“Ahh! Aah!!”
“Oooh! Oooh!”
“Mmmh.. mhh…”
“Oooh! Oooh! Jaay!!!”
“Liz.. ooh… ohhh”
Dua tubuh telanjang bergulat di atas ranjang, saling mencumbu dalam birahi yang purba. Peluh yang membasahi tubuh kami membuatnya berkilat-kilat ditimpa cahaya lampu yang temaram.
Wajah Liz yang cantik tampak merona merah, matanya setengah terpejam, sementara bibirnya yang tipis mendesis menikmati setiap cumbuan yang kuberikan.
Aku melumat bibir tipis itu sembari memompa pinggulku dengan penuh gairah. Penisku menghujam vagina Liz yang sempit –benar benar sempit- membuatku tidak bisa bertahan lebih lama lagi.
“Ummh Liiz.. aku udah mau keluarr..”
“Tahan Jay.. aku juga sudah mau.. Oooh!”
Sesaat kemudian aku merasakan ada sesuatu yang hendak meledak. Seluruh otot tubuhku bergerak di luar kendaliku.
“Oooh!” aku berteriak.
“Aaaaah Jaaay!! Aku keluar!!” Liz berteriak keras, sesaat kemudian tubuhnya bergetar hebat.
“Lizz ughh.. I love you!!
“I Love you, Jaay! Aakh!
“Aaaaah!!”
“Mmmh!!”
“Mmmh!”
Aku melumat bibir Liz sesaat sebelum tubuhku mengejang. Liz memelukku erat-erat, mencakar punggungku. Tubuh kami menggelinjang, bergerak liar dalam ritme yang tak dapat dibayangkan manusia.
“Hah.. h.. h..”
Kemudian, hanya ada keheningan diselingi desah nafas yang tersenggal.
Saat tersadar, aku mendapati tubuh telanjang kami berpelukan.
“H..h… Tadi.. di keluarin di dalem ya…” kata Liz.
“Iya.. h.. h…” Aku melirik vagina Liz, cairan putih meleleh keluar dari dalamnya.
“Iiiiih kamu tu.. kalau aku hamil gimana?
“Aku nikahin kamu..” tukasku
“H..h. ha ha ha terus anak kita mau dikasih makan apa? Kamu kan kere?”
“Makan nasi-lah! Masa makan beling? Emang anak kita kuda lumping?”
“Hahaha kamu adaaaa ajaaaa jawabannya!” Liz histeris, dan meremas-remas pipiku gemas.
“Hehe.. Liz, kamu mau anak apa?”
“Anak orang lah, masa anak kucing!” jawab Liz.
“Hahaha.. kamu tuuu” giliran aku yang meremas pipinya. Sebagai pasangan, selera humor kami benar-benar cocok.
“Liz, kamu mau anak cewek atau cowok?”
“Kamu?”
“Cowok-“
“-cewek”
Ujar kami hampir berbarengan, flip-flop. Kami berpandangan, sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak.
Long weekend hampir selesai, aku dan Liz menghabiskan malam itu untuk bercinta semalaman. Marathon, kata orang jaman dulu. Sampai-sampai untuk ronde terakhir kami kehabisan stok kondom.
“Jay.. aku gak bisa bobok nie..”
“Aku juga..”
“Nyanyiin lagu dong, suaramu kan bagus..”
Aku berpikir keras, membuka-buka Playlist dari dalam kepalaku. Sesaat kemudian aku mulai bersenandung.
“Lagunya Trees and The Wild ya?” kata Liz pelan.
“Ho-oh”
“Selera lagu kita sama ya..”
Aku membelai rambut Liz sambil meninabobokannya.
So much to say, but I wont make it quick
I lose my mind each time I look up your eyes
So why wont you close them?
Mata Liz sudah terpejam, dadanya naik turun seiring nafasnya yang tenang. Aku mengecup kening Liz, wajahnya tampak damai sekali.
Aku menyelimuti tubuh telanjang kami, dan berbaring disampingnya. Aku menghirup nafas dalam-dalam, aroma parfum Liz membiusku.
Tanpa sadar aku sudah terlelap dan bermimpi.
Manusia memiliki mimpi yang setinggi langit, kawan. Alexander bermimpi menguasai dunia, Icarus bermimpi terbang ke angkasa, Nemo bermimpi menyelam 20,000 kaki sampai dasar samudra, sementara mimpiku jauh lebih sederhana. Aku bermimpi mencintai Liz, hidup bersama dengannya, dikelilingi anak-anak kami yang lucu. Aku bermimpi terbangun di pagi hari dengan bidadari yang terlelap di sampingku. Aku bermimpi menghabiskan ribuan malam dalam sisa hidupku dengan Liz.
Namun.
Mimpi itu sementara, kawan. Suatu pagi kau akan mendapati dirimu terbangun, dan mimpi tertinggal dalam ingatan yang tiada.
********************
Waktu tersadar aku mendapati diriku tertegun, tanganku penuh dengan 12 bendel skripsi yang sudah dijilid hard cover. Di sekelilingku hanya ada wajah-wajah yang tak kukenal.
Di luar hujan turun. Deras, sangat deras.
Barusan aku bertemu dengan Liz setelah tidak bertemu dengannya sekian lama. Yah, aku tahu semuanya tidak akan bisa kembali seperti dulu lagi.
Aku menghela nafas panjang. Tanpa kusadari, pertemuan singkatku dengan Liz barusan membuatku terhanyut dalam nostalgia. Tiba-tiba segala kenangan yang kualami bersama Liz terputar kembali bagaikan potongan gambar dalam film 8mm. Ah, dadaku terasa sesak. Sepertinya kali ini ia akan pergi jauh sekali.
Sementara di luar hujan tetap turun. Deras, sangat deras.
Aku memejamkan mata, ada baiknya aku bermimpi, sekali lagi. Aku mengambil tumpukan rol film 8 mm dari rak di otakku, dan memasangnya dalam proyektor imajiner. Sesaat kemudian, ingatanku bersama Liz kembali terputar bagai sebuah film.
Nostalgia #4
MIMPI-MIMPI
Samar-samar terlihat gambaran aku dan Liz yang sedang berbaring sambil berpelukan. Kami kelelahan, karena bercinta semalaman. Pelan-pelan sinar matahari menelusup dari balik korden kumal kamar kost-ku. Aku menggeliat malas saat seberkas sinar jatuh di wajahku.
Saat itu hari sudah terang, Aku mengecup kening Liz. Ia terbangun, mengerjapkan matanya yang sayu.
“Met pagi suamiku sayang” kata Liz.
“Met pagi istriku…”
Aku membelai wajah Liz. Ia tersenyum, tetap menawan meskipun baru bangun tidur. Aku mengecup bibir Liz.
“Hihihi..” Liz tertawa sambil mendorong wajahku.
“Kenapa?” aku bingung.
“Bau nagaaa! hehe..”
“Hehe.. mandi bareng yuk”
Pagi itu, masih dalam rangkaian long weekend. Kost-kostan G-30 S ini sepi, karena para penghuninya kebanyakan pulang kampung.
Kami celingak-celinguk di depan kamar. All clear, kami segera berlari ke kamar mandi.
“Brrr..” dingin sekali saat Liz menyiramkan air ke tubuhku. Kota ini, Yogyakarta terletak di kaki Gunung Merapi, udaranya sangat dingin di pagi hari.
Kamar mandi itu berukuran sedang 3x4 meter. Di ujungnya terdapat bak mandi dan kloset jongkok. Aku menyalakan keran, agar suara kami tidak terdengar dari luar. Suara air bergema memenuhi dinding kamar mandi yang berlumut.
Liz mengabil air dengan gayung dan mengguyurkan air ke tubuhnya. Liz melompat lompat kedinginan. Payudaranya yang bulat berguncang-guncang. “Dingiiiiin” kata Liz sambil meraupkan air ke wajahnya. Liz tersenyum, tubuhnya mengkilat dibasahi air yang dingin. Aku menelan ludah melihat tubuh Liz yang mulus dipenuhi titik-titik air. Ah, Liz benar-benar seksi
“Hihi udah berdiri aja” kata Liz melihat penisku yang setengah tegang
“Liat bidadari mandi sih.. mana selendangnya yah? ambil ah.”
“Adaa aja..” Liz menyiramkan Air ke tubuhku. Dingin.
Aku membalasnya, kami bercanda sambil saling menyiram air. Ah, asyik sekali.
“Sabunin dong-“
“-sabunin dong”
Ujar kami hampir berbarengan, flip-flop. Kami tertawa terbahak-bahak.
Liz mengambil sabun batangan milik Slamet. “Eh, jangan yang itu, banyak kumannya.” kataku, sambil mengambil sabun cair milik KW. Gak modal banget yah?
Liz menuang sabun itu ke tangannya sebelum mengusap dadaku. Kemudian kami saling menyabuni tubuh sambil berhadapan. Liz tertawa-tawa kecil saat aku menyabuni payudaranya. “Hihi, Jay nakan ah..” Tanganku bergerak menyusuri lekuk tubuh Liz sampai pinggulnya.
“Hihihi” Liz mendongak dan tersenyum, manis sekali. Aku mengecup kening Liz, ia tersenyum dan melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku meraih dagu Liz, dan mengecup bibirnya. Lembut sangat lembut. Liz memejamkan matanya, menikmati ciuman yang kuberikan. Perlahan-lahan Liz mulai membalas ciumanku, mengulum bibirku pelan.
“Mmmh”
“Mmmmh..”
“Mmmm.. “
Suara lengguhan kami bergema di kamar mandi, bercampur dengan suara air keran yang mengalir deras.
Aku dan Liz saling melumat bibir dengan buas. Aku menghimpit tubuh Liz ke pintu, hingga menimbulkan suara berdebam. Liz tak mau kalah, didorongnya tubuhku ke arah bak mandi. Saking semangatnya bercumbu, tanganku menyenggol tempat sikat gigi hingga jatuh berhamburan. Sikat gigi Slamet masuk ke lubang kakus, tapi biarlah.
Liz melepas ciumannya, dan melingkarkan lengannya di leherku. Liz tersenyum nakal sebelum menggelendot, ngesot menyusuri tubuhku yang licin.
“Uhh..” Aku memejamkan mata, saaat payudara Liz yang kenyal membelai sekujur tubuhku.
“Enak?”
Aku mengangguk, sambil bertumpu pada bak mandi.
“Jay, kamu tahu Soapland?”
“Hah?”
“Sekarang kamu tiduran, dong.”
Aku menurut saja, tiduran di lantai kamar mandi yang basah dan dingin.
Liz menuangkan sabun cair ke atas dadanya sambil tersenyum binal. Aku menelan ludah melihat adegan yang biasanya kusaksikan dalam bokep itu ada di depanku.
Liz merangkak di atas tubuhku bagaikan seorang bintang JAV. Payudara Liz yang bulat berkilat-kilat terkena sabun. Aku menahan nafas saat Liz menempelkan dadanya di atas dadaku, kenyal. Pelan-pelan tubuh Liz bergerak turun, menyabuni tubuhku dengan menggunakan tubuhnya.
“Set dah, belajar dari mana?”
“Dari bokep Grace.”
“Huu.. teori doang, nanti jadinya kaya kemaren lagi.” aku teringat permainan BDSM amatiran yang gagal
tempo hari.
“Enggak, dong.. kali ini aku udah praktek.”
“Hah? Sama siapa?”
“Sama Grace.. Hehe”
Glek, aku tidak bisa membayangkannya.
“Liz…”
“Apa?”
“Kapan-kapan aku diajak ya..”
“Huu, maunya..”
Tubuh Liz meluncur menuruni tubuhku yang licin. Aku memejamkan mata, menahan geli saat payudara Liz yang kenyal ngesot menuruni dada dan perutku.
“Ummh…” Liz melengguh pelan ketika ia mengesekan selangkangannya di pahaku. Aku merasakan kemaluan Liz yang tanpa bulu, bergerinjal di atas lututku. Aku melirik Liz, wajahnya sudah memerah.
Kali ini Liz meluncurkan tubuhnya ke atas, memanjat menyusuri sisi tubuhku. Payudara Liz, kemaluannya yang polos, ugh.. aku bisa merasakan semuanya itu di atas kulitku.
“Ugh,,”
“Mmmhh”
Kami mendesah ketika kemaluan kami bergesekan, nikmat sekali. Kadang-kadang penisku tersangkut di selangkangannya, namun tidak sampai masuk. “Mmmh…” sepertinya Liz sengaja memperlama gerakan di bagian itu.
Tubuh Liz bergerak lincah di atas dada dan perutku yang licin. Terkadang Liz meluncur ke atas, sehingga kemaluannya yang polos sampai di wajahku. Sesaat kemudian tubuh Liz kembali meluncur turun. Payudaranya yang bulat, seperti balon yang diluncurkan turun dari dada sampai perutku.
“Umh.. yah.. di situ…” kataku lemah.
“Di sini?” Liz tersenyum sambil menjepit penisku yang tegang dengan payudaranya.
Aku mengangguk lemah.
“Mmmmh.. Lizz.. di sana” Payudara Liz yang bulat dan kenyal menggesek penisku yang menegang.
Liz menggenggam payudaranya yang bulat dan kenyal, memijat penisku yang terjebak di antaranya.
“Mmmh… ohh..”
Penisku terjebak di antara dua bongkahan kenyal yang licin itu. Liz menggerakkan tubuhnya naik turun, membuat buih sabun meleleh dari sela-sela dadanya.
“Oooh!.. Oooh!” aku berteriak sambil memejamkan mataku. Sekilas aku masih sempat melihat Liz yang tersenyum kepadaku, nakal sekali- sesaat sebelum Liz mulai menjilati kepala penisku
“Liz.. ohh” ooh!”
Mendengar eranganku, Liz menjadi semakin bersemangat.
“Ooooh!” aku berteriak keras saat jari Liz yang licin memijat selangkanganku, dan pelan-pelan memasuki anusku.
“Liiz! Jangan.. aaah!” mataku terpejam, saat Liz mulai memijat di dalam.
“Aaaah! Aaah!” aku benar-benar kelojotan dibuatnya.
Aku menghadapi rangsangan dari dua sisi. Wajar saja bila neuron-neuronku mengalami over stimulasi.
“Liiz!! Lizz Ahh!!” tubuhku melengkung ke atas, sesaat kemudian cairan putih kental menyembur dari ujung penisku, membasahi wajah dan Payudara Liz.
Cairan itu memercik di wajah Liz yang cantik. Liz menjulurkan lidahnya, menjilat sperma yang meleleh di sudut bibirnya. Seksi sekali.
“Hihi..” Liz nyengir sebelum membasuh wajahnya dengan air dari bak yang sudah mulai penuh. Kemudian Liz merangkak di atas tubuhku, merebahkan tubuhnya di atas tubuhku yang tergeletak terengah-engah di lantai kamar mandi.
Aku merasakan lantai kamar mandi yang dingin di bawahku, dan tubuh Liz yang hangat di atasku. Sementara suara air keran mengalir, bergema di dinding kamar mandi.
Liz merebahkan kepalanya di dadaku, membelai rambutku.
“Jay..” kata Liz.
“Ya?”
“Enak?”
“Banget”
“Eh, tapi ini namanya kumpul kebo tahu..”
“Iya nih.. hehe”
“Hehe”
“Eh, Liz.”
“Apa?”
“Aku ingin menjadi yang halal untukmu.”
“Huu.. beresin dulu kuliah tuh!”
“Hehe, bulan depan kan dah masuk Skripsi, paling bentar lagi aja wisuda, habis itu…”
“Berhayalnya jangan ketingiaaan! Nanti jatuhnya sakit!”
“Hehe, kan nanti ada kamu yang nangkap aku.”
Liz cuma tersenyum. Waktu itu aku belum paham maksud senyumnya.
Aku membelai rambut pendeknya yang basah, Liz tersenyum.
Aku membelai punggungnya, menyusuri lekuk pinggulnya, merasakan pantat liz yang padat di kedua telapak tanganku.
Liz memelukku ketika aku mulai meremas bongkahan pantat Liz, tanganku bergerak ke bagian depan tubuhnya, membelai selangkangannya. Aku melirik wajah Liz yang bersemu. Nafasnya tampak semakin memburu.
“Jay..”
“Yaah?”
“I love you..”
“I love, y.. mmh.”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, karena Liz keburu melumat bibirku.
“Mmmmh..”
“Mmmmh..”
Aku mengesekkan tubuhku, memutari tubuh Liz, sampai aku ada dalam posisi memeluknya dari belakang. Kami bercumbu di lantai kamar mandi yang dingin. Bak mandi sudah penuh, suara airnya yang tumpah bercampur dengan erangan Liz saat aku memainkan vaginanya.
“Jay.. ummh....” kata Liz ketika aku menciumi tengkuk dan lehernya. Pinggul Liz bergerak pelan, menikmati setiap cumbuan yang kuberikan. Sementara jariku bergerak lincah memijat vagina Liz, meremas dan memilin puting Liz yang sudah menegang.
“Jay aaah..” Liz menoleh ke arahku. Wajahnya tampak sayu, dan merona merah. Bibirnya yang mungil mendesis, membuatku segera melumatnya.
“Mmmh..”
“Mmmh..”
“Mhhmmh..”
Dinginnya lantai kamar mandi seolah kalah oleh gairah kami. Aku mencumbu liz tanpa ampun dari belakang. Tubuh kami bergesekan, saling remas dengan ganas. Suara keran yang masih saja menderu, bersahut-sahutan dengan teriakan kami.
Tubuh Liz menegang, ia mendekap lenganku erat-erat.
“Jaay.. jaa.. aaa.. aaaaah!” Liz berteriak
Aku mendekapnya erat-erat, menahan tubuhnya yang kejang-kejang. Sesaat kemudian aku bisa merasakan sesuatu mengalir dari dalam vagina Liz.
Kami tergolek lemah di lantai kamar mandi. Bak mandi sudah penuh, airnya tumpah ke lantai menyiprati tubuh telanjang kami yang saling berpelukan, mengatur nafas yang tersenggal.
Kami kembali ke kamar. Aku mengeringkan tubuh dan rambut Liz yang basah, sementara Liz senyum-senyum seperti anak kecil. Aku memakaikan kaus putih Metalica-ku yang tampak kedodoran di tubuh Liz.
Setelah mandi, Liz memasakkanku semangkuk mie rebus –agak sedikit kebanyakan air-
“Mantap, ini baru istri idaman..” kataku
“Huu.. bohong.. kebanyakan air tahu!”
“Enggak kok! Ga kebanyakan air.. cuma ‘air’-nya perlu agak dikurangi dikit hehe”
“Iiiih..” Liz memukul-mukul pundakku.
Kami duduk di ruang tengah. Menonton acara musik pagi. Itu lho yang artis dan penontonnya joget-joget dalam pangung yang sama. Yang gerakannya cuma cuci-kucek-jemur. Benar-beanr alay.
Liz bersandar di bahuku. Aku membelai rambutnya yang pendek. Tubuhnya yang baru mandi wangi sekali.
“Liz, kamu jadi istriku aja..” kataku polos.
“Gak mau ah, kamu kan kere..”
“Sekarang masih kere, lihat aja kalau novelku best seller”
“Kamu nulis novel ya? Emang apa judulnya?”
“Beranak di Dalam WC, Kondom di Atas Bantal..”
“Huuu, baru terbit dah dibakar FPI novelmu!”
“Beneran, aku serius nie..”
Liz menghela nafas “Jangan terlalu yakin, Jay. Kamu gak tahu aku yang sebenarnya..”
“Apa? Jadi kamu beneran dulunya cowok? Gak papa Liz, aku menerima kamu apa adanya kok”
“Jay jahaaaat” Liz memukul-mukul lenganku
“Ahahaha..”
Tubuh Liz masih basah sehabis mandi membuat lekuk tubuhnya tercetak jelas dibaliknya. Aku menelan ludah melihat sepasang tonjolan misterius mencuat di balik dadanya - Liz tidak mengenakan apa-apa lagi dibaliknya.
“Iiih.. cepet banget bangunnya!” kata Liz menyaksikan penisku berdiri dibalik celana batik yang kukenakan.
“Minta ronde dua nih, kayaknya…”
“Hehe yuk” Liz tersenyum.
Liz hendak menarikku ke kamar, ketika aku menahannya.
“Neng, di sini aje neng..”
“Ogah ah di sana aje..”
“Neng, di sini aje neng..”
“Ogah ah, di kamar aje..”
“Udah ah, di sini aja yuk..” aku mengajak Liz ML di ruang tamu itu.
“Iiih, kamu itu ya.. nanti kan gak enak sama yang lain.”
“Halah, yang lain pada pulang kampung. Slamet juga lagi keluar cari makan”
Aku tidak bohong, saat long weekend itu hanya ada aku dan Slamet di kos-kosan itu, yang lain pada pulang kampung. Kalau tidak ada Liz, pasti aku menghabiskan malam berdua saja dengan Slamet, nonton bokep bareng, coli bareng.
“Hehe..” Liz nyengir. Sesaat kemudian ia memelorotkan celanaku. Penisku yang tegang mengacung tanpa gentar.
“Yakin?”
“Iya.. iya.. hehe buruan, sebelum Slamet datang.” Liz cengar-cengir tidak jelas. Sepertinya ia tipe orang yang menyukai variasi yang aneh-aneh.
Aku duduk di sofa ruang tamu itu. Liz mengambil posisi berjongkok di atas perutku, namun kali ini ia membelakangiku. Sekedar mengingatkan, di balik kaus itu Liz tidak mengenakan apa-apa lagi.
Aku mengarahkan penisku ke selangkangan Liz dari belakang. Aku menggesekkannya pelan ke bibir vagina Liz.
“Ayo Jay..” Liz menggenggam penisku, membimbingnya masuk ke vaginanya.
“Ooooh..” Liz mengerang pelan saat penisku memasuki vaginanya.
Penisku habis terbenam dalam lubang itu. Liz mendiamkannya sesaat, membiarkan dinding vaginanya memijat penisku.
“Liz,.. siap ya..”
“Iya..” Liz menoleh sambil tersenyum.
Aku mengecup pipinya yang chubby sebelum Liz mulai memompa pinggulnya. Penisku menghujam vagina liz dalam-dalam.
“Ahhh! Aaah! Liz berteriak saat ujung penisku mentok sampai rahimnya.
“Umh.. umh..” Aku melenguh pelan, vagina Liz masih saja terasa rapat bagiku.
“Sayuuur… sayur… Gurameh…” dagang sayur lewat di depan kost. Aku bisa melihatnya melintas dari balik pagar. Ah, situasi ini menimbulkan sensasi berdebar yang sulit dijelaskan.
“Oooh! Oooh!” Liz malah tambah bersemangat memompa pinggulnya.
“Liz.. agh..”
“Jay… umh..” Mata Liz memejam keenakan
“Oooh..”
“Akh..”
“Mijon.. mijon.. tarahu.. tarahu…” Seorang pedagang melintas lagi, membuat Liz seperti kesetanan. Ia memutar-mutar pinggulnya, sesekali ia menjepit penisku dengan otot-otot vaginanya.
“Eh..? eh? Oooh!” aku sontak berteriak.
“Hehe.. h… h..” Liz nyengir melihatku yang kelojotan.
“J-jangan Liz, aku jebol nanti”
“Hehe..”
Liz merebahkan punggungnya ke arahku. Aku memeluknya, dan meremas kedua payudaranya dari luar.
“Ooooh.. Jay nakal..” Kepala Liz mengadah, aku segera melumat lehernya yang putih.
“Mmmh.. mhh.”
“Jay.. jay.. oh!”
Liz tiba-tiba mengubah posisi menjadi berbalik menghadapku. Kemudian kembali memompa pinggulnya. Aku bisa dengan jelas melihat wajah Liz yang sayu dan memerah. Liz menunduk dan tersenyum. Senyum di atas wajah yang terangsang itu sangat sensual, kawan.
Bibir Liz segera tenggelam dalam lumatanku.
“Mmmh..”
“Mmmh”
“Mmmh”
Kemudian hanya terdengar suara lenguhan ditengah suara paha yang beradu.
Liz menaikkan kausnya sampai di atas dada. Sehingga, pantat-pinggul-sampai payudaranya terekspos dengan jelas. Aku paham maksudnya, aku segera melumat puting susu Liz.
“Susu murni nasional…” entah kenapa hari ini banyak sekali pedagang lewat di depan kosku.
“Humph hahaha”
“Ah! Ah! H.. h.. hahaha”
Kami tertawa terbahak-bahak. berhenti sejenak.
“Lanjut?”
“Ho-oh”
“Ganti posisi yuk”
Liz mengangguk.
Liz mengambil posisi menungging, perutnya bertumpu pada sofa. Aku berlutut di belakangnya, mengarahkan ujung penisku, pada vagina Liz yang menyembul.
“Awas salah lubang!” kata Liz.
“Halah, kayak dulu ga pernah anal aja, pas masih jadi cowok” kataku.
“Huu! Ngaca dulu!” Liz cemberut.
“hehehe iya.. iya.. tenang aja..”
“Aw!” jerit Liz ketika aku mulai mendorong.
“Hah? Kenapa? Salah?”
“Enggak.. uh.. ssh.. enak.. banget… hehe”
“Sip..”
Aku kembali memompa. Kali ini lebih beringas dari sebelumnya
“Liz.. akh!
“Jaay.. aaah.. aah..”
“Ooooh! Oooh!
“Aaaa..”
Wajah Liz sudah memerah, jelas sekali ia sudah hampir sampai di puncak.
Tiba-tiba terdengar suara motor, dan bunyi pintu gerbang dibuka.
“Liz, Slamet tuh.. uh.. uh..
“I.. iya.. a.. a..”
“Pindah? Ah.. ah..”
“N.. Nanggung..”
Aku tambah bernafsu memompa tubuh Liz, sementara suara motor terdengar diparkir di garasi samping. Situasi ini memicu sekresi adrenalin di dalam aliran darah kami.
“Oooh… mmph…” aku segera melumat bibir Liz agar suaranya tidak terdengar Slamet.
“Mmmh!”
“Mmmh! Mmh! Mmh!”
“Mhhp!!”
Liz bergerak seperti orang kesetanan. Di belakang, terdengar suara pintu dibuka, dan suara langkah mendekat.
“Jay! mmh! Mmh! Mmh!” Punggung Liz melengkung, sesaat sebelum tubuhnya bergerak liar.
“Liz! mmhmmh” aku merasakan kemaluanku juga berkedut-kedut, kemudian pinggulku seperti bergerak di luar kendaliku. Aku memeluk liz erat, melumat bibirnya.
“Mmmmh!!!!” kemudian ada sesuatu yang meledak.
Suara langkah semakin mendekat. Aku dan Liz segera mengambil posisi, pura-pura menonton TV.
Slamet datang sambil membawa satu kresek nasi bungkus. Slamet berjalan tergesa menuju dapur, mungkin tak ingin membagi nasinya pada kami.
“Ck.. ck.. ck.. dasar anak muda jaman sekarang.” Slamet mengomentari kami yang terengah-engah dan berkeringat.
“Hehe..” Liz cuma nyengir.
“Dasar tidak punya toleransi dalam berasmara..” omel Slamet.
“Kenape met? Kontol ane memang punya Liz, tapi pantat ane Special buat ente!!” Slamet ini homophobia, aku tahu kelemahannya.
“Najis!” Slamet segera berlalu. Nsmun sekilas aku melihat Slamet memperhatikan tubuh Liz yang tercetak jelas di balik kausnya.
Sesaat kemudian terdengar suara teriakan Slamet dari belakang, “Asu! Jancuk! Sikat gigiku jatuh nang WC! cuk!” berbagai kata umpatan keluar dari mulut Slamet. Gak pakai lama, aku dan Liz langsung pergi dari tempat itu.
************
Slamet sepertinya benar-benar marah pada kami, karena setelah itu seharian aku tidak melihatnya di kost. Aku dan Liz memanfaatkan hal itu untuk berkeliaran di dalam kost-kostan sambil telanjang. Liz berputar-putar dengan riang di dapur dan di ruang tamu.
“Set dah, seneng amat?”
“Iyaa… dari dulu aku pengin banget tahuu, merasakan hidup nudis.”
“Oh, tahu gitu...” sepertinya Liz punya hobby yang sama denganku.
“Kenapa?
“Nanti kuajak ke Nudist Resort di Bali deh..” kataku.
“Hah? Emang ada?
“Ada dong, nanti deh kalau kita bulan madu ya..”
“Halaah, gak usah nunggu bulan madu, liburan semester ini aja!”
“Buru-buru banget..” aku bingung.
“Gak usah nunggu bulan madu, siapa tahu aku nikahnya bukan sama kamu hehe”
Hehe. Tapi perih juga mendengar kata-kata Liz barusan.
“Hehe.. Iya.. iya.. liburan semester kita ke sana ya..”
“Asyiiik..”
“Tapi aku pinjam uangmu hehe.”
“Huuu.. dasar cowo K-E-R-E…” kata Liz sambil berlari menaiki tangga. Payudaranya yang bulat berguncang.
Aku menyusulnya ke atas. Ternyata Liz naik sampai lantai 3 –rooftop-. Liz membentangkan tangannya lebar-lebar, menghirup udara sore yang segar. Di latar belakangnya terlihat langit Jogja yang berwarna jingga. Liz tersenyum kepadaku, di belakang Liz terlihat matahari yang sudah hampir terbenam. Indah sekali.
“Awas jangan terlalu ke pinggir, nanti di lihat tukang sayur.” kataku.
“Gak papa kalau cuma tukang sayur.” katanya.
Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Liz meletakkan tangannya di dadaku. Aku menundukkan kepalaku, sehingga keningku dan Liz beradu.
“You came a long.. just like a song…” aku menyanyikan lagu buat Liz.
Liz menoleh ke arahku dan tersenyum, kemudian ia menyandarkan kepalanya di dadaku, memelukku erat.
“You brighten my day…”
“You know I can’t smile without you… I can’t lough.. I can’t sing.. I find it hard to do anything..” Kami bernyanyi sambil berdansa pelan. Berputar-putar di antara angin sore yang sejuk.
Liz menoleh ke arahku, cahaya senja yang jingga terpulas di wajahnya. Cantik sekali. Aku mengecup kening Liz, ia tertawa kecil dan mempererat pelukannya. Aku membelai pipi Liz, meraih dagunya. Liz kembali tersenyum, sebelum aku mengecup bibirnya yang lembut. Pelan, menghayati setiap nafas yang berhembus di wajah kami.
Aku menggigit bibir bawah Liz lembut, yang dibalas dengan sapuan lembut lidahnya di bibirku. Aku membuka mulut, menyapa lidah Liz dengan ujung lidahku.
“Mmmh..”
“Mmm..”
“Ummh.. h.. h..”
Kami saling menghisap, membiarkan angin sore yang sejuk membelai tubuh kami.
Sore itu kami berciuman di bawah langit senja yang indah. Lama-lama, aku bisa merasakan nafas Liz yang semakin memburu. “Mmmh.. jaay… ooooh….” Tanpa sadar Liz menggesekkan selangkangannya di pahaku. Ia sudah basah.
Liz menoleh ke arahku, wajahnya tampak sayu dan merona merah.
“Di sini?” tanyaku.
Liz mengangguk malu-malu.
“Yakin?
“Kapan lagi kita bisa ML di bawah langit kaya gini.”
“Iya sih..”
“Siapa tahu besok kita udah gak sama-sama lagi..”
Aku terdiam, kemudian menghela nafas “Besok kita pasti sama-sama kok.. besoknya lagi.. besoknya juga.. pasti.” kataku.
Liz tersenyum mendengarnya.
Aku mengambil handuk Slamet yang dijemur. Menjadikan alas agar badan Liz yang mulus tidak kotor. Aku membaringkan Liz di atasnya. Aku mengecup kening Liz sebelum mulai mencumbunya.
“Umh..ooh.. ohh ” Liz mendesah menikmati setiap cumbuan yang kuberikan. Wajahnya yang sangat terangsang, tampak semakin menggairahkan ditimpa cahaya senja yang kekuningan.
“Jay.. masuki.. h.. h..”
“Iya..h..h..”
Aku mengarahkan penisku ke bibir vaginanya, tampak sudah sangat becek dan basah. Aku mendorong pinggulku.
“Oooh!” Liz memelukku, dan melingkarkan pahanya di pinggulku
“Ugh.. ummh” aku mulai memompa.
“Oh! Oh! Oh! Oh!” Liz berteriak setiap kali penisku menghujam, mentok sampai dalam.
“Ooooh… Liz..” aku tetap berusaha berkonsentrasi agar tidak keluar duluan.
Aku mempercepat gerakanku.
“Ooooh! Oooh.. ssshh.. iih! iih! iih! iih!” teriakan Liz melengking, lama-lama suaranya seperti para
bintang JAV itu.
“Ooooh.. ooh..”
“Ih! Ih! Ih! Ih!
“Ooooh!”
Aku merasa sudah akan keluar, aku memperlambat gerakanku. Aku mengecup bibir Liz sambil memompa perlahan. Tubuh kami bergesekan pelan, nikmat sekali.
“Gak papa sayang..” Liz tersenyum.
“Hehe..” Aku mengecup bibirnya lembut.
Sore itu kami bercinta di bawah langit senja yang indah. Tubuh telanjang kami bergumul di dengan penuh gairah. Berhimpitan dan bergesekan dengan buas. Keringat membasahi tubuh kami, membuatnya berkilat terkena pantulan sinar yang berwarna jingga.
Aku terus memompa tubuh Liz, membuatnya berteriak sejadi-jadinya
“Shh.. oh! oh! Oh!”
“ugh.. ugh..
“Oooh..”
Teriakan kami tenggelam dalam deru angin sore yang membelai tubuh kami. Bercinta di alam terbuka? Semuanya serba absurd, seperti mimpi saja.
Aku menatap Liz yang mengerang di bawahku. Wajahnya merona merah, seperti orang kesakitan. Aku mengecup keningnya, sambil terus memompa.
“Jaay! Jaay! Aaaah!”
“Yah? Ah.. h.. h..”
“Aku.. mau.. keluaar!!”
“Gak.. papa.. h..”
“Jaaay!!! Aaaah!!”
Liz menoleh, aku segera melumat bibirnya. Sesaat kemudian badan liz mengejang, dan aku merasakan vagina berkedut-kedut, memijat penisku.
“Lizz! aku juga mau.. aaah!” sedotan vagina Liz membuatku tidak bisa bertahan lebih lama lagi.
“Keluarin di luar Jay!”
“Iya.. aah..” aku segera menarik penisku keluar.
“Oh..”
“Aaaah..” aku menjerit panjang, sebelum cairan putih kental muncrat dan membasahi perut dan dada
Liz.
“Hah.. ha.. h..”
“Hehe.. asyik kan..”
“H, h,, hehe.. iya.. h.. h..”
Aku membersihkan badan Liz yang belepotan, dengan menggunakan handuk Slamet. Kemudian aku duduk di rooftop itu, memandangi matahari yang terbenam. Liz menyenderkan kepalanya di bahuku, aku memeluknya erat.
“Indah ya?” kataku.
“Iya..”
“Padahal bulan lalu kita masih temenan..”
“Iya hihi.. gak nyangka ya.. aku sama kamu…”
“Iya, kaya mimpi aja..”
“Mimpi.. ya..”
“Kalau ini mimpi, aku ga pengin bangun Liz”
“Kalau kamu bangun gimana?”
Aku terdiam “Aku akan sampai di kenyataan.”
Liz tersenyum getir, “Kalau kenyataan itu pahit?”
Aku menghela nafas “Aku akan bermimpi, sekali lagi..”
“Kita gak bisa terus-terusan hidup dalam mimpi, Jay..” Liz merapatkan wajahnya di lenganku.
“Kalau gitu, aku akan buat mimpiku jadi kenyataan” kataku mantap.
Liz tersenyum mendengarnya.
“Liz, will you marry me?”
Liz tidak menjawab. Ia menangis sesengukan.
*****************
Malamnya, KW, bang Boy dan anak-anak kost yang lain satu persatu mulai datang. KW membawakanku oleh-oleh jenang khas kampungnya.
“Slamet mana?” tanya KW.
“Ngambek, ga dapet jatah.”
“Haha”
“Cie, yang habis bulan madu.. nih abang bawain oleh-oleh” Bang Boy melemparkan sekotak kondom rasa durian.
“Ya elah, tega ente bang… masa ukurannya XS! menghina ente bang!”
“Haha”
Malam itu Liz masih menginap di kamarku. Aku dan Liz berbaring berhadapan. Aku membelai rambut Liz yang pendek. Liz tersenyum, pipinya tampak semakin menggemaskan.
“I love you Liz..”
“I love you too..”
Aku mengecup bibirnya sesaat, lembut. Belum pernah aku merasa sebahagia ini.
“Liz, yang tadi belum dijawab..”
Liz terdiam seperti berpikir, lalu tersenyum. Kali ini senyumnya getir, waktu itu aku belum tahu maksud senyumnya.
“Iya, tahu dah aku kere..” aku merajuk.
“Bukan itu..”
“Terus?”
“Baru kali ini aku ketemu orang yang selalu hidup dalam mimpi kaya kamu..”
“Memang kenapa?”
“Jangan kaya aku Jay, dulu aku juga terlalu banyak bermimpi..”
Aku terdiam.
“Kenyataan itu pahit, Jay..”
Liz menutup mulutnya, sebelum terisak.
“Huk.. huk.. terbangun dari mimpi itu perih,. Jay.. kenyataan itu menyakitkan huk huk…” Liz kembali sesengukan.
Aku memeluk Liz erat-erat. Aku tahu ini tentang apa. Sepertinya Liz masih belum mampu melupakannya.
Mungkin aku belum bisa menjadi hari yang baru, aku belum bisa menjadi langit yang baru bagi Liz. Belum, mungkin nanti.
Aku mengecup kening Liz sebelum ia tertidur.
Malam itu, aku masih bisa memimpikan tentang rumah mungil. Aku sedang membaca koran, Liz sedang memasak. Di halaman, anak-anak kami berlarian, bermain kejar-kejaran. Pada Frame berikutnya ada gambaran Liz yang sudah keriput mengeroki punggungku yang masuk angin. Wajahnya tetap saja cantik meski sudah dimakan usia.
Tiap malam, aku melompat-lompat dari satu mimpi ke mimpi yang lain. Dari satu ekspektasi ke ekspektasi yang lain. Namun kenyataannya Liz seperti menghindar. Sepertinya ada tembok besar di hatinya yang menghalangiku untuk melangkah lebih jauh. Seperti ada sesuatu dari masa lalu yang menghalangi Liz melangkah.
Setiap aku menggali lebih jauh, pasti berakhir dengan pertengkaran, begitu berulang-ulang, sehingga hubunganku dan Liz menurun drastis. Aku bingung, Ada yang salah dengan ini. Otakku dipenuhi dengan ribuan pertanyaan.
Sampai akhirnya kami terduduk di teras kostku, tempat di mana aku pertama kali menyatakan cintaku padanya.
“Maaf ya Jay, kayaknya kita gak bisa sama-sama lagi”
“kenapa? Apa ada yang lain?”
“Engak, Jay..”
“Terus?”
“Aku.. belum pantas buat ini..”
“Tapi..”
“Jay, kamu terlalu baik buat aku.”
“Liz..”
“Aku gak seperti yang kamu kira, Jay.”
“Hah? Jadi ternyata bener kamu dulunya cowok? Gak papa Liz, aku menerima kamu apa adanya kok.”
“Kamu tuh ya, aku serius nie..” Liz menghela nafas. “Aku gak bisa jahatin kamu lebih jauh lagi, Jay.”
Lama aku berargumen, memintanya untuk tetap tinggal, namun keputusan Liz sudah bulat.
“Maafin aku, gak bisa mewujudkan mimpi-mimpimu.” kata Liz lagi.
“Aku aja kali yang mimpinya ketinggian..” aku pura-pura tersenyum. Getir, senyum itu terasa begitu pahit di sudut bibirku.
“Kan udah aku bilangin”
“Iya..”
“Kita tetap berteman kan?” kata Liz
“Mengubah sahabat menjadi kekasih memang indah, tapi mengubah kekasih menjadi sahabat bisa juga menjadi indah.” Aku mengutip kata-kata yang kubaca dari Novel Sang Pemimpi (atau Edensor? Lupa).
Liz tersenyum mendengarnya.
Namun, aku tahu semuanya tak akan bisa kembali seperti dulu lagi.
Tangisku baru pecah, setelah melihat Liz menghilang di balik pagar kostku.
Kita tak pernah memiliki
Rumah yang kita diami semusim
telah dituntut kembali
Dan tanah yang kita pijak
makin larut dalam pasang laut
Sedang kesetiaan yang dijanjikan kekasih
berhenti pada khianat
Dan nyawa ini sendiri
terancam setiap saat
Tak ada yang kita punya
Yang kita bisa hanya
membekaskan telapak kaki,
dalam, sangat dalam,
ke pasir,
Lalu cepat lari sebelum
semuanya berakhir
Semuanya luput
Juga waktu
(Juga Waktu, Subagio Sastrowardoyo)
Pagin itu, aku sampai pada kenyataan yang pahit.
Saat terbangun aku merasakan kosong yang teramat. Tak ada lagi Liz di sisiku, dan akan pernah ada lagi. Kamarku seakan bertambah luas, meninggalkan rekam jejak imaji liz yang masih bergaung di dindingnya yang menyuram. Tawa Liz yang berderai, Liz yang mengangis saat curhat denganku, Wajah Liz yang merona merah saat bercinta denganku.
Tak ada lagi. Saat ini aku mendapati diriku terbangun, dan mimpi tertinggal dalam ingatan yang tiada.
Aku keluar kamar, duduk di teras, dan menyalakan sebatang rokok. Aku menghembuskan asap rokok tinggi-tinggi. Air mataku menetes. Liz benar, mungkin aku yang bermimpi terlalu tinggi.
Seorang pengarang novel, Donny Dhirgantoro mengatakan “Apabila kamu punya mimpi, taruh dia 5 cm di depan kening kamu, jadi nggak pernah lepas dari mata kamu.” Sementara Andrea Hirata pernah berkata, “Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.”
Namun saat ini aku berpikir, “What is the point of dreaming?”. Alexander mati diracun dalam rangka mewujudkan mimpinya menaklukkan dunia. Icarus mati, jatuh di laut karena terbang mendekati matahari. Apa gunanya bermimpi, kalau toh anda akan terbangun juga. Terbangun dalam kenyataan.
Kenyataan itu pahit! Jenderal!
Mulai hari itu, aku menjadi orang yang paling pesimis di seluruh dunia. Persetan, aku bukan Ikal yang mengejar mimpinya sampai Edensor! Aku bukan Genta yang mendaki sampai Mahameru! Aku hidup di dunia nyata, bukan di dalam novel. Mulai hari itu, aku menghabiskan waktuku dengan men-tweet status-status galau, me-retweet status nyesek dari @RadioGalauFM. Playlist-ku dipenuhi dengan lagu patah hati dari “Someone Like You”-nya Adele, sampai “Apalah Arti Menunggu”-nya Raisa.
Setiap tempat yang mengingatkanku pada Liz, bisa membuatku mewek ceperti cewek. Kerjaanku setiap hari hanya bengong sambil merokok di teras. Skripsi tak terurus. Kuliah nitip absen pada KW karena malas ketemu Liz. Bahkan bokep pun tak kusentuh, Miyabi dan Sasha Grey sudah tak mampu membuatku ereksi.
Aku memandangi halaman facebook—ku dengan galau:
Memandangi tulisan “Adipati Jaya Mahardika is now Single” di halaman Facebook-ku. Di bawahnya tertulis ucapan belasungkawa dari teman-teman.
Jimmy “Hendrix” Pranoto : Pertamax diamankan.
Ya elah, Tega banget si Jimmy mengambil pertamax di atas penderitaan orang lain.
Buluk Ganteng: Pertamax mahal, ane Premium aja gan..
Ini si Buluk juga sama aja.. haduuh.. haduuh…
Gracia Anindita: Jay, kok bisa? Yang sabar ya.. padahal kalian cocok lho
Grace memberi comment. Iya, mudah-mudahan bisa sabar…
Slamet Riyadi: Dunia tak seluas daun kelor masbro..
Apa maksudnya Slamet ini, adanya dunia tak sesempit daun kelor kaleee. Comment Slamet malah membuat hatiku bertambah sempit.
Kunto Wicaksono: sabar ya
KW, Seperti biasa, singkat-padat-jelas.
JoN0 CuK4 b0n3k4: C3mun6Udh e4 k4q, mSH Ad q QuqZ
Ya elah, homo alay ini spawn lagi.
Setiap hari aku melihat halaman Facebook Liz, namun sepertinya ia tidak pernah log-in.
Teman-temanku, Slamet dan KW prihatin dengan kondisiku. Mereka mengajakku jalan-jalan ke Pantai Baron di daerah Gunungkidul. Kali ini, aku menerima niat baik Slamet. Kami berangkat dengan mengendarai motor, aku berboncengan dengan Slamet, sedang KW berangkat bersama gebetannya.
Sesampainya di pantai aku malah tambah sedih. Panorama matahari terbenam, teluk kecil dan perahu-perahu nelayan di sana membuat perasaanku bertambah mellow.
Aku berdiri di atas batu karang, dan bergaya layaknya penyair.
“Ini kali tiada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut!”
Aku berteriak seperti orang gila. Slamet memegangiku karena malu. Aku melanjutkan puisi karangan Chairil Anwar itu sampai bait ke tiga. Aku benar-benar stress!
“Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sendu penghabisan bisa terdekap.”
“Hihihi.. aneh banget sih…” tiba-tiba gebetan KW membuka suara. “Udah santai aja lagi, mending fotoin kami.” katanya, sambil menyerahkan kamera digital kepadaku. Ia segera memasang pose mesra bersama KW.
Santai aja gundulmu!
Aku mengambil foto mereka –pasangan itu- dengan setengah hati, bikin sirik aja. Benar-benar tidak memiliki toleransi dalam berasmara. Karena sebal sengaja aku agak menurunkan kamera- sehingga kepala mereka terpotong.
“Ehehe.. makasih yah Jay, ngomong-ngomong puisinya bagus, apa judulnya?”
“Oh itu, judulnya Senja di Pelabuhan Kecil.”
“Hihihi.. sama kaya namaku dong, Senja.”
Senja tersenyum. Matanya berputar-putar lincah di atas pipinya yang bulat seperti mochi.
De ja vu?
Bersambung
To Be Continued