asep_cepot
Guru Semprot
[1]
Baiklah, akan kuceritakan kepadamu tentang seorang perempuan yang kutemui disebuah kedai sederhana.
Perempuan dengan wajah penuh luka cabikan.
Tak ada yang tersisa satu inci pun dari wajahnya, semuanya penuh luka.
Cabikan itu ada yang lewat dari pipi kiri hingga dagu.
Ada yang menggores sebatas kening.
Ada yang melintas melewati hidung.
Ada yang hampir menggaris mata.
Ada yang memanjang dari pelipis kanan sampai pipi.
Wajah perempuan itu teramat berantakan.
Kadang-kadang, dari semua luka yang dimilikinya, ada yang masih mengeluarkan darah.
Pelan, namun pasti...
Mulanya hanya rembes, membuat luka itu seakan-akan bertambah besar. Tapi lama-kelamaan darah menetes juga dari lukanya.
Tak ada seorang pun yang tahu, kenapa wajah perempuan itu penuh luka. Semua orang hanya mampu menebak-nebak cerita. Ada yang mengira, dia terkena kutukan. Ada yang menyangka juga kalau dia adalah korban perkosaan. Ada juga yang menuduh dia mantan seorang preman. Semuanya hanya menduga-duga tanpa pernah berhasil mengetahui apa penyebabnya.
Pernah aku mendengar perempuan itu berbicara sewaktu aku ada dibelakangnya.
Perempuan dengan luka-luka di wajahnya, masih di tempat duduknya yang biasa, di pojok kedai bicara sendirian.
Dia bicara pada malam yang semakin kelam. Dia bicara pada hawa dingin yang semakin menusuk. Dia bicara pada cangkir teh melati di mejanya.
“Bagiku, luka ini tak seberapa. Karena aku yakin. Esok, kelak. Akan ada obat bagi semua luka di wajahku. Tapi luka di dada ini mungkin takkan pernah menemukan obatnya. Meskipun kau datang untuk meminta maaf, dan kembali memujaku”.
Siapa kau yang dimaksudnya?
Aku semakin menajamkan telinga.
Namun tak lagi kudengar kata-kata keluar dari bibirnya yang sebagian rusak karena luka cabikan.
Sepuluh tahun kemudian, tanpa sengaja aku berpapasan di persimpangan dengannya.
Perempuan itu terlihat luar biasa cantik. Tanpa luka. Tanpa darah yang rembes dan menetes. Luka-lukanya kulihat sudah menghilang. Aku sungguh penasaran. Aku ingin bertanya, tapi ragu. Sampai akhirnya kami bertemu di kedai sederhana itu.
"Apa kabar? kau begitu cantik sekarang. Lain dengan 10 tahun yang lalu." sapaku penuh rasa penasaran.
“Kabarku baik-baik saja bang” jawabnya sambil tersenyum.
“Ya Tuhan, senyumnya manis sekali” batinku.
Aku hendak bertanya dan berharap dia mau mengatakan, apa obat yang membuatnya berhasil menghilangkan semua luka di wajahnya.
Belum juga pertanyaan itu terlontar, perempuan itu berkata yang membuatku benar-benar sangat kaget.
"Aku memang berhasil menghilangkan semua luka. Tapi coba abang lihat ini." dia memperlihatkan pipi kanannya yang selama ini tertutup rambut hitam sebahunya.
Aku melihat masih tersisa satu luka di wajahnya. Luka yang memanjang dari pelipis kanan sampai ke pipi. Lukanya malah terlihat sangat, sangat dalam.
"Ini luka dari cinta terdalamku. Sampai sekarang, aku tak pernah bisa menyembuhkannya. Setiap kali kulewati jalan-jalan tempat masa laluku pernah singgah, luka ini akan semakin bertambah parah. Luka ini akan semakin berdarah. Luka pertama, kedua, ketiga, sampai ke seratus bisa aku sembuhkan. Tapi tidak dengan luka terdalamku ini."
Belum hilang kekagetanku, dia berkata lagi
“Maaf bang, aku harus segera pergi” katanya.
Tanpa menghabiskan teh melatinya, dia beranjak, sambil tersenyum pilu dan berlalu
Aku hanya mampu tertegun.
___
[1]
[2]
Baiklah, akan kuceritakan kepadamu tentang seorang perempuan yang kutemui disebuah kedai sederhana.
Perempuan dengan wajah penuh luka cabikan.
Tak ada yang tersisa satu inci pun dari wajahnya, semuanya penuh luka.
Cabikan itu ada yang lewat dari pipi kiri hingga dagu.
Ada yang menggores sebatas kening.
Ada yang melintas melewati hidung.
Ada yang hampir menggaris mata.
Ada yang memanjang dari pelipis kanan sampai pipi.
Wajah perempuan itu teramat berantakan.
Kadang-kadang, dari semua luka yang dimilikinya, ada yang masih mengeluarkan darah.
Pelan, namun pasti...
Mulanya hanya rembes, membuat luka itu seakan-akan bertambah besar. Tapi lama-kelamaan darah menetes juga dari lukanya.
Tak ada seorang pun yang tahu, kenapa wajah perempuan itu penuh luka. Semua orang hanya mampu menebak-nebak cerita. Ada yang mengira, dia terkena kutukan. Ada yang menyangka juga kalau dia adalah korban perkosaan. Ada juga yang menuduh dia mantan seorang preman. Semuanya hanya menduga-duga tanpa pernah berhasil mengetahui apa penyebabnya.
Pernah aku mendengar perempuan itu berbicara sewaktu aku ada dibelakangnya.
Perempuan dengan luka-luka di wajahnya, masih di tempat duduknya yang biasa, di pojok kedai bicara sendirian.
Dia bicara pada malam yang semakin kelam. Dia bicara pada hawa dingin yang semakin menusuk. Dia bicara pada cangkir teh melati di mejanya.
“Bagiku, luka ini tak seberapa. Karena aku yakin. Esok, kelak. Akan ada obat bagi semua luka di wajahku. Tapi luka di dada ini mungkin takkan pernah menemukan obatnya. Meskipun kau datang untuk meminta maaf, dan kembali memujaku”.
Siapa kau yang dimaksudnya?
Aku semakin menajamkan telinga.
Namun tak lagi kudengar kata-kata keluar dari bibirnya yang sebagian rusak karena luka cabikan.
Sepuluh tahun kemudian, tanpa sengaja aku berpapasan di persimpangan dengannya.
Perempuan itu terlihat luar biasa cantik. Tanpa luka. Tanpa darah yang rembes dan menetes. Luka-lukanya kulihat sudah menghilang. Aku sungguh penasaran. Aku ingin bertanya, tapi ragu. Sampai akhirnya kami bertemu di kedai sederhana itu.
"Apa kabar? kau begitu cantik sekarang. Lain dengan 10 tahun yang lalu." sapaku penuh rasa penasaran.
“Kabarku baik-baik saja bang” jawabnya sambil tersenyum.
“Ya Tuhan, senyumnya manis sekali” batinku.
Aku hendak bertanya dan berharap dia mau mengatakan, apa obat yang membuatnya berhasil menghilangkan semua luka di wajahnya.
Belum juga pertanyaan itu terlontar, perempuan itu berkata yang membuatku benar-benar sangat kaget.
"Aku memang berhasil menghilangkan semua luka. Tapi coba abang lihat ini." dia memperlihatkan pipi kanannya yang selama ini tertutup rambut hitam sebahunya.
Aku melihat masih tersisa satu luka di wajahnya. Luka yang memanjang dari pelipis kanan sampai ke pipi. Lukanya malah terlihat sangat, sangat dalam.
"Ini luka dari cinta terdalamku. Sampai sekarang, aku tak pernah bisa menyembuhkannya. Setiap kali kulewati jalan-jalan tempat masa laluku pernah singgah, luka ini akan semakin bertambah parah. Luka ini akan semakin berdarah. Luka pertama, kedua, ketiga, sampai ke seratus bisa aku sembuhkan. Tapi tidak dengan luka terdalamku ini."
Belum hilang kekagetanku, dia berkata lagi
“Maaf bang, aku harus segera pergi” katanya.
Tanpa menghabiskan teh melatinya, dia beranjak, sambil tersenyum pilu dan berlalu
Aku hanya mampu tertegun.
___
[1]
[2]
Terakhir diubah: