Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Mantul ceritanya hu..., semakin penasaran pak raharjo dg astari atau dg amanda atau dg keduanya deh...p
 
YEAY! Ya ampun akhirnya update juga. Double, lagi.

Lega banget lihat pertemuan Astari di rumah pak Raharjo ngga diacuhkan begitu aja, tapi jadi dasar untuk langkah mereka selanjutnya. Mana Astarinya jadi pede banget buat ngajak Raharjo escape, lagi. Berasa jadi escape kedua setelah dia bersama Amanda di Jogja.

7 chapter lagi kan ya? Hmmm. Kira-kira apa malam itu bakal ada SS? Atau masih panjang? Apapun yang terjadi sih aku bakal ngikutin alur dari @fathimah aja hehe.

(Penasaran juga apakah akan ada ekse lagi dengan Amanda, tapi itu pertanyaan buat nanti 🤭)
 
Maaf deh kalau banyak kentangnya, tapi yang penting asalkan cepat diupdate gpp kali ya kentang dikit2, hee.

Part selanjutnya akan tayang hari ini atau besok
Asseekkkk.... Nongkrong ah... Gak sabaran nie hahahaa
 
Part 29: Perawan

"Jadi, kita mau ke mana neh?" Ujar pria tua di sampingku sambil terus fokus mengemudikan mobil menembus jalanan ibu kota yang cukup padat di malam minggu ini.

Aku sebenarnya masih belum mau memedulikan kata-katanya, karena sedang fokus membersihkan make up di wajahku, agar tidak terlihat berantakan setelah dihapus.

"Astari, mau ke mana ini kita?"

"Ihh, bawel banget deh," ujarku kesal.

"Ya habis, kamu gak ngasih tahu kita mau ke mana. Kan Om jadi bingung harus nyetir ke arah mana."

"Ya sudah, kita ke arah Barito saja. Om laper nggak?"

Pria tua itu hanya mengangguk.

"Yasudah, aku juga laper soalnya."

"Lah, kamu dari tadi di acara gak sempat makan?"

"Boro-boro. Malah sibuk senyum sana senyum sini. Gak sentuh makanan sama sekali jadinya," ujarku sambil mengelus-elus perutku yang mulai berbunyi, meminta untuk diisi.

"Baiklah kalau begitu."

***

Sekitar setengah jam kemudian, kami sampai di daerah Barito, di mana segala macam pedagang makanan berkumpul di sini. Itulah mengapa daerah ini pun menjadi salah satu tujuan utama para anak muda yang ingin memadu kasih, terutama di malam minggu seperti sekarang.

Apakah kami berdua juga sedang memadu kasih? Sekarang sih belum yah.

Pak Raharjo memarkir mobil di dekat pedagang nasi goreng, yang aromanya begitu sedap dihirup, membuatku menjadi semakin lapar.

"Aku kayaknya mau nasi goreng, Om mau juga?" Tanyaku.

"Boleh deh, pesenin yah. Yang pedes."

"Oke, kita makan di sana aja ya Om, biar mobilnya gak kotor," ujarku sambil menyambangi sang pedagang nasi goreng, masih dengan kebayaku yang berwarna merah muda. Pedagang tersebut pun tampak kaget dengan penampilanku. "Nasi gorengnya dua bang, satu pedas satu sedang."

Beberapa menit kemudian, nasi goreng telah tersaji, dan sang penjual langsung memberikannya padaku dan Pak Raharjo yang duduk tepat di sebelahku.

"Minumnya mau apa, Neng?" Tanya sang pedagang.

"Teh botol aja, Bang."

"Kalau Bapaknya?" Ia mungkin mengira aku dan Pak Raharjo adalah pasangan Bapak dan anak, karena usia kami yang terpaut jauh. Dan kalau Pak Raharjo langsung mempunyai anak setelah menikah, mungkin usianya memang tak jauh berbeda denganku.

"Samain aja Bang," ujarku sambil tersenyum ke arah Pak Raharjo, menyindir sapaan "Bapak" dari sang pedagang nasi goreng. Ia pun balik menatapku tajam, seperti ingin mengamuk.

Tak berapa lama kemudian, minuman yang kami pesan pun datang. Namun, kami masih tidak saling bicara, kombinasi antara menikmati makan malam super sederhana ini, dan bingung harus berkata apa. Gemas dengan kondisi itu, aku pun melepaskan "bom" yang sudah kusimpan selama beberapa hari ini.

"Jadi, ada hubungan apa Om dengan kakakku?"

"Uhukkk ... uhukkk ..." Pak Raharjo langsung tersedak mendengar pertanyaanku, dan langsung terbatuk-batuk. Aku pun mengambil minuman dan memberikan padanya, hingga Pak Raharjo kembali normal.

"Ya ampun, sampai keselek segala. Makanya pelan-pelan Om, makannya."

"Ini bukan karena makanannya, tapi karena pertanyaan kamu," ujarnya.

"Aku mengajukan pertanyaan yang tepat kan? Ada hubungan apa Om dengan Kak Amanda?"

Ia pun terdiam sejanak.

"Sudahlah, Astari. Jangan menanyakan hal itu. Kakakmu hari ini baru saja menikah dengan pacarnya, apa pantas kita membicarakan hal ini?"

"Ya, pantas saja. Memangnya ada yang melarang?"

"Bukan masalah ada yang melarang, tapi tidak ada gunanya kan? Kakak kamu sudah memilih menikah dengan pasangan hidupnya, dan pernikahan sudah terjadi. Perasaan Om kepadanya tentu tidak ada artinya."

"Kalau aku bilang aku harus tahu, bagaimana?" Tanyaku sambil menatap mata pria tua itu tajam.

Dalam hati, aku merasa sangat kesal akan tingkah Pak Raharjo. Apakah yang selama ini aku lakukan masih belum jelas di matanya? Apakah aku yang mengajak dia pergi untuk meninggalkan Kak Amanda bukan tanpa arti menurut dia? Apa aku harus mengatakan isi hati aku di depan matanya, baru dia mau mengerti?

Namun ia jelas lebih pintar dari itu. Seorang Raharjo yang sudah menulis banyak novel roman, tentu tahu apa arti kata-kataku barusan. Itulah mengapa ia kemudian terdiam.

Pak Raharjo tampak menghembuskan nafas panjang. "Baiklah ... kalau menurutmu kamu perlu tahu semuanya. Tapi ..."

"Tapi apa?"

"Tapi kamu harus janji bahwa apa yang aku ceritakan adalah sebuah rahasia yang tidak boleh kamu sampaikan pada siapa pun, bahkan ke keluarga kamu sendiri, oke?"

"Oke," ujarku.

Tanpa kusangka, jawabanku itu langsung membuka tabir akan kisah mengejutkan yang disampaikan Pak Raharjo, tentang apa yang terjadi antara dirinya dengan kakakku di Jogja waktu itu. Aku memang sudah mengira kejadiannya akan seperti itu. Namun, mendengarnya secara langsung dari mulut Pak Raharjo ternyata memberikan sensasi yang berbeda bagiku.

"Jadi, Om dan Kak Amanda sudah melakukan 'itu'?"

Pria tua itu mengangguk.

"Om cinta sama kakak aku?"

"Huftthh ... seperti yang Om bilang tadi, Astari. Apa pun perasaan Om saat ini, sudah tidak ada artinya kan? Karena kakakmu jelas-jelas sudah memilih Jodi."

Ada perasaan kesal, marah, tak terima ... apakah ini yang dinamakan orang dengan cemburu? Namun di saat yang sama aku pun mempertanyakan, apakah pantas aku mempunyai perasaan seperti itu kepada Pak Raharjo? Karena itu aku hanya bisa diam, mendengarkan cerita Pak Raharjo dari awal hingga akhir, sembari menghabiskan makananku tanpa selera.

"Astari ... Kamu gak apa-apa?" Tanya Pak Raharjo sambil menggoyang-goyang pundakku.

"Ehh ... Nggak apa-apa kok, Om," ujarku berusaha tampil tenang di hadapan pria tua tersebut. Apa sih sebenarnya yang terjadi dengan diriku.

"Kamu marah akan cerita Om tadi? Kan sudah Om bilang, tidak seharusnya kamu memaksa Om menceritakannya, tidak ada gunanya juga kan cerita tadi?"

"Aku gak marah kok, Om. Santai saja," ujarku sambil mengambil kunci mobil milik Pak Raharjo. "Sekarang gantian aku yang nyetir ya, jangan lupa itu nasi gorengnya dibayar, hee."

Dengan perasaan yang berkecamuk, aku pun meninggalkan Pak Raharjo menuju mobil.

***

Setelah sekitar 45 menit menyetir, aku dan Pak Raharjo akhirnya sampai di depan rumah yang berada di sebuah komplek mewah. Sepanjang perjalanan, kami tidak banyak bicara, karena aku hanya fokus memandang jalan di hadapanku.

Setelah mobil berhenti, aku pun terdiam di depan setir kemudi. Ada perasaan berat di dadaku yang selama perjalanan tadi tidak kunjung bisa hilang. Padahal aku sudah berusaha mengalihkannya dengan cara menyetir, berharap aktivitas itu bisa membuatku melupakan apa yang diceritakan Pak Raharjo sebelumnya. Bila tidak kutahan, sepertinya mataku akan segera mengucurkan air mata, yang aku tidak tahu apa sebabnya.

"Atau mungkin, aku cuma tidak ingin mengakui apa penyebabnya," pikirku dalam hati.

Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, lalu menutup mata erat-erat. Secara perlahan, aku berusaha mengatur nafasku yang kini kian menderu, agar kembali normal. Kuhirup udara di dalam mobil, lalu kulepaskan dengan kecepatan yang seimbang. Aku berani bertaruh, Pak Raharjo pasti sangat heran melihat tingkahku ini.

Setelah merasa tenang, aku membuka kedua tanganku pelan-pelan, lalu memandang ke arah Pak Raharjo. Dia hanya diam di kursi penumpang, tidak tersenyum, dan tidak tampak marah, benar-benar tanpa ekspresi.

"Mengapa kita ke sini, Astari?"

Aku pun tersenyum. "Kan mau mengantar Om pulang," ujarku asal.

Namun tak lama kemudian, pria tua itu sepertinya sudah bisa memahami kata-kataku. Ia menggerakkan tangan kanannya untuk mengelus kepalaku yang masih berbalut jilbab berwarna pink. Ia mengusapnya lembut, hingga diriku seperti terlena. Apalagi ketika usapan itu bergeser ke pipiku yang sudah bersih dari make up. Aku pun memejamkan mata demi bisa merasakan sensasi tersebut dengan lebih nikmat.

"Nghhh ..." Tanpa sengaja, aku mengeluarkan suara desahan yang begitu lirih, kuharap Pak Raharjo tidak mendengarnya. Namun entah mengapa pria tua tersebut tidak juga melepaskan sentuhannya dari tubuhku.

Bahkan, aku kemudian bisa merasakan hidungnya menyentuh pipiku, dan dia menggesek-gesekkannya di sana. Saat membuka mata, aku bisa melihat wajah Pak Raharjo yang sudah demikian dekat denganku. Dalam keremangan malam, di dalam mobil SUV milik Pak Raharjo tersebut, sang pria tua berusaha menempelkan bibirnya ke bibirku.

Awalnya hanya sentuhan singkat yang kemudian kembali terlepas. Namun entah setan mana yang merasukiku, godaan tersebut seperti terlalu mania untuk dilewatkan. Kami berdua sepertinya tengah menginginkan hal yang sama. Bibir kami akhirnya mulai menempel erat, hingga aku bisa merasakan lidah Pak Raharjo menjulur keluar, mengusap-usap bibirku seperti anjing yang minta dibukakan pintu untuk masuk ke dalam rumah tempat ia bisa bersarang dengan hangat.

"Ngghhh, Om Raharjo," Aku mulai tidak bisa menahan diri, dan balas mengelus-elus rambut pria tua tersebut yang sudah dipenuhi uban di sana sini.

Sang pria tua itu seperti mendapat angin surga, dan langsung menarik bagian belakang kepalaku yang masih berbalut jilbab ke arahnya, sehingga kecupan kami berdua pun kian lengket, hingga sulit untuk terlepas. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang sudah kian memburu, seperti kerbau yang sudah ingin dipuaskan oleh betinanya.

"Kita masuk ke dalam yuk, Astari."

Aku pun mengangguk.

***

Ini bukan kali pertama aku masuk ke rumah ini, tetapi kondisinya kini memang sangat berbeda. Aku berdiri di dekat sofa dan memandang lurus ke arah kolam renang yang berada di bagian belakang rumah. Hanya ada beberapa lampu yang menyala, membuat pencahayaan di sekitar tempatku berdiri sedikit temaram.

Posisi rumah Pak Raharjo yang berada di sebuah komplek perumahan elit, membuat tidak ada suara bising yang terdengar. Tidak ada bebauan asing yang tercium sama sekali, selain aroma alkohol dari mini bar yang ada di ruang utama rumah tersebut, yang bercampur dengan wangi pengharum ruangan yang secara otomatis menyemprot keluar dari waktu ke waktu.

Dengan tidak adanya gangguan sama sekali, aku bisa mendengar langkah kaki Pak Raharjo yang mendekatiku dari belakang. Semakin lama, suara tersebut semakin dekat, seiring semakin terciumnya parfum yang dikenakan oleh pria tua tersebut.

"Ahhh ..." desahku saat Pak Raharjo tiba-tiba memelukku dari belakang. Kedua tangannya berlabuh di bagian depan pinggangku, seperti ingin menutupi pusarku yang masih tertutup kain kebaya berwarna merah muda ini. Diperlakukan seperti itu, aku hanya terdiam, memejamkan mata, dan bersandar sepenuhnya ke tubuh pria tua itu.

Aku bisa merasakan dekapan erat dari Pak Raharjo yang baru kali ini aku rasakan. Sebelumnya, kami hanya saling bersentuhan tangan di ruang kerjanya, dan hal tersebut pun bahkan sudah berhasil membuatku panik. Entah apa yang aku rasakan terhadap pria tua yang tengah memelukku ini, tapi yang pasti kali ini aku tidak ingin berlari keluar dan tetap bertahan di sini.

Pak Raharjo mulai mencium leherku yang masih berbalut jilbab, dan tangannya mulai bergerilya ke arah payudaraku yang juga masih tertutup rapat. Namun hal tersebut sepertinya tidak bisa menahan gairahnya, terlebih karena bentuk kebaya yang aku kenakan memang sedikit ketat memperlihatkan bentuk tubuhku yang gemulai.

Ia kemudian berusaha mengecup bibirku kembali dari belakang, yang langsung aku sambut. Remasannya di payudaraku benar-benar membuatku melayang. Aku yang memang hampir tidak pernah berhubungan dengan pria, seperti ditunjukkan kenikmatan-kenikmatan yang luput aku rasakan di masa mudaku ini. Dan pak Raharjo berhasil menunjukkannya dengan cara yang lembut.

"Apa yang kamu rasakan saat ini, Astari?"

"Nghhh ... nikmat, Om."

"Apakah ini yang ingin kamu rasakan saat pertama kali mengirimkan pesan di twit**ter untukku?"

Sial, masih ingat saja dia dengan hal tersebut. Jawabannya tentu tidak, aku tidak sampai membayangkan akan melakukannya secara nyata dengan pria tua ini. Namun apakah aku akan menolak setelah diperlakukan seperti ini? Hatiku benar-benar gamang menentukan jawabannya.

Aku pun tidak membalas pertanyaannya dengan kata-kata, melainkan dengan lidahku yang mulai beradu dengan lidahnya yang hangat. Aku memang pernah berciuman dengan pria, tetapi hanya sekadar bibir bertemu bibir. French kiss hangat seperti ini sepertinya baru kali ini aku rasakan seumur hidupku.

Pak Raharjo kini membalik tubuhku agar menghadap ke arahnya. Namun bukan berarti tangannya berhenti bermain-main di tubuhku. Kini, ia malah bisa bebas berpetualang menyentuh setiap inci bokongku yang indah, di balik balutan baju kebaya yang masih lengkap aku kenakan. Sementara Pak Raharjo juga masih mengenakan jas dan kemeja pestanya.

"Harum sekali tubuhmu, Astari, hmmm ..." Aku bisa merasakan bagaimana pria tua itu menghirup nafas dalam-dalam, seperti ingin menghirup setiap partikel terkecil dari parfum yang aku gunakan untuk acara pesta pernikahan kakakku.

Payudaraku yang sebenarnya tidak terlalu besar ini pun menempel erat di dadanya. Meski masih terbungkus pakaian pesta, aku bisa membayangkan bahwa Pak Raharjo mempunyai dada yang nyaman untuk tempatku bersandar, meski perutnya terlihat buncit. Di bagian selangkangannya, aku juga bisa melihat bentuk yang aneh, yang tidak pernah aku lihat sebelumnya dari seorang lelaki. Benar-benar membuatku penasaran.

"Ahhh ... Ommmm .... Aaahhhhhh."

Desahan demi desahan terus keluar dari mulutku di sela-sela percumbuan kami di ruang tamu tersebut. Suasana yang sepi dan remang-remang, menambah kesan romantis dari aktivitas kami berdua. Pak Raharjo sepertinya mulai tidak sabar, yang terasa dari cumbuannya yang kian ganas dan liar di bibirku.

Tiba-tiba Pak Raharjo mengangkat tubuhku. Aku digendong menuju lantai atas rumah tersebut. Meski tubuhku memang tidak begitu berat, tetapi harus aku akui Pak Raharjo masih terasa gagah di usianya yang sudah tidak muda lagi tersebut.

Astari-9.jpg

Begitu masuk ke kamar tidur utama di rumah tersebut, Pak Raharjo langsung mendudukkanku di tepi ranjang. Aku langsung memandang ke sekeliling kamar tersebut yang benar-benar minim barang, khas kamar tidur seorang bujangan dan duda. Dengan lampu kamar yang tidak terlalu terang, kaca besar yang menghadap ke arah bagian belakang rumah, dan sebuah kamar mandi di sisi yang berhadapan dengan kaca tersebut.

Pak Raharjo kemudian berdiri dan mulai menanggalkan pakaiannya satu per satu, mulai dari jas, kemeja, dan celana panjangnya. Ia pun kini hanya mengenakan singlet berwarna putih dan celana dalam yang juga berwarna serupa. Sungguh penampilan yang sangat old school, meski mataku tidak bisa berpaling dengan ukuran benda di balik celana dalamnya yang tampak besar.

Aku pun mengikutinya dan mulai melucuti pakaianku sendiri. Kebayaku kini sudah tergeletak di lantai, hinggak aku kini tinggal mengenakan bra dan celana dalam. Aku kemudian melepas jilbabku yang berwarna merah muda, hingga membuat rambutku yang sebahu bisa terlihat jelas oleh pria tua tersebut. Ini adalah pertama kalinya aku menunjukkan tubuhku yang tanpa busana kepada pria asing.

Pak Raharjo tampak terpana melihat tubuhku, yang meski tidak semontok Kak Amanda, tetapi tetap terlihat indah dan segar khas perempuan muda. Ia pun menanggalkan singletnya, hingga aku bisa melihat jelas dadanya yang terbuka dan perutnya yang buncit, dengan pusar yang kehitaman. Pria tua tersebut kemudian berlutut di hadapanku yang tengah duduk di tepi ranjang.

Ia kemudian mengeluarkan lidah di hadapanku, yang anehnya langsung aku mengerti maksudnya. Aku pun mengikuti apa yang ia lakukan, hingga lidah kami berdua saling bertemu di luar mulut, di antara kedua bibir kami. Tangan kanan Pak Raharjo mulai menyentuh payudaraku yang masih tertutup bra, sedangkan tangan kirinya asyik membelai-belai rambutku yang tergerai bebas.

"Mari kita nikmati malam ini, Astari," bisikan Pak Raharjo di telingaku benar-benar membuatku terbuai, hingga aku tak berontak saat ia menidurkanku di atas ranjang, yang setahuku lebih sering ia tiduri sendirian.

Aku bisa memandang langit-langit kamar dan lampu berwarna putih yang menyinari ruangan tersebut, di balik tubuh Pak Raharjo yang kini mulai menindihku. Lidahnya kini sudah tidak menyapu bibirku lagi, melainkan beralih ke puting payudaraku. Dengan lihai, ia melepas kaitan bra yang aku kenakan dan melemparkannya ke lantai. Payudaraku yang mungil dan segar tersebut dikulumnya dengan lembut, seperti sedang menghisap-hisap permen gula favoritnya.

Birahiku pun naik diperlakukan seperti itu. Aku yang tidak pernah disentuh pria selama beberapa tahun terakhir, tentu langsung merasa terangsang menerima sentuhan dan hisapan seperti yang dilakukan Pak Raharjo. Aku pun berusaha bertahan dengan menjambak-jambak rambut Pak Raharjo. Namun hal itu sepertinya justru membuat pria tua itu makin bersemangat.

Aku hanya bisa memejamkan mata, menikmati jilatan demi jilatan yang diberikan Pak Raharjo. Namun aku benar-benar tidak bisa bertahan saat jemarinya mulai menarik celana dalamku ke bawah, dan mengusap-usap kemaluanku yang masih perawan itu dengan dua jarinya.

"Ahhh, hentikan Paaaakkk .... Stoooppp," ujarku lirih.

Pak Raharjo hanya mengendurkan usapannya di vaginaku, tapi tidak benar-benar berhenti. Ia menatap mataku yang mulai terbuka.

"Kamu masih perawan?" Tanyanya.

Aku mengangguk.

Ia kemudian mencium bibirku, dan memainkan lidahnya di dalam mulutku. Namun ia tetap tidak menghentikan usapannya di kemaluanku, yang makin lama justru semakin intens. Jemarinya memang hanya menyentuh-nyentuh bibir vaginaku, dan tidak masuk ke dalam. Namun hal itu sudah cukup untuk membuat perawan muda ini naik birahinya.

"Tapi kamu ingin?" Tanyanya lembut.

Aku menatap matanya dengan dalam tanpa menjawab apa-apa. Aku hanya bisa mengeluarkan desahan demi desahan yang makin lama makin kencang, seiring semakin cepatnya elusan jemari Pak Raharjo di kemaluanku.

"Ahhh ... Ahhh ... Ahhhhh ... Ahhhhhhhh .... Ahhhhhhhhhhhhh."

Pria tua tersebut kemudian melepaskan ciumannya dari bibirku, dan turun ke bawah, mendekatkan wajahnya ke selangkanganku.

"Nggghhh, apa yang Om mau lakukan?"

Aku tak menyangka Pak Raharjo kemudian mulai menjilat-jilat selangkanganku. Awalnya hanya di sekitar paha bagian atas dan pusar. Namun lama-lama menuju ke tengah, tempat liang vaginaku berada. Kemaluanku yang sudah mulai lembab itu pun mau tak mau langsung bereaksi saat merasakan kehangatan lidah Pak Raharjo yang sekaligus membuat geli.

"Ngggggghhhhh, ahhhhhhhhhhh ...." lenguhku sambil mendongakkan kepala ke atas, meresapi jilatan demi jilatan yang diberikan Pak Raharjo di kemaluanku. Tanganku mengenggam erat kepala pria tua tersebut, tetapi tenaganya tetap lebih kuat untuk terus melanjutkan jilatannya di bagian paling intim dari tubuhku tersebut.

"Nikmat sekali harum vaginamu, Astari," aku benar-benar tidak membayangkan akan mendengar kalimat seperti itu dari seorang pria tua yang usianya jauh di atasku.

Apalagi apabila aku mengingat bahwa pria tua tersebut adalah penulis terkenal yang baru saja menjadi narasumber untuk artikel yang aku buat. Bayangan bahwa dia akan menjadi orang pertama yang merenggut keperawananku sungguh sangat tidak pernah hinggap di pikiranku. Namun anehnya hal tersebut justru membuat birahiku makin memuncak. Aku seperti ingin segera dipuaskan oleh pria tua tersebut.

Apalagi ketika Pak Raharjo kemudian melepas celana dalam, yang merupakan penghalang terakhir di tubuhnya, dan aku bisa melihat dengan jelas penisnya yang berukuran besar. Apakah penis tersebut akan muat di vaginaku yang masih perawan? Apakah aku akan merasakan sakit saat Pak Raharjo melakukan penetrasi? Ahh, semua pertanyaan itu justru membuatku merasa basah.

Dengan lembut, Pak Raharjo kembali memeluk tubuhku yang sudah bugil, dan membisikkan sesuatu di telingaku. "Kamu mau Om jadi orang pertama yang merasakan keperawananmu?"

Aku tidak bisa menjawab. Lebih tepatnya, harga diriku masih terlalu tinggi untuk menyetujui hal tersebut. Namun gairahku ternyata berkata lain. Aku tidak bisa menahan kepalaku untuk mengangguk, meski dengan gerakan yang sangat pelan, seolah aku tetap ingin menyetujui tawarannya tanpa perlu mengorbankan kepercayaan diriku.

Pak Raharjo pun tersenyum. Ia beranjak sejenak ke arah sebuah laci di samping tempat tidur, dan mengeluarkan sebuah benda kecil dari dalamnya, yang langsung ia keluarkan dari pembungkusnya, dan memasangnya di penis miliknya. Ini adalah kali pertama aku secara langsung melihat bagaimana sebuah kondom digunakan. Dan sebentar lagi, kondom itu akan menembus pertahanan terakhir kesucianku.

"Ahhhhhhh ..... Ooooooommmm ..." desahku saat ujung penis Pak Raharjo menyentuh bibir vaginaku.

Seperti mengerti akan kegundahanku, Pak Raharjo kemudian memeluk tubuhku dengan lembut, seperti berusaha menahan guncangan yang sebentar lagi akan aku rasakan. Ia mengecup bibirku dengan mesra, tanpa penetrasi yang berlebihan. Satu-satunya penetrasi yang aku rasakan adalah dorongan pelan di vaginaku, yang kian lama makin masuk lebih dalam.

Selama penis Pak Raharjo menembus vaginaku, mata kami berdua saling bertatapan, tanpa ada yang berkedip sama sekali. Aku merasakan payudaraku menempel ke dada Pak Raharjo dengan erat, sedangkan vaginaku kian dalam ditusuk oleh batang kemaluan pria tua tersebut.

Aku akhirnya merasa benar-benar tidak kuat menahan gejolak birahi yang pertama kali aku rasakan ini. Aku hanya bisa memejamkan mata, berusaha bertahan dari rasa perih yang aku terima di selangkanganku. Penis Pak Raharjo yang berukuran besar terus mendesak masuk, membuat seperti ada sesuatu yang terlepas dari tempatnya di sana.

"Ahhhh, Paaaaaaaaaakkkkk ....."

"Tahan ya, Astari. Sempit sekali vagina perawan kamu, ahhhhhhhhh ...."

Selama beberapa menit, penis Pak Raharjo hanya bersarang begitu saja di vaginaku. Secara otomatis, otot kemaluanku pun bergerak meremas-remas benda asing yang tiba-tiba masuk ke dalamnya. Merasakan hal tersebut, pria tua yang tengah menindih tubuhku itu pun mulai menggerakkan penisnya maju mundur.

Aku bisa merasakan perih yang masih melanda, tetapi lama kelamaan perasaan itu berganti dengan kenikmatan unik yang baru kali ini aku rasakan.

"Ahhhh, ahhhhh ... pelan Om, masih lumayan sakit, ahhhhh," ujarku.

Pak Raharjo pun seperti mengerti bagaimana cara yang tepat menyetubuhi seorang perawan. Ia memulainya dengan sangat pelan, tetapi dengan kedalaman yang luar biasa hingga aku bisa merasakan kenikmatan yang sama dengan penetrasi kecepatan tinggi. Ahhh, aku benar-benar menikmati proses persetubuhan pertamaku ini. Tidak terasa sama sekali pengaruh kondom yang dikenakan Pak Raharjo. Mungkin karena aku memang belum bisa membandingkan, sehingga tidak tahu apa bedanya.

Pria tua tersebut mulai mempercepat genjotannya di vaginaku. Semakin lama, aku semakin bisa merasakan kenikmatan yang selama ini hanya bisa kudengar ceritanya dari banyak temanku.

"Ngggghhh .... Ahhhhh ...." Tak kusangka aku adalah perempuan yang cukup berisik juga kalau bercinta seperti ini. Namun harus bagaimana lagi, aku sungguh tidak mampu menahan gairah tersebut.

Pak Raharjo tampak tersenyum di atasku. "Bagaimana rasanya diperawani oleh narasumber artikel sendiri, jurnalis cantikku? Hee."

Kurang ajar memang pria tua ini. Sudah dikasih hati malah minta jantung. Aku pun berusaha membungkam mulutnya dengan menarik kepalanya, dan melumat bibirnya yang hangat. Ahhh, aku sudah tidak peduli lagi akan perbedaan umur kami berdua, dan hanya ingin dipuaskan malam ini.

Sekitar 15 menit kemudian, Pak Raharjo semakin mempercepat sodokannya di kemaluanku. Aku bisa merasakan bahwa ia masih menahan diri karena posisiku yang masih perawan sebelum persetubuhan ini, tetapi apa yang ia lakukan sudah lebih dari cukup untuk membuat gairahku memuncak.

"Aaaaaaaahhhhhh .... Ooooooooommmm .... Aaaahhhhhhhhhhhh," aku melenguh panjang seiring desakan birahi yang seperti membanjiri kemaluanku dengan gairah yang luar biasa.

Secara otomatis, dinding kemaluanku pun langsung menjepit penis Pak Raharjo yang masih berada di dalamnya. Ia pun sepertinya langsung kelabakan dan tak lama kemudian ambruk di atas tubuhku.

"Aaaaaahhhhh, ngggggghhhhhhhh .... hhmmmmppphhh, ahhhhhhhhhhhh."

"Nggghhhh, ahhhhhhh ... ahhhh ... ahhhhh .... ahhhhh ... ahhhhhhh."

"Ahhhhhhh ..... bilang-bilang donk kalau mau orgasme, Astari. Kan Om jadi bisa persiapan."

"Ahhh, ahhh, ahhh ... Astari salah ya Om?" Tanyaku di sela-sela desahanku yang seperti tak bisa berhenti seiring dengan gelombang birahi yang baru saja melonjak ingin keluar.

Pak Raharjo hanya tersenyum. "Maksud Om, memek perawan kamu benar-benar nikmat, sayang, hee."

"Ihh, Om ngomongnya jorok," ujarku sambil mencubit lengannya yang terbuka. Ia hanya tertawa yang tampak begitu manis di mataku.

(Bersambung)
 
Terakhir diubah:
ngaceng anjir bacanya
 
Ohhh... Astariiiii... Akhirnya. Raharjo yang sangat beruntung. Kakak Adik dapat dinikmati. Mantap suhu @fathimah. Suka banget cara penulisannya. Serasa nonton live bagaimana Pak Raharjo memerawani Astari. Superrrrrr....
Tapi... gak tau napa, kok masih berharap ajah klo ada sesi berikutnya antara Amanda dan Pak Raharjo yak hehehe...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd