Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Bimabet
Part 24: Kehilangan

Ada perasaan yang bercampur aduk dengan kembalinya aku ke Jakarta. Di satu sisi, aku senang karena bisa kembali ke rumahku yang nyaman. Tapi di sisi lain, ada perasaan tidak ingin terbangun dari "mimpi indah" yang aku rasakan saat berada di Jogja dengan Amanda.

"But life must goes on," gumamku.

Urusan pekerjaan pun telah aku selesaikan. Revisi novel yang kubuat telah kukirim lewat email kepada Amanda. Namun hingga saat ini, belum ada balasan apa pun dari editorku tersebut. Bahkan balasan bahwa dia sudah menerima revisi tersebut pun tidak.

Itu memang hal yang bagus, karena artinya belum ada masalah berarti dari naskahku. Karena apabila ada masalah, editor muda tersebut pasti sudah kembali marah-marah di hadapanku. Namun di sisi lain, ada perasaan rindu untuk kembali berjumpa dengan dia, mendengar suara lembutnya, dan menyentuh kulit halusnya.

Aku sudah beberapa kali mengirim pesan lewat WhatsApp kepada Amanda, mulai dari hanya berbicara soal pekerjaan, hingga terang-terangan minta maaf atas apa yang telah terjadi antara kami berdua. Namun tidak ada satu pun yang dibalasnya. Sambungan teleponku pun tak pernah terhubung dengannya.

Suatu hari aku coba menelpon Budi, temanku yang juga merupakan atasan Amanda. Dia mengatakan bahwa tidak ada masalah apa-apa dengan Amanda. Setiap hari editor tersebut selalu masuk ke kantor dan terus mengabarkan perkembangan naskah novel terbaruku. Ia bahkan mengira bahwa aku dan Amanda masih terus berkomunikasi dengan intens.

"Oh, iya kok. Kami memang masih saling berkomunikasi. Hanya saja aku ingin mendengar perkembangannya secara langsung dari kamu, Bud," ujarku berbohong.

"Kamu tidak percaya dengan Amanda? Apakah pekerjaannya kurang oke?"

"Ohh, tidak. Bukan begitu, Bud," hal terakhir yang aku inginkan adalah membuat karier Amanda berantakan karena ulahku. Apabila itu terjadi, perempuan tersebut pasti tidak akan pernah memaafkan aku seumur hidupnya. "Aku hanya berpikir mungkin kau punya pandangan berbeda tentang naskahku, karena biasanya kan kamu yang mengedit novelku."

"Sejauh ini sih tidak ada. Pekerjaan Amanda memang selalu bagus, aku harap kamu juga puas dengan pekerjaan dia."

"Iya, aku puas kok," apalagi dengan pelayanan dia di ranjang, hee, gumamku dalam hati. "Sudah ada rencana kapan novelku akan terbit?"

"Kami rencanakan bulan depan. Aku sudha berkoordinasi dengan pihak percetakan, dan mereka telah menyanggupi."

"Oke, semoga semuanya berjalan lancar ya."

"Aku juga berharap begitu, Raharjo. Sudah lama kamu tidak merilis novel baru, semoga saja para pembaca tidak lupa dengan karya-karyamu."

"Sialan kamu, Budi. Tentu saja belum ..."

"Siapa tahu? Kamu kan tidak pernah berkomunikasi dengan mereka. Punya akun Instagram saja tidak," ujarnya.

Aku memang masih malas membuat akun sosial media khusus untuk berkomunikasi dengan para pembaca karya-karyaku. Aku bukannya tidak mau, tetapi hanya merasa bingung apa yang harus aku tampilkan di sana. Memasang foto selfie, jelas bukan merupakan pilihan. Berbincang tentang novel yang sudah aku terbitkan puluhan tahun lalu pun bukan aktivitas yang aku minati. Yang ada, akun media sosial tersebut nantinya akan kosong dan dipenuhi sarang laba-laba.

"Sepertinya aku memang harus banyak mengobrol dengan anak-anak muda, untuk mendapatkan inspirasi bagaimana cara membangun komunitas pembaca di era seperti sekarang," gumamku dalam hati.

"Ada pertanyaan lain, Raharjo?" Tanya Budi yang ternyata masih terhubung di sambungan telepon denganku.

"Tidak, sudah itu saja, Bud. Sampai jumpa lagi ya."

"Sampai jumpa. Jangan ragu untuk menghubungiku kembali kalau kau ada pertanyaan tambahan."

***

Malam itu, seperti biasa aku sedang bersantai di rumah sambil menonton tayangan televisi dan meminuk sekaleng bir. Karena merasa gerah, aku hanya mengenakan celana pendek, tanpa atasan sama sekali. Dengan begitu, bagian atas tubuhku yang buncit ini terbuka bebas.

Merasa iseng, aku coba menelepon seorang perempuan yang aku kenal.

"Selamat malam, Astari. Sedang sibuk?"

"Tidak, kalau Om?"

"Biasa, sedang bersantai saja di rumah, sambil minum bir, hee."

"Sudah selesai urusan novel terbarunya."

"Sudah, rencananya akan terbit bulan depan. Kamu beli ya?"

"Oh, harus beli neh. Gak dikasih gratis?"

"Aku kasih gratis kalau kamu mau mampir ke rumah. Bagaimana?"

"Haa, bercanda kok Om. Pasti aku beli. Siapa sih yang tidak sabar ingin membaca kembali karya seorang Raharjo."

"Hmm, memangnya orang-orang sudah menunggu karya-karyaku ya?"

"Mengapa Om bicara seperti itu?"

"Tadi aku baru ngobrol dengan pihak penerbit. Mereka memberikan kritik karena aku sama sekali tidak aktif berkomunikasi dengan para pembacaku di media sosial seperti Instagram," ujarku. "Paling mentok, hanya share quote-quote aja di twit**ter. Itu pun jarang sekali aku balas komentar mereka kalau tidak penting sekali."

"Jadi, komentarku adalah sesuatu yang penting? Makanya Om hubungi aku lewat twit**ter waktu itu?"

Sial, logika berpikir perempuan muda ini memang tidak bisa diremehkan.

"Hmm, bagaimana ya? Sepertinya kamu sudah tahu jawabannya."

Astari hanya tertawa di ujung sambungan telepon.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku."

"Pertanyaan yang mana Om?"

"Apakah aku harus aktif berkomunikasi dengan pembaca di media sosial? Dan kalau iya, caranya bagaimana?"

"Hmm, menurutku itu adalah sesuatu yang bagus. Namun jangan sampai itu membuat Om berubah dari gaya yang sekarang. Karena sejujurnya, nama Om bisa bertahan selama ini sebagai penulis populer, ya karena persona seperti itu menurutku," aku pun berusaha memahami apa yang disampaikan perempuan muda itu.

"Memang menurut kamu, persona aku seperti apa?"

"Jujur, lugas, puitis, tetapi sedikit misterius."

Aku tersenyum mendengar kata-katanya. "Kamu sudah mengerti benar diriku, ya?"

"Bukan tanpa alasan aku mengikuti perjalanan Om sejak lama, hee."

"Lalu contoh menerapkan persona itu di media sosial seperti apa?"

"Kalau menurutku, Om bisa mulai dengan berbagi kata-kata indah lewat Instagram Stories atau Instagram Posts. Memberikan update tentang pembuatan novel terbaru, serta perkembangan penjualannya. Kalau pun harus mengunggah foto, jangan sampai terlalu jauh dari persona yang dibuat."

"Contohnya jangan terlalu jauh dari persona?"

"Om sepertinya tidak cocok kalau ikut-ikutan joget ala TikTok kemudian diupload di Instagram, pasti jadi aneh, hee."

"Betul juga katamu, hahaa ... Pasti aneh memang."

"Ada baiknya kalau Om membuat tim untuk khusus mengurus soal itu. Sehingga Om hanya tahu beres akan dibuat seperti apa media sosial yang nanti akan Om kelola. Om tinggal merekrut orang, lalu menetapkan target yang harus dicapai. Biarkan saja mereka melakukan apa pun demi mencapai target tersebut, selama tidak melewati batas-batas yang Om tetapkan sebelumnya."

Astari sepertinya memang sudah paham betul tentang bagaimana menjadi sukses di era media sosial seperti sekarang. Berbeda denganku yang masih sering melihat kehidupan dari kaca mata orang jaman dulu.

Karena tidak ada bahasan, kami berdua sama-sama terdiam. Hingga akhirnya aku memecah keheningan.

"Tapi, aku serius lo Astari, waktu mengatakan bahwa kamu bisa dapat novel gratis kalau nanti datang ke rumah. Tapi harus nunggu novelnya selesai dicetak dulu sih, karena sekarang belum ada."

"Tidak perlu, Om."

"Tidak perlu apa?"

"Tidak perlu menunggu sampai novelnya selesai dicetak."

"Maksudnya?"

"Aku ingin ke rumah Om besok. Boleh?"

Aku kembali tersenyum. "Dengan senang hati, Astari."
 
Part 25: Rahasia

Menumpang taksi online selama 45 menit dari kantor, aku pun kembali sampai di depan rumah ini, tempat aku melakukan wawancara dengan Pak Raharjo beberapa minggu lalu. Aku telah izin kepada atasanku untuk melanjutkan pekerjaan di rumah, sehingga tidak akan ada yang menggangguku sampai akhir hari nanti.

Rumah tersebut masih terlihat sama, lengkap dengan petugas keamanannya yang juga masih menyebalkan. Aku tak perlu menunggu lama, karena Pak Raharjo sendiri yang langsung keluar untuk menjemputku.

"Silakan masuk, Astari."

Setelah masuk ke dalam rumah, aku langsung duduk di sofa yang pernah aku tempati saat mengobrol dengan Pak Raharjo, di kali pertama aku datang ke rumah ini.

"Mau minum apa, Astari?"

"Apa saja Om."

Astari-6.jpg

Hari ini, pria tua tersebut mengenakan kemeja pantai yang sepertinya tidak dilengkapi dengan kaos dalam di baliknya. Sebagai bawahan, ia mengenakan celana jeans berwarna biru tua. Sedangkan aku mengenakan kaos lengan panjang berwarna abu-abu, lengkap dengan celana jeans biru yang warnanya jauh lebih muda dari yang dikenakan Pak Raharjo. Secarik kain hijab berwarna hijau tua pun menutup kepalaku dengan anggun.

Pak Raharjo meninggalkanku duduk sendirian di ruang tamu rumahnya untuk membuatkan minuman di dapur. Aku cukup heran mengapa dia tidak merekrut asisten rumah tangga saja untuk melakukan hal-hal seperti itu. Untungnya, tak lama kemudian ia kembali dan duduk di sofa yang sama dengan yang aku duduki. Kamu pun saling berhadapan sambil menyeruput minuman yang tersaji.

"Apa kabar, Astari?" Tanya Pak Raharjo memulai percakapan.

"Baik. Pak Raharjo bagaimana?" Ujarku menanggapi.

"Baik juga. Jadi, ada keperluan apa datang ke sini?"

"Oh, jadi kalau ke sini harus ada maksud tertentu? Apa aku pulang saja sekarang?"

"Eh, jangan," Pak Raharjo langsung menahanku. "Maksudku, tidak pernah ada perempuan yang datang ke sini tanpa maksud apa-apa."

"Memangnya, biasanya para perempuan ke sini untuk maksud apa?" Sepertinya ia mulai terjebak dengan permainanku. Jangankan Pak Raharjo, kakakku yang super pintar itu saja sering tak berkutik apabila berdebat denganku.

"Err, macam-macam. Ada yang melakukan wawancara seperti kamu kemarin, ada juga rekan kerja yang kebetulan datang, atau teman lama yang ingin berjumpa kembali."

Aku yakin tidak akan ada yang percaya dengan jawaban seperti itu. Tapi baiklah, untuk kali ini aku terima saja jawaban darurat yang dibuat Pak Raharjo itu.

"Jadi, ada alasan tertentu mengapa kamu mengunjungi pria tua ini?" Tanya Pak Raharjo lagi.

Aku tentu tidak bisa mengatakan alasanku yang sesungguhnya. "Aku hanya ingin memastikan Om baik-baik saja."

Aku teringat kejadian beberapa hari lalu, saat kakakku Amanda tiba-tiba pulang ke rumah dari Jogja. Aku begitu kaget, karena dia awalnya mengatakan kalau akan kembali beberapa hari kemudian. Alasannya sih karena pekerjaan telah selesai dan kangen rumah, tapi sebagai adiknya aku tahu betul kalau itu bukan karakter kakakku.

Amanda adalah sosok perempuan muda yang ambisius dalam karier. Apabila dia ingin mencapai sesuatu, maka dia akan mengorbankan segalanya, termasuk waktu bersama keluarganya. Aku pun mencurigai ada sesuatu yang terjadi antara kakakku dan Pak Raharjo, meski aku tidak tahu apa.

Itulah alasan mengapa aku kemudian mengirim pesan kepada Pak Raharjo beberapa hari lalu, berusaha mengorek siapa tahu pria tua itu akan menceritakan rahasianya kepadaku. Namun tentu saja cara tersebut gagal. Itulah mengapa aku senang sekali begitu dia menelponku secara langsung. Aku pun mencoba mencari informasi tambahan, tapi tidak mendapatkannya juga.

Karena itulah aku sekarang berada di sini, di rumah Pak Raharjo, untuk kembali mencari tahu apa yang terjadi antara dirinya dengan kakakku. Pikiran awalku adalah mungkin Pak Raharjo dan Kak Amanda berselisih paham karena satu hal, kemudian memutuskan untuk tidak melanjutkan aktivitas mereka di Jogja. Namun itu kan baru pendapatku, besar kemungkinannya untuk salah.

***

Aku menghabiskan waktu di rumah Pak Raharjo dengan mengobrol, bermain game di smartphone, dan menikmati udara sejak di bagian belakang rumahnya yang berbatasan dengan bungalow tempat ruang kerjanya berada. Karena sama-sama lapar, kami pun memesan makanan. Pak Raharjo membiarkanku memilih, karena itu aku memesan nasi gudeg kesukaanku, yang kebetulan ada cabangnya juga di dekat rumah Pak Raharjo.

Saat ini, kami tengah sama-sama menyantap makanan tersebut di meja makan.

"Enak gak, Om Raharjo?"

Namun jawaban yang kutunggu tidak kunjung datang. Kulirik Pak Raharjo, yang ternyata tengah memandang ke arah dinding rumahnya, meski tidak jelas apa yang sedang ia lihat. Matanya benar-benar kosong, menunjukkan bahwa pikiran beliau tengah melanglang buana entah ke mana.

"Om Raharjo?" Ujarku lagi. Namun ia juga tetap tidak memberikan respon.

"Om Raharjo?" Kini aku meninggikan suaraku.

"Ehh, iya ... Ada apa Astari?" Kali ini dia baru membalas.

"Aku tanya apakah makanannya enak?"

"Oh iya, enak kok. Enak banget, Om suka ini. Kamu pinter banget milih makanannya. Besok Om mau pesan makanan di tempat yang sama lagi deh."

"Om Raharjo kenapa bengong, ada yang sedang dipikirkan?"

"Oh, tidak ada kok. Om baik-baik saja, tidak sedang memikirkan apa-apa."

"Lalu mengapa tadi melamun?"

"Err ... Cuma sedang mengingat sesuatu yang belum sempat Om kerjakan. Biasa, urusan pekerjaan"

"Oh, aku boleh tahu apa itu?"

"Gak penting, cuma hal kecil. Kita lanjutkan makan lagi yuk, enak banget neh gudeg-nya."

Sebagai perempuan, aku tentu sangat peka akan apa yang sedang terjadi. Pak Raharjo tidak mungkin memikirkan hal kecil sampai melamun seperti itu. Ia pasti sedang memikirkan sesuatu yang besar akhir-akhir ini, sehingga menjadi tidak fokus seperti itu. Dan perasaanku mengatakan bahwa ini bukan urusan pekerjaan.

"Om sedang jatuh cinta dengan seseorang?"

Respon pertama Pak Raharjo akan pertanyaanku yang tiba-tiba tersebut adalah mendelikkan mata. Ia tampak terkejut mendengar aku berani menanyakan hal itu.

"Tidak kok, tidak. Mengapa kamu bertanya hal itu, ada-ada saja. Om tidak sedang suka sama siapa-siapa. Bener deh, Om gak bohong."

"Kalau begitu, biasa saja jawabnya, hee."

Ia tampak tidak bisa berkutik dengan kata-kataku, dan berusaha melanjutkan menyantap makanan di hadapannya.

"Daripada berputar-putar seperti itu, lebih baik sampaikan saja apa maksudmu, Astari," akhirnya Pak Raharjo menyerah.

"Aku hanya melihat Om sepertinya sedang menghadapi masalah, dan ..."

"Dan apa, Astari?"

"Dan Om bisa berbagi masalah itu denganku."

Pak Raharjo tampak terdiam. Ia sepertinya tidak lagi berselera makan, dan langsung meneguk air putih yang tersaji di atas meja makan. Ia kemudian berdiri dan berjalan ke arahku.

Aku hanya bisa melihat pria tua itu mendekatiku yang sedang duduk di kursi meja makan di dekatnya. Ia kemudian berdiri di sebelahku dan menyentuh daguku. Ia mengarahkan kepalaku agar menoleh ke arahnya. Mata kami berdua bertatapan. Tanpa ada suara, tanpa ada kata-kata, hanya sepasang mata yang bicara kepada sepasang mata lainnya.

Pak Raharjo menunduk hingga wajah kami kian dekat. Hidung kami akhirnya bertemu, membuatku tidak sanggup lagi membalas tatapan matanya, dan mulai terpejam. Tangannya kini telah membelai pipiku dengan lembut, sementara keningnya turut menempel di keningku.

Aku kemudian mendengar suara bisikan di telingaku, "Kamu tidak boleh mengetahui masalah ini, karena kamu pun tidak bisa menyelesaikannya, Cantik."

"Mengapa?" Balasku sambil tetap memejamkan mata.

"Karena ini bukan urusanmu."
 
Akankah astari kenaa pusaka raharjo?
Kits tunggu update selanjutnya :semangat:
 
Bakal 3some adik kakak?

ato mungkin gangbang sekalian ama maminya....lol
 
Part 25: Rahasia

Menumpang taksi online selama 45 menit dari kantor, aku pun kembali sampai di depan rumah ini, tempat aku melakukan wawancara dengan Pak Raharjo beberapa minggu lalu. Aku telah izin kepada atasanku untuk melanjutkan pekerjaan di rumah, sehingga tidak akan ada yang menggangguku sampai akhir hari nanti.

Rumah tersebut masih terlihat sama, lengkap dengan petugas keamanannya yang juga masih menyebalkan. Aku tak perlu menunggu lama, karena Pak Raharjo sendiri yang langsung keluar untuk menjemputku.

"Silakan masuk, Astari."

Setelah masuk ke dalam rumah, aku langsung duduk di sofa yang pernah aku tempati saat mengobrol dengan Pak Raharjo, di kali pertama aku datang ke rumah ini.

"Mau minum apa, Astari?"

"Apa saja Om."

Astari-6.jpg

Hari ini, pria tua tersebut mengenakan kemeja pantai yang sepertinya tidak dilengkapi dengan kaos dalam di baliknya. Sebagai bawahan, ia mengenakan celana jeans berwarna biru tua. Sedangkan aku mengenakan kaos lengan panjang berwarna abu-abu, lengkap dengan celana jeans biru yang warnanya jauh lebih muda dari yang dikenakan Pak Raharjo. Secarik kain hijab berwarna hijau tua pun menutup kepalaku dengan anggun.

Pak Raharjo meninggalkanku duduk sendirian di ruang tamu rumahnya untuk membuatkan minuman di dapur. Aku cukup heran mengapa dia tidak merekrut asisten rumah tangga saja untuk melakukan hal-hal seperti itu. Untungnya, tak lama kemudian ia kembali dan duduk di sofa yang sama dengan yang aku duduki. Kamu pun saling berhadapan sambil menyeruput minuman yang tersaji.

"Apa kabar, Astari?" Tanya Pak Raharjo memulai percakapan.

"Baik. Pak Raharjo bagaimana?" Ujarku menanggapi.

"Baik juga. Jadi, ada keperluan apa datang ke sini?"

"Oh, jadi kalau ke sini harus ada maksud tertentu? Apa aku pulang saja sekarang?"

"Eh, jangan," Pak Raharjo langsung menahanku. "Maksudku, tidak pernah ada perempuan yang datang ke sini tanpa maksud apa-apa."

"Memangnya, biasanya para perempuan ke sini untuk maksud apa?" Sepertinya ia mulai terjebak dengan permainanku. Jangankan Pak Raharjo, kakakku yang super pintar itu saja sering tak berkutik apabila berdebat denganku.

"Err, macam-macam. Ada yang melakukan wawancara seperti kamu kemarin, ada juga rekan kerja yang kebetulan datang, atau teman lama yang ingin berjumpa kembali."

Aku yakin tidak akan ada yang percaya dengan jawaban seperti itu. Tapi baiklah, untuk kali ini aku terima saja jawaban darurat yang dibuat Pak Raharjo itu.

"Jadi, ada alasan tertentu mengapa kamu mengunjungi pria tua ini?" Tanya Pak Raharjo lagi.

Aku tentu tidak bisa mengatakan alasanku yang sesungguhnya. "Aku hanya ingin memastikan Om baik-baik saja."

Aku teringat kejadian beberapa hari lalu, saat kakakku Amanda tiba-tiba pulang ke rumah dari Jogja. Aku begitu kaget, karena dia awalnya mengatakan kalau akan kembali beberapa hari kemudian. Alasannya sih karena pekerjaan telah selesai dan kangen rumah, tapi sebagai adiknya aku tahu betul kalau itu bukan karakter kakakku.

Amanda adalah sosok perempuan muda yang ambisius dalam karier. Apabila dia ingin mencapai sesuatu, maka dia akan mengorbankan segalanya, termasuk waktu bersama keluarganya. Aku pun mencurigai ada sesuatu yang terjadi antara kakakku dan Pak Raharjo, meski aku tidak tahu apa.

Itulah alasan mengapa aku kemudian mengirim pesan kepada Pak Raharjo beberapa hari lalu, berusaha mengorek siapa tahu pria tua itu akan menceritakan rahasianya kepadaku. Namun tentu saja cara tersebut gagal. Itulah mengapa aku senang sekali begitu dia menelponku secara langsung. Aku pun mencoba mencari informasi tambahan, tapi tidak mendapatkannya juga.

Karena itulah aku sekarang berada di sini, di rumah Pak Raharjo, untuk kembali mencari tahu apa yang terjadi antara dirinya dengan kakakku. Pikiran awalku adalah mungkin Pak Raharjo dan Kak Amanda berselisih paham karena satu hal, kemudian memutuskan untuk tidak melanjutkan aktivitas mereka di Jogja. Namun itu kan baru pendapatku, besar kemungkinannya untuk salah.

***

Aku menghabiskan waktu di rumah Pak Raharjo dengan mengobrol, bermain game di smartphone, dan menikmati udara sejak di bagian belakang rumahnya yang berbatasan dengan bungalow tempat ruang kerjanya berada. Karena sama-sama lapar, kami pun memesan makanan. Pak Raharjo membiarkanku memilih, karena itu aku memesan nasi gudeg kesukaanku, yang kebetulan ada cabangnya juga di dekat rumah Pak Raharjo.

Saat ini, kami tengah sama-sama menyantap makanan tersebut di meja makan.

"Enak gak, Om Raharjo?"

Namun jawaban yang kutunggu tidak kunjung datang. Kulirik Pak Raharjo, yang ternyata tengah memandang ke arah dinding rumahnya, meski tidak jelas apa yang sedang ia lihat. Matanya benar-benar kosong, menunjukkan bahwa pikiran beliau tengah melanglang buana entah ke mana.

"Om Raharjo?" Ujarku lagi. Namun ia juga tetap tidak memberikan respon.

"Om Raharjo?" Kini aku meninggikan suaraku.

"Ehh, iya ... Ada apa Astari?" Kali ini dia baru membalas.

"Aku tanya apakah makanannya enak?"

"Oh iya, enak kok. Enak banget, Om suka ini. Kamu pinter banget milih makanannya. Besok Om mau pesan makanan di tempat yang sama lagi deh."

"Om Raharjo kenapa bengong, ada yang sedang dipikirkan?"

"Oh, tidak ada kok. Om baik-baik saja, tidak sedang memikirkan apa-apa."

"Lalu mengapa tadi melamun?"

"Err ... Cuma sedang mengingat sesuatu yang belum sempat Om kerjakan. Biasa, urusan pekerjaan"

"Oh, aku boleh tahu apa itu?"

"Gak penting, cuma hal kecil. Kita lanjutkan makan lagi yuk, enak banget neh gudeg-nya."

Sebagai perempuan, aku tentu sangat peka akan apa yang sedang terjadi. Pak Raharjo tidak mungkin memikirkan hal kecil sampai melamun seperti itu. Ia pasti sedang memikirkan sesuatu yang besar akhir-akhir ini, sehingga menjadi tidak fokus seperti itu. Dan perasaanku mengatakan bahwa ini bukan urusan pekerjaan.

"Om sedang jatuh cinta dengan seseorang?"

Respon pertama Pak Raharjo akan pertanyaanku yang tiba-tiba tersebut adalah mendelikkan mata. Ia tampak terkejut mendengar aku berani menanyakan hal itu.

"Tidak kok, tidak. Mengapa kamu bertanya hal itu, ada-ada saja. Om tidak sedang suka sama siapa-siapa. Bener deh, Om gak bohong."

"Kalau begitu, biasa saja jawabnya, hee."

Ia tampak tidak bisa berkutik dengan kata-kataku, dan berusaha melanjutkan menyantap makanan di hadapannya.

"Daripada berputar-putar seperti itu, lebih baik sampaikan saja apa maksudmu, Astari," akhirnya Pak Raharjo menyerah.

"Aku hanya melihat Om sepertinya sedang menghadapi masalah, dan ..."

"Dan apa, Astari?"

"Dan Om bisa berbagi masalah itu denganku."

Pak Raharjo tampak terdiam. Ia sepertinya tidak lagi berselera makan, dan langsung meneguk air putih yang tersaji di atas meja makan. Ia kemudian berdiri dan berjalan ke arahku.

Aku hanya bisa melihat pria tua itu mendekatiku yang sedang duduk di kursi meja makan di dekatnya. Ia kemudian berdiri di sebelahku dan menyentuh daguku. Ia mengarahkan kepalaku agar menoleh ke arahnya. Mata kami berdua bertatapan. Tanpa ada suara, tanpa ada kata-kata, hanya sepasang mata yang bicara kepada sepasang mata lainnya.

Pak Raharjo menunduk hingga wajah kami kian dekat. Hidung kami akhirnya bertemu, membuatku tidak sanggup lagi membalas tatapan matanya, dan mulai terpejam. Tangannya kini telah membelai pipiku dengan lembut, sementara keningnya turut menempel di keningku.

Aku kemudian mendengar suara bisikan di telingaku, "Kamu tidak boleh mengetahui masalah ini, karena kamu pun tidak bisa menyelesaikannya, Cantik."

"Mengapa?" Balasku sambil tetap memejamkan mata.

"Karena ini bukan urusanmu."
Kentang suhu ngak di terusin ngeweknya
 
Seperti pak Raharjo bener2 jatuh cinta sama Amanda. Apa yg akan terjadi selanjutnya? Menarik ditunggu lanjutannya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd