fathimah
Semprot Addict
Part 24: Kehilangan
Ada perasaan yang bercampur aduk dengan kembalinya aku ke Jakarta. Di satu sisi, aku senang karena bisa kembali ke rumahku yang nyaman. Tapi di sisi lain, ada perasaan tidak ingin terbangun dari "mimpi indah" yang aku rasakan saat berada di Jogja dengan Amanda.
"But life must goes on," gumamku.
Urusan pekerjaan pun telah aku selesaikan. Revisi novel yang kubuat telah kukirim lewat email kepada Amanda. Namun hingga saat ini, belum ada balasan apa pun dari editorku tersebut. Bahkan balasan bahwa dia sudah menerima revisi tersebut pun tidak.
Itu memang hal yang bagus, karena artinya belum ada masalah berarti dari naskahku. Karena apabila ada masalah, editor muda tersebut pasti sudah kembali marah-marah di hadapanku. Namun di sisi lain, ada perasaan rindu untuk kembali berjumpa dengan dia, mendengar suara lembutnya, dan menyentuh kulit halusnya.
Aku sudah beberapa kali mengirim pesan lewat WhatsApp kepada Amanda, mulai dari hanya berbicara soal pekerjaan, hingga terang-terangan minta maaf atas apa yang telah terjadi antara kami berdua. Namun tidak ada satu pun yang dibalasnya. Sambungan teleponku pun tak pernah terhubung dengannya.
Suatu hari aku coba menelpon Budi, temanku yang juga merupakan atasan Amanda. Dia mengatakan bahwa tidak ada masalah apa-apa dengan Amanda. Setiap hari editor tersebut selalu masuk ke kantor dan terus mengabarkan perkembangan naskah novel terbaruku. Ia bahkan mengira bahwa aku dan Amanda masih terus berkomunikasi dengan intens.
"Oh, iya kok. Kami memang masih saling berkomunikasi. Hanya saja aku ingin mendengar perkembangannya secara langsung dari kamu, Bud," ujarku berbohong.
"Kamu tidak percaya dengan Amanda? Apakah pekerjaannya kurang oke?"
"Ohh, tidak. Bukan begitu, Bud," hal terakhir yang aku inginkan adalah membuat karier Amanda berantakan karena ulahku. Apabila itu terjadi, perempuan tersebut pasti tidak akan pernah memaafkan aku seumur hidupnya. "Aku hanya berpikir mungkin kau punya pandangan berbeda tentang naskahku, karena biasanya kan kamu yang mengedit novelku."
"Sejauh ini sih tidak ada. Pekerjaan Amanda memang selalu bagus, aku harap kamu juga puas dengan pekerjaan dia."
"Iya, aku puas kok," apalagi dengan pelayanan dia di ranjang, hee, gumamku dalam hati. "Sudah ada rencana kapan novelku akan terbit?"
"Kami rencanakan bulan depan. Aku sudha berkoordinasi dengan pihak percetakan, dan mereka telah menyanggupi."
"Oke, semoga semuanya berjalan lancar ya."
"Aku juga berharap begitu, Raharjo. Sudah lama kamu tidak merilis novel baru, semoga saja para pembaca tidak lupa dengan karya-karyamu."
"Sialan kamu, Budi. Tentu saja belum ..."
"Siapa tahu? Kamu kan tidak pernah berkomunikasi dengan mereka. Punya akun Instagram saja tidak," ujarnya.
Aku memang masih malas membuat akun sosial media khusus untuk berkomunikasi dengan para pembaca karya-karyaku. Aku bukannya tidak mau, tetapi hanya merasa bingung apa yang harus aku tampilkan di sana. Memasang foto selfie, jelas bukan merupakan pilihan. Berbincang tentang novel yang sudah aku terbitkan puluhan tahun lalu pun bukan aktivitas yang aku minati. Yang ada, akun media sosial tersebut nantinya akan kosong dan dipenuhi sarang laba-laba.
"Sepertinya aku memang harus banyak mengobrol dengan anak-anak muda, untuk mendapatkan inspirasi bagaimana cara membangun komunitas pembaca di era seperti sekarang," gumamku dalam hati.
"Ada pertanyaan lain, Raharjo?" Tanya Budi yang ternyata masih terhubung di sambungan telepon denganku.
"Tidak, sudah itu saja, Bud. Sampai jumpa lagi ya."
"Sampai jumpa. Jangan ragu untuk menghubungiku kembali kalau kau ada pertanyaan tambahan."
***
Malam itu, seperti biasa aku sedang bersantai di rumah sambil menonton tayangan televisi dan meminuk sekaleng bir. Karena merasa gerah, aku hanya mengenakan celana pendek, tanpa atasan sama sekali. Dengan begitu, bagian atas tubuhku yang buncit ini terbuka bebas.
Merasa iseng, aku coba menelepon seorang perempuan yang aku kenal.
"Selamat malam, Astari. Sedang sibuk?"
"Tidak, kalau Om?"
"Biasa, sedang bersantai saja di rumah, sambil minum bir, hee."
"Sudah selesai urusan novel terbarunya."
"Sudah, rencananya akan terbit bulan depan. Kamu beli ya?"
"Oh, harus beli neh. Gak dikasih gratis?"
"Aku kasih gratis kalau kamu mau mampir ke rumah. Bagaimana?"
"Haa, bercanda kok Om. Pasti aku beli. Siapa sih yang tidak sabar ingin membaca kembali karya seorang Raharjo."
"Hmm, memangnya orang-orang sudah menunggu karya-karyaku ya?"
"Mengapa Om bicara seperti itu?"
"Tadi aku baru ngobrol dengan pihak penerbit. Mereka memberikan kritik karena aku sama sekali tidak aktif berkomunikasi dengan para pembacaku di media sosial seperti Instagram," ujarku. "Paling mentok, hanya share quote-quote aja di twit**ter. Itu pun jarang sekali aku balas komentar mereka kalau tidak penting sekali."
"Jadi, komentarku adalah sesuatu yang penting? Makanya Om hubungi aku lewat twit**ter waktu itu?"
Sial, logika berpikir perempuan muda ini memang tidak bisa diremehkan.
"Hmm, bagaimana ya? Sepertinya kamu sudah tahu jawabannya."
Astari hanya tertawa di ujung sambungan telepon.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku."
"Pertanyaan yang mana Om?"
"Apakah aku harus aktif berkomunikasi dengan pembaca di media sosial? Dan kalau iya, caranya bagaimana?"
"Hmm, menurutku itu adalah sesuatu yang bagus. Namun jangan sampai itu membuat Om berubah dari gaya yang sekarang. Karena sejujurnya, nama Om bisa bertahan selama ini sebagai penulis populer, ya karena persona seperti itu menurutku," aku pun berusaha memahami apa yang disampaikan perempuan muda itu.
"Memang menurut kamu, persona aku seperti apa?"
"Jujur, lugas, puitis, tetapi sedikit misterius."
Aku tersenyum mendengar kata-katanya. "Kamu sudah mengerti benar diriku, ya?"
"Bukan tanpa alasan aku mengikuti perjalanan Om sejak lama, hee."
"Lalu contoh menerapkan persona itu di media sosial seperti apa?"
"Kalau menurutku, Om bisa mulai dengan berbagi kata-kata indah lewat Instagram Stories atau Instagram Posts. Memberikan update tentang pembuatan novel terbaru, serta perkembangan penjualannya. Kalau pun harus mengunggah foto, jangan sampai terlalu jauh dari persona yang dibuat."
"Contohnya jangan terlalu jauh dari persona?"
"Om sepertinya tidak cocok kalau ikut-ikutan joget ala TikTok kemudian diupload di Instagram, pasti jadi aneh, hee."
"Betul juga katamu, hahaa ... Pasti aneh memang."
"Ada baiknya kalau Om membuat tim untuk khusus mengurus soal itu. Sehingga Om hanya tahu beres akan dibuat seperti apa media sosial yang nanti akan Om kelola. Om tinggal merekrut orang, lalu menetapkan target yang harus dicapai. Biarkan saja mereka melakukan apa pun demi mencapai target tersebut, selama tidak melewati batas-batas yang Om tetapkan sebelumnya."
Astari sepertinya memang sudah paham betul tentang bagaimana menjadi sukses di era media sosial seperti sekarang. Berbeda denganku yang masih sering melihat kehidupan dari kaca mata orang jaman dulu.
Karena tidak ada bahasan, kami berdua sama-sama terdiam. Hingga akhirnya aku memecah keheningan.
"Tapi, aku serius lo Astari, waktu mengatakan bahwa kamu bisa dapat novel gratis kalau nanti datang ke rumah. Tapi harus nunggu novelnya selesai dicetak dulu sih, karena sekarang belum ada."
"Tidak perlu, Om."
"Tidak perlu apa?"
"Tidak perlu menunggu sampai novelnya selesai dicetak."
"Maksudnya?"
"Aku ingin ke rumah Om besok. Boleh?"
Aku kembali tersenyum. "Dengan senang hati, Astari."