juga memperkuat jepitannya. Hal ini sepertinya dirasakan juga oleh Pak Raharjo, yang mulai kehilangan irama saat menggenjot penisnya di kemaluanku.
"Aku juga mau keluar, Amanda ..." kulihat Pak Raharjo tampak memejamkan mata, berusaha bertahan agar bisa lebih lama menggenjot vaginaku dengan kecepatan tinggi. Tapi lama kelamaan, meski dengan pengalaman yang ia punya, pria tua tersebut sepertinya tidak mampu menahan syahwatnya lebih lama lagi.
Pak Raharjo kemudian bergerak ke arah ranjang, dan merebahkan tubuhku di atasnya. Penisnya sempat keluar dari vaginaku. Namun dengan cepat, ia kembali menindih tubuhku yang polos tanpa busana, dan kembali memasukkan batang kemaluannya yang besar.
"Semua hal tentang kamu benar-benar membuatku bergairah, Amanda. Kecerdasan, kecantikan, hingga gemulainya tubuhmu di atas ranjang. Ngggghhhhhh ..."
Mendengar itu, aku menjadi kembali bergairah. Otot vagina dan otot lain di tubuhku menjadi begitu tegang. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, berusaha bertahan dari gejolak birahi yang semakin tidak tertahan.
Pak Raharjo masih terus menggenjot vaginaku dengan kecepatan tinggi, tak memberikan kesempatan sedikitpun kepadaku untuk menurunkan level syahwat yang aku rasakan.
"Ahhhh, Pak Raharjooo, ahhhhhh ..." Desahku binal, sambil menikmati orgasme yang kembali melanda tubuhku.
"Ahhhh, Amanda .... editorku yang binal, ahhhhhhhh."
Pria tua tersebut menarik penisnya dari dalam kemaluanku dan langsung menduduki tubuhku. Ia mulai menggesek-gesekkan kemaluan besarnya yang sudah begitu tegang di sela-sela buah dadaku yang juga mengacung tegak.
"Jepit kontolku dengan toketmu, Amanda, ahhh ..."
Aku yang belum pernah melakukan hal tersebut seperti bingung apa yang harus aku lakukan. Namun Pak Raharjo kemudian menarik kedua tanganku, dan mengarahkannya untuk meremas payudaraku sendiri, yang kini telah menjepit penis pria tua tersebut di tengahnya.
"Begini caranya editorku yang cantik, ahhhhh ..."
Beberapa menit kemudian, aku bisa merasakan tubuh Pak Raharjo menghangat. Hal tersebut pun diikuti dengan ototnya yang menegang, dan matanya yang terpejam. Tak lama setelah itu, ujung penis Pak Raharjo langsung menyemprotkan sperma dalam jumlah yang banyak, dengan beberapa kali gelombang. Payudaraku yang putih dan mulus tersebut kini dipenuhi oleh cairan cinta yang begitu lengket dengan bau yang khas.
Aku tahu bahwa aku harus segera membersihkannya, tetapi badanku terasa begitu lemas untuk digerakkan. Untungnya, Pak Raharjo langsung memberikan sebungkus tissue yang bisa aku gunakan untuk membersihkan bekas-bekas persenggamaan kami, entah di mana dia mengambilnya. Aku tak peduli ke mana aku harus membuang tissue yang aku gunakan, dan langsung melemparnya ke lantai. Pak Raharjo pun seperti malas bergerak, dan malah menarik tubuh telanjangku ke dalam pelukannya.
Kami kembali berciuman mesra, dengan kulit kami saling menempel satu sama lain. Hal terakhir yang aku ingat malam itu adalah aroma kelaki-lakian Pak Raharjo yang seperti hinggap di sekujur tubuhku, dan tak mau lepas.