Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Bimabet
Part 30: Pagi Indah

Lagi-lagi aku terbangun saat matahari bersinar terang menembus tirai tipis yang melapisi jendela besar di kamar tidurku. Sepertinya aku lupa untuk menggeser tirai tebal yang bisa menghalau cahaya terang tersebut yang memang biasa masuk di pagi hari.

Aku melihat ke sekeliling tempat tidurku, tampak sangat sepi. Tubuhku masih tanpa busana, dan aku kemudian terkejut melihat tidak ada siapa-siapa di sebelahku.

"Astari, di mana kamu?" Gumamku.

Apakah dia langsung pergi meninggalkan aku seperti yang dilakukan sang kakak? Apakah aku kembali melakukan kesalahan yang sama dengan sang adik? Ahh, dasar Raharjo bodoh.

Aku coba memeriksa kembali kamarku, tetapi tetap tidak ada tanda-tanda dari perempuan tersebut. Baju kebaya dan pakaian dalam yang semalam bertebaran di lantai pun sudah tidak terlihat lagi. Satu-satunya tanda bahwa apa yang terjadi semalam bukan hanya mimpi semata adalah bekas merah yang nampak jelas di seprai tempat tidurku. Tanpa perlu memeriksa, aku sudah tahu dari mana bekas merah tersebut berasal.

Dengan hanya mengenakan celana dalam, aku pun turun ke lantai bawah rumahku. Aku begitu kaget melihat sebuah kebaya tampak tergeletak di sofa ruang tamu. Aku pun tersenyum. "Apakah kali ini Astari adalah perempuan yang berbeda?" Pikirku dalam hati.

Namun aku tetap tidak bisa menemukan batang hidung perempuan tersebut. Ia tidak ada di kamar, dan tidak ada juga di ruang tamu. Aku pun telah memeriksa kamar mandi, tetapi tidak ada siapa-siapa di sana.

"Jangan-jangan ..."

Aku pun melangkah ke bagian belakang rumahku, menuju bungalow tempatku menyusun cerita setiap hari. Pintu ruang kerjaku tersebut tampak terbuka, dan aku pun tidak menunggu lama untuk menyeberangi taman belakang rumahku dan masuk ke ruang kerja tersebut.

Dan benar saja, di dalamnya aku bisa melihat seorang perempuan berambut pendek sebahu sedang menghadap ke arah rak bukuku, membelakangi pintu masuk. Ia hanya mengenakan kemeja berwarna putih yang tampak terlalu besar untuknya. Sepertinya perempuan tersebut mengambil begitu saja pakaian yang bisa ia kenakan, karena setahuku semalam ia sama sekali tidak membawa baju ganti. Aku berani bertaruh ia hanya mengenakan pakaian dalam di balik kemeja tersebut.

Astari-9.jpg

Dengan langkah pelan, aku pun mendekatinya dari belakang. Saat telah tepat berada di belakangnya, aku rangkul pinggangnya dari belakang.

"Lagi lihat apa sih, cantik?" Ia tampak tidak terkejut. Sepertinya aku gagal membuatnya kaget dengan kehadiranku.

"Lagi lihat koleksi buku Om. Ini adalah salah satu impianku, mempunyai sebuah ruangan khusus yang berisi kumpulan buku yang aku koleksi," jawabnya.

"Memangnya kamu tidak punya rak buku di rumah?"

"Punya sih, tapi kan tidak sebesar punya Om, dengan koleksi yang sangat jauh dari apa yang Om miliki."

"Setelah apa yang terjadi semalam, kamu masih saja memanggil aku dengan sebutan Om? Hee," godaku.

Perempuan muda tersebut berbalik, dan mengecup lembut bibirku. "Memangnya mau dipanggil apa? Sayang? Gak pantes ah, lebih pantes Om," ujarnya membalas.

Astari kemudian berjalan ke arah meja tempatku biasa mengetik naskah. Ia kembali menekan-nekan tuts komputer di atasnya, seperti yang ia lakukan saat terakhir kali berada di sini.

"Mengapa kamu suka menekan-nekan tuts itu?"

"Aku hanya ingin merekonstruksi ulang apa yang Om pikirkan saat sedang menulis naskah," ujarnya sambil tersenyum ke arahku.

Dengan busana yang dikenakannya, aku bisa jelas melihat pahanya yang begitu mulus dan putih, membuat birahiku naik kembali di pagi yang cerah ini. Aku pun meneguk ludahku sendiri berusaha menahan gairah yang mulai membuncah.

"Om kenapa melihat aku seperti itu? Mencurigakan," ujarnya.

Aku tidak menjawab dan hanya berjalan kembali mendekatinya. Kini kami berdua saling berhadapan dengan pantatnya yang montok itu sudah terduduk di atas meja kerjaku. Aku pun kembali mengusapkan tangan di kepalanya, dan mengecup lehernya dengan mesra.

"Ahhhhh ...." desahan penuh gairah itu kembali aku dengar dari mulut Astari.

"Kenapa kancing kemejanya dipasang semua?" Tanyaku yang baru mengetahui bahwa Astari memasang semua kancing di kemeja yang ia kenakan.

"Biar Om yang lepas, hee."

"Kamu nakal yah."

"Siapa coba yang ngajarin aku nakal, sudah berani mengambil keperawanan aku pula."

"Abis kamu seksi banget sih, manis. Baik waktu pakai jilbab maupun tidak."

"Bagaimana rasanya ngentot dengan seorang jurnalis, Om?"

"Ihh, mulai ya kamu ngomongnya kotor, dasar jurnalis binal."

"Kan Om duluan yang mulai semalam, hayo ngaku," ujarnya sambil mengerang saat aku mulai melepas dua kancing teratas di kemejanya.

Aku pun mulai mengecup-ngecup bagian atas dadanya yang terbuka. Aku baru sadar dia mengenakan sebuah kalung berhiaskan emas yang berbentuk huruf A, sungguh terlihat seksi sekali di tubuhnya yang putih.

"Ahhh, Om, ahhh ... hentikan. Belum puas apa tadi malam?"

"Kalau dengan tubuh seperti ini, mana bisa Om puas, Astari," jawabku.

Aku pun mulai melepaskan kemeja putih yang dikenakan perempuan tersebut, lalu melemparkannya ke lantai. Dengan segera, aku pun melepaskan kaitan bra berwarna merah muda yang dikenakan Astari. Bra tersebut adalah bra yang sama dengan yang ia kenakan semalam, karena ia memang tidak sempat membawa pakaian ganti.

Aku pun berhadapan dengan payudara indah perempuan muda tersebut, yang langsung aku mainkan putingnya dengan jemariku. Ia tampak menggigit bibir bawahnya, berusaha bertahan dari rangsangan demi rangsangan yang aku berikan. Aku julurkan lidahku di depan wajahnya, yang langsung ia sambut dengan lidahnya sendiri.

Tangan lembut Astari terasa hangat meraba-raba dadaku yang terbuka. Perutku yang buncit pun tidak luput dari sapuan tangannya yang indah. Hal tersebut pun membuatku makin tak tahan. Apalagi ketika perempuan tersebut mulai membelai penisku dari luar celana dalam yang aku kenakan.

"Ihhh, kamu kok pintar banget sih Astari, belajar dari mana kamu."

"Belajarnya langsung praktik sama penulis terkenal bernama Raharjo. Yang umurnya sudah tua tapi sukanya ngambil perawan jurnalis yang mau wawancara sama dia," ujarnya meledekku.

Aku pun langsung menurunkan celana dalamku, agar ia bisa mengelus dan mengocok penisku secara langsung. Sapuan demi sapuan tangan Astari yang lembut di kemaluanku membuat diriku merasa nyaman. Penis tersebut kini sudah sangat tegang, dan seperti meminta untuk dimasukkan ke sarangnya.

Namun sebelum itu, aku harus memeriksa kemaluan Astari terlebih dahulu. Karena itu, aku pun membelai-belai vagina perempuan tersebut yang masih tertutup celana dalam. Meski karena bahannya yang tipis, aku tetap bisa merasakan kelembaban yang menyeruak di baliknya. Aku pun menarik celana dalam itu hingga lepas, dan kami berdua yang berbeda usia sangat jauh ini kembali sama-sama tanpa busana.

Astari masih dalam posisi duduk di atas meja kerja tempatku biasa menulis naskah. Karena itu, aku bisa dengan mudah mengangkat kakinya ke atas, dan membuka selangkangannya agar merenggang, membuka jalan untuk penisku agar bisa kembali masuk ke dalamnya. Agar tidak terjatuh, perempuan muda tersebut pun mengalungkan tangannya di leherku.

"Ahhh, geli banget Om," ujar Astari sambil memejamkan matanya, saat aku menggesek-gesekkan penisku di bibir vaginanya.

"Sudah pengin lagi yah?" Tanyaku sambil berbisik di telinganya.

Perempuan muda tersebut mengangguk. Dengan perlahan, aku pun kembali memasukkan penisku ke dalam vaginanya yang sempit. Ahhh, aku begitu rindu akan jepitan selangkangannya yang benar-benar kuat meremas-remas penisku. Sungguh rasa seorang perempuan muda memang jauh berbeda dari perempuan tua seperti Inggit, yang terakhir kali bersetubuh denganku memang sudah seperti tidak ada rasanya.

"Ahhh ... Ahhhh ... Ahhhh," desahan demi desahan meluncur dari bibirku, yang juga disambut oleh erangan binal perempuan tersebut.

"Nggghhhh, Om Raharjo, ahhhhh .... enak Om, ahhhhhhhh."

Begitu tingginya birahiku di pagi ini, sampai-sampai aku lupa untuk menyiapkan kondom sebelum memasukkan penisku ke vagina Astari. Namun perempuan tersebut tampak tidak menolak. Ia malah seperti keenakan karena bisa merasakan persetubuhan tanpa kondom setelah melepas perawan tadi malam. Namun sebagai pria yang lebih dewasa, aku tentu harus menjaga agar tidak kebablasan.

Meja yang biasa menjadi saksiku bekerja keras siang malam, kini malah menjadi saksi persetubuhanku dengan seorang perempuan muda, yang bahkan belum mempunyai status apa-apa denganku. Kami bercinta dengan sangat panas, dengan liur yang bertebaran di sana-sini, dan keringat yang mengucur keras meski ruangan ini sebenarnya mempunyai pendingin ruangan.

"Ahhhh, nikmat sekali, Astari ... Om mau keluar."

"Ahhh, masukin yang dalam, Om. Ahhhhhhh ...."

Wajahnya yang cantik benar-benar membuatku tak tahan. Aku tidak bisa memikirkan apa-apa lagi selain tubuh seksinya yang saat ini tengah aku gagahi. Tak terasa, gelombang orgasme pun siap menyembur dari kemaluanku.

"Ahhhhhhh, ahhhhh, Om gak tahan sayang, ahhhhh ..." Aku pun buru-buru mengeluarkan penisku dari vaginanya dan mengarahkannya ke payudara perempuan tersebut.

"Crroooooottt ... crooooottt ... crooootttt ..." spermaku yang berwarna putih dan lengket langsung mengotori payudara perempuan cantik tersebut yang tengah terbuka. Untungnya, perempuan tersebut hanya tersenyum.

"Enak banget ya Om rasanya ngentot sama aku," bisiknya pelan, tetapi cukup membuatku belingsatan. Luar biasa memang perempuan muda ini.

***

Beberapa jam kemudian, aku dan Astari telah berada di meja makan, dan menyantap sarapan yang tadi kami pesan dari aplikasi pengiriman makanan. Perkembangan teknologi memang membuat hidup kita semakin mudah, terutama untuk situasi-situasi tak terduga seperti ini.

"Oh, iya. Nanti kamu mau pulang pakai baju apa?" Tanyaku kepada Astari yang masih mengenakan kemeja longgar milikku, dan hanya bra dan celana dalam di baliknya.

"Pakai ini aja, gak apa-apa kan Om?"

"Eh, kok gitu?" Ujarku terkejut.

"Hahahaha ... wajah Om kalau lagi kaget gitu lucu banget," ujar Astari yang asyik tertawa.

"Ahh, kamu ngerjain Om Terus."

"Ya masa aku pulang ke rumah dengan baju seperti ini, akan bilang apa Kak Amanda dan Ibuku nanti. Sudah kabur dari pernikahan kakak, lalu pulang dengan setengah telanjang begini, hee."

"Lalu, kamu mau pakai apa?"

"Tenang saja, Om. Aku sudah pesan baju secara online, nanti juga dikirimkan ke sini. Jadi Om gak usah khawatir."

"Oh, bisa ya beli baju instan seperti itu?"

"Bisa kok. Sekarang kan jaman sudah canggih, gak kayak jaman Om dulu."

"Eh, Om masih belum tua-tua banget ya. Buktinya masih bisa bikin kamu keenakan, wleeee."

"Iya deh ... iya," ujar perempuan muda tersebut. "Nah untuk mengisi waktu sebelum pakaian aku sampai dan aku harus pulang, ada yang harus kita bicarakan, Om."

"Soal apa itu?"

"Soal hubungan Om dan Kak Amanda."

Aku seperti ingin mati tersedak saja saat mendengar kata-kata tersebut.

(Bersambung)
 
Terakhir diubah:
Belum turun junior hu, baca update jadi naik lg deh...hehehe, jadi pingin pulang deh
 
Trims update maratonnya suhu @fathimah .
Hufhhh... ikutan panas dingin gara2 horny baca sex scenenya Hu hehe... Pak Raharjo ambil amannya aja ah. Coba kalau klimaksnya di dalem, kan lebih enak heheh...
Sayang banget cerita sebagus ini bentar lagi tamat. Tapi bagaimanapun cerbung yang bagus adalah cerbung yang tamat ya.
Masih belum bisa menebak ending nya euy. Tapi masih berharap Amanda FWB an aja dengan Pak Raharjo hehe... Siapa tahu Astari dengan pola pikirnya yang terbuka bisa nerima diam-diam hubungan Pak Raharjo dengan Kakaknya. Kan Pak Raharjo bisa enak-enak dengan keduanya hahahaa....
Btw... itu cuma pemikiran saja ya Hu. Ending terbaik tentu saja nungguin dengan setia dari suhu @fathimah. Tetap bikin kita terus penasaran, gak sabaran dan horny setiap nungguin updatenya y Hu hehehe... Mantap.
 
Bingung mo koment apa.... Udah kadung Horny duluan baca updatenya. Makasih suhu..
 
Part 31 dan 32 sebenarnya sudah selesai dibuat juga,
tapi sepertinya bakal kentang kalau dirilis satu-satu
(dan aku tahu banyak pembaca di sini yang gak suka dikasih kentang, hahaa)

Jadi aku rilisnya bersamaan aja ya nanti dengan Part 33 dan 34, kemudian Tamat
Kalau gak bisa minggu ini, ya minggu depan :)
 
Part 31 dan 32 sebenarnya sudah selesai dibuat juga,
tapi sepertinya bakal kentang kalau dirilis satu-satu
(dan aku tahu banyak pembaca di sini yang gak suka dikasih kentang, hahaa)

Jadi aku rilisnya bersamaan aja ya nanti dengan Part 33 dan 34, kemudian Tamat
Kalau gak bisa minggu ini, ya minggu depan :)
Mantul langsung tamat
 
Part 31 dan 32 sebenarnya sudah selesai dibuat juga,
tapi sepertinya bakal kentang kalau dirilis satu-satu
(dan aku tahu banyak pembaca di sini yang gak suka dikasih kentang, hahaa)

Jadi aku rilisnya bersamaan aja ya nanti dengan Part 33 dan 34, kemudian Tamat
Kalau gak bisa minggu ini, ya minggu depan :)
Baiklah suhu. Kita ikut saja. Percaya dengan suhu. Biar orgasmenya barengan rame-rame hahahaa. Terbaik suhu @fathimah
 
Part 31: Pengertian

Astari-6.jpg

"Tumben pagi banget sudah datang. Biasanya selalu duluan aku," ujar Mbak Vera sambil duduk di kursinya, yang tepat berada di sampingku.

"Orang datang siang, diomelin. Datang pagi, dicurigain. Susah memang jadi temannya Mbak Vera," ujarku meledek temanku tersebut.

"Ya elah, Astari. Begitu aja ngambek. Jangan kebanyakan ngambek, nanti bisa cepat tua, hee."

Aku pun tidak membalas kata-katanya, dan fokus pada laptop yang ada di hadapanku. Meski begitu, pikiranku sebenarnya tengah melanglang buana ke tempat lain. Aku tengah berpikir tentang sesuatu yang sepertinya tidak bisa aku ceritakan kepada siapa pun, meski orang terdekatku sama sekali.

Saat melirik ke samping, aku menyadari bahwa Mbak Vera adalah satu-satunya orang di mana aku bisa berkeluh kesah tentang hal ini. Dia bukan keluarga, sehingga dia tidak akan menuduh aku yang macam-macam. Dia juga sudah cukup dewasa, seorang ibu muda beranak satu, yang pasti sudah kenyang akan asam garam kehidupan.

"Mbak Vera, lagi sibuk gak?"

Ia langsung menghentikan aktivitasnya membereskan meja kerja, ritual yang selalu ia kerjakan tiap pagi, lalu menghadap ke arahku. "Ada apa, Astari?"

"Aku ingin ngobrol sesuatu."

"Ya sudah, bilang aja," perempuan tersebut pun langsung duduk di kursinya, yang digeser agar mendekat ke tempat dudukku. "Ada apa sih, cantik?"

"Mbak Vera, kapan merasa yakin untuk menikah dengan suami Mbak?"

"Oh, ini soal asmara ya? Hee ..."

"Ihh, jangan meledek donk Mbak. Aku nanya serius neh."

"Iya, iya ... serius banget sih kamu. Wajar sih memang di usia kamu akan muncul pertanyaan tersebut. Dan memang sudah waktunya juga kamu menjalin asmara kan."

"Terus, bagaimana cara tahu bahwa si A atau si B ini adalah orang yang cocok menemani kita, sampai mati nanti?"

"Nah, itu masalahnya."

"Maksud Mbak bagaimana? Kok pertanyaan aku itu jadi masalah? Katanya itu pertanyaan normal?"

"Masalahnya adalah kamu memandang cinta, asmara, atau apa pun itu, adalah sebuah hubungan yang akan terus stabil sampai kedua belah pihak menghembuskan nafas."

"Lho, bukannya memang seperti itu?"

Mbak Vera menggeleng.

"Cinta dan asmara itu sama seperti hubungan pertemanan. Ada pasang, ada surut. Kadang jadi teman, kadang jadi musuh. Semuanya penuh dinamika. Dan saran aku, sebelum kamu memulai hubungan, pahami dulu hal ini."

"Oke, aku paham, cinta itu ada pasang dan surut. Lalu bagaimana cara menentukan siapa orang yang tepat untuk kita?"

"Nah ini adalah bentuk kesalahan yang lain lagi," Mbak Vera kembali protes, membuatku semakin bingung.

"Aku salah apa lagi sih, Mbak?"

"Kamu memandang konsep jodoh itu seperti satu orang yang memang diciptakan spesial untuk kamu, dan dia tidak mungkin jatuh ke tangan orang lain."

"Bukannya memang seperti itu?"

"Selama kamu tidak punya contekan ke buku takdir yang dibuat Tuhan, tidak ada yang tahu siapa jodoh kita masing-masing, cantik."

"Lalu, kembali lagi ke pertanyaan aku yang awal. Bagaimana Mbak menentukan oke, aku akan menikah dengan si A yang jadi suami mbak yang sekarang?"

"Nah, ini baru konsep yang baik. Bagaimana aku menentukan untuk menikah dengan suamiku. Jawabannya lebih mudah, yaitu karena aku merasa dia adalah sosok yang saat aku membayangkan tengah berada di masa-masa sulit atau masa-masa senang di masa depan, aku masih ingin bersama dengan dia."

"Lho, bukannya itu konsep yang sama dengan jodoh, cinta sampai mati, dan semacamnya?"

"Beda donk," ujar Mbak Vera, yang jujur sedikit membuatku bingung. "Sesungguhnya, aku tidak peduli dengan konsep-konsep yang kamu katakan barusan. Aku hanya tahu bahwa aku merasa nyaman dengan dia, dan masa depanku akan bahagia dengan dia. Apabila setahun setelah menikah, aku tidak bisa lagi membayangkan masa depan yang indah, contohnya karena aku baru tahu dia tukang selingkuh, atau suka memukul perempuan, apakah layak aku mempertahankan dia dengan alasan dia adalah jodoh yang telah aku nikahi?"

"Ahhh ..." aku mulai bisa meraba ke mana arah pembicaraan Mbak Vera.

"Banyak orang yang terjebak dengan konsep jodoh dan cinta sampai mati, yang akhirnya membuat mereka tidak bisa lepas dari hubungan yang sebenarnya berbahaya, atau toxic. Padahal menurutku, ya kita realistis aja di masa sekarang, jangan pikirkan masa lalu yang sudah lewat dia sangat sayang sama kita, suka kasih hadiah, apa lah ... tai kucing itu semua," harus aku akui, cara Mbak Vera menjelaskan masalah ini memang benar-benar menarik. "Yang perlu kita pikirkan adalah masa sekarang, apakah kita masih bisa membayangkan masa depan yang indah dengan dia. Apabila tidak, cari mana yang bisa."

"I see ..."

"Cinta itu sama dengan hidup, harus berproses. Jalani saja apa yang ada di hadapan kamu, dan jangan ragu untuk mengambil tindakan apabila ternyata keputusan kamu di masa lalu adalah kesalahan. Namun apabila kamu masih terus merasa bahwa itu adalah keputusan yang tepat, bersyukurlah," ujar Mbak Vera sambil mengedipkan mata ke arahku.

Sungguh tidak salah aku meminta sarannya. Ia seperti baru saja memberikan ceramah padaku di pagi hari ini.

***

Aku melirik jam tangan, sudah sekitar jam 3 sore. Namun meeting redaksi hari ini belum juga selesai. Aku melirik Mbak Vera yang ada di sebelahku dan menyenggol kakinya. Saat ia menoleh ke arahku, aku langsung menunjuk jam tangan yang aku kenakan. Ia seperti mengerti apa yang aku maksud, dan hanya menaikkan pundaknya tanda ia tak tahu kapan rapat ini akan selesai.

Namun untungnya, hal tersebut tidak berlangsung terlalu lama. Atasan kami menyudahi meeting pada pukul 3 lewat 15 menit. Saat berjalan kembali ke meja kerjaku, seorang office boy tampak sedang meletakkan sebuah buket bunga di mejaku. Aku pun langsung berteriak memanggil namanya.

"Woyy, Udiiiiinnn ... Siniiiii," ujarku kencang. Aku tak peduli seluruh karyawan di lantai ini mendengar teriakanku. Aku sudah kesal sekali dengan si Udin ini yang sering banget berbuat salah.

Office boy pendek berkulit hitam itu pun berbalik. Saat sudah berada tepat di hadapanku, ia tampak bingung.

"Iya, Neng. Ada yang bisa Udin bantu?"

"Kamu gak sadar salah kamu apa?" Ujarku sambil menyilangkan tangan di depan dada, berusaha menunjukkan kuasa yang aku miliki di hadapannya.

"Nggak, Neng. Memangnya Udin salah apa?"

"Coba pikir baik-baik, kamu tadi baru melakukan apa? Dan apa kesalahan yang kamu lakukan?"

Aku bisa melihat raut wajah heran di muka Udin. Ia seperti tidak tahu sama sekali apa kesalahan yang baru ia perbuat.

"Udin nyerah, Neng. Perasaan Udin gak ada salah apa-apa."

"Tadi sebelum pergi kamu melakukan apa?"

"Udin taruh buket bunga dari satpam di bawah, katanya suruh dibawa ke sini."

"Nah, kamu kan sudah aku bilangin beberapa kali, meja Mbak Vera itu yang di sebelah kiri, yang di sebelah kanan itu meja aku. Kenapa kamu malah taruh buket bunganya di meja aku?"

"Lho, kan memang buket bunganya buat Neng Astari."

Jawaban tersebut membuat aku kaget. Aku pun langsung memeriksa buket bunga yang ada di mejaku, dan ternyata benar ditujukan untukku. Tidak ada pesan sama sekali, hanya tertulis "To: Astari, From: R".

Tanpa perlu keterangan lebih lanjut, aku pun tahu siapa yang mengirim buket bunga tersebut. Di belakang, aku bisa melihat Mbak Vera yang terkekeh melihat tingkahku. Apalagi, Udin seperti masih merasa bersalah dan tidak kunjung pergi.

"Jadi, buket bunganya salah ya, Neng? Udin bawa ke pos satpam lagi ya?"

"Udah-udah pergi sana ... Gak jadi, sana sana pergi," ujarku yang masih merasa malu.

Mbak Vera hanya tertawa sambil duduk di kursinya.
 
Part 32: Komitmen

Seperti biasa, aku memilih untuk menghabiskan waktu-waktu santai setelah bukuku terbit, dan sukses terjual, dengan duduk di kedai kopi favoritku sambil menikmati minuman yang biasa aku pesan. Aku memang tidak suka dengan ketidakteraturan, karena itu apabila aku sudah suka dengan satu hal, maka aku akan terus suka dengan hal itu, entah sampai kapan.

"Mungkin itu alasannya sampai saat ini pun aku belum bisa sepenuhnya melupakan Inggit," pikirku dalam hati.

Salah satu alasan mengapa aku suka duduk-duduk santai di kedai kopi seperti ini adalah aktivitas ini sedikit banyak bisa membantuku menemukan ide cerita baru. Aku butuh sesuatu yang teratur, tetapi tidak bisa semuanya dikerjakan dari dalam rumah. Itulah pola kerjaku selama bertahun-tahun terakhir. Meski semuanya seringkali rusak karena aku terlalu memikirkan Inggit.

Namun kali ini, ada hal lain yang menggangguku. Kali ini bukan Inggit, melainkan hubunganku dengan Amanda, yang merupakan editor buku terbaruku. Dan juga ada hubunganku dengan Astari, yang merupakan seorang jurnalis muda, sekaligus adik dari Amanda.

Di satu sisi, ada Amanda yang sudah menikah dengan kekasihnya, tetapi tidak bisa aku lupakan. Di sisi lain, Astari sepertinya tidak sedang menjalin hubungan dengan siapa-siapa, tetapi apakah pantas aku langsung menjalin hubungan dengan dia, sementara aku masih memikirkan Amanda? Apakah aku bukannya hanya menjadikan dia sebagai pelarian sementara?

Tentu saja aku tidak bisa langsung mendapat jawaban dari kebimbangan tersebut, karena hanya waktu yang bisa menentukan. Namun tentu aku tidak bisa mengorbankan mereka berdua hanya karena aku bimbang ingin memilih yang mana. Dan lagipula, misalnya aku memilih Amanda, memangnya dia mau denganku? Apabila aku memilih Astari, apakah dia ikhlas apabila aku mengatakan dia mungkin hanya merupakan pelarianku dari hubungan gagal dengan Amanda?

"Hufftthh ..." aku menghela nafas panjang, berusaha melepaskan beban pikiran yang ada di kepalaku.

Aku kembali mengingat obrolan dengan Astari beberapa hari lalu di rumahku, setelah kami bersetubuh di malam dan pagi hari, setelah pesta pernikahan Amanda. Sebagai seorang perempuan dan adik, ia tentu mempunyai perasaan. Dan setahuku, perasaan seorang perempuan adalah sesuatu yang paling rapuh di dunia ini. Apabila hancur, akan sangat sulit untuk membuatnya kembali baik.

Itulah mengapa aku tidak bereaksi berlebihan saat ia menanyakan tentang hubunganku dengan Amanda.

Astari-1.jpg

"Bagaimana perasaan Om kepada kakakku saat ini?" Tanyanya waktu itu.

"Kamu benar-benar mau menanyakan hal ini sekarang, tepat setelah kita berhubungan? Dan semalam aku mengambil keperawanan kamu?"

"Iya, gak masalah kan?"

"Gak masalah sih cuma ... ahh sudahlah. Untuk menjawab pertanyaan kamu, Om ingin sepenuhnya jujur. Om tidak bisa bohong bahwa Om masih menaruh hati pada kakakmu, tetapi saat ini Om sudah tidak berharap apa-apa. Om ingin menganggap itu masa lalu saja."

"Owh, baiklah."

"Kamu tidak masalah dengan hal itu?"

"Urusan aku masalah atau tidak, itu urusanku Om, bukan urusan Om."

Mendengar itu, aku lebih memilih untuk diam. Biarlah Astari larut dengan pikirannya sendiri saat ini. Namun, aku sepertinya harus menanyakan satu hal.

"Kalau kamu sendiri, bagaimana perasaan kamu kepada Om?" Tanyaku.

"Harus banget ditanya ya? Padahal Om sudah ambil perawan aku tadi malam, dan barusan juga kita abis ML lagi?"

"Ya kan Om hanya memastikan, kamu anggap Om ini apa? Apakah hanya one night stand saja, atau ..."

"Aku bukan perempuan seperti itu, Om," ujarnya memotong kata-kataku. "Aku adalah perempuan yang hanya memberikan keperawananku, dan kesempatan untuk bersetubuh denganku, pada orang yang aku cintai."

"Jadi kamu ..."

"Iya, aku mencintai kamu, Om. Aku cemburu mendengar hubungan Om dengan Kak Amanda, karena aku menginginkan Om hanya untuk diriku seorang."

Jujur, sudah lama sekali aku tidak mendengar kata-kata manis seperti itu ditujukan untukku. Aku pun tidak bisa membalasnya dengan apa pun. Itulah mengapa aku hanya diam setelah Astari melontarkan kata-kata tersebut.

Setelah percakapan tersebut, praktis kami tidak saling bicara satu sama lain. Aku memang mengambilkan baju yang dipesan Astari saat diantarkan oleh kurir, karena tidak mungkin Astari mengambilnya sendiri dengan busana seperti itu di hadapan sang kurir pengantar barang. Namun selebihnya, ia kemudian mengenakan pakaian yang lebih "normal", lalu langsung pergi dengan taksi online meninggalkan rumahku. Meninggalkan aku kembali sendiri.

Mengingat kejadian tersebut, aku pun bertambah bimbang. Sejak hari itu, Astari belum mengirimkan pesan kepadaku sama sekali. Aku pun tidak berani untuk menghubunginya lagi.

"Namun sebelum menghubunginya, sepertinya aku memang harus meyelesaikan masalahku sendiri, kebimbanganku sendiri, apakah aku harus memilih salah satu dari mereka, atau malah merelakan keduanya lepas dari tanganku?" Ujarku dalam hati.

Saat sedang merasa gundah seperti itu, aku melihat seekor kumbang yang masuk ke dalam kedai kopi, dan mengitari sebuah pot bunga yang memang berada di dalam. Namun satu hal yang tidak diketahui kumbang tersebut, adalah bunga tersebut adalah bunga plastik, yang tentu tidak menyimpan apa pun untuk dia ambil.

Setelah sekian lama mengitari bunga plastik tersebut, sang kumbang kemudian hinggap di atasnya, dan seperti kebingungan berjalan ke sana ke mari. Ia seperti sedang mencari sesuatu yang tidak akan pernah ia temukan.

Padahal, apabila kumbang tersebut keluar dari kedai kopi ini, banyak tersebar bunga-bunga yang bisa ia ambil sarinya untuk bertahan hidup. Namun entah mengapa, ia seperti terkungkung hanya ingin bercumbu dengan bunga yang ada di dalam kedai kopi ini.

Aku pun berusaha mencerna apa yang sedang terjadi di hadapanku. Apakah ini adalah pertanda dari alam sebagai jawaban pertanyaan yang selama ini hinggap di kepalaku?

Aku akhirnya mengambil keputusan. Dengan segera, aku menelpon seseorang yang aku kenal.

"Halo, Bro. Apa kabar?"

"Kabar baik, lo bagaimana?" Ujar suara di ujung telepon.

"Kabarku juga baik. Eh, aku mau minta bantuan neh."

"Bantuan apa neh, jangan susah-susah ya, hee."

"Gampang kok ini mah. Minta tolong kirimin satu paket."

"Paket yang mana?"

"Yang mana saja, pokoknya yang paling bagus. Gue percaya sama lo."

"Oke, siap. Mau dikirim ke mana?"

"Hmm, gue gak tahu alamat persisnya. Tapi ini ke kantor berita terkenal kok, harusnya gampang kan ya?"

"Biasanya sih gitu. Tinggal kasih alamatnya, nanti pasti sampainya di pos satpam. Asal UP-nya jelas mau ditujukan ke mana."

"Oh, pas kalau begitu."

"Mau ditambahin pesan gak?"

Aku pun berpikir sejenak, berusaha menentukan apa yang ingin aku katakan kepada dia. Namun dalam banyak hal, bukankah diam itu jauh lebih ampuh dibandingkan kata-kata?

"Kalau gak ditambahin pesan boleh gak?"

"Ya boleh aja sih. Nama pengirimnya mau ditulis siapa?"

"Hmm, nanti detailnya gue WhatsApp aja ya biar gak salah. Boleh?"

"Lebih bagus sih kalau begitu. Ini mau dikirim kapan?"

"Sekarang bisa."

"Bisa aja, beres sama gue mah."

"Nanti biayanya gue ..."

"Ahh, lo kayak sama siapa aja ngomong-ngomong soal biaya. Urusan gampang itu, gue yang handle. Lo tahu beres."

"Thank you ya bro."

"Sama-sama, gue turut berbahagia ya."

Aku pun langsung menutup sambungan telepon tersebut.
 
Part 33: Kolam Renang

Semenjak menikah, kakakku langsung tinggal di rumah baru yang telah dibeli oleh Kak Jodi untuk mereka berdua. Lokasinya cukup jauh dari rumah kami, sehingga Kak Amanda tidak bisa setiap hari datang berkunjung. Mungkin hanya seminggu sekali ia datang ke sini. Karena itu, praktis hanya ada aku dan Ibu saja di rumah.

Hal itu membuat aku punya banyak waktu kosong untuk berbincang berdua dengan Ibu. Namun entah mengapa, aku seperti sulit untuk menceritakan tentang keresahan aku akhir-akhir ini kepada perempuan yang telah melahirkanku tersebut. Namun aku sadar, cepat atau lambat, aku harus mulai terbuka dengannya.

Ini adalah ajaran yang sangat dipegang teguh oleh keluargaku. Sebagai anak, kami harus terbuka akan apa yang kami pikirkan dan keputusan apa yang akan kami ambil. Namun di saat yang sama, Ayah dan Ibu tidak pernah menahan kami akan pilihan yang kami buat. Mereka hanya memberikan masukan baik dan buruknya, dan membiarkan kami menentukan sendiri mana yang terbaik.

Namun tetap saja, untuk masalah ini aku berusaha berhati-hati menjaga perasaan Ibu.

Karena itu, aku memilih waktu yang benar-benar tepat, saat suasana hati Ibu sedang baik. Semoga saja langkah ini bisa membuat dia lebih memahami apa yang ingin aku sampaikan, terlepas dari apa tanggapan beliau nanti.

"Bu, Astari mau bicara," ujarku pada suatu malam.

Aku telah pulang bekerja dan membersihkan diri, sehingga tidak ada alasan bagi Ibu untuk menghindar dari berbincang denganku. Saat itu, Ibu baru saja selesai menonton sinetron kesukaannya. Semoga saja tidak ada adegan menyedihkan yang baru saja diputar di episode hari ini.

"Mau bicara apa, Astari. Ngomong saja, Nak," jawab Ibuku.

"Hmm, aku sedang ingin menjalin hubungan dengan seseorang, dan ingin meminta restu Ibu."

"Dia yang membuat kamu tiba-tiba menghilang saat pesta pernikahan kakakmu kemarin?"

Insting seorang Ibu memang tidak bisa ditandingi. Ia tidak perlu bertanya-tanya terlebih dahulu kepadaku, untuk sampai ke kesimpulan yang tepat. Aku pun menjawab pertanyaannya dengan anggukan pelan.

"Pada dasarnya Ibu akan selalu memberi restu siapa pun orang yang kamu pilih. Untuk Kak Amanda juga begitu. Ibu membebaskan kalian untuk memilih pasangan hidup yang kalian mau. Namun ..."

"Namun apa Bu?"

"Namun dalam menjalin hubungan pasti ada pasang surut, suka duka, putus sambung. Lalui semuanya dengan penuh tanggung jawab. Itu saja pesan Ibu."

"Ibu tidak mau tahu dulu siapa orang yang aku ingin ajak untuk menjalin hubungan?"

"Seperti yang Ibu bilang tadi, Ibu tidak terlalu peduli. Yang penting apabila ada apa-apa, jangan sungkan untuk kembali bicara dengan Ibu."

Aku pun terdiam.

"Sepertinya kamu yang tidak yakin dengan pilihanmu sendiri, Astari."

"Hmm, sebelumnya memang begitu sih, Bu. Namun setelah mendengar kata-kata Ibu, aku menjadi yakin," jawabku sambil tersenyum.

"Asmara itu hanya satu bagian dalam hidup, bukan keseluruhan hidup. Masih ada keluarga, teman, pekerjaan, dan lainnya. Apabila asmara sedang naik, sudah biasa keluarga dan teman dikorbankan. Namun Ibu cuma ingin kamu tahu, bahwa sedang naik ataupun turun kisah asmara kamu, Ibu akan selalu ada di sini untuk kamu."

Kata-kata tersebut benar-benar membuatku terharu. Aku pun memeluk Ibuku dengan erat. Aku lampiaskan semua air mataku yang tertahan selama ini di bahu Ibuku. Ia pun seperti tidak mencegahku untuk menangis, dan malah membiarkan aku mengucurkan air mata sejadi-jadinya. Dalam sosok Ibu, aku menemukan sebuah kebijaksanaan yang tidak ada tandingannya di dunia ini.

***

Selama seminggu, aku benar-benar disibukkan dengan pekerjaan di kantor. Itulah mengapa aku sama sekali tidak ada waktu untuk mengurus apa pun di luar urusan pekerjaan. Satu-satunya hal lain yang aku lakukan selama seminggu terakhir adalah obrolan mendalamku dengan Ibu, yang berakhir dengan aku tidur bersama dengan dia malam itu.

Kini, minggu yang padat telah berakhir, dan akhir pekan pun menyapa. Kini aku punya waktu untuk mengurus hal-hal yang belum sempat aku selesaikan sebelumnya. Salah satunya adalah menutup urusan dengan pemilik rumah di hadapanku ini. Seperti biasa, aku pun menekan bel untuk mengingatkan sang pemilik bahwa aku ada di depan pagar.

Pagar tersebut terbuka secara otomatis, seolah mengizinkan aku untuk masuk ke dalam rumah yang pintunya juga tidak terkunci itu. Begitu berada di dalam, seperti biasa aku menemui suasana rumah yang begitu sepi, karena satu-satunya penghuni di sana adalah seorang duda tua yang hidupnya begitu tidak berwarna. Aku mencoba mencari dia tetapi tidak kunjung bertemu.

Aku baru melihatnya ketika masuk lebih dalam. Pria tua yang aku maksud ternyata tengah duduk di kursi pantai yang terdapat di samping kolam renang. Ia tampak menatap ke arah langit dengan kacamata hitam terpasang di wajahnya. Ia mengenakan kaos polo berwarna putih, dan celana pendek berwarna biru tua.

Aku pun langsung menuju ke sana, dan duduk di sebuah kursi serupa yang ada di sampingnya. Kurebahkan tubuhku di kursi pantai tersebut, dan mengikuti pose Pak Raharjo di sebelahku.

"Memangnya asyik ya berjemur di teras belakang rumah seperti ini?" Tanyaku.

"Daripada di pantai, terlalu ramai. Hasilnya pun sama saja."

"Hasil apa? Mau kulit Om lebih hitam?"

"Lebih? Memangnya kulit Om sekarang hitam? Jangan mentang-mentang kulit kamu put ... "

Ia tidak bisa menyelesaikan kata-katanya karena aku telah terlebih dahulu menindih tubuhnya, dan menutup mulutnya dengan bibirku. Lidahnya yang terlalu cerewet itu langsung kusumpal dengan lidahku yang hangat dan tebal. Ia pun membalasnya dengan tidak kalah liar.

Sudah sekitar seminggu dari sejak kami melakukan percumbuan seperti ini. Kami berdua sepertinya sudah sama-sama menginginkan hal tersebut terulang lagi.

"Terima kasih ya Om, bunganya," ujarku setelah aku melepas kaca mata hitam yang ia kenakan, dan mata kami berdua saling bertatapan.

"Om kira bunganya gak sampai, habis kamu sama sekali tidak mengirimkan pesan."

"Aku perlu waktu untuk berpikir, Om."

"Lalu dengan aktivitas bertapa selama seminggu itu, apa hasilnya?"

"Masih tanya?" Ujarku sambil mengecup-ngecup lehernya yang terbuka. Pria tua itu pun tersenyum sambil mengelus-elus punggungku yang masih berbalut kaos lengan panjang berwarna krem.

"Berdiri donk, Om mau tunjukkan sesuatu," ujarnya yang langsung aku turuti. Dalam hati aku penasaran apa yang ingin ditunjukkan pria tua tersebut kepadaku.

Astari-6.jpg

Dengan perlahan, ia pun berdiri dari kursi pantainya, dan menghampiriku, hingga kami berdua saling bertatapan. Namun tanpa kuduga, ia mendorongku dengan cukup keras ke belakang, dan akhirnya ...

"Byuuuuurrrrr ...."

Aku bisa mengingat detik demi detik tubuhku terpental ke belakang dan langsung tercebur ke kolam yang untungnya cukup dalam ini. Apabila terlalu pendek, bisa jadi kepala atau kakiku mungkin akan terbentur sisi kolam. Dan untungnya pula, aku bisa berenang dan mengapungkan tubuhku, sehingga aku tidak sampai tenggelam di kolam dan mati konyol.

Namun sepertinya Pak Raharjo sudah memperhitungkan hal tersebut. Jelas terlihat dari tawa puasnya dari sisi kolam renang. Aku masih merasa beruntung sempat meletakkan handphone dan dompet di kursi pantai tempat aku duduk tadi. Kalau tidak, aku tentu akan merasa panik.

"Dingin ya, Cantik?" Ujar Pak Raharjo sambil tetap tertawa.

"Pikir aja sendiri," ujarku sambil melepas jilbab yang aku kenakan dan meletakkannya di pinggir kolam. Tidak ada gunanya lagi aku mengenakan kain penutup kepala yang sudah basah tersebut.

Namun tanpa kuduga, pria tua tersebut langsung melepas kaos polo dan celana pendek yang ia kenakan, hingga ia hanya memakai celana dalam. Setelah itu, ia ikut melompat ke dalam kolam renang dan menghampiriku. Tanpa berkata-kata, ia merengkuh tubuhku di dalam air, dan kembali mengecup bibirku. Aku pun balas mengalungkan tanganku di lehernya.

"Kamu bahagia?" Bisiknya di telingaku, sambil mengurai beberapa helai rambutku yang sudah basah.

"Iya, Om. Dan aku harap Om bisa membuatku tambah bahagia," jawabku.

"Kita lihat saja," ujarnya sambil tersenyum.

Dengan gerakan lembut, Pak Raharjo menarikku ke arah kolam yang sedikit lebih dangkal. Begitu sampai, ia langsung meloloskan kaos lengan panjang dan celana panjang kain yang aku kenakan. Pakaian dalamku pun langsung ia lepas, hingga tak ada satupun kain yang menutup tubuhku di dalam kolam renang ini. Ia pun melepaskan celana dalamnya sendiri, dan melemparkannya ke sisi kolam renang.

Tubuhku kembali ditariknya hingga kami berdua saling berhadapan. Ia menarik kedua tungkai kakiku hingga membelit pinggangnya, dan selangkangannya tepat berada di depan kemaluanku. Kini aku baru sadar apa yang ingin ia lakukan di dalam kolam ini. Membayangkannya saja sudah membuatku bergairah.

"Om mau apa?" Meski begitu, aku tetap saja bertanya, untuk membangkitkan birahinya.

"Nikmati saja," ujarnya singkat.

Bibir Pak Raharjo kembali menyentuh bibirku, dan jemarinya mulai bermain-main di payudaraku yang terbuka. Namun yang paling membuatku terangsang adalah ujung penisnya yang mulai mengetuk-ngetuk bibir kemaluanku. Sensasi dingin dari air kolam renang membuat foreplay yang kami lakukan ini benar-benar unik dan menggairahkan.

Justru aku yang mulai tidak kuat bertahan. Mungkin karena aku memang tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Karena itu, aku pun berinisiatif membuat selangkanganku berjarak lebih dekat dengan kemaluan pria tua yang tengah bugil di hadapanku ini.

Seperti mengetahui apa yang aku inginkan, Pak Raharjo tersenyum. Ia pun seperti menggendong tubuhku di dalam air, dan mulai melakukan penetrasi ke dalam kemaluanku yang sudah ia renggut keperawanannya ini.

"Ngggggghhhhhhh ... " Aku tak bisa menahan lenguhan panjang saat batang kemaluan Pak Raharjo menembus vaginaku yang suci. Aku bahkan sampai mencakar-cakar punggung pria tua tersebut demi menahan birahi yang kian menyeruak.

"Tahan sayang, ahhhh ... sempit banget memek kamu, nggghhhh."

Tubuhku pun terdorong ke belakang hingga menempel di pinggir kolam. Gerakan Pak Raharjo makin lama semakin cepat. Meski berada di dalam air, pria berusia 50an tahun itu dengan lihai bisa mempertahankan posisinya sehingga persetubuhan ini terasa menyenangkan, tanpa kehilangan sensasi unik yang berbeda. Aku benar-benar menikmatinya.

Apalagi ketika ujung penis Pak Raharjo begitu dalam menusuk vaginaku, rasanya benar-benar seperti merasa dicintai sepenuh hati oleh pria tua di hadapanku ini. Gairahku serasa melayang, membuatku tidak ingin kehilangan kenikmatan ini dengan cepat.

Untungnya, Pak Raharjo bukan tipe lelaki yang cepat mencapai puncak, sehingga aku punya cukup waktu untuk menikmati detik demi detik persetubuhan dalam air yang luar biasa ini.

"Enak gak yang ngentot sama penulis tua seperti aku, ahhhhhh."

Godaan Pak Raharjo benar-benar membuat birahiku naik. Aku pun makin tak sabar untuk segera mencapai puncak bersama dengan bekas narasumber tulisanku itu. Namun, Pak Raharjo justru melepaskan penisnya dari kemaluanku.

"Ahhh, kenapa Om?" Ujarku dengan penuh rasa kecewa.

"Kamu berbalik, Sayang. Om mau masukin dari belakang."

Aku yang belum pernah melakukan hal itu pun hanya bisa menurut. Aku tahu dari beberapa cerita panas yang aku baca dan cuplikan video porno yang aku lihat sempat berseliweran di media sosial, bahwa pasangan lelaki dan perempuan memang bisa melakukan persetubuhan dengan posisi seperti itu. Namun aku belum tahu bagaimana caranya. Karena itu, aku pun merasa bersemangat saat Pak Raharjo memerintahkan aku untuk melakukannya.

Aku pun menuruti arahannya, dan mulai bisa merasakan bagaimana penis Pak Raharjo yang berukuran besar menyentuh-nyentuh bibir kemaluanku kembali dari belakang. Aku hanya bisa pasrah, sambil menumpukan kedua tanganku ke pinggir kolam, dan memejamkan mata.

Aku bisa merasakan penis besar Pak Raharjo kembali memasuki tubuhku, kali ini dengan posisiku tengah menunduk ke arah depan, hingga payudaraku menjuntai bebas. Seperti tak mau menyia-nyiakannya, kedua tangan Pak Raharjo pun langsung menangkup gunung kembarku dan mulai meremasnya dengan kecepatan konstan.

"Ahhh, nikmat sekali ngentotin kamu dengan posisi seperti ini, Astari. Nikmat sekali tubuhmu ahhhhhh ..."

Dalam hati aku merasa bahagia bisa membuat Pak Raharjo merasa bahagia, persis dengan perasaanku saat berdekatan dengannya. Namun sebenarnya ada secuil keraguan, apakah hubungan ini akan berhasil atau tidak. Apalagi Pak Raharjo mempunyai sejarah hubungan dengan kakakku sendiri, meski waktunya sangat singkat.

Namun aku telah memutuskan untuk tidak memusingkan hal tersebut. Berdasarkan saran dari Mbak Vera dan Ibu, aku hanya ingin menikmati kebahagiaan di masa sekarang dan masa depan, sembari melupakan masa lalu. Dengan begitu, orang yang ada di sampingku pun pasti akan merasa nyaman.

Itulah yang aku harapkan dari hubungan dengan Pak Raharjo. Persetubuhan liat seperti yang tengah berlangsung di dalam kolam renang ini memang hanya salah satu "bumbu penyedap". Namun masakan utamanya adalah menjaga agar Pak Raharjo tetap merasa nyaman menjalin hubungan denganku, entah sampai kapan.

"Ahhhh, Ooooooommmmm .... Terus sodok memek Astari Om, ahhhh, enak terus masukiiiiinnnnn."

"Om mau keluar sayang, ahhhhhhhhh," ujarnya sambil memeluk tubuhku erat dari belakang, dengan penis yang masih bersarang di vaginaku, dan terus bergerak dengan liar.

"Keluarin di luar ya Om, Astari lagi masa subur, ahhhhh ..... terus genjot Om, ahh ahh ahhhh."

"Sempit banget memek kamu manis, jepitannya kuat banget ahhhh, enak banget memek cewek muda, ahhhhhh, nikmaaaaaatttt."

"Astari mau keluar Om, ahhhhh...."

"Om juga, ahhhhhhhh ...."

Saat sudah hampir mencapai puncak, Pak Raharjo pun melepaskan penisnya dan menyemprotkan spermanya begitu saja hingga mencampur dengan air kolam. Aku pun menikmati orgasmeku sendiri yang tak kalah hebatnya mengguncang birahiku.

Aku bisa merasakan Pak Raharjo kemudian memeluk tubuhku dari belakang, menempelkan dadanya di punggungku, lalu mengecup mesra pipiku.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd