THE LUCKY BASTARD – PART 11
------------------------------------------
"Dian... Please jangan pergi dulu..."
"Lepas" bisik Dian.
Tangannya kemudian meraih tanganku yang memeluknya, tapi dia tidak berontak sedikitpun. Genggaman tangannya pun rasanya masih sama. Dia menggenggam tanganku dengan kuat, seperti ingin melepas tanganku, tapi dia tidak kuasa.
"Lepas....."
Suaran Dian bergetar seperti mau menangis. Dari sudut matanya aku bisa melihat air mata seperti akan keluar. Aku menyerah dan melepasnya. Aku mundur teratur.
Dian langsung berlalu, keluar dari kamar ini tanpa menengok kebelakang lagi.
Aku terduduk ke kasur. Menutup mulutku dengan tanganku. Mengambil nafas panjang yang paling panjang. Dan aku merasakan air mata meleleh di pipiku.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
Aku termenung di kursi penumpang. Rendy menyetir mobilku, sambil berulang kali menoleh, mengkhawatirkan diriku. Aku sudah tidak panas lagi. Aku sudah diizinkan pulang di hari ketiga, tapi aku harus bedrest di rumah selama 4 hari, kemudian kontrol kembali, setelah itu aku boleh ngantor lagi.
"Sorry men" celetuk Rendy. Ini pasti soal Dian.
"Bukan salah lo" jawabku kosong
"Harusnya pas lo mau cabut dari rumah sakit gw iyain aja"
"Gak usah dibahas"
Aku lalu mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Rokok pertamaku sejak aku sakit, yang terasa sangat hambar dan pahit. Nafasku terasa berat. Mataku mengukur jalan di tengah macet dan panasnya Jakarta.
------------------------------------------
Malam itu di apartemenku agak ramai. Ada Nica, Anggia, Rendy, Mbak Mayang dan beberapa temanku yang lain. Mereka menyambutku yang baru pulang dari rumah sakit. Nica menghampiriku, duduk di sebelahku, di meja makan.
"Sayang..." tegurnya.
"Apa?"
"Kok baru keluar dari rumah sakit ngerokoknya banyak gitu?"
"Kan sakitnya pencernaan. Tipes. Bukan sakit paru" jawabku sinis, sambil menghisap asap tembakau itu. Nica cuma tersenyum dan mengacak rambutku. Aku diam saja. Aku lalu bangkit dan berjalan ke balkon.
Anggia segera menyusulku dan menutup pintu balkon.
"Gimana?"
"Apanya?"
"Kata Rendy Dian dateng lagi siangnya?" tanya Anggia.
"Gak usah dibahas"
"Mulai lagi..."
"Apanya yang mulai lagi?"
"Tiap ada apa-apa soal dia, selalu lo jadi aneh gini"
"Apanya yang aneh?" tanyaku balik
"Lo harus move on"
"Gue udah punya Nica"
"Tapi tetep aja tingkah laku lo sama, dari dulu, kalo ada kata 'Dian' disebut, lo langsung jadi gak wajar gitu..." Anggia menatapku dengan muka prihatin.
"Bukan urusan lo" sanggahku singkat
"Berarti lo masih ada urusan yang belom kelar ama Dian"
"Bisa gak nama itu gak lo sebut lagi?!?" bentakku
"Aduh...." Anggia menelan ludahnya. "Gak usah orang lain jadi digalakin juga dong...." lanjutnya dengan muka sedih. Aku hanya diam saja sambil terus menghisap rokok. Anggia menyerah dan meninggalkan aku sendirian di balkon.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
Aku termenung di sofa, menonton acara TV sekenanya. Rendy sedang tidak ada. Weekend, seperti biasa Rendy tidak ada di apartemen. Pesan masuk dari Nica.
"Aku kesana ya sayang..."
"Ok" Aku menghela nafas, kepalaku sudah tidak terlalu pusing lagi. Tapi ada ganjalan yang luar biasa berat di hati ini. Rasanya seperti menelan batu. Aku berbaring di sofa dan menutup mataku.
------------------------------------------
Nica akhirnya datang, membawa makanan untuk malam itu. Rencananya dia menginap disini. Kami menyantap makanan di meja makan, tanpa obrolan sedikitpun. Nica melirik terus ke arahku, dengan muka khawatir atau entah muka apa. Aku tidak berhasil memecahkan teka-teki ekspresi manusia hari ini.
Selesai makan, aku kembali nonton TV. Nica berganti baju favoritnya kalau menginap. T-shirtku yang kebesaran, dengan hanya celana dalam dan tanpa BH. Dia duduk di sampingku dan bersandar manja kepadaku.
"Kapan ke RS lagi sayang?" tanya Nica
"Kayaknya sih senen"
"Pagi?"
"Kayaknya"
"Ngantor senen?"
"Maunya"
"Mau aku temenin?"
"Gak usah"
"Lho?"
"Gapapa, kamu ke kantor aja langsung...." jawabku pelan.
"Kamu kayak yang lemes banget?" lanjutnya
"Biasa aja"
"Kayak lagi banyak pikiran"
"Masa"
"Kok judes?"
"Sori"
Nica pun terdiam. Dia mendadak naik ke pangkuanku. Memeluk diriku dan membenamkan mukaku ke belahan buah dadanya. "Kalau pusing aku bikin rileks ya...." aku mengikutinya. Aku menciumi belahan dadanya dari balik t shirt yang ia pakai. Nica merespon dengan menggesek-gesekkan vaginanya ke penisku yang makin lama makin keras. Aku mencoba menenggelamkan diriku dalam diri Nica, berharap perasaan kosong dan sepi yang kembali sejak kejadian di rumah sakit itu kembali lagi. Kami berciuman dengan lembut. Aku berusaha mengisi lagi perasaanku dengan hasrat yang selalu Nica berikan kepadaku.
Tanganku masuk ke dalam T Shirt yang ia pakai. Meraba-raba punggungnya yang mulus dan lembut. Kurasakan nafas Nica semakin berat dan ciumannya kepadaku semakin panas. Nica menciumku terus sambil berusaha membuka kacamatanya. Aku menahannya "Gak usah sayang...." bisikku. Nica membalasnya dengan tatapan geli. Senyum manisnya yang sama terulang terus. Aku menjadi bergairah, lalu kuciumi dia diseluruh permukaan yang bisa kutemukan. Mulai dari bibir, hidung, leher, pipi, pokoknya semua yang bisa kutemukan.
Tanganki terus meraba punggungnya dan merambah masuk ke dalam celana dalamnya. Dengan penuh passion kuremas-remas dan kuraba pantatnya. "Mmmhh..... Enak sayang...." respon Nica atas jahilnya tanganku. Aku terus meremas pantatnya, membuat muka Nica makin berekspresi dibuatnya.
"Sayang...." Nica mulai menyingkap t shirt itu. Aku menghentikannya saat ia ingin membukanya. Aku hanya menyingkapnya sampai ke buah dadanya, dan mengaitkannya ke lehernya. Jadilah buah dadanya terekspos dan tampak maju. Lalu aku melanjutkan remasan di pantatnya, membuat tubuhnya memundurkan pantatnya dan memajukan buah dadanya. Aku tak tahan dan langsung melahap dan menciumi kedua belah buah dadanya. "Ahhhh... Terusin sayang...." Nica keenakan dibuatnya. "Terus...." aku semakkn bernafsu meremas dan meraba pantatnya. "Sayang.... Aku mau..." Nica membisikiku penuh hasrat.
Aku mengangkat tubuhnya dan mendudukannya di sofa. Aku sedikit memaksa membuka celana dalamnya. Nica pasrah saja ketika aku menariknya. Aku lantas menuju bibir vagina Nica. Aku mulai menjilatinya dengan ganas. "Uuuhhhhh..... Enak sayang....." Nica mendesah kenikmatan, meremas bahuku. Aku dengan rajin menjelajahi permukaan kewanitaannya dengan lidahku. Nica beberapa kali bergerak kaget saat aku menjelajah dan mendapati titik-titik sensitifnya. "Ahh.... Ahhhh.... Mmmmhhhh...." Nica semakin meracau tidak karuan. Aku terus menjilatinya dengan semangat.
"Aaahhhhhhh..... Mmmmhhh..." aku merasakan badan Nica sedikit kaku. Mungkin dia merasakan sesuatu. Aku berhenti. Lalu menatap mukanya. Mukanya seperti malu, sekaligus keenakan. Aku lantas memasukkan jariku ke mulutku, membasahinya. "Sayang... Kamu mau ngapain?" tanyanya. Aku tak mendengarkannya, dan memasukkan jariku kedalam vagina. "Aahhh...." Nica kaget. "Sayang... Ahhh..." dia kaget saat aku menggerakkan jariku, meraba dinding rahimnya dengan ganas. Kepalaku turun lagi, dan ikut dengan ganas kujilati bibir vaginanya.
"Aahhh.. Sayang... Sayang... Nggghhh... Sayang..." Nica meracau dengan keras saat aku melakukannya. Stimulasi yang cukup ganas kulakukan ke daerah kewanitaannya. "Unggghhh.... Aku mau... Ahhh...." vaginanya sudah sangat basah. Sangat sangat basah. Matanya terpejam dengan erat. Mulutnya terbuka lebar, dengan pipi yang memerah.
"Ugggghh........ Aaahhh......" badannya menegang dan melenting keatas. Sesaat badannya bergetar. Lalu terkulai lemas di sofa, dengan nafas yang sangat berat. "Gila... Enak banget....." bisiknya lemah.
Mendadak kuraih badannya. "Sayang?" dia kaget dengan gerakanku. Aku menggendongnya ke kasur. Aku letakkan dia diatasnya, lalu melucuti pakaianku sendiri. Kusibak pahanya, lalu langsung menuju ke vaginanya yang terbuka lebar. "Sayang... Pake kondom dulu... Aaahhh..." aku tidak mempedulikannya. Aku menyerangnya di titik terlemahnya. Aku menggagahinya. "Ughh.. Ugh..." aku menggaulinya dalam posisi misionaris. Kakinya dengan lemas melingkar di pahaku. Tangannya memeluk leherku lemah. Tanganku kaku menumpu tubuhku.
"Sayang..... Uhhh...." Nica merasakan penisku yang bergerak deras di lubang vaginanya. "Sayang... Udah sayang.... Aku kayak mau pipis...." Nica tampaknya kewalahan. Aku mencabut penisku. Nica tampak terengah-engah.
Tapi aku malah mengangkat badannya. Dengan secara tidak langsung menyuruh ia membungkuk di depanku. Aku langsung menusuk kembali vaginanya. "Uhh... Uhh... Sayang... Udah sayang...." badannya terkulai didepanku, terkulai lemas di kasur. Pantatnya tetap dalam tanganku, kuremas sambil aku terus menggagahinya dalam posisi doggystyle. "Udah.... Sayang.... Ahhh...." Nica mungkin sudah merasakan kenikmatan di ubun-ubunnya dan ia tidak tahan lagi.
"Mmmmhh... Ahhh..." Nica meracau tak karuan saat aku tak berhenti melakukannya. Aku merasakannya. Sebentar lagi. Mendadak kucabut penisku, membalikkan badan Nica. "Sayang... Ngapain...." aku bergerak menuju mukanya, mendekatkan penisku ke mulutnya.
"Sayang, jangan.... Cuci dulu.... Mmmmhhh...." penisku memberontak masuk ke dalam bibir kecilnya. "Mmmhhhh....." dia tidak kuasa menolaknya. Tanganku menggenggam penisku, mengocoknya penuh semangat. "Mmmh... Ughh... Ummmmhhh...." spermaku meledak di bibir Nica. Spermaku menetes liar di bibirnya. Nica panik. "Uhukk... Uhhk... Sayang.... Mmmhhh...." bibir dan mukanya berbalur sperma. Dia hanya menatapku dengan mata sayu dan terkulai lemah.
------------------------------------------
"Sayang?" Nica kaget saat merasakan aku keluar dari pelukannya.
"Mm?" tanyaku balik
"Mau kemana?" tanyanya.
"Ke balkon bentar....." aku membuat gerakan orang merokok dengan tanganku. Dia kembali menutup matanya dan kembali bergumul ke dalam selimut.
Aku memakai bajuku, meraih rokok dan berjalan menuju balkon.
Aku duduk di balkon, menatap langit yang kosong. Aku menyalakan rokokku di dalam gelap. Sambil menghembuskan asap aku menunduk, memperhatikan lantai, lalu mulai menarik nafas panjang dan bersender.
"Kamu kebanyakan ngerokok" ucapan khas Dian itu kembali terngiang di kepalaku saat aku menatap jalanan yang kosong.
------------------------------------------
BERSAMBUNG