Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAN IMPIAN

CHAPTER 10

Sebuah mobil melaju pelan saat memasuki sebuah kompleks perumahan yang memiliki lingkungan bersih dan tenang. Mobil tersebut berhenti di depan sebuah rumah yang tampak begitu bersahabat dengan lingkungan, membuat siapa pun yang melihatnya merasa nyaman. Setelah mobil terparkir di pinggir jalan, terbukalah pintu mobil tersebut mengeluarkan dua pemuda tampan, mereka adalah John dan Rafael. Keduanya masuk ke dalam halaman rumah itu dan memencet bel rumah yang terdapat di sisi kanan atas pintu tersebut. Karena tidak ada jawaban dari dalam akhirnya John menekan bel rumah itu sekali lagi. Tak beberapa lama kemudian pintu terbuka.

“Busyet …!” sambutan dari tuan rumah yang menampakkan dirinya terkejut.

“Ha ha ha … Baru kali ini aku disambut seperti ini,” canda John sambil menatap wajah kaget teman SMA-nya.

“Gila bener … Gue gak nyangka bakal kedatangan Sultan … Ayo, masuk …!” seru Agam sambil menarik tangan Rafael tanpa memperdulikan John sama sekali.

“Lah …” John melotot merasa tidak diterima oleh tuan rumah.

“Elo mah gak penting … Lo bebas mau duduk di mana aja,” kata Agam pada John. Untungnya John tahu sifat dan karakter Agam yang selengean. Akhirnya John pun masuk ke dalam rumah lalu duduk bersama mereka di sofa ruang tamu.

“Gimana kabarmu?” tanya Rafael pada Agam.

“Biasa … Baik dan buruk … Baiknya gue baru lulus kuliah, buruknya gue butuh kerjaan. Kebetulan lo datang ke mari. Sekalian aja, gue mau minta gawean sama lo,” kata Agam sembari menepuk-nepuk paha Rafael dengan logat Betawinya yang khas.

“Bukannya kau pelatih silat?” tanya John pada Agam.

“Ya elah, John … Berapa duit sih dari ngelatih silat. Kagak cukup buat modal kawin,” ungkap Agam sambil menatap John.

“Kamu tinggal bikin surat lamaran. Ajuin ke kantor. Kamu bakalan aku terima, asal mau memenuhi syarat yang akan aku berikan,” kata Rafael tenang.

“Syarat? Syarat apaan?” tanya Agam bingung.

“Sebentar … Orangtuamu ada?” bisik John pada Agam.

“Bokap tugas ke Papua … Biasa dah kalau tentara, kerjaannya keluar melulu … Kalau nyokap ada di dalem … Emangnya ada apa? Nanyain bonyok segala?” Agam tampak semakin bingung. John dan Rafael saling tatap seperti sedang bertelepati. Tak lama, keduanya saling mengangguk tanda setuju.

“Begini, Gam … Kita ini mau buat perkumpulan atau komunitas yang isinya anak-anak yang mencintai dan menyayangi ibunya. Aku tahu betul kalau kau sangat mencintai dan menyayangi ibumu, makanya aku dan Rafael mau ngajak kau untuk bergabung,” kata John sangat berhati-hati.

“Wow … Menarik tuh … Dan lo bener, John. Gue selalu siap mengorbankan jiwa dan raga gue untuk nyokap gue,” respon Agam berapi-api.

“Ya … Aku gak pernah menyangsikan itu. Tapi … Apa kau tahu kegundahan dan kegelisahan ibumu?” tanya John mulai menjuruskan ucapannya.

“Hhhmm …” Kening Agam mengkerut seperti sedang mencerna dengan keras maksud dari ucapan John tadi. “Gue pikir, nyokap gue baik-baik saja,” lanjut Agam dengan sedikit ragu.

“Kau yakin?” desak John sambil menatap mata Agam dalam-dalam.

“Gue sebenarnya kurang yakin,” ucap Agam pelan.

“Kau jangan melihat ibumu secara fisik saja, tapi perhatikan juga batinnya. Apakah benar batin ibumu benar-benar baik?” ungkap John semakin menjurus.

“Itu dia … Gue ngerasa nyokap menyembunyikan sesuatu ama gue …” lirih Agam.

“Kau ingin tahu apa yang diinginkan ibumu?” tanya John sambil tersenyum.

“Apaan tuh?” tanya Agam penasaran.

Tiba-tiba Rafael mendekatkan bibirnya ke telinga Agam lalu berkata, “Seks.” Sangat beralasan Rafael mengatakan itu karena seorang istri yang sering ditinggal suami dalam waktu yang lama akan merasa ‘dahaga’. Tentu saja Agam terperanjat namun tak lama kemudian tubuhnya melemas dan hatinya seperti tersentuh dengan apa yang baru saja Rafael ucapkan. Agam pun menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menjambaki rambutnya sendiri, agak menariki setiap helai surainya, menjadikan semua itu sebagai pelampiasan dari ketidakberdayaannya.

“Kalau kau memang menyayangi ibumu, penuhi keinginannya. Kau bertanggung jawab atas itu,” John mulai memasukan isme incest secara perlahan setelah meyakini kalau Agam membenarkan keadaan yang diprediksikan olehnya dan Rafael.

“Aku? Bagaimana mungkin aku menyuruh nyokap selingkuh?” mata Agam membulat tak percaya.

“Aku dan Rafael tidak menyuruh kamu untuk itu. Tapi, kamulah yang harus memenuhi kebutuhan ibumu,” tak ada kata-kata lagi yang tepat untuk mengungkapkan, akhirnya John berkata langsung pada tujuan.

“Apa???” mata Agam semakin terbelalak. Rafael langsung memegang tangan Agam.

“Itulah syarat yang aku inginkan … Tapi selain itu, bukankah kamu mencintai dan menyayangi ibumu. Dengan begitu, kamu bisa mencurahkan rasa cinta dan rasa sayang secara murni padanya. Percayalah, kamu tidak akan percaya, betapa nikmat tercurah deras apabila kamu melakukannya dengan ibumu,” giliran Rafael yang berusaha menanamkan sugesti pada Agam.

Informasi tersebut membuat Agam membulatkan matanya, menatap secara bergantian ke arah John dan Rafael, sebelum akhirnya ia berkata, “Apakah kalian melakukannya?”

“Ya … Kami melakukannya …” jawab Rafael tegas.

Kini, ego Agam pun terperangkap di antara dua kekuatan yang saling bertentangan dan dijaga serta patuh pada prinsip realitas. Egonya mulai mempertimbangkan apakah ia dapat melakukan keinginan hatinya yang selama ini ia pendam dalam-dalam tanpa mengakibatkan penderitaan bagi dirinya sendiri. Hasil peperangan batin itu akhirnya membuat darah muda Agam mengalir begitu kuat sehingga dia tidak dapat lagi menahan keinginan yang terpendam itu.

“Gue coba …” lirih Agam.

John dan Rafael menyalami Agam sebagai tanda senang dengan keputusan Agam itu. Mereka pun melanjutkan cerita terutama kehidupan incest John dan Rafael selama ini. Cerita John dan Rafael semakin membakar adrenalin Agam, apalagi setelah mendengar rencana mereka tentang taman impian. Ketertarikan Agam atas cerita itu membuat dirinya tanpa ragu ingin terlibat dan akan mendukung sepenuhnya.

Saking asiknya ketiga pemuda itu berbincang-bincang, ketiganya sampai lupa bahwa di rumah ini ada seorang wanita cantik yang sejak tadi ‘menguping’ pembicaraan mereka dari balik pintu yang sedikit terbuka. Tangan yang sedang memegang nampan berisi tiga gelas kopi itu terus bergetar, bahkan lututnya pun turut bergetar. Pikirannya telah diselimuti kabut ‘kenikmatan surgawi’. Nafasnya memburu tak karuan. Wajahnya tampak sayu karena menahan gairah yang bergejolak di dalam dirinya. Perasaan wanita itu semakin tak menentu takala mendengar acara di taman impian yang tamu anaknya gagas, membuat birahinya semakin meledak-ledak. Tanpa bisa ia tahan, cairan vaginanya terus menerus keluar tanpa bisa ia hentikan, membuat celana dalamnya terasa lembab.

Aku tak ingin melewatinya. Aku harus masuk ke dalam taman impian itu. Ini sungguh menakjubkan. Aku ingin sekali … Aku ingin sekali …!” teriak hati wanita cantik itu yang bernama Rina.

Rina memutuskan untuk kembali ke dapur dan meletakkan nampan di atas meja makan. Ia duduk termenung sambil merasakan gejolak dalam dirinya yang tak kunjung ingin berhenti. Di usianya yang sudah mencapai 44 tahun ini, batinnya dahaga, tak terpuaskan dunia benda, tak tercukupkan dunia kuasa. Batinnya menjerit dan bertanya, “Apakah hanya ini isi kehidupan?” Ia inginkan makna yang lebih agar hidup lebih gurih. Ia butuh kebahagiaan karena hidup hanya sekali.

“Bun …” tiba-tiba suara itu mengejutkan Rina. Lamunannya buyar seketika.

“Eh … Oh … A..ada apa?” Rina tergagap karena sangat terkejut.

“Bunda kenapa?” tanya Agam saat melihat wajah ibunya pucat.

“Bunda gak kenapa-napa … Bunda baik-baik saja,” jawab Rina yang sudah bisa menguasai diri. “Apakah teman-temanmu masih ada di ruang tamu. Bunda sudah buatkan kopi untuk kalian,” ucap Rina kemudian.

“Mereka sudah pulang, Bun … Mereka nitip salam buat Bunda …” jawab Agam sambil berdiri di belakang ibunya. Kemudian kedua tangan Agam memijit bahu Rina sangat lembut. Rina benar-benar terkejut dengan tingkah Agam yang tiba-tiba romantis ini. Rina tak percaya karena seumur hidupnya baru kali ini Agam berani ‘menyentuhnya’ seperti ini.

“Oh, bunda telat ya …” kilah Rina sembari menikmati pijitan Agam yang terasa aneh dirasakannya.

“Bun … Aku mencintaimu …” ucap Agam lalu mencium pucuk kepala ibunya. Namun sekarang Rina bisa menerima perlakuan romantis Agam padanya, karena inilah jalan satu-satunya agar Agam, dan juga dirinya, untuk bisa masuk ke dalam taman impian itu.

“Ya, bunda juga … Bunda sangat mencintaimu …” balas Rina dengan memejamkan mata. Terasa sekali dadanya berdetak kencang mengikuti alunan detak jantung. Obsesi wanita itu sudah melambung tinggi. Akal sehatnya sudah terbuang saat mendengar taman impian itu.

Tiba-tiba Rina merasa kecewa ketika Agam beranjak dari belakang tubuhnya. Pemuda itu mengambil salah satu gelas berisi kopi yang sudah dingin lalu berjalan keluar melalui pintu dapur. Padahal Rina sangat menginginkan tindakan lanjut dari anaknya. Rina pun sadar kalau Agam pasti merasa sungkan atau entah minder terhadap dirinya. Dalam menyikapi situasi seperti ini, akhirnya Rina berinisiatif untuk bertindak sedikit agresif.

Setelah menguatkan hati dan mengumpulkan keberanian, Rina bangkit dari duduk dan berjalan menghampiri Agam di teras belakang rumah. Pemuda itu duduk di bangku kayu sambil mempermainkan gelas kopi. Agam tak bergeming saat Rina duduk di sebelahnya. Tatapan Agam tetap tertuju lurus ke arah kolam ikan hias yang berada di hadapannya. Sesaat keadaan hening, beberapa kali Rina menatap Agam lalu menghela napas panjang.

“Apakah bunda boleh tahu, apa yang kamu bicarakan dengan teman-temanmu tadi?” Rina membuka percakapan.

“Aku tidak yakin bisa memberitahukan bunda,” jawab Agam pelan sambil memperbaiki posisi duduknya.

“Katakanlah … Bunda ingin tahu …” Rina mulai mendesak. Pada saat itu hati Agam seperti menciut. Keberaniannya hilang seketika, tangannya berkeringat memegang gelas kopi. “Agam … Gak usah ragu-ragu … Katakanlah …!” Rina mulai tak sabar setengah gemas.

“Aku tak sanggup mengatakannya, Bunda … Ini gila?” kata Agam sambil menggeleng-gelengkan kepala. Rina yang lebih menguasai diri dengan kondisi mereka saat ini tahu bahwa dialah yang harus bertindak lebih banyak.

“Bunda mendengar semuanya …” ucap Rina pelan dan lemah lembut. Tentu saja Agam terhenyak hebat. Ada yang menggelegar dalam dadanya, hendak dibuncahkan dalam satu teriakan.

“Benarkah?” tanya Agam tak percaya.

“Ya … Dan bunda sangat menginginkannya …” jawab Rina. Wajah Rina sudah sangat merah sekarang, namun ia terpaksa melakukan ini semua untuk membuka jalan atas obsesinya. Wanita itu kemudian berdiri lantas duduk menyamping tepat di atas kedua paha Agam. “Ayo, kita mulai!” lirih Rina kemudian.

“Serius?” tanya Agam lagi penasaran.

“Ya … Kita akan memulainya dari awal, membuat sebuah hubungan baru, bukan sebagai ibu dan anak, melainkan sebagai lelaki dan perempuan.” Jawab Rina penuh keyakinan.

Langsung saja kenyamanan dan kehangatan memenuhi hati Agam mendengar ucapan tulus serta senyum lembut itu. Tangan lebar Agam menyentuh pipi putih ibunya dengan lembut, mengelusnya hingga menyentuh rambut indah milik wanita tersebut. Tanpa sungkan lagi, Agam pun mencium bibir mungil Rina dan langsung memperdalam ciumannya dengan cara menekan kepala Rina. Agam memasukkan lidahnya ke dalam mulut Rina. Wanita tersebut agak terkejut dengan apa yang dilakukan oleh putranya.

Kedua tangan putih Rina berada di atas pundak lebar Agam, ia meremasnya kuat pundak kokoh itu seolah tidak ingin lepas darinya. Tubuh Rina sendiri bergetar saat lidah Agam masuk ke dalam mulutnya, ia tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya, dengan suaminya sekalipun. Namun dengan Agam, ia merasakan sebuah sensasi yang berbeda, sebuah sensasi yang belum pernah dirasakanya. Rina merasa kembali ke zaman dimana ia masih muda dulu, saat ia berpacaran dengan suaminya dahulu.

Tanpa sadar, kedua tangan Rina mulai bergerak maju, ia memeluk kepala Agam, dan menekan kepala itu untuk memperdalam ciuman mereka. Rina mulai menyukai ciuman tersebut. Agam menarik pelan kepalanya, pemuda itu menatap ibunya yang sekarang ini tidak berani menatap Agam. Wajah Rina memerah saat Agam menatapnya dengan senyum menggoda.

“Wajah bunda memerah … Bunda marah atau malu?” tanya Agam menggoda.

“Diam! Kerjakan saja tugasmu!” Rina mendelik genit.

Dalam satu hentakan kuat, Agam menggendong tubuh Rina dan membawanya ke dalam kamar milik pemuda itu. Pergumulan penuh nafsu pun tak terhindarkan. Sebuah permainan bertegangan tinggi baru saja dilakukan bersama. Sebagian sprei yang terlepas jadi saksi percintaan mereka di atas kasur. Sekujur tubuh keduanya bergelimang keringat, rambut berantakan akibat gerakan brutal mereka. Rina mendesah panjang ketika Agam menyentakan tubuhnya. Mendorong masuk lebih dalam. Tangan kokoh Agam mencengkram erat paha Rina. Berayun dalam irama yang pelan dan konstan. Mata Rina kecil yang seksi itu menatap dalam-dalam mata anaknya. Lalu Rina menutup mata, menikmati manuver-manuver liar Agam dalam tubuhnya. Rina mengetatkan kaitan kaki di pinggang Agam dan berusaha menyamakan irama ayunan pemuda itu. Tangan Rina diusap-usapnya pada kepala Agam.

Suara erangan Rina yang tak pernah putus, membuat Agam semakin bergairah. Bibir Rina mulai mengap-mengap mencari oksigen. Tangannya ditancapkan pada punggung Agam. Tanpa sadar dia menggigit bahu pemuda itu. Menahan lahar-lahar yang sudah siap meluber. Bagai sebuah isyarat, tangan Agam semakin mencengkram erat paha ibunya. Tubuh mereka masih berayun tanpa henti. Dada bertemu dada. Selangkangan yang menempel semakin bergetar. Bibir terpaut dengan hembusan nafas panas menyentuh wajah. Rina terus mengerang, nyaris menjerit. Tubuh sudah basah kuyup oleh keringat, jantung berpacu sangat kencang, bola api dalam dada semakin terbakar dan siap meledak keluar. Rina bisa merasakan kembang api muncul di sekelilingnya ketika mencapai puncak orgasme. Teriakan nyaring bergema ke seluruh ruangan.

“Luar binasa …” ucap Agam memberi kecupan di dahi ibunya.

Rina terkapar di tempat tidur. Dia hanya bisa membalas dengan gumaman pelan. Tanpa sadar bibirnya mengulas senyum. Matanya masih tertutup. Menyesapi aliran hormon seksnya di seluruh tubuh. Bibir di antara selangkangannya masih bergetar. Kesenangan dan kelegaan menguasai dirinya. Sungguh, sebuah permainan cinta yang fantastis.

Kepuasan ternyata membuat ketagihan. Itu sebabnya, di dunia ini banyak orang yang tetap berusaha mendapat kepuasan meski mereka baru saja mendapatkan. Kenikmatan yang dirasakan ketika kepuasan didapat membuat banyak orang ingin kembali mengulangi dan lagi tanpa henti. Itu yang dirasakan Agam dan Rina. Tak lama mendapatkan puncak kenikmatan, mereka kembali ‘bergoyang’. Mereka kembali mendapat puncak kepuasan, namun ternyata itu tidak membuat mereka berhenti. Mereka masih ingin. Mereka masih haus. Rupanya puncak kenikmatan yang didapatkan kedua insan tersebut bukan memuaskan dahaga kasih sayang yang telah dirasakan mereka. Rasa dahaga itu justru semakin menjadi-jadi.

#####

John segera turun dari mobil dan posisinya kini diganti oleh Rafael. Si pemilik mobil mewah itu langsung menancap gas, meninggalkan John di depan rumahnya. John pun masuk ke halaman rumah setelah mobil Rafael hilang dari pandanganya. Pemuda itu lantas masuk ke dalam rumah dan mendapati Diana sedang duduk di sofa tengah menyaksikan acara televisi. John disambut dengan senyuman dan kecupan bibir oleh Diana, kemudian John duduk di sebelah Diana dengan tangan melingkari pinggang ibunya.

“Pada kemana? Kok sepi?” tanya John.

“Adikmu ada di kamar dan papamu baru saja pergi. Papamu dapet tugas ke luar kota dari kantornya,” jawab Diana sambil merebahkan punggungnya di dada John.

“Akhir-akhir ini papa kelihatan sibuk,” lirih John lalu mencium telinga Diana.

“Bukankah itu bagus?” goda Diana seraya membawa telapak tangan John dari perut ke dadanya.

“Ya, tentu saja,” ucap John sambil meremas lembut payudara Diana. Telapak tangan John merasakan kalau payudara itu tidak terlapisi oleh bra.

“Kamu tahu gak, sayang … Mama gak pernah bisa lupa kejadian di hotel Hilton bersama Rafael. Mama gak bisa berhenti memikirkannya. Mama ingin mengulanginya lagi,” ucap Diana setengah mendesah.

“Begitu ya ma … Enak ya di double …” Goda John dengan remasan di buah dada Diana semakin keras.

“Em, pokoknya luar biasa rasanya,” jawab Diana pelan.

“Nanti mama akan sering merasakan di double lagi. Aku dan Rafael sedang merancang acara untuk ibu-ibu bahagia,” ungkap John.

“Acara? Acara apa?” tanya Diana sambil menggeser tubuhnya dan kini menghadap John.

“Acara membahagiakan ibu-ibu … Aku dan Rafael sedang membuat suatu komunitas incest. Setelah komunitas beranggotakan minimal delapan pasangan, nanti semua anggota akan berkumpul di villa Rafael. Di sana lah kita akan mengadakan pesta seks,” jawab John lagi sambil tersenyum.

“Oh … Benarkah? Ini sangat menyenangkan. Kamu sudah mempunyai berapa anggota?” giliran Diana bertanya dengan sangat antusias.

“Baru ada enam. Aku harus masih mencari dua lagi,” jawab John.

“Kamu bisa cari di internet. Mama rasa kamu bisa menemukan pasangan incest di sana,” Diana memberikan saran.

“Susah ma … Tapi aku dan Rafael kurang cocok dengan pasangan yang ada. Kami punya standar yang cukup tinggi untuk anggota komunitas ini,” jawab John lagi.

“Standar …? Standar yang bagaimana?” tanya Diana penasaran.

“Yang pasti pasangan itu harus berwajah tampan dan cantik. Boleh dibilang standarnya adalah seperti kita ini,” jawab John sembari menoel hidung ibunya.

“Oh … Begitu ya …” lirih Diana. “Apakah Andi dan tantemu sudah masuk hitungan?” tanya Diana berlanjut.

“Sudah …” jawab John singkat.

“Hhhmm … Mama punya group whatsapp yang juga melakukan incest dengan anaknya. Mama mau coba minta bantuan anggota group untuk menambah keanggotaan kelompokmu. Bagaimana?” kata Diana mencoba mencari solusi.

“Boleh juga ma … Tapi ingat … Kita harus menerapkan standar yang tinggi karena Rafael gak mau sembarang orang,” tegas John yang dijawab anggukkan kepala dan senyuman dari Diana.

Diana mengajak John masuk ke kamar tidurnya. Mereka berbaring di atas kasur dengan masing-masing memegang smartphone. Diana yang baru beberapa hari bergabung di sebuah group incest langsung berkomunikasi dengan beberapa anggota group. John tak percaya ternyata banyak sekali anggota group whatsapp ibunya itu yang menunjukkan bahwa banyak orang sebagai penikmat incest. Setelah berulang kali melakukan ‘penyeleksian’, akhirnya John menemukan dua anggota yang layak bergabung dengan kelompoknya. John kemudian menghubungi mereka dan memberitahukan rencananya. Kedua pasangan incest itu pun menyambut tawaran John. John langsung mengkonfirmasikan kepada Rafael dengan mengirim foto-foto mereka dan Rafael setuju dengan dua anggota baru yang ditawarkan John.

“Cukup dulu delapan pasang, nanti lihat perkembangannya. Aku akan merencanakan kita semua akan berkumpul di villa Rafael hari Sabtu depan,” kata John puas.

“Mama udah gak sabar … Pastinya akan seru banget …” ucap Diana.

“Sudah bisa dibayangkan betapa meriahnya nanti di villa …” gumam John sembari tersenyum senang.

“Itu pasti sayang … Akan sangat menyenangkan,” kata Diana.

Kini, ibu dan anak itu saling berpelukan, saling menghadapkan wajah, lalu berciuman. John melumat bibir Diana dalam dan mereka terhanyut dengan gairah mereka masing-masing. Posisi menyamping pun kini berganti menjadi posisi John yang berada di atas tubuh Diana. Tangan Diana yang semula berada di bahu sekarang berpindah di area rambut ataupun leher John. Sementara itu, tangan John yang semula berada di samping wajah Diana pun kini berpindah ke panggul hingga payudara yang masih tertutupi dress hitam. Tak sampai di situ, tangan John pun terus bergerilya dan berpindah ke punggung Diana dan menurunkan kaitan penghubung dress-nya. Diana juga memberi sedikit ruang bagi John. Segera, John melepaskan dress itu dan di buangnya asal. Ditatapnya tubuh indah Diana yang hanya berbalut kain segitiga di antara perut dan pahanya.

“Mama sungguh ...” John segera melumat kembali bibir Diana. Sungguh dia tidak bisa mendiskripsikan bagaimana tubuh ibunya, yang pasti kata sempurna atau cantik tidaklah cukup.

Bibir John pun berpindah dari dagu lalu ke leher, mendaratkan kecupan demi kecupan serta jilatan di sana, menyesapnya sedikit demi sedikit, sebelum bergerak turun menyelusuri kedua gundukan dengan puncak kecoklatan yang sejak tadi sudah sangat siap untuknya. Dengan cepat John memasukkan puncak kecoklatan itu ke dalam mulutnya, membelai dengan lidah hangatnya. Diana mengerang pelan saat bukit kembarnya menjadi mainan mulut dan lidah John.

Tiba-tiba tangan Diana menarik tubuh John hingga bibir John mendarat lagi di ceruk leher milik wanita itu. Tangan Diana pun bergerak dari mengusap bahu lebar milik John sekarang berpindah ke kancing kemeja John, melepaskannya pelan-pelan. John hanya tersenyum di leher Diana atas perlakuan tangan Diana yang membuka kancing itu perlahan. Setelah selesai dengan kemejanya, tangan Diana beralih ke kancing celana John.

“Tunggu ...!” Tangan John menangkap tangan Diana yang akan membuka kancing celananya. “Biar aku saja yang buka, mama cukup diam dan nikmati saja … Oke …?” kata John dan anggukan Diana menjadi jawabnnya.

Tak lama, mereka pun sama-sama telanjang meski kain segitiga milik Diana masih menempel. Bibir John pun berpindah ke payudara kanan Diana, tak ingin yang satunya menganggur, tangan John pun memijat payudara kiri Diana.

“Aaaaahhh ...” Desahan itu terdengar lagi keluar dari mulut Diana. John yang mendapat suara tersebut pun semakin gencar lumatannya. Dari satu ke satunya, lidah dan bibir John tidak bisa berhenti menyecap kedua payudara Diana. Sungguh milik Diana sangatlah indah, dan tentu alami dan jangan lupa sangat pas di tangan John, bahkan lebih.

Mulut John mengalihkan area serangan. Turun dari dada menuju selangkangan. Yang tentunya harus meninggalkan kissmark di perut wanita itu. Mulut John akhirnya tiba di pangkal paha milik Diana. Seakan sudah sangat terlatih, John melepaskan kain terakhir dari tubuh Diana hanya dengan sekali hentakan. Setelahnya, pemuda itu memainkan lidahnya menyentuh bibir kemaluan Diana. Mencari titik yang mungkin dapat membuat Diana benar-benar mabuk. Menyelipkan lidahnya di antara sela-sela kemaluan ibunya.

Tak hanya itu, jari-jari tangan John mulai bekerja untuk mempermudah misinya. Jari tengah pemuda itu mulai menggelitik permukaan lubang yang akan ia gali nanti. Untuk memperlancar jalannya, John masukkan jari ke dalam lubang Diana. Keluar masuk dengan mudahnya akibat cairan pelumas Diana yang terus keluar. Kini, lidah John memainkan klitoris Diana hingga membuat wanita itu tak berhenti mengerang.

“Aaaahhh ... Aaaahhh ... Aaaahhh ... Saayyaaaanngghh ...” erang Diana berulang-ulang, begitu menggemaskan. Jari John yang lainnya menanti giliran. Hingga ia masukkan jari telunjuk dan manis miliknya ke dalam lubang basah nan hangat itu. Alhasil, ada tiga jari yang bergerak zigzag membuka jalan untuk dilalui kejantanannya nanti.

Setelah 15 menit mengerjai lubang nikmat Diana, sudah tiba saatnya untuk kejantanan John yang bekerja. John mengusapkan kejantanannya sedikit pelumas yang dihasilkan vagina Diana agar lebih mudah memasukkannya nanti. Setelah persiapan usai. John mendekatkan ‘juniornya’ ke lubang milik Diana. Perlahan menggesekkannya hanya di permukaannya saja. Lalu kemudian mulai memasukkannya ke dalam lubang. Terasa lebih menjepit ternyata.

“Oooohhh …” Diana mendesah ketika kejantanan John menyusup masuk ke dalam vaginanya.

Sejurus kemudian, John mulai memaju mundurkan penisnya di lubang vagina Diana. Diana pun melenguh merasakan gesekan batang penis John di dinding vaginanya. Muka Diana semakin memerah saat kedua tangan John mulai menggerayangi kedua susunya. Irama genjotan John yang pelan tetapi teratur, membuat Diana merem-melek menikmati sensasi gesekan kelamin mereka. Lenguhan dan desahan Diana kerap terdengar dari mulutnya.

Diana yang merasakan kejantanan John semakin gencar keluar masuk di lubang peranakannya bertambah melenguh. Desahan dan erangan wanita itu semakin menjadi-jadi. Cairan pelicin semakin banyak mengalir dari lubang vaginanya. Suara berkecipak aneh terdengar akibat beradunya kedua kemaluan mereka. Bagi John dan Diana suara ini menambah gairah birahi mereka. Nafsu birahi kedua insan itu semakin membara seiring dengan semakin kerasnya suara berkecipak dari kemaluan mereka.

Selang sepuluh menit, tubuh Diana mulai mengejang. Ia merasakan aliran nikmat di dalam vaginanya mencoba mencari jalan keluar. Tak lama, Diana menjerit menyambut orgasmenya. Diana merasakan ada suatu desakan sangat dahsyat yang menggelora, tubuhnya seolah mengawang dan ringan sekali seperti terbang ke langit kenikmatan.

“Oh, sayang … Nikmat sekali …” Desah Diana sembari membelai wajah John yang berada di atasnya.

“Sekarang aku menginginkan pantat mama,” bisik John.

“Ya, ambillah … Sekarang itu milikmu …” balas Diana membisik.

John bangkit dan melepaskan tautan kelamin mereka. Pemuda itu membantu ibunya untuk menggeser tubuh menghadap ke kasur. Diana merebahkan kepala di atas bantal dan tangan di sampingnya. John memposisikan diri di belakang tubuh Diana. Ia memeluk tubuh ibunya, mengecup dan menelusuri punggung Diana. Diana pun menahan nafas ketika merasakan penis John berada di antara bokongnya. Ia bisa merasakan lubang anusnya mengetat dan meregang, ingin dimasuki olehnya. Diana memekik dan menggenggam sprei dengan erat saat tangan John menggesek klitorisnya dengan lembut sambil sibuk menciumi punggungnya. Rasanya benar-benar aneh disentuh seperti ini, panas, nikmat dan semua perasaan yang memenuhi Diana. Wanita itu tidak bisa berhenti mendesah dan menggeliat. Ia selalu merespon setiap sentuhan yang diberikan kepada kulitnya yang sensitif.

“Nnggghhh …! Saayyaanngghh …!” Diana memekik saat ia merasakan sesuatu dimasukkan ke dalam lubang anusnya, ia pun menoleh ke belakang. Diana melihat John sedang memasukkan jarinya ke dalam anusnya. Maju mundur, maju mundur.

“Biar lancar …” kata John santai.

Sementara itu, Diana kembali mendesah dan mengerang. Perasaan aneh menyerang tubuh Diana, aneh sekali ada sesuatu yang bergerak di dalam dirinya. Ia benar-benar bisa merasakan bagaimana jari John bergerak di dalam tubuhnya, rasanya sedikit sakit tapi entah kenapa ada banyak kenikmatan di sana.

“Aaaacchhh …!” Diana berteriak saat John mulai memasukkan penisnya yang besar ke dalam tubuhnya.

Perlahan namun pasti kepala penis John memaksa lubang ketat anus Diana untuk membukakan jalan untuknya. Diana mengerang dan tubuhnya begitu tegang karena ia bisa merasakan bagaimana besar dan dalamnya penis John di dalam tubuhnya. John menghela napas saat ia berhasil memasukkan seluruh penisnya ke dalam lubang anus Diana. John memegang paha dalam Diana dan mengeluarkan penisnya secara cepat lalu memasukkannya lagi dengan tiba-tiba.

Diana terus mendesah setiap kali titik prostatnya dihantam. Keringat membasahi tubuh mereka berdua, rasa panas, lapar juga kehangatan memenuhi diri mereka. Debaran jantung yang cepat, napas yang tersengal-sengal serta erangan dan desahan memenuhi isi ruangan. Diana sangat menikmati moment ini hingga wanita itu mengalami orgasme lagi, tak tahan dengan kenikmatan yang terus melanda dirinya. Sementara pada saat yang sama, John mencapai klimaks dan mengisi tubuh Diana dengan spermanya. Diana mengerang, ia begitu penuh hingga semen John mengalir keluar karena tubuhnya tak bisa menampung lebih banyak.

Tak lama berselang, John mengeluarkan penisnya dari tubuh Diana dan terduduk, sementara Diana terbaring telungkup di atas kasur. Mereka berdua kelelahan, terutama Diana. Ia bisa merasakan dirinya begitu lelah, seakan semua bagian tubuhnya terlepas, sementara lubang anusnya terus meneteskan semen hingga membentuk kubangan putih di sekitarnya seperti ia baru saja ngompol cairan berwarna putih. John pun mengambil tissue di meja kecil samping tempat tidur, lalu membersihkan spermanya dari tubuh Diana.

“Nanti di taman impianku … Setiap Wanita akan dilayani minimal oleh dua orang laki-laki … Rasanya mama sudah siap untuk itu,” ucap John sambil membaringkan tubuhnya di samping Diana. Diana pun bergerak menghadapkan wajahnya ke arah John.

“Oh, mama semakin tidak sabar saja, sayang …” lirih Diana sembari mengusap dada bidang John.

“He he he … Aku berpikiran karena aku ingin membahagiakan mama dan juga mama-mama yang lain. Semoga saja taman impian itu menjadi surga bagi para ibu …” ungkap John sambil tersenyum.

“Ya, tempat itu sudah pasti menjadi surga buat mama,” kata Diana sangat senang.

Kemudian John dan Diana ngobrol untuk beberapa menit lalu mereka mandi bersama di kamar mandi. Setelah keduanya rapi, mereka bersama-sama menuju dapur. John dan Diana lumayan terkejut tatkala melihat Tina dan Yuni sudah berada di dapur. Tina dan Yuni pun tersenyum penuh arti saat John dan Diana datang menghampiri mereka.

“Sudah lama?” tanya Diana pada adiknya, Yuni.

“Lumayan … Kesel juga ya nunggu kalian selesai. Untung ada Tina yang nemenin,” ujar Yuni sambil melirik pada John.

“Biasalah … Anakku gak pernah puas main sekali …” Diana pun merasa tanggung sampai-sampai bicara seperti itu.

“Hi hi hi … Beruntung kamu punya dia …” respon Yuni sembari tertawa kecil.

“Tante juga beruntung punya Andi …” sambung John.

“Hi hi hi …” Yuni tertawa tambah keras. “Oh, ya kak … Barusan aku mendapat telepon dari ayah. Katanya kita diundang ke rumahnya,” lanjut Yuni membuka percakapan cukup serius.

“Diundang? Kayak mau hajatan saja?” Diana terkejut.

“Ya, ayah mau menikah lagi,” kata Yuni sembari menahan senyum.

“Apa??? Sudah aki-aki masih ingin kawin?” pekik Diana tak percaya dengan ayahnya yang berniat beristri lagi. Memang tak salah karena ayahnya itu sudah menduda selama satu tahun sebab bercerai dengan istri ketiganya. Ayah Diana dan Yuni telah menikah tiga kali, tak satu pun yang mampu bertahan. Ketiga perkawinan ayahnya selalu berakhir dengan perceraian.

“Entahlah … Dan seperti biasa, kita gak akan bisa menahannya. Sebaiknya untuk kali ini kita hadiri saja pernikahan beliau,” ungkap Yuni.

“Iya, ma … Itung-itung liburan …” Tina menanggapi sekaligus berharap.

“Kapan?” tanya Diana singkat sambil menoleh ke arah John.

“Pernikahannya besok … Kita berangkat sekarang juga,” jawab Yuni.

“Loh … Besokkan hari kerja … Bagaimana dengan pekerjaanmu dan gimana juga dengan kuliah kalian?” tanya Diana sambil menatap semua orang bergantian.

“Aku gak ada masalah … Tinggal titip absen aja …” Tina menjawab santai.

“Kalau kamu?” tanya Diana pada John.

“Yang penting bukan kuliah praktik … Aku bisa bolos karena jatah bolosku belum terpakai,” jawab John.

“Aku sudah mengajukan cuti ke kantor dua hari. Rasanya kita bisa pergi sekeluarga ke sana,” tegas Yuni.

“Baiklah kalau begitu. Kita siap-siap dan berangkat hari ini juga,” akhirnya Diana menyetujui.

Tak ada lagi perbincangan. Semua orang mulai bersiap-siap dan berkemas. Selang setengah jam, lima orang sudah berada di dalam mobil milik Andi, dan Andi menjadi juru mudinya, John sebagai navigatornya. Sementara itu, ketiga wanita duduk di jok belakang. Mobil berjenis sedan berwarna hitam tersebut meluncur di jalanan menuju sebuah desa di wilayah Kabupaten Subang. Desa di mana ayah Diana dan Yuni bertempat tinggal. Diana, Yuni dan Tina asik ngobrol tentang desa itu yang terkenal dengan pemandangan alamnya. Tampak sekali kalau mereka merindukan alam pedesaan yang disuguhkan oleh desa yang akan mereka tuju.

Bersambung

Chapter 11 di halaman 18​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd