Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAN IMPIAN

CHAPTER 12

Akad nikah pun telah dilaksanakan. Ijab kobul telah disyahkan. Berlanjut pada acara selanjutnya. Acara pernikahan dua orang yang tidak bisa lagi dikatakan muda tersebut dapat dibilang sangat meriah, dekorasinya yang bertema putih suci dengan beberapa bunga-bunga di setiap sudut ruangan. Kedua mempelai tampak serasi dengan balutan busana pengantin mereka. Kedua pengantin tampak serasi bersanding berdua bagaikan kedua sejoli yang dimabuk asmara. Saling menatap dan tersenyum bahagia seakan dunia hanya milik mereka berdua.

Serangkaian acara telah dilakukan. Suara gamelan mengiringi tamu yang berdatangan dengan suasana tradisionalnya yang sangat kental. Acara pernikahan berjalan dengan lancar dan khidmad, sesuai dengan yang direncanakan tanpa hambatan. Acara dilaksanakan hingga sore hari yang diakhiri oleh acara ramah tamah antar anggota keluarga. John dan Andi merasa tak percaya, ternyata mereka mempunyai banyak sekali saudara. Selain saudara dari pihak kakeknya, kini ditambah lagi saudara dari pihak neneknya.

“Gila bener … Saudara kita sudah seperti satu erwe aja …” kata John pada Andi yang terus asik memotret dengan kameranya.

“Kalau kumpul semua, ada kali satu kelurahan …” sambung Andi dan mulai membidikan lagi kameranya.

“Kamu dapet sesuatu yang menarik, gak?” tanya John pada Andi.

“Belum … Kecuali itu …” jawab Andi yang membuat penasaran John. John pun melirik ke arah yang ditunjuk oleh sepupunya.

“He he he … Kalau dia mau bersolek sedikit saja. Dia memang menjadi wanita tercantik sedunia,” ucap John memuji kecantikan adiknya.

Dengan penampilannya saat ini, Tina memang terlihat sangat cantik. Andi mematung melihat Tina yang tampak cantik dengan make up tipis itu. Selama ini, ia hanya melihat Tina tanpa make up, sekedar bedak dan lipgloss. Ditambah lagi, kebaya ketat yang mengikut potongan badan itu sungguh mempertegas keanggunannya. Tina tampak seperti bidadari, begitulah kesan orang-orang pada saat ini. Gadis itu benar-benar membuat semua orang terbius dan terpesona. Jika perempuan saja iri, bagaimana dengan lelaki yang pastinya berebut untuk memiliki bidadari satu ini.

Sebenarnya, sudah sejak tadi Tina ingin sekali melepas kebaya ketat yang membalut tubuhnya. Terkutuklah gaun ketat yang membuatnya susah bergerak ini. Sungguh, dia ingin segera pulang dan mengganti pakaian. Walaupun kesal, Tina dengan sangat terpaksa harus menampilkan wajah senangnya seolah tak terjadi apa-apa. Sebisa mungkin ia harus menampilkan wajah baik-baik saja.

“Kamu kok seperti yang gelisah?” tanya Diana pada Tina yang sejak tadi memperhatikan anak gadisnya.

“Aku ingin pulang,” jawab Tina yang merasakan terkekang. Rasa yang semakin tak nyaman.

“Biarkan Tina pulang duluan,” ucap Yuni pada Diana.

“Iya …” sahut Diana. “Giri … Tolong antarkan Tina pulang. Kasian dia sudah gak betah di sini!” akhirnya Diana meminta tolong pada adiknya yang berada pada jajaran kursi di depannya.

“Acara belum selesai, teh … Gak enak kalau pulang sekarang …” ujar Giri.

“Biarin … Aku mau pulang sendiri. Jalan kaki aja …” kata Tina lalu bangkit dari duduknya.

“Duh … Ini anak …!” Giri pun ngedumel melihat tingkah keponakannya yang selalu saja bisa memaksanya. Diana dan Yuni terkekeh melihat aksi mereka.

Akhirnya Tina diantar oleh Giri kembali ke rumah kakeknya yang jika ditempuh berjalan kaki akan memakan waktu sekitar setengah jam. Karena perjalanan mereka memakai motor, maka hanya lima menit keduanya sudah sampai di tempat tujuan. Giri memarkirkan motor tepat di depan teras rumah dan langsung saja Tina bergegas masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan terima kasih pada pamannya. Setelah berada di dalam kamar, Tina dengan tergesa-gesa membuka kebaya beserta dalemannya hingga telanjang. Gadis itu merasa lega seperti terbebas dari himpitan.

“Waktunya mandi … Biar segar …” gumam Tina pada dirinya sendiri.

Tina mengambil handuk dari dalam tas lalu melilitkan handuk itu ke sekitar tubuhnya. Dia kemudian berjalan keluar kamar menuju kamar mandi yang letaknya di ujung barat lantai dua. Baru saja satu langkah dari pintu kamar, Tina agak terkejut dengan munculnya Giri dari tangga. Pria itu membawa segelas teh manis hangat yang sengaja ia buat untuk Tina. Giri pun tertegun sejenak, merasa kikuk, saat melihat tubuh Tina yang hanya terbalut oleh handuk.

“Paman buatkan teh manis hangat buat kamu,” kata Giri sambil meneruskan langkahnya ke meja sofa di tengah ruangan.

“Terima kasih … Apakah paman mau kembali lagi ke tempat pesta?” tanya Tina yang masih berdiri di tempatnya.

“Paman jadi males kembali ke sana. Paman nunggu saja di sini,” jawab Giri yang kembali berjalan ke arah tangga.

“Ya udah … Aku mau mandi dulu …” ujar Tina seraya melangkahkan kakinya menghampiri kamar mandi.

Tina masuk ke kamar mandi dan mulai mengguyur tubuhnya dengan air dingin yang jernih. Beberapa saat kemudian, Tina akhirnya selesai mandi. Gadis itu keluar dari kamar mandi, masih dengan balutan handuk di tubuhnya. Tina bergegas ke kamarnya dan memakai pakaian santai yaitu kaos abu-abu polos dan rok berbahan kain katun sebatas lutut. Tina merasa segar sekarang, benar-benar segar, senyuman tak hilang dari wajahnya ketika ia keluar kamar lagi dan mendapati Giri sudah duduk di sofa sambil menyesap kopi.

“Teh kamu sudah dingin … Apa perlu paman ganti yang hangat?” ucap Giri setelah Tina duduk di sofa bersebelahan dengan dirinya.

“Gak perlu, paman … Aku lebih suka yang dingin,” ucap Tina seraya mengambil gelas teh manis dari atas meja kaca kemudian meminumnya sedikit.

“Sebenarnya paman gak ngerti dengan kakekmu. Dia suka sekali kawin cerai. Gak nyadar dengan umurnya yang sudah tua,” tiba-tiba saja Giri mengeluarkan unek-uneknya.

“Hi hi hi … Kakek masih butuh itu kali paman …” canda Tina.

“Butuh apa? Butuh begituan, maksudmu?” tanya Giri sambil menahan senyum.

“Ia lah … Apalagi yang dia butuhkan selain begituan …” jawab Tina yang juga tersenyum simpul. “Em, dan maaf ya paman, Tina mau nanya. Kenapa juga paman tidak menikah lagi setelah bercerai dengan istri paman?” tanya Tina kemudian.

“Ah, paman belum mendapatkan yang cocok saja. Dan paman gak mau menikah sebelum mendapat pekerjaan tetap. Kegagalan pernikahan paman, kurang lebih masalah itu,” jawab Giri setengah mengeluh.

“Paman masih menganggur?” tanya Tina lagi.

“Ya … Terakhir kerja setahun yang lalu. Tapi dikeluarkan karena perusahaannya bangkrut,” jawab Giri lagi. “Apakah kamu punya relasi yang mau menerima paman sebagai pekerjanya?” kini Giri bertanya dengan penuh harap.

“Eeemm …” Tina bergumam sambil berpikir.

Entah kenapa secara tiba-tiba pikiran Tina langsung tertuju pada Rafael. Tina sangat yakin kalau Rafael pasti akan menerima Giri sebagai pegawai di perusahaannya jika dia sendiri yang meminta. Tapi, apabila itu ia lakukan berarti ia sengaja membuka diri pada pemuda yang pernah menyakiti hatinya. Namun demikian, Tina merasakan kasih sayang yang begitu tulus dari sang paman. Gadis itu menjadi kasihan dengan keadaannya yang seperti ini. Pikirannya mulai berkecamuk. Tina merasa ini adalah sebuah hukuman, karena dulu ia terlalu membenci Rafael secara berlebihan.

“Gak usah kamu pikirkan,” Giri seolah tahu apa yang ada dalam pikiran Tina. Giri menjadi tidak enak hati karena telah membuat keponakannya susah. Giri mengambil jemari tangan kiri Tina lalu meremasnya penuh dengan kasih sayang.

“Aku coba ya paman …” tiba-tiba Tina seperti mendapat kekuatan sesaat setelah merasakan remasan jemari Giri yang dirasakannya sangat tulus.

Tina pun menyimpan gelas di atas meja, kemudian tangan kanannya mengambil smartphone dari saku roknya. Tina pun menghubungi John untuk meminta nomor kontak Rafael yang lama telah dihapus dari alat komunikasinya. John sebenarnya sangat terkejut dengan permintaan Tina tersebut, namun tanpa bertanya-tanya John akhirnya memberikan nomor kontak Rafael dengan menggunakan aplikasi whatsapp kepada Tina. Lagi-lagi Tina terdiam, ia tidak langsung menghubungi Rafael. Tina menghela napas berat mengambil segenap kekuatan untuk menegarkan hati. Sejurus kemudian gadis itu menghubungi Rafael.

Hallo …” terdengar suara Rafael setelah sambungan telepon terhubung.

“Ini aku … Tina …” sahut Tina dengan sedikit gugup.

Oh .. I..iya … A..da apa … Tina …” Rafael tak kalah gugup namun hatinya begitu bahagia.

“Aku ingin minta tolong,” jawab Tina sambil menegarkan diri.

A..aku akan sangat se..senang membantumu …” suara Rafael pun mulai terdengar agak tenang.

“Bisakah kamu menerima pamanku untuk dijadikan pegawaimu?” tanya Tina sangat berhati-hati.

Oh … Sangat bisa … Sangat bisa … Bawa pamanmu menghadapku. Aku pastikan dia akan segera bekerja di perusahaanku,” Rafael menjawab permintaan Tina sangat bersemangat.

“Terima kasih sebelumnya. Besok aku pasti menemuimu,” ucap Tina.

Aku yang harusnya berterima kasih, karena kamu sudah mau meneleponku,” respon Rafael terkesan berlebihan.

“Sama-sama … Sudah dulu ya … Besok kita sambung obrolan kita lagi,” kata Tina ingin mengakhiri pembicaraan.

Oh … I..iya …” Rafael agak kecewa.

“Bye …”

Bye …

Sambungan telepon pun terputus. Lagi-lagi Tina menghela nafas. Kejadian empat setengah tahun yang lalu membuatnya benar-benar harus tegar. Sudah saatnya ia melupakan masa lalu dan membuka pintu maaf untuk pemuda itu. Dengan wajah agak sedikit pucat namun bibir tersenyum, Tina menoleh pamannya yang sejak tadi memperhatikan Tina tanpa bicara sepatah kata pun.

“Paman akan segera mendapat pekerjaan, tapi harus pindah ke Jakarta,” ucap Tina lembut.

“Oh … Terima kasih, Tina … Terima kasih …” Giri memekik bahagia. Pria itu meraih kedua tangan Tina, menggenggamnya lembut dan memberi sedikit remasan sebagai tanda terima kasih yang amat dalam.

“Sama-sama, paman … Aku merasa senang bisa membantu. Tapi aku minta satu hal pada paman. Jangan kecewakan temanku, paman harus bekerja sebaik mungkin. Aku tidak ingin karena aku sehingga dia mau menerima paman sebagai pegawainya,” tegas Tina.

“Ya, paman berjanji akan bekerja sungguh-sungguh,” Giri pun berjanji.

“Paman … Kenapa paman tidak meminta modal kepada kakek untuk usaha? Padahal kakek kan punya uang banyak, tanah di mana-mana …” tanya Tina sambil melepaskan genggaman tangan pamannya.

“Paman sudah mencoba, tapi kakekmu tidak memberikannya dengan alasan kalau paman tidak mempunyai jiwa bisnis. Bukannya paman ingin menjelek-jelekan orangtua sendiri, tapi paman merasa kalau kakekmu tidak suka pada paman. Jangan tanya kenapa karena paman sendiri tidak tahu alasannya,” jelas Giri sedikit mengiba.

“Oh, begitu ya …” Tina pun iba mendengar penjelasan Giri seperti itu.

Tina dan Giri pun ngobrol dengan asyiknya, sampai Diana, Yuni, John dan Andi datang. Giri langsung meninggalkan tempat menuju lantai satu, sementara itu John langsung menghampiri Tina dengan mimik yang sulit dijelaskan. Tina yang hendak berdiri dari duduknya terpaksa harus duduk kembali karena tangan gadis itu ditarik kasar oleh John.

“Katakan padaku kalau kamu sudah memaafkan Rafael,” John berkata setengah menodong.

“Sok tahu …” ucap Tina sambil mencibirkan bibir.

“Terus … Buat apa kau meminta nomor kontak Rafael?” tanya John penasaran.

“Aku minta pekerjaan buat paman Giri, hanya itu …” jawab Tina jujur.

“Paman Giri? Apakah Rafael memberikannya?” tanya John lagi.

“Pasti …” tiba-tiba Diana menyambar pembicaraan kedua anaknya dan duduk di samping Tina. “Mama sangat senang mendengarnya, sayang …” kata Diana lagi sambil mengusap-usap punggung Tina.

“Aku lakukan karena aku ingin membantu Paman Giri. Dia sangat memerlukan pekerjaan. Tidak lebih,” Tina terus bertahan. Gadis itu tidak mau perasaannya teraba oleh Diana dan John.

“Mama mengerti, sayang … Dan menurut mama ini langkah awal yang sangat baik … Mama berharap kamu dan Rafael bisa berteman …” ucap Diana.

“Mudah-mudahan ya ma …” jawab Tina mulai tak enak hati.

Tina pun kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan menuruni anak tangga. Seperti hari kemarin, suasana di lantai satu begitu ramai dikunjungi para tetangga. Tina terus melangkah ke halaman belakang rumah dan melihat pamannya sedang asik berbincang-bincang dengan beberapa pria di sisi kebun. Giri yang melihat Tina baru keluar dari pintu belakang langsung mendekati gadis itu.

“Kenapa wajahmu kelihatan murung?” tanya Giri yang melihat keponakan kesayangannya sedang bersedih.

“Aku tidak apa-apa kok paman,” Tina berkilah.

“Hhhmm … Gimana kalau kita jalan-jalan,” Giri mengajak Tina.

“Kemana?” tanya Tina sedikit bergairah.

“Ada air terjun di atas sana. Tempatnya bagus sekali. Siapa tahu kamu suka dengan tempat itu,” jawab Giri.

Tina tidak menolak ajakan pamannya. Kedua orang itu segera meluncur dengan menggunakan motor kepunyaan Giri. Jalan yang dilalui mereka kali ini benar-benar tidak manusiawi, jalan sempit dan bebatuan yang terus menanjak dan berkelok-kelok. Bebatuan terjal terkadang terpaksa mereka lewati, jika lengah sedikit saja bisa terperosok ke dalam jurang yang tak kelihatan ujungnya. Walau demikian, Tina sangat menikmati perjalanan yang menantang ini. Sambil tertawa lepas, Tina berpegangan pada Giri, bahkan tubuhnya menempel di punggung pamannya itu seperti kuman.

Hampir setengah jam dari titik pemberangkatan, tampak sebuah air terjun yang sangat jernih dan bertingkat serta indahnya bebatuan yang menjadi latar belakangnya. Tina dan Giri harus sedikit menuruni jalan setapak untuk sampai di depan air terjun tersebut. Tina melupakan rasa lelah sepanjang hari ini, setelah tiba di lokasi. Air yang mengalir dari tebing batu berundak dengan ketinggian sekitar 30 meter, memercikan air yang sangat sejuk. Air terjun ini tidak terlalu deras sehingga cocok untuk duduk-duduk di bebatuan besar sambil bermain air.

“Paman kalau sedang sedih selalu datang ke sini. Perasaan sedih hilang saat berendam di kubangan air sebelah sana,” ucap Giri sembari menunjuk sebuah kubangan air yang letaknya agak ke tengah sungai.

“Apakah itu dalam?” tanya Tina.

“Hanya sebatas perut paman …” jawab Giri.

“Kalau saja hari masih siang … Aku ingin sekali berendam di sana,” kata Tina sambil melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 16.00 petang.

“Nikmati saja keindahan alam ini. Di sini masih sangat asri, belum tersentuh oleh tangan-tangan orang kota,” ujar Giri sembari berloncatan di bebatuan ke arah hilir sungai.

“Paman mau ke mana?” tanya Tina heran melihat pamannya menjauh.

“Tunggu saja di sana …” Teriak Giri.

Tina melihat Giri bergerak ke balik batu besar. Tina pun tersenyum saat mengetahui apa yang sedang pamannya lakukan di sana. Giri meletakkan celana panjangnya di atas batu yang menghalangi dirinya. Pria itu pun berjongkok dan mulai membuang hajatnya. Tina kembali mengarahkan pandangan ke air terjun. Air yang jatuh di tebing batu dari ketinggian menjadi pemandangan yang indah. Tina merasakan percikan air yang dingin berbalut embun menyapu wajahnya.

“Hei …!!! Monyet …!!!” tiba-tiba terdengar teriakan marah Giri.

Tina yang sangat terkejut segera menolehkan kepala ke arah sumber suara. Keterkejutan Tina bertambah tatkala menyaksikan seekor kera sedang berloncatan di dahan pohon sembari membawa celana panjang milik pamannya. Rasa terkejut Tina semakin menjadi ketika melihat pamannya mengejar dan melempari sang kera dengan batu tanpa kain yang menutup tubuh bagian bawahnya. Dan pada lemparan ketiga, sang kera tertimpuk batu membuat celana panjang ‘jarahan’ sang kera terlepas. Giri segera mengambil celana panjangnya itu lalu dengan tergesa-gesa memakainya.

Kejadian yang cukup cepat itu tidak lantas membuat Tina melupakan. Sesungguhnya, Tina tidak fokus dengan upaya Giri mendapatkan lagi celana panjangnya. Mata Tina lebih terfokus pada alat kelamin pamannya yang menggantung di sana. Sungguh kejantanan yang sangat fantastis. Penis itu besar, panjang, dan sangat berurat, penis yang perkasa seperti penis kuda saja layaknya. Rambut di pangkalnya terlihat awut-awutan, tidak terawat sama sekali. Tapi justru itu yang makin menambah kesan jantan pada benda itu. Sebagai calon seniman, Tina dibilang sering melihat kejantanan seorang pria secara ‘live’. Namun kali ini sangat berbeda. Penis yang pernah ia lihat tidak ada apa-apanya dibanding milik pamannya itu.

Wow … Seksi banget …” desah Tina dalam hati mengagumi kejantanan milik sang paman.

Giri berjalan mendekati Tina dengan wajah tampak memerah menahan malu. Tina hanya tersenyum melihat sikap malu-malu pamannya. Giri semakin kikuk dan malu saat melihat senyuman Tina yang seakan sedang menelanjangi dirinya. Pria itu lantas duduk menekuk lutut di bongkahan batu tepat di samping Tina yang sedang berdiri. Entah kenapa, jiwa keusilan Tina bangkit ketika melihat muka Giri yang semakin merah.

“Ayo paman … Kita berendam di sana …” kata Tina sembari membuka bajunya.

Karuan saja Giri menjadi panik. Tubuhnya membeku saat melihat pakaian Tina jatuh satu persatu di sampingnya. Tanpa melihat pun Giri tahu kalau gadis itu sudah tidak memakai kain penghalang lagi di tubuhnya. Giri merasakan debaran jantungnya semakin menggila, dan perasaannya kini bercampur aduk antara takut, was-was, dan gugup.

“Ayo paman … Buka bajumu …” ucap Tina menggoda. Suara rendah itu terasa menghipnotis dan dia tidak bisa mengendalikannya karena tubuhnya semakin kebas.

“I..iya …” ucap Giri.

Giri lalu membuka semua pakaiannya dan kini kedua orang berlainan jenis kelamin itu benar-benar telanjang. Tina menarik Giri untuk masuk ke dalam kubangan, sementara Giri belum sanggup melihat ke arah Tina yang telanjang di sampingnya. Keduanya masuk ke dalam kubangan air jernih tersebut. Di dalam air, Tina langsung merapatkan punggungnya di dada sang paman sambil membawa kedua tangan Giri agar melingkar di perutnya.

“Paman gak usah sungkan …” lirih Tina.

“Ta...tapi ini …” ucapan kaku Giri tidak berlanjut sebab dipotong langsung oleh Tina.

“Sssssttt … Nikmati saja, paman …” lirih Tina lagi.

Sesungguhnya apa yang dirasakan Tina saat itu adalah tenggelam dalam birahi akibat inderanya sejak kemarin malam terus menerus disuguhi pemandangan yang erotis. Hasrat seksualnya seolah terbangunkan. Ia menjadi gampang tersulut gairah. Tina ingin merasakan belaian tangan kasar laki-laki, ia ingin sekali dijamah dan dimanjakan. Tina terpejam dan menahan nafas saat merasakan tubuhnya mulai menuntut.

Sebagai laki-laki normal, Giri mulai terbakar gairah. Dia pun mulai berani mengelus lembut permukaan kulit perut Tina. Gadis itu tidak memperlihatkan reaksi apapun. Dia masih tak bergerak. Aman. Giri meneruskan aksinya. Terasa hangat sekali. Selama beberapa saat Giri menikmati ‘pelukan’ mesra tersebut. Sambil matanya kini menikmati pemandangan dua bukit kembar sang gadis yang begitu menggairahkan. Pikirannya bergelora. Berkecamuk dengan bayangan erotis tubuh Tina. Tak peduli lagi tentang statusnya. Yang ada hanya ambisi untuk menikmati bisikan-bisikan birahi yang menari-nari di otaknya. Giri pun semakin terbuai. Terbuai oleh dorongan seksual yang menghebat. Ambisinya untuk dapat menikmati tubuh Tina sungguh tak terelakkan!

Tina menutup kedua matanya erat ketika Giri mulai mencium telinga dan lehernya. Tangan Giri mulai meremas payudaranya, membawanya melawan arah gravitasi dan memijatnya lembut, memainkan putingnya di antara sela jarinya. Membuat mata Tina makin terpejam dan kepalanya mendongak frustasi. Ia ingin meneriaki pamannya itu, jika ia sudah sangat basah di bawah sana.

Seakan mengerti apa yang dipikirkan sang gadis yang berada dalam pelukannya itu, kepala penis Giri mulai mencari-cari jalan untuk memasuki lorong kenikmatan. Secara naluriah, Tina merenggangkan pahanya memberikan akses lebih pada pamannya. Sedetik berikutnya, sebuah kepala penis sudah berada di pintu masuk lubang nikmat milik sang gadis. Terasa panas, dan besar disana. Keduanya bergesek pelan, saling menggoda untuk saling memuaskan. Saat penis itu mulai menusuk, Tina mengangkat pantatnya dan perlahan penis itu mulai memasuki ruang vaginanya. Dengan sangat lembut penis besar dan panjang itu memasuki liang kewanitaan Tina disertai desahan dari keduanya.

Tak ayal, Tina merasakan vaginanya tersibak dan terbelah ketika benda keras itu melesak masuk dengan perlahan. Tina merasakan vaginanya begitu penuh dan sesak, namun perasaan nikmat tak dapat ia tampik sama sekali. Tina semakin tenggelam dalam kenikmatan, ia merasakan sensasi luar biasa dari kejantanan Giri yang terus keluar masuk dengan kecepatan konstan. Nafas Tina tercekat nikmat dan ia tak bisa melakukan apapun selain menggelepar di bawah kungkungan tangan kokoh Giri. Semuanya makin membuatnya tak bisa melakukan apapun saat tangan Giri mulai meremas kuat buah dadanya.

Hentakan Giri makin cepat dan dalam. Tina kembali memekik kecil saat merasakan klitorisnya terhimpit dan seakan ikut masuk ke dalam vaginanya sendiri bersama dengan dorongan Giri. Nafasnya makin memburu ketika ia membuka mata dan menemukan Giri tengah menggigit bibirnya dengan ekspresi menahan nikmat yang begitu kentara. Pria itu tak berhenti mendorong kejantanannya yang Tina rasakan mulai mengeluarkan urat-urat yang menggesek dinding vaginanya dengan begitu nikmat.

Penis besar dan panjang itu terus menginvasi lipatan surga Tina dengan begitu perlahan. Benda itu bergerak keluar-masuk dengan tekanan yang membuat Tina tersiksa bukan main, tubuhnya bereaksi dengan cepat dan menghasilkan banyak sekali cairan pelumas yang membanjir dari dalam dirinya. Desahannya menggema tanpa bisa Tina tahan dan ternyata itu membuat Giri makin bersemangat mengobrak-abrik lipatan surganya yang sudah basah dan panas itu. Selang beberapa menit kemudian, sebuah dorongan muncul dari dalam diri gadis itu dan membuat kepalanya berputar nikmat. Selangkangannya nikmat bukan main dan ketika Giri memberikan dorongan yang paling menekan di bawah sana. Tubuh Tina melengkung tajam dan kepala belakangnya bersandar keras di bahu Giri.

“Aaacchh … Paammaaann …!” erang Tina panjang. Pelepasan pertama Tina begitu nikmat dan ia tak bisa memikirkan apapun selain menikmati orgasmenya dengan Giri masih berada di belakangnya. Di pandangannya yang makin mengabur, Tina bisa melihat mata Giri memancarkan gairah yang lebih dari sebelumnya.

“Kamu seksi sekali, sayang,” ucap Giri sambil mengeluarkan miliknya dari dalam tubuh Tina.

Giri kemudian menggendong tubuh keponakannya yang seksi lalu meletakkan Tina terlentang di atas batu ceper di sisi sungai. Giri langsung menindih dan dada keduanya saling menekan. Tina dengan berani membawa tangannya ke bawah dan meremas kejantanan Giri yang sangat panas dan keras dengan gerakan sensual.

“Punya paman seksi banget,” ucap Tina sambil mengurut-urut kejantanan Giri.

“Kamu nakal … Kamu bisa mencumbunya nanti, sayang …” Giri berbisik di telinga Tina dengan nafas terengah saat tangan itu meremat dan mengurut kejantanannya dengan intensitas yang tak main-main. Sementara di bawah sana, Giri tengah menahan ereksinya agar tidak cepat-cepat memuntahkan cairan. Tina tersenyum miring sambil mengingat dengan baik bagaimana tekstur benda besar dan panjang itu.

“Besar banget paman … Seperti kontol kuda,” ucap Tina sangat pelan.

“Cukup, jangan bermain-main lagi sayang … Biarkan kontol paman mencumbu lubang memekmu sekarang …” Kalimat frontal itu membuat Tina melepaskan tangannya dan beralih mengalungkannya ke leher Giri.

Giri menggeram pelan saat tangannya mengocok miliknya sendiri dan menempelkannya ke lipatan panas Tina. Menggesek-gesekan sepanjang bibir vagina itu dengan pelan sambil menikmati bagaimana lipatan vagina tersebut berdenyut menggiurkan. Tina sendiri sudah mulai berputar kepalanya karena Giri yang tak kunjung melesakkan miliknya ke dalam vaginanya yang sudah sangat mendamba, bahkan Tina bisa merasakan miliknya sendiri sudah berdenyut-denyut gila.

“Berhenti menggodaku, paman … Atau aku sendiri yang akan membuat kontol kudamu melesak masuk,” Tina berbisik serak dan seketika membuat Giri menggeram serta mulai mendorong kejantanannya masuk ke dalam lipatan itu.

Giri mulai mendekap tubuh gadis di bawahnya sambil mencium bibirnya. Tina merasakan bibir vagina miliknya mulai tersentuh ujung penis Giri. Sebentar diusap-usapkan dan pelan sekali mulai ia rasakan bibir vaginanya terdesak menyamping. Terdesak penis besar itu. Tina benar-benar merasakan penuh dan sesak liang vaginanya dimasuki penis besar itu. Tina menahan nafas karena nikmat luar biasa. Mili per mili. Pelan sekali terus masuk penisnya. Tina meresapi rasa nikmat lain yang terbangun dari denyutan yang ia rasakan.

“Oh … Pamaaann … Lebih cepat …!” pinta Tina mendesah.

Tina tersentak dan ia bisa merasakan Giri menarik seluruh kenjantanannya dengan hanya menyisakan kepala kejantanannya, lantas Giri mendorongnya begitu keras dan cepat. Hal itu membuat Tina melepaskan erangannya refleks merasakan sensasi nikmat yang begitu dahsyat itu. Kini gadis itu sibuk menikmati rasa yang aneh bercampur enak saat penis besar dan panjang itu menyentuh-nyentuh rahimnya.

“Akh! Akh! Akh!” Desahan nafas berganti dengan jeritan kecil seraya kejantanan Giri keluar masuk dan klitorisnya makin terhimpit nikmat.

“Pa..paman!” Tina memekik nikmat ketika Giri menarik kejantanannya sampai hampir lepas dan mengaitkan salah satu kaki Tina ke bahunya, membuat tubuhnya miring dengan posisi tertekan berat tubuh Giri. Giri tak menghentikan hentakannya, malah makin menambah intensitasnya dan membuat Tina benar-benar menjerit karena ia merasakan vaginanya disodok gila-gilaan tanpa henti tanpa jeda.

“Memek kamu enak sekali, sayang,” kalimat pertama Giri setelah penyatuan mereka membuat Tina terbakar.

Rasa nikmat dari vaginanya makin intens dan membuat Tina mendesah keras. Dorongan Giri makin keras dan nikmat, kejantanan yang terbenam itu makin menunjukkan eksistensinya. Rangsangan dari lawannya benar-benar membuat Tina tak berdaya sama sekali. Tina yang awalnya pasif, tubuhnya kini mulai bergerak berlawanan. Seolah ikut mencari kenikmatan atas dua paha yang kini bertabrakan. Satu menggempur dan satunya membuka lebar-lebar. Dan akhirnya, Tina benar-benar menjerit. Ia mendapatkan orgasme keduanya tak berselang lama dari yang pertama.

“Berbalik sayang,” tanpa melepas penis kebanggaannya, Giri membalikkan tubuh Tina, hingga kini Tina menungging di depannya. Giri berusaha lebih memperdalam keintiman mereka. Giri pun mencengkeram pinggang Tina kuat, kembali dia menggerakkan pinggulnya.

Erangan, desahan, teriakan, entah apa pun itu keluar dari mulut Tina. Nikmat, dan mengharap lebih. Lebih lagi sampai mereka mencapai puncak tertinggi. Giri menegakkan tubuhnya, tangannya tidak tinggal diam, meremas pantat Tina. Pantat kenyal, bundar yang selalu dilirik oleh orang-orang diluar sana.

“Paammaann ...!” Tina mengerang. Dia merasakannya lagi, saat vaginanya terasa akan memuntahkan cairannya. Giri tersenyum.

“Tunggu …” Giri mengarahkan tangan satunya ke arah klitoris Tina, mengusap-usap perlahan memberikan rangsangan tambahan pada vaginanya.

“Paa..maaann …” Tina membelalakan matanya. "Aghh … Uugh … Aagh …” Tina mendongak sambil mengerang. “Hgghhh …!” Tina terus mengerang keras. Penis besar dan panjang itu semakin membesar, berkedut-kedut dan Tina bisa merasakannya. Giri lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Tina menggerakkan pinggulnya membabi buta.

“AAAAGGGHHHHH …!!!” baik Giri dan Tina mengerang bersama. Keduanya mencapai puncak kenikmatan bersamaan, Giri dengan sengaja memuntahkan spermanya di dalam vagina Tina. Giri bisa merasakan spermanya mengalir begitu keras dan banyak, sampai tidak tertampung dan mengalir keluar, menetes di paha putih mulus Ini. Giri masih sedikit menggerakkan penisnya, mengeluarkan semua spermanya di dalam vagina Tina.

Perlahan Giri melepaskan penisnya dari jepitan vagina hangat itu. Giri membalik tubuh Tina, sehingga mereka berhadapan, dengan lembut dia mengangkat tubuh Tina masuk kembali dalam kubangan air jernih. Wajah Tina merah dan basah penuh dengan keringat. Deru nafas Tina yang sedikit terputus-putus membuat buah dada itu sedikit bergerak naik turun. Dalam gendongan, lama Giri memandang wajah Tina. Sebuah perasaan membuncah dalam dadanya. Perasaan yang Giri sama sekali tidak bisa jelaskan. Giri menundukkan wajah dan mencium bibirnya sekilas dengan lembut.

“Maafkan paman ...” ujar Giri perlahan. Tina yang dalam gendongan Giri pun kini melingkarkan tangannya di leher pria itu.

“Jangan … Jangan merusak moment ini. Saat ini hanya ada kita … Biarkan besok tetap menjadi besok. Dan besok tetap seperti sediakala. Aku tidak ingin ada perasaan di antara kita. Aku ingin kita adalah paman dan keponakan yang saling membutuhkan, tidak lebih …” jelas Tina berusaha meluruskan keadaan yang ia inginkan.

“Iya … Paman mengerti …” ucap Giri sambil tersenyum.

Beberapa menit keduanya masih berendam sambil saling bercanda. Ketika hari mulai redup, mereka pun bergegas pergi meninggalkan tempat tersebut. Perjalanan pulang lebih cepat dari perjalanan pergi. Hanya sekitar 15 menit, Giri dan Tina sudah sampai kembali di rumah. Ternyata seluruh anggota keluarga dari Jakarta sedang berkumpul di dapur. Tina dan Giri pun bergabung bersama mereka.

“Giri … Apakah kamu benar-benar ingin meninggalkan desa ini dan bekerja di Jakarta?” tanya Diana pada adiknya.

“Benar teh … Saya ingin sekali kerja di Jakarta,” tegas Giri penuh keyakinan.

“Kenapa kamu tak berniat meneruskan usaha ayah kita di sini saja?” tanya Yuni sambil menatap Giri lekat-lekat.

“Suram, teh … Ayah tidak benar-benar mau melepas apa yang ia miliki. Aku hanya dijadikan pembantunya saja,” keluh Giri membuat Diana dan Yuni terperanjat.

“Masa ayah seperti itu?” tanya Diana lagi tak percaya.

“Benar teh … Kenyataannya memang seperti itu … Nasibku di sini lebih buruk dari pada pegawai-pegawai ayah yang setiap bulan mendapat upah. Sementara aku tidak mendapatkan apa-apa,” kata Giri lagi.

“Paman akan pergi ke Jakarta dan bekerja di sana,” kini Tina membela pamannya.

“Baiklah kalau begitu … Tapi kayaknya kamu harus pergi sendiri karena mobil kami tidak muat lagi,” ungkap Yuni dengan gaya bicaranya yang tegas dan lugas.

“Aku bisa bawa motor … Ya, aku akan pergi sendiri dengan motor,” jawab Giri sambil tersenyum.

Mereka semua kemudian melanjutkan obrolan sambil menyantap hidangan makan malam. Makan malam mereka sangat indah. Dengan masakan yang lezat, dilengkapi tawa dan canda. Tawa dan canda di antara mereka begitu mengalir apa adanya. Bertukar cerita di antara mereka memang terkesan biasa, tetapi itu lah hal yang membuat kedekatan mereka semakin terjalin.

Sekitar pukul tujuh lebih, semuanya kembali naik ke lantai dua kecuali Giri, lalu masuk ke kamar masing-masing. Tina merebahkan badan di atas kasur. Gadis itu teringat kembali dengan kejadian yang ia alami bersama pamannya. Salah satu momen sederhana namun begitu istimewa. Gadis itu ingat betul bagaimana Andi dan ayahnya memperlakukan dirinya di atas ranjang, tetapi hanya pamannya lah yang membuat dirinya seperti berada di surga yang sesungguhnya. Hanya dengan pamannya lah ia merasakan sebuah pengalaman bercinta dalam suatu kenikmatan yang paripurna.

Malam pun semakin larut dan suasana benar-benar semakin hening. Semua orang kelelahan dan memilih tidur. Ya, tidur mereka begitu pulas. Semuanya mengistirahatkan tubuh mereka yang lelah setelah seharian menjalani berbagai macam aktivitas kegiatan. Mereka tidur sangat pulas sambil menjelajahi ke alam mimpi mereka masing-masing.

Bersambung

Chapter 13 di halaman 21​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd