racebannon
Guru Besar Semprot
- Daftar
- 8 Nov 2010
- Post
- 2.074
- Like diterima
- 16.693
THE LUCKY BASTARD – PART 13
------------------------------------------
"Sayang.... Siapa Dian?" tanyanya dengan suara lirih
Aku diam saja mendengar pertanyaan Nica. Hening.
"Sayang.... Siapa Dian?" tanyanya lagi. Dia mengulang kalimat yang sama.
“Ada lah cewek..." jawabku pelan sambil menelan ludah.
“Maksud kamu? Mantan kamu?"
"Bisa juga disebut kayak gitu"
"Kok kamu gak pernah cerita?" Nica bertanya kembali.
"Gak penting buat diceritain" bohong. Jawaban bohong. Bohong sekali. Dian dulu sangat-sangatlah penting.
"Kamu sadar gak aku gak pernah tau apa-apa soal masa lalu kamu?" Nica menatapku dengan tajam. Mukanya antara ingin meledak atau ingin menangis. Entah yang mana. "Dan kalau gak penting, kenapa tadi sampe bikin kamu berantem?" tanyanya lagi. "Dan jangan bilang kalo itu bukan urusanku, itu urusanku". Suara Nica makin bergetar. Aku diam saja. Mobil tetap berjalan dengan pelan menuju rumah Nica.
Aku memilih untuk diam, menyetir dengan pura-pura tenang dan pura-pura kalem.
"Jangan pulang dulu" sambung Nica.
"Kenapa?" tanyaku pelan, mencoba menutup diri dari semua ekspresi wajah yang mungkin muncul.
"Aku pengen tau semuanya!" bentak Nica. Aku dengan terpaksa memberhentikan mobilku di pinggir jalan. "Jangan disini" lanjut Nica.
"Terus mau dimana?" tanyaku balik tanpa menatapnya.
"Jangan diem disini.... Please...." lanjutnya gusar.
Akhirnya mobilku hanya berputar-putar pelan tanpa henti. Keheningan menyelimuti isi mobil itu. Nica akhirnya memberanikan dirinya untuk bertanya kepadaku.
"Kenapa aku gak pernah tau apa-apa soal Dian?"
"Bukan urusan kamu" jawabku gusar
"Kenapa itu bukan urusan aku?"
"Aku gak mau bahas itu" jawabku datar.
"Aku gak ngerti kenapa itu mesti disembunyiin dari aku"
"Aku gak pernah nyembunyiin apapun"
"Terus kok aku gak pernah tau?"
"Aku cuma gak cerita soal h al-hal yang enggak penting" lalu suasana hening kembali. Kulirik Nica menggenggam ujung roknya. Suasana yang sungguh tidak nyaman.
"Ada sejarah apa kamu sama yang namanya Dian itu?"
"Ada lah, pokoknya gak enak"
"Se gak enak itu kah sampe kamu gak pernah cerita sama aku?"
"Mungkin" jawabku ambigu.
"Kita sekarang bareng.... Kalo emang kamu punya sejarah gak enak aku juga berhak tau, kita kan pacaran....." Nica tampaknya gusar dengan jawabanku.
"Aku gak ngerasa perlu tau juga soal masa lalu kamu" balasku sekenanya. Aku hanya butuh orang-orang berhenti bicara soal Dian.
Aku tetap menyetir dengan konsentrasi yang terpecah. Situasi yang tidak nyaman.
"Aku pengen tau sejarah gak enaknya" lanjut Nica. "Aku harus tau, karena aku sayang kamu..." sayang? Lima tahun kata sayang pun tak menjamin semuanya mulus. Apalagi ini, baru jalan enam bulan.
"Aku sendiri berharap gak pernah tau" jawabku.
"Dia selingkuh? Atau kamu yang selingkuh?" tanyanya menyelidik. Jantungku berhenti sebentar.
"Aku bahkan gak tau selingkuh rasanya kayak apa" jawabku. "Aku bahkan gak pernah bisa ngebayangin memulai perselingkuhan itu kayak apa. Aku gak tau apa alasannya orang untuk selingkuh" dan lalu aku menarik nafas panjang. Mulut rasanya gatal ingin merokok. Dan badan ini rasanya sudah ingin loncat dari mobil.
Nica menelan ludah. "Berarti dia yang selingkuh?" tanyanya, berharap jawaban pasti.
"Menurut kamu?" tanyaku balik dengan nada agak tinggi. Kami kembali diam tanpa suara. Mobil tetap berjalan pelan tak tentu arah.
"Kalau gitu harusnya kamu lega dong, bisa keluar dari hubungan yang buruk?" selidik Nica lagi. Aku menghela nafas. Hubunganku dengan Dian jauh dari kata buruk. Jauh sekali dari buruk. It was the greatest thing ever... Setidaknya sampai kejadian perselingkuhan yang sampai sekarang detailnya tak pernah jelas itu. Aku hanya terus terdiam tanpa suara.
"Gak sesimpel itu"
Aku menjawab dengan jawaban yang aneh. Nica tampak berkerut kesal mendengar jawaban itu.
"Aku cuma gak mau bahas apapun soal itu lagi" tegasku.
"Tapi aku harus tau" rajuk Nica. "Aku mau tau, kalau emang rasanya masih gak enak, aku mau bantu.... Minimal bantu ngilangin perasaan gak enak kamu....." jelas Nica. Sejauh ini, hubunganku yang sekarang tidak bisa membuat bayangan horor kesepianku dan kekosonganku hilang.
"Gak usah dibantu"
"Kenapa?"
"Ini urusanku"
"Urusan kamu kan urusan aku juga........"
"Kamu pikir ini mainan anak-anak?!" bentakku. Nica tampak kaget mendengarnya. "Pokoknya aku gak mau denger, tau, ketemu, atau apapun lagi soal Dian Dian dan sejenisnya" tegasku.
"Bisa gak kamu lupain aja? Betapapun lama atau sebentarnya kamu ama dia, atau kapan terakhir kejadian yang nyakitin kamu, pasti kamu pengen move on kan?" jawab Nica panjang. Sok tau. Kepalaku mendadak pusing tidak keruan.
"Lupa? Move on?" jawabku sinis. "Kalau kamu habis tabrakan mobil terus kaki kamu patah, kamu bisa lupa gak?" tanyaku retoris ke Nica.
"......" Nica diam. Seperti kehabisan kata-kata.
"Kamu sendiri suka gak ada dalam kondisi dimana kamu gak bisa ngendaliin apapun?"
"Gak suka.." jawab Nica dengan suara lemah. "Tapi ini semua aneh. Gak ada satu pun pertanyaanku yang kamu jawab" lanjutnya. Aku hanya diam saja, mengukur jauhnya jalan dengan mataku.
"Kamu gak bisa lupain dia?" Deg. Pertanyaan Nica menghentikan pola berpikir normalku.
"Aku udah jawab tadi"
"Kamu gak bisa lupa dia nya atau sama hal yang gak enaknya?" pertanyaan yang makin sulit. Semua ucapan Rendy dan Anggia soal move on berputar-putar dengan kerasnya di dalam kepalaku. Aku berdiam diri terus. Mataku melirik ke arah Nica. Muka yang tampak sedih. Aku melirik ke spion. Aku nyaris tak bisa mengenali wajahku. Wajahku terasa kaku dan memancarkan aura kemarahan.
"Kamu gak bisa lupain dia?" Dia mengulang pertanyaannya lagi.
"Bisa distop nggak?" jawabku makin menghindar.
"Sepenting apa Dian buat kamu?"
"Nica......."
"Kamu masih berhubungan sama dia?"
"Aku harap sih enggak"
"Berarti masih... Kamu masih berhubungan sama dia kan?" respon Nica. Aku hanya diam saja. Bercerita yang sebenarnya membuatku tidak nyaman. Bercerita yang bohong apalagi. Tapi Nica semakin liar menebak. Nica terlihat tidak nyaman dengan bahasannya. Tapi dia tidak menyerah.
"Kamu makin hari juga makin diem. Apalagi semenjak sembuh. Kayak sakit itu bikin kamu balik lagi jadi diem" kritik Nica.
"Diem gimana?"
"Kayak waktu sebelum kita pacaran"
"Contohnya?"
"Kayak sekarang ini. Gak jelas kalo ngomong dan banyak ngelamun" suara Nica bergetar. Ia pasti menahan tangis. "Apa dia nengok kamu waktu di Rumah Sakit?" selidiknya.
"Kamu pikir Dian segoblok itu?!" emosiku sudah mulai terdengar dalam nada bicaraku.
"Tapi kamu abis dirawat jadi aneh" tebaknya.
"Aku gak bisa nentuin dan ngatur kapan perasaan gak enak itu datang dan pergi kan?"
"Dian pasti nengokin kamu kan pas aku gak ada?"
"Kamu ngebayangin apa sih? Gak jelas" jawabku terus menghindar.
"Abis apa?! Kamu pikir aku bisa baca pikiran kamu?!" bentak Nica dengan mata berkaca-kaca. "Jangan biarin aku nebak terus! Aku pengen tau!!" suaranya bergetar menahan tangisan.
"Aku emang dari awal gak pengen sama sekali dirawat di rumah sakit sialan itu..." jawabku sekenanya.
"Maksudnya apa?"
"Aku gak mau ada di rumah sakit itu"
"Emangnya Dian itu dokter?"
"........." Aku terdiam. Suasana mendadak hening sehening-heningnya.
"Oke... Dia dokter..." Nica mengulang kesimpulannya. Mendadak air matanya menetes, meleleh di pipinya. Kepalaku berputar. Memutar bayangan insiden Nica dan Dian bertemu pagi itu.
"Dia nyamperin kamu kan, pas kamu sakit kemaren itu?" tanyanya dengan tangisan yang dia coba tahan. Aku diam, mencoba berkonsentrasi mendengarkan percakapan ini dan menyetir. Nica menatapku penuh harap, berharap ada jawaban yang pasti dariku. Dia menatap dengan air mata mulai menetes dari matanya.
Tapi sia-sia. Aku tetap diam, mencoba mencari cara menjalankan mobil ini entah kemana, menghabiskan bensin dan membuang polusi ke udara Jakarta tai kucing ini.
"Jangan-jangan dia dokter yang waktu pagi itu meriksa kamu..." ucapnya lirih, berteori sendiri dalam kepalanya. Matanya menatap kepadaku. Tapi rasanya kosong. Mataku menghindari matanya. Dia sepertinya menangkap bahwa aku menyembunyikan sesuatu.
"Iya kan?" tangisnya pelan.
Aku menarik nafas, meliriknya. Aku melirik lagi ke arah jalanan yang sepi. Dengan satu gerakan pelan yang mungkin akan kusesali, aku menganggukkan kepalaku. Tidak. Aku tidak menyerah. Aku cuma bosan dengan segala obrolan ini dan berharap dia segera diam.
"Jadi dia yang ngurusin kamu kalo aku ngantor?" lanjutnya.
"Menurut kamu? Kamu pikir aku orang ****** apa?" jawabku sekenanya. Rasanya ingin kubanting saja setir ini.
"Kamu maunya apa?! Jelasin ke aku enggak, nyuruh aku nebak-nebak sendiri terus, gimana sih?!" bentak Nica dalam tangisnya. "Tolong jelasin, aku udah gak tahan!" luapan emosi keluar dari mulut Nica. Luapan yang memancing emosiku.
"AKU YANG UDAH GAK TAHAN!" bentakku. "BAHKAN KAMU PUN SAMA AJA KAYAK ORANG TADI. NYECER-NYECER GAK JELAS!" Nica kaget. Tapi bentakanku malah membuatnya semakin bingung dan tangisannya tampaknya jadi makin sulit dihentikan. "KAMU PIKIR AKU MAU DIA MASUK MASUK KAMAR AKU? KAMU PIKIR AKU MAU ADA DI SITUASI KAYAK GITU??"
"Sayang... Kamu gak usah teriak teriak....." air mata Nica menetes ke dressnya. Tangannya mencoba mengusap air matanya.
"GIMANA AKU GAK TERIAK-TERIAK KALO SEMUA ORANG TERUS MANCING MANCING AKU?!" nafasku terasa memburu. Pandanganku menjadi kabur. "KAMU ORANG TERAKHIR YANG PALING AKU HARAPIN UNTUK URUSAN NANYA-NANYA SOAL DIAN!" Nica tampak takut melihatku.
"Yang bener nyetirnya sayang....." tangisnya, dia tampaknya menyerah. Konsentrasiku pecah, dan jalannya mobil menjadi tidak jelas, kabur, sekabur pikiran dan perasaanku saat ini.
"KAMU GAK TAU RASANYA GAK NYAMAN KAYAK GINI! DAN KAMU GAK USAH NEBAK NEBAK"
"Sayang..." Nica panik mencoba menghapus air matanya.
"JANGAN NEBAK AKU NGELAKUIN SESUATU YANG GAK MUNGKIN AKU LAKUIN"
"Sayang udah... jangan bentak bentak...." Nica menangis sesenggukan.
"KAMU GAK ADA DI POSISI BISA NANYA SOAL ITU SEMUA!"
"...... udah.... nanti aja... jangan pas kamu lagi emosi........" dia meringkuk, mencoba menjaga jarak dari diriku.
"KAMU PIKIR SIAPA YANG BIKIN AKU EMOSI SEKARANG?!?!"
"nanti aja sayang......"
"KAN KAMU YANG MINTA JELASIN SEKARANG?!" aku terus-terusan mencecar Nica.
"sayang udah..... aku jangan dibentak terus...." Nica masih menangis, suaranya berubah sesak.
Mataku terasa gelap. Nica terjebak dalam ekspresi kengerian. Mungkin baru kali ini dia dibentak separah itu. Mungkin di keluarganya dia malah sama sekali belum pernah dimarahi. Aku menoleh, melihat dia tampak takut sekali atas kemarahan tiba-tiba yang aku keluarkan. Badannya gemetar, air matanya terus meleleh dan dia tampak benar-benar takut. Dengan gerakan tiba-tiba dan kaget, aku kembali menatap ke jalan.
Dan di depan mobil tolol yang kukendarai ini, ada mobil lain yang menghalangi jalanku. Aku berusaha menghindar, atau menginjak rem mendadak.
Namun telat. Pantat mobil itu sudah terlalu dekat.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
Sudah hampir seminggu setelah kejadian itu. Beruntung mobilku hanya menubruk bagian belakang mobil tersebut. Aku tidak harus menggantinya karena memang hanya sedikit retak. Untungnya aku mengendarai mobil dengan kecepatan yang terlampau pelan. Pertengkaranku dengan Nica tidak selesai. Setelah tubrukan itu, Nica hanya meringkuk menangis di kursi penumpang. Aku sendiri sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku mengantarkan Nica pulang dalam hening. Dia bahkan tidak berkata apapun saat aku membuka kunci mobilku. Dia langsung lari begitu saja setelah aku masuk ke parkirannya. Aku pulang dengan perasaan hancur. Dua kali pertahananku hancur hari itu.
Seninnya Nica tetap masuk seperti biasa. Kami hanya saling memandang di kejauhan, saling takut untuk bertegur sapa. Bahkan Anggia pun semakin bingung dengan kesuraman antara kami berdua. Sudah beberapa hari ini kami tidak saling bicara. Saling diam. Diam dalam keputus asaan.
Ini minggu terakhir kerja sebelum lebaran. Waktu liburanku akan banyak. Aku hanya harus pulang ke rumah orang tuaku di Serpong. Semenjak aku kuliah memang ayahku pindah dari Jakarta ke Serpong, ditambah lagi ayahku menjadi dosen di salah satu Universitas di Karawaci. Mendadak aku membayangkan rumah Nica, dan menghela nafas panjang.
Seharian itu aku tidak merokok. Tenggelam dalam pekerjaan, bahkan makan pun kulakukan di meja kerja. Headphone terpasang di telingaku.
Hello darkness, my old friend
I've come to talk with you again
Because a vision softly creeping
Left its seeds while I was sleeping
And the vision that was planted in my brain
Still remains
Within the sound of silence
Lantunan lagu dari Simon and Garfunkel bergema di kepalaku. Aku tak sadar sudah berapa lama tenggelam seperti itu. Tak terasa sudah pukul 8 malam. Tak biasanya aku ada dikantor semalam ini. Mendadak aku kaget.
Nica tiba-tiba duduk di depan mejaku. Aku dengan enggan membuka headphone.
"Aku kepengen ngobrol...." Nica membuka pembicaraan.
"Tumben kamu belum pulang" balasku tanpa melihat matanya. Tentunya dengan nada datar.
"Sambil pulang ngobrolnya?" ajaknya, tanpa melihat mataku juga. Aura mukanya seperti sedang berkabung.
"Terserah" jawabku sekenanya, langsung menutup laptopku.
------------------------------------------
Kami berdua saling diam dalam mobil itu. Suasana malam ikut memakan suara kami. Entah siapa yang terlebih dahulu diantara kami yang akan membuka suara.
"Aku gak akan kayak gitu lagi...." suara Nica penuh dengan penyesalan.
"....." aku masih diam.
"Aku gak mau ngelukain kamu. Kayaknya dia ngelukain kamu banget..." oh. Nica merefer ke Dian, naif sekali dia.
"....." aku masih tetap diam.
Kami mendadak saling berpandangan dalam gelap. Dia mencoba untuk tersenyum kepadaku. Mukaku dengan enggan membalas senyumannya seadanya.
"Aku kangen bareng ama kamu lagi...." lanjutnya. Aku hanya tersenyum tipis ke arahnya. Dia meraih tanganku yang kaku di atas pahaku.
Dan sama sekali tidak ada rasanya. Tidak ada kehangatan yang biasa kurasakan. Rasanya seperti tidak disentuh oleh tangan siapapun.
------------------------------------------
BERSAMBUNG