Wangikehidupan
Guru Semprot
- Daftar
- 13 Nov 2016
- Post
- 539
- Like diterima
- 2.171
IV. Rumah Sakit, Ruang Kelas II
"Maaf, ibu-ibu, jam kunjungan sudah selesai."Seorang perempuan muda berbaju putih berdiri di ambang pintu."Demi kenyamanan pasien, para pengunjung diharap segera meninggalkan ruangan."
Ruangan yang sedari awal sudah ramai semakin riuh. Isteriku menaruh makanan di meja kecil yang ada di samping tempat tidur, sementara ada yang merapikan kamar, sedang anak-anak berlarian keluar ruangan.
"Ada apa?"tanyaku pada isteriku yang tampak kebingungan.
"Saya mau pulang ke rumah, Bang. Sudah dua hari saya di sini, rumah pasti berantakan,"jawab istriku,"tapi, kalau saya pulang, siapa yang menunggu Abang di sini?"
Isteriku menoleh kepada perempuan yang berdiri disampingnya. Lalu,"Eceu mau tidak menjaga Abang?"
"Kan jam besukan habis, Ju? Memang boleh ada yang tinggal di kamar pasien?"Perempuan yang berdiri disamping istriku bertanya.
"Boleh. Asal tidak ramai, diperbolehkan, Ceu."
Perempuan yang berdiri disamping istriku tampak bimbang."Bagaimana dengan anak-anak? Mereka tinggal di sini juga?"
"Biar mereka saya bawa pulang. Sebentar, kok."Istriku menatap ke arah perempuan itu, menunggu isyarat persetujuan."Habis Maghrib, saya datang lagi, Ceu."
Ketika akhirnya perempuan itu mengangguk, istriku terlihat sumringah. Langsung dia menyiapkan tas besar berisi pakaian kotor yang akan dibawa pulang.
"Saya pulang dulu, Bang."Istriku mencium pipiku dan aku mencium keningnya.
Perempuan di samping istriku itu menatap ke arah kami. Tersenyum simpul sambil mendekapkan tangan ke dadanya.
"Mau dibawakan apa untuk makan malam nanti?""tanya istriku.
"Tidak usah repot-repot,"jawabku."Pulanglah dulu, Ju. Nanti perawat datang lagi. Marah lagi."
Istriku mengangguk dan, bersama perempuan itu, menuju pintu keluar. Dapat kudengar suara ribut-ribut dari luar kamar, yang kemudian perlahan menjauh dan menghilang. Sepi.
Pintu kamar terdengar menutup. Perempuan itu lalu muncul dari balik tirai dan hadir mendekat. Cantik sekali perempuan itu. Pakaiannya mengikuti mode saat ini, gaya yang sedang trend di akhir tahun 70-an. Gaun panjang di atas lutut tanpa lengan dan melekat erat di tubuh mungilnya.
Perempuan itu membiarkan aku mengambil jemarinya."Kukira Eceu tidak mau menemaniku di sini."
Eceu, perempuan itu, istri kakak iparku, hanya tersenyum. Mata kami bersitumbuk. Kutemukan rindu di matanya, seperti aku yang juga merindukannya. Dari jemari lembutnya yang aku genggam, dapat kurasakan getaran kehendaknya. Dua minggu sudah kami tidak menyatukan hasrat. Bertumpuk-tumpuk birahi yang siap meledak, menunggu saat yang tepat."Aku kangen Eceu."
Dengan bertumpu pada siku tangan, aku mengangkat kepalaku, dia pun mendekatkan wajahnya. Dalam ruang berwarna dominan putih yang sepi, bibir kami bertemu. Seperti pasangan muda yang baru jatuh cinta, bibir kami bertemu, lepas, bertemu kembali dan lepas kembali. Pendek-pendek ciuman kami, terburu-buru, penuh birahi.
Karena capek, aku membaringkan kepalaku di bantal, tapi perempuan itu mengejar bibirku. Ditimpakannya bibirnya dan aku membalasnya. Tangan kiriku bergerak menggapai buah dadanya, meremasnya. Sayang sekali tangan kananku tertancap infus sehingga tak bisa ikut menjamah.
Istri kakak iparku meninggalkan bibirku, tapi jemariku tak melepaskan buah dadanya. Kutatap matanya yang penuh birahi itu. Lalu, kembali dia mengambil bibirku, mengulumnya dalam-dalam. Panjang dan hangat.
Sambil tetap berciuman, tanganku bergerilya ke bawah, mencari pahanya. Dia mendekat kala tanganku berusaha masuk ke dalam gaunnya. Kutemukan selangkangannya. Bagian tengah celana dalam itu basah saat kusentuh. Istri kakak iparku menegang saat jari tengahku menekan lubang kemaluannya yang masih terselimut celana dalam.
Mungkin karena capek menunduk, istri kakak iparku berdiri. Dalam diam, kami bertatapan, tapi tetap dibiarkannya jemari ini bermain di area sensitif miliknya. Maka kugunakan kesempatan itu untuk menyelinap masuk ke celana dalamnya. Hangat sekali kemaluannya. Lubang itu pun sudah basah. Dicekalnya lenganku kuat-kuat manakala daging kecil yang berada dalam belahan memanjang di kemaluannya aku tekan dan aku elus-elus. Matanya tertutup, kepalanya mendongak, dan mulutnya membuka. Nafasnya mulai mendengus.
Tapi, dari balik tirai, terdengar pintu didorong dari luar. Secepatnya aku menarik jemari dari area sensitif miliknya. Secepat itu pula istri kakak iparku memasang kembali celana dalamnya yang turun akibat aksiku menggerayangi kemaluannya. Bersamaan dengan itu, tirai ditarik membuka dan dua orang perawat dengan kereta dorong mendekat.
"Bapak Amir?"Ada senyum di wajah perawat yang terdepan saat dia melihat selangkanganku. Pasti dia melihat ada yang aneh di sana.
Setelah menanyakan kondisiku, perawat itu mengambil mangkuk dari kereta dorong, lalu,"Ini obat untuk malam ini, ya, Pak. Di minum setelah makan nasi."
Perawat meletakkan mangkuk obat di meja dan disusul perawat satunya yang menaruh piring nasi beserta dua piring lainnya yang berisi lauk di meja.
"Mau makan sekarang?"tawar istri kakak iparku setelah kedua perawat berlalu.
"Belum lapar,"sahutku,"tapi aku kepingin buah."
"Buah apa?"Dengan sigap ia menghampiri meja."Mau apel? Jeruk?"
"Buah dada, ada?"
Istri kakak iparku menoleh ke arahku. Melihat bibirnya yang manyun itu, tawaku pecah.
"Aku kepingin buah dada, Ceu,"ucapku lagi setelah tawaku reda.
"Sekarang tidak usah mikir ke situ. Amir tuh lagi sakit, pasti tidak ada tenaga,"ucapnya mengejek.
"Neh! Jangan membangunkan harimau yang sedang tidur, ya."Aku berusaha bangun dari tidurku, tapi gagal.
Akhirnya dia membantuku saat aku kesulitan untuk duduk di tempat tidur."Apa kata saya. Amir masih lemah 'kan?"
"Tapi, aku mau buah dada,"rengekku dengan gaya anak kecil.
"Jangan nakal, ya. Masih sakit mau macam-macam."Dengan pelan, istri kakak iparku menjewer telingaku."Nanti saja kalau sudah di rumah."
"Maunya sekarang."Masih dengan gaya merajuk, aku memonyong-monyongkan bibir pura-pura menyusu sementara tanganku menyentuh buah dadanya.
Istri kakak iparku berjalan mendekati tirai. Berdiri sebentar di sana. Kepalanya melongok ke arah pintu, lalu dia menarik tirai.
Dan, kini, kami berada dalam kurungan tirai. Kuulurkan tanganku. Istri kakak iparku yang tersenyum menggairahkan, mendekat dan menyambut tanganku. Birahiku melonjak. Selangkanganku menghangat. Senjata kembali menegang.
Setelah menggeser tiang infus mendekat, aku bergeser duduk. Dengan dua kaki menggayut ke bawah, aku ajak dia berdiri masuk di antara dua pahaku.
"Nenen-nenen, nenen-nenen..."Masih tetap bergaya anak kecil, tanganku menjamah buah dadanya. Istri kakak iparku membiarkan aku yang mulai melepas kancing pakaiannya.
"Susah, Ceu."Aku menyerah karena ternyata susah membuka kancing pakaian dengan satu tangan, apalagi dengan birahi memenuhi kepala.
"Makanya, Amir itu sadar kondisi,"ucapnya dengan nada bergurau.
"Aku tuh sadar, Ceu, tapi si otong tidak mau sadar."Kutunjuk selangkanganku.
Tawanya yang tertahan terdengar karena di area selangkanganku terlihat tonjolan di balik pakaian.
"Katanya sakit, tapi, kok, bisa bangun, ya?"tanyanya dengan heran."Atau itu sebabnya perawat tadi senyum-senyum terus. Rupanya perawat tadi melihat burung Amir berdiri, ya?"
"Hahaha!"Tawaku pecah karena istri kakak iparku akhir dapat memecahkan misteri senyuman perawat tadi.
"Itulah hebatnya Eceu. Berkat kehadiran Eceu, semuanya bangun, semuanya semangat,"jawabku setelah tawa reda.
Kembali aku meraih kancing pakaiannya, tapi, kini, istri kakak iparku ikut membantu. Satu, dua, dan tiga, kancing pakaiannya terlepas. Kukuakkan melebar pakaian itu. Putih mulus lehernya. Begitu pula lereng gunungnya yang membukit itu. Putih susu.
Keindahan bukit-bukit yang mengintip dibalik beha hitam yang aku berikan saat ulang tahun kedua minggu hubungan kami, membuat si otong di selangkangan mengacung hebat.
Aku turunkan pakaiannya dan cungkup behanya aku angkat naik. Dua gunung itu tergantung indah didepanku. Mungil, ranum, putih mulus, dengan butiran coklat di atasnya. Ada lingkaran bewarna coklat pudar mengelilingi butiran coklat tadi.
Dengan lidahku, aku mainkan butiran itu, membuat dia menggelinjang nikmat. Segera butiran coklat itu berada dalam mulutku. Selama aku menyedot, menjilat, dan mengulum butiran kecoklatan di atas buah dada mungil itu, istri kakak iparku mendekap kepalaku, mengelus pipiku, memainkan rambutku, dan kembali pipiku dielusnya.
Tanganku kembali masuk ke selangkangannya. Dengan perlahan celana dalamnya aku turunkan. Dua pahanya merapat untuk mempermudah aku menurunkan jauh-jauh dari selangkangannya. Kusentuh area sensitifnya yang hangat dan lembut.
Desahannya terdengar. Kulumanku di butiran coklat kian bergairah. Begitu pula jamahanku di wilayah kemaluannya. Lubang kemaluan itu kian basah.
Jari telunjukku masuk ke dalam belahan memanjang di selangkangan itu dan memainkan tonjolan daging yang ada didalamnya. Desahan terdengar, menggoda telinga. Cengkeraman kedua tangan istri kakak iparku di kedua pahaku menguat.
Kuluman dan sedotanku di puting susunya meliar, seliar dua jariku yang keluar masuk lubang kemaluannya, seliar dengus nafasnya yang memenuhi kamar kelas dua rumah sakit ini.
Kutinggalkan buah dada itu dan berpindah mengulum bibirnya. Dua tangannya mendekap leherku erat, sementara jari-jari tanganku masih mengobok-obok kemaluannya. Desahannya bersembunyi akibat mulutnya tertutup mulutku.
Pintu kamar terdengar terkuak dan langkah kaki terdengar masuk. Dengan gelagapan, istri kakak iparku menjauh dari aku. Buru-buru dia memasangkan kembali celana dalam ke selangkangannya, lalu tangannya merapikan bagian atas pakaiannya. Karena dibalik tirai terdengar banyak kaki yang melangkah, istri kakak iparku melongok ke luar tirai. Lantas, dibukanya tirai dan seorang perempuan setengah baya yang membawa sapu dan pengki masuk.
"Maaf, Pak, Bu. Maaf mengganggu,"ucapnya pelan tanpa menatap ke arah kami. Serba salah tingkahnya."Saatnya bersih-bersih kamar."
Oleh si ibu, tirai dibuka lebih lebar. Ternyata ada dua orang lagi yang membersihkan kamar ini. Kamar ini memang besar. Kamar ini mempunyai tiga tempat tidur, tapi saat ini dua tempat tidur lain tidak ada penghuninya. Pasien yang menempati tempat tidur yang diujung sana, siang tadi pulang.
"Bapak bisa turun dari tempat tidur?"tanya ibu cleaning service sopan"Mau ganti seprai."
Dengan bantuan istri kakak iparku, aku turun dari tempat tidur. Aku duduk di kursi. Sambil bersidekap untuk menutupi dadanya karena behanya tak terpasang sempurna, istri kakak iparku berdiri di sampingku. Saat si ibu cleaning service mengganti seprei kasur, kulingkarkan tanganku ke tubuh istri kakak iparku. Dia pun menjatuhkan satu tangannya di pundakku, merapatkan tubuhnya sementara tangan satunya tetap menutupi buah dadanya.
"Sudah selesai, Pak, Ibu."Ibu cleaning service itu tetap tidak berani menatap ke arah kami."Silakan istirahat kembali. Maaf mengganggu."
"Makasih, ibu,"ucap istri kakak iparku pada ibu cleaning service yang saat itu sedang merapikan peralatan kerjanya.
"Sama-sama, Ibu."Sambil kembali pamit, ibu cleaning service bersama kedua temannya berlalu dari kamar.
"Aduh!"teriakku tertahan saat dengan gemas dia mencubit lenganku.
"Hati-hati, Amir. Hati-hati dengan infusnya,"istri kakak iparku mengingatkan aku yang menggerakkan tangan kananku yang dipasangi infus.
"Sakit,"ucapku sambil mengusap-usap bekas cubitan di lenganku.
"Maaf... maaf...."Dia ikut mengelus lenganku."Habis, Amir keterlaluan. Apa gunanya meluk-meluk didepan orang? kalau si ibu tadi curiga, bagaimana?"
"Dia 'kan pasti mengira kita ini suami istri,"ucapku,"Jadi, bolehkan suami memeluk istrinya?"
"Tidak lucu."Dengan nada kesal dia menjawab.
"Ya, sudah. Aku minta maaf kalau Eceu tidak suka aku perlakukan sebagai istri."Aku duduk di tempat tidur."Kalau sebagai kekasih, mau? Kekasih gelapku."
Kembali dia mencibiri aku. Lalu,"Kayaknya ibu tadi tahu apa yang kita lakukan, ya, Mir."
"Memangnya apa yang kita lakukan?"tanyaku pura-pura tidak faham.
Hi-ih! Dengan gemas dia mencubit aku lagi. Kembali aku teriak.
"Mau pipis."Istri kakak iparku menuju kamar mandi yang berada di dekat pintu keluar.
Sambil menunggu istri kakak iparku kembali, aku membaringkan diri. Kupejamkan mata. Masih kurasakan kepalaku yang berat. Mungkin karena kecapekan, tensi darahku meninggi. Istriku memaksa aku berobat dan dokter mengadvise aku beristirahat di rumah sembari menunggu perkembangan berikutnya.
Kubuka mataku karena lenganku disentuh. Ternyata dia, istri kakak iparku, berada disampingku.
"Sudah lapar belum?"Diurut-urutnya lembut lenganku."Biar cepat makan obat."
"Lapar memek."
"Tunggu sembuh. Tunggu sudah sampai rumah. Nanti minta sama Juju."Dengan nada bercanda, istri kakak iparku berucap.
"Mau sekarang, Ceu. Mau memek Eceu."
"Juju 'kan gemuk, pasti memeknya lebih tembem."
"Sekarang pengen memek Eceu."
"Memang beda rasanya?"
Sambil menatapnya, aku pura-pura berfikir. Istri kakak iparku menghentikan urutannya di lenganku, menunggu jawabanku. Lalu,"Coba Eceu lihat ke kakiku."
Begitu dia menoleh ke arah yang aku suruh, aku sibak pakaian rumah sakit yang kukenakan. Istri kakak iparku spontan menjerit, tapi dengan cepat ditutupnya mulutnya dengan tangannya, karena daging panjang yang berada di selangkangan terpampang jelas. Mengacung gagah perkasa.
"Nakal!"Dicubitnya tanganku dan aku hanya tertawa.
"Dia kangen sama Eceu,"ucapku."Sudah lama tidak dielus-elus."
Bibirnya mencibir ke arahku dan aku kembali tertawa.
"Tutup lagi, ah. Nanti ada perawat yang mendadak masuk."
"Kan tirainya tertutup. Orang tidak bisa melihat apa yang Eceu lakukan kepadaku."
"Memang apa yang saya lakukan?"Istri kakak iparku itu bertanya dengan nada lucu.
"Eceu akan memegang burungku, meremasnya, kemudian mengulumnya,"ucapku seraya menatapnya."Lalu, Eceu akan naik ke tempat tidur dan main kuda-kudaan."
"Ih! Maunya."Istri kakak iparku mencubitku.
"Aku memang mau, kok."Aku mengacungkan tanganku, seperti seorang murid pada gurunya."Eceu juga mau, kan?"
"Si otong juga pasti mau, Ceu."Dengan bantuan tangan kiriku, aku menggoyang-goyangkan senjataku."Eh, Eceu tidak kangen?"
"Saya tuh kangennya sama Amir."Tangan istri kakak iparku jatuh di dadaku, mengelusnya.
"Sama si otong tidak kangen?"
Istri kakak iparku menatap aku. Senyumnya terlihat malu-malu. Lalu,"Iya juga, sih."
"Kalau kangen, kenapa tidak mau memegangnya?"Dengan mulutku, aku menunjuk ke arah selangkangan.
Diarahkan pandangannya ke selangkanganku dimana si otong berdiri gagah, meski rada bengkok ke kiri sedikit dan tanpa bulu. Lalu tawanya pecah.
"Siapa yang menggunduli si otong, Amir?"Tanpa diperintah, istri kakak iparku meraih kontolku. Dirabanya areal pangkal kontol yang klimis."Lucu melihatnya."
"Perawat tadi,"jawabku.
"Haa?"Istri kakak iparku menatap terkejut kepadaku."Apa kerja si Juju?"
"Si perawat itu yang mengajukan diri menjadi relawan, Ceu."
"Tidak percaya. Tidak percaya."Istri kakak iparku menggelengkan kepala, tapi tangannya tetap menggenggam kontolku.
"Ya, sudah kalau tidak percaya,"ucapku."Nanti, kalau sudah gondrong lagi, Eceu saja, ya, yang potong?"
"Bangun tidak burung punya Amir?"tanyanya lagi penuh penasaran."Waktu dipegang sama perawat itu?"
"Tidaklah."Aku ikut memegang alat kelaminku. Bersama-sama kami mengocoknya."Aku 'kan lagi sakit. Tidak terpikir ke sana."
"Sekarang, kok, bangun?"
"Karena ada Eceu di sini. Karena ada Eceu yang pegang."
Bibirnya mencibir. Lalu, sambil memandang kontolku yang berada dalam genggamannya, ia bertanya,"Burung Amir kok bengkok ke kiri, ya?"
"Sudah bawaan dari sana, Ceu,"terangku."Memang kemarin-kemarin tidak memperhatikan?"
"Tidak. Baru kali ini bisa lihat jelas,"jawabnya,"Apa semua burung punya lelaki itu sama panjangnya?"
Aku tidak menanggapi pertanyaannya. Aku sedang menikmati aksi istri kakak iparku yang meremas-remas lembut kepala kontolku. Geli-geli nikmat kurasakan saat jari-jari lentiknya menyentuh bagian bawah kepala kontolku.
"Kenapa lelaki suka kalau burungnya dikulum, ya?"tanyanya lagi sementara jarinya masih mengocok kontolku.
Aku mendengar pertanyaannya, tapi aku tidak mampu menjawabnya. Kepalaku dipenuhi birahi yang melonjak-lonjak.
"Apa semua burung punya lelaki banyak urat-urat kayak gini?"Jarinya mengikuti ulir-ulir urat yang banyak melingkar di kontolku.
Mata aku pejamkan, nafas pun tertahan-tahan mendengus, menikmati sentuhan-sentuhan lembut perempuan itu di area sensitif kemaluanku.
"Ah.."Desahku saat kepala kontolku terasa hangat. Kepala kontolku dijilatinya. Pantatku terangkat begitu kepala kontolku dikulumnya, menggelinjang begitu bagian bawah kepala kontol disentuh oleh lidahnya yang kasar itu.
Pintar sekali perempuan ini. Tubuhku bergidik akibat sedotan mulutnya, emutannya di kepala kontolku. Apalagi saat mulutnya maju mundur menelan kemaluanku. Ah! Geli-geli nyaman.
"Eceu,"panggilku.
Tanpa melepaskan kontolku dari mulutnya, Istri kakak iparku menoleh ke arahku.
"Lepas dulu."
Mulut istri kakak iparku meninggalkan kontolku. Dia berdiri. Menatapku, menunggu instruksi dariku.
"Naik, Ceu."
Kuisyaratkan pada istri kakak iparku untuk naik ke tempat tidur. Istri kakak iparku itu terlihat gamang. Matanya menatap aku, lalu ke arah tempat tidur yang memang kecil, beralih ke tiang infus yang berada di sisi tempat tidur dan lalu beralih ke tangan kananku yang tertusuk jarum infus.
"Aman,"jaminku."Asal Eceunya tidak liar, semua akan terkendali."
Tersenyum dia mendengar ucapanku. Tak mau membuang waktu, tangannya aku pegang, menuntunnya untuk naik ke tempat tidur. Istri kakak iparku duduk di disampingku untuk kemudian berbaring di atas tubuhku, kembali mengejar bibir. Bibir kami pun bertaut. Seperti berlomba untuk mengulum bibir lawan mainnya. Dan di kamar dominan putih itu, hanya kecipak bibir kami yang terdengar.
Dua bibir kami berpisah. Kami saling bertatapan. Lalu, dua pahanya mengangkangi tubuhku. Duduk di atasku, dia membelakangi aku. Kini kontolku berada dalam genggamannya, dia mengocoknya.
Mendadak istri kakak iparku menungging. Bola mataku seraya hendak meloncat keluar. Celana dalam itu tersaji jelas didepanku. Mataku tambah melotot karena kepala kontolku kembali dijilatinya. Kunikmati sedotannya di kepala kontolku. Dalam kuluman mulutnya, kurasakan alat kelaminku makin mengeras, membuatku jakunku naik turun cepat.
Tak mau kalah, kubawa wajahku mendekati selangkangannya. Istri kakak iparku melebarkan dua pahanya, memberi ruang bagiku untuk menjamah kemaluannya. Biarpun masih tertutup celana dalam, areal sensitifnya aku jilati. Berkali-kali aku menggigiti bagian tengah celana dalam itu, berkali-kali pula desahannya terlepas. Terkadang, agar perempuan ini menjerit, mulutku aku usel-usel di kemaluannya.
Melalui sisi pinggir celana dalamnya, dua jariku menyelinap masuk dan bermain di areal kelaminnya, bersaing dengan lidahku yang menjilati paha putih susu itu.
Kutinggalkan celana dalam yang basah dengan lendir yang keluar dari lubang kemaluannya bercampur dengan ludahku. Dengan susah payah tangan kiriku menarik turun celana dalam yang dikenakannya. Tahu kalau aku kesulitan melepaskan celana dalamnya, istri kakak iparku memindahkan kaki ke sampingku, menarik lepas celana dalamnya.
Setelah celana dalam terlepas, kembali istri kakak iparku mengangkang di atas tubuhku, kembali menungging, kembali menjilati alat kelaminku, dan kembali pemandangan indah yang mendebarkan jantung terhampar didepan mataku. Belahan yang memanjang ke atas yang ada di selangkangan itu sungguh menantang. Belahan memanjang itu tampak jelas tanpa ada bulu-bulu.
Istri kakak iparku yang berada di atas tubuhku terlonjak begitu jari-jemari menempel di lubang kemaluannya dan mengelus-elusnya. Kini, dua jariku aku maju mundurkan dalam kedalaman lubang kemaluan itu. Desahannya terdengar tertahan-tahan karena mulutnya yang masih mengulum kontolku.
Kepala kembali aku angkat naik dan masuk di antara dua pahanya. Gemetar tubuh istri kakak iparku dan terdengar desahan kala mulutku mulai mencecapi area kemaluannya dengan diselingi dengan tusukan-tusukan lidahku ke dalam belahan memanjang itu. Bergantian bibirku menggigiti tonjolan daging kecil yang berada di dalam lubang kemaluannya.
Seperti sepasang petarung, kami menyerang kemaluan lawan tandingnya dengan semangat dan sepenuh hati. Kamar dominan putih itu kini dipenuhi dengus birahi kami.
Istri kakak iparku melepaskan kontolku dari mulutnya. Aku pun dengan terpaksa melepaskan kemaluannya karena kini dia duduk di atas selangkanganku. Dia mengangkat pantatnya dan dia mengambil kontolku. Diarahkan daging mengeras itu ke lubang kemaluannya, lalu ditekannya pantatnya turun. Ada sensasi yang tak terpermanai kurasa saat kontolku tertelan memek perempuan ini.
Belum hilang sensasi itu, istri kakak iparku mulai menggerakkan pantatnya turun-naik menelan kontolku dan mulai pulalah dia mendesah-desah. Derenyit tempat tidur terdengar lirih dan seirama dengan gerakan pantat istri kakak iparku. Seperti menyadari ada bunyi yang mencurigakan, istri kakak iparku mengubah gayanya menggagahi aku. Kini pantatnya bergerak memutari alat kelaminku, tapi tetap saja desahan itu terdengar ramai.
Aku membiarkan istri kakak iparku menghentikan genjotannya. Aku membiarkan dia melepaskan kontolku dari lubang kemaluannya. Dan aku membiarkan dia berpindah menghadap ke arahku.
Aku membiarkan dia mengambil kembali senjataku, membiarkan dia menduduki senjataku, membiarkan dia bergoyang di atas selangkanganku, membiarkan dia berdesah-desah nikmat.
"Amir, cepatlah pulang,"ucapnya pelan disela genjotannya.
Aku menatapnya. Jemariku mengambil buah dadanya yang berayun-berayun di depan mataku dan meremasnya.
"Amir cepat pulang,"ucapnya lagi.
"Kalau aku sudah pulang, Eceu mau kasih apa?"
Ditaruhnya dua tangannya di dadaku, lalu istri kakak iparku merunduk dan,"Terserah Amir mau apa?"
Kembali kami berciuman. Pantat istri kakak iparku tetap bergoyang, tetap menelan kemaluanku, tetap mendesah-desah dan aku menikmatinya.
"Ada apa?"tanyaku karena desahannya menghilang, pun genjotannya.
"Azan Maghrib,"ucapnya pelan sembari turun ke sampingku.
Dia mengambil pakaiannya dan ditutupinya tubuh telanjangnya. Berdua kami berdiam diri. Panggilan salat yang dikumandangkan sang bilal dari masjid yang berada di areal kompleks rumah sakit masih terdengar.
Suara azan menghilang. Dengan bertumpu pada tangan, aku bangun. Istri kakak iparku hanya diam melihat aku turun dari tempat tidur. Sembari menyeret tiang infus, aku melongok ke luar tirai. Sepi.
"Mau kemana?"Istri kakak iparku memegangi penutup tubuh telanjangnya agar tidak melorot kala kutarik dia turun dari tempat tidur.
"Nanti dilihat orang, Amir,"ucapnya lagi begitu keluar dari balik tirai, tapi tetap dia mengikutiku langkahku.
Segera kami sampai di depan kamar mandi. Kudorong pintu membuka dan kuajak istri kakak iparku masuk.
"Jangan sekarang, Amir. Jangan di sini."Istri kakak iparku berniat keluar kamar mandi. Maka, dengan cepat pintu aku tutup. Berdiri aku didepan pintu itu, memandangnya.
"Amir 'kan masih sakit,"ucap istri kakak iparku melemah.
Kutebarkan senyum agar dia percaya aku. Penutup tubuh telanjangnya aku tarik dan aku sampirkan di hanger yang ada di balik pintu.
"Hati-hati."Istri kakak iparku memegang tiang infus karena aku kesulitan bergerak di kamar mandi yang kecil ini."Hati-hati infusnya."
Tapi, tak kuhiraukan rasa khawatirnya. Birahi yang memenuhi batok kepala telah membutakan. Dengan tangan kiriku, aku tarik dia mendekat dan kurangkul tubuh telanjangnya. Tinggiku yang nyaris seratus tujuh puluh memaksa aku untuk menundukkan kepala agar dapat menjangkau bibirnya. Kulumat bibirnya dan kueratkan pelukan.
Tangan kananku meraih tiang infus, lalu kudorong istri kakak iparku menepi ke dinding kamar mandi. Kuraih selangkangannya dan dia pun melebarkan dua pahanya, memberi kesempatan jemariku bermain di area sensitif miliknya.
"Ah..."Desahan itu membuat jari tengahku kian bersemangat memainkan klentitnya.
"Cepat, Amir."Dapat kudengar ucapannya yang tertahan disela desahannya.
Saat kaki kirinya aku angkat tinggi, agar tidak terjatuh, dua tangannya merangkulku. Kudatangi selangkangannya, menggesek-gesekkan kontolku dengan kemaluannya dan kembali dia berdesah.
Kubiarkan istri kakak iparku mengambil senjataku, menyorongkannya ke lubang kelamin miliknya sendiri dan sekarang aku yang mengambil alih. Pantatku aku majukan untuk menenggelamkan kontolku di lubang kenikmatan itu.
Matanya terpejam, menikmati serangan rudalku yang keluar masuk dalam lubang kelaminnya. Desahannya memenuhi kamar mandi dan pelukannya makin erat. Tubuh mungil istri kakak iparku beberapa kali hendak terjatuh akibat seranganku dan beberapa kali pula membentur dinding.
Dengan mendadak aku mencabut kontolku dari lubang kemaluannya, membuat istri kakak iparku melenguh panjang.
Kulepaskan tangannya yang memeluk aku. Terengah-engah dia dengan tubuh menempel di dinding. Kuambil tangannya dan kubalikkan tubuh telanjangnya membelakangi aku. Kupaksa di merunduk. Tangannya berpegangan pada wastafel. Segera dua pahanya aku lebarkan. Saat kontolku mendatangi belahan pantat itu, tangan istri kakak iparku menyambut dan mengantarkannya ke lubang kenikmatan miliknya.
Kembali aku memompa lubang kemaluan itu, kembali istri kakak iparku mendesah. Sambil menggerayangi buah dadanya, mengelus punggungnya, menampar pantat yang membulat itu, terus saja kontolku menusuki kemaluannya, bergerak maju mundur.
Tok! Tok! Tok! Pintu kamar mandi diketuk dari luar. Gelagapan istri kakak iparku berdiri, yang menyebabkan kontolku terlepas dari lubang kemaluannya. Dia bergeser mendekati pintu, sembari menutupi tubuh bugilnya dengan kedua tangannya, berusaha bersembunyi.
Kembali pintu diketuk. Setelah merapikan pakaian, kubuka pintu dan menengok keluar. Ternyata ada perawat berdiri di depan pintu kamar mandi. Dia tersenyum. Sambil menahan pintu agar tidak membuka lebar, aku melangkah keluar.
"Ada apa?"tanyaku seraya menutup pintu kamar mandi.
"Cuma ingin memastikan saja, Pak. Tadi, waktu saya masuk, kok, kamar tidak ada orang,"ucapnya,"Saya kira bapak sudah pulang."
Aku hanya tersenyum."Terima kasih atas perhatiannya, Mbak..."
"Saya tinggal lagi, ya, Pak."ucapnya,"Hati-hati dengan infusnya."
"Oh ya, itu celana dalam dan beha punya ibu sudah saya rapikan. Saya simpan di dalam lemari."Ada senyum di wajah manis perawat itu."Sekedar mengingatkan, jam kunjungan sebentar lagi buka."
Aku hanya bisa tersenyum kikuk mendengar ucapannya. Lalu,"Makasih."
Sambil tetap tersenyum, perawat itu keluar kamar dan menutup pintu dari luar.
Aku mengetuk pintu kamar mandi dan,"Sudah aman."
Karena pintu kamar mandi tidak juga membuka, kudorong pintunya dan aku melongok ke dalam. Kulihat istri kakak iparku masih berdiri di belakang pintu sembari menutupi tubuh telanjangnya.
"Keluarlah,"ucapku lagi."Dingin di kamar mandi tu."
"Mana kolornya? Beban ya?"Belum berani juga dia keluar dari kamar mandi.
"Di meja."
"Bawa kemari."
"Ambil sendiri."
"Bawa kemari, Amiiiir,"rajuknya.
Aku berjalan menuju tempat tidur. Kuambil celana dalam beha yang disimpan dalam meja oleh perawat tadi."Ini barangnya. Kemarilah. Cepat. Nanti pengunjung keburu datang."
"Orang sakit tidak boleh banyak gerak, kata perawat tadi,"ujarku lagi.
Karena aku tak kunjung menyerahkan perangkat dalamannya, tak lama kemudian, pintu kamar mandi membuka. Kepala istri kakak iparku menjulur keluar. Memantau keadaan kamar, sepertinya. Setelah merasa aman, dia keluar dari kamar mandi. Sambil menutupi selangkangan dan dua gunungnya dengan kedua tangannya, dia berjalan cepat ke arahku.
Aku yang duduk di tempat tidur hanya diam menonton tubuh telanjang istri kakak iparku. Mengabaikan aku, dengan terburu-buru, dia memasang celana dalam ke selangkangan dan setelah itu mengenakan beha untuk menutupi dua gunung ranumnya.
"Nakal!"ucapnya setelah rapi berpakaian.
Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya.
"Awas, ya."Dia mengambil sisir dari tasnya dan merapikan rambut panjangnya. "Nanti saya balas."
"Aduh! Takut..."Aku memasang wajah ketakutan.
"Pintu rumah nanti saya kunci, biar Amir tidak bisa datang lagi. Baru nyaho."
"Aduh, jangan, dong, Ceu."Aku mengambil tangannya, menciumi jemarinya."Aku minta maaf. Sungguh, minta maaf."
"Tidak mau!"tegasnya, tapi membiarkan tangannya terus ada dalam genggaman aku.
"Bagaimana cara biar Eceu mau memaafkan aku?"Dengan wajah yang kupasang memelas, aku memandang dia.
"Habiskan nasinya. Cepat makan obat."
"Tapi, yang tadi belum selesai, Ceu. Aku belum keluar,"selaku.
"Tidak dengar apa kata perawat? Sebentar lagi jam kunjungan."
"Perawatnya bohong, tuh."
"Sudah. Makan dulu."
"Tapi, disuap, ya?"
"Dasar manja!"Istri kakak iparku menuju meja dan mengambil piring nasi. Setelah memindahkan lauk ke piring nasi, dia kembali ke tempat tidur dimana aku duduk menunggu.
"Sun, Ceu,"pintaku."Baru nanti mau makan."
Mata indah itu mendelik, tapi tetap disodorkan pipinya. Setelah mengecupnya sekilas, kubuka mulut dan dia menyodorkan sendok berisi nasi.
"Eceu makan juga,"ucapku setelah menghabiskan nasi yang ada di dalam mulut. "Eceu kan pasti lapar."