Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAN IMPIAN

CHAPTER 9

Hari yang melelahkan bagi John. Setelah malam kemarin menghadiri pesta pengangkatan Rafael menjadi CEO yang nyaris tidak tidur, paginya ia harus menghadiri perkuliahan. Beruntung besok adalah tanggal merah jadi setidaknya malam ini John tidak perlu begadang untuk mengerjakan tugas kuliah. John berbaring dengan damai di atas kasur dengan menatap langit-langit ruangan kamar tidurnya, walaupun sebenarnya bukan itu fokus John saat itu. Pemuda itu kembali berangan-angan di alam hayalnya dan tersenyum seperti orang yang terlalu bahagia membayangkan impiannya akan segera menjadi kenyataan.

Bunyi pintu terbuka diikuti derap langkah kaki. Karena merasa ada orang yang masuk, John langsung mengalihkan pandanganya ke arah orang yang memasuki kamarnya. John langsung bangkit dan duduk di sisi ranjang. Menatap Tina dengan tangan sedang memegang sebotol air mineral. Tina tesenyum sesaat setelah ia menaruh botol air mineral di atas meja kecil di samping tempat tidur, John pun tersenyum lembut padanya dengan gestur tangan yang mengajak Tina duduk di pangkuannya. Tina berseri. Gadis itu tak ragu untuk menghampiri. Ia tak malu lagi untuk langsung secepatnya naik di atas kedua paha kakaknya.

“Kau melupakan makan malammu,” ujar Tina seraya mengalungkan kedua lengannya ke leher John. Memang malam itu John tidak ikut bergabung saat makan malam.

“Aku gak bernafsu makan. Aku hanya ingin tidur,” jawab John sambil merangkul pinggang adiknya.

“Em … Kemarin malam kamu dan mama kemana?” tiba-tiba Tina bertanya. John sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. John tidak langsung menjawab, ia malah menatap lembut ke wajah Tina.

“Kami menginap di hotel,” John menjawab setelah beberapa detik terdiam.

“Mama bilang kalau dia menginap di hotel bersama teman-temannya, tapi ternyata denganmu … Sebenarnya, apa yang kalian sembunyikan? Bukankah di rumah ini kalian bisa making love sepuasnya?” tanya Tina lagi semakin menjurus.

“Mama dan aku segan memberitahukannya padamu … Karena kamu pasti akan marah …” jawab John lagi setelah menghela nafas. “Dan rasanya kita gak perlu lagi membicarakan hal ini,” tegas John.

“Ya … Kurasa begitu …” Suara Tina kini terdengar sendu. John menyadari betul kalau Tina mengetahui maksud pembicaraannya.

“Maafkan aku … Bukannya aku tidak sayang sama kamu. Tapi dia sahabat terbaikku,” kata John.

“Ya … Aku tahu …” lagi, suara Tina semakin sendu.

“Kamu sudah makan?” tanya John lembut sembari mengusap-usap perut sang adik.

“Sudah … Sebelum aku ke sini,” Tina menjawab sambil merasakan tangan lembut John yang bergerak menelusup ke balik piyama tidurnya dan memberikan usapan di perut. John mendengar desahan nikmat dari bibir Tina ketika tangannya memberikan remasan pelan penuh penantian.

“Kamu sadar gak … Kalau kamu itu wanita yang sempurna. Kamu cantik dan seksi. Cukup dengan mengedipkan mata, aku yakin tak akan ada satu pun laki-laki yang menolakmu,” kata John.

Tiba-tiba Tina menangkupkan tangannya di pipi John. Gadis itu lalu membelai garis rahang John menggunakan punggung jemarinya dan langsung menyerang pemuda itu, menyelimuti mulut John itu dengan mulutnya sendiri. Kehangatan langsung melingkupi saat John bisa merasakan bibir lembut Tina membelainya. Ketika John bisa merasakan belah bibir itu membuka dan memberinya peluang, ia segera menjulurkan lidahnya masuk ke dalam sana dan merasakan kelembutan Tina. Tangannya menyentuh dan mengusap punggung wanita itu dari bawah ke atas dan seterusnya dan ketika tiba-tiba Tina mendorongnya untuk berbaring, John merasa cukup terkejut telah mendapati Tina menindih bagian atas perutnya.

Sekali lagi John menghirup napas dalam-dalam dan berusaha agar tak terlihat terkejut akan aksi adiknya itu. Ia mengerang lagi ketika Tina menempelkan bibir mereka dan dengan cepat John menangkupkan tangannya di punggung wanita itu. Kulit punggung Tina hanya terhalang gaun katun tipis yang akan dengan mudah dirobek jika John berminat melakukannya. Akan terlalu mudah bagi pria itu untuk menelanjangi Tina, tetapi yang ia lakukan untuk sementara waktu hanya menunggu dan tetap tenang.

Di balik celananya, John telah mengeras bahkan sempurna ketika dirinya berulang kali merasakan bokong Tina menggesek bagian bawah tubuhnya. John mengerang dalam tenggorokannya dan meremas gaun yang Tina kenakan. Liur mereka meninggalkan jejak berantakan dan membuat John merasa semakin antusias. Jantungnya berdetak cepat, sementara keringat mulai membentuk sungai kecil di pelipis.

Tina melepaskan ciumannya sejenak dan dalam naungan cahaya terang itu. John dapat melihat lawannya tersenyum manis. John ikut tersenyum, menyanjung kecantikan adiknya dalam hati. Tangan John bergerak menyentuh bahu Tina, meraih wanita itu agar lebih dekat lalu menurunkan satu tali gaun tidurnya. Tina menahan pria itu sambil menyungging satu ujung bibirnya serta merta menukik sebelah alis seolah menantang.

“Tidak sekarang,” kata gadis itu lirih. John gelisah mendengarnya, ia bisa meledak kapan saja dan pria itu benci menghadapi kenyataan bahwa Tina berusaha untuk menghalanginya.

“Kenapa?” tanya John heran dan penasaran.

“Seseorang menunggumu di bawah,” jawab Tina dengan mengembangkan senyum tipis di bibirnya.

“Siapa?” tanya John terkejut.

Tina tidak menjawab dan hanya melebarkan senyumnya. Gadis itu lalu bangkit dari atas tubuh John dan turun dari tempat tidur. John segera bergerak turun dari tempat tidur kemudian berjalan di samping Tina keluar kamar. Sementara Tina mengambil arah menuju dapur, John melangkah menuju ruang depan. Sesaat kemudian, mata John terbuka lebar-lebar, ia terbelalak dengan apa yang dilihatnya saat berada di ruang depan. Rafael yang sedang duduk di sofa mengembangkan senyum tanpa dosa membalas tatapan mematikan dari John.

“Are you crazy???” John bertanya dengan nada terkejut yang sama sekali tak bisa ia tutupi. Rafael menjawab dengan menggeleng-gelengkan kepala, bibirnya melengkung ke bawah.

“Tenang saja, bro … Keadaan aman terkendali …” kata Rafael santai.

“Apa kau ketemu dengan Tina?” tanya John dengan suara kecil yang masih bernada kaget.

“Tadi … Sebentar … Dia belum bisa memaafkanku … Masih jutek …” jawab Rafael dengan mimik sedikit mendung.

“Oh …” respon John singkat sambil geleng-geleng kepala.

“Aku mau mengajakmu ke Puncak Bogor. Keluargaku punya villa yang sudah lama tidak dipakai. Rasanya kita bisa menggunakan tempat itu untuk taman impianmu. Kita lihat dulu ke sana. Siapa tahu kamu cocok dengan tempat itu,” kata Rafael setengah berbisik.

“Aaasiiaaapp … Aku ganti dulu baju …” jawab John sangat bersemangat.

Setengah berlari John meninggalkan begitu saja sahabatnya itu. John menuju kamarnya dan mengganti pakaian. Tak memakai acara berias dahulu, setelah menyambar tas laptop, pemuda itu langsung mendatangi lagi Rafael di ruang depan. Kedua pemuda itu berpamitan kepada orangtua John dan segera berangkat ke lokasi villa di Puncak Bogor menggunakan mobil mewah milik Rafael. John yang memegang kemudi sementara Rafael duduk di samping John. Dan mereka terlibat dalam obrolan seru tentang rencana membangun taman impian yang terkadang diselingi debat panas antara mereka.

Tak terasa, perjalanan tiga jam serasa seperti satu menit bagi mereka, akhirnya kedua pemuda itu memasuki villa yang terlihat sangat mewah dengan dinding batu yang sangat tinggi. Suasana gelap di malam hari tertolong oleh cahaya rembulan dan juga lampu-lampu yang tersebar di berbagai titik sehingga John bisa melihat keadaan villa yang sangat terawat baik. Sebuah penginapan dengan gaya artistik dan unik yang mewah, serta dikelilingi oleh asrinya pepohonan khas suasana pegunungan.

Pemandangan pertama yang bisa terlihat adalah sebuah halaman luas depan villa yang dihiasi oleh taman-taman kecil dengan berbagai bunga. Area cukup luas di kiri bangunan villa digunakan sebagai tempat parkir kendaraan beroda dua dan empat. Sedangkan parkir untuk kendaraan besar berada di depan kompleks villa.

Memasuki kompleks villa lebih dalam, ada bangunan bertingkat sebagai ruang penginapan utama, dengan model unik yang terbuat dari batu bata dan kayu-kayu. Penginapan utama ini terlihat seperti istana dengan pilar-pilar yang menjulang tinggi. Selain itu ada lapangan multiguna di halaman samping yang bisa dipakai untuk bermacam-macam kegiatan. Di halaman belakang terdapat kolam renang outdoor. Bangunan villa dengan taman utama yang ada di bagian tengah kompleks dipisahkan oleh lorong terbuka yang dirimbuni oleh tanaman merambat dengan sulur-sulur akar menggantung serta dihiasi berbagai tanaman bunga.

“Perfect …!” seru John sangat senang. Tidak menyangka kalau taman impiannya sudah di depan mata.

“He he he … Aku sudah gak sabar memulai pesta kita …” sahut Rafael seraya meninju lengan John.

“Kita harus mengumpulkan dulu anggota … Sebaiknya kita mulai dari sekarang,” kata John.

“Setuju …!” sambut Rafael.

Kedua pemuda itu kemudian masuk ke gedung utama. John dan Rafael duduk di sofa besar setengah lingkaran berwarna merah yang terdapat di pertengahan ruangan dengan meja kaca persegi di tengah-tengah sofa. John segera membuka laptop-nya lalu memasang modem eksternal. Tak lama, mereka mulai berselancar di dunia maya mencari pasangan incest yang menurut kedua pemuda itu layak untuk dijadikan anggota. Seperti biasa, ‘bila tidak ada perdebatan gak rame’, saat John menemukan pasangan yang menurutnya cocok, Rafael menolak dengan alasan tidak berselera. Begitu pula sebaliknya, selera Rafael bertentangan dengan John.

“Susah juga mempersatukan selera kita,” kata John setengah mengeluh.

“Katanya, kamu sudah mempunyai dua pasangan incest? Jangan-jangan mereka tidak sesuai dengan seleraku,” ujar Rafael terdengar merendahkan.

“Oh ya …???” John sewot. Kemudian John mengambil smartphone dari saku celana. Sejenak pemuda itu mengutak-atik layar smartphone mencari foto tante Yuni yang ada di galerinya. “Bagaimana?” John menyodorkan smartphone miliknya pada Rafael.

“Hhhmm … Ini baru benar …” jawab Rafael setelah memperhatikan dengan seksama foto di layar smartphone. “Aku setuju dengan yang ini. Sekarang yang satunya, mana?” tanya Rafael selanjutnya. John segera mencari foto tante Citra dalam galeri kemudian memperlihatkannya pada Rafael. “Hhhmm … Boleh juga …” jawab Rafael membuat hati John sedikit lega.

“Apakah kita jalan saja dengan hanya empat pasangan?” tanya John pada Rafael yang masih memandangi foto tante Citra.

“Sebenarnya kurang asik … Tapi, terserah saja …” jawab Rafael sambil mengembalikan smartphone di tangannya kepada John.

“Bro … Kamu ingat gak teman SMA kita yang bernama Agam?” tiba-tiba John teringat seseorang.

“Hhhmm … Ya, aku ingat … Anak paling badung di sekolah kita dulu …” jawab Rafael setelah beberapa saat mengingat-ingat dengan nama itu.

“Ibunya cantik banget, bro … Badannya seksi … Aku sebulan kemarin ketemu dengan ibunya si Agam … Dia tambah cantik dan seksi saja …” kata John sambil menatap sahabatnya.

“Tapi apakah mereka pasangan incest?” tanya Rafael.

“Aku bisa membuatnya begitu, seperti aku menjerumuskanmu,” kata John sambil tersenyum.

“He he he … Dasar bajingan … Tapi aku ingin lihat dulu wajah ibunya …” sahut Rafael bersemu malu.

“Wajahnya mirip dengan pecunmu si Dea … Tapi aku rasa ibu si Agam lebih cantik dan lebih seksi,” kata John.

“Wow … Kalau benar seperti itu, aku setuju …” jawab Rafael bersemangat.

“Aku agak yakin kalau aku bisa mengkondisikan si Agam dengan ibunya, karena yang aku tahu anak itu sangat menyanjung-nyanjung ibunya, seperti gak ada lagi wanita yang secantik ibunya. Si Agam pernah ngomong padaku kalau dia ingin mempunyai pasangan secantik ibunya,” ungkap John sembari mengingat kejadian lima tahun yang lalu itu.

“Bagus kalau begitu, rasanya usaha kita tidak akan sulit,” tanggap Rafael.

“Apakah kamu punya bidikan lain untuk anggota kita selanjutnya?” kini John bertanya pada Rafael.

“Em, aku gak yakin … Tapi mungkin bisa aku usahakan. Aku punya sekretaris cantik. Aku rasa dia sejenis MILF karena terlihat olehku kalau dia genit dan tadi siang saja berusaha menggodaku,” jawab Rafael sedikit ragu.

“Kamu bisa menggiring dia dengan kekuasaan yang kamu punya. Aku rasa itu mudah dilakukan,” kata John.

“Ya, sepertinya aku bisa melakukannya,” ucap Rafael sambil mengangguk-anggukan kepala.

“Oke untuk sementara dua target dulu. Kalau ini berhasil, kita cari dua pasangan lagi,” kata John.

“Oke …” Rafael pun tersenyum.

Kedua pemuda itu akhirnya memutuskan untuk memeriksa villa secara keseluruhan. John dan Rafael menganggap villa ini layak untuk dijadikan taman impian mereka. Setelah berkeliling selama setengah jam, John dan Rafael kembali ke gedung utama di mana telah tersedia kopi yang masih hangat dan gorengan. Ternyata pegawai yang mengurus villa sengaja menyediakan kopi dan gorengan setelah mendengar tuannya datang. Akhirnya mereka bertiga terlibat dalam obrolan sambil menikmati hangatnya kopi. Namun obrolan ketiganya tidak berlangsung lama karena John yang merasa kelelahan meminta izin untuk tidur duluan yang diikuti Rafael tak lama dari saat itu.

#####

Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, tetapi John dan Rafael sudah terbangun pagi-pagi sekali. Keduanya sudah tampak rapi dan siap meninggalkan villa. Tak lama berselang, mobil yang dikemudikan John dan Rafael sebagai penumpangnya, telah meninggalkan villa menuju Jakarta. Jalan yang dipenuhi tambal sulam membuat John dan Rafael terpaksa harus bergoyang meliuk ke kanan dan kiri untuk menghindari jalan yang kurang mulus. Baru saja 20 menit perjalanan, tiba-tiba kedua pemuda itu melihat keributan di sebuah rumah yang letaknya di sisi jalan. Tampak beberapa orang sedang mengerubuti dua orang yang tampak ketakutan. Dua orang yang ketakutan tersebut terduduk di atas tanah sambil menggunakan tangannya untuk melindungi tubuhnya dari amukan orang-orang yang mengelilingi mereka.

“Stop!!!” teriak Rafael dan John pun menginjak rem sedalam-dalamnya. Mobil berhenti mendadak dan secepatnya Rafael keluar dari dalam mobil.

“Hei …! Kalian …! Hentikan …!” Rafael berteriak keras sambil berlari mendekati kerumunan.

“Kamu siapa?!” seorang dari mereka yang mengerubuti menegur keras Rafael yang tiba-tiba datang.

“Hentikan kekerasan … Kalian akan rugi sendiri …! Kalau dia kriminal, serahkan saja kepada yang berwajib!” kata Rafael yang sukses semua orang berhenti anarkis. Sepertinya semua orang yang ada menyadari kebenaran ucapan Rafael.

“Mereka pezina nista … Ibu dan anak melakukan zina … Kita harus menghukum mereka …” salah seorang lagi berteriak lantang.

“Biarkan kami yang mengurus mereka … Kami akan bawa mereka ke yang berwajib …” kata John setelah berada dalam kerumunan. Tanpa ragu John mendekati dua orang yang terduduk di tanah lalu jongkok di dekat keduanya.

“Siapa yang bertanggung jawab di sini?” tanya Rafael pada khalayak.

“Saya … Saya RT di lingkungan ini …” jawab seorang paruh baya yang menggunakan ikat kepala dari kain batik.

Rafael pun membawa ketua RT agak menjauh dari lokasi kerumunan. Tanpa ragu, Rafael meminta ketua RT untuk melepaskan ibu dan anak itu dengan menawarkan sejumlah uang, ibarat uang tebusan. Ketua RT akhirnya tak bisa menolak penawaran Rafael karena uang yang ditawarkan berjumlah cukup besar. Terjadi kesepakatan antara Rafael dan ketua RT. Sejurus kemudian, Rafael menuju mobilnya dan mengambil satu gepok uang berwarna merah. Uang itu Rafael serahkan kepada ketua RT. Hanya selang beberapa menit kemudian, kerumunan pun membubarkan diri atas perintah ketua RT.

“Sebaiknya kalian ikut bersama kami,” ucap Rafael setelah keadaan aman dan terkendali.

“Terima kasih … Tapi kami tidak mau dibawa ke kantor polisi,” ucap si pemuda dengan wajah yang masih pucat.

“Tidak … Kalian akan aku bawa ke villa punyaku di atas,” jawab Rafael lagi.

Mobil pun meluncur kembali ke villa membawa kedua orang yang nyaris saja menjadi bulan-bulanan massa. Tak ada suara sepanjang perjalanan sekitar 20 menit tersebut. Suasana hening hanya suara mesin mobil yang terdengar. Mobil masuk ke dalam lokasi villa dan diparkir tepat di depan gedung utama. John dan Rafael membawa ibu dan anak itu masuk ke dalam gedung. Mereka pun duduk di sofa besar tengah ruangan.

“Perkenalkan … Nama saya Rafael dan ini sahabat saya namanya John. Tolong perkenalkan diri kalian pada kami,” kata Rafael dengan gaya bahasa khasnya yang kaku dan formal, dan si pemuda yang menjawab.

“Nama saya Gugun dan ini ibu saya bernama Tati,” jawab si pemuda dengan membungkukan badannya berkali-kali.

“Gun … Aku ingin mengajukan pertanyaan dan kamu harus menjawabnya jujur. Perlu kamu ketahui, aku paling gak suka dengan orang yang gak jujur. Paham?!” kata Rafael.

“Ya, kang … Silahkan …” sahut Gugun masih dengan sikap hormatnya.

“Apakah benar kalian melakukan hubungan seks?” tanya Rafael to the point. Gugun dan Tati menunduk karena rasa malu yang mereka rasakan.

“Kalian tidak usah malu … Ngomong aja apa adanya …” timpal John yang menyadari keadaan ibu dan anak di hadapannya.

“Kalau kalian tidak mau menjawab atau berbohong. Terpaksa aku akan mengembalikan kalian ke Pak RT,” Rafael tegas mengancam.

“Oh, ja..jangan … Ba..baiklah, saya akan menjawab,” ujar Gugun panik.

“Kalau begitu, cepat katakan. Aku paling tidak suka menunggu,” sambung Rafael.

“Ya, benar kami melakukannya,” jawab Gugun pelan dan kepalanya semakin menunduk.

“Hhhmm … Kalian tidak perlu merasa cemas apalagi takut … Tolong, angkat wajah kalian,” ucapan Rafael mulai terdengar melunak. Mendengar suara Rafael yang mulai bersahabat, Gugun dan Tati pun berani mengangkat wajahnya. “Bagaimana John? Apakah mereka layak dijadikan anggota?” tanya Rafael yang kini tertuju pada sahabatnya.

“Sejak awal melihat mereka … Aku berharap kau langsung mengangkat mereka menjadi anggota,” kata John sebagai tanda kalau dirinya menginginkan ibu dan anak ini.

“Oke … Aku cocok dengan mereka,” kata Rafael. “Sekarang giliranmu yang bicara,” lanjut Rafael.

“Baiklah … Gugun dan Tati … Kami sengaja menyelamatkan dan mengajak kalian ke sini karena kami berdua mempunyai rencana membuat komunitas atau perkumpulan orang-orang di mana ibu dan anak saling mencintai dan melakukan hubungan seks. Sekarang aku akan menawarkan, apakah kalian akan bergabung bersama kami?” jelas John yang diakhiri dengan pertanyaan.

“Oh …” terdengar suara lirih dari Tati seakan tak percaya.

“Apa akang ini serius? Kalau memang serius, saya akan sangat mendukungnya,” kata Gugun sedikit terperangah.

“Kami serius,” jawab John sambil tersenyum.

“Kalau begitu, saya dan ibu ikut di kelompok ini,” jawab Gugun sambil memegang tangan ibunya.

“Okay … Kita sudah sepakat … Karena kalian sudah terusir dari rumah kalian … Sekarang aku tawarkan kalian tinggal di villa ini. Tapi, hanya kalian berdua tidak dengan anggota keluarga kalian yang lain. Bagaimana?” tanya Rafael.

“Oh … Terima kasih sebelumnya … Terima kasih atas kebaikan akang … Tentu kami sangat menerima tawaran akang itu dan kami berjanji tidak akan membawa anggota keluarga kami yang lain,” jawab Gugun dengan senang hati.

“Baiklah kalau begitu. Tapi aku ingin kalian pelihara tempat ini sebaik mungkin. Kalian harus baik dengan pegawai-pegawai yang mengurus tempat ini,” kata Rafael.

“Pasti kang … Saya dan ibu akan merawat tempat ini sebaik-baiknya, seperti rumah kami sendiri,” jawab Gugun.

“Oh, ya … Apakah kalian punya pekerjaan?” tanya John.

“Sebenarnya kami adalah guru di sekolah dasar dekat rumah kami. Tapi dengan kejadian tadi rasanya kami tidak bisa lagi mengajar karena kami pasti ditolak masyarakat,” ungkap Gugun sendu.

“Tidak usah khawatir … Kalian akan mengajar kembali di sekolah kepunyaan ibuku di Kota Bogor. Nanti aku akan bicara dulu dengan ibuku,” kata Rafael sambil tersenyum. Tentu saja ibu dan anak tersebut menyambutnya dengan gembira dan mengucapkan terima kasih pada Rafael dengan setulus hati.

Mereka akhirnya berbincang-bincang cukup lama, terutama Gugun yang menceritakan pengalaman hidup dirinya sampai terjebak hubungan incest dengan ibunya. Keduanya saling mencintai sampai terjadi hubungan badan dikarenakan ayah Gugun selalu bersikap kasar kepada ibunya. Di sela-sela perbincangan, John berusaha menggoda Tati yang lebih banyak diam dan hanya tersenyum. Usha John ternyata tidak sia-sia, Tati mulai berani bicara bahkan mengajukan pertanyaan yang bersifat pribadi kepada Rafael dan John. Suasana di antara mereka semakin cair. Terlihat tidak ada lagi kecanggungan, suasana hangat saling canda, layaknya mereka telah bersama-sama selama puluhan tahun.

“Sepertinya, aku dan John harus segera kembali ke Jakarta. Aku titip tempat ini pada kalian. Semoga kalian kerasan di sini,” Rafael pun menutup obrolan.

“Iya, kang … Terima kasih atas kebaikan akang. Semoga dibalas yang lebih berlimpah oleh Yang Maha Kuasa,” jawab Tati sembari tersenyum manis.

“Amin …” John yang menjawab.

Untuk kedua kalinya, kendaraan mewah Rafael keluar dari pintu gerbang villa. Kali ini John menjalankannya dengan kecepatan agak kencang. Sepanjang perjalanan Rafael dan John membicarakan pasangan Gugun dan Tati. Kedua pemuda itu sepakat kalau Gugun adalah pemuda yang tampan dan ibunya wanita yang cantik sehingga mereka layak menjadi anggota komunitas mereka. Hari ini juga, John dan Rafael akan mengunjungi rumah teman SMA mereka yang bernama Agam dengan harapan menambah keanggotaan komunitas yang mereka sedang bangun.

#####

Panas terik matahari yang menyengat membuat keringat mengucur dan membuat lelah. Yap, itulah yang gadis itu pikirkan. Tina sedang menikmati minuman dinginnya di sebuah restoran cepat saji yang berada di dalam mall berlantai sembilan ini. Tina bukan sembarang jalan-jalan, tetapi ia datang ke mall itu untuk menghadiri sebuah event. Tina datang ke event launching website e-commerce dan youtube channel Felancy. Felancy adalah salah satu brand pakaian dalam wanita yang cukup terkenal di Indonesia. Felancy sangat mendukung wanita tidak hanya pakaian dalam tetapi Felancy menghadirkan bra menyusui, pakaian tidur dan beberapa pakaian olahraga.

Tiba-tiba mata Tina menangkap sesuatu yang serentak menghentikan semua syarafnya. Ia melihat seorang pria tampan yang sedang menjadi buah bibir di dalam negeri. Selain ketampanannya yang nyaris tanpa cacat, dia juga seorang pengusaha sukses di bidang penyiaran dan entertainment. Beberapa stasiun televisi dan radio berada dalam kekuasaannya, juga usaha-usaha lain di bidang jasa keuangan dan pendidikan. Pria yang bernama Radhika itu harus kehilangan istri tercintanya sekitar empat bulan yang lalu akibat menderita sebuah penyakit mematikan.

Ya, ampun … Keren banget nih orang …” kata Tina membatin sambil matanya tak lepas menatap pria tampan yang baru masuk ke dalam restoran cepat saji bersama anak perempuannya yang Tina Taksir baru berusia 7 tahunan.

Cepat-cepat Tina mengalihkan pandangan ketika pria tampan itu menoleh ke arahnya. Tak bisa dibayangkan bagaimana rasanya jika tertangkap basah tengah memperhatikannya. Pria itu perlahan melangkahkan kakinya masuk lebih dalam ke restoran, dan alhasil sosok pria tampan tersebut langsung dikerumuni wanita-wanita tak tahu diri yang seenak jidat langsung menyerbunya bagaikan makanan enak siap santap. Radhika tampak kesal ketika dirinya dikerumuni makhluk-makhluk aneh di sekelilingnya. Tapi mau bagaimana lagi? Semakin diusir mereka malah semakin banyak.

“Maaf ya nona-nona … Anak saya ingin makan … Sebaiknya nona-nona menunggu sampai anak saya selesai makan,” ucap Radhika minta pengertian pada para wanita yang mengerumuninya.

“Ayo sayang … sama tante makannya?!”

“Jangan …! Sama tante saja … ya …?!”

“Apa??? Aku yang duluan!”

“Menyingkir kamu … Aku yang akan mengantarnya …!”

Sungguh pemandangan yang sangat menyakitkan mata ketika Tina harus melihat para wanita tersebut rela berkelahi karena pria itu. Sebagai perempuan Tina merasa malu, seolah-olah dialah yang berperilaku tidak tahu malu di tempat umum. Tina menghela nafas sembari menggeleng-gelengkan kepala, kemudian melangkah pergi dengan hati kesal ke wastafel di ujung ruangan. Setelah sampai, Tina membasuh tangannya lalu hendak mengambil beberapa tissue.

Namun alangkah terkejutnya hati Tina karena anak perempuan dari pria tampan itu sedang duduk berjongkok di sudut ruangan seolah ingin menyembunyikan diri. Entah sejak kapan anak itu berada di sana, Tina tidak pernah mengetahuinya. Tina pun mendekati si anak lalu berjongkok di depannya.

“Kenapa cantik? Takut ya sama tante-tante tadi?” tanya Tina lemah lembut. Si anak pun menganggukan kepala dengan mata menatap tajam ke arah wajah Tina.

“Manda … Dimana kamu sayang …! Manda …” terdengar suara memanggil-manggil

“Apakah itu suara ayahmu?” tanya Tina pada anak perempuan itu dan langsung dijawab dengan anggukan. “Kalau begitu, pergilah … Temui ayahmu …” lanjut Tina dengan senyum manisnya.

“Sama tante …” anak itu bersuara.

“Manda … Manda …” terdengar lagi suara panggilan sedikit lebih kencang.

Tina pun merentangkan tangan yang langsung disambut oleh pelukan erat sang anak. Tina menggendong anak tersebut dan membawanya kepada sang ayah. Alih-alih sang ayah yang datang, malah para wanita tadilah yang datang menyerbu Tina.

“Manda sayang … Sini gendong sama tante …”

“Tante saja yang gendong … Sini sayang …”

“Biar aku yang gendong …”

Para wanita tak tahu malu itu saling berebut hendak mengambil Manda yang berada dalam dekapan Tina. Anak itu semakin ketakutan, badannya mengkerut dan memeluk Tina lebih erat.

“Anak ini ketakutan … Tolong jaga sikap kalian …!” ucap Tina dengan nada marah sambil menghalau tangan-tangan yang hendak mengambil anak perempuan dari dekapannya.

“Berikan anak itu!” salah seorang wanita memaksa sambil melotot kepada Tina.

Tiba-tiba bahu Tina ditarik oleh Radhika dan mereka dengan tergesa-gesa meninggalkan restoran cepat saji tersebut. Untung saja beberapa security datang dan mengambil tindakan kepada para wanita yang hendak mengejar Radhika dan Tina. Para security menghadang dan menahan para wanita itu hingga Radhika dan Tina bisa keluar dari dalam restoran. Tanpa Radhika sadari sepenuhnya, pria itu terus merangkul Tina yang menggendong anaknya. Bahkan Radhika tidak sadar kalau para pemburu berita beberapa kali mengambil gambar mereka. Akhirnya Radhika dan Tina sampai di pelataran parkir.

“Terima kasih …” hanya itu yang terucap dari mulut Radhika sambil hendak mengambil anaknya dari gendongan Tina. Tetapi, Manda tidak ingin lepas dari Tina. Anak itu malah mengeratkan pelukannya. “Ayo, Manda … Kita pulang …” ajak sang ayah yang sekali lagi dijawab dengan gerakan merangkul yang lebih erat pada Tina.

“Ayo cantik … Pulanglah dengan ayahmu …” ucap Tina sambil membelai punggung anak itu.

“Sama mama pulangnya …” ucap Manda yang sukses membuat darah Tina mengalir ke kepala semua. Anak ini menyebut dia dengan sebutan mama. Tentu saja wajah Tina menjadi hangat.

“Tante bukan mama kamu, cantik … Tuh, kasian ayahmu sudah menunggu kamu …” ucap Tina lemah lembut.

“Oh … Bahaya … Mereka datang lagi …” tiba-tiba Radhika berkata dengan nada panik. Tina pun menoleh ke belakang. Benar saja para wanita tadi sedang menuju mereka.

“Cepat … Masuk …!” Entah kenapa tiba-tiba Tina mengambil inisiatif. Gadis itu langsung membuka pintu mobil dan duduk di kursi samping kemudi dengan Manda tetap digendongannya.

Radhika dengan cepat berlari ke pintu sebelah kanan lalu duduk di belakang kemudi setelah menutup pintu keras-keras. Mobil pun berjalan meninggalkan parkiran sebelum para wanita yang mengejarnya sampai. Manda dengan nyaman berbaring dan merangkul Tina seolah tidak ingin lepas dari gadis itu. Sementara Radhika beberapa kali menengok ke arah anaknya karena merasa khawatir.

“Anak ini demam, mas … Kita perlu membawanya ke dokter …” Tina membuka pembicaraan.

“Oh, iya … Tadinya aku akan membawanya makan dulu sebelum ke dokter … Anak ini sudah dua hari gak mau makan,” kata Radhika sedikit panik.

“Nanti saja kita kasih makan di dokter sekalian diperiksa,” ujar Tina lagi.

“Ah, ide yang cemerlang …” sahut Radhika sambil terus fokus pada kemudinya.

Laju kendaraan semakin cepat karena jalanan yang dilalui agak lengang. Pada saat yang sama, jantung Tina seakan ingin mendobrak keluar dari rongganya. Kejadian ini membuat ia merasa sangat bahagia yang tak pernah diduga sebelumnya. Dan memang tanpa terduga, Tina menikmati ‘petualangan’ singkatnya yang cukup menegangkan bersama pria tampan yang penuh dengan kharisma tersebut. Tentu saja bagi Tina, hal ini merupakan sebuah kebahagiaan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.

Setelah berkendaraan hampir setengah jam, Radhika memarkirkan kendaraannya di sebuah klinik anak yang terlihat mewah. Radhika dan Tina masuk ke dalam klinik dan memeriksakan Manda pada dokter yang pada dasarnya adalah dokter pribadi dari anak ini. Sang dokter sudah sangat mengenal keluarga Radhika. Dokter cantik itu bernama Veronica. Manda baru mau lepas dari Tina saat sang dokter mengambilnya dari gendongan Tina. Saat Manda sedang diperiksa, Tina pun akhirnya berpamitan kepada Radhika.

“Aku pulang ya, mas …” kata Tina pada Radhika saat keduanya berada di lobby klinik.

“Saya ucapkan banyak terima kasih. Tapi, sejak tadi saya panik sampai lupa berkenalan,” kata Radhika.

“Nama saya Christina. Orang banyak memanggil saya Tina,” kata Tina sambil mengulurkan tangan lalu dijabat erat oleh Radhika.

“Dhika …” sahut si pria tampan sambil tersenyum. “Maaf sudah merepotkan kamu,” lanjut Radhika.

“Gak apa-apa, mas … Malah saya merasa senang bisa membantu …” kata Tina sambil melepas jabatan tangannya.

Setelah saling menukar nomor kontak, Tina pun langsung pergi dari klinik untuk kembali ke mall karena motornya berada di sana. Tina menggunakan taksi online untuk menuju ke mall tempat motornya berada. Senyuman tak pernah lepas dari bibir gadis berusia 20 tahun ini. Walaupun tampak jelas raut wajah yang lelah, tetapi rasa bahagia yang ia rasakan mengalahkan semuanya. Rasa bahagia itu terus bersemayam di hati sampai gadis itu tidak merasakan jenuh di perjalanan hingga dirinya sampai di rumah.

Bersambung

Chapter 10 di halaman 15​
 
Terakhir diubah:
Tina jatuh cinta pada pandangan pertama.... Beda dengan yang lain
Penokohannya... Lanjutkan suhu....

Biasanya mudah ke tebak, tapi sebenarnya mis, masa tiba² ketemu durian runtuh pasangan mesum incest? Hmm,
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd