Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel

Part 34: Indah

"Kamu mau langsung pergi ke luar kota?" Tanyaku saat suamiku tengah berkemas sebelum esok pagi harus berangkat ke sebuah kota di bagian timur Indonesia.

"Kan sudah aku bilang sejak lama, Sayang. Aku harus menyelesaikan proyek ini sendiri, dan ini akan bagus untuk karierku."

"Tapi kamu kan sudah beberapa kali dinas luar. Bahkan seminggu setelah kita menikah pun kamu sudah langsung pergi ke luar kota."

"Iya, Sayang. Aku mengerti kekhawatiranmu. Namun percayalah, semua akan baik-baik saja, dan setelah ini akan ada banyak waktu luang yang bisa kita habiskan bersama," ujarnya sambil memeluk tubuhku.

Diperlakukan seperti itu, aku tentu tidak bisa marah, dan kembali harus menerima bahwa suamiku memang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kadang ada waktu di mana aku merasa bahwa dia lebih mengutamakan pekerjaannya daripada aku.

Kata-katanya selalu sama, bahwa pengorbanan kami saat ini bisa memudahkan kami untuk mendapatkan waktu untuk hanya bersenang-senang berdua di kemudian hari. Namun apakah itu benar adanya?

***

Amanda-3.jpg

Setiap kali suamiku Jodi pergi dinas ke luar kota, aku lebih memilih untuk menghabiskan waktu akhir pekan dengan berjalan-jalan dan bertemu dengan teman-temanku. Inilah salah satu privilege sebagai seorang editor buku, apabila tugas telah selesai, tidak ada yang namanya lembur di akhir pekan.

Seperti hari sabtu ini, aku telah janji bertemu dengan Jenny, rekanku di kantor. Aku telah puas berkeliling mal melihat-lihat pakaian untuk aku beli menggunakan gaji Jodi yang memang tidak sedikit, dan sekarang sedang duduk di sebuah restoran yang menyajikan hidangan khusus untuk para vegetarian. Apakah aku sudah menjadi vegetarian? Tentu belum. Hanya saja makan di tempat seperti ini mungkin akan membuatku terlihat keren.

Tak berapa lama kemudian, Jenny pun sampai.

"Halo Cantik, maaf ya Say sudah menunggu lama."

"Ah, tidak apa-apa kok. Aku dari tadi juga keliling-keliling mal aja. Ini kamu dari rumah?"

"Iya, biasa lah ..."

"Diajak telponan sama penerjemah sialan itu lagi?" Ledekku.

"Sialan lo ... " ujarnya sambil memanggil seorang pelayan untuk memesan hidangan.

"Makanya, gue bilang juga apa. Jangan suka terlalu benci sama orang, nanti lama-lama jadi cinta, hahaa."

"Udah donk ngeledeknya Amanda, gak seru tahu. Kirain udah nikah tabiat lo bakal berubah, ternyata masih sama aja, hufth."

"Ya ampun, gitu aja ngambek. Sini aku mainin mana pipi embulnya," ujarku sambil mencubit-cubit pipi Jenny yang memang sedikit tembam. Ia hanya menolaknya dengan halus. Kami memang sudah terbiasa bercanda seperti itu.

Kami pun menghabiskan waktu untuk bicara soal pekerjaan, gosip-gosip kantor, dan apa pun yang selama ini tidak bisa kami bicarakan secara terbuka di kantor, karena takut terdengar karyawan lain. Di saat yang sama, kami pun menyantap makanan vegetarian yang harus aku akui cukup enak, meski harganya tidak nikmat di kantong.

"Kamu sendiri bagaimana sekarang setelah menikah, Amanda? Makin asyik donk ya? Hee," tanya Jenny.

"Ya, asyik sih. Tapi ..."

"Tapi kenapa, Jodi masih kurang perhatian?"

"Aku bingung sebenarnya, seperti apa suamiku itu. Seminggu setelah menikah dia sudah langsung dinas luar. Akhir pekan ini pun sama, makanya sekarang aku memilih untuk jalan-jalan sendiri. Aku heran, apakah ini memang hal biasa bagi pasangan suami istri? Apakah salah kalau aku menginginkan dia terus bersamaku saat ini?"

Akhirnya aku melepaskan apa yang aku pendam selama ini di hadapan Jenny. Aku percaya dia tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan aku dengan menceritakannya kembali kepada orang lain. Dan di sisi lain, Jenny kadang mempunyai pemikiran yang lebih dewasa dariku. Itulah mengapa aku sering memilih dia untuk menjadi "tempat sampah" dari semua curahan hatiku.

Sahabatku itu pun berdiri dan berpindah tempat duduk ke sampingku. Ia merangkul pundakku dan mengusapnya lembut. Ia memang tahu betul bagaimana cara terbaik untuk menenangkanku.

"Sudah Amanda, kamu harus sabar. Kalau memang kenyataannya dia harus pergi, jangan sampai kamu sendirian tertekan di sini. Kamu harus melepaskan diri dari belenggu rasa kecewa, atau setidaknya membiarkan dia tahu seberapa berat rasa kecewa yang kamu hadapi," ujar Jenny. "Tapi sebenarnya, apa sih yang kamu khawatirkan? Karena kamu ingin berduaan dengan dia? Atau justru kamu takut dia bermain gila dengan perempuan lain di luar sana?"

"Untuk yang kedua sepertinya nggak, aku percaya betul dengan Jodi. Karena itu mungkin lebih seperti yang pertama ya. Aku mungkin terlalu clingy, terlalu butuh orang lain untuk tempat bersandar."

"Dan sekarang kamu pun tinggal sendirian kan, tidak bersama dengan Ibumu dan Astari lagi?"

"Ya, betul. Itu juga mungkin salah satu alasan mengapa aku jadi terlalu memikirkan banyak hal akhir-akhir ini."

"Kamu harus lebih banyak tenang, Amanda. Hubungan tidak bisa dijalin apabila kamu selalu mengedepankan emosi," ujar Jenny penuh kebijaksanaan. "Apabila menurut kamu masalahnya adalah kebutuhan kamu akan orang yang bisa kamu jadikan sandaran, mungkin ada baiknya kalau selama Jodi pergi kamu datang atau menginap di rumah orang tua kamu."

"Hmm, itu ide yang bagus sih."

"Masih boleh kan kamu menginap di sana? Hee."

"Ya, paling Astari aja yang akan bersikap menyebalkan. Kalau aku jitak dikit juga dia akan langsung diam, hahaa."


***

Setelah bertemu Jenny di mal, aku pun memutuskan untuk mengikuti sarannya untuk berkunjung ke rumah Ibuku. Hampir seluruh pakaianku memang sudah dipindahkan ke rumahku yang baru. Karena itu, mungkin aku tidak akan bisa menginap malam ini karena belum membawa baju ganti. Tapi paling tidak, aku bisa menenangkan diri dengan bertemu dengan Ibuku dan Astari.

"Assalamualaykum," ujarku sambil mengetuk pintu.

Aku sebenarnya merasa janggal melakukan itu, karena biasanya langsung nyelonong masuk saja tanpa salam, karena aku memang tinggal di situ. Namun dengan posisiku yang sudah tidak tinggal di sana, sepertinya lebih baik kalau aku menghaturkan salam terlebih dahulu seperti ini.

Tak lama kemudian, Ibu membuka pintu. "Ya ampun, lihat Astari, siapa neh yang datang," ujar Ibu yang langsung memelukku erat. "Kok gak bilang dulu kalau mau datang, naik apa tadi?"

"Kan ceritanya kejutan, hee. Aku tadi naik taksi online."

"Jodi gak diajak?"

"Dia sedang tugas ke luar kota, Bu."

Seperti tahu akan apa yang sebenarnya terjadi, Ibuku tidak bertanya-tanya lagi. Itulah yang aku suka dari Ibu, dia bisa mengetahui segala hal tanpa perlu bersikap pengin tahu tentang semuanya. Dan ketika perasaan anaknya sedang terombang-ambing, ia tahu bagaimana harus bersikap. Itulah mengapa aku dan Astari sangat sayang kepada Ibu.

"Ya ampun, si cantik toh yang datang. Kirain siapa," Astari yang menyusul Ibu ke pintu depan langsung menghambur ke arahku, dan ikut memelukku.

"Dasar, bisa benyek neh nanti kakak kalau dijepit berdua kayak gini. Sudah, sudah ... ampun," ujarku.

Kami bertiga pun masuk ke dalam rumah, yang suasananya masih sama dengan saat aku tinggalkan beberapa minggu lalu. Foto-foto kami bertiga, dan beberapa foto Ayah, masih berjejer rapi mengelilingi ruangan.

Ibu dan Astari sepertinya tengah makan malam saat aku datang tadi. Namun alangkah kagetnya aku saat mengetahui kalau mereka tidak hanya berdua di meja makan. Ada seorang lagi yang sangat aku kenal.

"Halo, Amanda. Apa kabar?" Ujar pria tua itu sambil melambai ke arahku.

Aku pun melangkah mendekatinya, lalu menarik sebuah kursi makan dan duduk di atasnya. "Hmm, aku baik. Bapak bagaimana kabarnya?" Tanyaku dengan canggung.

"Baik juga kok."

Aku yang masih terkejut kemudian menatap ke arah Ibu dan Astari bergantian, seperti meminta jawaban atas keberadaan pria tersebut di rumah ini.

"Tidak perlu aku kenalin lagi ya kalau begitu, kan kalian sudah berbulan-bulan garap novel bareng, hee."

Sebuah jawaban yang tidak menjawab apa pun dari adikku yang masih cengengesan melihat kakaknya sedang kebingungan. Aku akhirnya menatap Ibu, pilihan terakhir yang aku punya saat ini.

"Astari yang mengajak Raharjo datang. Katanya biar makan malamnya makin ramai," ujar Ibu yang sepertinya kasihan melihatku kebingungan. Astari dan Pak Raharjo hanya tersenyum mendengar cerita Ibu.

Sedikit banyak, aku mulai bisa membaca situasi. Sepertinya Astari-lah yang mengajak Raharjo datang ke rumah. Namun hubungan antara keduanya pastinya bukan hubungan biasa, karena ini kan malam minggu. Aku pun mengingat bahwa Astari pernah menulis artikel tentang Pak Raharjo, yang pastinya menyebabkan mereka berdua pernah bertemu atau berkomunikasi saat melakukan wawancara. Apakah?

"Sudah jangan kebanyakan mikir, ayo makan dulu," ujar Astari menggodaku.

Setelah makan, Astari dan Pak Raharjo pun seperti menghindar dari topik soal hubungan mereka berdua. Kami berempat asyik bercengkerama membicarakan hal-hal remeh mulai dari tetangga mana yang ketahuan selingkuh, rencana novel terbaru Pak Raharjo, office boy di kantor Astari yang sering kena damprat olehnya, dan banyak lagi cerita lain yang tidak sempat kudengar setelah beberapa minggu aku menikah.

Mendengarkannya kembali membuat aku merasa menemukan rumah kedua, meski Ibu pernah mengatakan kepadaku bahwa rumah ini akan tetap menjadi rumah untukku, sampai kapan pun.

Akhirnya tiba juga waktuku untuk pulang. Karena itu, aku pun duduk di sofa di ruang keluarga, yang biasa aku duduki memang saat masih tinggal di rumah tersebut, untuk memesan taksi online. Di dapur masih terlihat Astari yang sedang mencuci piring, ditemani oleh Pak Raharjo. Mereka tampak bahagia sekali, dengan tawa yang terus menghiasi bibir mereka. Hatiku pun terasa berat melihat kebersamaan mereka.

"Kamu mau pulang apa menginap, Amanda?" Tanya Ibuku yang baru saja menghampiriku.

"Pulang, Bu. Kan pakaian Amanda semuanya sudah dibawa ke rumah baru."

"Ya kamu kan masih bisa pakai bajunya Astari."

Perkataan Ibu memang benar adanya, tetapi sepertinya malam ini bukan waktu yang tepat untuk menginap, terlebih dengan keberadaan Pak Raharjo.

"Gak apa-apa, Bu. Amanda harus pulang dan membereskan rumah, khawatir nanti Jodi datang tapi rumahnya malah berantakan," jawabku sambil tersenyum.

Ibuku pun mengangguk.

"Atau kamu pulang diantar saja oleh Raharjo," ujar Ibu.

Aku pun menggeleng, "Nggak usah Bu. Pak Raharjo kan sama Astari, nanti mereka bagaimana kalau harus antar aku?"

"Sudah, tidak perlu dipikirkan. Astari, Raharjo sudah mau pulang kan?" Ujar Ibuku setengah berteriak ke arah dapur. Aku yang ingin menahannya sudah kalah cepat.

Tak lama kemudian, Astari menghampiri kami berdua, dan Pak Raharjo tampak berdiri di belakangnya. "Ada apa Bu?"

"Ini lho, kakakmu mau pulang. Kasihan sudah malam begini kalau naik taksi online. Apa tidak lebih baik kalau dia diantar oleh Raharjo?"

Astari tampak berpikir sejenak, sebelum kemudian mengangguk. "Iya, lebih baik begitu Bu. Bahaya soalnya kalau naik mobil yang tidak dikenal malam-malam begini."

"Astari, tidak apa-apa kok, aku bisa pulang sendiri. Tidak perlu repot-repot," aku berusaha menahannya.

"Nggak apa-apa Kak. Om Raharjo mau kan antar Kak Amanda?" Tanya Astari pada pria di belakangnya. Ia pun mengangguk. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.

***

Aku telah duduk di kursi penumpang, di mobil milik Pak Raharjo. Pria tua tersebut masih ingin mengucapkan salam perpisahan dengan adikku. Aku pun bisa melihat jelas bagaimana mereka bergandengan tangan, dan kini saling mengecup bibir masing-masing. Tebakanku ternyata tidak meleset, memang ada sesuatu antara Pak Raharjo dan Astari.

Tak lama kemudian, Pak Raharjo pun masuk ke dalam mobil di kursi pengemudi. Astari mendekatiku posisi dudukku dari luar mobil, sehingga aku berinisiatif membuka kaca jendela.

"Hati-hati ya Kak Amanda, selamat sampai di rumah," ujarnya. "Om Raharjo jangan ngebut-ngebut, awas kalau sampai terjadi apa-apa dengan kakakku."

Aku merasa ada penekanan pada kalimat kedua yang diucapkan adikku, tetapi mungkin itu hanya perasaanku saja.

"Iya, sayang. Om pergi dulu ya," ujar Pak Raharjo sambil melambaikan tangan kepada adikku.

Setelah beberapa menit mobil berjalan, barulah aku membuka percakapan.

"Jadi Bapak dengan Astari sekarang sudah ..."

Pria tua tersebut hanya mengangguk sambil tersenyum, dan terus fokus ke jalanan di hadapannya.

"Apakah ia tahu tentang aku dan Bapak yang pernah ..."

Ia kembali mengangguk.

"Coba Bapak ceritakan apa yang terjadi antara kalian berdua, aku butuh penjelasan," ujarku mendesak.

Pak Raharjo akhirnya menceritakan semuanya dari awal hingga akhir. Meski aku merasa ada detail-detail yang sengaja ia sembunyikan untuk dirinya sendiri. Namun aku mulai bisa menangkap apa yang terjadi di luar sepengetahuanku antara pria tua tersebut dengan adikku.

"Kamu gak marah kan?" Tanya Pak Raharjo.

"Kenapa aku harus marah?"

"Astari itu adik kamu. Kalau ada sesuatu yang terjadi pada dia, sudah sepantasnya kamu marah."

Dalam hati aku mengiyakan perkataan Pak Raharjo tersebut. Namun apakah aku menganggap pria tua itu sebagai hal buruk bagi adikku, belum bisa aku temukan jawabannya.

Sekitar 1 jam kemudian, sampailah kami di rumahku yang baru. Saat mobil telah berhenti, aku hendak mengambil dompet yang aku letakkan di kompartemen tengah. Sementar Pak Raharjo sepertinya hendak memasang rem tangan agar mobil tidak lagi bergerak apabila remnya dilepas. Namun, semesta seperti menentukan bahwa tangan kami harus bersentuhan, yang kemudian kami lanjutkan dengan saling menggenggam tangan satu sama lain.

Mengetahui hal itu, aku pun menoleh ke arah Pak Raharjo yang berada di kursi pengemudi. Ia ternyata juga tengah menatap wajahku. Tanpa terasa, wajah kami berdua kian lama kian mendekat, hingga tak ada apa pun yang akhirnya menjadi jarak di antara keduanya.

TAMAT
 
Terakhir diubah:
Mungkin aku mau sedikit curhat tentang awal dan proses penulisan cerita "Tak Seindah Kisah Cinta di Dalam Novel" ini.

Awalnya, cerita ini aku tulis di masa pandemi sekitar satu tahun lalu. Ide awalnya adalah aku mengikuti cara suhu @killertomato yang membuat cerita baru (menurut dia) untuk mengalihkan dari cerita lama yang seperti stuck penulisannya. (Terima kasih banyak suhu atas masukan dan petunjuknya selama ini) Dan seperti yang kalian tahu, yang saya sebutkan juga di awal cerita ini, ada cerita saya yang berjudul "Pengkhianatan Cinta" yang sampai sekarang belum Tamat.


Seiring berjalannya waktu, cerita ini sendiri pun sempat stuck dan tidak update selama berbulan-bulan. Saya pribadi minta maaf karena di rentang waktu itu ada masa di mana saya kena Covid, dan banyak urusan juga mengurus rumah tangga dengan misua. Karena itu, ketika akhirnya cerita ini selesai, saya pribadi merasa senang dan bangga, terlepas dari apresiasi dari kalian para pembaca nantinya seperti apa.

Dengan berakhirnya cerita ini, maka saya akan kembali fokus menyelesaikan cerita Pengkhianatan Cinta agar bisa cepat menyentuh kata Tamat. Selain itu, akan ada juga cerita baru yang akan muncul secara berkala dalam waktu dekat. Jangan lupa tunggu terus cerita-cerita terbaru dari aku ya

:fgenit:
 
Terimakasih suhu..semoga selalu sehat dan lancar
 
Ending yang bagus banget Suhu. Bikin nebak2 apa yang selanjutnya terjadi antara Amanda, Raharjo dan Astari. Selamat atas titel tamatnya. Berharap ada season 2 nya hehe
Trims suhu untuk karyanya yang sangat menghibur ini. Tetap setia menunggu karya suhu @fathimah berikutnya.
 
Eh..eh..i..itu yg diakhir apa maksudnya ya hey?! Saya tim amanda raharjo tidak bisa membiarkan hal seperti ini :aduh: :galak:
 
Dan terjadi lagi antara Amanda dan Raharjo.... Silahkan khayalkan sendiri ssnya šŸ˜
 
ini beneran penulis novel ya? bagus banget ceritanya, ayo tambah lagi min,

bintang 5, bisa di kembangin lagi sepertinya
 
Bimabet
Keren,. Akan selalu menunggu cerita2 terbaru..
Alur cerita yg menyenangkan, lembut, tapi bikin tegang terus kalo baca sambil imajinasiin persenggamaan amanda dan pak raharjo...bikin ngiler..
Anw, semoga terus berkarya, suhu ..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd