THE LUCKY BASTARD – PART 18
----------------------------------------
Aku dan Nica diam saja selama perjalanan ke rapat. Perjalanan ke kantor rumah produksi hari ini terasa sangat panjang. Hari ini, kami berdua terpaksa bersama, demi tuntutan pekerjaan. Karena dia yang mengerjakan banyak bagian di pekerjaan ini, jadi dia yang ikut denganku untuk rapat.
Sore itu terasa sangat panjang. Nica hanya melipat tangannya di kursi penumpang, diam memperhatikan jalan. Aku berusaha fokus menyetir, dan pada akhirnya kami pun sampai ke tujuan.
Disana rapat berlangsung seperti biasa, dengan normal dan lancar. Dan karena rapatnya baru dimulai sore, kami baru pulang sekitar pukul 9 malam. Keheningan masih menyelimuti kami berdua dari tadi. Bahkan ketika sudah tiga minggu putus pun keheningan ini tidak selesai. Dan aku tak tahu kemana Nica harus diantar, apakah ke rumahnya atau ke kantor saja. Dengan enggan aku membuka percakapan.
"Dianter kemana?"
"Rumah......"
"Ok" dan hening kembali. Aku terus memaksa diriku diam. Karena membuka mulut bisa berarti macam-macam. Aku tidak ingin melukainya lagi, dan tidak ingin juga memberi harapan. Kulirik dia sejenak, dan dengan anehnya mata kami berdua bertemu.
"Kamu akhir taun ke Bali sama Mbak Anggia?" tanyanya dengan datar.
"Iya..."
"Aku pergi ke Aussie"
"Ok"
"Coba aku bisa ikut kamu ke Bali" celetuknya pelan tanpa emosi. Aku kaget, dan menyembunyikannya dengan menelan ludah.
"Mungkin bisa kita benerin hubungan kita disana" lanjutnya.
"Gak harus semuanya dibenerin kalo gak ada yang salah" jawabku.
"..." Nica hanya diam saja mendengarnya. D
an kami pun kembali diam.
Aku tak habis pikir, apa yang ada di pikiran Nica sehingga dia mengatakan hal seperti itu. Dengan enggan aku merayap dalam mobilku, menuju rumahnya untuk mengantarkannya. Dalam hati aku berharap supaya tidak sering berdua dengan Nica saja. Apakah sekarang posisi sudah berubah, aku yang jadi seperti Dian untuk Nica? Sehingga dia hanya memikirkanku saja dengan dan dalam cara-cara yang tidak sehat? Beban kepalaku bertambah berarti kalau itu benar.
------------------------------------------
"Lho mbak?" sapaku ke Mbak Mayang saat kami berpapasan di pintu lift.
"Hei, apa kabar?" balasnya ramah. Senyum manis yang sudah lama tidak kulihat. Karena selama ini aku selalu sibuk dengan Nica, maka aku sudah lama melewatkan Anggia dan Mbak Mayang. Teringat masa-masa dimana aku selalu berhubungan seks dengan dia. Tanpa ikatan, tanpa hubungan, tanpa komitmen, semuanya terlihat begitu mudah pada masa itu.
"Apa kabar pacarmu?" tanyanya sambil menunggu lift.
"Ah... itu..." aku speechless
"Loh kenapa?"
"Putus mbak..."
"Lho.... sayang banget..." aku hanya menghela nafas mendengar komentarnya. "Kamu kalo butuh temen ngobrol kasih atau aja...."
"Boleh Mbak..." jawabku ringan.
"Malem ini juga boleh lho... Mumpung si kecil gak ada..." Aku menelan ludah, membayangkan hal lain di kepalaku. Kenapa Anggia dan Mbak Mayang mendadak tiba-tiba muncul lagi setelah aku putus dengan Nica.
------------------------------------------
"Saya pusing Mbak" aku membuka obrolan dengan Mbak Mayang. Kami ditemani oleh minuman hangat di meja makannya. "Saya ngerasa berat pacaran sama dia... Dia terlalu banyak berkorban buat saya, dan saya gak ngerasain hal yang sama dengan yang dia rasain..." curhatku.
"Berat ya kayaknya buat kalian berdua" komentarnya
"Beratan di dia kayaknya"
"Tapi baru kali ini aku liat kamu ngomongin masalah mantan lancar banget, dulu pas ngomongin Dian susahnya minta ampun..." Aku terdiam mendengarnya.
"Kamu masih sayang ama Dian atau gimana sih?" tembaknya langsung, dengan senyum manisnya yang khas. Aku memberanikan diri membahasnya.
"Di satu sisi....... Saya pengen banget ketemu dia lagi, tapi tiap liat, denger namanya, atau ngebahas, rasanya masih gak enak banget....." Mbak Mayang hanya tersenyum mendengar jawabanku. "Yang pasti keputusan untuk bareng Nica kemaren itu sekarang jadi hal yang gak enak buat saya ama dia. Dia banyak ngarep, sayanya gak bisa ngasih apa-apa karena kepala saya di tempat lain. Celakanya dia sikapnya banyak nunggu saya berubah, dan di dalam kepalanya, yang ideal itu saya sama dia" penatku terasa lebih lega setelah membahasnya sekian panjang.
"Berarti sekarang kamu kayak Dian buat Nica?" tanyanya.
"Kayaknya"
"Kamu mesti jaga jarak..."
"Susah, sekantor dan dia bisa dibilang anak buah saya....."
"Gak coba ditegasin aja? Dia dari cerita kamu soal kejadian tadi kayaknya masih ngarep banget..."
"Gak tau Mbak... Kita liat nanti aja deh......" bicara dengan Nica panjang lebar mungkin akan malah makin menjebak narasiku ke dia. Lagipula sejauh ini belum ada hal yang harus kukhawatirkan dari dia. "Kamu kayaknya butuh rileks" Mbak Mayang tersenyum penuh arti kepadaku. Pikiranku mendadak terbang jauh ke waktu pertama kali kami berhubungan seks.
"Rileks yang kayak gimana Mbak?" senyumku.
"Kayak dulu... mungkin?" ucapannya meneduhkan hatiku.
Mbak Mayang mendadak bangkit dan mendekatiku. Dia duduk di pangkuanku dengan lembut, meraih bibirku dan menciumnya dengan manis. Kami berciuman cukup lama dan mesra.
Dia bangkit, dan menuntunku. Di perjalanan menuju kamar, dia membuka sedikit demi sedikit bajunya, melemparkannya begitu saja di lantai. Tubuh indahnya dibalut pakaian dalam berwarna hitam. Aku lantas duduk di kasur, tempat ia menuntunku. Dia lantas memelukku yang duduk di kasur dengan erat. "Kasian kamu..." aku merasa nyaman ada di dalam pelukannya. Walaupun kepalaku kemana-mana, tapi rasa hangat dari peluknya sangat membuatku merasa adem dan tenang. Badannya yang indah dibalut pakaian dalam berwarna hitam. Aku membenamkan kepalaku di belahan dadanya, mencoba menerbangkan pikiranku yang berat ini.
"Ini gak sempet kepake kemarin..." bisiknya penuh nafsu, menunjuk ke laci di kamarnya. Di dalamnya ada kondom yang disediakan untuk ami berdua. Untung belum lewat tanggal kadaluarsanya. Mbak Mayang membantuku melucuti bajuku. Aku telanjang bulat, defenseless di depan dirinya.
Entah mengapa itu semua terjadi begitu cepat. Mungkin kami berdua dipicu oleh memori semua hubungan seks yang sudah kami lakukan. Aku beringsut dan tidur telentang di kasurnya. Mbak Mayang bersimpuh di atas kasur, menekan kepalanya dan mencium lembut penisku. Adegan favoritnya. Tanpa tangan, dia mengulum dan menjilati penisku dengan lembut. Nafasnya terdengar stabil, tapi aku tahu dia sedang menahan nafsunya, supaya tidak langsung tertuang tanpa batasan. Berbeda dengan Anggia yang selalu ingin cepat menyelesaikan, atau Nica yang melakukannya dengan ragu apakah aku suka atau tidak, Mbak Mayang melakukannya dengan pasti, selain karena dia menyukainya juga. "Mmmmhhh...." Dia mendesah menikmatinya, karena kulihat perlahan ia meraba-raba vaginanya sendiri.
"Mmmm........." bisa kulihat dia menutup matanya, sambil terus mengulum penisku dengan perlahan. Rasanya luar biasa. Lebih nyaman dari keliaran Anggia dan keraguan Nica. Aku memejamkan mata dengan merasakan luar biasa nikmat saat dia mulai melakukan deep throat. Sangat nikmat dan penuh perasaan.
Aku sangat menikmatinya. What a great and sloppy blowjob. Dia tidak menghiraukan liurnya yang menyelimuti penisku. Dia sangat bersemangat melakukannya. Tak berapa kemudian dia menghentikannya. "enak?" tanyanya. Aku hanya mengangguk bersemangat, sambil berusaha membuka kondom yang dari tadi kugenggam. Dia membantuku memakaikannya, lalu dia melepas celana dalamnya dengan agak buru-buru. Rasa hangat itu muncul ketika dia menduduki penisku.
"Uuuhhhh...." dia mengerang keenakan ketika penisku pelan-pelan masuk ke dalam lubang vaginanya. Mbak mayang lalu berusaha membuka BH nya. Sepasang buah dada yang indah terpampang di hadapanku, siap untuk diremas dan digenggam. Dia perlahan mempermainkan pantatnya naik turun, memberikan kenikmatan yang luar biasa untuk diriku. Anggia dan Mbak Mayang memang selalu berusaha menjadikan seks sebagai hiburan, bahkan alasan sekecil apapun dapat dijadikan pemicu hubungan seksual.
Aku melihat tubuhnya beraksi, menggelinjang dengan indahnya di atas tubuhku. Desahannya menggema di ruangan. Aku berusaha mengimbanginya dengan bangkit, memeluknya, dan mempermainkan puting susunya dengan lidahku. "Mmmhhh.... Ahh... enak banget" bisiknya mesra ke telingaku. "Mbak... geli banget rasanya..." bisikku. "Kamu udah lama enggak ya..." Tanyanya. Hampir aku mengatakan bahwa sejak putus dengan Nica, Anggia selalu berusaha curi-curi kesempatan untuk berhubungan seks denganku. Aku hanya mengangguk pelan, lalu mencium bibirnya dengan ganas.
Kami berciuman dengan tidak sabar. Rasanya badan kami seperti menempel jadi satu. Aku lantas bermanuver, mendorongnya, menjadikan posisi tubuhnya dibawah tubuhku. Aku berganti menyerangnya, satu tanganku menjadi tempat bertumpu badanku, dan tangan satunya lagi meremas buah dadanya dengan ganas. Penisku terus bergerak maju mundur dengan ganasnya. Aku puas melihat reaksi wajahnya. Dia terus meracau tidak jelas, terbawa kenikmatan yang kuberikan. "Uhh... uhh... terus..." ujarnya menyemangatiku. Aku menahan orgasmeku cukup lama. aku menikmati sekali melihat ekspresi kenikmatan di wajahnya.
"Mbak..." bisikku, mengisyaratkan untuk berpindah posisi.
Dia menangkap sinyalku. Dia setuju saat kubalikkan badannya, dan kami berubah posisi. Pantatnya yang bulat menghadap diriku, bersiap untuk diserang. Aku meraih pinggangnya dan mulai kembali. Mbak Mayang sangat menikmati posisi doggystyle ini. Suara paha kami beradu terdengar dengan jelas. "Ahhh..... Aggh...." Mbak Mayang tampak sangat menikmatinya. Aku bergerak aktif memaju mundurkan penisku. Rasanya sudah tidak tahan lagi. Tapi aku harus membuatnya untuk orgasme duluan, sebab mengeluarkan spermaku di wajah atau mulutnya akan terasa sangat memuaskan. Seorang ibu rumah tangga manis yang berlumuran sperma. Fantasiku liar kemana-mana.
Aku akhirnya menegakkan badanku, mencoba untuk makin membuatnya merasakan sensasi tegangnya penisku di dalam vaginanya. Aku terus berusaha membuatnya merasakan kenikmatan sembari meremas-remas pantatnya. "Uuuh...." kurasakan badannya menegang. Aku selalu suka reaksi tubuh perempuan sebelum merasakan orgasme. Aku bergerak ke depan, menangkap tubuhnya dan memeluknya, sambil mencari kesempatan meremas buah dadanya. Aku dapat melihat mukanya mengekspresikan kenikmatan yang iya rasakan. "Terus... iya gitu... terus... Ahhhh...." Badannya menegang dalam pelukanku. Kurasakan gelinjangnya dan reaksi badannya yang luar biasa. "Uhhhh..." Tubuhnya lantas terkulai lemas dalam pelukanku, dan aku masih meremas dadanya dengan penuh nafsu.
Aku mencabut penisku, dan membiarkan dia telentang dibawah tubuhku. Aku lantas membuka kondomku, dan menyodorkan penisku ke arah mulutnya.
"Mmmmhh..." Dia langsung menyambutnya. Aku tak kuasa ikut aktif mengocok penisku di dalam mulutnya. "Mmmh... pelan-pelan..." dia tak kuasa langsung menerimanya di mulutnya. Aku mengeluarkan spermaku dengan brutal di mukanya. Dia tampak menikmatinya dengan membuka mulutnya. Mukanya basah, berlumur spermaku. Setidaknya malam ini kepusingan di kepalaku terangkat sedikit.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
"Mas... Minggu depan mereka minta rapat lagi" bahas Nica di mejaku.
"Oh oke, kamu sendiri bisa kan?"
"Belum bisa Mas"
"Kok?"
"Kalau mutusin sesuatu di rapat kayaknya bukan tanggung jawab saya"
"Kamu tampung dulu aja, nanti kita bahas bareng-bareng satu tim"
"Mereka suka minta cepet mas"
"Jadi?"
"Saya pasti terbantu banget kalo Mas ikutan ada di rapat" tegasnya dengan pandangan tajam. Aku menyerah. Membayangkan akan ada perbincangan macam apa lagi di dalam mobil.
"Oh iya" lanjutnya lagi.
"Kenapa?" tanyaku
"Bisa asistensi hari ini gak Mas buat design nya"
"Tapi sekarang udah mau balik...." sanggahku.
"Harus selesai besok soalnya kan Mas" aku menyerah lagi. Aku harus pulang agak lambat dari kantor ini. Dengan Nica di kantor, sementara kulihat anak-anak lain di ruanganku sudah mulai beres-beres pulang.
"Ya udah..." jawabku sambil menghela nafas.
------------------------------------------
"Sip, paling besok kamu revisi dikit aja untuk background nya" ujarku tanpa semangat. Waktu sudah menunjukkan jam setengah 9. Yang di kantor hanya ada aku, Nica dan ob yang memang menginap di kantor.
Nica membereskan kertas dari atas mejaku, tapi dia tak beranjak untuk pulang. Dia hanya duduk begitu saja, sambil menatapku dengan muka yang aneh.
"Ada apa?" aku memberanikan diri bertanya.
"Gak apa-apa" jawabnya dengan nada berbohong.
"Gak pulang?" tanyaku berbasa basi sambil mematikan laptop.
"Nanti mesen gojeknya" dia memang selalu pulang pergi ke kantor menggunakan layanan ojek online.
"Pesen sekarang aja biar ga kelamaan nunggunya"
"Udah lama kita gak ngobrol" mendadak dia membuka pembicaraan ke arah lain.
"Kan tadi baru ngobrol"
"Itu ngomongin kerjaan...." mukanya tampak memelas.
"Maksudnya?"
"Soal kita"
"Soal kita gak ada apa-apa lagi..." jawabku gusar.
"Kita harus cari cara bikin bener lagi"
"Yang bener ya gini Nica..."
"Kantor sepi ya..." ujarnya aneh sambil membuka kancing kemejanya.
"Kamu mau ngapain?" kagetku. Dia tidak menjawabku, dan terus membuka kancing kemeja putihnya di hadapanku, memperlihatkan buah dadanya yang mungil dan proporsional, berbalut bh berwarna hitam. Seluruh kancingnya kini terbuka.
"Kamu masih mau?" ujarnya dengan muka penuh harap sambil memegang kedua buah dadanya.
"Aku kangen kamu..." lanjutnya.
------------------------------------------
BERSAMBUNG