Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT THE CITY'S RHAPSODY (racebannon)

JAKARTA CITY RHAPSODY
RHAPSODY IN THE OFFICE – PART 3

------------------------------

bagaim10.jpg

Selama nemenin Mbak Saras presentasi, perasaanku campur aduk. Di satu sisi, aku ngerasa ngelakuin hal yang bener karena udah muntahin semua kekesalanku ke Nadine, tapi di sisi yang lain, setelah ngedenger penjelasan Mbak Saras soal Nadine, aku malah jadi ngerasa berdosa.

Aku sekarang cuma bisa ngeliat Mbak Saras dengan luwesnya ngejelasin presentasi yang semalem dibikin oleh aku dan Nadine. Bukan, bukan aku dan Nadine yang bikin. Nadine yang bikin, aku cuma cariin image doang.

Gila. Nadine sekarang gak masuk, gara-gara sakit. Dia lagi sakit dan kata Mbak Saras, anaknya gampang stress. Jadi selama ini dia ngapain? Dia selama ini selalu pasang tampang gagah dan keras. Semua gerakannya tampak kayak sempurna dan selalu benar. Saking kayak gitunya, sampai bikin orang lain gak suka sama dia. Tapi kenyataannya, kata Mbak Saras, dia fragile.

Aku nelen ludahku, sambil banyak berharap. yang pertama, mudah-mudahan Nadine gak ancur. Yang kedua, mudah-mudahan aku bisa tahu kenapa dia mesti pasang façade keras kayak gitu.

Sial ya? Sial banget. Sial karena aku udah ngerespon kelakuan serba kerasnya Nadine dengan serampangan. Dan mudah-mudahan dia besok masuk, supaya perasaan gak nyamanku sekarang ini gak berkepanjangan.

------------------------------
------------------------------
------------------------------

Ternyata, Nadine gak masuk dua hari. Sekarang dia ada di mejanya, di kantor seperti biasa. Mukanya keliatan segar, gak kayak habis sakit, seperti yang Mbak Saras bilang. Dia hari ini tampil anggun seperti biasa. Dandanan ala office ladynya bener-bener keliatan elegan. Dengan kemeja berwarna biru muda tanpa kerah, dan rok berwarna biru tua, dia keliatan begitu dewasa. Rambut panjangnya diiket ke belakang, bener-bener ngeliatin fitur muka tegasnya. Kalo udah kayak gini, keliatan banget bule-nya.

Seharian ini, kita sama sekali gak ngomong. Sekarang udah maghrib. Beberapa orang udah pada pulang, dan Nadine gak bergerak sedikitpun dari mejanya. Dia tampak fokus ngerjain apapun yang dia mesti kerjain. Dua hari gak masuk, kerjaannya pasti numpuk, dan sudah bisa ditebak, hari ini dia pasti lembur.

Entah kenapa hari ini aku ngerasa harus ada di kantor juga malam-malam. Aku harus nungguin Nadine, supaya bisa ngobrol sama dia, entah ngobrolin apa. Pasti bakal awkward banget, dan pasti bakal aneh banget. Tapi masa bodo. Aku harus ngejelasin kenapa aku ngomong kayak gitu. Dan aku juga mesti bilang kalo dia emang gampang stress dan segala macem, gak ada salahnya untuk let loose sedikit.

Mungkin dengan bersosialisasi dan ngelonggarin standart kerjanya sendiri, dia bisa jadi lebih santai dan jadi lebih tenang, gak galak kayak biasanya.

Mungkin tapi. Entahlah, yang pasti, aku sedang menghitung waktu, menunggu orang-orang pada pulang, supaya di kantor ini, tinggal aku berdua lagi dengan Nadine Sjarief.

Dengan tidak sabar, aku menunggu waktu berjalan.

------------------------------

This is it.

Jam 9 malam. Kantor sudah kosong. OB udah permisi. Mbak Saras yang biasa pulang malem pun udah pergi. Dan Nadine tetap ada disini, merhatiin tumpukan gambar-gambar dari konsultan, dia cek satu-satu dengan seksama, dan sudah pasti teliti.

Sedangkan aku dari tadi bengong. Ada kerjaan sih, tapi deadline nya gak besok. Urusan hari ini, biar jadi urusan aku ngobrol sama Nadine dulu. Dan entah kenapa, ada perasaan aneh yang menghalangiku untuk kirim pesan dari sosial media kedia. Mending enakan langsung, kalo lewat sosmed takutnya gak digubris sama miss perfect yang ternyata isinya fragile itu.

Sekarang aku lagi nungguin waktu yang tepat untuk mulai ajak dia bicara. Entah kapan. Dari tadi, walaupun cuman kita berdua doang yang ada di kantor, tapi kita gak liat-liatan sama sekali. Dan dalam bengong yang tak terkira, akhirnya aku menangkap pergerakan di sudut mataku.

Nadine berdiri. Dan dia berlalu, pergi entah ke mana.

Aku menelan ludahku, dan mengumpulkan keberanianku untuk bicara dengannya. Aku ingin meluruskan semuanya, sebenarnya. Aku akan mengatakan alasan sebenarnya kenapa aku nyinyir kepadanya malam itu, dan aku juga akan memberitahu suasana yang tak nyaman akibat dirinya yang terlalu perfeksionis. Syukur-syukur dia bisa mendengarkan dan mulai mencoba untuk santai di kantor. Tapi separah-parahnya…. Entahlah. Yang pasti, aku tahu ini semua mesti dibicarakan.

Tunggu, kok kayaknya agak lama ya dia perginya? Mungkin dia pergi ke WC atau ke pantry, tapi rasanya kok terlalu lama untuk urusan buang air kecil atau urusan membuat minuman. Mungkinkah dia harus melakukan hajat besar di toilet? Mungkin. Tapi aku yang tak sabar menunggu, lantas berdiri, mencoba melangkah dengan perasaan gamang ke arah dia menghilang tadi.

Ribuan kalimat sedang kususun di kepalaku. Sambil membayangkan ketusnya muka Nadine menghadapi kalimat-kalimatku nanti.

Deg.

Kaget. Posenya lumayan mengagetkan. Aku melihat Nadine ada di pantry, sedang duduk di kursi yang biasa dipakai untuk nongkrong office boy. Dia terdiam, sambil menatap ke sebuah cangkir berisi entahlah. Aku tak bisa menilainya dari jarak segini, apakah cangkirnya berisi kopi atau teh.

“Hai” aku menyapa dengan aneh sambil berusaha mendekat. Kursi yang diduduki oleh Nadine terbuat dari kayu solid, dengan panjang sekitar tiga meter. Pola kayu jati yang mengkilap terlihat dengan begitu jelas. Kursi itu ada di sana, berhadapan dengan dispenser, kompor listrik, dan laci pantry, yang isinya segala macam kopi dan teh yang dibutuhkan.

Dengan perasaan aneh, aku duduk di ujung kursi, jauh dari Nadine.

Dan Nadine hanya diam. Dia terus menatap ke arah cangkirnya, dan aku seperti tak ada disana. Untuk sesaat, tidak ada suara apa-apa dari kita berdua. Nadine masih tetap menatap ke arah cangkir.

“Ngomong-ngomong, aku minta maaf udah ngomong gak enak waktu bikin presentasi tempo hari” mau gak mau, aku yang mulai ngomong duluan. “Tapi aku ada alasannya ngomong kayak gitu, dan menurutku, ada baiknya kalo mulai sekarang kita bicara lebih sering kali ya? Biar gak ada miskomunikasi lagi…” kampret memang. Aku bicara demokratis banget.

Dan karena gak enak, aku jadinya natap ke arah lantai marmer yang luar biasa bagus ini.

Di pantry yang ukurannya sekitar 5 x 5 meter ini, kita berdua terdiam lagi. Aku gak tau lagi harus ngomong apa, karena sebelum aku lanjut ngomong lagi, omonganku yang sebelumnya harus direspon dulu sama Nadine. Gila, mual rasanya. Entah udah berapa menit dan detik kita berdua diem-dieman sekarang. Entah kayak lagi nungguin apaan.

Lama kelamaan, aku gak sabar. Aku akhirnya nengok ke arah Nadine.

Sial. Nadine ternyata udah naro cangkirnya di kursi, dan dia membenamkan mukanya ke dalam tangannya. Dia berusaha nahan nafasnya supaya gak terlalu kedengeran. Dia ternyata lagi nangis. Shit. Udah pasti, semua perkataanku waktu itu, dan segala macamnya, bikin dia ancur. Sial, sekali lagi sial.

“Nadine…” aku berusaha manggil namanya dan dia diem. Aku bingung harus ngapain. Satu hal yang pertama kali aku lakukan, adalah menyingkirkan cangkir itu dari kursi ini. Dengan gerakan cepat, aku ngelakuin itu, dan duduk lagi. Kali ini aku coba duduk deket perempuan ini. Perempuan tough, galak, yang lagi ancur banget ini. Jarak duduk kita cuman semeter sekarang, dan aku makin bingung di situasi yang membingungkan ini.

Udah lama gak ada cewek nangis di depanku. Dan ini bahkan bukan pacar atau saudaraku. Ini Nadine Sjarief, sepupunya Pak Bos besar, Aidan Sjarief, cucunya taipan besar negeri ini, Almarhum Sjarief Hidajat.

Monyet, sialan, setan alas. Semua umpatan ada di dalam kepalaku sekarang, menyumpahi diriku sendiri yang entah kenapa ngerasa berdosa banget karena udah bikin manusia ini nangis. Dan dia nangis, setelah aku coba ajak omong soal kejadian waktu bikin presentasi itu.

Otak, plis mikir sekarang, kalo ada cewek kayak Nadine, nangis di sebelah elo, lo harus ngapain? Diem? Berusaha menghibur? Berusaha ngajak ngobrol? Entah, bingung banget.

Dan di tengah kondisi desperate gak puguh kayak gitu, aku malah melakukan sesuatu, yang mungkin bisa berakhir dengan kemarahan, atau bahkan masalah yang lebih besar. Bodo amat. Aku inget, dulu waktu mantan pacarku nangis gara-gara stress di kantor, aku ngapain. Dengan agak panik aku nyari tissue yang mungkin aja ada di dalam laci. Iya, ada. Aku ambil beberapa, dan aku duduk lagi deket Nadine.

“Ini… Tissue…” Nadine cuma diem aja. Dia sama sekali gak ngambil tissue yang aku sodorin. Aku narik nafas panjang, dan secara tolol, aku mencoba mereplikasi gerak tubuhku waktu nenangin mantan pacarku yang nangis.

“Maafin aku, harusnya aku gak ngomong kayak gitu kemarin, oke?” aku bisik-bisik dengan volume suara yang bisa kedengeran sama dia, sambil megang bahunya dengan pelan. Ini kontak fisikku yang kedua dengan Nadine. Yang pertama adalah waktu berkenalan ketika dia baru masuk kantor.

Aku ngerasain tubuhnya yang naik turun karena nafasnya yang agak gak jelas. Dia ngangkat mukanya dikit, sambil ngeliatin mukanya yang masih nunduk. Amburadul banget. Dia lagi nangis, dan kacamatanya jadi buram gara-gara itu. Dengan gerakan pelan yang canggung dan malu-malu, dia ngambil tissue yang masih ada di tanganku. Perlahan, dia buka kacamatanya, sambil ngusap matanya dengan kertas tissue itu.

Setelah selesai ngusap air matanya, dia bingung, karena dia harus bersihin kacamatanya.

“Sini” aku dengan canggungnya berusaha ngambil kacamatanya dari tangannya dan dia gak ngelawan. Aku ambil, dan aku coba bersihin dengan kertas tissue yang tersisa di tanganku.

“Aku benci” mendadak dia bersuara.
“Eh?”
“Aku benci banget” suaranya lirih dan kedengaran penuh kekesalan.

“Benci apa?”
“Aku benci semuanya”
“Semuanya gimana maksudnya?”

“Aku benci kenapa aku harus perfect” lanjutnya.

“Well… Itu….” Aku bingung karena aku gak bisa ngomong apa-apa. Aku megang kacamatanya Nadine. Nadine tampak kesal, dan dia benar-benar berusaha memuntahkan semuanya di depan mukaku. Dia lalu melepas ikatan rambutnya. Rambut panjangnya tergerai dengan indahnya dan dia menatapku dengan wajah yang sendu.

“Aku tau, aku ngeselin banget” mata Nadine masih merah. “Aku tiap harinya selalu nyalahin orang-orang di rumah karena ini”

“Itu… Kenapa?”
“Karena aku anaknya Umar Sjarief dan Brigitte van Heerden” entah kenapa mendadak isi hati Nadine tumpah ruah gini. “Karena aku anaknya mereka, aku harus sempurna dari dulu. Memuakkan. Apa lagi sekarang… Aku gak boleh berbuat salah sedikitpun, aku gak boleh punya cela sedikitpun…. Bahkan Mbak Saras mereka suruh untuk awasin semua gerak-gerikku…. Sucks”

“Berat ya jadi anak dari keluarga itu?” tanyaku sambil berusaha sedikit tersenyum. Kenapa ya dia menumpahkan semuanya ke aku? Orang yang kemarin-kemarin ngomong hal-hal nyinyir ke dia?

“Bukan berat lagi…. Mereka selalu ingin semuanya sempurna…. Bukan cuma bokap… Tapi the whole family. Satu-satunya masa dimana aku ngerasa bebas itu, ya pas aku kuliah di US….. Aku bebas disana… Semua rasa frustrasiku bisa aku tumpahin di mana-mana, tapi ya… Mereka juga sering bolak-balik US, jadi aku mau gak mau, harus jadi anak yang baik tiap mereka ada…..” sambung Nadine.

“Tapi… Tunggu, kenapa kamu mendadak ngomong gini ke aku? Aku kan kemaren itu ngomong hal yang gak enak ke kamu…”
“Kenapa semuanya mesti perfect…..” suara Nadine terdengar frustrasi banget.
“Nah itu…”

“Dulu, kalo aku gak perfect, ribuan kritik datang dari bokap dan nyokap….. Sekarang, ditambah lagi ada Mas Aidan dan Mbak Saras di kantor ini, walau Mbak Saras keliatannya concern sama kondisiku, tetep aja, dia kan yang ngawasin aku……” Nadine bersandar ke dinding, dengan mata merah, muka yang tak karuan, dan suara yang terdengar menyedihkan, yang juga dicampur dengan kemarahan. “Dan baru kali ini ada orang yang bilang ke aku, kalo perfect itu salah…. Somehow itu kedengeran kayak temen-temen kuliahku dulu… Mereka bikin aku santai, bisa nyampah-nyampahin semua keketatan dan kesempurnakan yang diajarin sama Papa Umar dan Mama Brigitte……” Entah kenapa dia menyebut nama orang tuanya dengan nada dendam seperti itu.

Tapi pasti, berat banget jadi anggota keluarganya Almarhum Sjarief Hidajat. Aku selalu ngeliat Mbak Saras yang selalu kerepotan untuk keep up sama maunya manajemen yang demanding banget, padahal yang punya kantor suaminya. Dan kita pasti sering ngeliat betapa terukur dan terencananya semua gerakannya Aidan Sjarief. Bukan hanya gerakan bisnis. Kalau liat dia makan di acara kantor, sampai setiap gerakan suapan, batuk, dan gaya nafasnya kayak teratur sekali.

Dan gak semua orang tahan dalam kondisi kayak gitu, salah satunya Nadine. Itulah kenapa Mbak Saras, yang notabene adalah orang luar di keluarga Sjarief, bisa nangkap sinyal-sinyal stress dan kerapuhan dari dalam diri Nadine. Karena mungkin, Mbak Saras sebagai orang asing di keluarga itu jadi lebih objektif menilai semuanya.

“Kamu gak harus perfect, itu bener. Kerja bener aja udah cukup sebenernya. Tapi pasti orang tua kamu ngeliatin kamu kan, mereka pengen kamu jadi pewaris perusahaan yang entah dimana…. Dan itu butuh orang yang harus sesuai sama standard mereka pasti” aku geleng-geleng kepala, dan aku ngambil rokok dari saku celanaku, dan aku bakar disini sekarang. Bodo amat besok pantry bau rokok. Ntar aku bakal bayar denda ngerokoknya, cuman 200 ribu kan?

“Minta”
“Minta apa?”
“Rokok”

“Nih” aku ngasih rokokku ke Nadine, dan dia nerima dengan perasaan yang mungkin lebih ringan. Dia ambil rokokku dan dia ngambil korekku. Pas dia nyalain, dia mendadak batuk.

“Uhuk!! Uhk…” Dia langsung narik asapnya banyak-banyak, kayak salah gitu nariknya.
“Eh, gapapa?”
“Gapapa… Udah berapa tahun ya aku gak ngerokok… Gila, terakhir ngerokok itu di US sana…. Dulu disana enak, aku bisa party, bisa males-malesan, dan bisa bebas, gak diawasin sama bokap nyokap. Setelah lulus, dan balik ke Indonesia, semuanya jadi sucks lagi…….”

“Besok Mbak Saras pasti marah-marah kenapa pantry bau rokok”
“Besok aku ikut nyumbang uang dendanya… Ya?” suara Nadine masih kedengeran lirih dan lemes, tapi ya wajar, dia baru aja nangis tadi, tapi aku ngerasa seneng bisa denger dan lihat sisi dia yang ini.

“Boleh, tapi… Mulai besok, kamu bisa lebih laid-back lagi di kantor”
“Gak bisa….”
“Kok gak bisa?”
“Banyak mata ngeliatin aku, kan tadi aku udah bilang…….”

“Hmm… Susah ya?”
“Susah banget… Makanya aku mendadak seneng pas kemaren Mas bilang hal yang kayak gitu… Kayak alarm, ngingetin aku buat mikir waras sebentar…. Dan istirahat di rumah karena sakit….”
“Sampai sakit aja kamu maksain masuk”

“Mau gimana lagi, susah jadi anaknya mereka… Kadang aku iri sama orang lain, kayak office boy gitu, bukan anaknya siapa-siapa, gak ada ekspektasi apapun dari orang tua mereka, paling cuma disuruh jadi anak baik dan berbakti doang, gak disuruh jadi calon CEO, gak disuruh kuliah di tempat-tempat mahal dan mentereng, dan gak disuruh untuk selalu jadi sempurna……….” Nadine agak tersenyum sedikit. Tapi itu bukan senyum bahagia. Itu senyum kesel.

“Kalo gitu sekarang aku bisa jadi temen curhat kamu kali ya?” aku menawarkan itu ke dia, sambil bingung, naro abu rokok dimana. Akhirnya aku ambil cangkir bekas Nadine tadi dan itu aku jadiin asbak asal-asalan.

Nadine diem aja. Aku anggap itu sebagai ya. Seenggaknya kita sering in charge bareng, jadi mungkin di rapat atau setelah rapat, dia bisa curhat macem-macem ke aku soal semuanya.

Sekarang, dia matiin rokoknya di cangkir itu, dan dia buang dua puntung rokok itu ke tong sampah. Dia masih belum senyum lagi. Dia lantas duduk di sebelahku lagi, dan rasanya moodnya udah bagus, sekarang. Dan untuk sesaat, aku rasa gapapa kalau aku megang bahunya lagi buat nyemangatin dia.

“Mau balik ke meja lagi?” tanyaku sambil menepuk bahunya pelan, dengan maksud untuk nyemangatin. Nadine mendadak natap mataku, sambil menggelengkan kepala. Dan mendadak, dia langsung mendekat dan berbisik kepadaku.

“Aku gak tau ini apa, tapi rasanya….”
“Eh?” wait. Apa-apaan ini?

Nadine mendadak merangkul bahuku dan naik ke pangkuanku. Nafasnya yang tadi gak beraturan, karena nangis, sekarang makin gak beraturan lagi. Dengan gerakan yang cepat, dia ngambil kacamatanya dari tanganku, dan dengan satu tangannya, dia pake kacamata itu. Tanpa diminta, dia langsung meraih bibirku dengan ganas.

“Mnn?”

Kaget? Pasti. Tapi kaget ini mendadak bikin aku deg-degan. Suasana panas yang serba mendadak ini, bikin aku kaget setengah mati. Kami saling melumat, aku terbawa suasana dan benar-benar menikmati ciuman ini. Dengan otomatis, suasana super aneh ini membawa aku memeluk pinggangnya yang ramping itu.

Sialan. Mimpi apa aku semalem. Sampai beberapa hari yang lalu, aku masih benci sama cewek ini. Kemarin sampai tadi, aku mulai simpati sama dia yang ternyata fragile. Dan sekarang, yang ada di dalam kepalaku nafsu.

Siapa yang gak nafsu dicium sama cewek secantik ini? Dan kacamata yang dia pakai lagi tadi bikin dia makin keliatan menggairahkan.

Dia memeluk bahuku dengan erat, dan makin berdua bertukar ciuman yang benar-benar bernafsu. Suara desahannya terdengar begitu menggoda di kepalaku. Aku bercumbu dengan cucunya Sjarief Hidajat? Ini gila. Beyond belief. Dan rasa bibirnya, begitu nikmat, walau agak pahit karena rokok tadi. Aku dan dia saling bertukar nafsu dan ini benar-benar menggairahkan.

“Mas Malik… Sorry… Aku…. Aku gak bisa tahan lagi.. Udah lama aku enggak….”
“It’s Okay” bisikannya di telingaku bener-bener gak bisa aku tahan lagi. Dengan gerakan yang ganas, aku menciumi lehernya yang jenjang.

“Ahhnn” Nadine mengerang pelan, dia menikmatinya saat aku menjelajahi lehernya itu. Kucium yang bisa kucium, dan bahkan kugigit yang bisa kugigit. Semua bagian dari lehernya yang bisa kugapai, kujelajahi dengan ganas. Aku menggila di tengah suasana panas di pantry ini.

Sambil menciumi lehernya, tanganku merayap ke arah buah dadanya, dengan gerakan yang benar-benar tak tertahan lagi, aku meremas buah dadanya secara asal-asalan. Nafsu membayangi diriku. Gila, aku nggrepe Nadine Sjarief.

“Buka aja”
“Nnh?” tanyaku bingung.
“Kancingku, buka..” bisiknya dengan suara mendesah.

Aku dengan gelagapan langsung membuka kancingnya satu persatu. Di dalamnya ada bra berwarna merah muda yang menggemaskan. Nadine bahkan melepas pelukannya di bahuku agar dia bisa melepaskan pengait bra nya. Dan buah dada yang menggoda itu akhirnya menyembul di sela-sela kemejanya. Aku tanpa basa-basi lagi langsung melumat putingnya.

“Aahhhnn……” bisiknya dengan suara tak karuan. Aku menciuminya, menghisap dan menjilati salah satu putingnya dengan bernafsu. Kepalaku berputar. Rasanya luar biasa. Kami berdua menggila.

Tangan Nadine tidak kalah jahilnya. Dengan posisi yang aneh, dia meremas penisku. Dia meremasnya dengan keras, seakan-akan ingin mencabutnya dan langsung menjejalkannya ke dalam tubuhnya. Aku merasakan tubuhnya panas. Sudah berapa lama dia tidak berhubungan seks? Mungkin ketika kuliah, itu saat terakhirnya merasakan nikmat dunia. Setelah itu, dia masuk ke dalam labirin dingin ala keluarga Sjarief.

“Nggh!” dia kaget saat aku menggigit pelan putingnya tanpa permisi. “Mas…”
“Eh?”
“Aku gak tahan lagi… Shove it inside me….” bisiknya dengan nada yang begitu nakal.

Jantungku berdegup kencang. Gila. Aku langsung panik. Gak ada kondom. Gak ada pengaman dimana-mana disini. Gila? Kalau aku keluar turun beli kondom dulu, semuanya pasti kentang. Gila. Aneh banget situasinya.

“Tapi… Kondom…”
“I don’t care… Aku udah gak tahan… Udah lama…. Aku….” Nadine mendadak menolak tubuhku. Dia langsung duduk bersimpuh di depanku, melucuti ikat pinggangku dan menurunkan celanaku tanpa banyak berpikir lagi. Penisku menyembul keluar. Dia berdiri tegak. Rasanya aneh, alat vitalku berdiri tegak bebas dan aku masih memakai pakaian lengkap seperti ini.

“Mnnn…….” Nadine langsung menggenggamnya. Tanpa ba-bi-bu lagi dia langsung melumat penisku, memasukkannya kedalam mulutnya yang seksi. Dia menghisapnya dengan begitu ganas, seakan-akan dia lapar akan alat kelamin lelaki. Dengan mata terbuka dan menatap manja ke arahku, dia mengulum penisku dengan ganas. Bibirnya menyelimuti kelaminku. Kepalanya bergerak maju mundur, dan dinding mulut serta lidahnya memberikan sensasi menggelitik gila yang menjalar ke seluruh tubuhku.

Nadine Sjarief gila. Dia tampak seperti perempuan yang gila seks. Sungguh berbeda dengan dia biasanya yang selalu tampil sempurna dan composed. Sekarang, yang sedang mengulum penisku ini adalah perempuan liar yang haus bersetubuh.

“Nnn…..” Nadine mengeluarkan penisku dari mulutnya dan dia menjilat pelan ujungnya. “This should be enough” Nadine berdiri, merogoh ke dalam roknya, dan menurunkan celana dalamnya yang menarik itu.

“Come” bisiknya saat dia naik ke atas tubuhku. Gila, aku deg-degan dibuatnya. Penisku menempel di bibir Vaginanya yang sudah membasah. Sepertinya dari tadi dia sudah bernafsu. Entah sejak kapan. Mungkin sejak kita mulai bisa mengobrol dengan biasa tadi. Mungkin dia merasa aku adalah kesempatan untuk membuang pikiran stressnya dalam bentuk hubungan seksual.

“Unnghh!” Dengan perlahan, penisku yang sudah basah oleh air liurnya masuk ke dalam kehangatan tubuhnya. Nadine memeluk leherku, dan dia mulai bergerak naik turun dengan liar. Ritmenya amburadul dan benar-benar didikte oleh nafsu belaka.

“Nadine… Ah!” Aku kaget, setiap sentakan badannya membuatku merasa mati rasa keenakan. Sudah lama aku tidak melakukan ini. Dan kali ini, aku bercinta dengan Nadine Sjarief, di pantry kantor. Gila. Kalau kami melakukannya di area kerja atau di ruang rapat, CCTV pasti sudah merekam tindakan kami berdua.

“Nnnh…. nnhh… Ah..” Nadine menggerakkan pantatnya dengan liar. Hangat yang ada di dalam tubuhnya terasa begitu nyaman. Dia begitu mendominasi dan dia benar-benar ingin merasakan kenikmatan tubuhku. Gerakannya liar, menggemaskan dan menggairahkan.

Aku bisa lihat ekspresi mukanya yang begitu bahagia. Dia merasakan kenikmatan itu, akhirnya. Di saat aku bertatapan dengannya, mendadak dia langsung melumat bibirku dengan ganas.

“Mmhh!” aku terkaget-kaget karena Nadine begitu menguasai tubuhku. Dia bertumpu di bahuku, menciumi bibirku dengan ganas, dan pinggulnya bergerak dengan ganas di pangkuanku. Staminanya tampak tak habis-habis. Dia sepertinya menginginkan ini sejak lama, entah dengan siapa.

“Peluk aku” Nadine memerintahku setelah dia melepas ciumannya. Aku tak bisa berpikir lagi. Tanganku yang dari tadi tak berdaya kini langsung memeluk pinggangnya erat. “Pindahin aku ke atas kursi….”

Tanpa banyak berpikir, aku langsung mencoba berdiri, mengangkat tubuh Nadine. Aku meremas pantatnya dengan sengaja saat kuangkat dirinya. Aku lantas membaringkannya di kursi panjang itu dan langsung menimpa dirinya.

“Nngghh…. Nggghh… Nnnng….” Nadine mengerang sambil menutup matanya, saat aku memompakan kejantananku ke dalam dirinya. Dia melebarkan pahanya lebar-lebar. Dia membiarkan aku bertumpu di permukaan kursi itu, sementara tangan kanannya meraba-raba buah dadanya sendiri. Dan tangan kirinya…. meraba bibir kemaluannya. Nadine tampak ingin segera merasakan kenikmatan. Dia seperti tak sabar.

“Aaahh… Ahh… Ah” Nadine bersuara dengan liar, sementara aku terus menggerakkan badanku, agar aku bisa menstimulasinya dengan edan-edanan. Nadine benar-benar kehilangan akal sehatnya. Dia tampak berkonsentrasi dengan sepenuh perasaannya, agar dia merasakan orgasme. Tapi ini baru setengah jalan, dia pasti menunggu saat yang tepat.

“Nadine… Aku…” Iya, aku sudah tidak tahan lagi. Siapa yang bisa tahan, bercinta mendadak dengan Nadine Sjarief yang anggun seperti ini. Rasanya sudah ingin meledak sejak tadi dia melakukan oral seks.

“No… Jangan dulu… Nanti.. Please” ucapnya dengan tegas, sambil tetap meraba-raba badannya sendiri. Aku mengangguk. “Lepas dulu.. Bentar…” Aku menurut. Nadine mendadak beringsut, dia berdiri, lalu bertumpu di dinding. Ia menungging, dan menatapku dengan tatapan bernafsu. “Do me… From behind…” bisiknya dengan setengah memaksa. Aku mengangguk. Siapa yang bisa menolak?

Aku berdiri, dan langsung meraih pantatnya. Aku menyingkapkan roknya, melihat pantatnya yang mulus dan bersih itu. Tanpa banyak pikir, aku langsung menghunjamkan penisku ke dalam vaginanya.

“Uhh!” Nadine tersentak. Dia menikmatinya. aku memompakan banyak-banyak tenagaku ke dalam tubuh Nadine. Dia mengerang keenakan. Dia benar-benar menginginkan seks tampaknya.

“Spank me…”
“Kenapa?” Sumpah, aku tidak bisa berkonsentrasi sama sekali.
“Spank”
“Nadine?”
“Spank! Ah!”

Aku menampar pantat Nadine dengan setengah hati, sambil tetap menggagahinya.

“Terus!”

Aku menurut.

“Ah! Ahh!” Aku menampari pantat Nadine dengan semena-mena, membuat pipi pantatnya menjadi merah, memberikan stimulasi gila kepadanya. Nadine memejamkan matanya, sambil mencoba benar-benar merasakan tamparanku dan gerakan penisku yang semakin lama semakin menggila.

“Nadine … Ini…”
“Hold it!”
“Nadine…”
“I said hold it!”

Ucapannya yang tegas membuatku malah semakin bersemangat. Aku menggerakkan pantatku maju mundur dengan liar. Suasananya sudah acak-acakan. Bentuk kami berdua sudah tidak karuan. Buah dada Nadine tampak terlihat menyembul keluar dari kemejanya, dan pantatnya makin memerah. Aku menamparnya terus-terusan, sesuai dengan perintah sang putri.

“Nnnn…. AH!!” Nadine mengejang. Tanpa aba-aba dia merasakan orgasme. “AH!!” Nadine kembali mengejang. Aku menyerangnya semakin gila. Sebentar lagi aku juga bisa merasakannya.

“NNNGGG…. AAAHHH!!” Nadine mengerang, melengking, tanda dia mendapatkannya. Dia langsung mendorongku menjauh, membuat irama kenikmatanku mendadak lenyap. Sial. Nadine langsung terduduk di kursi, dan dia menatapku dengan tatapan penuh kenikmatan, di balik kacamatanya.

Gila. Nadine Sjarief. Dia duduk di kursi itu, dengan rok tersingkap, pantat yang memerah, baju yang amburadul, rambut yang acak-acakan, muka yang merona dan nafas yang hampir habis.

“Sini….” Dia menarik tanganku, dan meminta aku menyodorkan penisku ke arah mulutnya. Dia lantas membuka mulutnya, dan dia mengulumnya perlahan. Tangan kirinya menggenggam penisku, dan di tengah rangkaian kenikmatan di tubuhnya, Nadine mengocok penisku dengan ritme stabil. Dia menghisap kepalanya, sambil menjilat-jilat sedikit, memberikan kenikmatan yang luar biasa.

Tangan kanan Nadine meraba-raba bibir vaginanya sendiri.

Gila. Perempuan ini sungguh bernafsu. Sudah berapa lama dia menahan gejolak seks seperti ini. Di tengah serangan stress dan tekanan mental dari keluarganya, Nadine sepertinya menjadikan seks sebagai pelampiasannya. Ini semua terlihat dari dominasi dan kegilaannya.

“Mas Malik….”
“Nnh?”
“Kalo mau keluar, keluar aja….”
“Eh?”

Aku merasa kaget, karena Nadine yang cantik luar biasa ini mengizinkan aku mengeluarkan spermaku di muka atau di mulutnya. Aku masih terpaku, kaget.

“Sini..” Aku jadi bersemangat. Nadine lantas melepas tangannya. Aku mengocok penisku sendiri, dan Nadine menciumi dan mengulum kepalanya dengan gerakan yang bitchy.

“Ah!”
“Nng!”

Ini dia. Spermaku muncrat sejadi-jadinya di muka Nadine. Beberapa tetes tampak membasahi bajunya. Bibirnya basah oleh sperma dan dia terlihat menikmatinya. Dia bahkan menjilati ujung penisku, dan sedikit menghisapnya. Dia seperti ingin menghabiskan seluruh persediaan sperma yang kupunya. Ini gila dan mind-blowing.

“Haha..” Nadine tertawa dengan muak berlumur sperma. Aku masih bingung. “Hahaha…” dia tertawa lagi sambil menciumi penisku. “Kayaknya kita harus ngelanjutin ini…. Ini masih belum selesai, kan?”

Apa?

Aku cuma bisa mengangguk, dan rasanya, aku seperti terbang ke atas awan malam itu.

------------------------------
------------------------------
------------------------------

messy-10.jpg

Sudah subuh, dan aku belum tidur.

Aku menatap ke dua buah kondom bekas yang ada di tong sama di kamar kosanku. Di atas kasurku, Nadine Sjarief sedang tertidur lelap. Malam itu, Nadine memutuskan untuk menginap di tempatku, melanjutkan persetubuhan yang tadi.

Kami bergumul lagi, menghabiskan dua kali adegan intim, yang sepertinya pantas masuk film porno di dalam kamar ini. Nadine benar-benar liar. Dia benar-benar stress dan frustrasi. Dia tampak bahagia ketika sedang melakukan persetubuhan.

Menurut cerita singkatnya, sexual frustrasionnya memang sudah di atas ubun-ubun. Dan melakukan ini bersamaku, ternyata membuatnya sangat bahagia. Dia benar-benar menikmati semuanya, tanpa terkecuali.

Intinya, tekanan karena keluarga besarnya, bisa ia atasi dengan melampiaskannya ke seks. Gila, untung besok sabtu.

Aku menatap wajah cantiknya, sambil naik ke arah tempat tidur. Dia terlihat begitu tenang. Fitur mukanya sungguh anggun, dan badannya benar-benar bagus. Nadine benar-benar luar biasa. Ah, sebaiknya aku tidur. Aku lantas masuk ke dalam selimut, tidur di sebelah badannya yang seksi, sambil menempel sedikit ke arah tubuhnya.

“Nnnh…” Nadine terbangun tampaknya.
“Hei”
“Halo” dia tersenyum dengan manisnya.
“Tidur lagi ya” bisikku.

“Jam berapa sekarang?”
“Jam empat” jawabku pelan. “Eh!”

Nadine meremas penisku. Dia lantas berbisik kepadaku.

“Let’s do it one more time”
“Nadine… Ini udah subuh….”
“Ayo..”
“Eh, ini…”

“I don’t care… Fuck me” bisiknya dengan nada binal. Aku melongo. dia tersenyum manis, dan langsung naik ke atas tubuhku. Dia menatap wajahku dengan tajam.

Sepertinya, mulai hari ini hidupku akan jadi lebih berwarna. Karena, Nadine Sjarief akan memintaku untuk menggagahinya semau dirinya.

Apakah aku bisa menolak? Sepertinya tidak bisa. Jadi, pagi ini, aku akan bergumul lagi dengannya, menghabiskan sisa tenagaku.

Mulai hari ini, kantor tidak akan terasa sama lagi.

“This time harder” bisiknya dengan menggoda. Aku mengangguk.

Ya, hari-hariku akan jadi lebih gila sekarang.

------------------------------

TAMAT
 
------------------------------

bagaim10.jpg

Selama nemenin Mbak Saras presentasi, perasaanku campur aduk. Di satu sisi, aku ngerasa ngelakuin hal yang bener karena udah muntahin semua kekesalanku ke Nadine, tapi di sisi yang lain, setelah ngedenger penjelasan Mbak Saras soal Nadine, aku malah jadi ngerasa berdosa.

Aku sekarang cuma bisa ngeliat Mbak Saras dengan luwesnya ngejelasin presentasi yang semalem dibikin oleh aku dan Nadine. Bukan, bukan aku dan Nadine yang bikin. Nadine yang bikin, aku cuma cariin image doang.

Gila. Nadine sekarang gak masuk, gara-gara sakit. Dia lagi sakit dan kata Mbak Saras, anaknya gampang stress. Jadi selama ini dia ngapain? Dia selama ini selalu pasang tampang gagah dan keras. Semua gerakannya tampak kayak sempurna dan selalu benar. Saking kayak gitunya, sampai bikin orang lain gak suka sama dia. Tapi kenyataannya, kata Mbak Saras, dia fragile.

Aku nelen ludahku, sambil banyak berharap. yang pertama, mudah-mudahan Nadine gak ancur. Yang kedua, mudah-mudahan aku bisa tahu kenapa dia mesti pasang façade keras kayak gitu.

Sial ya? Sial banget. Sial karena aku udah ngerespon kelakuan serba kerasnya Nadine dengan serampangan. Dan mudah-mudahan dia besok masuk, supaya perasaan gak nyamanku sekarang ini gak berkepanjangan.

------------------------------
------------------------------
------------------------------

Ternyata, Nadine gak masuk dua hari. Sekarang dia ada di mejanya, di kantor seperti biasa. Mukanya keliatan segar, gak kayak habis sakit, seperti yang Mbak Saras bilang. Dia hari ini tampil anggun seperti biasa. Dandanan ala office ladynya bener-bener keliatan elegan. Dengan kemeja berwarna biru muda tanpa kerah, dan rok berwarna biru tua, dia keliatan begitu dewasa. Rambut panjangnya diiket ke belakang, bener-bener ngeliatin fitur muka tegasnya. Kalo udah kayak gini, keliatan banget bule-nya.

Seharian ini, kita sama sekali gak ngomong. Sekarang udah maghrib. Beberapa orang udah pada pulang, dan Nadine gak bergerak sedikitpun dari mejanya. Dia tampak fokus ngerjain apapun yang dia mesti kerjain. Dua hari gak masuk, kerjaannya pasti numpuk, dan sudah bisa ditebak, hari ini dia pasti lembur.

Entah kenapa hari ini aku ngerasa harus ada di kantor juga malam-malam. Aku harus nungguin Nadine, supaya bisa ngobrol sama dia, entah ngobrolin apa. Pasti bakal awkward banget, dan pasti bakal aneh banget. Tapi masa bodo. Aku harus ngejelasin kenapa aku ngomong kayak gitu. Dan aku juga mesti bilang kalo dia emang gampang stress dan segala macem, gak ada salahnya untuk let loose sedikit.

Mungkin dengan bersosialisasi dan ngelonggarin standart kerjanya sendiri, dia bisa jadi lebih santai dan jadi lebih tenang, gak galak kayak biasanya.

Mungkin tapi. Entahlah, yang pasti, aku sedang menghitung waktu, menunggu orang-orang pada pulang, supaya di kantor ini, tinggal aku berdua lagi dengan Nadine Sjarief.

Dengan tidak sabar, aku menunggu waktu berjalan.

------------------------------

This is it.

Jam 9 malam. Kantor sudah kosong. OB udah permisi. Mbak Saras yang biasa pulang malem pun udah pergi. Dan Nadine tetap ada disini, merhatiin tumpukan gambar-gambar dari konsultan, dia cek satu-satu dengan seksama, dan sudah pasti teliti.

Sedangkan aku dari tadi bengong. Ada kerjaan sih, tapi deadline nya gak besok. Urusan hari ini, biar jadi urusan aku ngobrol sama Nadine dulu. Dan entah kenapa, ada perasaan aneh yang menghalangiku untuk kirim pesan dari sosial media kedia. Mending enakan langsung, kalo lewat sosmed takutnya gak digubris sama miss perfect yang ternyata isinya fragile itu.

Sekarang aku lagi nungguin waktu yang tepat untuk mulai ajak dia bicara. Entah kapan. Dari tadi, walaupun cuman kita berdua doang yang ada di kantor, tapi kita gak liat-liatan sama sekali. Dan dalam bengong yang tak terkira, akhirnya aku menangkap pergerakan di sudut mataku.

Nadine berdiri. Dan dia berlalu, pergi entah ke mana.

Aku menelan ludahku, dan mengumpulkan keberanianku untuk bicara dengannya. Aku ingin meluruskan semuanya, sebenarnya. Aku akan mengatakan alasan sebenarnya kenapa aku nyinyir kepadanya malam itu, dan aku juga akan memberitahu suasana yang tak nyaman akibat dirinya yang terlalu perfeksionis. Syukur-syukur dia bisa mendengarkan dan mulai mencoba untuk santai di kantor. Tapi separah-parahnya…. Entahlah. Yang pasti, aku tahu ini semua mesti dibicarakan.

Tunggu, kok kayaknya agak lama ya dia perginya? Mungkin dia pergi ke WC atau ke pantry, tapi rasanya kok terlalu lama untuk urusan buang air kecil atau urusan membuat minuman. Mungkinkah dia harus melakukan hajat besar di toilet? Mungkin. Tapi aku yang tak sabar menunggu, lantas berdiri, mencoba melangkah dengan perasaan gamang ke arah dia menghilang tadi.

Ribuan kalimat sedang kususun di kepalaku. Sambil membayangkan ketusnya muka Nadine menghadapi kalimat-kalimatku nanti.

Deg.

Kaget. Posenya lumayan mengagetkan. Aku melihat Nadine ada di pantry, sedang duduk di kursi yang biasa dipakai untuk nongkrong office boy. Dia terdiam, sambil menatap ke sebuah cangkir berisi entahlah. Aku tak bisa menilainya dari jarak segini, apakah cangkirnya berisi kopi atau teh.

“Hai” aku menyapa dengan aneh sambil berusaha mendekat. Kursi yang diduduki oleh Nadine terbuat dari kayu solid, dengan panjang sekitar tiga meter. Pola kayu jati yang mengkilap terlihat dengan begitu jelas. Kursi itu ada di sana, berhadapan dengan dispenser, kompor listrik, dan laci pantry, yang isinya segala macam kopi dan teh yang dibutuhkan.

Dengan perasaan aneh, aku duduk di ujung kursi, jauh dari Nadine.

Dan Nadine hanya diam. Dia terus menatap ke arah cangkirnya, dan aku seperti tak ada disana. Untuk sesaat, tidak ada suara apa-apa dari kita berdua. Nadine masih tetap menatap ke arah cangkir.

“Ngomong-ngomong, aku minta maaf udah ngomong gak enak waktu bikin presentasi tempo hari” mau gak mau, aku yang mulai ngomong duluan. “Tapi aku ada alasannya ngomong kayak gitu, dan menurutku, ada baiknya kalo mulai sekarang kita bicara lebih sering kali ya? Biar gak ada miskomunikasi lagi…” kampret memang. Aku bicara demokratis banget.

Dan karena gak enak, aku jadinya natap ke arah lantai marmer yang luar biasa bagus ini.

Di pantry yang ukurannya sekitar 5 x 5 meter ini, kita berdua terdiam lagi. Aku gak tau lagi harus ngomong apa, karena sebelum aku lanjut ngomong lagi, omonganku yang sebelumnya harus direspon dulu sama Nadine. Gila, mual rasanya. Entah udah berapa menit dan detik kita berdua diem-dieman sekarang. Entah kayak lagi nungguin apaan.

Lama kelamaan, aku gak sabar. Aku akhirnya nengok ke arah Nadine.

Sial. Nadine ternyata udah naro cangkirnya di kursi, dan dia membenamkan mukanya ke dalam tangannya. Dia berusaha nahan nafasnya supaya gak terlalu kedengeran. Dia ternyata lagi nangis. Shit. Udah pasti, semua perkataanku waktu itu, dan segala macamnya, bikin dia ancur. Sial, sekali lagi sial.

“Nadine…” aku berusaha manggil namanya dan dia diem. Aku bingung harus ngapain. Satu hal yang pertama kali aku lakukan, adalah menyingkirkan cangkir itu dari kursi ini. Dengan gerakan cepat, aku ngelakuin itu, dan duduk lagi. Kali ini aku coba duduk deket perempuan ini. Perempuan tough, galak, yang lagi ancur banget ini. Jarak duduk kita cuman semeter sekarang, dan aku makin bingung di situasi yang membingungkan ini.

Udah lama gak ada cewek nangis di depanku. Dan ini bahkan bukan pacar atau saudaraku. Ini Nadine Sjarief, sepupunya Pak Bos besar, Aidan Sjarief, cucunya taipan besar negeri ini, Almarhum Sjarief Hidajat.

Monyet, sialan, setan alas. Semua umpatan ada di dalam kepalaku sekarang, menyumpahi diriku sendiri yang entah kenapa ngerasa berdosa banget karena udah bikin manusia ini nangis. Dan dia nangis, setelah aku coba ajak omong soal kejadian waktu bikin presentasi itu.

Otak, plis mikir sekarang, kalo ada cewek kayak Nadine, nangis di sebelah elo, lo harus ngapain? Diem? Berusaha menghibur? Berusaha ngajak ngobrol? Entah, bingung banget.

Dan di tengah kondisi desperate gak puguh kayak gitu, aku malah melakukan sesuatu, yang mungkin bisa berakhir dengan kemarahan, atau bahkan masalah yang lebih besar. Bodo amat. Aku inget, dulu waktu mantan pacarku nangis gara-gara stress di kantor, aku ngapain. Dengan agak panik aku nyari tissue yang mungkin aja ada di dalam laci. Iya, ada. Aku ambil beberapa, dan aku duduk lagi deket Nadine.

“Ini… Tissue…” Nadine cuma diem aja. Dia sama sekali gak ngambil tissue yang aku sodorin. Aku narik nafas panjang, dan secara tolol, aku mencoba mereplikasi gerak tubuhku waktu nenangin mantan pacarku yang nangis.

“Maafin aku, harusnya aku gak ngomong kayak gitu kemarin, oke?” aku bisik-bisik dengan volume suara yang bisa kedengeran sama dia, sambil megang bahunya dengan pelan. Ini kontak fisikku yang kedua dengan Nadine. Yang pertama adalah waktu berkenalan ketika dia baru masuk kantor.

Aku ngerasain tubuhnya yang naik turun karena nafasnya yang agak gak jelas. Dia ngangkat mukanya dikit, sambil ngeliatin mukanya yang masih nunduk. Amburadul banget. Dia lagi nangis, dan kacamatanya jadi buram gara-gara itu. Dengan gerakan pelan yang canggung dan malu-malu, dia ngambil tissue yang masih ada di tanganku. Perlahan, dia buka kacamatanya, sambil ngusap matanya dengan kertas tissue itu.

Setelah selesai ngusap air matanya, dia bingung, karena dia harus bersihin kacamatanya.

“Sini” aku dengan canggungnya berusaha ngambil kacamatanya dari tangannya dan dia gak ngelawan. Aku ambil, dan aku coba bersihin dengan kertas tissue yang tersisa di tanganku.

“Aku benci” mendadak dia bersuara.
“Eh?”
“Aku benci banget” suaranya lirih dan kedengaran penuh kekesalan.

“Benci apa?”
“Aku benci semuanya”
“Semuanya gimana maksudnya?”

“Aku benci kenapa aku harus perfect” lanjutnya.

“Well… Itu….” Aku bingung karena aku gak bisa ngomong apa-apa. Aku megang kacamatanya Nadine. Nadine tampak kesal, dan dia benar-benar berusaha memuntahkan semuanya di depan mukaku. Dia lalu melepas ikatan rambutnya. Rambut panjangnya tergerai dengan indahnya dan dia menatapku dengan wajah yang sendu.

“Aku tau, aku ngeselin banget” mata Nadine masih merah. “Aku tiap harinya selalu nyalahin orang-orang di rumah karena ini”

“Itu… Kenapa?”
“Karena aku anaknya Umar Sjarief dan Brigitte van Heerden” entah kenapa mendadak isi hati Nadine tumpah ruah gini. “Karena aku anaknya mereka, aku harus sempurna dari dulu. Memuakkan. Apa lagi sekarang… Aku gak boleh berbuat salah sedikitpun, aku gak boleh punya cela sedikitpun…. Bahkan Mbak Saras mereka suruh untuk awasin semua gerak-gerikku…. Sucks”

“Berat ya jadi anak dari keluarga itu?” tanyaku sambil berusaha sedikit tersenyum. Kenapa ya dia menumpahkan semuanya ke aku? Orang yang kemarin-kemarin ngomong hal-hal nyinyir ke dia?

“Bukan berat lagi…. Mereka selalu ingin semuanya sempurna…. Bukan cuma bokap… Tapi the whole family. Satu-satunya masa dimana aku ngerasa bebas itu, ya pas aku kuliah di US….. Aku bebas disana… Semua rasa frustrasiku bisa aku tumpahin di mana-mana, tapi ya… Mereka juga sering bolak-balik US, jadi aku mau gak mau, harus jadi anak yang baik tiap mereka ada…..” sambung Nadine.

“Tapi… Tunggu, kenapa kamu mendadak ngomong gini ke aku? Aku kan kemaren itu ngomong hal yang gak enak ke kamu…”
“Kenapa semuanya mesti perfect…..” suara Nadine terdengar frustrasi banget.
“Nah itu…”

“Dulu, kalo aku gak perfect, ribuan kritik datang dari bokap dan nyokap….. Sekarang, ditambah lagi ada Mas Aidan dan Mbak Saras di kantor ini, walau Mbak Saras keliatannya concern sama kondisiku, tetep aja, dia kan yang ngawasin aku……” Nadine bersandar ke dinding, dengan mata merah, muka yang tak karuan, dan suara yang terdengar menyedihkan, yang juga dicampur dengan kemarahan. “Dan baru kali ini ada orang yang bilang ke aku, kalo perfect itu salah…. Somehow itu kedengeran kayak temen-temen kuliahku dulu… Mereka bikin aku santai, bisa nyampah-nyampahin semua keketatan dan kesempurnakan yang diajarin sama Papa Umar dan Mama Brigitte……” Entah kenapa dia menyebut nama orang tuanya dengan nada dendam seperti itu.

Tapi pasti, berat banget jadi anggota keluarganya Almarhum Sjarief Hidajat. Aku selalu ngeliat Mbak Saras yang selalu kerepotan untuk keep up sama maunya manajemen yang demanding banget, padahal yang punya kantor suaminya. Dan kita pasti sering ngeliat betapa terukur dan terencananya semua gerakannya Aidan Sjarief. Bukan hanya gerakan bisnis. Kalau liat dia makan di acara kantor, sampai setiap gerakan suapan, batuk, dan gaya nafasnya kayak teratur sekali.

Dan gak semua orang tahan dalam kondisi kayak gitu, salah satunya Nadine. Itulah kenapa Mbak Saras, yang notabene adalah orang luar di keluarga Sjarief, bisa nangkap sinyal-sinyal stress dan kerapuhan dari dalam diri Nadine. Karena mungkin, Mbak Saras sebagai orang asing di keluarga itu jadi lebih objektif menilai semuanya.

“Kamu gak harus perfect, itu bener. Kerja bener aja udah cukup sebenernya. Tapi pasti orang tua kamu ngeliatin kamu kan, mereka pengen kamu jadi pewaris perusahaan yang entah dimana…. Dan itu butuh orang yang harus sesuai sama standard mereka pasti” aku geleng-geleng kepala, dan aku ngambil rokok dari saku celanaku, dan aku bakar disini sekarang. Bodo amat besok pantry bau rokok. Ntar aku bakal bayar denda ngerokoknya, cuman 200 ribu kan?

“Minta”
“Minta apa?”
“Rokok”

“Nih” aku ngasih rokokku ke Nadine, dan dia nerima dengan perasaan yang mungkin lebih ringan. Dia ambil rokokku dan dia ngambil korekku. Pas dia nyalain, dia mendadak batuk.

“Uhuk!! Uhk…” Dia langsung narik asapnya banyak-banyak, kayak salah gitu nariknya.
“Eh, gapapa?”
“Gapapa… Udah berapa tahun ya aku gak ngerokok… Gila, terakhir ngerokok itu di US sana…. Dulu disana enak, aku bisa party, bisa males-malesan, dan bisa bebas, gak diawasin sama bokap nyokap. Setelah lulus, dan balik ke Indonesia, semuanya jadi sucks lagi…….”

“Besok Mbak Saras pasti marah-marah kenapa pantry bau rokok”
“Besok aku ikut nyumbang uang dendanya… Ya?” suara Nadine masih kedengeran lirih dan lemes, tapi ya wajar, dia baru aja nangis tadi, tapi aku ngerasa seneng bisa denger dan lihat sisi dia yang ini.

“Boleh, tapi… Mulai besok, kamu bisa lebih laid-back lagi di kantor”
“Gak bisa….”
“Kok gak bisa?”
“Banyak mata ngeliatin aku, kan tadi aku udah bilang…….”

“Hmm… Susah ya?”
“Susah banget… Makanya aku mendadak seneng pas kemaren Mas bilang hal yang kayak gitu… Kayak alarm, ngingetin aku buat mikir waras sebentar…. Dan istirahat di rumah karena sakit….”
“Sampai sakit aja kamu maksain masuk”

“Mau gimana lagi, susah jadi anaknya mereka… Kadang aku iri sama orang lain, kayak office boy gitu, bukan anaknya siapa-siapa, gak ada ekspektasi apapun dari orang tua mereka, paling cuma disuruh jadi anak baik dan berbakti doang, gak disuruh jadi calon CEO, gak disuruh kuliah di tempat-tempat mahal dan mentereng, dan gak disuruh untuk selalu jadi sempurna……….” Nadine agak tersenyum sedikit. Tapi itu bukan senyum bahagia. Itu senyum kesel.

“Kalo gitu sekarang aku bisa jadi temen curhat kamu kali ya?” aku menawarkan itu ke dia, sambil bingung, naro abu rokok dimana. Akhirnya aku ambil cangkir bekas Nadine tadi dan itu aku jadiin asbak asal-asalan.

Nadine diem aja. Aku anggap itu sebagai ya. Seenggaknya kita sering in charge bareng, jadi mungkin di rapat atau setelah rapat, dia bisa curhat macem-macem ke aku soal semuanya.

Sekarang, dia matiin rokoknya di cangkir itu, dan dia buang dua puntung rokok itu ke tong sampah. Dia masih belum senyum lagi. Dia lantas duduk di sebelahku lagi, dan rasanya moodnya udah bagus, sekarang. Dan untuk sesaat, aku rasa gapapa kalau aku megang bahunya lagi buat nyemangatin dia.

“Mau balik ke meja lagi?” tanyaku sambil menepuk bahunya pelan, dengan maksud untuk nyemangatin. Nadine mendadak natap mataku, sambil menggelengkan kepala. Dan mendadak, dia langsung mendekat dan berbisik kepadaku.

“Aku gak tau ini apa, tapi rasanya….”
“Eh?” wait. Apa-apaan ini?

Nadine mendadak merangkul bahuku dan naik ke pangkuanku. Nafasnya yang tadi gak beraturan, karena nangis, sekarang makin gak beraturan lagi. Dengan gerakan yang cepat, dia ngambil kacamatanya dari tanganku, dan dengan satu tangannya, dia pake kacamata itu. Tanpa diminta, dia langsung meraih bibirku dengan ganas.

“Mnn?”

Kaget? Pasti. Tapi kaget ini mendadak bikin aku deg-degan. Suasana panas yang serba mendadak ini, bikin aku kaget setengah mati. Kami saling melumat, aku terbawa suasana dan benar-benar menikmati ciuman ini. Dengan otomatis, suasana super aneh ini membawa aku memeluk pinggangnya yang ramping itu.

Sialan. Mimpi apa aku semalem. Sampai beberapa hari yang lalu, aku masih benci sama cewek ini. Kemarin sampai tadi, aku mulai simpati sama dia yang ternyata fragile. Dan sekarang, yang ada di dalam kepalaku nafsu.

Siapa yang gak nafsu dicium sama cewek secantik ini? Dan kacamata yang dia pakai lagi tadi bikin dia makin keliatan menggairahkan.

Dia memeluk bahuku dengan erat, dan makin berdua bertukar ciuman yang benar-benar bernafsu. Suara desahannya terdengar begitu menggoda di kepalaku. Aku bercumbu dengan cucunya Sjarief Hidajat? Ini gila. Beyond belief. Dan rasa bibirnya, begitu nikmat, walau agak pahit karena rokok tadi. Aku dan dia saling bertukar nafsu dan ini benar-benar menggairahkan.

“Mas Malik… Sorry… Aku…. Aku gak bisa tahan lagi.. Udah lama aku enggak….”
“It’s Okay” bisikannya di telingaku bener-bener gak bisa aku tahan lagi. Dengan gerakan yang ganas, aku menciumi lehernya yang jenjang.

“Ahhnn” Nadine mengerang pelan, dia menikmatinya saat aku menjelajahi lehernya itu. Kucium yang bisa kucium, dan bahkan kugigit yang bisa kugigit. Semua bagian dari lehernya yang bisa kugapai, kujelajahi dengan ganas. Aku menggila di tengah suasana panas di pantry ini.

Sambil menciumi lehernya, tanganku merayap ke arah buah dadanya, dengan gerakan yang benar-benar tak tertahan lagi, aku meremas buah dadanya secara asal-asalan. Nafsu membayangi diriku. Gila, aku nggrepe Nadine Sjarief.

“Buka aja”
“Nnh?” tanyaku bingung.
“Kancingku, buka..” bisiknya dengan suara mendesah.

Aku dengan gelagapan langsung membuka kancingnya satu persatu. Di dalamnya ada bra berwarna merah muda yang menggemaskan. Nadine bahkan melepas pelukannya di bahuku agar dia bisa melepaskan pengait bra nya. Dan buah dada yang menggoda itu akhirnya menyembul di sela-sela kemejanya. Aku tanpa basa-basi lagi langsung melumat putingnya.

“Aahhhnn……” bisiknya dengan suara tak karuan. Aku menciuminya, menghisap dan menjilati salah satu putingnya dengan bernafsu. Kepalaku berputar. Rasanya luar biasa. Kami berdua menggila.

Tangan Nadine tidak kalah jahilnya. Dengan posisi yang aneh, dia meremas penisku. Dia meremasnya dengan keras, seakan-akan ingin mencabutnya dan langsung menjejalkannya ke dalam tubuhnya. Aku merasakan tubuhnya panas. Sudah berapa lama dia tidak berhubungan seks? Mungkin ketika kuliah, itu saat terakhirnya merasakan nikmat dunia. Setelah itu, dia masuk ke dalam labirin dingin ala keluarga Sjarief.

“Nggh!” dia kaget saat aku menggigit pelan putingnya tanpa permisi. “Mas…”
“Eh?”
“Aku gak tahan lagi… Shove it inside me….” bisiknya dengan nada yang begitu nakal.

Jantungku berdegup kencang. Gila. Aku langsung panik. Gak ada kondom. Gak ada pengaman dimana-mana disini. Gila? Kalau aku keluar turun beli kondom dulu, semuanya pasti kentang. Gila. Aneh banget situasinya.

“Tapi… Kondom…”
“I don’t care… Aku udah gak tahan… Udah lama…. Aku….” Nadine mendadak menolak tubuhku. Dia langsung duduk bersimpuh di depanku, melucuti ikat pinggangku dan menurunkan celanaku tanpa banyak berpikir lagi. Penisku menyembul keluar. Dia berdiri tegak. Rasanya aneh, alat vitalku berdiri tegak bebas dan aku masih memakai pakaian lengkap seperti ini.

“Mnnn…….” Nadine langsung menggenggamnya. Tanpa ba-bi-bu lagi dia langsung melumat penisku, memasukkannya kedalam mulutnya yang seksi. Dia menghisapnya dengan begitu ganas, seakan-akan dia lapar akan alat kelamin lelaki. Dengan mata terbuka dan menatap manja ke arahku, dia mengulum penisku dengan ganas. Bibirnya menyelimuti kelaminku. Kepalanya bergerak maju mundur, dan dinding mulut serta lidahnya memberikan sensasi menggelitik gila yang menjalar ke seluruh tubuhku.

Nadine Sjarief gila. Dia tampak seperti perempuan yang gila seks. Sungguh berbeda dengan dia biasanya yang selalu tampil sempurna dan composed. Sekarang, yang sedang mengulum penisku ini adalah perempuan liar yang haus bersetubuh.

“Nnn…..” Nadine mengeluarkan penisku dari mulutnya dan dia menjilat pelan ujungnya. “This should be enough” Nadine berdiri, merogoh ke dalam roknya, dan menurunkan celana dalamnya yang menarik itu.

“Come” bisiknya saat dia naik ke atas tubuhku. Gila, aku deg-degan dibuatnya. Penisku menempel di bibir Vaginanya yang sudah membasah. Sepertinya dari tadi dia sudah bernafsu. Entah sejak kapan. Mungkin sejak kita mulai bisa mengobrol dengan biasa tadi. Mungkin dia merasa aku adalah kesempatan untuk membuang pikiran stressnya dalam bentuk hubungan seksual.

“Unnghh!” Dengan perlahan, penisku yang sudah basah oleh air liurnya masuk ke dalam kehangatan tubuhnya. Nadine memeluk leherku, dan dia mulai bergerak naik turun dengan liar. Ritmenya amburadul dan benar-benar didikte oleh nafsu belaka.

“Nadine… Ah!” Aku kaget, setiap sentakan badannya membuatku merasa mati rasa keenakan. Sudah lama aku tidak melakukan ini. Dan kali ini, aku bercinta dengan Nadine Sjarief, di pantry kantor. Gila. Kalau kami melakukannya di area kerja atau di ruang rapat, CCTV pasti sudah merekam tindakan kami berdua.

“Nnnh…. nnhh… Ah..” Nadine menggerakkan pantatnya dengan liar. Hangat yang ada di dalam tubuhnya terasa begitu nyaman. Dia begitu mendominasi dan dia benar-benar ingin merasakan kenikmatan tubuhku. Gerakannya liar, menggemaskan dan menggairahkan.

Aku bisa lihat ekspresi mukanya yang begitu bahagia. Dia merasakan kenikmatan itu, akhirnya. Di saat aku bertatapan dengannya, mendadak dia langsung melumat bibirku dengan ganas.

“Mmhh!” aku terkaget-kaget karena Nadine begitu menguasai tubuhku. Dia bertumpu di bahuku, menciumi bibirku dengan ganas, dan pinggulnya bergerak dengan ganas di pangkuanku. Staminanya tampak tak habis-habis. Dia sepertinya menginginkan ini sejak lama, entah dengan siapa.

“Peluk aku” Nadine memerintahku setelah dia melepas ciumannya. Aku tak bisa berpikir lagi. Tanganku yang dari tadi tak berdaya kini langsung memeluk pinggangnya erat. “Pindahin aku ke atas kursi….”

Tanpa banyak berpikir, aku langsung mencoba berdiri, mengangkat tubuh Nadine. Aku meremas pantatnya dengan sengaja saat kuangkat dirinya. Aku lantas membaringkannya di kursi panjang itu dan langsung menimpa dirinya.

“Nngghh…. Nggghh… Nnnng….” Nadine mengerang sambil menutup matanya, saat aku memompakan kejantananku ke dalam dirinya. Dia melebarkan pahanya lebar-lebar. Dia membiarkan aku bertumpu di permukaan kursi itu, sementara tangan kanannya meraba-raba buah dadanya sendiri. Dan tangan kirinya…. meraba bibir kemaluannya. Nadine tampak ingin segera merasakan kenikmatan. Dia seperti tak sabar.

“Aaahh… Ahh… Ah” Nadine bersuara dengan liar, sementara aku terus menggerakkan badanku, agar aku bisa menstimulasinya dengan edan-edanan. Nadine benar-benar kehilangan akal sehatnya. Dia tampak berkonsentrasi dengan sepenuh perasaannya, agar dia merasakan orgasme. Tapi ini baru setengah jalan, dia pasti menunggu saat yang tepat.

“Nadine… Aku…” Iya, aku sudah tidak tahan lagi. Siapa yang bisa tahan, bercinta mendadak dengan Nadine Sjarief yang anggun seperti ini. Rasanya sudah ingin meledak sejak tadi dia melakukan oral seks.

“No… Jangan dulu… Nanti.. Please” ucapnya dengan tegas, sambil tetap meraba-raba badannya sendiri. Aku mengangguk. “Lepas dulu.. Bentar…” Aku menurut. Nadine mendadak beringsut, dia berdiri, lalu bertumpu di dinding. Ia menungging, dan menatapku dengan tatapan bernafsu. “Do me… From behind…” bisiknya dengan setengah memaksa. Aku mengangguk. Siapa yang bisa menolak?

Aku berdiri, dan langsung meraih pantatnya. Aku menyingkapkan roknya, melihat pantatnya yang mulus dan bersih itu. Tanpa banyak pikir, aku langsung menghunjamkan penisku ke dalam vaginanya.

“Uhh!” Nadine tersentak. Dia menikmatinya. aku memompakan banyak-banyak tenagaku ke dalam tubuh Nadine. Dia mengerang keenakan. Dia benar-benar menginginkan seks tampaknya.

“Spank me…”
“Kenapa?” Sumpah, aku tidak bisa berkonsentrasi sama sekali.
“Spank”
“Nadine?”
“Spank! Ah!”

Aku menampar pantat Nadine dengan setengah hati, sambil tetap menggagahinya.

“Terus!”

Aku menurut.

“Ah! Ahh!” Aku menampari pantat Nadine dengan semena-mena, membuat pipi pantatnya menjadi merah, memberikan stimulasi gila kepadanya. Nadine memejamkan matanya, sambil mencoba benar-benar merasakan tamparanku dan gerakan penisku yang semakin lama semakin menggila.

“Nadine … Ini…”
“Hold it!”
“Nadine…”
“I said hold it!”

Ucapannya yang tegas membuatku malah semakin bersemangat. Aku menggerakkan pantatku maju mundur dengan liar. Suasananya sudah acak-acakan. Bentuk kami berdua sudah tidak karuan. Buah dada Nadine tampak terlihat menyembul keluar dari kemejanya, dan pantatnya makin memerah. Aku menamparnya terus-terusan, sesuai dengan perintah sang putri.

“Nnnn…. AH!!” Nadine mengejang. Tanpa aba-aba dia merasakan orgasme. “AH!!” Nadine kembali mengejang. Aku menyerangnya semakin gila. Sebentar lagi aku juga bisa merasakannya.

“NNNGGG…. AAAHHH!!” Nadine mengerang, melengking, tanda dia mendapatkannya. Dia langsung mendorongku menjauh, membuat irama kenikmatanku mendadak lenyap. Sial. Nadine langsung terduduk di kursi, dan dia menatapku dengan tatapan penuh kenikmatan, di balik kacamatanya.

Gila. Nadine Sjarief. Dia duduk di kursi itu, dengan rok tersingkap, pantat yang memerah, baju yang amburadul, rambut yang acak-acakan, muka yang merona dan nafas yang hampir habis.

“Sini….” Dia menarik tanganku, dan meminta aku menyodorkan penisku ke arah mulutnya. Dia lantas membuka mulutnya, dan dia mengulumnya perlahan. Tangan kirinya menggenggam penisku, dan di tengah rangkaian kenikmatan di tubuhnya, Nadine mengocok penisku dengan ritme stabil. Dia menghisap kepalanya, sambil menjilat-jilat sedikit, memberikan kenikmatan yang luar biasa.

Tangan kanan Nadine meraba-raba bibir vaginanya sendiri.

Gila. Perempuan ini sungguh bernafsu. Sudah berapa lama dia menahan gejolak seks seperti ini. Di tengah serangan stress dan tekanan mental dari keluarganya, Nadine sepertinya menjadikan seks sebagai pelampiasannya. Ini semua terlihat dari dominasi dan kegilaannya.

“Mas Malik….”
“Nnh?”
“Kalo mau keluar, keluar aja….”
“Eh?”

Aku merasa kaget, karena Nadine yang cantik luar biasa ini mengizinkan aku mengeluarkan spermaku di muka atau di mulutnya. Aku masih terpaku, kaget.

“Sini..” Aku jadi bersemangat. Nadine lantas melepas tangannya. Aku mengocok penisku sendiri, dan Nadine menciumi dan mengulum kepalanya dengan gerakan yang bitchy.

“Ah!”
“Nng!”

Ini dia. Spermaku muncrat sejadi-jadinya di muka Nadine. Beberapa tetes tampak membasahi bajunya. Bibirnya basah oleh sperma dan dia terlihat menikmatinya. Dia bahkan menjilati ujung penisku, dan sedikit menghisapnya. Dia seperti ingin menghabiskan seluruh persediaan sperma yang kupunya. Ini gila dan mind-blowing.

“Haha..” Nadine tertawa dengan muak berlumur sperma. Aku masih bingung. “Hahaha…” dia tertawa lagi sambil menciumi penisku. “Kayaknya kita harus ngelanjutin ini…. Ini masih belum selesai, kan?”

Apa?

Aku cuma bisa mengangguk, dan rasanya, aku seperti terbang ke atas awan malam itu.

------------------------------
------------------------------
------------------------------

messy-10.jpg

Sudah subuh, dan aku belum tidur.

Aku menatap ke dua buah kondom bekas yang ada di tong sama di kamar kosanku. Di atas kasurku, Nadine Sjarief sedang tertidur lelap. Malam itu, Nadine memutuskan untuk menginap di tempatku, melanjutkan persetubuhan yang tadi.

Kami bergumul lagi, menghabiskan dua kali adegan intim, yang sepertinya pantas masuk film porno di dalam kamar ini. Nadine benar-benar liar. Dia benar-benar stress dan frustrasi. Dia tampak bahagia ketika sedang melakukan persetubuhan.

Menurut cerita singkatnya, sexual frustrasionnya memang sudah di atas ubun-ubun. Dan melakukan ini bersamaku, ternyata membuatnya sangat bahagia. Dia benar-benar menikmati semuanya, tanpa terkecuali.

Intinya, tekanan karena keluarga besarnya, bisa ia atasi dengan melampiaskannya ke seks. Gila, untung besok sabtu.

Aku menatap wajah cantiknya, sambil naik ke arah tempat tidur. Dia terlihat begitu tenang. Fitur mukanya sungguh anggun, dan badannya benar-benar bagus. Nadine benar-benar luar biasa. Ah, sebaiknya aku tidur. Aku lantas masuk ke dalam selimut, tidur di sebelah badannya yang seksi, sambil menempel sedikit ke arah tubuhnya.

“Nnnh…” Nadine terbangun tampaknya.
“Hei”
“Halo” dia tersenyum dengan manisnya.
“Tidur lagi ya” bisikku.

“Jam berapa sekarang?”
“Jam empat” jawabku pelan. “Eh!”

Nadine meremas penisku. Dia lantas berbisik kepadaku.

“Let’s do it one more time”
“Nadine… Ini udah subuh….”
“Ayo..”
“Eh, ini…”

“I don’t care… Fuck me” bisiknya dengan nada binal. Aku melongo. dia tersenyum manis, dan langsung naik ke atas tubuhku. Dia menatap wajahku dengan tajam.

Sepertinya, mulai hari ini hidupku akan jadi lebih berwarna. Karena, Nadine Sjarief akan memintaku untuk menggagahinya semau dirinya.

Apakah aku bisa menolak? Sepertinya tidak bisa. Jadi, pagi ini, aku akan bergumul lagi dengannya, menghabiskan sisa tenagaku.

Mulai hari ini, kantor tidak akan terasa sama lagi.

“This time harder” bisiknya dengan menggoda. Aku mengangguk.

Ya, hari-hariku akan jadi lebih gila sekarang.

------------------------------

TAMAT
Ini beneran tamat hu? 😮
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd