Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Terjebak Nostalgia (2011 version)

Jaya Suporno

Guru Besar Semprot
Daftar
18 Jul 2012
Post
2.016
Like diterima
3.114
Lokasi
Ruang Nostalgia
Bimabet
Terjebak Nostalgia
J A Y A S.




Terjebak Nostalgia versi paling awal. Pertama kali di-post di forum K*ucil tahun 2011.

Terimakasih pada suhu Paidikage sudah menyimpankan versi ini, sehingga tidak hilang menjadi lost media.

Ada baiknya rekan-rekan membaca cerita
The Bachelorette Party sebelum membaca cerita ini

Versi Remake 2015 bisa dibaca di

TRJBK NSTLG (2015)
_________________________________________________

Jaya S Production 2011
 
Terakhir diubah:
Sudah dari pagi mendung menggantung di langit kota Yogyakarta, membuat siang itu berwarna kelabu seperti petang. Di kejauhan terdengar gemuruh pertanda hujan akan luruh. Aku berjalan dengan tergesa, melewati pohon Akasia yang ditanam sepanjang halaman kampus, daunnya gugur diterpa angin dingin dari lereng Merapi.

Tanganku penuh dengan 12 bendel skripsi yang sudah dijilid hard cover. Beratnya yang gila-gilaan, membuatku sedikit kesulitan menaiki tangga di depan pintu masuk. Aku melihat sekeliling. Ruangan itu dipenuhi oleh mahasiswa angkatan baru yang wajahnya tidak kuhapal. Ah, makin lama, makin sedikit wajah yang ku kenal. Maklum angkatan tua, tidak lulus-lulus.

“Jay!” suara wanita memanggilku dari belakang. Aku mengenali suara itu.

“Eh, Liz apa kabar? Kok masih aja ke kampus?”

“Ini, mau ngurus legalisir ijazah”

“Weh, mantep! Mentang-mentang dah wisuda nih ye.”

“Hehe, kamu juga udah pendadaran kan? Cepet nyusul ya!” Liz mengamati tumpukan skripsi di tanganku.

“Amin” tukasku.

“Eh, kamu masih sama Senja? Tiba-tiba Liz bertanya.

“Emm.. masih.. “Aku terdiam lama. Jujur saja, tidak enak hati aku menjawab pertanyaanya.

“Hehe yang langgeng ya kalian” Liz tersenyum, tapi seperti dipaksakan.

“Iya, Liz sekarang gimana?”

“Hehe.. biasa, masih belum laku”

“Sabar-sabar hehe..” aku jadi lebih tak enak hati mendengarnya.

“Hehe..”

“Hehe..” kami pura-pura tertawa. Suasana jadi makin tak enak.

“Iya, mudah-mudahan di Papua aku dapat jodoh”

“Hah?”

“Iya Jay, aku diterima di PT. FreePort lho”

“Oh”

“Udah, ya.. dah Ajay!” suaranya bergetar, pura-pura ceria.

Liz berlalu, menghilang di balik kerumunan mahasiswa baru. Aku mengela nafas, dadaku terasa sesak. Sepertinya kali ini ia akan pergi jauh sekali.

Di luar hujan turun. Deras, sangat deras.


Nostalgia #1
LIZ

Aku mengenalnya saat Ospek di kampusku.

“Namaku Eliza, panggil aja Liz” katanya.

“Oh, ane Jaya, tapi panggil aja Jay, Ajay, Vijay, Inspektur Vijay juga boleh..”

“Hehe.. kok pakai ‘ane-ane’ keturunan arab ya?”

“Haha.. ane dari Korea kok”

“Bohong!”

“Beneran, Korea.. Itu yang kalau mau ke Cilacap”

“Itu mah Kroya! Korea ngapak! Hahahaha” tawanya berderai keras.

Liz ini Anaknya sedikit tomboi, ramai, dan asyik di ajak seru-seruan. Kalau cewek yang lain hobby-nya jalan-jalan, ke salon. Nah Liz ini demennya futsal, tarik tambang, panjat tebing, panjat pinang, panjat genteng… hah?

“Sebenarnya di dalam diriku ada jiwa laki-laki, tapi laki-laki tersebut adalah homo.” Katanya suatu hari.
“Jiahkakakaka!” Kami tertawa sampai berguling-guling di lantai.

Aku geleng-geleng, kok ada ya orang kayak kami. Liz benar-benar cewek yang konyol! 11-12 lah sama aku, tak lama aku pun akrab dengannya.

Namun, kira-kira sekitar awal semester 3 terjadi perubahan yang signifikan. Liz mulai berdandan. Ia yang biasa mengenakan celana jeans dan kemeja flanel kotak-kotak ala Kurt Cobain, mulai mengenakan dress. Kadang-kadang ia ke kampus menggunakan Rok sepan dan kemeja ketat. Rambutnya yang biasanya diikat sekenanya saja, sekarang mulai di blow dan di gerai. “Bening juga nie anak”, batinku saat melihat wajahnya yang tampak cantik dengan make up.

Jujur saja, mulai saat itu aku menjadikan Liz objek coli-ku, haha.

“Ck ck ck.. Ente.. ente ganti kelamin yak?” godaku saat makan dengannya di kantin.

“Hahaha.. ente bisa aja!” ia tertawa lepas, sifatnya yang tomboi ini masih tidak bisa hilang.

“Nah gini, dong.. kalau gini kan cakep.”

“Huuu.. awas naksir!”

“Ya elah, kalau sampai ane naksir ente, berarti jangan panggil ane Jay, panggil aja Gay!”

“Hahahaha” tawanya berderai keras.

Beberapa hari kemudian, aku baru tahu alasan perubahan Liz. Siang itu aku melihatnya dibonceng oleh Bang Igo, senior kami. Yaah, padahal baru aja mau kugebet si Liz.

Bukan kenapa-kenapa, entah kenapa dari dulu aku sulit sekali mendapatkan pacar. Ditambah lagi, semenjak kejadian dengan Liz, Grace, dan teman-temannya tempo hari (baca: Jay – Clothed Female Naked Male), beredar rumor menyesatkan bahwa aku adalah penyuka sesama jenis dan nyambi jadi stripper. Kalau sudah begini, bagaimana mau dapat pacar coba? Padahal, tampangku ga jelek-jelek amat kok! Buktinya masih ada adik kelas yang naksir aku, tapi kutolak karena bukan tipeku. Namanya Jono.

“Jay, kamu pernah ML belum?” tanya Liz suatu hari

“ML apa dulu? Mengangkat Lemari? Makan Lumpia? Membuat Laporan?”

“Bukaan… kamu pernah EM-EL sama cewe belum?”

“Belum..” jawabku

“Kalau ML sama cowok?”

“Apalagi” jawabku ketus.

“Gak papa kok, dulu aku juga pernah oral sama Grace” Grace ini cewek, teman seangkatan kami.

“Uhuk uhuk” aku terbatuk.

“Hehe” Liz tertawa

“Kapan?”

“Itu yang pas kita rame-rame nginep di rumah Grace” (baca: Jay – Clothed Female Naked Male)

Ugh, aku tidak bisa membayangkannya.

“Btw, Ngapain kamu tanya2 ML? emang kamu mau ML sama cowok? Emang kamu bisa?”

“Hihihi” Liz tersenyum penuh arti

“Huu.. homo mana yg mau ML sama kamu” ledekku

Liz menurunkan leher sweater turtle neck-nya. Ada bekas merah di lehernya yang putih. Aku menelan ludah.

“Kemarin malem aku ML sama Bang Igo lho”

“Sumpe loh?!” aku menirukan artis-artis sinetron itu

Liz mengangguk, “kamu jangan bilang siapa-siapa ya Jay”

Tubuhku dingin, aku hanya mengangguk, dan memberi tanda ‘suer’

“Uhuk.. rasanya.. gimana..? sakit.. ga?” aku penasaran.

“Sakit sih.. tapi.. enak” wajahnya tersipu-sipu

Aku hanya menelan ludah mendengarnya.

“Makanya, buruan cari pacar. Nanti lama-lama kamu ganti nama dari Jay, jadi Gay” tambahnya lalu tertawa.

“Hehehe.. Iya.. iya..” aku tertawa kecut.

“Eh, BTW gimana kabar pensi kita? Kamu sama Grace panitianya kan?”

“Yah, lumayan lah..”

“Bintang tamunya siapa?” tanya Liz

“Raisa” jawabku

“Raisa? Yang beneeer.. duuuh aku ngefans banget sama dia Jay, mintain tanda-tangannya ya!”

“Oke2, beres.. kayaknya aku ntar yang ditugasin nyupirin mobilnya Raisa”

“Asyiik” mata Liz berbinar-binar

Begitulah, minggu-minggu itu aku sibuk dengan kegiatan pensi. Nganter surat, nyari dana, survey venue, nyewa sound system, jemput artis di Airport dan lain lain.

“Jay, mana tanda tangannya Raisa!” kata Liz beberapa hari kemudian.

Aku menepuk kepalaku.. “ Maaaaf aku lupaaa.”

“Huu.. tahu kan aku ngefans berat sama Raisa.”

“Iya.. iya.. maaf.. maaf..”

“Kapan lagi Raisa datang ke Jogja..”

“Iya, deh.. tapi jangan nyebut-nyebut nama Raisa napa? Bikin galau aja.”

“Kamu galau juga ya? Sama dong.. kita senasib sepergalauan.”

“Hah? Ente galau napa Liz?” Aku bingung

“Aku baru putus sama Bang Igo hehe” Liz tertawa, tapi sepertinya dipaksakan.

“Hah! Kok bisa?! padahal….”

“Hehe..” Liz memaksakan diri tersenyum.

“Yang sabar ya Liz” aku menepuk-nepuk kepalanya.

“Iya.. makasih ya Jay..”

“Sabar.. sabar..”

“Gak papa kok Jay… Aku.. sudah biasa kali.. dijahatin.. huk.. huk..” tiba-tiba tangisnya pecah. Aku bingung harus ngapain. Aku cuma memeluknya, dan menepuk-nepuk pundaknya. Untuk pertama kalinya aku melihat Liz menangis seperti itu.

Beberapa hari kemudian rambut Liz dipotong pendek seperti laki-laki, dan kembali mengenakan celana jeans dan kemeja flanel kotak-kotak kebanggaannya. Malam itu Liz kembali kumpul-kumpul dengan Dandy, Buluk, Otong, Jimmy, Gugun, Heru, Rahmat dan tak lupa sohibku dari SMA: Slamet. Kami nonton bareng Barcelona vs Real Madrid di Burjo.

Malam itu Madrid kalah 2-1 dari Barca. Pendukung Ronaldo Cs pulang dengan lesu, karena harus membayari makanan yang menang. Aku mengantar Liz pulang, karena tadi dia memang menumpangku.

“Jay, Liz jangan disodomi ya” pesan Slamet.

“Tenang aja, kontolku cuma buatmu Met” balasku. Kebetulan Slamet ini juga teman kost-ku, kamarnya di samping kamarku.

“Wasuw! Juancuk kon!” kata slamet sambil mengejarku. Aku segera tancap gas. Aku dan Liz tertawa terbahak-bahak, meninggalkan Slamet yang mengacungkan jari tengah-nya.

Aku tersenyum, setidaknya Liz bisa kembali tertawa.

Motor kami melaju melewati gang-gang sempit yang dipenuhi rumah kost-kostan. Pemandangan yang khas di perkampungan sekitar kampus di Kota Pelajar ini.

“Jay, makasih ya..”

“Makasih apa? Udah dianterin pulang? Biasa aja kali.. “

“Bukan... aku tahu kok... dari tadi kamu ngelucu terus-terusan... buat ngehibur aku... kan?”
Aku diam saja. Liz memperat pegangannya di pinggangku. Malam itu udara di jogja begitu dingin, namun entah kenapa aku merasakan ada sesuatu yang hangat di dadaku.

“Dah sampai neng...” kataku.

Liz diam saja.

“Liz?” tanyaku lagi.

“Jay.. “

“Apa?”

“Aku gak mau balik ke kost-an ku”

“Hah? Kenapa?”

“Dulu... aku... sama.. Bang Igo... di... sini...” ia terdiam lagi, sambil merapatkan tubuhnya ke punggungku.

Aku tahu, mungkin ranjangnya itu membawa kenangan pedih baginya.

“Yaudah, kuanterin ke rumah Grace yah”

“Eng.. enggak usah Jay.. aku lagi dimusuhin sama temen2 cewek..”

“Ya elah Liz, udah malem gini, terus mau ke mana? Ke pos ronda? Yuk kita main karambol!”

“Aku.. numpang... tidur… di kost-mu boleh?

“Hah? Di kost-ku?”

“Iya..”

Aku terdiam

“Please?” kata Liz

Aku berpikir lama. “Yaudah, nanti aku tidur di kamar Slamet”

“Makasih ya Jay”

Tak lama kami sampai di kost-an ku. Aku memasukkan motor ke garasi. Kulihat motor Slamet di pojokan, dia sudah pulang rupanya. Kami masuk ke dalam, sepi, semua orang sudah tidur. Aku membukakan pintu kamarku buat Liz.

“Maaf ya berantakan” kataku sambil buru-buru membereskan tisue yang berserakan dan mentimun yang dihilangkan biji-nya.
“Heheh.. gak papa..” Liz senyum-senyum melihat tabloid Bibir Plus yang sudah lecek dan dipenuhi sperma yang mengering.

Aku mengganti sprei-ku yang penuh bercak dengan sprei baru. Menyemprotkan Bayfresh untuk menghilangkan aroma sperma.

“Sip, silahkan tidur tuan putri..”

“Makasih ya Jay…”

Aku menuju kamar Slamet, dan mengetuk pintunya

“Met.. Slamet.. masih bangun ga?”

Slamet membuka pintu sambil mengucek matanya “Opo Jay? Wis Ngantuk aku”

“Boleh bobok bareng ga?” sungguh pemilihan kata yang salah sodara-sodara.

“Brak!” Slamet langsung menutup pintu dan menguncinya dari dalam.

“Jancuk! Ngapain kon? Mau bobok bareng aku?

“Eh, engga.. anu.. boleh numpang tidur ga?

“Ogah aku! Tidur nang kamarmu dewe wae!”

Wah, gak mungkin aku bilang di kamarku ada Liz, bisa panjang penjelasannya.

“Slamet.. Slamet..” aku mencoba membujuk Slamet.

“Minggat kon!” dia malah mengusirku.

“Slamet.. Slamet sayang…” lagi-lagi pemilihan kata yang salah sodara-sodara.

“Minggat kon!!! Dasar homo laknat!” kata Slamet sambil menendang pintu.

Aku kehilangan harapan. Aku kembali ke kamarku dengan putus asa.

“Liz.. dah bobok belum?”

“Belum..”

“Boleh masuk ga?”

“Masuk aja, kan kamarmu”

Aku masuk. Liz tengah telungkup sambil membaca-baca majalahku. Celana panjang jeans-nya sudah dilepas. Ia hanya mengenakan kemeja panjang Flanel. Karena cukup gombrong, kemeja itu menutupi sampai atas lututnya.

“Eh Ajay.. gak papa ya.. aku lepas celana, panas..”

“Ya gak papa.. asal jangan lepas beha aja..” Jawabku sekenanya

“Huu maunya..”

“Hehe.. lagian aku ga suka sama cowok kok” kataku.

“Oia, Si Slamet ngapain nendang pintu?”

“Gak tahu.. PMS kali”

“Hahaha.. terus kamu tidur di mana?”

“Hehe” aku cuma nyengir sambil garuk-garuk kepala.

“Udah tidur sini aja..” kata Liz.

“Yakin?”

“Haqul yakin”

“Hehe bagi bantal dong” kataku

Liz melempar bantal kepadaku.

Aku cukup tahu diri, aku tidur di lantai saja. Kebetulan kamarku di alasi dengan karpet plastik murahan, jadi tidak terlalu dingin. Liz dengan cuek saja tidur-tiduran di ranjangku, ranjang khas anak kost yang hanya kasur digeletakkan di lantai.

“Liz..”

“Apa?”

“Gak jadi deh..” aku mau menanyakan tentang Bang Igo, tapi kuurungkan niatku.

“Huu.. mau ngomong gak jadi.”

Lama kami saling diam. Wajahku jadi gerah, aku menyalakan kipas angin.

“Cowok itu brengsek ya Jay” Liz memecah keheningan

“Ya iyalah,makanya ane ga suka sama cowok.” jawabku

“Hehe, kamu bisa aja.”

“Tapi tetap aja digosipin homo, hidup suram.”

“Iya.. iya.. maaf deh Jay,” Liz tertawa “Tapi kecuali kamu, kamu enggak brengsek kok.”

“Ya iya lah! Ajay Vijay Hotahai.”

“Iya, kalau sama cowok lain, kalau tidur satu kamar sama cewek, pasti udah diapa-apain”

“Hehehe” Tidak tega memang aku ngapa-ngapain sahabatku ini.

“Aku percaya sama kamu kok Jay” Liz terdiam sebentar “ aku percaya.. percaya kamu memang ga suka sama cewek”

“Huu.. dah dikasi tumpangan, masih aja ngeledek”

“Hehe.. maaf-maaf”

Iya juga sih, sekamar sama cewek bikin jantungku deg-deg-an gak bisa tidur. Lama aku memandangi langit-langit kamarku yang penuh sarang laba-laba. Sudah setengah jam mungkin.

“Jay..”

“Apa?”

“Lum bobok?”

“Belum”

“Jay, boleh pinjam dada-mu ga?”

“Hah? Buat apa? Pinjam gak boleh.. sewa, 1 jam 10 ribu”

“Iya deh, besok kubayar”

Liz tiba-tiba merebahkan kepalanya di dadaku. Ia memelukku erat.

“Jay.. huk.. huk.. huk..” ia sesengukan di dadaku.

“Cup cup..” ah, kata-kata yang bodoh

“Aku sayang banget sama dia.. tapi.. tapi..huk.. huk..” kemudian tangisnya pecah dalam pelukanku.

Malam itu, sekali lagi Liz menumpahkan segala kesedihannya. Dan aku, apa yang bisa orang bodoh ini lakukan selain menampungnya? Aku memeluknya erat, tubuhnya berguncang-guncang hebat dalam pelukanku.

“Makasih ya udah mau dengerin..”

“Iyaa..”

“Jangan cerita ke siapa-siapa ya Jay..”

“Suer2” aku mengacungkan dua jariku”

Liz mendekatkan wajahnya sambil tersenyum. Sekarang bibirnya sudah sangat dekat, kalau aku mau aku bisa saja menyosor bibir tipis itu. Hah?

De ja vu.

Sepertinya aku pernah mengalami ini. Namun perih jika aku mengingatnya.

Aku galau, Liz lebih galau lagi. Orang galau + orang galau = chemistry.

Tahu-tahu kami sudah berciuman dengan mesra. Liz memejamkan matanya yang sembab. Aku membelai rambutnya. Pipinya yang basah menempel di wajahku: barusan ia habis menangis.

Aku berpikir, is it a right thing?

Aku menghentikan ciumanku. Kami berbaring berhadapan dalam posisi menyamping. Aku membelai wajahnya, cantik sekali. Liz tampak lebih menawan dengan potongan rambut pendek itu.

“Wah, kok jadi gini..” kataku.

“Ini namanya temen ‘makan’ temen” kata Liz

“Minumnya Teh Botol Sosro” jawabku asal, menirukan iklan yang lagi ngetrend waktu itu.

“Hahaha”

“Hehe”

Liz tersenyum, wajahnya cantik sekali.

Aku mengecup keningnya.

Liz tersenyum.

Aku mengecup pipinya.

Liz tersenyum lagi.

Aku mengecup bibirnya, lembut sekali.

Liz membalas ciumanku, aku membelai rambutnya dengan lembut

Mungkin Liz juga merasakan demikian. Sudahlah, kami nikmati saja malam itu.

Mata Liz terpejam, menikmati ciumanku yang membelai bibir mungilnya.

“Mmmmh…” Liz melengguh, nafasnya sedikit memburu. Liz melingkarkan tangannya di leherku.

Liz cantik sekali, aku mengelus pipinya yang chubby.

Aku menggigit bibir bawah Liz lembut, yang dibalas dengan sapuan lembut lidahnya di bibirku. Aku membuka mulut, menyapa lidah Liz dengan ujung lidahku.

“Mmmh..”

“Mmm..”

“Ummh.. h.. h..”

Kami saling menghisap,

“H…H.. Hhh”

nafas kami memburu.

Jangan Jay, dia itu sahabat ente! Secuil hati nuraniku yang masih tersisa berteriak dari kejauhan,”Mmmmmh” - namun erangan Liz membuatnya seolah tak terdengar.

Aku meremas payudara Liz dari luar kemeja kotak-kotak-nya. Liz mendesah-desah tidak jelas. Gawat, tambah nafsu aku jadinya.

Jari-jari ku dengan lincah membuka kancing kemeja Liz. 1, 2, dan 3 kancing sudah terbuka. Tanganku segera menerobos masuk, dan menemukan gundukan kenyal yang dibungkus spons. Tidak sulit bagiku untuk menelusupkan jariku ke baliknya, mencari tonjolan kecil di balik spons itu.

“Ooooh Jaaay” Liz berteriak tertahan saat aku membelai puting susunya.

“Oooh.. kamu nakal … oh..Jay…” Mata Liz terpejam, ia mendongak. Lehernya yang putih mulus terpampang di depan wajahku.

“Mmmh.. mmmh..” Kuhirup dalam-dalam aroma tubuh Liz, dan kuisap dengan lembut kulitnya yang putih.

Liz mendekap kepalaku, dan diarahkannya ke bawah. Aku mengerti isyaratnya: aku menurunkan cumbuanku ke sekitar dadanya yang ranum. Aku membenamkan wajahku ke gundukan daging yang menyembul, tumpah dari atas cup Bra yang tampak kekecilan itu. Mantaf gan!

“Ooooh.. Jay.. mmh” Liz berteriak penuh gairah, dibekapnya kepalaku ke dadanya. Kenyal sekali.

Aku menurunkan cup Bra milik Liz, Putingnya yang berwarna coklat muda mengacung tegak. Wajah Liz meringis seperti kesakitan ketika aku menghisap puting kiri Liz, sementara jari kananku sibuk membuka sisa kancing baju Liz.

“Mmh.. Ohh.. ooh..” Liz menggap-menggap, tangannya mendekap kepalaku erat-erat, membuatku agak sulit bernafas, namun tangan kananku masih sempat menjelajah ke bawah, ke atas perut Liz yang mulus, menyusuri lekuk tubuhnya.

“Jangan Jay…” Liz mencoba menjauhkan tanganku, saat mencoba meraba vaginanya dari luar, namun aku tetap nekat menyusupkan jariku ke balik celana dalamnya ke dalam area 51 itu. Lis menepis tanganku kasar.

“Apaan sih, yang bawah jangan!” wajahnya tampak tidak senang.

“Iya.. maaf.. maaf..” kata-kata Liz membuatku menghentikan aksiku. Aku mengecup keningnya, merangkul pundaknya. Liz memelukku, merebahkan kepalanya di dadaku.

“Hehe” Liz cuma cengar cengir.

“Hehe” aku juga tertawa.

Liz menoleh kepadaku, wajahnya yang kemerahan dan dipenuhi keringat. Ia tersenyum, pipinya yang bundar tampak semakin menggemaskan. Aku mencubit pipinya. “Hihihi” Liz tertawa, lucu sekali.

“Hehe.. kita gila ya....”

“Iya Jay hehe…”

“Kok bisa ya, aku sama kamu?

Liz hanya tersenyum manis.

“Wah jangan-jangan ane gay betulan yak?”

“Jiahkakaka…” tawanya berderai seperti biasa, tak sedikitpun tersisa kesedihan seperti tadi.

Aku menoleh ke bawah, kemeja kotak-kotak Liz terbuka. Kedua payudaranya menyembul ditutupi sepasang cup berwarna hijau. Dibawah sana perutnya yang mulus dan ramping tidak ditutupi apapun.

Aku menelan ludah melihat gundukan misterius yang dibungkus kain berbentuk segitiga, begitu menggoda, entah apa yang ada di dalamnya. Hmm, so tempting.

“Set, besar banget..” aku mentowel-towel payudara Liz karena gemas.

“Hehe” Liz menjulurkan lidahnya.

“Ente cantik bener sih Liz”

“Huu, gombal, pasti ada maunya!”

Aku membelai rambutnya yang pendek. Aku tidak bohong, malam ini Liz cantik sekali. Liz memang lebih cocok dengan potongan rambut itu.

Liz menoleh arahku, tersenyum dalam senyuman paling cantik yang pernah kulihat.

“Jangan bilang siapa-siapa yah Jay..”

Aku mengangguk.

Sesaat kemudian bibir kami sudah saling melumat, lidah kami saling membelai. Kami berpelukan erat, bergulingan di atas kasurku yang sempit.

“Mmhm..”

“Mmm…”

“Mmmh”


Suara desahan kami bercampur dengan suara kipas angin rongsokan di pojokan kamarku.

Liz memelukku erat. Tanganku membelai punggung Liz, mencoba membuka kait BH, masih terlalu susah bagiku yang nubitol.

“Hihi.. “ Liz tertawa nakal, sebelum mengangkat kedua tangannya, melemparkan kemeja flanell kotak-kotaknya ke pojokan, sesaat kemudian BH-nya menyusul. Liz sekarang hanya mengenakan celana dalam tipis warna hijau muda. Lekuk tubuhnya berbayang sempurna ditimpa temaram lampu 20 watt di kamarku.

“Liz, ane kira ente gak punya toket..” aku menelan ludah melihat Payudara Liz yang pejal dan bulat sempurna.

Liz tidak menjawab, ia malah membekap kepalaku menuju belahan dadanya. Aku segera melumat sepasang gunung yang kenyal itu.

“Hmmmhpp” kali ini aku masih bisa mencuri-curi nafas.

“Oooh Jaay!”

“Hamppha?”

“Yah.. ooh.. di sana Jay.. aah” Liz meracau tidak jelas, biarlah.

Aku mempraktekkan skill yang kudapat dari suhu-suhu sekalian. (Thx bro, ijo-ijo segera dikirim)

“Owww. Akh Jaaay..” Liz menggeliat saat aku menggigit putingnya pelan.

“Ooooh..”

“Udah Jay.. Udaaaah!!” Liz berteriak

Aku terus menghisap putingnya

“Udah.. aaaaah!” Liz mencoba mendorong kepalaku, tapi tenagaku lebihkuat.

Aku terus menghisap putingnya kuat-kuat

“Ohhh Jaaay!!”

Mata Liz terpejam, wajahnya memerah seperti orang kesakitan. Liz mendekap kepalaku erat-erat, sebelum tubuhnya mengejang.

“Umh.. h.. h.. hah.. h..” Mata Liz setengah terpejam, bibirnya sedikit terbuka. Wajah Liz merona merah, dipenuhi keringat. Seksi sekali.

“Jago banget sih.. huu, ngakunya belum pernah ML.. “ kata Liz lemah

“Waktu itu memang belum kok”

“Memang kamu ML sama siapa?” Liz masih ngos-ngosan

“Sama Ra..”

“Rahmat? Astaga..” sekedar mengigatkan, aku punya teman yang bernama Rahmat.

Jujur saja aku bosan mendengar lelucon garing ini, makanya aku segera melumat bibirnya. Kali ini sambil berciuman aku memberanikan diri mencoba mengakses area terlarang Liz -area 51- dengan jariku. Lagi lagi Liz menepis tanganku.

“Jangan Jay.. jangan yang di bawah, ntar keterusan..” katanya polos.

“Yaah, habisnya ane penasaran..”

“Kenapa?”

“Ane penasaran, di bawah sana meki apa konti?” aku menggodanya.

“Jay jahat!” Liz memukul-mukul dadaku.

“Hehehehe” aku menangkap tangan Liz dan menguncinya, kemudian aku menggelitiki Liz.

“Hahahaha.. ampuun Jay.. haha ” Liz menggeliat kegelian

Aku menyosor bibirnya yang seksi, kemudian –segera- meraba gundukan kecil yang tertutup celana dalam. Liz terkejut, namun aku mengunci kedua tanganya.

“Jaay.. jangan” Liz mencoba meronta, namun tenaganya melemah saat aku mulai membelai belahan yang menapak jelas di cd-nya yang basah.

“Jay… jahat..” Mata Liz terpejam, ia menggigit bibir bawahnya.

“Jay… ahh.. aaah” Ia mulai mendesah. Ugh, desahannya membuatku semakin bernafsu.

Aku memberanikan diri menelusupkan telunjukku ke balik cd-nya, memasuki area terlarang Liz -area 51-. Kali ini Liz diam saja, membiarkan telunjukku membelai klitorisnya.

“Aaaah.. aaah..” Liz mulai berteriak-teriak.

Sebenarnya aku khawatir teriakannya membangunkan Slamet dan tetangga kost-ku yang lain, maka segera kukulum bibir Liz.

Liz sepertinya sudah sangat bernafsu, ia meraba penisku yang sudah tegang dari luar celana. Ia tampak kesulitan karena aku mengenakan celana panjang Jeans.

Aku pernah menyebutkan aku ini orangnya pengertian? Segera kubantu Liz untuk melepas celana Jeansku –sekalian cdku- Liz yang sudah bernafsu segera mengocok penisku yang mengacung di hadapannya.

“Oooh..” aku kegelian. Aku membuka Kausku, sehingga telanjang bulat di hadapan Liz.

Malam itu kami bercumbu dengan buas di atas kasurku. Kami bergulingan kesana kemari, saling belai dan saling hisap dengan beringas.

“Jay! Oooh”

“Lizz.. uhgh!”

“Oooh! Aaaah!”

“Ugh.. ugh..”

“Mmmhhh””

“mmmh!!”

Aku dan Liz mengikuti bimbingan naluri dan alam bawah sadar yang liar. Sigmund Freud pernah mengatakan: pada awalnya bahwa perilaku manusia didasari pada hasrat seksualitas (eros) yang dirasakan oleh manusia semenjak kecil, seperti menyusui, selanjutnya mengalami perkembangannya atau tersublimasi hingga memunculkan berbagai perilaku lain yang disesuaikan.

Sampai akhirnya aku menemukan Liz telanjang bulat di hadapanku.

Liz membuka pahanya lebar-lebar. Vaginanya yang sempit dan berwarna pink terpampang di hadapanku. Di atasnya tumbuh bulu halus yang dicukur rapi. Aku menelan ludah, aku bisa melihat bibir vaginanya yang basah seolah mengundang ‘adek-ku’ memasukinya.

“Liz.. ente yakin?” aku yang ragu, sebentar lagi aku akan ML dengan sahabatku ini.

Liz mengangguk pelan, namun wajahnya tampak sedih

“Kenapa Liz?”

“Gak tahu Jay.. aku merasa.. de ja vu.. kayaknya aku pernah mengalami ini.. tapi, semakin diningat semakin perih..”

Ya, de ja vu. Aku pun mengalaminya.

Aku mengecup keningnya. Menatap hangat ke arah mata Liz. Liz tersenyum, perasaan hangat menjalari dadaku. Aku benar-benar ingin mencintainya.

“Ya udah, kalau masih sedih gak usah aja ya..” kataku.

“Gak papa Jay..” namun wajahnya kembali ragu.

Aku memposisikan diriku di selangkangannya, berlutut menghadap Liz. Aku mendekatkan penisku ke vagina Liz. Menggesek-gesekkannya di bibir vaginanya yang sudah becek.

Liz memejamkan matanya.

Aku mendorong pinggulku, kepala penisku menerobos masuk. Liz menggigit bibir bawahnya sambil mendesis pelan.

Sempit, lebih sempit dari punya Raisa. Pelan-pelan kejantananku menjelajah masuk, menelusuri liang sempit yang berlendir itu.

Liz menutup wajahnya dengan lengannya. Ia menangis pelan, hatiku teriris.

“Kenapa?”

“Gak tahu Jay.. aku gak tahu.. aku tiba-tiba keinget.. huk… huk..” Liz malah sesengukan di pelukanku.

Aku mengurungkan niatku, mungkin belum saatnya.

“Kenapa?” tanya Liz.

“Gak jadi deh.. ane gak bisa..”

Liz terdiam.

“Kalau gitu, apa bedanya ane sama Bang Igo?” pertanyaan retorik.

Liz terdiam. Aku terdiam. Hanya ada suara kipas angin.

“Jay.. you are the most foolest guy in the world!” katanya kemudian.

“Apa? Gay? Tega ente Liz!” aku salah mendengar ‘guy’ dengan ‘gay’

“Guy! G-U-Y”

Aku mengenakan celana pendekku, dan keluar dari kamar. Aku duduk di teras depan kamarku. Aku menyulut sebatang rokok, menghisapnya dalam-dalam, dan menghembuskan asapnya. Aku memandangi langit dan fajar yang menyeruak di antara atap kost-kostan yang padat. Di kejauhan terdengar suara adzan subuh bersahut-sahutan.

Slamet keluar dari kamarnya, anak ini memang rajin beribadah. Dia agak takut melihatku yang telanjang dada dan hanya mengenakan celana Pendek dengan kontol yang masih ngaceng, tapi mau gak mau dia harus melewati kamarku untuk ke kamar mandi.

“Astaghfirullah!!” Slamet menjerit ketika melihat ke dalam kamarku yang tak tertutup

“Ada apa Met?”

“Tega kowe Jay?! Konco dewe mbok sodomi!” Slamet berteriak histeris.

Oh iya! Aku Lupa menutup pintu kamarku, di sana ada Liz! Aku melongok ke dalam, Liz hanya cengar-cengir sambil menutupi tubuhnya yang telanjang dengan selimut.

Gawat!

******************​

Di kampus kami, tembok pun bisa mendengar dan berbicara. Keesokan harinya, gosip mengenai Liz yang tidur di kamar kost-ku menyebar dengan cepat.

Beberapa teman cowok menyalamiku. “Selamat, gay insyaf!” kata mereka, sementara yang lain bertepuk tangan.

“Jay, maaf yo.. kemarin ane sudah salah paham” Slamet menghampiriku seusai kuliah siang.

“Yo..” jawabku malas, pasti dia yang menyebarkan gosip ini.

“Tapi nek kowe jadian karo Liz, aku mendukung 101% mas bro!”

Halah, sok tahu banget Slamet ini, sebal aku jadinya.

Aku mencari-cari Liz, ia sedang meng-copy power point kuliah dosen dari komputer. Liz melihatku, ia melambaikan tangannya.

“Weits sudah dipanggil tuh, wiz yo.. tak tinggal dulu.. jangan lupa pakai kondom mas bro!” kata Slamet sambil ngeloyor pergi. Aku menimpuknya dengan binder.

Aku menghampiri Liz.

“Liz.. udah makan belum?”

“Makan apa? Makan hati udah” kata Liz

“Sama dong, minumnya Teh Botol Sosro” lelucon yang sama seperti tadi malam, garing. Akhir-akhir ini aku memang kehabisan bahan lelucon.

“Hahaha” tawanya berderai sambil meninju lenganku.

“Makan apa nie?” kataku

“temen ‘makan’ temen”

“Haha terus Minumnya Teh Botol Sosro.. ah seriuslah.. mau makan apa nie?”

“Lotek Colombo yuk”

“Boleh, sekalian bayar hutang sewa dada semalem” kataku sekenanya

“Haha.. “

Siang itu amat terik, sudah beberapa bulan ini hujan tidak turun di Yogyakarta. Kami berjalan di bawah pohon Akasia yang ditanam sepanjang halaman kampus. Daunnya yang lebat menghalangi terik sinar matahari.

“Jay.. maafin aku ya..”

“Ah, maaf kenapa yah?”

“Semalem.. “

“Iya.. ane juga khilaf, maafin ane ya..”

“Eng.. bukan.. semalem, kayaknya aku udah.. jadiin kamu.. pelampiasan..”

“Hahaha..memang sudah nasib ane jadi tukang ‘rebound’”

“Hehe” Liz tertawa kecil.

“Yah, cuma ane gak mau aja dibilang mengambil kesempatan dalam kesempitan”

“Enggak kok Jay, aku juga yang salah..” jawab Liz.

“Iya kesempatan dalam ‘kesempitan’ “ aku menunjuk pada meki-nya yang memang ‘kesempitan’

“Iiiiih Jay apaan sih” Liz memukul-mukul dadaku.

“Hahaha..” aku tertawa sambil menghindar.

Siang itu Liz menggamit tanganku. Kami berjalan bergandengan menuju tempat parkir. Aku bisa melihat teman-teman kampusku yang memandangi kami dengan takjub. “Prikitiiiiew!!” kata mereka

Begitulah, semenjak hari itu ada yang berubah mengenai hubunganku dengan Liz. Sekarang ia lebih mesra kepadaku, kemana-mana ia selalu mengelendot manja di lenganku. Kami sudah tidak memanggit ‘ane-ente’ lagi, dan digantikan dengan ‘aku-kamu’. Sekarang Liz jadi lebih perhatian padaku, dengan menanyakan: Jay, Udah makan belum? Udah minum belum? Jangan kebanyakan coli yah.. dll. Ada perasaan hangat menjalari hatiku saat dekat dengan Liz.

Meskipun begitu, tak sedikit pun aku berani mengutarakan perasaanku. Apalagi memintanya jadi pacarku.

Belum saatnya.

Aku jadi teringat sajak karangan Sapardi Djoko Damono:

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada



Bersambung
To Be Continued
 
Terakhir diubah:
“Liz, Umm...”

“Apa?”

“Enggak.. ga jadi.. enggak apa-apa”

“Huu, ngomong ga jadi..”

“Liz...”

“Yah?”

“Beha-nya bagus yah” Aku menunjuk ke jemuran kost-kostan cewek di sebelah.

Sore itu aku duduk-duduk di teras kost-kostan ku. Sebenarnya hari itu aku bertekad untuk mengungkapkan perasaanku pada Liz, namun sepertinya aku belum punya cukup nyali untuk itu.

“Liz sebenarnya....”

Liz menatapku dalam-dalam.

“Sebenarnya, aku laper... makan yuk....” kebetulan ada dagang nasi goreng lewat.

“Liz sebenarnya aku sayang sama kamu” kataku pada akhirnya, sambil mengunyah nasi goreng.

“Hehe.. aku juga sayang kamu kok Jay” mulut Liz penuh dengan kerupuk.

Yak, peluang di depan gawang sodara-sodara!

“Liz.. kamu mau ga, jadi pacar aku?”

Liz terdiam, menyelesaikan menelan kerupuknya.

“Aku pengen kita begini aja.”

“Maksud... mu?”

“Jay, aku sayang sama kamu.. kamu awalnya sahabat aku.. “

Jantungku dag-dig-dug tak karuan.

“Pacaran itu…” ia terdiam sebentar “… menyakitkan, Jay.”

Memang, tapi indah juga kan?

“Jay, aku ga pengen setelah kita putus, kita jadi jauh..”

Aku diam.

“Aku sayang kamu Jay, aku gak pengin kita jauh..”

Liz memelukku erat. Aku membelai rambutnya. Liz menoleh padaku sambil tersenyum, cantik sekali. Aku meraih dagu Liz, dan mengecup bibirnya lembut.

Demikianlah, hubunganku dengan Liz hanya sebatas TTM alias Teman Tapi Mesra.

“Prikitiiiew!!!” Slamet dan anak-anak kost yang baru pulang dari main futsal memergoki kami berciuman.



Nostalgia #2
KOST-KOSTAN G-30 S

Kali ini, Kost-kostanku dibahas dalam bab tersendiri, karena sudah menjadi saksi cintaku dengan Liz, dan juga dengan Senja. Siapa lagi Senja? Sabar, nanti akan dibahas pada bab berikutnya.

Sebenarnya kost-kostan ini terletak di blok G no 30. Karena ulah orang iseng yang menambahkan huruf “S” dibelakang nomor rumah “G-30” maka terkenal-lah kost-kostan kami dengan “kost-kostan G-30 S”. Kurang bendera palu-arit aja, lengkap dah haha.

Kost-kostan kami terdiri dari 3 lantai, 4 kamar di lantai 1 & 2, dan jemuran di lantai 3. Karena kos-kostan ku letaknya cukup dekat dengan kampus, jadi di situ ada 3 orang teman satu Fakultas yang ngekost bareng, Aku, Slamet, dan KW. Kami semua tinggal di lantai 1.

Sebenarnya nama aslinya Kunto Wicaksono, namun oleh kami dipelesetkan menjadi KW. Beda denganku dan Slamet yang rusuh, KW orangnya pendiam. Kalau ditanya apa pasti dijawabnya satu kata saja.

“KW, makan yuk”

“Yuk.”

“KW, ada bokep baru ga?”

“Ga.”

“KW, ke Sarkem yuk” (Sarkem: Pasar Kembang, salah satu daerah porstitusi terkenal di Jogja)

“Makasih.”

Makanya aku dan Slamet kurang akrab dengannya.

Di lantai 1 ada juga seorang penghuni yang bernama Bang Boy. Dia sedang mengambil S2 di Universitas sebelah. Bang Boy sering mengajak pacarnya menginap di kamarnya, maklum kost-kostan ini tidak ada Bapak kost-nya. Kami semua sudah paham, kalau mendengar suara-suara aneh dari kamar Bang Boy. Biasanya, keesokan paginya Bang Boy mentraktir kami Burjo, sebagai permintaan maaf karena sudah mengganggu ketenangan warga.

Penghuni lantai 2 tidak usah dijelaskan, karena merupakan tokoh tidak penting dalam cerita. Some random character, seperti kata Justin Bieber.

Suatu malam, kami ngobrol-ngobrol tidak jelas di teras.

“Kemarin malam gue ngentot sama WP. Beuuh…cakep bener sob! Attitude: 9 (GFE banget), Face: 9, Body: 9, FJ: 9 ” kata seseorang. Logatnya medok jawa, tapi sok-sokan pakai ‘elo-gue’.

“Berapa DC-nya?” tanya Slamet.

“Harga bersahabat! Murmer! Cuma meki-nya……” ia terdiam sebentar. ”…Bau terasi!! ” katanya lagi. Spontan kami semua tergelak-gelak.

“Kalau sama pacarku, biasanya sebelum ML meki-nya kutetesin jeruk nipis biar ga bau terasi” kata Bang Boy.

“Oh, sekalian aja tambahin bawang sama cabe merah, biar bikin sambal terasi” sambungku. Yang lain tertawa terbahak-bahak sampai guling-guling di lantai. Kami sedang ngobrol gila-gilaan ketika sepeda motor Mio putih memasuki gerbang.

“Cieee, yang diapelin!” ledek teman-teman kost-ku

Liz datang ke kostanku malam itu, sontak semua bubar dan kembali ke kamar masing-masing. “Jangan lupa pakai kondom masbro” kata Slamet. Aku menimpuknya dengan sandal.

Liz datang mengenakan celana pendek pantai bunga-bunga dan kaus Barong Bali yang kedodoran.

“Eh, Liz.. ada apa malem-malem?” malam itu memang sudah jam 21.30 WIB.

“Ronda.. mau ngambil jimpitan” (jimpitan: uang keamanan yang diletakkan di wadah, di depan rumah)

“Hehe, beneran nie..” kataku

“Bosen nih Jay, aku numpang bo...”

“Numpang boker? Boleh..”

“Numpang bobok!”

Semenjak peristiwa beberapa hari yang lalu, Liz jadi tidak sungkan-sungkan untuk main ke kamarku, pinjam komik, buat tugas, numpang tidur siang, bahkan numpang tidur malam. Tentunya ini merupakan siksaan tersendiri buat ‘adek-ku’, karena semenjak saat itu, kami sudah berjanji tidak mengulangi perbuatan sesat itu. Aku hanya bisa menelan ludah melihat paha Liz yang kemana-mana saat tidur-tiduran di kasurku. Kalau sudah begini, aku hanya bisa coli dengan mentimun yang dihilangkan bijinya. Ugh, nikmat sekali.

Karena belum ngantuk, aku dan Liz menonton TV melalui TV tuner yang dihubungkan ke monitor PC-ku. Kalau tidak salah, waktu itu acaranya sinetron laga yang di-dubbing. Liz menggelendot manja di dadaku, lengannya yang mungil memeluk perutku.

“Jay, aneh banget ga sih? Masa mau ke warung aja naik naga” Liz mengomentari tayangan yang absurd itu.

“Haha, memang gak ada ojek yah?”

“Jiahkaka.. nanti naga-nya diparkir di mana nya”

“Ada kok, tuh lihat aja”

“Wah, bayar parkirnya berapa yah?”

“Hahaha” kami tertawa terbahak-bahak.

Aku bahagia sekali melihat tawa-nya lepas seperti itu. Aku tak ingin melihatnya menangis lagi.

Aku memandangi wajah Liz, potongan rambutnya yang pendek itu membuatnya begitu seksi, mirip Emma Watson. Sementara pipinya menyembul gembil, seperti punyanya Gita Gutawa. Entah kenapa, serpertinya ia kelebihan zat kolagen di bagian itu.

Aku menghirup nafas dalam-dalam, wangi parfum Liz membiusku. Aku tak tahan lagi, aku mengecup keningnya. Liz hanya tersenyum. Aku memberanikan diri mengecup pipinya.

“Iiih Jay genit aaah!” protesnya.

“Hehehe, habisnya kamu cantik banget sih.” Aku mencubit pipinya yang chubby.

“Huu gombal” Liz memonyongkan bibirnya mengejekku. Langung saja kusosor bibir itu. Awalnya Liz mencoba menolak, namun di detik-detik terakhir ia membalas ciumanku dengan tak kalah ganasnya.

Gawat, ‘Si adek’ di bawah sudah tegang.

“Iiiih.. belum apa-apa udah berdiri!”

“Ya iyalah! Make out sama cewek seksi gini gimana gak berdiri coba? Kalau gak berdiri itu malah gak normal!”

“Hahaha” Mata Liz tak berkedip memandangi tonjolan di balik celanaku.

“Hihi, besar juga ya..”

“SNI” jawabku pendek.

“Apaan tuh?”

“Standar Nasional Indonesia”

“Haha, emangnya helm?” Liz mulai meraba penisku.

“Eh, awas! Jangan digituin! kalau lepas, ntar masuk kemana-mana”

“Hehehe..” Liz kembali memelukku

Aku membelai wajah Liz. Ia tersenyum sambil menatapku hangat. Liz mendekapku, menggelendot manja di dadaku.

“Waktu itu kita gila yah Jay” kata Liz, sambil memainkan pusarku. Liz menyebut tentang peristiwa aku (hampir) ML dengannya minggu lalu.

“Ngapain ngomongin itu? Kamu pengin” aku cuma nyengir.

“Huuuu.. emang ya, dasar cowok.. maunya itu aja..”

“Hehe” aku mengecup kening Liz.

“Kemaren kan bilang, enggak lagi-lagi”

“Iya.. iya ” duh, adekku semakin tersiksa deh.

Liz tersenyum “tapi enggak sekarang, ya Jay..”

Hah? Apa maksudnya dengan ‘enggak sekarang’

“Kita sudah kayak suami istri ya hehe..” Liz mengomentari posisi kami yang berpelukan mesra.

“Iya, padahal baru bulan lalu masih becanda-becandaan sama Slamet dkk…”

“Kok bisa ya.. aku sama kamu.. hehe..”

“hehe iya.. berawal dari teman.. berakhir di ranjang..”

““Hahaha..”

“Hehehe..”

“Liz..”

“Apa?”

“Pengin deh punya istri kayak kamu” kataku

Liz terdiam lama, wajahnya seperti berpikir.

“Iya, mudah-mudahan kamu dapat istri yang kaya aku, Jay sayang..”

Waktu itu aku belum memahami maksud tersirat dari kata-kata Liz ini.

Aku mendekatkan wajahku, sehingga hidung kami bersentuhan. Liz menggerak-gerakkan kepalanya, memainkan hidungku - dengan hidungnya.

“Hihihi..” ia jadi tertawa sendiri. Pipinya tampak semakin menggemaskan.

Aku hendak mengecup pipi Liz, namun ia menghindar sambil tertawa. Wajahnya tampak bahagia.

“Hahaha.. Jay nakal aah!” ia meronta-ronta saat aku berusaha menyosor pipinya. Dadanya yang bulat bergetar-getar hebat.

Aku berhasil mengecup pipi Liz yang chubby - mengecup sudut bibirnya. Liz berhenti meronta, ia tersenyum manis, sangat manis.

“Aku sayang kamu Liz”

“Aku juga Jay..”

Aku menatap mata Liz dalam-dalam, sebelum ia memejamkan matanya. Aku mengecup bibirnya yang lembut, sangat lembut. Liz menyambut ciumanku, ia melumat bibirku pelan.

“Mmm…”

Aku membelai wajah Liz. Aku mulai merasakan nafasnya memburu di wajahku.

Sesaat kemudian, ciuman yang lembut itu berubah mejadi ciuman yang penuh nafsu. Bibir kami saling melumat dengan ganas.

“Mmmh..”

“Mmmh”

“ohhh.. mm h..

“Lizz.. mmh”

“Jay.. ahhh”

Kami saling meremas, dan saling membelai degan buasnya. Tubuh kami bergesekan dengan liar. Satu persatu penutup tubuh kami berserakan di lantai. Sampai akhirnya hanya terdengar suara nafas kami dan suara kipas angin rongsokan di kamarku.

Aku terbaring telanjang. Liz juga telanjang, sambil menutupi dadanya yang ranum.Kami masih mengatur nafas yang tersengal.


“Yuk..” kataku

“Yuk apa? Liz bingung

“Yuk ML.”

“Hihihi.. kemaren kan bilang gak lagi”

“Yaudah, kalo gitu aku bobok sama Slamet, biar kamu ditemenin sama Kunti..”

“Iiih Jay jahat ah!”

“Hehe..”

“Jay..”

“Apa?”

“Tapi pelan-pelan ya..”

Sip, Lampu hijau menyala! Aku segera mencumbu Liz, dan mendelegasikan beberapa tugas khusus bagi anggota tubuhku.

Berikut ini pembagian tugas-nya:
Tangan kiri: memilin-milin puting kiri Liz.
Mulut dan Lidah: Menghisap puting kanan Liz.
Tangan Kanan: menggobel-gobel vagina Liz.

Liz menggelinjang, menggeliat-geliat tidak karuan.

“Jaaay!! Aaah!!! Jaay!! Nakal kamu!! Aaaaa!” ia menjerit-jerit sejadinya. Duh, alamat besok harus membayari uang tutup mulut ke anak-anak kost, tapi sudahlah.

“Jaay.. jahat.. Jay.. Aaah.. aaah… Aaa!” Liz memeluk tubuhku erat-erat. Wajah Liz yang cantik merona merah, matanya setengah terpejam. Sesaat kemudian tubuhnya berguncang hebat, bergerak liar kesana kemari, sebelum akhirnya terkulai lemas di pelukanku.

“Hh.. ah.. ah.. h..” Liz terengah, tubuhnya dipenuhi keringat. Aku merasakan tangan kananku di basahi oleh lendir Liz, sangat basah.

Ok, sip! Mesin sudah dipanaskan.. Lubrikasi Ok.. saatnya tancap Gas!

Kami berbaring dalam posisi menyamping. Aku memeluknya erat sehingga dadanya yang kenyal menempel pada dadaku, dan penisku menempel di perutnya.

Aku menggerakkan pinggulku, menggesekkan penisku di selangkangan Liz.

“Jay.. umh.. masukin Jay,,” Liz mendesah.

“Siap ya.”

Liz mengangguk.

Aku mendorong pinggulku, mencoba memasukkan batang kejantananku ke dalam vagina Liz. Licin, percobaan pertama gagal. Liz tersenyum, ia membimbing kejantananku memasuki liangnya. Aku mendorong pinggulku lagi. Liz mendesis pelan saat kejantananku pelan memasuki lubang yang sempit itu. Ugh, begitu hangat dan licin.

“Anjrit! sempit banget”

“Gila, besar banget”

Ujar kami hampir berbarengan. Kami berpandangan, sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak.

“Jay..”

“Yah?”

“I love you..”

“I love you too, Liz” Aku mengecup bibirnya.

Tanpa kesepakatan tertulis, kami mulai memompa. Kejantananku bergerak keluar masuk vagina Liz. Dindingnya yang sempit memberikan sensasi geli yang tak terperi.

“Ooooh.. Liz.. “ Aku mati-matian berkonsentrasi agar pertahananku tidak Jebol. Vagina Liz masih sangat rapat! Ibaratnya Handphone, meskipun tidak beli baru, tapi masih dapat garansi toko.

“OHH! Oooh! Ooh!” Liz berteriak-teriak saat kejantananku menghujam liangnya.

“Uuuh Jay.. lebih kenceng lagi..”

“Oh.. Yah? Ok.. umh” aku menaikkan RPM.

“Umh yess.. oh! Oh!” Liz mulai meracau.

“Lizz”

“Uh.. uh..”

“Hmmh..” Liz melumat bibirku, tangannya memeluk leherku erat. Kakinya disilangkan mengunci pahaku.

“MMmh..”

“Mmmhph”

Tubuh telanjang kami berhimpitan, dibasahi peluh. Bergerak liar dalam irama rancak di atas kasur.

Aku benar-benar sudah tidak sanggup lagi menahannya. Aku sudah membayangkan berbagai macam hal menjijikkan agar aku tidak orgasme duluan: dari sukatoro dot com sampai adegan Slamet mahoan sama KW. Namun tidak bisa, vagina Liz terlalu legit.

“Liz! Aku udah mau keluar…”

“Uuh.. uhh.. tunggu sebentar Jay!.. aku bentar lagi.. umh”

“Gak bisa Liz ooh..”

Sesuatu hendak meledak. Aku segera mencabut kejantananku dari liang Liz.

“Oooh! Ooh!” Pinggulku bergerak liar. Cairan lengket menyembur kencang dari ujung penisku, membasahi sprei dan perut Liz.

Aku tergolek lemas, terenggah-enggah dalam pelukan Liz. Di bawah, kejantananku yang belepotan sperma tampak mengendur. Aku memandang wajah Liz yang masih penuh nafsu, tersirat sedikit rasa kecewa di matanya.

“Maaf.. maaf.. habis meki-mu peret banget sih, dari apa sih bahannya? Dari karet yah?”

“Masak sih Jay… Punya mu kali yang..” Liz tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena aku segera menjilati kemaluannya. Ya, aku tidak ingin mengecewakan Liz. Aku harus memuaskannya, meski dengan cara lain.

“Oooh Jay.. Udaah.. gak papaa.. aaah!” Liz mendekap kepalaku.

Aku menjilati Klitoris Liz, sambil menghisap cairannya. Aku menghirup nafas dalam dalam, aroma kewanitaan Liz sangat segar, tidak berbau terasi seperti yang diceritakan Bang Boy dan kawan-kawan.

Tanganku memijat bibir vagina Liz yang tembem, kemudian menyibaknya. Aku menjulurkan lidahku memasuki liang vagina Liz.

“Jaay!! Ngapain kamu?! Aah! Aah!” Liz berteriak histeris. Aku merasakan pinggulnya bergerak liar. Paha Liz memeluk kepalaku, membuatku tidak bisa bernafas. Sesaat kemudian aku merasakan cairan menyemprot deras dari vagina Liz, membasahi wajahku.

“Uhuk! Uhuk!” aku terbatuk-batuk, lalu membersihkan wajahku dengan ujung sprei.

“Hh. H. ha ha. Haha..” Liz tertawa dengan wajahnya yang merah setelah orgasme, seksi sekali.

“Hehehe..” aku juga terkekeh.

“Liz…”

“Apa Jay sayang?”

“Lapar nih..”

“Sama..”

“Cari makan yuk”

“Yuk”

Kami segera berpakaian. Wajahnya tersipu, saat aku memakaikan swaterku pada Liz agar ia tidak kedinginan.

Saat itu hampir jan 12 malam. Jam-jam segitu, dagang makanan yang buka hanya Burjo, Gudeg Basah, McD, dan Circle K. Dua pilihan terakhir dicoret, karena tidak ekonomis bagi mahasiswa di akhir Bulan.

Akhirnya kami makan di Gudeg basah di daerah Jl.Kaliurang. Kami duduk lesehan di tikar sambil menikmati nasi hangat dan potongan nangka manis yang disiram santan. Aku dan Liz saling menyuapi dengan mesra. Ah, senangnya.

Setelah makan , aku memasuki Circle K tidak jauh di sana

“Mau beli Apa?”

“Kondom, kamu mau rasa apa?”

“Iiiih Jay mesum! Liz mencubit lenganku. Aku menghindar dan berlari, kami berkejaran di trotoar yang sepi.

“Jay!”

“Apa?”

“Aku mau rasa duren!”

Celanaku langsung sesak mendengarnya. “Rasa jengkol aja Liz!”

Sebenarnya tanpa embel-embel ML pun aku sudah sangat bahagia bisa bersama Liz. Seperti saat malam berikutnya kami berjalan-jalan ke Alun-alun Kidul Yogyakarta. Di sana banyak disewakan sepeda tandem yang dihiasi dengan lampu LED (Light Emitting Diode) sehingga lapangan itu dipenuhi dengan warna-warni yang indah. Seperti layaknya pasangan baru, kami berjalan dengan bergandengan erat. Liz menyandarkan kepalanya di lenganku, kami berputar-putar mengelilingi tempat itu.

Sampai di tempat yang menjual gula-gula, aku membelikan Liz setangkai gula-gula kapas yang besar. Mata Liz berbinar-binar saat aku menyodorkannya pada Liz.

“Jay.. aku sayang kamu..”

“Aku juga Liz…”

“Jay.. coba kamu nembak aku dari dulu..”

“Iya…”

“Coba kamu nembak aku.. .sebelum Bang Igo..” Liz menyebut nama mantan pacarnya -yang memerawaninya.

“Iya.. maaf ya..”

Liz menempelkan wajahnya di bahuku dan menangis pelan. Selalu begini setiap ‘dia yang tidak boleh di sebut namanya’ itu disebut.

Seperti biasa, pulangnya Liz menginap di Kamarku. Saat ini aku sudah rajin memberi upeti kepada Slamet dkk. Hanya agar mereka tidak comel, dan cerita-cerita bahwa Liz sering menginap di kamarku. Dan bisa ditebak, terjadilah hal-hal yang diinginkan haha.

Baru aku mengunci pintu, Liz sudah menerkamku. Kami bergumul dengan ganas di lantai kamarku. Aku tak habis pikir, tahu-tahu saja aku dan Liz sudah tidak mengenakan apa-apa lagi.

Liz tersenyum nakal, entah apa yang ada di pikirannya.

Tiba-tiba Liz merangkak menciumi perutku. “Liz? Mau apa kamu? Eh.. ooh!” Lidah liz menari di perut bawahku, di atas rambut pubisku. Tangannya yang mungil mengocok kejantananku perlahan.

Liz membuka kondom rasa durian dan memasangnya di batangku.

Liz melirikku, pandangannya sangat sensual. Liz mulai menjilati ujung penisku seperti menjilati es krim. Lidahnya berputar-putar mengelilingi kepala penisku yang bulat seperti helm.

“Ugh.. ohh” aku mendesah.
“Hihihi” Liz tersenyum nakal.

Liz memasukan batang kejantananku kedalam mulutnya, dan menghisapnya pelan. Kemudian Liz menggerakkan kepalanya maju-mundur.

“Ooooh!!” aku melengguh panjang sambil mendekap kepala Liz, mebelai Rambutnya yang pendek. Ah, Liz jago sekali, aku benar-benar merem-melek dibuatnya. Terlebih lagi saat Liz menjilati batangku dari ujung sampai ke pangkal. Sampai di sana, Liz mengemut buah Zakar-ku, bahkan menjilati selangkanganku.

“Oooh! Oo! Ooh!” Aku berteriak seperti orang kesurupan.

“Hehehe” Liz nyengir kuda.

“Hah.. hah.. h.. h..” aku masih mengatur nafasku.

“Siap?” Liz bertanya dengan nada yang sangat nakal.

“Hehe.. siap dong..”

Sip, Battle Start!

Liz mengambil posisi di atasku, berjongkok di atas perutku. Liz mengarahkan kejantananku ke dalam liangnya. Wajahnya menjengit sedikit saat batang kejantananku amblas ditelan vaginanya.

Liz nyengir. Ah, sungguh pemandangan yang kontras: rambut pendek seperti lelaki bersanding dengan tubuh seksi yang berada di atas badanku. Lampu kamarku berpijar temaram menyinari sepasang bundaran pejal yang bulat sempurna, menggantung indah di hadapanku.

Liz tersenyum –manis sekali- sebelum mulai menggerakkan pinggulnya.

“Ummh..” Liz memejamkan matanya, keenakan sendiri.

Vagina Liz masih peret, kali ini aku harus benar-benar mengosongkan pikiranku, agar tidak jebol duluan.

Tangan Liz bertumpu di dadaku. Liz menunduk, wajahnya sudah merona merah. Tetes keringat yang memenuhi wajahnya menetes ke wajahku.

“Jaaay!! Oooh”

“Ummh..”

“Oooh ooh!” Liz merintih-rintih sambil menungggangiku dengan Liar. Aku bisa melihat wajahnya yang merona merah terbakar oleh birahi.

“Ush ooh.. Jay”

“Jaaay!! Kamu kuat banget siih..”

Liz, tidak tahu padahal aku sudah ngecrot beberapa detik yang lalu.

“Aaah? kenapa?”

“Oooh oooh! Ooooo!” Liz berteriak panjang sebelum tubuhnya melengkung kebelakang. Sepasang dadanya membusung. Liz mengangkat tangannya ke belakang kepalanya. Piinggulnya bergerak liar –seperti di luar kendalinya-.

Akhirnya Liz ambruk di dadaku. Payudaranya yang kenyal terhimpit di antara tubuh telanjang kami. Liz terenggah-enggah sambil memelukku. Aku mengecup pipinya yang basah oleh keringat.

“Kamu.. h..h.. Jago banget sih Jay”

“Heheh.. h.. he“ aku hanya tersenyum sebelum mengecup bibirnya.

Lama kami berpelukan, sambil saling membelai.

“Jay, ngobrol di tempat lain yuk.”

“ “Hah? Memang mau kemana?”

“Aku pengin ngobrol-ngobrol aja, kalau di kamar tar jadinya yang aneh-aneh hehe”

“Hehehe”

Kali ini, aku mendapat ide yang bagus.

Aku mengambil gitar bolong murahan dari atas lemariku. Aku mengajaknya naik ke lantai 3 yang tak beratap - yang digunakan sebagai tempat jemuran - rooftop istilah kerennya.

“Yang romantis dikit napa lagunya?” kata Liz saat aku memainkan lagu ‘Iwak Peyek’.

Akhirnya aku memainkan lagu-lagu lama saja, seperti lagunya Barry Mannilow, The Carpenters, sampai Eric Clapton.

“Kamu ternyata jago juga maen gitar..” kata Liz.

“Hehe.. masa sih?”

“Iya, suaranya bagus lagi.” Liz memujiku.

Aku salah tingkah mendengarnya. Slamet dan teman-temanku memang mengatakan suaraku mirip John Mayer, tapi dengan logat ngapak.

Liz senyum-senyum melihatku yang salah tingkah. Ah, wajahnya cantik sekali.

Aku memandangi mata Liz lekat-lekat, meraih dagunya. Mata Liz terpejam, aku mengecup bibirnya. Lembut, sangat lembut.

Malam itu, aku dan Liz memandangi langit Jogja yang tak berawan. Milyaran bintang berkelap-kelip dengan indah di tengah belantara semesta. Liz bersandar di pundakku, ia tersenyum. Indah, jauh lebih indah dari semua bintang itu. Aku menghela nafas, belum pernah aku sebahagia ini.

“Liz, aku cinta kamu..” tanpa sadar, kata-kata ini keluar dari mulutku.

“Aku juga..”

“Pengin deh, kayak gini terus..” kataku sambil memandangi wajah Liz dengan latar belakang bintang-bintang.

“Iya.” Jawab Liz sambil tersenyum

“Pengen deh, punya istri kayak kamu.”

Ya, dalam imaji-ku terkilas bayangan tentang aku, Liz dan anak-anak kami.

Liz terdiam, lama. Suasana mulai tidak enak.

“Liz?”

“Jay.. Aku… takut ngecewain kamu…” kata Liz akhirnya.

“Takut ngecewain… kenapa?”

“Sebenernya..”

“Sebenernya, dulu kamu cowok? Wah gawat!” aku mencoba melucu, untuk mencairkan suasana.

“Aku serius nie!” Nadanya terdengar tidak senang. “Jay,.. kamu sebaiknya jangan terlalu berharap.”

Perih, mendengar jawabannya.

“Aku.. aku.. huk.. sebenarnya sayaaang banget sama kamu.. tapi.. tapi… huk huk..!” Liz malah menangis sesengukan.

Aku mendekapnya. Sekali lagi, Liz menangis dalam pelukanku. Mencurahkan segala rasa sakit yang ada di hatinya.

Aku tahu, jauh di relung hati Liz tersimpan pilu yang sangat. Sembilu yang teramat, karena dikhianati oleh orang yang pernah dicintainya.

“Sampai kapan kamu mau kaya gini?”

Liz tetap menangis, aku membelai rambutnya.

Sudahlah, aku tidak akan memaksanya lagi. Mungkin belum saatnya. Lama aku memeluknya sampai ia berhenti menangis. Ia terdiam, lama. Aku pun diam saja, bingung harus berkata apa lagi.

Malam semakin dingin.

Karena suasana tidak enak, aku berinisiatif memainkan gitar, menyanyikan lagu untuk Liz.

“Akademia jogja, Lagu berikut ini dikirim dari Jay buat TTM-nya tersayang.” kataku memberi preambule, meniru penyiar Radio ternama di Jogja.

Aku melirik Liz, ada senyum di sudut bibirnya yang tadinya mewek.

Jariku bergerak lincah pada fret-fret gitar, memainkan intro lagu “Time Like These” dari Foo Fighters. Temponya lambat, jauh lebih lambat dari versi full band-nya.

“I.. I am a one way motorway… I'm the road that drives away.. Then follows you back home…” Suaraku mengalun pelan, lirih.

“It's times like these you learn to live again…
It's times like these you give and give again…
It's times like these you learn to love again…
It's times like these time and time again…

Pada bagian refrain pertama, suaraku begitu rendah. Mengulang-ulang kata “It's times like these” seperti mantra.

Liz menutup mulutnya seperti hendak menangis.

I… I am a new day rising!
I'm a brand new sky!
To hang the stars upon tonight
!”
Aku menekankan intonasi pada kata ‘new day’ dan ‘brand new sky’. Ya, aku ingin menjadi hari yang baru, aku ingin menjadi langit yang baru bagi Liz!

Tempo kocokan gitarku semakin cepat.

“It's times like these you learn to live again!
It's times like these you give and give again
!”
Pada refrain kedua, suaraku seperti setengah berteriak. Mengeluarkan segala emosi dari dalam dadaku.
It's times like these you learn to love again!
It's times like these time and time again
!”
Aku begitu emosional menyanyikan bagian ini, sampai-sampai bulu kudukku merinding.

Liz sesengukan lagi, ia menutup mulutnya.
“Kamu jahat Jay..”
“Hah?” aku bingung.
“Kamu jahat… kamu… kamu… huk.. huk..”

Aku meletakkan gitarku, dan memeluk Liz erat-erat. Mulai saat ini aku bersumpah akan mengobati luka di hatinya.

Ya, aku akan menjadi hari yang baru, aku akan menjadi langit yang baru bagi Liz!

Bersambung
To Be Continued
 
Terakhir diubah:

Nostalgia #3 :
CINTA CENAT-CENUT


Waktu itu sedang musim kemarau, sudah lama hujan tidak turun di Jogja. Matahari yang menyengat, membuat suasana menjadi gerah minta ampun, namun bagiku semua itu terasa menyenangkan dengan Liz di sisiku. Terlebih lagi dengan tulisan “Adipati Jaya Mahardika is now in relationship with: Eliza Mayarani” di halaman Faceook-ku, membuat musim kemarau ini terasa begitu sejuk. Status Jomblo kronis sirna sudah.

Selepas kuliah yang membosankan, aku dan Liz berjalan bergandengan menuju kantin dengan riang. Hari itu aku merasa sangat bahagia, aku merasa orang-orang ikut menari dan bernyanyi bersama kami.

<On screen: bunga-bunga yang mekar>
<irama Swing terdengar>
<Orang-orang melakukan flash mob, menari bersama seperti Broadway>

For once in my life
I've got someone who needs me
Someone I've needed so long

For once unafraid
I can go where life leads me
And somehow I know I'll be strong

For once I can touch
What my heart used to dream of
Long before I knew
Someone warm like you
Could make my dream come true


“Sayang..”

“Iii, apa sih di kampus pakai sayang-sayang.. malu tahu.. hehe” wajah Liz tersipu-sipu.

“Iya, iya.. hehe”

Aku dan Liz makan di Kantin, di tempat kami biasa makan siang selama ini. Namun kali ini ada yang berbeda, sebab dia sekarang dia resmi berstatus pacarku.

Saat ini Liz kembali mengenakan baju yang feminim dan berdandan. Ditambah lagi dengan potongan rambutnya yang pendek seperti lelaki, sungguh kontradiksi yang sangat adiktif, begitu seksi! Ugh, Liz benar-benar Emma Watson versi Indonesia.

Sambil menunggu pesanan datang. Aku iseng-iseng melipat tissue makan menjadi bunga.

“Bunga buat tuan putri…”

“So sweet banget..”

“Ya iyalah, Ajay: tampang gorilla hati Raisa”

“Hahaha kamu lucu banget sih Jay!”

Aku cuma nyengar-nyengir dipuji begitu.

Lama pesanan kami tak datang. Liz tampak heran melihat aku yang seperti mencari sesuatu.

“Nyari apa sih Jay?” Liz bingung melihatku merogoh kantung baju dan celana.

“Gawat!”

“Apa Jay? Ada yang hilang?”

“Hatiku, kamu yang ambil yah? Hehe”

“Iiii gombaaaal!” Wajah Liz tersipu dan merona merah.

Akhirnya pesanan kami datang, lotek dan gado-gado tanpa ketupat.

“Seneng deh jadi pacar kamu..”

“Huu, sama yang dulu juga pasti bilang gitu..” godaku.

“Iiih! Kamu kok gitu sih Jay? Enggak kok Jay.. enggak salah lagi hehe”

“ Weits, liat aja, tar kalau ketemu Bang Igo pasti salah tingkah.”

Ternyata yang kukatakan menjadi kenyataan. Saat hendak kembali ke ruang kuliah, Kami berpapasan dengan Bang Igo, ia sedang bergandengan tangan dengan Mbak Nia, seniorku juga. Liz tampak agak panik bertemu dengan mantan pacarnya.

“Jay! Rangkul aku cepetan!”

“Hah? Ngapain?” aku sebenarnya kurang suka dengan hal ini.

“Udaaah.. cepeet!”

Akhirnya aku merangkul Liz di depan Bang Igo. Ia tampak cuek saja, sementara Liz sendiri salah tingkah.

“Liz, aku gak suka caramu.” kataku kemudian.

“Maaf Jay.. bukan maksud aku..”

“Udaah.. ah.. kenapa sih kamu gak bisa lupain dia?!”

Terus terang, aku tidak menyukai sifat wanita yang satu ini. Sampai sekarangpun aku tidak bisa menalarnya. “Ex-Boyfriend Rivalry Syndrome” begitu aku menyebutnya. Kita ambil contoh: melihat Anang dan Ashanty menikah, Syahrini buru-buru tunangan sama Bubu. Begitu juga Ayu Dewi, yang langsung pamer pacar begitu tahu Zumi Zola mau lamaran. Okky Agustina kemarIn juga begitu, ah pokoknya banyak deh! (Wkwkwkw, kelihatan banget kebanyakan nonton infotaiment). Bukan kenapa-kenapa, menurutku hal ini hanya menjadikan orang-orang seperti Bubu –dan aku- sebagai pelampiasan semata.

“Terlalu sadis caramu.. menjadikan diriku.. pelampiasan cintamu.. agar dia kembali padamu.. tanpa peduli sakitnya aku.. du du duuu…” aku menyanyikan lagu dari Afgan untuk menyindir Liz. Agak kekanakan memang.

Alhasil, hari itu kami bertengkar hebat.

Liz ngambek berjalan meninggalkanku. Aku berpikir: kalau dia menoleh, aku akan mengejarnya. Namun, sampai ujung koridor dia tak menoleh juga.

Suram, padahal hari itu hari terakhir kuliah karena besok sudah long weekend gara-gara hari kamis dan jum’at ada libur nasional.

Malamnya aku nongkrong sendirian sambil membaca ulang komik Naruto volume 1-20 yang kusewa dari penyewaan komik dekat kost. Lumayan, buat menemani long weekend yang sepi karena Liz masih ngambek.

Aku sudah membaca 10 Jilid, namun aku merasa ada yang hilang di hatiku. Malam itu aku merasa kamarku begitu sepi, padahal di sebelah, Slamet sedang memutar lagu Eny Sagita keras-keras. “Aseloley!” teriak Slamet.

Sebenarnya aku ingin menghubungi Liz. Tapi, Sorry lah ya, gengsi! Biar Liz yang SMS duluan. Toh, tadi dia yang salah!

Tak terasa aku sudah membaca 17 Jilid. Aku menghela nafas, dadaku semakin sesak. Kontolku ngaceng ga karuan. Aku sakaw!

Kadang-kadang cinta mengalahkan ego, kawan. Akhirnya aku sms Liz duluan.

“L1z, 6y Ng4pZ?” begitu bunyi SMS ku.

Tak ada balasan.

“L1z, dH m4m?”

Tak ada balasan.

“S1h mRh e4?”

Tak ada balasan.

“mUPn Q e4”

Tak ada balasan.

“L1z, Q tH q 4l@y”

Tak ada balasan.

Aku telpon Liz, “Pulsa anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan ini…” Suram.

Akhirnya aku memutuskan untuk langsung pergi ke kost-an Liz. Agar lebih mantap, aku menyempatkan diri membeli bunga.

Aku memacu motor bututku sampai di deretan toko bunga di Jl. Achmad Jazuli, Kotabaru.

“Mas yang ini berapa?” kataku menunjuk mawar merah.

“Rp. 3000 setangkai, mau cari berapa tangkai?”

“Wah, murah banget. Cinta saya gak murahan, mas! yang ini berapa?” aku menunjuk mawar putih.

“Rp. 5000 ” jawabnya dingin.

“Nah, ini baru berkelas. 16 tangkai ya mas, gak pakai lama!” Liz lahir tanggal 16 November.

“Ya.. ”

Mas dagang bunga itu pun merangkainya menjadi buket yang indah.

“Ya elah mas, masa durinya ga dipotong? Cinta saya ga berduri, mas!” protesku. Mas Mas dagang bunga itu pun memotong durinya dengan wajah
kesal. Kok ada orang cerewet kaya gini, mungkin begitu pikirnya

Aku membuka dompetku. Aku menemukan hanya selembar uang merah. Aku lupa, uangku sudah habis kupakai menyewa komik.

“Eng.. satu tangkai aja deh mas..” kataku sambil garuk-garuk kepala.

Wajah Mas dagang bunga merengut.

“Eh,mawar merah aja mas, yang 3000an…”

Wajah Mas dagang bunga tambah merengut.

“Tapi pilihin yang paling bagus! Biar murah, cinta saya gak murahan mas!”

Wajah Mas dagang bunga tambah merengut lagi.

Gak pakai lama aku langsung kabur dari tempat itu, meluncur ke kost-an Liz.

Sampai lampu merah di depan Mirota Kampus, jalanan agak macet karena akhir pekan. Aku bisa dengan jelas melihat orang-orang yang sedang makan di KFC di seberang jalan.

Jantungku seperti berhenti berdetak. Liz dan Bang Igo sedang suap-suapan di sana!

“Tidaaaaaaaak!!”

Mawar merah itu jatuh di atas aspal.


<close up: wajah Jay yang mewek>
<musik terdengar>

Engkaulah yang pertama,
menjadi cinta,
tinggallah kenangan
Berakhir lewat bunga,
seluruh cintaku,
untuknya

Bunga terakhir….
ku persembahkan kepada, yang terindah,
sebagai suatu tanda cinta untuknya

Bunga terakhir…
menjadi satu kenangan, yang tersimpan,
tak ‘kan pernah hilang ‘tuk selamanya…


<layar fade out to black>

Tamat
The End


<ending credit bergulir>

[Editor :!
Ane
: apa?
Editor : maksudnya apaan nih?!
Ane: tamat
Editor ane: tamat gundulmu! nulis cerita yang bener dong! Ente mau ditimpukin bata sama orang satu kampung?
Ane: Huh, gak bisa diajak becanda!


Eh, setelah kuperhatikan lebih dekat lagi, ternyata mereka dua orang cowok. Yang satunya tipikal ‘cowok cantik’, rambutnya dipotong mirip Liz. Dan yang satunya brewokan mirip Bang Igo.

Aku memungut kembali mawar yang jatuh. Sepertinya aku sudah mulai sakaw akan meki-nya Liz, sampai-sampai berhalusinasi. Sekilas kulihat mereka –dua cowok itu- bercanda mesra. Aku bingung, kenapa akhir-akhir ini di Jogja semakin banyak orang-orang ‘seperti itu’.

Tak seberapa lama, aku sudah berdiri dengan kikuk di depan kost Liz.

“Permisi… misi per…” aku mengetuk pintu. Pintu terbuka. “Eliza ada..?” kataku pada ibu kost Liz.

Deg-degan aku menunggu. Tak lama kemudian, Liz keluar dengan handuk di kepalanya. Ia baru saja mandi.

“Eh, Jay.. apa? Ngapain kamu ke sini?” ia sepertinya masih bete.

“Eng eh.. anu.. ini.. buat kamu..” aku menyerahkan bunga pada Liz.

“Apa nih? Sogokan ceritanya?” Liz mengambil mawar itu.

“Eng.. iya.. eh Liz.. jangan cemberut dong..”

“Emang kenapa?”

“Kalau senyum cantiknya gak kalah sama bunga mawar lho.”

Liz tidak bisa menahan senyum di bibirnya. Ia menonjokku pelan.

“Hahaha.. kamu tuuu…” ia mencubit pipiku gemas.

“Hehe.. Liz dah makan lum? Makan yuk..”

“Yuk.. Aku ganti baju dulu ya” liz hendak berbalik.

“Eh Liz!”

“Apa?”

“Nanti makannya jangan yang mahal-mahal ya!”

Sudah tanggal tua, di dompetku hanya ada uang Rp.6000, tadi habis buat beli bunga + dipalak tukang parkir.

“Huu.. mahasiswa kere..” Liz menjulurkan lidahnya. “Btw, makasih bunganya yaa” Liz mencium kelopak bunga sambil tersenyum, cantik sekali.

Malam itu Liz mengenakan Coat lengan panjang warna abu-abu. Coat itu cukup panjang sampai menutupi atas lututnya. Ah, Liz memang benar-benar bidadari.

“Yuk, my prince..” kata Liz,

“At your service, my lady..” kataku sambil membungkuk.

Akhirnya aku dan Liz makan Nasi Goreng dekat kampus. Aku memesan yang paling murah, nasi goreng telur, sepiringnya Rp. 6000. Yah masih dalam budget lah, nanti parkir biar Liz yang bayar.

“Tadi kamu SMS ya..? maaf ya Jay, aku lagi mandi..”

“Iya..”

“Kamu kok repot-repot beli bunga siii.. padahal kan lagi kere.. udah, nanti aku aja yang bayar makanannya.”

“Yaah..”

“Kenapa? Santai aja kali..”

“Yaaah, tahu gitu aku pesan nasi goreng seafood yang paling mahal sekalian!”

“Hahaha.. dasar kere!!” Liz tertawa terbahak-bahak sampai nasi goreng berhamburan dari mulutnya.

Aku menyeruput air putih+es batu dari gelasku.

“Liz..” kataku kemudian.

“Apa?

“Aku kangen kamu..” kataku.

“Aku juga..”

“Maafin aku ya.. sudah kekanak-kanakan..” sekali lagi, cinta telah mengalahkan ego sodara-sodara.

“Maafin aku juga yah Jay..”

Kami terdiam.

“Kita jangan berantem lagi yaa..”

“Iyaa..”

“Aku sayang kamu–“

“-aku sayang kamu”

Ujar kami hampir berbarengan, flip-flop. Kami berpandangan, sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak. Nasi goreng berhamburan dari mulut kami.

“Liz, tahu gak sih tadi aku lihat dua orang cowok lagi suap-suapan…” kataku kemudian.

“Te… rus?”

Duh, gak mungkin aku bilang dia mirip Liz dan Bang Igo. “Enggak, enggak kenapa-kenapa hehe..”

“Kangen dengan masa lalu? Kan udah ada aku di sini..” Liz menyuapkan nasi goreng ke mulutku.

“Hehe..” aku tersenyum kecut.

Setelah makan, Aku memacu motorku mengelilingi jalanan kota Jogja yang macet dipenuhi kendaraan dengan plat Luar kota, maklum sedang long weekend. Aku mengajak Liz duduk-duduk di depan Benteng Vredeburg, sambil berfoto-foto berdua layaknya pasangan alay.

“Habis ini kemana?” tanya Liz.

“Ke kostku yuk..” jawabku

“Hah ngapain?”

“Hehe..” aku tersenyum mesum.

“Nggak ah, bosen…” Hiks sepertinya Liz memang mulai bosan denganku. “Harus ada variasinya haha” katanya lagi.

“What is your maksud?” aku bingung.

Setelah membayar, aku mengantar Liz mengambil sesuatu di kostnya –tas ransel-. Sesampainya dikamarku ia mengeluarkan isinya di atas kasurku.

“Astaga!! Sakit ente Liz! Dapat dari mana barang-barang kayak gini?!!” aku histeris.

Lututku bergetar melihat barang-barang yang ada di atas kasurku: Topeng bulu warna hitam, borgol, lakban, cambuk, satu set lilin, dan penis buatan.

“Dari Grace hehe.”

Hah, ternyata Grace punya hobby aneh kaya gini!

“Ini… ini… mau diapaiiiin..” Suaraku bergetar sambil memegang penis buatan itu. Aku salah menekan tombol dan benda itu mulai bergerak liar.

“Adaaa dehh” Liz tersenyum nakal.

“Aku… aku gak ikut-ikut deh…”

“Kamu yakin?” Liz menatapku nakal.

“Hah?”

“kamu Y-A-K-I-N?”

Aku menahan nafas ketika Liz pelan-pelan membuka kancing coat-nya satu persatu dalam gerak slow motion. Tubuh Liz, atau apa yang ada di balik coat itu muncul sepotong-sepotong seperti potongan misteri dalam novel Sir Arthur Conan Doyle.

Sesaat kemudian coat itu sudah tergeletak di lantai.

Mataku tak berkedip melihat badan Liz yang seksi terbungkus lingerie warna hitam ketat dari bahan kulit sintetis yang mengkilat. Lingerie itu berbentuk bustier yang menutupi dadanya dengan ketat, sehingga payudara Liz tampak tumpah ruah ke atas. Di bagian perutnya bustier tersebut menyebar menjadi tali-tali berbentuk jala yang menutupi perut Liz yang ramping, melingkar di pinggulnya, kemudian menahan selembar kain kecil yang menutupi area pubisnya. Kecil sekali, sehingga bulu kemaluan Liz... ah, rupanya Liz sudah mencukur rambut pubisnya. Aku menelan ludah, belum pernah aku melihatnya seseksi ini.

“Itu… juga.. punya Grace…?”

“Enak aja, ini punyaku tahu!”

Sesaat kemudian Liz sudah melumat bibirku. Pelan-pelan ciumannya turun ke leherku, dan menjelajah sampai putingku.

Liz seperti Nephentes yang memikatku -seekor lalat yang malang- sehingga jatuh dalam perangkapnya. Tanpa sadar, satu persatu pakaianku terlepas, berserakan di lantai. Tahu-tahu aku sudah telanjang bulat, tanganku terborgol di kaki meja belajarku. Aku meronta, namun Liz segera duduk di atas perutku. Liz mengecup bibirku, sebelum menjilati leher dan belakang telingaku. Tubuhku terasa lemas, aku merasa seperti domba yang pasrah sebelum disembelih.

“Jay, kamu tenang aja sayang..” Kata liz sambil menyentuh bibirku.

“I…iya… glek…” aku menelan ludah.

Liz kembali malumat bibirku, kali ini lebih buas dan lebih ganas dari sebelumnya, ciumannya turun perlahan menyusuri garis tengah badanku.

“Aaaah..Lizz! aw! aw! Aw! Aw! Aw! aw!” aku berteriak-teriak kegelian saat lidah Liz menari-nari di perut-bawahku.

“hehe.. wah teriakannya mantep banget sih? Kayak iklan minuman aja.” kata Liz.

Liz bangkit, dan menyalakan lampu belajarku. Lampu kamar kemudian dimatikannya, sehingga kamarku hanya dipenuhi cahaya yang temaram.

Liz berdiri di atasku, mengenakan topeng dan membawa cambuk. Cahaya lampu belajar berpijar menimpa lekuk tubuhnya yang dibungkus pakaian Spandex ketat. Dengan potongan rambutnya yang pendek, Liz sungguh cantik bagaikan seorang dewi – Dewi Kematian-.

Aku menelan ludah melihat Liz yang berpakaian bak Dominatrix. Aku memang seringkali menonton bokep BDSM, namun aku tak menyangka akan mengalaminya sendiri.

“Plakkk!!” sabetan cambuk mendarat di dadaku.

“Apa lo liat-liat?!”

“Aduuuh!! Liz?! Anjrit! Sakit tahu!”

“Liz? Siapa itu Liz? Panggil aku Tuan Putri!” Liz sepertinya benar-benar menghayati perannya.

“Plak!! Plakk!! Plak!!!

“Tega ente Liz! Aduuh!” Aku meronta, namun tanganku terikat borgol.

“Plak!! Ctar!! Ctar!!”

Liz sangat menikmati ini.

“Met! Slamet!! Tolongin ane met!! KW!! Toloong!!” aku berteriak memanggil tetangga kost-ku, namun Liz dengan sigap membekap mulutku, dan menyumpalnya dengan lakban.

“MMMH!!” aku histeris, aku menatap nanar ke arah Liz, memohon belas kasihannya.

Liz punya belas kasihan, namun ‘Tuan Putri Dominatrix’ ini tidak. Berkali-kali ia menyabetkan cambuknya ke atas tubuhku yang telanjang. Rasa sakit dan perih memicu sekresi hormon adrenalin ke dalam aliran darahku, dan meningkatkan frekuensi nafas dan denyut nadiku.

“Ctar! Ctarr!” lecutan cambuk mendarat di atas kemaluanku yang menegang. Konsentrasi adrenalin yang tinggi di darahku menimbulkan efek anestesi yang menakjubkan. Rasa perih yang semula kuarasakan berganti dengan rasa banal yang nikmat.

“Diam!!”

“Plak!!”

“Ummh hhit mhee!” ah, sepertinya aku terlarut dalam permainan Liz.

“Apa?!! Ngomong yang jelas!!”

“Ctarr!!”

“Ummmh! Yhhess!”

Suram, lama-lama aku ikutan sakit jiwa nih.

Liz menyalakan lilin. Keringat dingnku mengucur. Aku sering menonton bokep BDSM, dan tahu ini akan menuju ke mana.

Liz mendekatkan lilin itu ke wajahku. Pupilku bergerak mengikuti nyala api yang-menari-nari.

“Darah itu merah! Jenderal!” teriak Liz.

“Mmmmh!”

“Lilin ini panas! Jenderal! Seperti gairah!”

Ya elah, semua orang juga tahu lilin panas, es lilin baru dingin.

Liz meneteskan tetesan lilin cair ke atas dadaku yang berbulu. Panas! Lilin itu panas! Jenderal! Aku meronta tidak karuan, namun Liz menjambak rambutku.

“Mmmmh!! Mmmh!!!” air mataku sudah menetes.

Liz tetap meneteskan cairan panas itu. Kali ini sepertinya Liz khilaf, ia terlalu dekat mengarahkan lilin yang menyala itu ke dadaku. Apinya mengenai bulu dadaku yang lebat dan dipenuhi lilin. Kontan api membakar bulu dadaku. Ya, api menyala di dadaku! Dalam arti yang sebenarnya. Aku histeris. Liz panik dan menepuk-nepuk dadaku untuk memadamkan api.

“Hehe” ia cuma nyengir tanpa rasa bersalah.

Aku menatap sedih ke arah bulu dadaku yang indah, kini gosong sebagian.

Liz memasang caps pada penisku, kemudian mengangkang di atas perutku. “Diam kamu! Lonte!” Liz mendorong tubuhku kasar, sebelum memasukkan penisku ke dalam vaginanya.

“Mmmh.. harder!! You, fuck!” Lizz berteriak-teriak sambil memompa pinggulnya.

Liz mengunggangiku seperti kesetanan, jika tidak mau dibilang memperkosaku. Pinggulnya bergerak dengan kasar senada dengan kata-kata kasar yang dikeluarkanya.

“Plak!! Plak!!” Sekali dua kali tamparan mendarat di pipiku. Rasa sakit yang kurasakan sebelumnya, ditambah dengan jepitan vagina Liz yang peret menimbulkan sensasi kenikmatan yang tak terperi.

“Ooooh!! Ohh! Damn! You bastard!!!” Liz berteriak-tidak jelas.

“Mmmh mmmh” aku merem-melek keenakan.

“Plak!!” tamparan mendarat di pipiku

“Shut up! You son a bitch!”

“Mmmh Yhess hhit mhe!”

“Plak!!!”

“Ooooh! Oooh!!”

Liz begitu menikmati permainan ini. Liz menggerakkan pinggulnya seperti kesurupan. Keringat sudah membasahi wajahnya yang secantik bidadari –bidadari dari neraka-.

“Mmmh.. mmmh..”

“Plak!”

“Oooh!! Oooh!!” Liz menjerit-jerit.

Tangan Liz menjangkau penis buatan –dildo- dan menyalakannya. Dildo itu bergetar hebat. Liz menyeringai dengan sadis ke arahku. Aku menatapnya nanar, memohon belas kasihan, aku tahu apa yang akan dilakukannya.

“Mmmmh aaaamh!!!” aku berteriak, mataku melotot saat Liz memasukkan dildo itu ke dalam anusku. Perih! Penderitaan itu perih! Jenderal! Aku tak pernah paham kenapa sebagian orang menyukai anal sex.

Liz kembali menggoyang pinggulnya. Mekinya yang peret kembali memijat-mijat penisku. Kenikmatan yang kudapat dari bagian depan tubuhku, dan rasa perih yang kudapat dari bagian belakang tubuhku menimbulkan suatu keseimbangan yang harmonis seperti yin dan yang.

“Mmmmh! Mmm!” wajahku sudah terbakar nafsu.

“Yeah?! You enjoy it? Fuck?”

“Ummmh yeess.. ooh..” mataku setengah terpejam.

“Plak!”

“Then do it harder!! Motherfucker!!”

“Plak! Plak!!”

Liz semakin liar menunggagiku. Aku tahu, di balik topeng yang dikenakannya itu Liz juga sudah dipenuhi birahi yang memuncak.

“Ooooh.. ooooh! Fuck me! Ooh!”

Liz semakin terbawa suasana, tiba-tiba ia mencekikku..

“Mmmh Lhhiz? Jhangan!”

Liz malah mempererat cekikannya di leherku

“Ooooh oooh!!” teriakan Liz semakin kencang seperti cekikannya. Selamat tinggal dunia.

Aku tidak bisa bernafas. Otakku kekurangan oksigen. Aku pernah membaca dalam suatu jurnal kesehatan: bahwa kondisi di mana sel otak kekurangan oksigen, malah akan menimbulkan rangsangan seksual. Mungkin hal ini yang menyebabkan kenapa pada mayat orang gantung diri ditemukan bercak sperma, dan aktor David Caradine mati saat mencoba mengikat dirinya sendiri demi memperoleh kepuasan seksual.

(peringatan pemerintah: jangan dicoba please, penulis tidak bertanggung jawab kalau kalian kenapa-kenapa)

Pandanganku mengabur, kepalaku terasa ringan. Sesaat kemudian aku merasa melayang, tubuhku bergetar-getar hebat diluar kendaliku.

“Ooooh JAAAY!!” Liz berteriak, sebelum memelukku. Aku merasakan tubuhnya juga bergetar hebat.

Tubuhku mengejang, tubuh liz mengejang. Tubuh kami menggelinjang bersama. Untuk sesaat, aku seperti tidak sedang berada di bumi.

Saat kesadaranku pulih, aku merasakan tubuh Liz yang rebah di atas tubuhku yang masih terasa cenat-cenut. Yah, begitulah cinta, cenat-cenut namun indah.

“Hehehe..” Liz tertawa, agaknya dia sudah kembali menjadi dirinya.

“Mmmh.. mmmh..” Liz melepas lakban yang menutup bibirku, dan mengecup bibirku.

“Asyik kan?” kata Liz.

“Hehe.. belajar dari mana sih?”

“Dari bokep-nya Grace”


“Suram, jangan sering-sering ya.. bisa jebol pantat ane.”

“Huu! Kayak dulu gak pernah anal aja..”

Hah? Ternyata Liz masih menganggapku ex-homo.

“Iyaa.. sebulan sekali deh..” katanya lagi.

“Iya.. iya.. bulan depan kamu yang diiket ya” kataku.

“Huu..” Liz menjulurkan lidahnya

Liz masih terbaring di atas tubuhku, sambil membelai-belai bulu dadaku yang gosong.

“Jay.. gawat..” kata Liz tba-tiba.

“Apa?”

“Kunci borgolnya ketinggalan di kost!”

“Ya elah, tega kamu liz..”

“Hehehe… bentar ya” Liz segera berlari ke luar kamar.

“Liz!”

“Apa?”

“Bajunya dipake dulu!”

“Oh!”

“Topeng ma pecutnya ditaruh dulu!”

Sementara Slamet lewat depan kamarku, memandangi Liz yang berpenampilan seperti dominatrix dengan tatapan aneh. Sementara aku terikat dalam kondisi telanjang dengan dildo yang masih menancap di anus. Sesaat kemudian, aku mendengar pintu kamarnya dibanting.

Semenjak saat itu, aku dan Liz kapok melakukan eksperimen yang aneh-aneh lagi.


*******************​

Keesokan harinya.

Aku berjalan dengan pincang sambil menggotong-gotong tumpukan kertas. Pantatku masih perih, sehingga agak sulit berjalan.

“Tar sore mau jalan-jalan ke mana nih?” Liz bertanya sambil mengguncang tubuhku dengan riang.

“A.. da.. deh…” kataku sambil memasukkan paper dan makalah yang sudah tidak terpakai ke dalam kardus. “Bantuin dulu napa?”

“Hehehe.. iya… iyaa…” Liz mencubit pipiku. “Ini dimasukin juga ga?” Liz mengacungkan majalah Playboy Indonesia edisi pertama bercover Andhara Early.

“Jangan! Edisi langka tu! Dah ga ada yang jual!” aku merebut majalah terbitan tahun 2006 itu.

Tak lama kemudian seorang laki-laki datang dengan mengendarai motor. Setelah menimbang tumpukan kertas dalam kardus, ia memberikan dua lembar uang biru kepadaku.

“Lumayan.. buat nambah-nambah APBN.” Kataku sambil mengipas-ngipas uang hasil penjualan kertas bekas itu.

“Haduh.. haduh.. susah punya pacar KEREN, tapi huruh’N’ nya diilangin ahaha”

“Haha..” aku menyosor pipi Liz, ia menghindar sambil tertawa-tawa. Ah, long weekend ini sepertinya akan menjadi hari yang indah.


Bersambung
To Be Continued


 
Terakhir diubah:
Eh dihadirkan kembali nih subes?

Hadir dalam pantauan nostalgila

Aku udh baca belum yaa yg versi awal ini.. Kok aku agak asing dengan lapaknya..
Aku dulu suka baca di yang biru2 atau ungu itu yaa.. Blogsprot.. hekekek
 
Eh dihadirkan kembali nih subes?

Hadir dalam pantauan nostalgila

Aku udh baca belum yaa yg versi awal ini.. Kok aku agak asing dengan lapaknya..
Aku dulu suka baca di yang biru2 atau ungu itu yaa.. Blogsprot.. hekekek
ho-oh, baru nemu tadi pagi file-nya....

kalau main di SF cerpan forum k*ucil /b*18 sekitar tahun 2011/2012, seharusnya ada....

yg di blogsport saya ga tahu .... mungkin aja di-repost ma orang....
 
Salam sukses untuk Suhu JP .
semoga Suhu selalu diberikan kesehatan dan di mudahkan semua urusannya.
 
Salam sukses untuk Suhu JP .
semoga Suhu selalu diberikan kesehatan dan di mudahkan semua urusannya.
terima kasih gan.... semoga lancar lah urusan kita semua....a
Akhirnya subes @Jaya Suporno hadir lagi terima kasih suhu salam sehat:ampun:
salam gan.... sudah dua tahun nih kagak nulis.... sibuk ngegame....
ini diedit ulang apa masih aslinya suhu @Jaya Suporno ?
ini malah versi asli 2011.... ejaannya masih banyak salah.... paling ane edit spasinya doang neh... dan hapus-hapusin kalau ada nyebut nama pejabat dll.... takut
 
“Ahh! Aah!!”

“Oooh! Oooh!”

“Mmmh.. mhh…”

“Oooh! Oooh! Jaay!!!”

“Liz.. ooh… ohhh”

Dua tubuh telanjang bergulat di atas ranjang, saling mencumbu dalam birahi yang purba. Peluh yang membasahi tubuh kami membuatnya berkilat-kilat ditimpa cahaya lampu yang temaram.

Wajah Liz yang cantik tampak merona merah, matanya setengah terpejam, sementara bibirnya yang tipis mendesis menikmati setiap cumbuan yang kuberikan.

Aku melumat bibir tipis itu sembari memompa pinggulku dengan penuh gairah. Penisku menghujam vagina Liz yang sempit –benar benar sempit- membuatku tidak bisa bertahan lebih lama lagi.

“Ummh Liiz.. aku udah mau keluarr..”

“Tahan Jay.. aku juga sudah mau.. Oooh!”

Sesaat kemudian aku merasakan ada sesuatu yang hendak meledak. Seluruh otot tubuhku bergerak di luar kendaliku.

“Oooh!” aku berteriak.

“Aaaaah Jaaay!! Aku keluar!!” Liz berteriak keras, sesaat kemudian tubuhnya bergetar hebat.

“Lizz ughh.. I love you!!

“I Love you, Jaay! Aakh!

“Aaaaah!!”

“Mmmh!!”

“Mmmh!”

Aku melumat bibir Liz sesaat sebelum tubuhku mengejang. Liz memelukku erat-erat, mencakar punggungku. Tubuh kami menggelinjang, bergerak liar dalam ritme yang tak dapat dibayangkan manusia.

“Hah.. h.. h..”

Kemudian, hanya ada keheningan diselingi desah nafas yang tersenggal.

Saat tersadar, aku mendapati tubuh telanjang kami berpelukan.

“H..h… Tadi.. di keluarin di dalem ya…” kata Liz.

“Iya.. h.. h…” Aku melirik vagina Liz, cairan putih meleleh keluar dari dalamnya.

“Iiiiih kamu tu.. kalau aku hamil gimana?

“Aku nikahin kamu..” tukasku

“H..h. ha ha ha terus anak kita mau dikasih makan apa? Kamu kan kere?”

“Makan nasi-lah! Masa makan beling? Emang anak kita kuda lumping?”

“Hahaha kamu adaaaa ajaaaa jawabannya!” Liz histeris, dan meremas-remas pipiku gemas.

“Hehe.. Liz, kamu mau anak apa?”

“Anak orang lah, masa anak kucing!” jawab Liz.

“Hahaha.. kamu tuuu” giliran aku yang meremas pipinya. Sebagai pasangan, selera humor kami benar-benar cocok.

“Liz, kamu mau anak cewek atau cowok?”

“Kamu?”

“Cowok-“

“-cewek”

Ujar kami hampir berbarengan, flip-flop. Kami berpandangan, sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak.

Long weekend hampir selesai, aku dan Liz menghabiskan malam itu untuk bercinta semalaman. Marathon, kata orang jaman dulu. Sampai-sampai untuk ronde terakhir kami kehabisan stok kondom.

“Jay.. aku gak bisa bobok nie..”

“Aku juga..”

“Nyanyiin lagu dong, suaramu kan bagus..”

Aku berpikir keras, membuka-buka Playlist dari dalam kepalaku. Sesaat kemudian aku mulai bersenandung.


“Lagunya Trees and The Wild ya?” kata Liz pelan.

“Ho-oh”

“Selera lagu kita sama ya..”

Aku membelai rambut Liz sambil meninabobokannya.

So much to say, but I wont make it quick
I lose my mind each time I look up your eyes
So why wont you close them?




Mata Liz sudah terpejam, dadanya naik turun seiring nafasnya yang tenang. Aku mengecup kening Liz, wajahnya tampak damai sekali.

Aku menyelimuti tubuh telanjang kami, dan berbaring disampingnya. Aku menghirup nafas dalam-dalam, aroma parfum Liz membiusku.

Tanpa sadar aku sudah terlelap dan bermimpi.

Manusia memiliki mimpi yang setinggi langit, kawan. Alexander bermimpi menguasai dunia, Icarus bermimpi terbang ke angkasa, Nemo bermimpi menyelam 20,000 kaki sampai dasar samudra, sementara mimpiku jauh lebih sederhana. Aku bermimpi mencintai Liz, hidup bersama dengannya, dikelilingi anak-anak kami yang lucu. Aku bermimpi terbangun di pagi hari dengan bidadari yang terlelap di sampingku. Aku bermimpi menghabiskan ribuan malam dalam sisa hidupku dengan Liz.

Namun.

Mimpi itu sementara, kawan. Suatu pagi kau akan mendapati dirimu terbangun, dan mimpi tertinggal dalam ingatan yang tiada.

********************​

Waktu tersadar aku mendapati diriku tertegun, tanganku penuh dengan 12 bendel skripsi yang sudah dijilid hard cover. Di sekelilingku hanya ada wajah-wajah yang tak kukenal.

Di luar hujan turun. Deras, sangat deras.

Barusan aku bertemu dengan Liz setelah tidak bertemu dengannya sekian lama. Yah, aku tahu semuanya tidak akan bisa kembali seperti dulu lagi.

Aku menghela nafas panjang. Tanpa kusadari, pertemuan singkatku dengan Liz barusan membuatku terhanyut dalam nostalgia. Tiba-tiba segala kenangan yang kualami bersama Liz terputar kembali bagaikan potongan gambar dalam film 8mm. Ah, dadaku terasa sesak. Sepertinya kali ini ia akan pergi jauh sekali.

Sementara di luar hujan tetap turun. Deras, sangat deras.

Aku memejamkan mata, ada baiknya aku bermimpi, sekali lagi. Aku mengambil tumpukan rol film 8 mm dari rak di otakku, dan memasangnya dalam proyektor imajiner. Sesaat kemudian, ingatanku bersama Liz kembali terputar bagai sebuah film.




Nostalgia #4
MIMPI-MIMPI

Samar-samar terlihat gambaran aku dan Liz yang sedang berbaring sambil berpelukan. Kami kelelahan, karena bercinta semalaman. Pelan-pelan sinar matahari menelusup dari balik korden kumal kamar kost-ku. Aku menggeliat malas saat seberkas sinar jatuh di wajahku.

Saat itu hari sudah terang, Aku mengecup kening Liz. Ia terbangun, mengerjapkan matanya yang sayu.

“Met pagi suamiku sayang” kata Liz.
“Met pagi istriku…”

Aku membelai wajah Liz. Ia tersenyum, tetap menawan meskipun baru bangun tidur. Aku mengecup bibir Liz.

“Hihihi..” Liz tertawa sambil mendorong wajahku.

“Kenapa?” aku bingung.

“Bau nagaaa! hehe..”

“Hehe.. mandi bareng yuk”

Pagi itu, masih dalam rangkaian long weekend. Kost-kostan G-30 S ini sepi, karena para penghuninya kebanyakan pulang kampung.

Kami celingak-celinguk di depan kamar. All clear, kami segera berlari ke kamar mandi.

“Brrr..” dingin sekali saat Liz menyiramkan air ke tubuhku. Kota ini, Yogyakarta terletak di kaki Gunung Merapi, udaranya sangat dingin di pagi hari.

Kamar mandi itu berukuran sedang 3x4 meter. Di ujungnya terdapat bak mandi dan kloset jongkok. Aku menyalakan keran, agar suara kami tidak terdengar dari luar. Suara air bergema memenuhi dinding kamar mandi yang berlumut.

Liz mengabil air dengan gayung dan mengguyurkan air ke tubuhnya. Liz melompat lompat kedinginan. Payudaranya yang bulat berguncang-guncang. “Dingiiiiin” kata Liz sambil meraupkan air ke wajahnya. Liz tersenyum, tubuhnya mengkilat dibasahi air yang dingin. Aku menelan ludah melihat tubuh Liz yang mulus dipenuhi titik-titik air. Ah, Liz benar-benar seksi

“Hihi udah berdiri aja” kata Liz melihat penisku yang setengah tegang

“Liat bidadari mandi sih.. mana selendangnya yah? ambil ah.”

“Adaa aja..” Liz menyiramkan Air ke tubuhku. Dingin.
Aku membalasnya, kami bercanda sambil saling menyiram air. Ah, asyik sekali.

“Sabunin dong-“

“-sabunin dong”

Ujar kami hampir berbarengan, flip-flop. Kami tertawa terbahak-bahak.

Liz mengambil sabun batangan milik Slamet. “Eh, jangan yang itu, banyak kumannya.” kataku, sambil mengambil sabun cair milik KW. Gak modal banget yah?

Liz menuang sabun itu ke tangannya sebelum mengusap dadaku. Kemudian kami saling menyabuni tubuh sambil berhadapan. Liz tertawa-tawa kecil saat aku menyabuni payudaranya. “Hihi, Jay nakan ah..” Tanganku bergerak menyusuri lekuk tubuh Liz sampai pinggulnya.

“Hihihi” Liz mendongak dan tersenyum, manis sekali. Aku mengecup kening Liz, ia tersenyum dan melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku meraih dagu Liz, dan mengecup bibirnya. Lembut sangat lembut. Liz memejamkan matanya, menikmati ciuman yang kuberikan. Perlahan-lahan Liz mulai membalas ciumanku, mengulum bibirku pelan.

“Mmmh”

“Mmmmh..”

“Mmmm.. “

Suara lengguhan kami bergema di kamar mandi, bercampur dengan suara air keran yang mengalir deras.

Aku dan Liz saling melumat bibir dengan buas. Aku menghimpit tubuh Liz ke pintu, hingga menimbulkan suara berdebam. Liz tak mau kalah, didorongnya tubuhku ke arah bak mandi. Saking semangatnya bercumbu, tanganku menyenggol tempat sikat gigi hingga jatuh berhamburan. Sikat gigi Slamet masuk ke lubang kakus, tapi biarlah.

Liz melepas ciumannya, dan melingkarkan lengannya di leherku. Liz tersenyum nakal sebelum menggelendot, ngesot menyusuri tubuhku yang licin.

“Uhh..” Aku memejamkan mata, saaat payudara Liz yang kenyal membelai sekujur tubuhku.

“Enak?”

Aku mengangguk, sambil bertumpu pada bak mandi.

“Jay, kamu tahu Soapland?”

“Hah?”

“Sekarang kamu tiduran, dong.”

Aku menurut saja, tiduran di lantai kamar mandi yang basah dan dingin.

Liz menuangkan sabun cair ke atas dadanya sambil tersenyum binal. Aku menelan ludah melihat adegan yang biasanya kusaksikan dalam bokep itu ada di depanku.

Liz merangkak di atas tubuhku bagaikan seorang bintang JAV. Payudara Liz yang bulat berkilat-kilat terkena sabun. Aku menahan nafas saat Liz menempelkan dadanya di atas dadaku, kenyal. Pelan-pelan tubuh Liz bergerak turun, menyabuni tubuhku dengan menggunakan tubuhnya.

“Set dah, belajar dari mana?”

“Dari bokep Grace.”

“Huu.. teori doang, nanti jadinya kaya kemaren lagi.” aku teringat permainan BDSM amatiran yang gagal
tempo hari.

“Enggak, dong.. kali ini aku udah praktek.”

“Hah? Sama siapa?”

“Sama Grace.. Hehe”

Glek, aku tidak bisa membayangkannya.

“Liz…”

“Apa?”

“Kapan-kapan aku diajak ya..”

“Huu, maunya..”

Tubuh Liz meluncur menuruni tubuhku yang licin. Aku memejamkan mata, menahan geli saat payudara Liz yang kenyal ngesot menuruni dada dan perutku.

“Ummh…” Liz melengguh pelan ketika ia mengesekan selangkangannya di pahaku. Aku merasakan kemaluan Liz yang tanpa bulu, bergerinjal di atas lututku. Aku melirik Liz, wajahnya sudah memerah.

Kali ini Liz meluncurkan tubuhnya ke atas, memanjat menyusuri sisi tubuhku. Payudara Liz, kemaluannya yang polos, ugh.. aku bisa merasakan semuanya itu di atas kulitku.

“Ugh,,”

“Mmmhh”

Kami mendesah ketika kemaluan kami bergesekan, nikmat sekali. Kadang-kadang penisku tersangkut di selangkangannya, namun tidak sampai masuk. “Mmmh…” sepertinya Liz sengaja memperlama gerakan di bagian itu.

Tubuh Liz bergerak lincah di atas dada dan perutku yang licin. Terkadang Liz meluncur ke atas, sehingga kemaluannya yang polos sampai di wajahku. Sesaat kemudian tubuh Liz kembali meluncur turun. Payudaranya yang bulat, seperti balon yang diluncurkan turun dari dada sampai perutku.

“Umh.. yah.. di situ…” kataku lemah.

“Di sini?” Liz tersenyum sambil menjepit penisku yang tegang dengan payudaranya.

Aku mengangguk lemah.

“Mmmmh.. Lizz.. di sana” Payudara Liz yang bulat dan kenyal menggesek penisku yang menegang.

Liz menggenggam payudaranya yang bulat dan kenyal, memijat penisku yang terjebak di antaranya.

“Mmmh… ohh..”

Penisku terjebak di antara dua bongkahan kenyal yang licin itu. Liz menggerakkan tubuhnya naik turun, membuat buih sabun meleleh dari sela-sela dadanya.

“Oooh!.. Oooh!” aku berteriak sambil memejamkan mataku. Sekilas aku masih sempat melihat Liz yang tersenyum kepadaku, nakal sekali- sesaat sebelum Liz mulai menjilati kepala penisku

“Liz.. ohh” ooh!”

Mendengar eranganku, Liz menjadi semakin bersemangat.

“Ooooh!” aku berteriak keras saat jari Liz yang licin memijat selangkanganku, dan pelan-pelan memasuki anusku.

“Liiz! Jangan.. aaah!” mataku terpejam, saat Liz mulai memijat di dalam.

“Aaaah! Aaah!” aku benar-benar kelojotan dibuatnya.

Aku menghadapi rangsangan dari dua sisi. Wajar saja bila neuron-neuronku mengalami over stimulasi.
“Liiz!! Lizz Ahh!!” tubuhku melengkung ke atas, sesaat kemudian cairan putih kental menyembur dari ujung penisku, membasahi wajah dan Payudara Liz.

Cairan itu memercik di wajah Liz yang cantik. Liz menjulurkan lidahnya, menjilat sperma yang meleleh di sudut bibirnya. Seksi sekali.

“Hihi..” Liz nyengir sebelum membasuh wajahnya dengan air dari bak yang sudah mulai penuh. Kemudian Liz merangkak di atas tubuhku, merebahkan tubuhnya di atas tubuhku yang tergeletak terengah-engah di lantai kamar mandi.

Aku merasakan lantai kamar mandi yang dingin di bawahku, dan tubuh Liz yang hangat di atasku. Sementara suara air keran mengalir, bergema di dinding kamar mandi.

Liz merebahkan kepalanya di dadaku, membelai rambutku.

“Jay..” kata Liz.

“Ya?”

“Enak?”

“Banget”

“Eh, tapi ini namanya kumpul kebo tahu..”

“Iya nih.. hehe”

“Hehe”

“Eh, Liz.”

“Apa?”

“Aku ingin menjadi yang halal untukmu.”

“Huu.. beresin dulu kuliah tuh!”

“Hehe, bulan depan kan dah masuk Skripsi, paling bentar lagi aja wisuda, habis itu…”

“Berhayalnya jangan ketingiaaan! Nanti jatuhnya sakit!”

“Hehe, kan nanti ada kamu yang nangkap aku.”

Liz cuma tersenyum. Waktu itu aku belum paham maksud senyumnya.

Aku membelai rambut pendeknya yang basah, Liz tersenyum.

Aku membelai punggungnya, menyusuri lekuk pinggulnya, merasakan pantat liz yang padat di kedua telapak tanganku.

Liz memelukku ketika aku mulai meremas bongkahan pantat Liz, tanganku bergerak ke bagian depan tubuhnya, membelai selangkangannya. Aku melirik wajah Liz yang bersemu. Nafasnya tampak semakin memburu.

“Jay..”

“Yaah?”

“I love you..”

“I love, y.. mmh.”

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, karena Liz keburu melumat bibirku.

“Mmmmh..”

“Mmmmh..”

Aku mengesekkan tubuhku, memutari tubuh Liz, sampai aku ada dalam posisi memeluknya dari belakang. Kami bercumbu di lantai kamar mandi yang dingin. Bak mandi sudah penuh, suara airnya yang tumpah bercampur dengan erangan Liz saat aku memainkan vaginanya.

“Jay.. ummh....” kata Liz ketika aku menciumi tengkuk dan lehernya. Pinggul Liz bergerak pelan, menikmati setiap cumbuan yang kuberikan. Sementara jariku bergerak lincah memijat vagina Liz, meremas dan memilin puting Liz yang sudah menegang.

“Jay aaah..” Liz menoleh ke arahku. Wajahnya tampak sayu, dan merona merah. Bibirnya yang mungil mendesis, membuatku segera melumatnya.

“Mmmh..”

“Mmmh..”

“Mhhmmh..”

Dinginnya lantai kamar mandi seolah kalah oleh gairah kami. Aku mencumbu liz tanpa ampun dari belakang. Tubuh kami bergesekan, saling remas dengan ganas. Suara keran yang masih saja menderu, bersahut-sahutan dengan teriakan kami.

Tubuh Liz menegang, ia mendekap lenganku erat-erat.

“Jaay.. jaa.. aaa.. aaaaah!” Liz berteriak

Aku mendekapnya erat-erat, menahan tubuhnya yang kejang-kejang. Sesaat kemudian aku bisa merasakan sesuatu mengalir dari dalam vagina Liz.

Kami tergolek lemah di lantai kamar mandi. Bak mandi sudah penuh, airnya tumpah ke lantai menyiprati tubuh telanjang kami yang saling berpelukan, mengatur nafas yang tersenggal.

Kami kembali ke kamar. Aku mengeringkan tubuh dan rambut Liz yang basah, sementara Liz senyum-senyum seperti anak kecil. Aku memakaikan kaus putih Metalica-ku yang tampak kedodoran di tubuh Liz.

Setelah mandi, Liz memasakkanku semangkuk mie rebus –agak sedikit kebanyakan air-

“Mantap, ini baru istri idaman..” kataku

“Huu.. bohong.. kebanyakan air tahu!”

“Enggak kok! Ga kebanyakan air.. cuma ‘air’-nya perlu agak dikurangi dikit hehe”

“Iiiih..” Liz memukul-mukul pundakku.

Kami duduk di ruang tengah. Menonton acara musik pagi. Itu lho yang artis dan penontonnya joget-joget dalam pangung yang sama. Yang gerakannya cuma cuci-kucek-jemur. Benar-beanr alay.

Liz bersandar di bahuku. Aku membelai rambutnya yang pendek. Tubuhnya yang baru mandi wangi sekali.

“Liz, kamu jadi istriku aja..” kataku polos.

“Gak mau ah, kamu kan kere..”

“Sekarang masih kere, lihat aja kalau novelku best seller”

“Kamu nulis novel ya? Emang apa judulnya?”

“Beranak di Dalam WC, Kondom di Atas Bantal..”

“Huuu, baru terbit dah dibakar FPI novelmu!”

“Beneran, aku serius nie..”

Liz menghela nafas “Jangan terlalu yakin, Jay. Kamu gak tahu aku yang sebenarnya..”

“Apa? Jadi kamu beneran dulunya cowok? Gak papa Liz, aku menerima kamu apa adanya kok”

“Jay jahaaaat” Liz memukul-mukul lenganku

“Ahahaha..”

Tubuh Liz masih basah sehabis mandi membuat lekuk tubuhnya tercetak jelas dibaliknya. Aku menelan ludah melihat sepasang tonjolan misterius mencuat di balik dadanya - Liz tidak mengenakan apa-apa lagi dibaliknya.

“Iiih.. cepet banget bangunnya!” kata Liz menyaksikan penisku berdiri dibalik celana batik yang kukenakan.
“Minta ronde dua nih, kayaknya…”

“Hehe yuk” Liz tersenyum.

Liz hendak menarikku ke kamar, ketika aku menahannya.

“Neng, di sini aje neng..”

“Ogah ah di sana aje..”

“Neng, di sini aje neng..”

“Ogah ah, di kamar aje..”

“Udah ah, di sini aja yuk..” aku mengajak Liz ML di ruang tamu itu.

“Iiih, kamu itu ya.. nanti kan gak enak sama yang lain.”

“Halah, yang lain pada pulang kampung. Slamet juga lagi keluar cari makan”

Aku tidak bohong, saat long weekend itu hanya ada aku dan Slamet di kos-kosan itu, yang lain pada pulang kampung. Kalau tidak ada Liz, pasti aku menghabiskan malam berdua saja dengan Slamet, nonton bokep bareng, coli bareng.

“Hehe..” Liz nyengir. Sesaat kemudian ia memelorotkan celanaku. Penisku yang tegang mengacung tanpa gentar.

“Yakin?”

“Iya.. iya.. hehe buruan, sebelum Slamet datang.” Liz cengar-cengir tidak jelas. Sepertinya ia tipe orang yang menyukai variasi yang aneh-aneh.

Aku duduk di sofa ruang tamu itu. Liz mengambil posisi berjongkok di atas perutku, namun kali ini ia membelakangiku. Sekedar mengingatkan, di balik kaus itu Liz tidak mengenakan apa-apa lagi.

Aku mengarahkan penisku ke selangkangan Liz dari belakang. Aku menggesekkannya pelan ke bibir vagina Liz.

“Ayo Jay..” Liz menggenggam penisku, membimbingnya masuk ke vaginanya.

“Ooooh..” Liz mengerang pelan saat penisku memasuki vaginanya.

Penisku habis terbenam dalam lubang itu. Liz mendiamkannya sesaat, membiarkan dinding vaginanya memijat penisku.

“Liz,.. siap ya..”

“Iya..” Liz menoleh sambil tersenyum.

Aku mengecup pipinya yang chubby sebelum Liz mulai memompa pinggulnya. Penisku menghujam vagina liz dalam-dalam.

“Ahhh! Aaah! Liz berteriak saat ujung penisku mentok sampai rahimnya.

“Umh.. umh..” Aku melenguh pelan, vagina Liz masih saja terasa rapat bagiku.

“Sayuuur… sayur… Gurameh…” dagang sayur lewat di depan kost. Aku bisa melihatnya melintas dari balik pagar. Ah, situasi ini menimbulkan sensasi berdebar yang sulit dijelaskan.

“Oooh! Oooh!” Liz malah tambah bersemangat memompa pinggulnya.

“Liz.. agh..”

“Jay… umh..” Mata Liz memejam keenakan

“Oooh..”

“Akh..”

“Mijon.. mijon.. tarahu.. tarahu…” Seorang pedagang melintas lagi, membuat Liz seperti kesetanan. Ia memutar-mutar pinggulnya, sesekali ia menjepit penisku dengan otot-otot vaginanya.

“Eh..? eh? Oooh!” aku sontak berteriak.

“Hehe.. h… h..” Liz nyengir melihatku yang kelojotan.

“J-jangan Liz, aku jebol nanti”

“Hehe..”

Liz merebahkan punggungnya ke arahku. Aku memeluknya, dan meremas kedua payudaranya dari luar.

“Ooooh.. Jay nakal..” Kepala Liz mengadah, aku segera melumat lehernya yang putih.

“Mmmh.. mhh.”

“Jay.. jay.. oh!”

Liz tiba-tiba mengubah posisi menjadi berbalik menghadapku. Kemudian kembali memompa pinggulnya. Aku bisa dengan jelas melihat wajah Liz yang sayu dan memerah. Liz menunduk dan tersenyum. Senyum di atas wajah yang terangsang itu sangat sensual, kawan.

Bibir Liz segera tenggelam dalam lumatanku.

“Mmmh..”

“Mmmh”
“Mmmh”

Kemudian hanya terdengar suara lenguhan ditengah suara paha yang beradu.

Liz menaikkan kausnya sampai di atas dada. Sehingga, pantat-pinggul-sampai payudaranya terekspos dengan jelas. Aku paham maksudnya, aku segera melumat puting susu Liz.

“Susu murni nasional…” entah kenapa hari ini banyak sekali pedagang lewat di depan kosku.

“Humph hahaha”

“Ah! Ah! H.. h.. hahaha”

Kami tertawa terbahak-bahak. berhenti sejenak.

“Lanjut?”

“Ho-oh”

“Ganti posisi yuk”

Liz mengangguk.

Liz mengambil posisi menungging, perutnya bertumpu pada sofa. Aku berlutut di belakangnya, mengarahkan ujung penisku, pada vagina Liz yang menyembul.

“Awas salah lubang!” kata Liz.

“Halah, kayak dulu ga pernah anal aja, pas masih jadi cowok” kataku.

“Huu! Ngaca dulu!” Liz cemberut.

“hehehe iya.. iya.. tenang aja..”

“Aw!” jerit Liz ketika aku mulai mendorong.

“Hah? Kenapa? Salah?”

“Enggak.. uh.. ssh.. enak.. banget… hehe”

“Sip..”

Aku kembali memompa. Kali ini lebih beringas dari sebelumnya

“Liz.. akh!

“Jaay.. aaah.. aah..”

“Ooooh! Oooh!

“Aaaa..”

Wajah Liz sudah memerah, jelas sekali ia sudah hampir sampai di puncak.

Tiba-tiba terdengar suara motor, dan bunyi pintu gerbang dibuka.

“Liz, Slamet tuh.. uh.. uh..

“I.. iya.. a.. a..”

“Pindah? Ah.. ah..”

“N.. Nanggung..”

Aku tambah bernafsu memompa tubuh Liz, sementara suara motor terdengar diparkir di garasi samping. Situasi ini memicu sekresi adrenalin di dalam aliran darah kami.

“Oooh… mmph…” aku segera melumat bibir Liz agar suaranya tidak terdengar Slamet.

“Mmmh!”

“Mmmh! Mmh! Mmh!”

“Mhhp!!”

Liz bergerak seperti orang kesetanan. Di belakang, terdengar suara pintu dibuka, dan suara langkah mendekat.

“Jay! mmh! Mmh! Mmh!” Punggung Liz melengkung, sesaat sebelum tubuhnya bergerak liar.
“Liz! mmhmmh” aku merasakan kemaluanku juga berkedut-kedut, kemudian pinggulku seperti bergerak di luar kendaliku. Aku memeluk liz erat, melumat bibirnya.

“Mmmmh!!!!” kemudian ada sesuatu yang meledak.

Suara langkah semakin mendekat. Aku dan Liz segera mengambil posisi, pura-pura menonton TV.

Slamet datang sambil membawa satu kresek nasi bungkus. Slamet berjalan tergesa menuju dapur, mungkin tak ingin membagi nasinya pada kami.

“Ck.. ck.. ck.. dasar anak muda jaman sekarang.” Slamet mengomentari kami yang terengah-engah dan berkeringat.

“Hehe..” Liz cuma nyengir.

“Dasar tidak punya toleransi dalam berasmara..” omel Slamet.

“Kenape met? Kontol ane memang punya Liz, tapi pantat ane Special buat ente!!” Slamet ini homophobia, aku tahu kelemahannya.

“Najis!” Slamet segera berlalu. Nsmun sekilas aku melihat Slamet memperhatikan tubuh Liz yang tercetak jelas di balik kausnya.

Sesaat kemudian terdengar suara teriakan Slamet dari belakang, “Asu! Jancuk! Sikat gigiku jatuh nang WC! cuk!” berbagai kata umpatan keluar dari mulut Slamet. Gak pakai lama, aku dan Liz langsung pergi dari tempat itu.

************​


Slamet sepertinya benar-benar marah pada kami, karena setelah itu seharian aku tidak melihatnya di kost. Aku dan Liz memanfaatkan hal itu untuk berkeliaran di dalam kost-kostan sambil telanjang. Liz berputar-putar dengan riang di dapur dan di ruang tamu.

“Set dah, seneng amat?”

“Iyaa… dari dulu aku pengin banget tahuu, merasakan hidup nudis.”

“Oh, tahu gitu...” sepertinya Liz punya hobby yang sama denganku.

“Kenapa?

“Nanti kuajak ke Nudist Resort di Bali deh..” kataku.

“Hah? Emang ada?

“Ada dong, nanti deh kalau kita bulan madu ya..”

“Halaah, gak usah nunggu bulan madu, liburan semester ini aja!”

“Buru-buru banget..” aku bingung.

“Gak usah nunggu bulan madu, siapa tahu aku nikahnya bukan sama kamu hehe”

Hehe. Tapi perih juga mendengar kata-kata Liz barusan.

“Hehe.. Iya.. iya.. liburan semester kita ke sana ya..”

“Asyiiik..”

“Tapi aku pinjam uangmu hehe.”

“Huuu.. dasar cowo K-E-R-E…” kata Liz sambil berlari menaiki tangga. Payudaranya yang bulat berguncang.


Aku menyusulnya ke atas. Ternyata Liz naik sampai lantai 3 –rooftop-. Liz membentangkan tangannya lebar-lebar, menghirup udara sore yang segar. Di latar belakangnya terlihat langit Jogja yang berwarna jingga. Liz tersenyum kepadaku, di belakang Liz terlihat matahari yang sudah hampir terbenam. Indah sekali.

“Awas jangan terlalu ke pinggir, nanti di lihat tukang sayur.” kataku.

“Gak papa kalau cuma tukang sayur.” katanya.

Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Liz meletakkan tangannya di dadaku. Aku menundukkan kepalaku, sehingga keningku dan Liz beradu.

“You came a long.. just like a song…” aku menyanyikan lagu buat Liz.

Liz menoleh ke arahku dan tersenyum, kemudian ia menyandarkan kepalanya di dadaku, memelukku erat.

“You brighten my day…”

“You know I can’t smile without you… I can’t lough.. I can’t sing.. I find it hard to do anything..” Kami bernyanyi sambil berdansa pelan. Berputar-putar di antara angin sore yang sejuk.

Liz menoleh ke arahku, cahaya senja yang jingga terpulas di wajahnya. Cantik sekali. Aku mengecup kening Liz, ia tertawa kecil dan mempererat pelukannya. Aku membelai pipi Liz, meraih dagunya. Liz kembali tersenyum, sebelum aku mengecup bibirnya yang lembut. Pelan, menghayati setiap nafas yang berhembus di wajah kami.

Aku menggigit bibir bawah Liz lembut, yang dibalas dengan sapuan lembut lidahnya di bibirku. Aku membuka mulut, menyapa lidah Liz dengan ujung lidahku.

“Mmmh..”

“Mmm..”

“Ummh.. h.. h..”

Kami saling menghisap, membiarkan angin sore yang sejuk membelai tubuh kami.

Sore itu kami berciuman di bawah langit senja yang indah. Lama-lama, aku bisa merasakan nafas Liz yang semakin memburu. “Mmmh.. jaay… ooooh….” Tanpa sadar Liz menggesekkan selangkangannya di pahaku. Ia sudah basah.

Liz menoleh ke arahku, wajahnya tampak sayu dan merona merah.

“Di sini?” tanyaku.

Liz mengangguk malu-malu.
“Yakin?

“Kapan lagi kita bisa ML di bawah langit kaya gini.”

“Iya sih..”

“Siapa tahu besok kita udah gak sama-sama lagi..”

Aku terdiam, kemudian menghela nafas “Besok kita pasti sama-sama kok.. besoknya lagi.. besoknya juga.. pasti.” kataku.

Liz tersenyum mendengarnya.

Aku mengambil handuk Slamet yang dijemur. Menjadikan alas agar badan Liz yang mulus tidak kotor. Aku membaringkan Liz di atasnya. Aku mengecup kening Liz sebelum mulai mencumbunya.

“Umh..ooh.. ohh ” Liz mendesah menikmati setiap cumbuan yang kuberikan. Wajahnya yang sangat terangsang, tampak semakin menggairahkan ditimpa cahaya senja yang kekuningan.

“Jay.. masuki.. h.. h..”

“Iya..h..h..”

Aku mengarahkan penisku ke bibir vaginanya, tampak sudah sangat becek dan basah. Aku mendorong pinggulku.

“Oooh!” Liz memelukku, dan melingkarkan pahanya di pinggulku

“Ugh.. ummh” aku mulai memompa.

“Oh! Oh! Oh! Oh!” Liz berteriak setiap kali penisku menghujam, mentok sampai dalam.

“Ooooh… Liz..” aku tetap berusaha berkonsentrasi agar tidak keluar duluan.

Aku mempercepat gerakanku.

“Ooooh! Oooh.. ssshh.. iih! iih! iih! iih!” teriakan Liz melengking, lama-lama suaranya seperti para
bintang JAV itu.

“Ooooh.. ooh..”

“Ih! Ih! Ih! Ih!

“Ooooh!”

Aku merasa sudah akan keluar, aku memperlambat gerakanku. Aku mengecup bibir Liz sambil memompa perlahan. Tubuh kami bergesekan pelan, nikmat sekali.

“Gak papa sayang..” Liz tersenyum.
“Hehe..” Aku mengecup bibirnya lembut.

Sore itu kami bercinta di bawah langit senja yang indah. Tubuh telanjang kami bergumul di dengan penuh gairah. Berhimpitan dan bergesekan dengan buas. Keringat membasahi tubuh kami, membuatnya berkilat terkena pantulan sinar yang berwarna jingga.

Aku terus memompa tubuh Liz, membuatnya berteriak sejadi-jadinya

“Shh.. oh! oh! Oh!”

“ugh.. ugh..

“Oooh..”

Teriakan kami tenggelam dalam deru angin sore yang membelai tubuh kami. Bercinta di alam terbuka? Semuanya serba absurd, seperti mimpi saja.

Aku menatap Liz yang mengerang di bawahku. Wajahnya merona merah, seperti orang kesakitan. Aku mengecup keningnya, sambil terus memompa.

“Jaay! Jaay! Aaaah!”

“Yah? Ah.. h.. h..”

“Aku.. mau.. keluaar!!”

“Gak.. papa.. h..”

“Jaaay!!! Aaaah!!”

Liz menoleh, aku segera melumat bibirnya. Sesaat kemudian badan liz mengejang, dan aku merasakan vagina berkedut-kedut, memijat penisku.

“Lizz! aku juga mau.. aaah!” sedotan vagina Liz membuatku tidak bisa bertahan lebih lama lagi.

“Keluarin di luar Jay!”

“Iya.. aah..” aku segera menarik penisku keluar.

“Oh..”

“Aaaah..” aku menjerit panjang, sebelum cairan putih kental muncrat dan membasahi perut dan dada
Liz.

“Hah.. ha.. h..”

“Hehe.. asyik kan..”

“H, h,, hehe.. iya.. h.. h..”

Aku membersihkan badan Liz yang belepotan, dengan menggunakan handuk Slamet. Kemudian aku duduk di rooftop itu, memandangi matahari yang terbenam. Liz menyenderkan kepalanya di bahuku, aku memeluknya erat.

“Indah ya?” kataku.

“Iya..”

“Padahal bulan lalu kita masih temenan..”

“Iya hihi.. gak nyangka ya.. aku sama kamu…”

“Iya, kaya mimpi aja..”

“Mimpi.. ya..”

“Kalau ini mimpi, aku ga pengin bangun Liz”

“Kalau kamu bangun gimana?”

Aku terdiam “Aku akan sampai di kenyataan.”

Liz tersenyum getir, “Kalau kenyataan itu pahit?”

Aku menghela nafas “Aku akan bermimpi, sekali lagi..”

“Kita gak bisa terus-terusan hidup dalam mimpi, Jay..” Liz merapatkan wajahnya di lenganku.

“Kalau gitu, aku akan buat mimpiku jadi kenyataan” kataku mantap.

Liz tersenyum mendengarnya.

“Liz, will you marry me?”

Liz tidak menjawab. Ia menangis sesengukan.


*****************​


Malamnya, KW, bang Boy dan anak-anak kost yang lain satu persatu mulai datang. KW membawakanku oleh-oleh jenang khas kampungnya.

“Slamet mana?” tanya KW.

“Ngambek, ga dapet jatah.”

“Haha”

“Cie, yang habis bulan madu.. nih abang bawain oleh-oleh” Bang Boy melemparkan sekotak kondom rasa durian.

“Ya elah, tega ente bang… masa ukurannya XS! menghina ente bang!”

“Haha”

Malam itu Liz masih menginap di kamarku. Aku dan Liz berbaring berhadapan. Aku membelai rambut Liz yang pendek. Liz tersenyum, pipinya tampak semakin menggemaskan.

“I love you Liz..”

“I love you too..”

Aku mengecup bibirnya sesaat, lembut. Belum pernah aku merasa sebahagia ini.

“Liz, yang tadi belum dijawab..”

Liz terdiam seperti berpikir, lalu tersenyum. Kali ini senyumnya getir, waktu itu aku belum tahu maksud senyumnya.

“Iya, tahu dah aku kere..” aku merajuk.

“Bukan itu..”

“Terus?”

“Baru kali ini aku ketemu orang yang selalu hidup dalam mimpi kaya kamu..”

“Memang kenapa?”

“Jangan kaya aku Jay, dulu aku juga terlalu banyak bermimpi..”

Aku terdiam.

“Kenyataan itu pahit, Jay..”

Liz menutup mulutnya, sebelum terisak.

“Huk.. huk.. terbangun dari mimpi itu perih,. Jay.. kenyataan itu menyakitkan huk huk…” Liz kembali sesengukan.

Aku memeluk Liz erat-erat. Aku tahu ini tentang apa. Sepertinya Liz masih belum mampu melupakannya.
Mungkin aku belum bisa menjadi hari yang baru, aku belum bisa menjadi langit yang baru bagi Liz. Belum, mungkin nanti.

Aku mengecup kening Liz sebelum ia tertidur.

Malam itu, aku masih bisa memimpikan tentang rumah mungil. Aku sedang membaca koran, Liz sedang memasak. Di halaman, anak-anak kami berlarian, bermain kejar-kejaran. Pada Frame berikutnya ada gambaran Liz yang sudah keriput mengeroki punggungku yang masuk angin. Wajahnya tetap saja cantik meski sudah dimakan usia.

Tiap malam, aku melompat-lompat dari satu mimpi ke mimpi yang lain. Dari satu ekspektasi ke ekspektasi yang lain. Namun kenyataannya Liz seperti menghindar. Sepertinya ada tembok besar di hatinya yang menghalangiku untuk melangkah lebih jauh. Seperti ada sesuatu dari masa lalu yang menghalangi Liz melangkah.

Setiap aku menggali lebih jauh, pasti berakhir dengan pertengkaran, begitu berulang-ulang, sehingga hubunganku dan Liz menurun drastis. Aku bingung, Ada yang salah dengan ini. Otakku dipenuhi dengan ribuan pertanyaan.

Sampai akhirnya kami terduduk di teras kostku, tempat di mana aku pertama kali menyatakan cintaku padanya.

“Maaf ya Jay, kayaknya kita gak bisa sama-sama lagi”

“kenapa? Apa ada yang lain?”

“Engak, Jay..”

“Terus?”

“Aku.. belum pantas buat ini..”

“Tapi..”

“Jay, kamu terlalu baik buat aku.”

“Liz..”

“Aku gak seperti yang kamu kira, Jay.”

“Hah? Jadi ternyata bener kamu dulunya cowok? Gak papa Liz, aku menerima kamu apa adanya kok.”
“Kamu tuh ya, aku serius nie..” Liz menghela nafas. “Aku gak bisa jahatin kamu lebih jauh lagi, Jay.”

Lama aku berargumen, memintanya untuk tetap tinggal, namun keputusan Liz sudah bulat.

“Maafin aku, gak bisa mewujudkan mimpi-mimpimu.” kata Liz lagi.

“Aku aja kali yang mimpinya ketinggian..” aku pura-pura tersenyum. Getir, senyum itu terasa begitu pahit di sudut bibirku.

“Kan udah aku bilangin”

“Iya..”

“Kita tetap berteman kan?” kata Liz

“Mengubah sahabat menjadi kekasih memang indah, tapi mengubah kekasih menjadi sahabat bisa juga menjadi indah.” Aku mengutip kata-kata yang kubaca dari Novel Sang Pemimpi (atau Edensor? Lupa).
Liz tersenyum mendengarnya.

Namun, aku tahu semuanya tak akan bisa kembali seperti dulu lagi.

Tangisku baru pecah, setelah melihat Liz menghilang di balik pagar kostku.

Kita tak pernah memiliki

Rumah yang kita diami semusim
telah dituntut kembali
Dan tanah yang kita pijak
makin larut dalam pasang laut
Sedang kesetiaan yang dijanjikan kekasih
berhenti pada khianat
Dan nyawa ini sendiri
terancam setiap saat

Tak ada yang kita punya

Yang kita bisa hanya
membekaskan telapak kaki,
dalam, sangat dalam,
ke pasir,
Lalu cepat lari sebelum
semuanya berakhir

Semuanya luput

Juga waktu

(Juga Waktu, Subagio Sastrowardoyo)



Pagin itu, aku sampai pada kenyataan yang pahit.

Saat terbangun aku merasakan kosong yang teramat. Tak ada lagi Liz di sisiku, dan akan pernah ada lagi. Kamarku seakan bertambah luas, meninggalkan rekam jejak imaji liz yang masih bergaung di dindingnya yang menyuram. Tawa Liz yang berderai, Liz yang mengangis saat curhat denganku, Wajah Liz yang merona merah saat bercinta denganku.

Tak ada lagi. Saat ini aku mendapati diriku terbangun, dan mimpi tertinggal dalam ingatan yang tiada.

Aku keluar kamar, duduk di teras, dan menyalakan sebatang rokok. Aku menghembuskan asap rokok tinggi-tinggi. Air mataku menetes. Liz benar, mungkin aku yang bermimpi terlalu tinggi.

Seorang pengarang novel, Donny Dhirgantoro mengatakan “Apabila kamu punya mimpi, taruh dia 5 cm di depan kening kamu, jadi nggak pernah lepas dari mata kamu.” Sementara Andrea Hirata pernah berkata, “Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.”

Namun saat ini aku berpikir, “What is the point of dreaming?”. Alexander mati diracun dalam rangka mewujudkan mimpinya menaklukkan dunia. Icarus mati, jatuh di laut karena terbang mendekati matahari. Apa gunanya bermimpi, kalau toh anda akan terbangun juga. Terbangun dalam kenyataan.

Kenyataan itu pahit! Jenderal!

Mulai hari itu, aku menjadi orang yang paling pesimis di seluruh dunia. Persetan, aku bukan Ikal yang mengejar mimpinya sampai Edensor! Aku bukan Genta yang mendaki sampai Mahameru! Aku hidup di dunia nyata, bukan di dalam novel. Mulai hari itu, aku menghabiskan waktuku dengan men-tweet status-status galau, me-retweet status nyesek dari @RadioGalauFM. Playlist-ku dipenuhi dengan lagu patah hati dari “Someone Like You”-nya Adele, sampai “Apalah Arti Menunggu”-nya Raisa.

Setiap tempat yang mengingatkanku pada Liz, bisa membuatku mewek ceperti cewek. Kerjaanku setiap hari hanya bengong sambil merokok di teras. Skripsi tak terurus. Kuliah nitip absen pada KW karena malas ketemu Liz. Bahkan bokep pun tak kusentuh, Miyabi dan Sasha Grey sudah tak mampu membuatku ereksi.

Aku memandangi halaman facebook—ku dengan galau:
Memandangi tulisan “Adipati Jaya Mahardika is now Single” di halaman Facebook-ku. Di bawahnya tertulis ucapan belasungkawa dari teman-teman.

Jimmy “Hendrix” Pranoto : Pertamax diamankan.
Ya elah, Tega banget si Jimmy mengambil pertamax di atas penderitaan orang lain.

Buluk Ganteng: Pertamax mahal, ane Premium aja gan..
Ini si Buluk juga sama aja.. haduuh.. haduuh…

Gracia Anindita: Jay, kok bisa? Yang sabar ya.. padahal kalian cocok lho
Grace memberi comment. Iya, mudah-mudahan bisa sabar…

Slamet Riyadi: Dunia tak seluas daun kelor masbro..
Apa maksudnya Slamet ini, adanya dunia tak sesempit daun kelor kaleee. Comment Slamet malah membuat hatiku bertambah sempit.

Kunto Wicaksono: sabar ya
KW, Seperti biasa, singkat-padat-jelas.

JoN0 CuK4 b0n3k4: C3mun6Udh e4 k4q, mSH Ad q QuqZ
Ya elah, homo alay ini spawn lagi.

Setiap hari aku melihat halaman Facebook Liz, namun sepertinya ia tidak pernah log-in.

Teman-temanku, Slamet dan KW prihatin dengan kondisiku. Mereka mengajakku jalan-jalan ke Pantai Baron di daerah Gunungkidul. Kali ini, aku menerima niat baik Slamet. Kami berangkat dengan mengendarai motor, aku berboncengan dengan Slamet, sedang KW berangkat bersama gebetannya.

Sesampainya di pantai aku malah tambah sedih. Panorama matahari terbenam, teluk kecil dan perahu-perahu nelayan di sana membuat perasaanku bertambah mellow.

Aku berdiri di atas batu karang, dan bergaya layaknya penyair.

“Ini kali tiada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut!”

Aku berteriak seperti orang gila. Slamet memegangiku karena malu. Aku melanjutkan puisi karangan Chairil Anwar itu sampai bait ke tiga. Aku benar-benar stress!

“Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sendu penghabisan bisa terdekap.”

“Hihihi.. aneh banget sih…” tiba-tiba gebetan KW membuka suara. “Udah santai aja lagi, mending fotoin kami.” katanya, sambil menyerahkan kamera digital kepadaku. Ia segera memasang pose mesra bersama KW.

Santai aja gundulmu!

Aku mengambil foto mereka –pasangan itu- dengan setengah hati, bikin sirik aja. Benar-benar tidak memiliki toleransi dalam berasmara. Karena sebal sengaja aku agak menurunkan kamera- sehingga kepala mereka terpotong.

“Ehehe.. makasih yah Jay, ngomong-ngomong puisinya bagus, apa judulnya?”

“Oh itu, judulnya Senja di Pelabuhan Kecil.”

“Hihihi.. sama kaya namaku dong, Senja.”

Senja tersenyum. Matanya berputar-putar lincah di atas pipinya yang bulat seperti mochi.

De ja vu?


Bersambung
To Be Continued
 
Senja tersenyum kepadaku. Untuk sesaat, sinar matahari di belakangnya membentuk ilusi berupa garis-garis serupa sayap malaikat. Untuk sesaat waktu berhenti. Sesaat, sebelum KW menggenggam tangan Senja.

Aku hanya terpaku melihat Senja dan KW yang berlarian di antara ombak. Aku jongkok di pasir bersama Slamet. Aku membayangkan, seandainya Liz ada di sini. Aku menulis inisial “J” dan”L” di atas pasir sambil tersenyum getir. Sesaat kemudian ombak datang dan menghapus nama kami. Slamet prihatin, dan menepuk pundakku dari belakang.

Aku memandangi ombak Laut Selatan yang menggelora, dan langit senja yang merona jingga. Aku menghela nafas.

Kami –Aku dan Slamet- seperti sepasang pemuda yang kebingungan –kebingungan dengan orientasi seksualnya-

“Met..”

“Yo..”

“Ente liat ombak-ombak itu..”

“Iya.. ane lihat..”

“Matahari yang terbenam..”

“…”

“Awan yang ditiup angin…”

“Njut ngopo?” (terus kenapa?) kata Slamet sambil menggaruk kepalanya.

“Kita ini hanya seupil debu di semesta met… Biarpun Liz ninggalin ane, biarpun ane sedih, bumi akan terus berputar..”

“Terus?” sepertinya IQ slamet terlalu rendah untuk mengerti kata-kataku.

Life keep running...” aku menyalakan sebatang rokok.

“Betul masbro.. “ Slamet ikut menyalakan sebatang rokok –rokokku-.

The Show must go on…”

“Hehe”

“Makasih ya met, udah ngajakin ane ke sini..” aku menepuk pundak Slamet.

“Sama-sama masbor.. eh masbro”

“Liat tuh Senja sama KW.. asem bikin iri aja hehe”

“Haha..”

Kami menonton Senja dan KW, mereka kini duduk-duduk di pasir.


Nostalgia 5:
YOU'LL NEVER KNOW WHEN SOMEONE COME AND PRESS PLAY IN YOUR PAUSED (STORY) LIFE


Ya, mungkin saatnya aku memulai hidup baru, merenda cinta yang baru. Aku tersenyum sendiri melihat Senja dan KW yang bercanda-canda. Ah, andaikan aku yang jadi KW: Jay dan Senja… cocok juga haha.. Tanpa sadar aku menulis-nulis sendiri di atas pasir. “J” dan “S”


“Masbro, ane tahu kita temenan dari kecil.”

“Eng..”

“Tapi, maafin ane masbro.. ane gak bisa.. gak bisa.. kita lebih baik tetap temenan..” tiba-tiba Slamet berlari meninggalkanku.

Ombak datang menghapus tulisan “J” dan “S”.

“Met! Tunggu met! Maksudku bukan itu!” aku mengejar Slamet.

“Maaf Jay!” slamet tetap berlari –histeris-.

Dari kejauhan, aku masih bisa melihat Senja berlari sambil menangis. Sore itu dua pasangan bodoh berkejaran di pinggir pantai. Mataharipun terbenam, pertanda bumi masih berputar pada porosnya.

Roda-roda terus berputar
Tanda masih ada hidup
Karna dunia belum henti
Berputar melingkar searah

Terik embun sejuta sentuhan
Pahit mengajuk pelengkap
Seribu satu perasaan
Bergabung setangkup senada

Jurang curam berkeliaran
Tanda bahaya sana sini
Padang rumput lembut hijau
Itupun tiada tertampak

Sudah takdir, sudah terlanjur
Mengapa harus menyesal?
Hadapi dunia berani

Bukalah dadamu!
Tantanglah dunia!
Tanyakan salahmu,
wibawa!

Bukalah dadamu!
Tantanglah dunia!
Tanyakan salahmu
wibawa!

(Apatis - Benny Soebardja)

*********
 
Hari ini, Hujan masih saja turun dengan derasnya. Dahan-dahan pohon akasia bergoyang hebat dihempas angin .

Siang ini, aku baru saja selesai meminta tanda tangan Pembimbing 1 dan pembimbing 2 skripsiku. Aku memandangi tumpukan 12 bendel skripsi yang sudah dijilid hard cover . Aku menghela nafas, lega. Sekarang tinggal menunggu yudisium dan wisuda. Setelah sekian tahun, akhirnya aku lulus juga hahaha.

Aku duduk di kantin sambil menunggu hujan reda. Aku menyeruput teh hangat dari gelasku. Encer dan terlalu manis, benar-benar khas Jogja.

Beberapa menit yang lalu, aku bertemu dengan Liz setelah tidak bertemu dengannya sekian lama. Yah, aku tahu semuanya tidak akan bisa kembali seperti dulu lagi. Pertemuan singkatku dengan Liz barusan membuatku terjebak dalam nostalgia. Segala kenangan dengan Liz terputar bagaikan potongan gambar dalam film 8mm.

Aku baru sadar, aku duduk di meja tempat biasanya aku dan Liz makan. Biasanya dia ada di depanku, tertawa terbahak-bahak mendengar leluconku. Tapi sekarang tidak ada siapapun di sana.

Di luar hujan tetap saja turun. Deras, sangat deras.

“Jaay.. siang-siang kok bengong aja siiih?”

Tahu-tahu seorang perempuan berparas imut mengguncang-guncang tubuhku. Aku segera pura-pura tersenyum.

“Eh, Senja.. Hehe.. ngapain ujan-ujan gini ke kampus?” kataku setengah terkejut.

Senja namanya, pacarku sekarang –setelah putus dengan Liz-. Aku mengusap rambutnya yang pendek sepundak yang basah oleh hujan. Matanya berputar-putar lincah di atas pipinya yang bulat seperti kue mochi. Kacamata kotaknya –sedang trend akhir2 ini- tampak berembun.

“Anak-anak S2 ada kuliah niii.. iih.. Jay kok gitu sih, sms gak dibalas? Aku kan mau minta dijemput!”

“Hah? Ah, maaf.. maaf.. hape ku di-silent, tadi lagi ngadep dosen...”

“Huu.. dulu kalau Liz yang sms, pasti langsung dibalas!”

“Eh, kok bawa-bawa nama Liz?”

“Iya, kamu kan lebih sayang sama Liz!”

“Ya elah, jangan dibanding-bandingin dong!”

Wajah Senja yang imut cemberut. “Tadi kamu juga pasti lagi ngelamunin Liz kan?”

Dia benar sodara-sodara!


“Engga kok sayaang.. aku lagi ngelamunin kamu.” aku terpaksa berbohong, sambil mencubit pipinya yang chubby.

“Bener?”

“Iya… aku ga bohong kok, Liz.. eh!”

Gawat! Aku salah menyebut nama!


Senja segera berlari, menangis bombay di bawah guyuran hujan. Aku mengejarnya, kami berkejaran seperti di film india.

“Mas! Teh-nya dibayar dulu!!!” Bu Kantin berteriak histeris.


Nostagia #5:
SENJA

Namanya Senja Puan Nirmala, satu kampus dan satu angkatan denganku. Anaknya lucu dan ceria, wajahnya imut seperti anak kecil. Sebenarnya banyak teman-teman cowok yang hendak menggebet Senja (termasuk aku dan Slamet), namun sepertinya ia agak menutup diri dengan anak lelaki. Kecuali satu orang: KW.

Pembaca masih ingat KW? Dia adalah teman kampus sekaligus tetangga kost-ku, sebenarnya nama aslinya Kunto Wicaksono, namun oleh kami dipelesetkan menjadi KW. KW orangnya pendiam, sehingga temannya tidak banyak. Di antara teman seangkatan, hanya Senja yang mau berteman dengannya.

Sampai pada suatu hari di akhir semester 4, Senja menghampiriku.


“Jay, boleh ganggu ga?” kata Senja sambil memperbaiki letak kacamata kotaknya.

“Ga!” Aku memang sedang sibuk menulis laporan praktikum. Tepatnya mencontek laporan praktikum Grace.

“Iiih bentar aja”

“Ya udah, buruan! Sibuk nie! Jam 1 harus ditumpuk.”

Waktu itu sudah jam 12.42 WIB.

“Ehm.. jangan bilang siapa-siapa ya? “

“Ya...” cih, agaknya aku ketularan KW, ngomongnya irit.

“Kunto udah punya pacar belum?”

“Kunto? Siapa kunto?” aku benar-benar lupa punya teman bernama Kunto Wicaksono.

“Iiiiih.. itu KW..”

“Oh, si KW.. ane gak tahu, tanya orangnya aja”

“Gimana siii.. makanya aku tanya kamu”

“Ya, liat Facebooknya aja..”

“Kunto gak punya FB!”

“Ya gimana dong, tanya dukun deh!” jawabku asal, aku benar-benar harus menyelesaikan laporan ini.

Senja terus-terusan nyerocos. Tanpa sadar, sudah jam 1, deadline habis. Laporanku belum selesai. Aaaargh!!!



Karena aku satu kost dengan KW, akhirnya Senja sering curhat-curhat kepadaku tentang KW. Agaknya Senja naksir si KW. Begitu juga KW, namun dengan sifatnya yang pemalu sudah bisa ditebak ini akan jadi seperti apa: tarik ulur seperti layangan.

Dan cinta selalu membutuhkan korban: Aku, yang berperan sebagai Cupid. Aku pun mendapat tugas baru: menyampaikan salam, mendengar curhat-curhatan, cape deh.

“Ente tembak lah, si Senja.. ane jamin pasti diterima!” kataku pada KW.

“Hehe.. dia cuma anggap saya teman saja kok…”

“Ya elah, jelas-jelas dia naksir ente! Ente juga kan?..”

“Saya gak berani …”

“Yah, apa susahnya, cuma ngomong doang ini!”

Tapi aku akui, itu memang susah haha. Aku yakin semua orang yang membaca ini, pasti merasakan hal yang sama saat menyatakan cinta untuk pertama kalinya.

Cinta yang tak terbalas memang menyakitkan, namun cinta yang tidak terungkapkan jauh lebih menyakitkan. Melihat Senja yang memperhatikan KW saat mengerjakan tugas berdua. Melihat KW yang melirik Senja malu-malu, sungguh membuatku geli. Selalu begitu: tarik.. ulur… tarik… ulur… seperti anak SD saja. Kawan, tahukah kalian benang layangan apabila sering ditarik-ulur? : putus.

Butuh waktu lama buat membesarkan nyali KW. Aku mengajaknya nonton film Cintapucino, dan serial-serial dorama korea, untuk meyakinkannya bahwa cinta yang terungkapkan itu begitu tragis. Saking niatnya kami. sampai-sampai KW latihan menyatakan cinta pada Senja bersamaku.

“Kurang penghayatan!” teriakku seperti seorang sutradara.

“Oh eh, gimana? Gini: Saya sayang kamu, mau gak jadi pacarku..?”

“Yak gitu.. ulangi sekali lagi…”

“Saya sayang kamu, mau gak jadi pacarku..?” KW sepertinya begitu menghayati perannya, sampai-sampai ia memegang tanganku.



Slamet melintas, ia melihat kami dengan pandangan aneh. Sesaat kemudian kudengar pintu kamarnya dibanting.

Begitu pula Senja, tak henti-hentinya meng SMS ku tiap malam, berkonsultasi tentang KW, menanyakan kabarnya. Aku juga sekalian curhat-curhat tentang Liz padanya. Tentunya hal ini membuat kami semakin dekat. Seringkali aku menunggu-nunggu SMS , atau telepon darinya hanya untuk mendengarkan keluh kesahnya. Tanpa kusadari lama-kelamaan ada seperti perasaan hangat yang menjalari dadaku.

Love always had a casuality. Aku si Cupid amatiran ini, sepertinya tidak mengikuti buku “Cupid vol 1: Essential Guide to Matchmaking” yang menjadi buku pedoman para malaikat cinta. “Cupid tidak boleh jatuh cinta pada manusia”.

Aku sudah jatuh cinta. Ehm, maksudku jatuh cinta pada Senja, bukan pada KW.

Biarlah, setidaknya kalau Senja bahagia bersama KW, aku juga ikut bahagia.

Aku sekarang tahu, bagaimana perasaan KW. Cinta yang tak terbalas memang menyakitkan, namun cinta yang tak terungkapkan jauh lebih menyakitkan.

Musim kemarau yang menyengat berganti dengan musim penghujan.


tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

(Hujan Bulan Juni, Sapardi Joko Damono)




******************​


Sampai pada suatu malam, KW menghampiriku di kamar.

“Jay..” katanya sambil celingak-celinguk di depan pintuku.

“Apa KW?”

“Boleh ganggu ga?”

“Ga, ane lagi sibuk.”

Sepulang dari pantai Baron, aku memang menemukan kembali semangatku: semangat mengelompokkan bokep ke dalam folder sesuai genre-nya. Bokep-bokep kesayanganku yang tak terurus semenjak putus dengan Liz.

“Gini Jay..”

Eh dia malah nekat duduk di sampingku, buru-buru aku menekan alt+F4.

“Apa? Buruan!” kataku.

“Tadi Senja nembak saya” KW bercerita.

Deg, ada perih di hatiku.

“Wah kok kebalik? Yah rugi kita latihan.”

“Hehe.” KW tersenyum kecut,.

“Oh.. terus gimana? Ente terima?”

“Saya bingung sama perasaan saya.”

Semua orang bingung dengan perasaannya. Liz yang bingung dengan perasaannnya ke Bang Igo dan aku. Aku yang bingung dengan perasaanku pada Senja.

“Bingung nape?”

“Saya memang sayang sama Senja..”

Aku juga, cuk!

“Tapi saya nggak bisa mencintainya lebih dari ini…”

“Hah? “ kok aku jadi penasaran.

“Saya takut ngecewain Senja..”

Liz dulu pernah mengatakan hal sama kepadaku.

“Ada yang salah dengan saya.. dari dulu saya cuma bisa suka...” KW tidak sanggup menyelesaikan kata-katanya.

Anjrit! Aku tahu dialog ini! Aku pernah menonton film Arisan 1 dan 2!




Jantungku serasa berhenti berdetak, keringat dinginku mengucur. Wah gawat Bang Boy dan anak-anak kost pada main futsal, Si Slamet juga lagi ke Burjo.

“Kamu… kamu… sebenarnya kamu sudah saya anggap…”

Deg-deg-deg!! Slamet!!!! Cepatlah kau pulang!!!!

“Dari dulu kamu sudah saya anggap saudara saya, makanya saya bisa cerita ke kamu…”

Akhirnya KW bercerita tentang penderitaannya selama ini, penderitaan yang terpaksa ia pendam sendirian. Sebenarnya ia benar-benar sayang kepada Senja, namun ia tak bisa mencintainya lebih dari ini. Tiba-tiba ia menangis seesengukan. Karena kasihan aku menepuk-nepuk pundaknya, eh si KW malah memelukku sambil menangis. Gawat!

“Jay! ini es teh pesenan ente!”


Slamet datang. Ia berdiri terpaku di depan kamarku. Es teh yang dipegangnya terjatuh, pecah berserakan di lantai.


Sesaat kemudian aku mendengar pintu kamarnya dibanting.

Benar-benar gawat!

****************​

Yah,mari kita lupakan dulu si Slamet moron itu. Keesokan harinya Senja menghambur ke arahku sambil menangis.

“Kenapa KW gak mau sama aku ya.. huk.. huk…”
“Aku… gak tahu…”

Aku berjanji pada KW untuk merahasiakan hal ini.

“Huk… huk…” senja semakin terisak

“Cup.. cup.. sabar yaa..”

“Huk.. huk.. padahal aku sayang banget sama dia…”

“iya, setidaknya KW sudah tahu kamu sayang sama dia..”

Semenjak itu Senja lebih sering lagi curhat mengenai KW. Ya sebagai teman yang baik, aku hanya bisa mendengarkannya.

Bisa ditebak ini akan menuju ke mana. Senja galau, aku lebih galau lagi. Ingat rumus ini? Orang galau + orang galau = chemistry. Tidak butuh waktu lama, sampai aku jadian dengan Senja, dan muncul tulisan “Adipati Jaya Mahardika is now in relationship with: Senja Puan Nirmala” di halaman Facebook-ku.
Dan ucapan selamat dari teman-teman.

Dan Liz, tak ada komentar darinya. Sudah beberapa bulan ini ia sedang penelitian di pedalaman Papua. Tak ada sinyal di sana.



“Jay, tolong jagain Senja buat saya.” aku tidak pernah lupa kata-kata KW waktu itu. Dan memang benar, sejak saat itu aku sangat menyayangi dan mencintainya. (Mencintai Senja maksudnya, bukan mencintai KW). Melihat wajah dan gesture tubuh Senja yang kekanakan, pasti membuat siapapun ingin melindunginya.

Begitulah, kemudian aku mencoba merenda cinta yang baru bersama Senja. Mencintainya dengan sepenuh hatiku, dan melupakan Liz.

Mungkin ilusi yang kulihat di pantai Baron itu ada benarnya juga. Aku tak pernah bisa melupakan senyum Senja waktu itu, dan sinar matahari di belakangnya yang membentuk ilusi berupa garis-garis serupa sayap malaikat. Aku merasa Senja adalah malaikat yang dikirim untuk menyelamatkan aku.
Semenjak saat itu aku kembali bergairah dalam menjalani hidup. Aku mulai rajin kuliah, dan skripsi kembali kukerjakan.

*************​


Hari itu aku sedang bersemangat mencari bahan skripsi di perpustakaan.

“Hey Jay!” Seseorang menepuk punggungku dari belakang.

Liz, kulitnya kini tampak coklat terbakar matahari.

Meskipun sudah putus, tapi Liz tetap ceria seperti biasanya. Seperti janji kami untuk tetap bersahabat meski sudah putus.

“Eh Liz, kapan sampai dari Papua?”

“Tadi pagiii, eh aku sudah selesai penelitianl Lho!” kata Liz, wajahnya berseri-seri.

“Hehe Selamat ya..” duh, aku jadi salah tingkah.

“Iya, duuh aku seneng banget,.. eh tahu gak? Akhirnya aku bisa melupakan Bang Igo sialan itu..”

Hah? Artinya selama dia pacaran sama aku, Liz belum melupakan Bang Igo?

“Oh, ya.. bagus deh…”

“Iya dong.. kita gak boleh terus-terusan terjebak dalam nostalgia..”

“Oh iya benar itu!”

Yak! Liz benar sodara-sodara! tapi kenapa dia baru mengatakannya sekarang? Saat aku sudah jadian sama Senja? Arghh!!

“Kita gak boleh kehilangan masa depan, karena terikat dengan masa lalu Jay..” Ia melirikku penuh makna.

“Iya.. Eh.. Liz.. sebenarnya aku juga… sudah melangkah ke masa depan…” kataku

“Hah?”

Tiba-tiba Senja datang dari belakang dan menarik lenganku.

“Jay, iih di cariin kemana aja, nie aku nemu bahan buat skripsimu nih.” Senja datang membawa tumpukan buku tebal.

“Eh Senja-

“eh Liz”

Kata mereka hampir bersamaan, flip-flop.

Untuk beberapa detik, aku merasakan situasi yang paling aneh di dunia. Aku merasa berada di tengah adegan FTV murahan, yang diputar di pagi hari.

Senja sengaja menggelendot di lenganku, karena tahu di sana ada Liz. Ah, aku tak pernah paham sifat wanita yang satu ini. Ex-boyfriend rivalry syndrome.

“Makan yuk.”

“Eh, iya.. duluan ya Liz”

Dari kejauhan aku bisa melihat raut wajah Liz, seperti hendak menangis.

Semenjak saat itu, hubungan pertemananku dengan Liz menjadi bertambah aneh. Ditambah lagi Senja yang selalu cemburu kepada Liz, membuat semuanya bertambah rumit. Aku jadi jarang bertemu dengannya. Sms pun ala kadarnya, karena HP-ku selalu disensor secara ketat oleh Senja. Semuanya menjadi berbeda, bahkan sampai dia wisuda dan pulang ke kampungnya di Semarang-pun aku tidak bisa menghadirinya.

****************​


Bumi terus berputar, membuat hari berganti hari. Aku menjalani hidupku yang baru bersama Senja, mengerjakan skripsiku dengan semangat darinya. Sampai akhirnya, aku diluluskam dengan amat terpaksa oleh dosen pengujiku. Biarlah, yang penting lulus, hahaha.

Hari ini aku berangkat ke kampus dengan semangat. Mendung menggantung di langit, namun itu tak menghalangi langkahku. Tanganku penuh dengan 12 bendel skripsi yang sudah dijilid hard cover. Ya, hari ini aku akan meminta tandatangan Pembimbing 1 & 2 Skripsiku, untuk persyaratan yudisium dan wisuda.

“Jay!” suara wanita memanggilku dari belakang. Aku mengenali suara itu.
 
Bimabet
suwun updetnya
versi 2011 ini dikit bab-nya cuma 7-8 bab... tadinya malah mau dipost semua di halaman 1 biar gampang nyarinya.... tapi tar dah besok ane pos sisanya....

btw, versi 2015 masih dalam maintenance.....
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd