Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT THE LUCKY BASTARD (RACEBANNON - REVIVAL)

Bimabet
THE LUCKY BASTARD – PART 13

------------------------------------------

eco-dr10.jpg

"Sayang.... Siapa Dian?" tanyanya dengan suara lirih

Aku diam saja mendengar pertanyaan Nica. Hening.

"Sayang.... Siapa Dian?" tanyanya lagi. Dia mengulang kalimat yang sama.

“Ada lah cewek..." jawabku pelan sambil menelan ludah.
“Maksud kamu? Mantan kamu?"
"Bisa juga disebut kayak gitu"
"Kok kamu gak pernah cerita?" Nica bertanya kembali.
"Gak penting buat diceritain" bohong. Jawaban bohong. Bohong sekali. Dian dulu sangat-sangatlah penting.

"Kamu sadar gak aku gak pernah tau apa-apa soal masa lalu kamu?" Nica menatapku dengan tajam. Mukanya antara ingin meledak atau ingin menangis. Entah yang mana. "Dan kalau gak penting, kenapa tadi sampe bikin kamu berantem?" tanyanya lagi. "Dan jangan bilang kalo itu bukan urusanku, itu urusanku". Suara Nica makin bergetar. Aku diam saja. Mobil tetap berjalan dengan pelan menuju rumah Nica.

Aku memilih untuk diam, menyetir dengan pura-pura tenang dan pura-pura kalem.

"Jangan pulang dulu" sambung Nica.
"Kenapa?" tanyaku pelan, mencoba menutup diri dari semua ekspresi wajah yang mungkin muncul.
"Aku pengen tau semuanya!" bentak Nica. Aku dengan terpaksa memberhentikan mobilku di pinggir jalan. "Jangan disini" lanjut Nica.

"Terus mau dimana?" tanyaku balik tanpa menatapnya.
"Jangan diem disini.... Please...." lanjutnya gusar.

Akhirnya mobilku hanya berputar-putar pelan tanpa henti. Keheningan menyelimuti isi mobil itu. Nica akhirnya memberanikan dirinya untuk bertanya kepadaku.

"Kenapa aku gak pernah tau apa-apa soal Dian?"
"Bukan urusan kamu" jawabku gusar
"Kenapa itu bukan urusan aku?"
"Aku gak mau bahas itu" jawabku datar.
"Aku gak ngerti kenapa itu mesti disembunyiin dari aku"
"Aku gak pernah nyembunyiin apapun"
"Terus kok aku gak pernah tau?"
"Aku cuma gak cerita soal h al-hal yang enggak penting" lalu suasana hening kembali. Kulirik Nica menggenggam ujung roknya. Suasana yang sungguh tidak nyaman.

"Ada sejarah apa kamu sama yang namanya Dian itu?"
"Ada lah, pokoknya gak enak"
"Se gak enak itu kah sampe kamu gak pernah cerita sama aku?"
"Mungkin" jawabku ambigu.

"Kita sekarang bareng.... Kalo emang kamu punya sejarah gak enak aku juga berhak tau, kita kan pacaran....." Nica tampaknya gusar dengan jawabanku.
"Aku gak ngerasa perlu tau juga soal masa lalu kamu" balasku sekenanya. Aku hanya butuh orang-orang berhenti bicara soal Dian.

Aku tetap menyetir dengan konsentrasi yang terpecah. Situasi yang tidak nyaman.

"Aku pengen tau sejarah gak enaknya" lanjut Nica. "Aku harus tau, karena aku sayang kamu..." sayang? Lima tahun kata sayang pun tak menjamin semuanya mulus. Apalagi ini, baru jalan enam bulan.

"Aku sendiri berharap gak pernah tau" jawabku.
"Dia selingkuh? Atau kamu yang selingkuh?" tanyanya menyelidik. Jantungku berhenti sebentar.
"Aku bahkan gak tau selingkuh rasanya kayak apa" jawabku. "Aku bahkan gak pernah bisa ngebayangin memulai perselingkuhan itu kayak apa. Aku gak tau apa alasannya orang untuk selingkuh" dan lalu aku menarik nafas panjang. Mulut rasanya gatal ingin merokok. Dan badan ini rasanya sudah ingin loncat dari mobil.

Nica menelan ludah. "Berarti dia yang selingkuh?" tanyanya, berharap jawaban pasti.

"Menurut kamu?" tanyaku balik dengan nada agak tinggi. Kami kembali diam tanpa suara. Mobil tetap berjalan pelan tak tentu arah.

"Kalau gitu harusnya kamu lega dong, bisa keluar dari hubungan yang buruk?" selidik Nica lagi. Aku menghela nafas. Hubunganku dengan Dian jauh dari kata buruk. Jauh sekali dari buruk. It was the greatest thing ever... Setidaknya sampai kejadian perselingkuhan yang sampai sekarang detailnya tak pernah jelas itu. Aku hanya terus terdiam tanpa suara.

"Gak sesimpel itu"

Aku menjawab dengan jawaban yang aneh. Nica tampak berkerut kesal mendengar jawaban itu.

"Aku cuma gak mau bahas apapun soal itu lagi" tegasku.
"Tapi aku harus tau" rajuk Nica. "Aku mau tau, kalau emang rasanya masih gak enak, aku mau bantu.... Minimal bantu ngilangin perasaan gak enak kamu....." jelas Nica. Sejauh ini, hubunganku yang sekarang tidak bisa membuat bayangan horor kesepianku dan kekosonganku hilang.

"Gak usah dibantu"
"Kenapa?"
"Ini urusanku"
"Urusan kamu kan urusan aku juga........"
"Kamu pikir ini mainan anak-anak?!" bentakku. Nica tampak kaget mendengarnya. "Pokoknya aku gak mau denger, tau, ketemu, atau apapun lagi soal Dian Dian dan sejenisnya" tegasku.
"Bisa gak kamu lupain aja? Betapapun lama atau sebentarnya kamu ama dia, atau kapan terakhir kejadian yang nyakitin kamu, pasti kamu pengen move on kan?" jawab Nica panjang. Sok tau. Kepalaku mendadak pusing tidak keruan.

"Lupa? Move on?" jawabku sinis. "Kalau kamu habis tabrakan mobil terus kaki kamu patah, kamu bisa lupa gak?" tanyaku retoris ke Nica.
"......" Nica diam. Seperti kehabisan kata-kata.
"Kamu sendiri suka gak ada dalam kondisi dimana kamu gak bisa ngendaliin apapun?"
"Gak suka.." jawab Nica dengan suara lemah. "Tapi ini semua aneh. Gak ada satu pun pertanyaanku yang kamu jawab" lanjutnya. Aku hanya diam saja, mengukur jauhnya jalan dengan mataku.

"Kamu gak bisa lupain dia?" Deg. Pertanyaan Nica menghentikan pola berpikir normalku.
"Aku udah jawab tadi"
"Kamu gak bisa lupa dia nya atau sama hal yang gak enaknya?" pertanyaan yang makin sulit. Semua ucapan Rendy dan Anggia soal move on berputar-putar dengan kerasnya di dalam kepalaku. Aku berdiam diri terus. Mataku melirik ke arah Nica. Muka yang tampak sedih. Aku melirik ke spion. Aku nyaris tak bisa mengenali wajahku. Wajahku terasa kaku dan memancarkan aura kemarahan.

"Kamu gak bisa lupain dia?" Dia mengulang pertanyaannya lagi.
"Bisa distop nggak?" jawabku makin menghindar.
"Sepenting apa Dian buat kamu?"
"Nica......."
"Kamu masih berhubungan sama dia?"
"Aku harap sih enggak"
"Berarti masih... Kamu masih berhubungan sama dia kan?" respon Nica. Aku hanya diam saja. Bercerita yang sebenarnya membuatku tidak nyaman. Bercerita yang bohong apalagi. Tapi Nica semakin liar menebak. Nica terlihat tidak nyaman dengan bahasannya. Tapi dia tidak menyerah.

"Kamu makin hari juga makin diem. Apalagi semenjak sembuh. Kayak sakit itu bikin kamu balik lagi jadi diem" kritik Nica.

"Diem gimana?"
"Kayak waktu sebelum kita pacaran"
"Contohnya?"
"Kayak sekarang ini. Gak jelas kalo ngomong dan banyak ngelamun" suara Nica bergetar. Ia pasti menahan tangis. "Apa dia nengok kamu waktu di Rumah Sakit?" selidiknya.

"Kamu pikir Dian segoblok itu?!" emosiku sudah mulai terdengar dalam nada bicaraku.
"Tapi kamu abis dirawat jadi aneh" tebaknya.
"Aku gak bisa nentuin dan ngatur kapan perasaan gak enak itu datang dan pergi kan?"
"Dian pasti nengokin kamu kan pas aku gak ada?"
"Kamu ngebayangin apa sih? Gak jelas" jawabku terus menghindar.
"Abis apa?! Kamu pikir aku bisa baca pikiran kamu?!" bentak Nica dengan mata berkaca-kaca. "Jangan biarin aku nebak terus! Aku pengen tau!!" suaranya bergetar menahan tangisan.

"Aku emang dari awal gak pengen sama sekali dirawat di rumah sakit sialan itu..." jawabku sekenanya.
"Maksudnya apa?"
"Aku gak mau ada di rumah sakit itu"
"Emangnya Dian itu dokter?"

"........." Aku terdiam. Suasana mendadak hening sehening-heningnya.

"Oke... Dia dokter..." Nica mengulang kesimpulannya. Mendadak air matanya menetes, meleleh di pipinya. Kepalaku berputar. Memutar bayangan insiden Nica dan Dian bertemu pagi itu.

"Dia nyamperin kamu kan, pas kamu sakit kemaren itu?" tanyanya dengan tangisan yang dia coba tahan. Aku diam, mencoba berkonsentrasi mendengarkan percakapan ini dan menyetir. Nica menatapku penuh harap, berharap ada jawaban yang pasti dariku. Dia menatap dengan air mata mulai menetes dari matanya.

Tapi sia-sia. Aku tetap diam, mencoba mencari cara menjalankan mobil ini entah kemana, menghabiskan bensin dan membuang polusi ke udara Jakarta tai kucing ini.

"Jangan-jangan dia dokter yang waktu pagi itu meriksa kamu..." ucapnya lirih, berteori sendiri dalam kepalanya. Matanya menatap kepadaku. Tapi rasanya kosong. Mataku menghindari matanya. Dia sepertinya menangkap bahwa aku menyembunyikan sesuatu.

"Iya kan?" tangisnya pelan.

Aku menarik nafas, meliriknya. Aku melirik lagi ke arah jalanan yang sepi. Dengan satu gerakan pelan yang mungkin akan kusesali, aku menganggukkan kepalaku. Tidak. Aku tidak menyerah. Aku cuma bosan dengan segala obrolan ini dan berharap dia segera diam.

"Jadi dia yang ngurusin kamu kalo aku ngantor?" lanjutnya.
"Menurut kamu? Kamu pikir aku orang ****** apa?" jawabku sekenanya. Rasanya ingin kubanting saja setir ini.
"Kamu maunya apa?! Jelasin ke aku enggak, nyuruh aku nebak-nebak sendiri terus, gimana sih?!" bentak Nica dalam tangisnya. "Tolong jelasin, aku udah gak tahan!" luapan emosi keluar dari mulut Nica. Luapan yang memancing emosiku.

"AKU YANG UDAH GAK TAHAN!" bentakku. "BAHKAN KAMU PUN SAMA AJA KAYAK ORANG TADI. NYECER-NYECER GAK JELAS!" Nica kaget. Tapi bentakanku malah membuatnya semakin bingung dan tangisannya tampaknya jadi makin sulit dihentikan. "KAMU PIKIR AKU MAU DIA MASUK MASUK KAMAR AKU? KAMU PIKIR AKU MAU ADA DI SITUASI KAYAK GITU??"

"Sayang... Kamu gak usah teriak teriak....." air mata Nica menetes ke dressnya. Tangannya mencoba mengusap air matanya.
"GIMANA AKU GAK TERIAK-TERIAK KALO SEMUA ORANG TERUS MANCING MANCING AKU?!" nafasku terasa memburu. Pandanganku menjadi kabur. "KAMU ORANG TERAKHIR YANG PALING AKU HARAPIN UNTUK URUSAN NANYA-NANYA SOAL DIAN!" Nica tampak takut melihatku.

"Yang bener nyetirnya sayang....." tangisnya, dia tampaknya menyerah. Konsentrasiku pecah, dan jalannya mobil menjadi tidak jelas, kabur, sekabur pikiran dan perasaanku saat ini.
"KAMU GAK TAU RASANYA GAK NYAMAN KAYAK GINI! DAN KAMU GAK USAH NEBAK NEBAK"
"Sayang..." Nica panik mencoba menghapus air matanya.
"JANGAN NEBAK AKU NGELAKUIN SESUATU YANG GAK MUNGKIN AKU LAKUIN"
"Sayang udah... jangan bentak bentak...." Nica menangis sesenggukan.
"KAMU GAK ADA DI POSISI BISA NANYA SOAL ITU SEMUA!"
"...... udah.... nanti aja... jangan pas kamu lagi emosi........" dia meringkuk, mencoba menjaga jarak dari diriku.

"KAMU PIKIR SIAPA YANG BIKIN AKU EMOSI SEKARANG?!?!"
"nanti aja sayang......"
"KAN KAMU YANG MINTA JELASIN SEKARANG?!" aku terus-terusan mencecar Nica.
"sayang udah..... aku jangan dibentak terus...." Nica masih menangis, suaranya berubah sesak.

Mataku terasa gelap. Nica terjebak dalam ekspresi kengerian. Mungkin baru kali ini dia dibentak separah itu. Mungkin di keluarganya dia malah sama sekali belum pernah dimarahi. Aku menoleh, melihat dia tampak takut sekali atas kemarahan tiba-tiba yang aku keluarkan. Badannya gemetar, air matanya terus meleleh dan dia tampak benar-benar takut. Dengan gerakan tiba-tiba dan kaget, aku kembali menatap ke jalan.

Dan di depan mobil tolol yang kukendarai ini, ada mobil lain yang menghalangi jalanku. Aku berusaha menghindar, atau menginjak rem mendadak.

Namun telat. Pantat mobil itu sudah terlalu dekat.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

desain10.jpg

Sudah hampir seminggu setelah kejadian itu. Beruntung mobilku hanya menubruk bagian belakang mobil tersebut. Aku tidak harus menggantinya karena memang hanya sedikit retak. Untungnya aku mengendarai mobil dengan kecepatan yang terlampau pelan. Pertengkaranku dengan Nica tidak selesai. Setelah tubrukan itu, Nica hanya meringkuk menangis di kursi penumpang. Aku sendiri sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku mengantarkan Nica pulang dalam hening. Dia bahkan tidak berkata apapun saat aku membuka kunci mobilku. Dia langsung lari begitu saja setelah aku masuk ke parkirannya. Aku pulang dengan perasaan hancur. Dua kali pertahananku hancur hari itu.

Seninnya Nica tetap masuk seperti biasa. Kami hanya saling memandang di kejauhan, saling takut untuk bertegur sapa. Bahkan Anggia pun semakin bingung dengan kesuraman antara kami berdua. Sudah beberapa hari ini kami tidak saling bicara. Saling diam. Diam dalam keputus asaan.

Ini minggu terakhir kerja sebelum lebaran. Waktu liburanku akan banyak. Aku hanya harus pulang ke rumah orang tuaku di Serpong. Semenjak aku kuliah memang ayahku pindah dari Jakarta ke Serpong, ditambah lagi ayahku menjadi dosen di salah satu Universitas di Karawaci. Mendadak aku membayangkan rumah Nica, dan menghela nafas panjang.

Seharian itu aku tidak merokok. Tenggelam dalam pekerjaan, bahkan makan pun kulakukan di meja kerja. Headphone terpasang di telingaku.

Hello darkness, my old friend
I've come to talk with you again
Because a vision softly creeping
Left its seeds while I was sleeping
And the vision that was planted in my brain
Still remains
Within the sound of silence

Lantunan lagu dari Simon and Garfunkel bergema di kepalaku. Aku tak sadar sudah berapa lama tenggelam seperti itu. Tak terasa sudah pukul 8 malam. Tak biasanya aku ada dikantor semalam ini. Mendadak aku kaget.

Nica tiba-tiba duduk di depan mejaku. Aku dengan enggan membuka headphone.
"Aku kepengen ngobrol...." Nica membuka pembicaraan.
"Tumben kamu belum pulang" balasku tanpa melihat matanya. Tentunya dengan nada datar.
"Sambil pulang ngobrolnya?" ajaknya, tanpa melihat mataku juga. Aura mukanya seperti sedang berkabung.
"Terserah" jawabku sekenanya, langsung menutup laptopku.

------------------------------------------

Kami berdua saling diam dalam mobil itu. Suasana malam ikut memakan suara kami. Entah siapa yang terlebih dahulu diantara kami yang akan membuka suara.
"Aku gak akan kayak gitu lagi...." suara Nica penuh dengan penyesalan.
"....." aku masih diam.
"Aku gak mau ngelukain kamu. Kayaknya dia ngelukain kamu banget..." oh. Nica merefer ke Dian, naif sekali dia.
"....." aku masih tetap diam.
Kami mendadak saling berpandangan dalam gelap. Dia mencoba untuk tersenyum kepadaku. Mukaku dengan enggan membalas senyumannya seadanya.
"Aku kangen bareng ama kamu lagi...." lanjutnya. Aku hanya tersenyum tipis ke arahnya. Dia meraih tanganku yang kaku di atas pahaku.

Dan sama sekali tidak ada rasanya. Tidak ada kehangatan yang biasa kurasakan. Rasanya seperti tidak disentuh oleh tangan siapapun.

------------------------------------------


BERSAMBUNG
 
ane pernah baca ini crita dulu...tp cm awal2 episode dan mgintip akhirnya...balik ke dian...trus blm lanjut...cm bookmark dulu...ehh...pss mo baca lg ....ilang...wkek....
ini soal karakter tokoh utamanya ....asli d klo ane pengen mutilasi. tu orang...wkwk...
 
THE LUCKY BASTARD – PART 14

------------------------------------------

kamar-10.jpg

Malam itu, aku berciuman dengan Nica di atas kasur itu. Aku mencoba untuk memperlakukan dirinya dengan mesra. Dari tadi kami hanya berciuman dan berpelukan di atas kasur.

Kantor sudah masuk musim libur, dan kami memilih waktu liburan sebelum lebaran ini untuk memperbaiki hubungan kami. Nica tak pernah bertanya apapun soal Dian lagi. Dan dia menjadi over protektif serta over perhatian kepadaku. Lemari es di apartemenku jadi penuh makanan.

Biar makannya teratur dan sarapan, kata Nica sewaktu dia mengisinya dengan penuh perhatian. Ya, aku memang tidak pernah sarapan semenjak tinggal sendiri seperti ini. Aku sudah lupa, kapan terakhir kali aku sarapan. Walaupun pada prakteknya, aku tidak mungkin sarapan di bulan puasa.

Tak jarang sekarang ia memfungsikan kembali dapurku yang sudah mati itu. Sayang Rendy sedang pulang kampung, jadi dia tidak bisa ikut menikmatinya. Aku sudah memperingatkan Nica, jangan terlalu sering menginap di tempatku, karena aku tidak enak kepada orang tuanya. Tapi dia selalu mengatakan bahwa dia punya 1001 alasan agar tidak dicurigai. Aku menurut saja. Tidak ada gunanya membantah.

Tidak ada gunanya membantah dan menolak kebaikan seorang anak perempuan yang polos ini.

Dan karena sekarang bulan puasa, hubungan seks kami hanya dilakukan ketika malam saja. Pada siang hari kami berkegiatan bersama, seperti suami istri muda yang sudah tinggal bersama. Di satu sisi aku menikmatinya, di satu sisi ada perasaan yang mengganjal. Perasaan tidak nyaman yang aku mencoba untuk membunuhnya. Entah karena Nica yang terlihat terlalu over perhatian, atau aku diam-diam menarik perasaan dari diri Nica.

Apakah aku memikirkan Dian lagi? Aku harap tidak.

Aku harap aku tidak akan pernah lagi memikirkan Dian.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

"Sayang? 4 Hari abis lebaran aku ada acara keluarga besar, kamu dateng ya?" undang Nica. Lebaran tinggal beberapa hari lagi. Besok aku akan pulang ke Serpong, ke rumah orang tuaku.

"Boleh" jawabku singkat sambil menyetir.

Nica tersenyum mendengar jawabanku. Aku meliriknya. Dia tampak manis hari ini. Aku diam-diam tersenyum. Tidak tahu apa yang membuatku tersenyum, karena rasanya aku memang tidak ingin tersenyum. Lalu aku lantas kembali berusaha berkonsentrasi pada jalanan.

Menggandeng tangannya terasa berbeda akhir-akhir ini. Ada perasaan kosong. Dan aku juga bisa melihat perasaan memaksakan berlebihan yang datang dari Nica. Tampaknya terlihat baik-baik saja, hubungan kami. Tapi lantas banyak hal yang membuatku tidak nyaman. "With future hubby" caption postingan instagramnya sejam yang lalu. Foto aku dan dirinya selfie di dalam bioskop tadi. Aku berteriak dalam hati melihatnya. Tapi aku diam-diam saja dan hanya memberi like.

Hari itu kencan terakhir kami sebelum lebaran. Kami menghabiskannya dengan menonton bioskop, dan makan malam atau buka puasa bersama. Setelahnya dia ingin menghabiskan malam berdua bersama di apartemen. Aku mengiyakan saja. Dia terus-terusan menggenggam tanganku mesra sambil bersender kepadaku sepanjang perjalanan dari parkiran ke apartemen. Entah mengapa dia tidak bisa merasakan kakunya badanku, atau memang dia tidak peduli dan memutuskan untuk memberi rasa sayang ini secara sepihak?

Aku duduk dengan malas di sofa dan langsung menyalakan TV setelah masuk ke dalam unit. Nica entah kemana. Ke kamar mandi mungkin. Ke kamarku mungkin. Entahlah.

Mendadak dia keluar, berjalan pelan ke arahku, mengejutkanku. Tubuhnya hanya berbalut pakaian dalam yang seksi, berwarna merah menyala. Kontras dengan badan mungil dan kulit putihnya. Kacamatanya tetap dipakai. Dari jauh sudah dapat kurasakan kalau nafasnya memburu, penuh gairah. Nafsuku melihatnya mendadak bersemangat, hatiku senang melihatnya. Tapi di kepalaku, muka itu bukan muka Nica. Tapi muka Dian. Aku berusaha keras untuk mengembalikan Nica dalam pandanganku.

Aku mencoba meraih tangannya, lalu menariknya ke dalam pangkuanku, mencium bibirnya lembut. Aku mencoba mengingat-ngingat hubungan seks kami berdua yang hangat dan mesra. Namun yang kudapati hanyalah image aku berciuman dengan Dian. Aku menghentikannya sejenak, menatap matanya dan melihat kedalam dirinya. Bukan Dian. Aku menciumnya kembali, berusaha terus memikirkan Nica. Badan kami berpelukan. Dia sejak kejadian itu, tidak pernah memelukku dengan hangat lagi. Tapi dengan penuh nafsu, nafsu seakan takut kehilanganku. Badannya lekat menempel ke badanku. Aku memutuskan mencoba untuk mematikan ingatanku, fokus kepada nafsuku saja.

Kami berciuman penuh nafsu berdua. Tubuh mungilnya tampak seksi dalam balutan pakaian dalam itu. Nica berusaha melepas bajuku, tapi tampak enggan melepaskan ciumannya. Dirinya berharap jadi satu denganku. Setelah bajuku lepas, Nica mencoba untuk ganas menciumi leherku. Aku mencoba untuk meremas sebelah buah dadanya, sedangkan tangan satu lagi meremas pantatnya. Dia bergantung di bahuku, dengan bibir kami berdua terus menempel erat, berciuman, mencoba melupakan dunia nyata.

"Sayang...." Bisik Nica.
"Kenapa?" Jawabku
"Aku mau kayak gini selamanya..." Dan dia menciumku lagi. Tanganku mulai merambah, meraba punggungnya, mencoba membuka bh nya. Dia memegang tanganku mendadak.
"Jangan... malem ini jangan dilepas..." bisiknya.

Aku pun berusaha membopongnya ke kamar, tapi dia menghentikanku lagi. "Disini aja" bisiknya mesra. Aku menelan ludah. Antara terangsang dan khawatir. Khawatir karena perempuan yang cemburu bisa melakukan hal-hal yang gila. Seperti makin liar dalam berhubungan seks. Nica menekan penisku dengan badannya, menggesek-gesekkannya dengan bernafsu, menatap mataku dengan tajam dari balik kacamatanya.

Aku bergerak membuka celana dalamnya. Dia berpindah posisi, memudahkanku melakukannya. Setelah berhasil, dia berlutut dan perlahan membuka celanaku. aku tetap duduk dan memperhatikannya. Tanpa aba-aba dia langsung memasukkan penisku ke mulutnya, mengulumnya penuh nafsu, sambil memandang mataku erat-erat. Tatapannya penuh harap, memandang mataku yang kosong. Dia berusaha keras membuat adegan oral seks itu terlihat seksi. Kedua tangannya bertumpu ke pahaku, dia berusaha untuk merangsangku dengan permainan mulutnya. Berhasil pada nafsu dan badanku. Tapi kepalaku, entah dimana. Aku menatapnya lekat, berusaha mengingat masa-masa indah kami berdua. Memandang mukanya yang innocent membuat nafsu lelakiku naik. Hanya nafsuku.

Tak terhitung berapa lama dia melahap dan menciumi penisku. Dia melepasnya dan menatapku erat, bergerak pelan ke pangkuanku, mengarahkannya ke vaginanya. "Mmmh.... sayang..." desahnya saat masuk. Vaginanya sudah sangat lembab. Pantatnya bergerak, dengan ganasnya, tampak berusaha memuaskanku. Dan hari ini tidak seperti biasanya, dimana dia sebelumnya selalu mengingatkanku tentang kondom. Hari ini dia tidak menanyakannya sama sekali.

Nica bergerak liar, menatapku dalam-dalam, sambil sesekali menciumku. Aku menatapnya tajam. Menatap wajah tanpa dosanya, menggenggam pinggangnya erat-erat. Mencoba merasakan dirinya. "Sayang..." Nica tampak menikmati malam itu. Sedangkan aku berusaha keras untuk mencoba membuang semua ingatan yang tidak kuinginkan. Aku berusaha meraba bibir vaginanya, mencari cara agar ia bisa menjadi lebih liar lagi.

Nica tampak setuju dengan ide tersebut. Dia berjuang untuk berpindah posisi membelakangiku, sehingga aku dapat dengan mudah merasa bibir vaginanya, menstimulasinya agar nafsunya juga terpuaskan. Aku merabanya sambil dia tetap bergerak di atas pangkuanku, sambil kutatap punggung putihnya yang mulus. Mendadak aku teringat punggung yang seperti itu juga. Punggung putih dengan kulit yang halus. Ingatanku terbang ke Dian. Mendadak malam ini seperti berubah, aku menyentuh kulit Nica seakan-akan aku sedang membayangkan Dian. Semua gerakan liar Nica aku interpretasikan sebagai Dian dalam kepalaku. Aku menutup mataku, menyenderkan kepalaku kebelakang. Gairahku kembali lagi.

"Sayang... aku mau..." gerakan Nica semakin liar. Nafasnya terdengar berat. "Ahh.... Ahhhh..." Dia berteriak nikmat dan mendadak badannya kaku, bergetar, lalu terkulai lemas, menyender ke badanku. Nafasku pun berat, ditambah karena ada perempuan lain yang ada di dalam kepalaku. Nica dengan lemas bangkit, lalu merubah posisinya, kembali duduk bersimpuh. Dia membuka mulutnya "Kalau sekarang boleh sayang.... Di dalem sini" ucapnya manja sambil mengarahkan penisku ke dalam mulutnya. Tumben. Dia biasanya tidak mau melakukan oral seks setelah penetrasi. Tapi tidak kali ini.

Dia mengulumnya dengan semangat, sambil mengocoknya dengan nakal. Aku bersender dan menutup mata. Aku bersalah. Di dalam bayanganku Dian lah yang sedang melakukan oral seks padaku. Pikiranku semakin tak beraturan. Aku tidak nyaman dengan bayangan itu, tetapi sangat menikmatinya. Image Dian mengulum penisku terlihat sangat jelas di kepalaku. Dia tampak terlihat begitu bersemangat.

"Mmmh...." Nica kaget ketika spermaku keluar dengan deras di dalam mulutnya. Aku lalu membuka mata. Melihat Nica tertawa genit dengan sperma hangat menetes dari bibirnya. Aku maju, memegang pipinya dan mengecup keningnya. Kening Nica. Bukan Dian. Tetapi ada Dian di kepalaku.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

rumah-11.jpg

Hari Lebaran. Setelah Solat Ied aku membantu Ibuku mencuci piring di dapur, sementara ayahku merokok di ruang kerjanya. Hari ini saudara-saudara akan datang ke rumah orang tuaku di serpong. Ayahku adalah anak paling tua, sedangkan semua kakek nenek ku sudah meninggal. Jadi rumah kami jadi tujuan silaturahmi lebaran. Selesai mencuci piring, ibuku memutuskan untuk bermain piano, menunggu para tamu datang. Brahms' symphony No. 3 in F Major Op 90 Movement #3. Ibuku memang seorang guru piano klasik. Setelah mereka pindah ke serpong, muridnya bukannya berkurang, malah bertambah. Aku tidak pernah bisa menyukai lagu klasik walau ibuku selalu mengajarinya sewaktu aku kecil. Aku hanya tersenyum mengingat memori itu.

Aku memutuskan masuk ke ruangan kerja ayahku. Lalu melempar tubuhku ke salah satu kursi disana, dan dengan pelan menyalakan sebatang rokok. Jimi Hendrix. Musiknya berputar keras di atas piringan hitam ayahku. Dia menatapku sambil tersenyum. "Coba dia masih hidup ya?" tawanya. Aku hanya tersenyum balik, lalu bangkit dan memeriksa beberapa cd dan kaset lamaku. Radiohead, The Smiths, Joy Division.
"Kaset-kaset kamu tuh, jaman kuliah"
"Iya Yah..."
"Kamu dengerinnya yang model gitu sih, jadi mellow anaknya"
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
"Pacar kamu apa kabar?" tanyanya soal Nica.
"Baik Yah"
"Mudah-mudahan dia baik sama kamu" Aku tersenyum lagi.

Dia selalu baik kepadaku. Selalu baik dan terlalu baik. Yang tidak baik kepadanya adalah aku. Karena kepalaku terus berputar-putar sendiri dan bayangan seseorang dari masa lalu selalu datang.

Aku harap, aku bisa berhenti memikirkan Dian. Sedetik saja.

------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gw kalau punya temen laki-laki kek dia udah gw tonjokin. Bego banget sih, gara-gara gagal cinta dengan mantan sampe ngenyakitin orang2 yg peduli sama dia. Sakitnya emang ga ketulungan kalo dikhianatin orang yg dicintai, tapi ga harus menuitup diri dan sinis sama orang2 disekitar. Jadi baper banget gw...sumpah :tabok:
 
Setuju om @devaclp. Lagian belum tuntas juga sih dengan Dian. Cuma berawal dari prasangka, mutusin sepihak, tapi masih baper aja. Cape deeh...

Tengkyu updatenya, om @racebannon
 
baca komenan berarti emang beneran bastard ya si aku ini, malah makin penasaran baca cerita sampe akhir......
 
THE LUCKY BASTARD – PART 15

------------------------------------------

rumah-11.jpg

Satu persatu anggota keluarga besar datang ke rumah orang tuaku. Termasuk sepupuku Nayla dan orang tuanya. Ibunya adalah adik Ayahku. Mereka datang dari Bandung. Lucu melihatnya sudah dewasa. Dia seumur Nica sekarang, tapi belum lulus kuliah, tetapi lebih tinggi dari Nica dan terlihat lebih dewasa. "Halo kak" sapanya sambil berlalu begitu saja ke dalam rumah untuk menyalami orang tuaku. Waktu aku kecil dulu, dia sudah seperti adikku sendiri, ditambah lagi aku tidak punya saudara kandung, walau umur kami terpaut jauh, 8 tahun. Dulu rumah tinggal kami berdekatan, tetapi lantas orang tuanya pindah ke Bandung sebelum dia masuk SMP. Walaupun kami jarang bertemu, tapi kami memang seperti kakak adik kalau sedang bersama. Dia salah satu yang menyemangatiku ketika aku tidak jadi menikah dengan Dian dulu.

Sudah lewat tengah hari kami semua berkumpul bersama dan ramai mengobrol. Beruntung tidak ada yang menanyakan kabar percintaanku. Terutama soal Dian dan Nica. Setelah makan siang, aku duduk diam di balkon lantai dua rumah orang tuaku, merokok dan melayangkan pandanganku ke jalanan kompleks yang sepi. Sesekali motor lewat dengan pelannya.

"Bengong aja Kak" sapaan Nayla mengagetkanku.
"Eh elo..." aku meliriknya dengan cuek. Dia lantas duduk di sebelahku, dengan kaki yang ikut disandarkan ke railing balkon.
"Lebaran Jakarta enak ya, sepi"
"Ini bukan Jakarta kali"
"Bener kata Papa Mamaku"
"Kenapa emang?"
"Kalo Lebaran enak di Jakarta" Aku tersenyum mendengar hal itu, dan berpikir, ini kan Serpong, bukan Jakarta.

"Elo apa kabar?" tanyaku sambil mematikan puntung dan menyalakan satu lagi.
"Jadi inget kata Mama"
"Apaan"
"Anak Bapak itu gak pernah berhenti ngerokok" Memang ayahku dan aku adalah perokok berat.
"Bisa aja"
"Dulu dia khawatir lho waktu kita masih kecil, takut kita berdua ketularan papanya kakak, ngerokok"
"Lah gue ketularan dong...."
"Bisa jadi" tawa Nayla kecil.

"Kabar lo gimana btw..." tanyaku kembali
"Yaaaa... gitu deh... rencana sih pengen lulus..."
"Kapan wisudanya dong?"
"Pengen ikut yang akhir taun aja kayaknya"
"Bentar lagi dong" Nayla cuma nyengir

"Abis kuliah mau ngapain?" tanyaku
"Nyari... kerja?" senyumnya
"Di?"
"Ga tau" seringainya lebar. "Di Jakarta kali" lanjutnya.
"Jangan menuh-menuhi Jakarta.." candaku.
"Yaaaa gimana ya" dia mengangkat tangannya dan merentangkannya lebar lebar. Lucu. Anak ini sudah dewasa.

"Gue boleh kan kalo pas interview-interview di Jakarta ntar nginep di tempat kakak?" tanyanya mendadak
"Eee... ga ada tempat lho"
"Bukannya dua kamar?"
"Ada temen gue yang nempatin"
"Oh, kalo gitu gue di karpet atau sofa juga santai" Aku tersenyum saja, toh aku bakal senang kalau dia datang, mungkin keberadaan keluarga di dekatku bisa membuatku lebih rileks.

"Selamat ya BTW" selanya.
"Apaan?" tanyaku
"Pacar baru"
"Oh"
"Mudah-mudahan Mbak Dian tau" senyumnya sinis. Aku hanya senyum saja sambil menarik rokokku dalam-dalam.

------------------------------------------

49324410.jpg

Aku merokok dalam kamarku. Ingatanku terbayang disaat aku curi-curi melakukannya dengan Dian di rumah orang tuaku. Kamar itu saksinya. Kamar yang kini agak berdebu karena jarang kutinggali. Hanya libur hari-hari besar atau libur panjang aku pulang kesini. Terbenam dalam koleksi piringan hitam rock lawas ayahku atau permainan musik klasik dari piano ibuku. Aku melihat gitar listrik tua usang, yang sering kupakai kalau manggung ketika SMA. Gitar yang mereknya tidak jelas itu. Stiker Radiohead dan Nirvana melekat di bodinya. Stiker yang kontradiktif, senyumku. Kenanganku membawaku kembali ke semua mantan-mantan pacar ku. Tapi hanya ada satu muka yang paling jelas kuingat. Dian.

Malam itu mendadak ada pesan dari Anggia di handphoneku.
"Selamat Lebaran yeeeee"
"Makasih Nggi, selamat liburan juga"
"Akhir taun ke Bali yuuuuuuuuuk"
"Males"
"Serius. Ajak Nica juga"
"Ngapain"
"Liburan, bego"
"Males"
"Gue ngajak Rendy, dia langsung mau loh"
"Dia lo ajak ke parit neraka juga mau Nggi"
"Ayo lah"
"Nanti gw obrolin ama Nica dulu"
":p"

Aku menghela nafas, mengambil nafas panjang dan menutup mataku untuk tidur.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

eco-dr10.jpg

Pondok Indah. Aku mencari rumah Kakek Nica dengan seksama. Hati ini rasanya tidak nyaman. Pertama kalinya lagi aku datang ke acara kumpul keluarga sehabis lebaran keluarga pacar setelah beberapa waktu lalu, dengan Dian. Pada waktu itu semua orang tampak bahagia, dan pembicaraan isinya hanya tentang nikah, nikah dan nikah. Dian tampak bahagia hari itu. Senyumnya terus mengembang. Senyumnya. Senyum nya yang khas dan rambut pendeknya. Dua hal yang paling mudah diingat dari Dian. "Kenapa kamu kok rambutnya pendek terus?" tanyaku iseng suatu hari, sehabis makan si satu Mall. "Biar gampang gerak. Aku kan dokter" senyumnya padaku.

Akhirnya sampai juga. Dari semua mobil disana, mobilku tampaknya yang paling biasa. Aku tersenyum dikulum saja. Aku turun dari mobil, melihat Adrian bersender di mobil Mini Cooper Countryman warna biru. Tentunya rokok tersungging di bibirnya.
"Eh..." Sapanya. Kami lalu bersalaman.
"Nica di dalem ya?" aku bertanya kepadanya.
"Iya, jangan masuk dulu lah, temenin gw ngerokok" sambil ia mengacungkan kotak rokoknya ke arahku. Dengan kaku aku mengambilnya dan membakarnya. Kami mengobrolkan hal-hal kasual saja, seperti saling bertanya kabar masing-masing. Mendadak Nica keluar dari dalam, dengan ceria, langsung menarikku ke dalam tanpa memberiku aba-aba untuk bersiap. Dengan sedikit kewalahan bergiliran aku menyalami semua orang yang ada di rumah itu. Keluarga besar Nica. Terbayang betapa banyaknya nama dan wajah yang harus kuhapalkan. Berkali-kali aku berbisik, bertanya ke Nica, itu siapa, Om mana yang apa, untungnya Nica sangat membantu.

"Makasih ya udah sempetin dateng" Ayahnya mengajakku ngobrol, menepuk bahuku pelan.
"Sama-sama Om, saya yang makasih udah diundang"
"Santai aja, ngomong-ngomong maaf ya kakaknya Nica belom sempet ketemu kamu sekarang-sekarang ini" Kakaknya Nica memang kuliah di Australia. Eka Anastasia Seravina. Panggilannya Tasia. Memang sudah kebiasaan mungkin di kakak beradik itu memotong namanya untuk menghasilkan nama panggilan yang lucu. "Nanti rencananya Nica mau nengok Tasia kesana, mungkin taun depan, kalo bisa temenin ya" Ayahnya menepuk bahuku lagi. Aku hanya bisa tersenyum, sambil melirik ke arah Nica yang sedang berbicara panjang lebar di tengah kerumunan orang.

"Nica kenalin dong pacarnya ke tante" celetuk salah seorang disana. Nica lalu menarikku untuk mendekat ke arah kerumunan anggota keluarganya. Celetukan-celetukan "Kapan Nikah?" "Aduh kamu udah gede, tante/om gak sabar lihat kamu nikah" terdengar terus ke arah kami. Aku hanya bisa senyum, menyembunyikan kepusinganku atas semua pertanyaan itu. Nica sendiri antusias menanggapinya.

Aku menyingkir sebentar, merokok di luar. Adrian menyusulku.
"Pusing pasti lo" celetuknya
"Hah?"
"Pertanyaan kapan nikah" tawanya kecil
"Oh" aku hanya tersenyum mengiyakan.
"Tu anak emang dari kecil obses ama kawinan" lanjut Adrian. "Dari kecil dah pengen jadi manten, kalo ada keluarga yang kawinan pasti dia yang paling heboh dan semangat, selalu bilang pengen cepet nyusul" tawanya. Aku hanya bisa meringis.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

kamar-10.jpg

"Besok ngantor ya...." Keluh Nica sedih.
"Gapapa juga, bosen gak di rumah terus?" jawabku bersender di bahunya. Kami sedang menonton TV di apartemenku sore itu.
"Aku gak akan bisa bosen kalo ada kamu" lalu dia menciumku di pipi. Aku hanya senyum kecil ke arahnya. Semua kejadian dari rumah sakit sampai acara keluarganya sudah cukup membuatku sesak. Di satu sisi aku senang melihatnya bahagia, tapi rasa hambar itu menghampiri.

"Sayang makan yuk? Terus anterin aku pulang." bisik Nica di telingaku. Aku mengangguk saja. Tapi sebelum kami bersiap, Nica membisikiku lagi. "Sebelum pergi mau?" pasti mengisyaratkan seks. Aku menggeleng.
"Kok kenapa sayang?" mukanya kecewa.
"Aku capek"
"Kita kan di rumah seharian?"
"Gapapa"
"Kamu kayak yang banyak pikiran"
"Enggak kok" Mukanya kecewa, khawatir. Ekspresi curiga akan perasaanku. "Aku tau apa yang kamu pikirin" tebakannya kembali lagi. "Aku gak akan ngecewain kamu. Aku bakal bikin kamu lupain semua yang gak enak" dia lantas tersenyum. Senyumnya kecut tapi terlihat di mataku. Aku sedang malas bedebat. Yang aku tahu pasti, hatiku sudah makin kosong rasanya.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

desain10.jpg

"Udah dibilangin soal Bali?" tanya Anggia, di hari pertama ngantor. Aku sedang beres-beres meja, membuang yang tak perlu dan menyortir dokumen di hari pertama masuk kantor.
"Belom"
"Bilangin dong"
"Gak tau Nggi"
"Gak tau apaan?"
"Gak tau gue ikut apa enggak"
"Ayo lah..... " Aku terdiam saja. Aku butuh bicara ke Nica. Seminggu setelah masuk kerja kembali, pikiranku makin tak tenang. Aku harus segera bicara padanya. "Ngelamun lagi si bangsat" ucapan Anggia mengagetkanku. "Nica mana?" tanyanya. "Ini masih jam setengah 10 pagi Nggi..." jawabku.
"Ya ntar kalo dah sampe langsung omongin ya" ketusnya
"Ampun deh"
"Gue soalnya boleh make villanya om gue di ubud nih"
"Iya terserah mau di mana juga Nggi"
"Duh, beneran nih, biar bareng beli tiketnya"
"Akhir taun masih lama tau"
"Ya ampun udah berapa bulan lagi tau, kalo ga beli tiketnya cepetan tar mahal"
"Biarin, lo tajir ini kan"
"Orang tua gue yang tajir" ledek Anggia.
"Info yang ga penting"
"Penting dong"
"Bodo"

"Pagi semua" Nica masuk ke dalam ruangan, dengan senyum yang super manis. Dia mengenakan celana jeans washed yang digulung, dilengkapi sneakers berwarna putih, dan juga t shirt berwarna putih yang lengannya digulung. Sungguh sangat manis. "Udah ya, gue tinggalin kalian berdua biar ngobrol" senyum Anggia licik.

"Ngobrol apa sayang?" tanya Nica.

------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd